Bagaimana Memulai Banyak yang ingin menulis ke media tapi bingung bagaimana memulainya. Ada dua cara: 1. Mempelajari teori menulis baru praktik; 2. Learn the hard way atau menulis dulu teori belakangan. Terserah kita mana yang lebih enak dan nyaman. Tapi, berdasarkan pengalaman rekan-rekan di India yang tulisannya sudah banyak dimuat di media, alternatif kedua tampaknya lebih bagus. Rizqon Khamami, Zamhasari Jamil, A. Qisai, Tasar Karimuddin, Beben Mulyadi, Jusman Masga, Irwansyah, dan lain-lain semuanya belajar menulis dengan langsung mengirim tulisannya. Bukan dengan belajar teori menulis lebih dulu. Saya sendiri merasa alternatif kedua lebih enak. Ini karena kemampuan daya serap saya terhadap teori sangat terbatas. Saya pernah mencoba belajar teori menulis. Hasilnya? Pusing. Bukan hanya itu, bahkan dalam belajar bahasa Inggris pun, saya cenderung langsung membaca buku, koran atau majalah. Pernah saya coba belajar bahasa Inggris dengan membaca grammar, hasilnya sama: pusing kepala.
Sulitkah Menulis? Sulitkah menulis? Iya dan tidak. Sulit karena kita menganggapnya sulit. Mudah kalau kita anggap ―santai‖. Eep Saifullah Fatah, penulis dan kolomnis beken Indonesia, mengatakan bahwa menulis akan terasa mudah kalau kita tidak terlalu terikat pada aturan orang lain. Artinya, apa yang ingin kita tulis, tulis saja. Sama dengan gaya kita menulis buku diary. Setidaknya, itulah langkah awal kita menulis: menulis menurut gaya dan cara kita sendiri. Setelah beberapa kali kita berhasil mengirim tulisan ke media — dimuat atau tidak itu tidak penting– barulah kita dapat melirik buku-buku teori menulis, untuk mengasah kemampuan menulis kita. Jadi, tulis-tulis dahulu; baca teori menulis kemudian.
Topik Tulisan Topik tulisan, seperti pernah saya singgung dalam posting beberapa bulan lalu, adalah berupa tanggapan tentang fenomena sosial yang terjadi saat ini. Contoh, apa tanggapan Anda tentang bencana gempa dan tsunami di Aceh? Apa tanggapan Anda seputar pemerintahan SBY? Apa tanggapan Anda tentang dunia pendidikan di Indonesia? Dan lain-lain. Sekali lagi, usahakan menulis sampai 700 kata dan maksimum 1000 kata. Dan setelah itu, kirimkan langsung ke media yang dituju. Jangan pernah merasa tidak pede. Anda dan redaktur media tsb. kan tidak kenal. Mengapa mesti malu mengirim tulisan? Kirim saja dahulu, dimuat tak dimuat urusan belakangan. Keep in mind: Berani mengirim tulisan ke media adalah prestasi dan mendapat satu pahala. Tulisan dimuat di media berarti dua prestasi dan dua pahala. Seperti kata penulis dan ustadz KBRI, Rizqon Khamami.
Rendah Hati dan Sifat Kompetitif Apa hubungannya menulis dengan kerendahan hati? Menulis membuat kita menjadi rendah hati, tidak sombong. Karena ketika kita menulis dan tidak dimuat, di situ kita sadar bahwa masih banyak orang lain yang lebih pintar dari kita. Ini terutama bagi rekan-rekan yang sudah menjadi dosen yang di mata mahasiswa-nya mungkin sudah paling ‗wah‘ sehingga mendorong perasaan kita jadi ‗wah‘ juga alias ke-GR-an. Nah, menulis dan mengririm tulisan ke media membuat kita terpaksa berhadapan dengan para penulis lain dari dunia dan komunitas lain yang ternyata lebih pintar dari kita yang umurnya juga lebih muda dari kita. Di situ kita sadar, bahwa kemampuan kita masih sangat dangkal. Kita ternyata tidak ada apa-apanya. Ketika kita merasa tidak ada apa-apanya, di saat itulah sebenarnya langkah awal kita menuju kemajuan. Kita juga akan terbiasa menghargai orang dari isi otaknya bukan dari umur atau senioritasnya apalagi jabatannya. Di sisi lain, membiasakan mengirim tulisan ke media membuat sikap kita jadi kompetitif. Sekedar diketahui, untuk media seperti KOMPAS, tak kurang dari 70 tulisan opini yang masuk setiap hari, dan hanya 4 tulisan yang dimuat. Bayangkan kalau Anda termasuk dari yang empat itu. Itulah prestasi. Dan dari situlah kita juga belajar menghargai prestasi dan keilmuan serta kekuatan mental juara seseorang.
Aku Tak Bakat Menulis..? Itulah yang terpikir di benak saya saat saya merasa sangat kesulitan memulai menulis. Itu terjadi pada masa saya duduk di bangku SD. Sungguh sulit menyusun satu paragraf karangan yang diminta guru SD itu, sementara teman sebangku saya dengan ringan membuat beberapa paragraf dalam waktu singkat. ―Aku tidak punya bakat menulis.‖ Pikiran itu tanpa sadar keluar dari benak saya. Tentu saja pikiran itu wajar, kalau saya berbakat tentunya saya akan mudah menulis, bukan? Padahal, saya termasuk salah satu anak kecil yang selalu ingin dapat menulis. Setiap saya membaca majalah anak-anak seperti Bobo, si Kuncung, dll, saya melihat dengan penuh antusias artikel yang ditulis oleh anak-anak seusia saya. Saya pikir, kalau anak-anak itu bisa nulis mengapa saya tidak? Tapi, gimana yah caranya? Sebenarnya saya termasuk anak yang cukup beruntung karena saya mendapat perhatian cukup dari kakak-kakak saya (saya nomor 5 dari 10). Waktu saya SD, kakak saya yang tertua yang waktu itu sudah SMP rajin membelikan saya berbagai macam buku komik (silat dan kisah-kisah para Nabi), majalah anak-anak dan bahkan majalah serius seperti Tempo, dll. Semuanya buku bekas, karena ekonomi kami memang pas-pasan walaupun tetap selalu kami syukuri karena masih banyak yang jauh lebih pas-pasan dari kami. Seperti yang saya tulis di sini, saya di ―rekayasa‖ oleh kakak untuk rajin membaca tidak hanya bacaan normal umumnya anak-anak, tapi juga bacaan orang ―dewasa‖ seperti majalah-majalah berita serius, buku-buku berat yang biasa dibaca anak kuliah, dll. Ternyata, gabungan antara determinasi ingin menulis yang tetap berkobar di hati saya plus banyaknya membaca telah membuat saya, si Fatih kecil yang tak bakat menulis itu, mulai dapat merangkai kata sedikit demi sedikit. Kepuasaan, rasa syukur dan rasa bangga–walaupun sejenak–yang sulit diutarakan dengan kata-kata terjadi saat tulisan pertama saya muncul di harian Republika pada saat saya kuliah semester pertama dan tulisan resensi buku dimuat di AULA sebuah buletin terbitan Surabaya. Namun demikian, jalan kepenulisan tidak otomatis mulus. Jalan ke depan tetap terjal dan memerlukan determinasi tinggi untuk tetap berkompetisi dengan penulis
lain agar tulisan kita dapat dimuat di media cetak. Tulisan pernah dimuat bukan berarti otomatis tulisan-tulisan berikutnya akan langsung diterima redaksi. Api kompetisi harus tetap menyala, determinasi harus tetap tinggi dan ketegaran hati harus tetap dijaga untuk selalu menyiapkan mental tak kala tulisan demi tulisan kita ditolak redaksi. Menulis tak beda dengan kompetisi olahraga. Orang sekaliber Roger Federer dalam dunia tenis tetap harus berkeringat untuk menjaga reputasi dan selalu kompetitif dan tetap tegar kala sesekali mengalami kekalahan. Dalam kompetisi yang fair, jiwa yang lemah yang gampang putus asa dan patah arang tidak akan mendapatkan tempat. Dan, menurut saya, inilah esensi kunci sukses apapun tujuan yang ingin Anda capai, termasuk dalam bidang menulis.
Menulis Blog Menulis di blog terkesan lebih mudah. Begitu Anda menulis, tulisan langsung dimuat. Ya maklumlah blog milik sendiri. Tapi untuk menjadi seorang blogger yang mendapat respek, dan memiliki reputasi Anda harus menulis dengan isi yang baik, inspiratif dan mencerahkan dengan never-give-up spirit. Jangan gampang kecewa karena tulisan Anda kurang mendapat perhatian, misalnya. Tulisan bagus dan posting yang konsisten dan teratur akan menarik pembaca setia yang teratur berkunjung ke blog Anda.
Menulis Artikel Bahasa Inggris Menulis artikel dalam bahasa Inggris tidaklah berbeza. Tentu saja syarat dasar yakni kemampuan berbahasa Inggris harus dikuasai. Namun demikian, seberapa batas ―mampu‖ dan ―belum mampu‖ itu sangatlah relatif. Orang yg berkepribadian pesimis cenderung understimate (merendahkan) kemampuan diri, sementara yg sangat optimis cenderung overestimate (meninggikan kemampuan diri di atas fakta). Untuk itu, salah satu test kemampuan bahasa Inggris Anda adalah dengan mengirim tulisan artikel ke media massa koran berbahasa Inggris (lihat daftar email media berbahasa Inggris di dalam negeri dan luar negeri di bagian bawah tulisan ini).Aturan teknis pengiriman artikel op-ed pada dasarnya tidak berbeda dg versi bahasa Indonesia kecuali satu: jangan mengirim tulisan bahasa Inggris dalam bentuk attachement, terutama ini berlaku bagi media luar negeri.