Rabu, 06 Agustus 2003
Bank Dunia Bantu Perpustakaan Sekolah dan Masyarakat Mataram, Kompas - Tiga provinsi, masing-masing Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan, dan Jawa Tengah, memperoleh bantuan Bank Dunia untuk pengembangan perpustakaan bagi sekolah dasar negeri dan masyarakat. Tujuannya, meningkatkan minat baca sekaligus budaya baca yang dimulai dari siswa sekolah dasar sebagai basis dalam proses kegiatan belajar-mengajar. "Proyek ini sasaran utamanya membentuk minat baca menjadi budaya baca," jelas Drs H Rachmat Natadjumena, Project Officer Library Development Project, pada acara rehat "Orientasi Perencanaan Tahunan Proyek Pengembangan Perpustakaan Umum dan Sekolah" Perpustakaan Nasional Republik Indonesia 2003, Selasa (5/8) di Mataram, NTB. Ratusan perpustakaan Menurut keterangan, ada 770 perpustakaan sekolah dan umum di tiga provinsi tersebut yang dikembangkan dengan bantuan Bank Dunia senilai 4,15 juta dollar AS (Rp 34 miliar). Dengan demikian, di tiap kabupaten dialokasikan dana untuk 25 perpustakaan SD dan 10 perpustakaan umum (masyarakat). Khusus di NTB, ada enam kabupaten yang mendapatkan bantuan proyek itu. Sebanyak 60 persen dari dana itu digunakan antara lain untuk membeli buku. Proyek itu berlangsung tiga tahun. Diharapkan, perpustakaan akan dimanfaatkan secara maksimal oleh siswa, guru, dan masyarakat. Menurut Rachmat, dana yang tersedia itu relatif kecil dibanding kebutuhan riil. Namun, hal itu diharapkan menjadi titik ungkit bagi tumbuh-kembangnya minat baca yang masih relatif rendah. Sekadar membaca Dikatakan, rendahnya minat baca terlihat dari berbagai survei. Hasil survei Unesco tahun 1992 menyebutkan, tingkat minat baca rakyat Indonesia menempati urutan 27 dari 32 negara. Sedangkan survei yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional tahun 1995 menyatakan, sebanyak 57 persen pembaca dinilai sekadar membaca, tanpa memahami dan menghayati apa yang dibacanya. Penelitian lain menyebutkan, kurang lima persen dari 148.000 SD negeri yang memiliki perpustakaan-di luar Madrasah Ibtidaiyah Negeri. Kalaupun SD itu punya perpustakaan dan buku-buku, ujar Rachmat, maka yang dimiliki sebatas buku paket yang hampir tidak disentuh, sementara perpustakaan itu dibuka saat jam istirahat. "Belum lagi kita bicara bagaimana membaca dengan benar maupun mengikuti tanda baca
dengan intonasi dan artikulasi yang baik," ucapnya. (RUL)
Pemerintah Perlu Lebih Banyak Subsidi Buku Pelajaran Budaya Pelajar Memfoto Kopi Literatur Pelajaran Bukan Kejahatan JAKARTA - Mahalnya harga buku merupakan salah satu sebab siswa dan mahasiswa memiliki budaya memfoto kopi buku pelajaran. Karena itu, pemerintah harus memberikan subsidi lebih besar untuk buku pelajaran sehingga terjangkau. Memfoto kopi buku pelajaran jangan dimasukkan sebagai bagian dari pelanggaran hak cipta. Demikian benang merah pokok pembicaraan Pembaruan dengan mahasiwa Trisakti, Asmawi, pengamat perbukuan Hari Tilaarso, dan Kepala Perpustakaan Universitas Nasional (Unas), Zainul Djumadi di Jakarta, Senin (4/8), tentang pemberlakuan UndangUndang Hak Cipta dikaitkan dengan budaya siswa dan mahasiswa memfoto kopi literatur. Menurut Asmawi, copyright adalah tameng bagi para intelektual dan seniman yang mengklaim dirinya sebagai pencipta ide dan kemudian disebarluaskan melalui barang cetakan dalam hal ini buku, Cd, kaset, artikel, cerpen, gambar, lukisan atau apa pun bentuknya. Tanpa copyright, mereka tidak akan dapat banyak uang. "Sejak Chester Carlson menciptakan mesin fotokopi, dunia seharusnya membuka matanya. Semua orang harusnya saling berbagi ide-ide. Bukan untuk mengklaim ide. Hari ini, semua sudah bisa digandakan. Kaset, Cd, buku, bahkan dombapun sudah pernah dikloning. Dengan demikian, bukan berarti memfoto kopi literatur bagi kepentingan pendidikan dilarang," ujarnya. Kenapa mahasiswa dan pelajar memfoto kopi, menurut Asmawi karena pelajar tidak memiliki kemampuan untuk membeli buku. Karena itu, subsidi buku yang diberikan pemerintah perlu lebih besar. Dan harus ada ketentuan atau peranti hukum yang menyebut bahwa untuk mahasiswa dan pelajar memfoto copy buku pelajaran sebanyak dua atau empat bab jangan dianggap sebagai pelanggaran. Buku Perpustakaan Sementara itu, Kepala Perpustakaan Unas, Zainul Djumadi menegaskan tidak berlebihan kalau dikatakan semua Perguruan Tinggi (PT) pasti punya perpustakaan dan setiap PT tentu tidak sama.
Buku-buku yang tersedia di perpustakaan itu pun berbeda-beda, ada yang kurang memadai, ada yang lengkap tetapi kurang ruangan sehingga lingkungan di situ tidak kondusif untuk membaca, dan sebagainya. Perpustakaan, lanjutnya, dikatakan lengkap bila di situ tersedia buku-buku berdasarkan judul buku yang diperlukan mahasiswa sesuai dengan perkembangan dan tuntutan bahan kuliah. Dikatakan memadai bila di situ tersedia buku-buku berdasarkan judul, dan jumlah setiap judul proporsional dengan jumlah mahasiswa di PT tersebut. Tidak kondusif karena lingkungan perpustakaan dan tata ruang di situ membuat mahasiswa tidak betah membaca, misalnya karena polusi suara (gaduh) atau dekat dengan jalan raya. Ada ruang perpustakaan yang kondusif tetapi koleksi bukunya tidak memadai dan tidak lengkap. Buku-buku yang disediakan cuma ala kadarnya. Perpustakaan seperti itu bisa dikatakan perpustakaan formalitas saja. Yang terakhir adalah perpustakaan yang kondusif dan koleksi bukunya lengkap dan memadai. Perpustakaan seperti itulah yang ideal. Menurut dia, kalau dirata-rata, mahasiswa Unas memang jarang datang ke perpustakaan karena setiap hari yang datang untuk pinjam atau membaca buku sangat sedikit. "Persediaan buku di sini lengkap dan memadai," kata Zainal sambil menunjukkan bukubuku standar dan up to date di perpustakaan itu. Beberapa Sebab Pakar pendidikan Hari Tilaarso mengatakan ada beberapa sebab mengapa minat baca mahasiswa rendah. Pertama, karena dosen mereka. Hampir semua dosen PT di Indonesia juga tidak kalah malas dengan mahasiswa dalam soal membaca. Sebagai bukti dosen malas membaca, ketika ia mengajar, tidak menguasai benar apa yang diajarkan sehingga dalam membuat soal-soal ujian pun tidak mengondisikan mahasiswa untuk membaca buku. "Bentuk dan substansi soal ujian yang dibuat itu lebih membuat mahasiswa malas membaca, bahkan lebih parah lagi memungkinkan mereka mencontek dan menjiplak," katanya. Dosen-dosen yang mengajar asal-asalan membuat mahasiswa tidak mencari tahu lebih banyak tentang apa yang mereka pelajari. Mahasiswa yang dikuliahi dosen yang tidak membaca buku adalah mahasiswa yang alergi dengan buku. Hari Tilaarso mengatakan, begitu banyak dosen malas membaca karena mereka adalah produk dari dosen-dosen yang malas membaca juga. Umumnya dosen-dosen PT di Indonesia direkrut dari perguruan tinggi yang sama sehingga hal itu tidak banyak membawa perubahan dalam cara belajar-mengajar mereka.
Kedua, karena persedian buku-buku tidak lengkap dan tidak memadai di samping kondisi perpustakaan yang tidak kondusif. Di negara lain seperti Malaysia dan Singapura, selain amat lengkap koleksi bukunya, jumlahnya juga jutaan. Ketiga, orangtua yang tidak mengajarkan anak mereka membaca. Bagaimana orangtua bisa mengajar anaknya membaca kalau mereka sendiri malas membaca. "Jarang keluarga-keluarga di Indonesia rumahnya memiliki perpustakaan. Yang ada cuma kursi mewah, lemari mewah, ukir-ukiran mewah," katanya. (AS/E-5) Rabu, 06 Agustus 2003
UU tentang Hak Cipta -- Para pengguna pun kini bersiap mengambil dua langkah guna menghindari ancaman UU tersebut. Langkah yang paling memungkinkan adalah "terpaksa" bernegosiasi dengan Microsoft, pemilik perangkat lunak yang kini paling banyak dibajak di Indonesia. Alternatif lainnya adalah beramai-ramai bermigrasi pada program-program "open source" seperti Linux yang bisa dipergunakan secara gratis. PEMBERLAKUAN UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta yang mulai efektif awal bulan ini membuat banyak orang ketar-ketir. Utamanya mereka yang bergerak pada bisnis perangkat lunak atau perusahaanperusahaan yang menggunakan konputer dalam menjalankan bisnisnya. Kegelisahan itu terutama karena adanya pasal khusus dalam UU tersebut yaitu Pasal 72 ayat 3 UU No. 19/2002 yang secara khusus menyoroti masalah pembajakan program komputer atau piranti lunak yang dikatagorikan sebagai tindakan pidana. Munculnya kegelisahan itu tentu saja amat beralasan. Karena selama ini sekira 88% piranti lunak yang digunakan di Indonesia adalah software bajakan. Tak heran jika kemudian negeri ini kembali mendapat gelar memalukan, peringkat ketiga tertinggi di dunia dalam hal pembajakan. Lengkap sudah predikat buruk yang disandang negeri ini. Namun adalah tidak adil jika bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain yang berada di timur dengan serta merta dicap sebagai negara pembajak hasil karya orang lain. Dalam kultur bangsa "Timur"
sebelumnya tidak dikenal istilah kepemilikan individu. Yang ada adalah kepemilikan bersama. Contoh sederhana misalnya dalam hal pembuatan tempe. Penganan tradisional yang kini amat populer itu hingga kini tak diketahui hasil karya siapa. Siapapun boleh membuat dan memasarkan tempe. Ketentuan tentang kepemilikan individu datang dari negara-negara Barat. Seorang penemu boleh menentukan apakah hasil karyanya bisa dipergunakan orang lain atau tidak. Sebagai kompensasinya, ia akan mendapatkan royalti. Meski demikian kultur tidak bisa dijadikan pembenaran untuk suatu kegiatan yang dinilai merugikan orang lain. Secara prinsip, masyarakat Indonesiapun menyadari pembajakan adalah suatu hal yang ilegal. Namun bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, menggunakan software legal pada kenyataannya bukan perkara enteng. Harga lisensi legal perangkat lunak yang ada saat ini berada di luar jangkauan kemampuan keuangan. Terlebih harga lisensi ditentukan dalam dolar yang angkanya terus melambung. Sebagai gambaran, untuk satu unit komputer paling tidak harus membayar lisensi sebesar AS$ 472 atau sekira Rp 3,9 juta (dengan kurs Rp 8.300) untuk lisensi Operating System (OS) Windows 98 (seharga US$ 84) dan aplikasi perangkat lunaknya seperti Office Standard (Words, Power Point dan Excell) yang berharga US$ 388. Sementara harga komputer Pentium IV-nya saja dengan monitor 17" memory 128 MB kelas jangkrik mencapai Rp 8 juta. Angka itu akan terus bertambah jika user komputer membutuhkan aplikasi lainnya, misalnya aplikasi enjinering yang rata-rata harga per lisensinya sekira US$ 5 ribu (Rp 41, 5 juta). Bayangkan jika sebuah industri kelas menengah memiliki puluhan komputer, maka lisensi yang dibayarkan tinggal dikalikan dengan jumlah komputer yang dimiliki. Namun pemberlakuan UU No. 19/2002 tak akan memberi ampun bagi siapapun yang tetap menggunakan software ilegal. Ancaman pidana paling lama lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 500 juta cukup membuat ciut hati.
Para pengguna pun kini bersiap mengambil dua langkah guna menghindari ancaman UU tersebut. Langkah yang paling memungkinkan adalah "terpaksa" bernegosiasi dengan Microsoft, pemilik perangkat lunak yang kini paling banyak dibajak di Indonesia. Alternatif lainnya adalah beramai-ramai bermigrasi pada program-program open source seperti Linux yang bisa dipergunakan secara gratis. Penerapan UU No. 19/2002, jika dilakukan secara menyeluruh dan konsisten, akan menghadapkan industri pada buah simalakama. Di satu sisi ia harus menjadi anak manis yang penurut tetapi tidak mampu untuk membiayainya. Di sisi lain industri menjadi anak bandel yang nakal, dengan terus menggunakan (sebagian) perangkat lunak ilegal, tetapi bisa bertahan hidup. Di sinilah sebetulnya peran pemerintah sebagai "bapak" yang bijaksana diuji untuk bisa menemukan sebuah mekanisme atau solusi alternatif agar peraturan dan tatanan internasional bisa diterapkan di Indonesia, tanpa melupakan kondisi dan kendala internal dalam di negeri. Di sisi lain masyarakat Indonesiapun harus mulai menghargai hasil karya orang lain. Dan tentunya membangun kebanggan diri dengan menanggalkan predikat "negeri pembajak".***