Bangka Menuju Agro-Minapolitan Pasca Pertambangan
Berkunjung ke Pulau Bangka pastinya akan terbayang pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Banyaknya daerah pertambangan yang tersebar pasti memberikan manfaat dan permasalahan tersendiri bagi pengelola Pemerintah Daerah. Begitu juga dengan Pemerintah Kabupaten Bangka yang saat ini tengah menyusun rancangan bagaimana mengelola wilayah Kabupaten Bangka menjadi daerah agropolitan dan minapolitan, setelah habis masa kejayaan sebagai penghasil timah terbesar. Kabupaten Bangka memiliki luas 2.958.68 Km atau 295.068 hektar dengan jumlah penduduk pada tahun 2008 mencapai 244.162 jiwa, dengan Kota Sungailiat sebagai Ibukota Kabupaten Bangka. Wilayah ini memiliki kontur geografi terdiri dari 4% berbentuk perbukitan, seperti Bukit Maras, Bukit Pelawan, dan Bukit Rebo. Kemudian 51% wilayah ini memiliki kontur wilayah berombak dan bergelombang. Hampir 20% membentuk lembah datar, dan sisanya sekitar 25% terdiri dari daerah berair atau rawa. Sedangkan secara administratif wilayah Kabupaten Bangka berbatasan langsung dengan daratan wilayah Kota Pangkal Pinang sebagai Ibukota Propinsi Bangka-Belitung (Babel), Kabupaten Bangka Tengah, dan Kabupaten Bangka Barat. Sementara itu, Kabupaten Bangka terdiri dari 8 Kecamatan, 9 Keluruhan, dan 60 desa yang merupakan desa defenitif dan didukung oleh 119 dusun. Satu hal yang paling menonjol dari wilayah Pulau Bangka secara keseluruhan mempunyai keasaman tanah dibawah 5, dan didalamnya mengandung mineral biji timah dan bahan galian seperti, pasir Kwarsa, Kaolin, Batu Gunung, dan bahan galian lainnya. Pada dasarnya di
daerah Kabupaten Bangka ini tidak ada danau alam, hanya ada bekas penambangan bijih timah yang luas, hingga menjadikannya seperti danau buatan yang disebut “kolong”. Melihat Pulau Bangka dari atas ketinggian tentunya kita disuguhkan oleh banyaknya kolong-kolong yang belum direklamasi. Bahkan masih ada 1.000 hektar areal bekas pertambangan di sejumlah wilayah kerja PT. Timah Tbk akan di reklamasi menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI). Bahkan mereka juga telah menyiapkan sekitar 600 hektar lahan bekas tambang untuk dijadikan sebagai hutan regular. Ekplorasi dan Reklamasi Pertambangan Timah Pertambangan merupakan kegiatan pembukaan lahan untuk mengambil mineral yang terkandung dalam satu lahan. Dalam penambangan timah ada dua tipe metode yang dilakukan.
Untuk didarat, tambang semprot atau tambang terbuka, sedangkan untuk penambangan dilaut menggunakan kapal keruk atau kapal hisap.
Untuk penambangan didarat biasanya dilakukan dengan cara membuka vegetasi yang ada dipermukaan dan melakukan penggalian sampai pada lapisan mineral yang dituju, untuk kemudian dilakukan penambangan dengan cara disemprot atau terbuka (open pit). Pembukaan vegetasi dalam kegiatan penambangan menyebabkan perubahan komposisi ekosistem yang berada di areal pertambangan. Kegiatan ini tentunya menyebabkan terjadinya perubahan struktur sifat fisik dan kimia tanah. Bahkan limbah dari sisa kegiatan ini memberikan dampak buruk bagi lingkungan disekitarnya. Karena hal itulah pemerintah membuat aturan untuk revegetasi kembali lahan pasca hasil tambang diambil. Proses ekplorasi pertambangan timah di wilayah Kabupaten Bangka ini selain memberikan manfaat berupa Pemasukan Asli Daerah (PAD) juga menimbulkan berbagai persoalan lingkungan. Lahan-lahan yang telah di ekplorasi hampir tak dapat dipergunakan lagi. Sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk mereklamasi sisa pertambangan (kolong) timah menjadi lingkungan yang asri kembali. Secara garis besar Kuasa Pertambangan yang ada di Kabupaten Bangka dipegang oleh PT. Timah Tbk. Dimana perusahaan ini hampir menguasai seluruh pertambangan timah yang ada di Pulau Bangka. Meski demikian, saat ini banyak muncul tambang-tambang yang dikelola oleh masyarakat, atau dikenal dengan istilah tambang rakyat. Menghadapi permasalahan pertambangan dan dampaknya, Kepala Bappeda Kabupaten Bangka, Abu Bakar, menjelaskan saat ini Pemerintah Daerah telah menetapkan jaminan berupa deposito bersama bagi perusahaan yang ingin melakukan kegiatan penambangan di wilayah Bangka Belitung. Jumlah nilai deposito yang harus disetor pun mencapai Rp 15.000.000 per hektar. Sehingga uang tersebut nantinya akan dipergunakan sebagai jaminan bagi perusahaan untuk kegiatan reklamasi daerah tambang yang telah di ekplorasi
Bahkan, ia juga menerangkan, saat ini Kuasa Pertambangan yang banyak mengelola pertambangan timah di Pulau Bangka di pegang oleh PT. Timah Tbk, yang rata-rata masa kontrak perusahaan tersebut akan berakhir pada tahun 2025 hingga 2027. Meski demikian, bagi Pemerintah Kabupaten Bangka permasalahan muncul bukan pada saat areal pertambangan di kelola oleh PT. Timah Tbk. Tetapi hal itu malah muncul pada saat PT. Timah tidak berperan lagi pada galian strategis. Menurutnya, PT. Timah Tbk saat ini telah memiliki struktur dan program kerja bagaimana mereklamasi areal pertambangan setelah melakukan ekplorasi. Hingga saat ini PT. Timah Tbk tetap melakukan proses perencanaan reklamasi pada sejumlah lokasi bekas tambang timah yang harus didahului dengan melakukan pemerataan atau menguruk lahan yang berlubang. Pekerjaan perataan lahan bekas tambang akan dilakukan di sejumlah wilayah, diantaranya dikawasan Romodong seluas 14,7 hektar, Kawasan Air Meranti Desa Gunung Muda seluas 21,7 hektar, Kawasan Air Kanti Desa Bintet pun akan dilakukan pemerataan lahan seluas 24,2 hektar, hingga Kawasan Air Baung Desa Gunung Pelawan seluas 48,1 hektar. Bahkan menurut rencana, mereka akan melakukan penanaman bibit pohon di sejumlah lahan bekas tambang di wilayah Kecamatan Riausilip, Dusun Air Layang Desa Berbura, Tirus, dan dilingkungan Kampung Air Asam Belinyu. Walau demikian, kegiatan ini berjalan bukan tanpa masalah. Pasalnya pada beberapa daerah reklamasi ada bibit tanaman yang mati karena tidak cocok dengan lokasi areal yang ditanami. Bagi Pemerintah Kabupaten, kesulitan dalam mengatur pertambangan timah ini muncul pada saat penambang-penambang rakyat muncul untuk melakukan penambangan pada bekas lokasi tambang, bahkan ada juga wilayah yang telah di reklamasi oleh Pemerintah Kabupaten dan PT. Timah Tbk, di tambang kembali oleh para penambang rakyat. Sehingga program reklamasi yang dilakukan pemerintah terkadang mengalami kegagalan. Sementara itu, dari pihak PT. Timah Tbk, mengaku kalau pihaknya tidak pernah membiarkan atau memberikan ijin penambangan di lahan reklamasi. Bahkan Kepala Bappeda Kabupaten Bangka sendiri juga mengakui penambangan yang dilakukan oleh masyarakat pada lahan reklamasi telah sering terjadi. Hingga tak jarang mereka telah mengimbau agar masyarakat tidak menambang pada lahan yang telah di reklamasi. Selain reklamasi areal pertambangan dengan melakukan pemerataan dan menanami kembali (reboisasi) areal tersebut dengan tanaman Sengon, Akasia, Jambu Mete, hingga tanaman hutan. Ada beberapa wilayah bekas kolong yang dirubah fungsi menjadi lokasi penampungan air yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan air minum di Kabupaten Bangka, yang tentunya dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Tak hanya sebagai pemasok kebutuhan air minum, kolong yang banyak menampung air juga dipergunakan untuk memasok kebutuhan air yang ada pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) guna memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Bangka. Beberapa alternatif lainnya, kolong digunakan sebagai daerah rekreasi dengan merubah fungsinya menjadi lokasi wisata air. Kabupaten Bangka Menuju Agropolitan Sebelum Pulau Bangka di kenal sebagai penghasil bijih timah terbesar di dunia. Penduduk asli pulau tersebut pada dasarnya bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Bahkan Pulau Bangka pada jaman kolonial Belanda di kenal sebagai daerah penghasil lada. Namun seiring
dengan ditemukannya mineral timah yang terkandung ditanahnya, maka sektor pertanian sedikit tersisih dan mulai berlomba untuk mengekplorasinya, sehingga saat ini terkenal dengan penghasil timah terbesar. Lantas akan seperti apakah pasca bijih timah dipulau tersebut habis di ekplorasi? Kepala Bappeda Kabupaten Bangka pun menjelaskan saat sektor pertanian masih memiliki peranan yang strategis, yakni menjadi sumber utama kehidupan dan pendapatan masyarakat petani, sehingga tak heran kedepannya Kabupaten Bangka akan menjadi kota Agropolitan. Kabupaten Bangka kedepannya ingin menjadi penghasil pangan bagi masyarakat, sebagai penghasil bahan mentah dan bahan baku industri pengolahan, sebagai penyedia lapangan pekerjaan dan lapangan usaha, sebagai sumber penghasil devisa negara. Karena itulah unsur pelestarian lingkungan hidup menjadi hal yang mendesak. Lahan-lahan yang ada pun akan difungsikan untuk menanam tanaman pangan dan holtikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Tanaman Pangan Kabupaten Bangka memiliki program kerja Sub Sektor Tanaman Pangan, yang pada saat ini program pembangunan dan pengembangan yang diprioritaskan pada: 1. Peningkatan mutu intensifikasi pemantapan pola tanam 2. Perluasan areal melalui pencetakan sawah baru dan pembukaan lahan kering 3. Pembinaan daerah transmigrasi (bantuan sarana produksi padi) 4. Penyediaan benih/bibit unggul 5. Perlindungan tanaman dengan mengembangkan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu 6. Menyebarkan teknologi tepat guna pra dan pasca panen Dari luas wilayah Kabupaten Bangka 295.068 hektar, pemanfaatan lahan yang dipergunakan untuk sawah mencangkup 427 hektar dan wilayah bukan sawah seluas 1.227 hektar. Sementara itu, untuk padi ladang memiliki luas hingga 1.640 hektar dan luas penanaman baru 1.227 hektar yang mampu menghasilkan produksi padi mencapai 3.750 ton. Tanaman palawija dan holtikultura di Kabupaten Bangka pun memberikan kontribusi terhadap ekonomi daerah, dengan luas 174 hektar kebun jagung, Kabupaten Bangka mampu memproduksi jagung hingga 522 ton. Sedangkan untuk tanaman ketela Kabupaten Bangka mampu menghasilkan 3.290 ton dalam lahan seluas 329 hektar. Tak hanya kedua tanaman tersebut, wilayah Kabupaten Bangka juga banyak ditanami ubi jalar seluas 145 hektar mampu memberikan kontribusi hingga 725 ton. Sementara itu, masyarakat Kabupaten Bangka ternyata lebih suka menanami lahannya dengan tanaman sayur-sayuran, dengan total keseluruhan mencapai 1.290 hektar dan mampu menyuplai kebutuhan sayuran hingga 10.188 ton. Tapi sayangnya untuk tanaman buah-buahan masyarakat Kabupaten Bangka kurang menaruh perhatian yang banyak. Hal itu dapat dilihat dari luas lahan yang hanya 107,76 hektar dan hanya mampu memproduksi buah-buahan hingga 2.504,72 ton. Perkebunan Selain konsentrasi untuk meningkatkan hasil pertanian, Kabupaten Bangka juga membangun sub sektor perkebunan sebagai kelanjutan dan peningkatan dari semua usaha yang telah dilaksanakan pada pembangunan sebelumnya. Bagi kabupaten ini perkebunan menjadi salah
satu program strategis karena memiliki kendali yang cukup penting dalam perekonomian masyarakat.
Perkebunan di Kabupaten Bangka terbagi atas perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Untuk produksi komoditi perkebunan rakyat terdiri dari lada, karet, kelapa, cengkeh, dan coklat. Sedangkan perkebunan besar dikelola oleh delapan perusahaan perkebunan swasta dengan tanaman utama kelapa sawit yang memiliki lahan cadangan mencapai 29.649,65 hektar dari areal tanam seluas 41.977, 96 hektar. Selain sebagai penghasil timah, Bangka juga dikenal dengan penghasil lada. Menurut data tahun 2008, perkebunan lada menempati areal lahan seluas 3.533,58 hektar dengan produksi mencapai 1.659,22 ton. Belakangan ini masyarakat kabupaten ini juga mulai beralih menjadi petani karet, sehingga tak heran jika perkebunan karet menempati posisi pertama dengan mencangkup lahan seluas 19.211,30 hektar dan mampu memanen karet hingga 14.643,77 ton. Hasil bumi yang coba ditingkatkan oleh Kabupaten Bangka juga berupa tanaman kelapa yang menempati lahan hingga mencapai 4.442,30 hektar dan menghasilkan 4.146,59 ton. Sementara itu, untuk tanaman coklat dan cengkeh yang menempati lahan 281,88 hektar mampu menghasilkan 467,14 ton. Melihat data-data yang ada tentu saja kebijakan Kabupaten Bangka yang ingin menjadikan kabupaten ini sebagai agropolitan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Bahkan arah menuju Kabupaten Bangka sebagai agropolitan semakin dekat. Kabupaten Bangka sebagai Minapolitan Kabupaten Bangka yang masuk dalam propinsi Bangka Belitung (Babel) merupakan sebuah wilayah kepulauan yang pastinya tak bisa lepas dari kehidupan masyarakat yang bermata
pencaharian sebagai nelayan. Karena hal itulah Pemerintah Kabupaten Bangka juga memiliki kebijakan kedepannya Kabupaten Bangka sebagai daerah minapolitan. Sub sektor perikanan, khususnya pada perikanan laut sangat dominan di Kabupaten Bangka mengingat Pulau Bangka yang dikelilingi oleh lautan dan berbatasan dengan laut Cina Selatan yang memiliki sumber daya laut yang sangat besar untuk dikembangkan. Komoditi yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi berupa, ikan kerapu, kakap merah, udang, cumi-cumi, sirip ikan, dan masih banyak lagi. Keseriusan Kabupaten Bangka untuk menjadi kota minapolitan juga didorong dengan produksi ikan yang mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Saat ini produksi ikan laut hanya mencapai 19.699,83 ton, turun dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai 21.096,03 ton. Sedangkan untuk ikan air tawar tercatat 193.955 ton. Sehingga Pemerintah Kabupaten mencoba meningkatkan kembali hasil tangkapan para nelayan dengan membantu sarana dan prasarana. Tetapi guna mencapai Kabupaten Bangka sebagai daerah minapolitan, pastinya membutuhkan sarana dan prasarana penangkapan ikan laut berupa perahu atau kapal. Jumlah kapal atau perahu sebanyak pada tahun 2008 mencapai 2.691 unit, di mana tahun sebelumnya hanya memiliki 2.574 unit. Sementara jumlah rumah tangga perikanan tangkap sebanyak 2.884,
perikanan budidaya sebanyak 508, pengolahan sebanyak 32 dan pengumpul sebanyak 207. Guna menunjang rencana Kabupaten Bangka menjadi daerah agropolitan dan minapolitan tentunya membutuhkan sarana penunjang yang mendukung mobilitas masyarakat untuk berpindah dari satu daerah dengan daerah lainnya. Pertambahan sarana dan prasarana yang cenderung meningkat menjadi prioritas pembangunan di Kabupaten Bangka untuk memperlancar arus barang dan jasa antar kecamatan. Perhubungan udara merupakan sebuah sarana yang strategis dan teramat penting untuk wilayah Bangka Belitung. Dapat dipastikan kehadiran Bandar Udara Depati Amir menjadi pintu gerbang keluar masuknya kehidupan di Propinsi Babel. Bahkan menurut data, jumlah pesawat yang berangkat dan datang dari bandara ini mencapai 3.534 penerbangan. Selain mengunakan sarana pesawat, untuk menuju Kabupaten Bangka juga dapat ditempuh dengan jalur laut. Bahkan pada pelabuhan yang terdapat di Kota Sungailiat, tercatat sebanyak 363 kapal yang hilir mudik dan berlabuh untuk melakukan kegiatan bongkar barang yang mencapai 3.719 ton dan melakukan pemuatan barang yang mencapai 12.238 ton. Tak hanya di Kota Sungailiat, pada pelabuhan yang ada di Kota Balinyu juga ramai dikunjungi oleh kapal yang tercatat hingga 495 melakukan kegiatan. Sementara jumlah penumpang yang turun di Pelabuhan Belinyu sebanyak 23.849 orang. Sarana transportasi penduduk Kabupaten Bangka sehari-hari pada umumnya lebih banyak menggunakan transportasi darat. Secara umum kondisi jalan Kabupaten
Bangka di bawah pengawasan Dinas PU sepanjang 652,71 kilometer, yang terdiri 465,60 di aspal dan sisanya berupa tanah. Bahkan dari panjangnya jalan yang ada di Kabupaten Bangka, sepanjang 365,74 kilometer kondisi dalam keadaan baik dan mulus sehingga memperlancar laju distribusi barang. Sedangkan jalan sepajang 181,79 kilometer memiliki kondisi sedang, sementara sisanya masuk dalam kategori rusak dan rusak berat, dan hal ini biasanya terdapat pada jalan menuju desa-desa dipedalaman. Dengan ruas jalan yang terbilang bagus ini, fasilitas jalan telah dimanfaatkan oleh 350 armada angkutan umum yang ada di seluruh Kabupaten Bangka yang dikelola oleh 17 Perusahaan Otobis (PO). Walaupun pada umumnya angkutan umum di Ibukota Kabupaten Sungailiat berhenti beroperasi menjelang petang.