Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
BANTEN MENUJU ERA KETERBUKAAN INFORMASI: Best Practice Pembentukan Komisi Informasi Provinsi Ismanto Program Studi Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Keterbukaan informasi adalah bagian dari hak azasi manusia, yang dibutuhkan guna mewujudkan kedaulatan rakyat secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, keterbukaan informasi telah menjadi keniscayaan bagi negara-negara demokrasi, dimana partisipasi rakyat sangat dibutuhkan pada satu sisi, serta transparansi dan akuntabilitas dituntut untuk diwujudkan dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Peran pemerintah yang tidak lagi menjadi agen tunggal dalam pemerintahan dan pembangunan juga menempatkan masyarakat dan sektor privat pada posisi yang makin setara, sehingga keterbukaan informasi menjadi kata kunci dalam mewujudkan partisipasi dan akuntabilitas tersebut. Setelah menunggu lebih dari sepuluh tahun, Indonesia kini telah memiliki Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dengan diundangkannya UU Nomor 14/2008. Namun demikian, butuh waktu dua tahun transisi untuk diterapkannya UU ini, mengingat kesiapan dan sejumlah kekhawatiran yang mengiringi lahirnya UU ini, terutama di daerah. Mindset ketertutupan yang masih mewarnai pemerintahan daerah adalah tantangan yang berat dalam implementasi UU ini. Terbukti, hingga kini baru enam provinsi saja yang telah membentuk dan memiliki Komisi Informasi Publik sebagai salah satu instrumen penegakan hak masyarakat atas informasi publik di daerah. Provinsi Banten patut berbangga, karena dari 33 provinsi di Indonesia Banten adalah provinsi kelima yang berhasil membentuk komisi informasi dimaksud. Kendati butuh waktu cukup lama untuk mewujudkannya serta tantangan yang cukup berat, Banten kini telah memasuki era keterbukaan informasi, yang dengannya diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitasnya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
. Kata Kunci: transparansi, akuntabilitas pengawasan masyarakat (social control). Lebih lanjut, UU KIP merupakan jaminan konstitusional bagi hak azasi warga negara, mengingat bahwa bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik. Menyadari sepenuhnya urgensi UU KIP tersebut, dipandang perlu untuk menindaklanjutinya bagi implementasinya di daerah, khususnya dalam rangka menjalankan amanat UU tersebut untuk membentuk Komisi Informasi Daerah (KID) Provinsi Banten. Mengingat bahwa eksistensi KIP bukan sama sekali domain pemerintah, maka keterlibatan masyarakat dalam pembentukannya tentu akan menjadi nilai positif dalam membangun kepercayaan dan kemitraan antara masyarakat dan pemerintah daerah. KEBEBASAN INFORMASI SEBAGAI HAK AZASI Hak atas informasi (right to know) merupakan bagian tak terpisahkan dari freedom of expression yang telah menjadi salah satu isu utama para perumus Deklarasi Umum tentang Hak Azasi Manusia. Majelis umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bahkan menilai bahwa hak ini memiliki peran yang sangat penting bagi perjuangan hak-hak azasi lainnya, sehingga memiliki karakter sebagai fundamental right. Karena pertimbangan
PENDAHULUAN Tak banyak orang yang menyadari, bahwa lahirnya UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada tanggal 30 April 2008 lalu tak lepas dari kontribusi Provinsi Banten di dalamnya. Tidak langsung memang, namun eksistensi dan keberhasilan dari Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) di Kabupaten Lebak diakui secara nasional sebagai salah satu best practice yang mendasari kelahiran UU tersebut. Kenyataan ini tentu sangat membanggakan, terutama karena 3 (tiga) alasan mendasar. Pertama, karena KTP justru lahir jauh sebelum UU KIP dilahirkan, di tengah diskursus pro dan kontra urgensi Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) di awal era reformasi. Kedua, KTP merupakan salah satu komisi informasi pertama yang lahir di Indonesia. Dan ketiga, KTP diakui secara nasional sebagai best practice yang sering menjadi rujukan bagi daerah lain dalam pembentukan komisi sejenis. Studi yang dilakukan oleh Sobari paling tidak mewakili kesimpulan obyektif tentang hal ini. i Dalam pada itu, lahirnya UU KIP merupakan kemajuan dalam upaya membangun tata pemerintahan yang baik di pusat maupun daerah. Keterbukaan informasi merupakan salah satu prasyarat terciptanya tata pemerintahan yang baik, yang sekaligus menjadi pen-stimuli berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, serta [175]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
itulah maka hak atas informasi kemudian dimasukkan ke dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Di dalam Pasal 19 DUHAM dinyatakan bahwa “Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.”ii International Covenant on Civil and Political Rightsiii - yang disahkan oleh Majelis Umum PBB melalui resolusi nomor 2200A (XXI) tanggal 16 December 1966 – kemudian memperkuat deklarasi 1948 di atas, yang terbuka bagi Negara manapun untuk ikut meratifikasinya. Indonesia termasuk Negara yang telah meratifikasi covenant ini melalui UU No.12 Tahun 2005. Walaupun jauh agak terlambat, dengan diratifikasinya kovenan ini maka Pemerintah Indonesia kini terikat pada kewajiban untuk menjalankan ketentuan-ketentuan tersebut. Kewajiban yang diembannya terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate).iv Namun demikian jauh sebelum Indonesia meratifikasi kovenan ini, Indonesia telah telah mencantumkan hak untuk memperoleh informasi ini dalam amendemen UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam pasal 28 Fv yang kemudian dimanifestasikan dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Pasal 14 UU ini menyatakan bahwa: (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Selanjutnya, jaminan terhadap kebebasan memperoleh informasi ini diwujudkan dalam satu UU tersendiri yaitu UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, kendati butuh waktu agak lama untuk merealisasikan UU ini mengingat cukup banyaknya respon pro dan kontra selama proses penyusunannya.UU KIP memberikan ruang yang cukup bagi terciptanya akuntabilitas publik karena mampu menjamin hak masyarakat untuk mengetahui rencana pembuatan program kebijakan dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan keputusan suatu kebijakan pemerintah yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Dengan demikian maka UU ini pun dapat bersinergi dengan upaya mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, transparan,
akuntabel, efektif, dan efisien yang dibangun dengan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik tersebut. UU KIP DAN GOOD GOVERNANCE Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 F menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh Informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan Informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. UUD bahkan menjamin hak untuk memperoleh Informasi sebagai hak asasi manusia yang wajib dilindungi sebagai salah satu wujud dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Sebagai fundamental right, hak atas informasi tidak tergolong dalam nonderogable rights yaitu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Dengan demikian, pelaksanaan hak ini dapat dibatasi dengan pertimbangan tertentu karena pelaksanaan atas hakini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, yang dengannya dapat dikenakan pembatasan tertentu. Itu sebabnya prinsip maximum acces, limited exemption digunakan dalam UU ini disamping metode consequential harm, balancing public interest, dan pembatasan waktu kerahasiaan yang digunakan dalam UU ini untuk mengatur informasi-informasi yang dapat dikecualikan. Untuk memberikan jaminan terhadap semua orang dalam memperoleh Informasi, telah dibentuk undang-undang yang mengatur tentang keterbukaan Informasi Publik. Lahirnya UU ini diyakini sebagai sarana penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang terbuka, yang menjamin hak atas Informasi bagi seluruh warga masyarakat. Di samping itu, lahirnya UU ini juga didasari oleh keyakinan bahwa hak setiap Orang untuk memperoleh Informasi juga relevan untuk meningkatkan kualitas pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik. Partisipasi atau pelibatan masyarakat tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan Informasi Publik. Di sisi lain, dengan jaminan keterbukaan informasi publik diharapkan badan-badan publik termotivasi untuk bertanggung jawab dan berorientasi pada pelayanan rakyat yang prima. Dengan demikian, dalam jangka panjang dapat berkontribusi bagi terwujudnya pemerintahan yang terbuka, bersih, dan berwibawa (good governance) yang bersendikan pada prinsip-prinsip: partisipasi, rule of law, transparansi, responsif, berorientasi pada consensus, kesetaraan, efektif & efisien, akuntabilitas, dan visi strategis.vi Masyarakat dunia saat ini telah mencapai satu kesadaran umum bahwa antara pembangunan, hak azasi manusia, dan good governance sebenarnya memiliki relevansi dan korelasi yang sangat kuat. [176]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Tidak ada pembangunan tanpa penghormatan terhadap HAM. Tidak ada akan ada penghormatan terhadap HAM tanpa pemerintahan yang baik. Dan tidak akan ada pemerintahan yang baik tanpa ada pembangunan terhadap manusia karena pemerintahan yang baik senantiasa membutuhkan partisipasi warga negaranya, transparansi, akuntabilitas, dan kesetaraan setiap warga Negara di dalam hokum dan pemerintahan tersebut. Inilah sesungguhnya benang merah yang nyata antara ketiganya, yang kendati muncul dalam proses sejarah yang berbeda dan dipelajari sebagai teori yang berbeda-beda dan mungkin dalam disiplin yang berbeda, namun ketiganya bermuara pada satu kepentingan yang sama yang menempatkan manusia sebagai fokus utamanya, karena pembangunan, HAM, dan good governance secara konvergen memiliki “share the common tenet of putting people at the center of their agenda”.
ini terasa sangat lambat. IPM misalnya, adalah bukti sinyalemen ini. Banten yang tahun 2002 berada pada peringkat 11 nasional justru kini terpuruk di peringkat 23 dengan IPM. Sementara Bangka Belitung yang awalnya pada peringkat 20 kini berhasil duduk bertengger di peringkat 10 (2009). Diantara 7 provinsi baru, Banten hanya berhasil meningkatkan IPM-nya sebesar 3,96 poin selama periode 2002-2010; jauh dibawah Bangka Belitung yang mencapai 7,15; Gorontalo yang mencapai 5,69 poin, Papua Barat yang mencapai 5,58 poin, Sulawesi Barat yang mencapai 5,18 poin, serta Kepulauan Riau yang mencapai 4,54 poin. Banten hanya sedikit lebih baik dari Provinsi Maluku Utara berhasil menaikkan IPM-nya sebesar 3,03 poin. Dalam hal pengentasan kemiskinan, diantara 7 provinsi baru tersebut Banten juga menunjukkan gejala yang sangat tidak memuaskan. Gorontalo tercatat sebagai Provinsi yang paling berhasil menurunkan angka kemiskinannya, dengan besaran 8,94% dari 32,13% pada tahun 2002 menjadi 23,19% pada tahun 2010, disusul Sulawesi Barat yang berhasil menurunkan 7,22%; Papua Barat sebesar 6,64% ; Bangka Belitung (5,11%), Maluku Utara (4,61%), dan Kepulauan Riau (2,95%). Banten sendiri hanya berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar 2,06% dalam kurun waktu 20022010, dari 9,22% menjadi 7,16%. Pengentasan adalah prestasi terburuk provinsi Banten. Dalam periode 2002-2010 Banten justru „kewalahan‟ mengatasi melonjaknya angka pengangguran. Dengan trend negatif sebesar -3,36 berarti terjadi kecenderungan peningkatan angka pengangguran setiap tahunnya, dari 10,32% pada tahun 2002 menjadi 13,68% pada tahun 2010. Berbeda dengan gorontalo yang dalam kurun yang waktu sama secara fantastis mampu menekan angka penganggurannya hingga 7,28%. Demikian juga Bangka Belitung yang turun sebesar 8,86%. Perbandingan yang kurang lebih sama juga terjadi pada indikator Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Banten yang rata-rata berada di bawah 6%, jauh tertinggal dibandingkan Gorontalo yang konsisten rata-rata di atas 7%, tahun 2010 bahkan mencapai 7,63% sementara Banten hanya mencapai 5,94%, padahal Banten memiliki potensi SDA yang jauh berlimpah serta posisi geostrategis yang jauh lebih baik dibandingkan dengan provinsi lainnya. Yang menarik dari kenaikan LPE di Banten adalah fakta kurang berkorelasinya peningkatan LPE tersebut dengan turunnya angka pengangguran dan kemiskinan. Analisis terhadap kinerja LPE terhadap pengurangan kemiskinan dan pengangguran sepanjang 5 tahun terakhir membuktikan bahwa secara statistik kontribusi 1% pertumbuhan ekonomi di Banten ternyata hanya mampu menyediakan lapangan kerja baru untuk sekitar 18.000 tenaga kerja saja. Artinya bila LPE saat ini (2010) adalah 5,94%, maka LPE tersebut hanya mampu
ISU KETERBUKAAN DI PROVINSI BANTEN Tak terasa, telah sepuluh tahun lebih perjalanan Provinsi Banten sejak dibentuk melalui Undangundang No. 32 Tahun 2000 pada tanggal 17 Oktober tahun 2000. Cukup banyak kemajuan yang telah dicapai sepanjang 9 tahun perjalanan Provinsi Banten tersebut, kendati tidak berarti tidak terdapat kekurangan dan kelemahan sama sekali didalamnya. Berbagai prestasi telah dicapai yang mengindikasikan sinyal-sinyal positif terhadap keberlangsungan pembangunan ke arah yang lebih baik di masa mendatang, seperti: pendapatan daerah yang terus bertumbuh, IPM yang terus bergerak naik, IPD yang terus meningkat, angka pengangguran yang dapat ditekan, serta IPM-G dan IDG yang juga terus meningkat. Termasuk juga kapasitas resillience perekonomian daerah yang masih dapat bertahan di tengah terpaan krisis yang cukup dahsyat. Pencapaian kuantitatif ini merupakan keberhasilan yang patut diapresiasi sebagai wujud pengakuan kita terhadap kesungguhan ikhtiar pemerintah beserta segenap jajaran birokrasi pemerintah Provinsi Banten dalam mewujudkan komitmen pengabdiannya bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat Banten. Seluruh kemajuan tersebut tak diragukan merupakan hasil karya dari kerjasama pemerintah, sektor swasta, dan masyarakatnya, karena tanpa ketiganya maka pembangunan tidak akan berjalan dan mencapai tujuannya. Namun demikian, beberapa kelemahan nampaknya patut didiskusikan secara terbuka guna meningkatkan efektivitas pemerintahan dan pembangunan. Sejumlah data sepanjang dasawarsa terakhir masih menunjukkan lemahnya kinerja dan percepatan pembangunan di provinsi Banten dalam mencapai target pembangunan yang telah ditetapkan. Dibandingkan dengan provinsi yang seusia dengannya, kemajuan yang dicapai oleh Banten hari [177]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
menyediakan lapangan kerja bagi 106.920 tenaga kerja, padahal jumlah penganggur saat ini mencapai 726.377 orang. Bahkan, angka pengangguran faktanya terus bertambah karena rata-rata tambahan angkatan kerja baru yang mencapai 115.543 orang per tahun tidak diimbangi dengan pertambahan kesempatan kerja yang hanya tersedia sebanyak 99.976 orang per tahun. Setiap 1% pertumbuhan ekonomi di Banten juga ternyata hanya mampu menurunkan rata-rata 0,03 persen jumlah penduduk miskin. Di samping itu, pertumbuhan ekonomi yang terjadi ternyata justru makin menciptakan ketimpangan yang nyata antar kabupaten/kota di Banten. Secara statistik, setiap 1% LPE justru meningkatkan besaran indeks ketimpangan sebesar 0,19%. Artinya ada kecenderungan yang sangat nyata bahwa daerah yang maju semakin maju sementara daerah yang kurang maju terus tertinggal. Fakta ini paling tidak membuktikan isu disparitas Utara-Selatan yang masih relevan hingga kini, yang juga membuktikan stigma yang tak banyak jauh berubah dalam dasawarsa terakhir ini. Menurut analisis ekonom Dahnil Anzhar, LPE yang moderat pada angka 5% masih sangat jauh dibawah potensi pertumbuhan yang harusnya bisa dicapai oleh Banten. Harusnya dengan geostrategisnya, SDA yang luar biasa, serta supply tenaga kerja yang besar, Banten bisa mencapai angka LPE di atas Gorontalo. Faktanya justru terbalik karena adanya barrier inefisiensi yang tinggi, minimnya stimulus pemerintah terhadap dunia usaha, infrastruktur jalan dan listrik yang buruk, dan birokrasi pemerintah yang tak kunjung berubah. Kondisi ini kemudian memparah kesenjangan ekonomi antar daerah. Data National Human Development Resources (NHDR) UNDP, tahun 2009 misalnya membuktikan kontribusi yang tidak seimbang entitas ekonomi Tangerang yang berkontribusi sebesar 61% terhadap PDRB Provinsi Banten, sedangkan Kabupaten/Kota lain hanya menyumbang sisanya. Fakta-fakta di atas tentu juga menemukan relevansinya dengan sejumlah kenyataan yang juga masih memprihatinkan, misalnya : masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan yang masih mencapai 200an kasus/100.000 kelahiran; Angka Kematian Bayi (AKB) masih mencapai 30an kasus/1.000 kelahiran; 253 desa yang masih tertinggal; layanan pendidikan dan kesehatan yang kurang memadai, kesenjangan sosial antar daerah yang makin lebar, infrastruktur yang sangat buruk (63% rusak); kualitas pekerjaan pembangunan yang buruk, serta arah pembangunan yang distortif oleh sejumlah proyek mercusuar dan atau proyek pesanan yang muncul „tiba-tiba‟. Semuanya membuktikan policy mismatch yang nyata antara apa yang dibutuhkan masyarakat dengan apa yang dilakukan pemerintahnya.
Tingginya korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sebagaimana dilansir oleh KPK melalui survey Integritas Pemerintahan Daerah yang rendah (5,66), serta Transparansi Internasional Indonesia melalui Indeks Persepsi Korupsi yang cukup tinggi (4,87), merupakan buah dari rendahnya akuntabilitas dalam penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan. Sejumlah perkara korupsi yang menjerat beberapa pejabat pemerintah hanyalah puncak gunung es dari fenomena korupsi, kolusi, dan nepotisme yang faktanya mungkin jauh lebih menggurita dibanding apa yang nampak di permukaan. Kinerja provinsi yang dinilai buruk oleh Kementerian Menteri Dalam Negeri (2010) - dengan skor 44,57 dan peringkat keenam dari tujuh provinsi baru di Indonesia - juga merupakan bukti nyata dari distorsi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Banten selama dasawarsa ini. Sejumlah kelemahan tersebut tidak sekedar menggambarkan persoalan dan kendala-kendala umum yang dihadapi birokrasi, namun lebih dari itu mengindikasikan lemahnya beberapa fundamen pemerintahan yang baik. Secara hipotetis kelemahan tersebut dapat dikaitkan dengan partisipasi masyarakat yang tidak optimal, yang diakibatkan oleh keterbukaan yang belum ”diimani” oleh jajaran pemerintahan, swasta, dan masyarakat yang masih terbelenggu oleh implementasi nilai-nilai lama yang kurang relevan, nilai-nilai tabu yang dimaknai secara salah, serta belenggu persaingan antarkepentingan politik yang menguat sejak liberalisasi politik mewabah pasca reformasi tahun 1998. Akibatnya, akuntabilitas masih menjadi sekedar wacana daripada praktek yang nyata dalam kehidupan bernegara. Akuntabilitas disini tentu tidak sekedar akuntabilitas teknis/ administratif semata sebagaimana diatur dalam pedoman penyusunan LAKIP, namun juga akuntabilitas strategis/manajerial, akuntabilitas legal, akuntabilitas politik, akuntabilitas moral, dan tentu akuntabilitas spiritual yang berdimensi vertikal dan transedental. Beberapa indikasi dari kurang ”diimani”-nya isu keterbukaan itu nampak dari beberapa sinyalemen berikut ini: 1. Masih cukup tingginya intensitas keluhan dari kalangan peneliti, pers, mahasiswa, dan LSM yang kesulitan dalam mengakses informasi publik terkait dengan dokumen kebijakan, perencanaan dan laporan-laporan kinerja badanbadan publik; 2. Relatif rendahnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, yang direpresentasi oleh keterlibatan mereka dalam berbagai musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat desa, kecamatan, hingga provinsi; 3. Tingginya kecenderungan mobilisasi daripada partisipasi dalam berbagai forum pertemuan [178]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta BANTEN 0.7
0.6
0.6 0.42
0.39
0.44
0.4
0.47
0.33
0.38
0.39
Pengendalian Korupsi
0.4
Rule of Law
0.5
INDEKS
0.44
0.3 0.2
Kepercayaan
Kualitas PERDA
Kapasitas Menyampaikan Info
Transparansi
Partisipasi
Stabilitas Politik
0
Inovasi
0.1
Efektivitas Pemerintah
yang terbuka bagi publik, seperti: sosialisasi, diskusi, seminar, dll; 4. Belum digunakannya hak jawab secara efektif baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat dalam mengklarifikasi isu tertentu yang dianggap merugikan pihak-pihak terkait; 5. Belum mentradisinya forum ”public hearing” maupun konferensi pers di kalangan badanbadan publik maupun masyarakat; 6. Cukup tingginya aksi-aksi massa yang lebih disebabkan oleh tersumbatnya saluran komunikasi dan informasi; 7. Kurang optimalnya komunikasi dan koordinasi antarlevel pemerintahan di Provinsi Banten sehingga memunculkan isu dishamoni hubungan antarlevel pemerintahan tersebut; 8. Kurang responsifnya jajaran pemerintahan di Banten pada umumnya dalam mensikapi isu keterbukaan informasi yang telah bergulir 10 tahun lalu, kendati Banten telah memiliki Komisi Transparansi dan Partisipasi di Lebak sejak tahun 2005 serta kendati UU KIP telah dilahirkan pada tahun 2008. Persiapan yang sangat minim untuk mengimplementasikan UU tersebut, serta sosialisasi yang tidak cukup efektif menyebabkan nampak nyatanya ”kegagapan” di kalangan aparatur pemerintah dalam merespon UU ini saat mulai berlaku pada awal Mei 2010 lalu; Sejumlah sinyalemen di atas nampaknya cukup relevan dengan salah satu riset yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) yang dirilis pada tahun 2007. Riset yang bertujuan mengukur ‟Governance Assesment in Banten Province’ menghasilkan kesimpulan yang agak mengejutkan, dimana terdapat sejumlah indikator yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa Banten tengah bergerak ke arah bad governance bukan good governance. Beberapa indikator itu antara lain: indeks efektivitas pemerintahan yang hanya 0,39 (dalam skala 1); indeks inovasi pemerintah 0,42; indeks partisipasi 0,4; indeks transparansi 0,33; indeks kapasitas menyampaikan informasi 0,44; indeks kualitas Perda 0,47; indeks rule of law 0,38; indeks pengendalian korupsi 0,39; indeks kepercayaan publik 0,44; dan indeks stabilitas politik 0,6. Nyaris seluruh indikator good governance tersebut berada di bawah indeks 0,5 yang berarti dalam kondisi buruk hingga sangat buruk. Grafik berikut ini menggambarkan hasil governance assesment sebagaimana dipapar di atas.
ISBN: 978-602-96848-2-7
INDIKATOR
Sumber: PSKK UGM, 2008 Riset juga menyimpulkan 2 instansi non pemerintah yang paling tidak dipercaya yaitu: parpol (79,78%) dan asosiasi pengusaha (74,16%), di samping 2 instansi non pemerintah yang paling terpercaya yaitu: perguruan tinggi (78,65%) dan media massa (75,28%). Secara khusus beberapa indikator keterbukaan juga menunjukkan penampakkan indeks yang relatif rendah, seperti: akses terhadap informasi (0,32), partisipasi (0,4), keterbukaan dalam kebijakan (0,35), keterbukaan dalam rekrutmen (0,28), keterbukaan dalam keputusan tender (0,41), dan transparansi (0,33). Informasi ini dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Merefleksikan fakta-fakta di atas serta menyadari sepenuhnya urgensi keterbukaan informasi bagi kemajuan masyarakat, maka lahirnya UU KIP merupakan angin segar yang dapat membuka ruang partisipasi yang jauh lebih besar bagi masyarakat. Oleh karenanya, berbagai diskusi dalam rangka sosialisasi telah dilakukan guna menyambut UU KIP ini. Sejumlah LSM, lembaga riset, pers, tokoh masyarakat, dan organisasi mahasiswa) gencar melakukan sosialisasi dan mewacanakan UU KIP ini [179]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
sejak awal tahun 2009. Tim Persiapan pembentukan Komisi Informasi Publik (TP-KIP)vii dibentuk sebagai organisasi taktis yang bersifat ad-hocviii yang mewadahi elemen-elemen masyarakat tersebut guna mendorong pemerintah untuk proaktif dalam menyambut pemberlakuan UU KIP ini dengan melakukan percepatan pembentukan Komisi Informasi di Provinsi Banten. Wacana percepatan ini saat itu menjadi sangat penting bagi Banten, karena didorong oleh 4 (empat) kepentingan besar untuk mempercepat pembentukan komisi tersebut, yaitu: (1) mempertahankan image sebagai Provinsi pertama yang membentuk Komisi Informasi Provinsi, melengkapi image provinsi pertama yang memiliki Komisi Transparansi dan Partisipasi di Kabupaten Lebak; (2) mempertahankan prestasi sebagai Provinsi terdepan dalam implementasi UU, sebagaimana prestasi sebelumnya sebagai Provinsi pertama dan satu-satunya yang memiliki Perda Pengarusutamaan Gender; dan (3) mengubah stigma provinsi Banten yang tertutup, tidak transparan, dan tertinggal dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan (4) membangun best practice implementasi UU KIP dengan mengawalinya melalui pembentukan Komisi Informasi Provinsi yang melibatkan elemen masyarakat sipil dan pemerintah secara sinergis dan kemitraan yang setara. Dan untuk ke-empat obsesi itulah percepatan pembentukan Komisi Informasi Provinsi Banten dipandang penting dan strategis bagi kepentingan Provinsi Banten saat itu. Percepatan pun sangat memungkinkan (saat itu) mengingat beberapa faktor obyektif yang dimiliki Provinsi Banten sebagai berikut: 1. Percepatan pembentukan Komisi Informasi Provinsi Banten sangat memungkinkan mengingat 3 (tiga) pertimbangan empiris sebagai berikut: (1) Banten telah memiliki pengalaman pembentukan Komisi sejenis, dan berhasil dengan baik; (2) Lembaga teknis daerah terkait - dalam hal ini adalah Dinas Perhubungan, Informasi, dan Komunikasi - juga telah memiliki pengalaman memfasilitasi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) dan berhasil dengan sangat baik; dan (3) Banten memiliki best practice pembentukan Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) di Kabupaten Lebak, yang juga diakui sangat berhasil. 2. percepatan pembentukan Komisi Informasi Provinsi sangat bernilai strategis dalam mempertahankan citra positif Banten, khususnya terkait dengan eksistensi UU tersebut; 3. Berbagai pengalaman pembentukan komisikomisi daerah di provinsi Banten dapat dielaborasi guna membentuk Komisi Informasi Provinsi dengan biaya yang murah, proses yang cepat, dan hasil yang sesuai dengan tujuannya.
Berbekal sejumlah modal sosial tersebut, TP-KIP melakukan advokasiix proses pembentukan komisi informasi. TP-KIP juga melakukan diskusi, kajian dan fasilitasi guna percepatan pembentukan komisi informasi di daerah.x Komunikasi dengan Komisi Informasi Pusat juga dilakukan guna mengefektifkan proses percepatan tersebut.xi TP-KIP menjadi satu-satunya organisasi yang aktif mengawal proses pembentukan komisi informasi, sehingga hampir seluruh tahapan seleksi yang diselenggarakan oleh tim seleksi nyaris tidak luput dari pengawasan dan kontribusi dari TP-KIP. xii
Penutup Terbentuknya Komisi Informasi Provinsi Banten disadari bukanlah tujuan, namun sarana mewujudkan keterbukaan informasi yang nyata bagi masyarakat yang memungkinkankan terbangunnya tata pemerintahan yang baik. Karenanya, terbentuknya KIP tidak dengan serta merta menjamin keterbukaan di Provinsi Banten karena sejumlah kendala struktural dan kultural diyakini tidak banyak berubah. Mindset ketertutupan yang masih menjadi paradigma kebanyakan elite pemerintahan, politik, dan birokrasi merupakan tantangan yang masih akan dihadapi. Di sisi lain, kesadaran masyarakat terhadap hak-hak sipilnya yang masih rendah dalam pemerintahan dan pembangunan juga merupakan kendala lain yang juga diyakini masih menghambat iklim keterbukaan di daerah. Karena itu, peran masyarakat kelas menengah masih diperlukan guna menjadi trigger perubahan. TP-KIP yang telah ”berhasil” memainkan peran sejarahnya masih dibutuhkan guna mengoptimalkan peran komisi informasi sekaligus mendorong kesadaran politik warga negara. Dan karena itu pula, transformasi TP-KIP menjadi Masyarakat Informasi Banten (MIB) merupakan keputusan strategis guna terus mewacanakan dan mewujudkan keterbukaan untuk terbangunnya tata pemerintahan yang baik di daerah. Semoga. Daftar Bacaan http://mirror.undp.org/magnet/policy/chapter1.htm# b http://www.radarbanten.com/ Kasim, Ifdhal. “Kebebasan Memperoleh Informasi dan Rahasia Negara”. Makalah pada Diskusi Terbuka RUU Rahasia Negara dan Ancaman Kebebasan Informasi Publik, Hotel IBIS Tamarin, 18 Februari 2009. Patinassarany, Daan. Kusuma, Chandra. ”Transparansi, Partisipasi, dan Pelayanan Publik di Kabupaten P2TPD, Temuan GDS Tahun 2006”. DSF Working Paper, 2007 Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada. ”Governance Assesment in Banten Province”. Working Paper, 2008 [180]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Sobari, Wawan. Jurnal YIPD. Tahun V No. 3, Juli September 2006. http://www.yipd.or.id/publikasi/index.php?act= ndetail&sub=article&p_id=41 Universal Declaration of Human Rights, Article 19th. http://www.un.org/en/documents/udhr/ UU Nomor 39/1999 Tentang Hak Azasi Manusia UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966 UU Nomor 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Biodata Penulis Penulis lahir di Tanjung Karang 36 tahun silam, menikah dan memiliki 2 putra. Hobi membaca, bermusik, dan fishing. Pernah memimpin Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Serang tahun 2004, Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Banten tahun 2006, Konsultan Perencana pada beberapa instansi pemerintah hingga kini, Sekretaris Eksekutif Dewan Riset Daerah Provinsi Banten tahun 2005-2008, Pembantu Dekan II FISIP UNTIRTA 2007-2009, dan lain-lain. Pembicara dan trainer pada sejumlah seminar, lokakarya, dan training. Host pada acara dialog interaktif “Sudut Pandang” di Banten Tv. Sehari-hari berkhidmat sebagai guru pada program studi Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, serta aktif menulis dan meneliti untuk pengembangan ilmu sosial dan politik maupun untuk kepentingan kebijakan publik. Ketua Perkumpulan (NGO) Masyarakat Informasi Banten, 2011-sekarang. Korespondensi dapat dilakukan melalui
[email protected] atau fesbuk: Romo Gandung Ismanto
iv
v
vi
vii
viii
i
Sobari, Wawan. Jurnal YIPD. Tahun V No. 3, Juli September 2006. http://www.yipd.or.id/publikasi/index.php?act=ndetail &sub=article&p_id=41 ii http://www.un.org/en/documents/udhr/. Article 19th Universal Declaration of Human Rights, declared by the General Assembly of the United Nations on December 10, 1948. iii Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik 1966 menjelaskan bahwa: “(1). Everyone shall have the right to hold opinions without interference. (2) Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice. (3) The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary: (a) For respect of the rights or reputations of others; (b) For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals.
ix
x
[181]
Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM RI, “Kebebasan Memperoleh Informasi dan Rahasia Negara”. Makalah disampaikan pada Diskusi Terbuka RUU Rahasia Negara dan Ancaman Kebebasan Informasi Publik, Hotel IBIS Tamarin, 18 Februari 2009. Pasal 28 F UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi denggan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Good governance is, among other things, participatory, transparent and accountable. It is also effective and equitable. And it promotes the rule of law. Good governance ensures that political, social and economic priorities are based on broad consensus in society and that the voices of the poorest and the most vulnerable are heard in decision-making over the allocation of development resources. http://mirror.undp.org/magnet/policy/chapter1.htm#b TP-KIP dibentuk secara resmi pada tanggal 2 Juli 2009 di kantor Banten Research and Development Support (BRDS) Cijawa, setelah melalui sejumlah diskusi dengan berbagai tokoh, jurnalis, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat. Pattiro adalah NGO yang paling awal mewacanakan keterbukaan informasi, dan sangat aktif dalam aktivitas TP-KIP. TP-KIP dipimpin oleh Gandung Ismanto, dan sejak itu TP-KIP aktif melakukan sosialisasi dan pendekatan khususnya kepada pemerintah provinsi agar proaktif dalam mensikapi berlakunya UU No.14/2008, khususnya dalam pembentukan Komisi Informasi Provinsi Banten. Ad hoc karena TP-KIP merupakan koalisi masyarakat sipil Banten yang bertujuan afirmatif untuk mempercepat dan mengawal proses pembentukan Komisi Informasi di Banten. Namun Pasca dilantiknya Komisi Informasi Provinsi Banten pada tanggal 24 Pebruari 2011, TP-KIP bertransformasi menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat berbadan hukum perkumpulan dengan nama Masyarakat Informasi Banten (MIB) pada tanggal 23 April 2011, dengan visi turut serta membangun tata pemerintahan yang baik di Provinsi Banten melalui penguatan masyarakat sipil dalam meningkatkan partisipasi publik dalam pemerintahan dan pembangunan. MIB juga melakukan kajian, penelitian, penerbitan, hingga advokasi dalam mewujudkan visi dan misinya. Advokasi dimulai melalui audiensi dengan sejumlah SKPD, dimulai dari: Dishubkominfo Provinsi Banten (7 Juli 2009), Bappeda Provinsi Banten (13 Juli 2009), dan Sekretaris Daerah Provinsi Banten (20 Juli 2009). Audiensi tersebut menghasilkan kesepahaman dan kesanggupan pemerintah provinsi untuk memfasilitasi anggaran untuk proses pembentukan Komisi Informasi di Banten secepat-cepatnya. Tanggal 25 Juli 2009 dilakukan diskusi dalam rangka penyusunan rancangan Kelompok Kerja Pembentukan Komisi Informasi. Tanggal 10 Agustus 2009 dilakukan fasilitasi awal rencana pembentukan komisi Informasi, dihadiri oleh Komisioner dari KI Pusat, Humas Provinsi Banten, Dishubkominfo, dan sejumlah wartawan, bertempat di RM. Sederhana.
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Tanggal 5 September 2009 dilakukan rapat teknis penyusunan persiapan pembentukan KI di kantor Kabid Kominfo, dilanjutkan tanggal 10 September 2009 di kantor Biro Humas Provinsi Banten guna menindaklanjuti pertemuan dengan Sekda Provinsi Banten. xi Pertemuan dengan KI Pusat banyak dilakukan, banyak secara formal maupun informal. KI Pusat bahkan menugaskan anggota TP-KIP (Agus Salim, Pattiro) untuk mewakili KI Pusat dalam Tim Seleksi KI Provinsi Banten. Nama-nama anggota Timsel yang lain (Dr. Ahmad Sihabudin, Eti Fatiroh, dan Rahmat Ginanjar) juga merupakan hasil dari usulan TP-KIP, setelah sejumlah nama yang diusulkan sebelumnya tidak disetujui oleh Pemprov. xii Baca rekaman berita di sejumlah media cetak dan online, antara lain: (1)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=61245 (2)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=61118 (3)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=54651 (4)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=60843 (5)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=59430 (6)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=57104 (7)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=61777 (8)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=57222 (9)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=61701 (10)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=55715 (11)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=56184 (12)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=56712 (13)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=55197. Diakses tanggal 16 Mei 2011, pukul 00.15 WIB
[182]