Bahasa sebagai Konstruksi Budaya: Fenomena Bahasa Arab Indonesia Oleh: Dr. Abdullah Pendahuluan Dalam buku Language (Bahasa), Blooomfield (1995: 18) mewanti-wanti bahwa tenggelam berpikir yang relatif praktis dalam kajian bahasa, seperti tulisan, memang mengasyikan. Hanya saja kajian yang semata-mata fokus pada tulisan menuntut kehati-hatian berlebih karena, sering kali kajian ini gagal menangkap diksi ketika benar-benar dipakai bertutur. Hal ini berpulang pada hakekat bahwa tulisan bukan bahasa, tetapi hanya suatu cara merekam bahasa melalui tanda-tanda yang dapat diindera. Menurut Bloomfield bahasa orang-orang yang tidak mampu membaca dan menulis sama seperti bahasa orang yang berketerampilan membaca dan menulis dalam hal keajekan, keteraturan, dan kekayaan bahasa. Suatu bahasa tetap sama, tidak peduli pada suatu sistem tulisan apa yang digunakan untuk merekamnya. Lebih lanjut Bloomfield (1995: 19) mengedepankan contoh kesusasteraan yang dibangun dari ujaran-ujaran yang indah. Perbedaan bahasa yang indah atau “benar” adalah hasil sampingan kondisi-kondisi sosial tertentu. Kenyataan bahwa penutur-penutur menganggap suatu bentuk bahasa sebagai “baik” “benar” atau “jelek” “tidak benar”, hanyalah merupakan sebagian data linguis mengenai bentuk bahasa. Prase ‘kondisi-kondisi sosial’ di atas mengisyaratkan dimensi ruang, yang dalam kajian budaya, merupakan tempat mengeksplorasi cara kita menjadi orang sebagaimana kita “sekarang dan di sini”, bagaimana kita diproduksi sebagai subjek, bagaimana diri kita menjadi laki-laki atau perempuan, bagaimana kita dibentuk sebagai pribadi-pribadi. Identitas bukanlah sesuatu yang eksis. Sebaliknya, identitas merupakan konstruksi diskursif, produk diskursus atau cara bertutur yang terarah tentang dunia. Identitas itu dibangun dan diciptakan --daripada ditemukan-- oleh representasi, terutama bahasa (Anang Santoso, 2007: 4). Secara sosiologis memang bahasa dipahami sebagai media yang dipergunakan untuk mengekspresikan gagasan, ide, perasaan, pengalaman. Pemahaman bahasa ini pernah dikemukakan oleh al-Jinni (2001: 87) yang memandang bahasa sebagai fenomena sosial, bahkan Trudgill (dalam Sumarsono, 2002: 3) memandang bahasa bukan saja sebagai fenomena sosial, tetapi juga fenomena kebudayaan. Hal ini bisa dipahami mengingat bahasa dipergunaan oleh masyarakat dan setiap masyarakat memiliki kebudayaan tertentu. Pemahaman bahasa seperti ini menempatkan bahasa menjadi fungsional yang dalam pandangan Fawler (dalam Santoso, 2007: 5) memiliki dua pengertian. Pertama, linguistik fungsional berangkat dari premis bahwa bentuk bahasa merespon fungsi-fungsi penggunaan bahasa. Kedua, linguistik fungsional berangkat dari asumsi bahwa linguistik -seperti juga bahasa- memiliki fungsi-fungsi berbeda, tugas-tugas berbeda, dan sebagainya. Bentuk linguistik akan merespon fungsi-fungsi linguistik itu. Dalam hal ini, Halliday (dalam Santoso, 2007: 6), menyatakan tidak ada kontradiksi antara linguistik instrumental dengan linguistik otonom. Linguistik instrumental adalah kajian bahasa untuk memahami sesuatu yang lain, misalnya sistem sosial. Linguistik otonom adalah kajian bahasa untuk memahami sistem lingual itu sendiri. Dengan paparan singkat tersebut, setidaknya ada satu hal yang bisa disisipkan dalam tulisan ini, dan sisipan ini gayut dengan subjudul di atas, yaitu: bahasa fungsional dalam konteks kebudayaan. Dalam hal ini, Koentjaraningrat (2009: 179) menyatakan bahwa kebudayaan hanya ada pada manusia, dan tumbuh seiring dengan perkembangan masyarakat manusia. Lebih lanjut Koentjaraningrat (dalam Chaer dan Agustina: 2004: 165) menjelaskan kebudayaan itu dengan menggunakan “kerangka kebudayaan” yang memiliki dua aspek tolak, yaitu: wujud kebudayaan dan isi kebudayaan. Wujud kebudayaan itu bisa berupa wujud gagasan, perilaku, dan fisik atau benda, yang secara berurutan sering disebut sitem budaya yang bersifat abstrak,
sistem sosial yang bersifat agak konkret, dan kebudayaan fisik yang bersifat sangat konkret. Sedangkan isi kebudayaan terdiri dari 7 (tujuh) unsur yang terdapat dalam setiap masyarakat manusia, yaitu: bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem religi, dan kesenian. Dari “kerangka kebudayaan” yang Koentjaraningrat rumuskan, tampak bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, bahasa di bawah lingkup kebudayaan. Hanya saja, secara fungsional bahasa dijadikan media untuk merepresentasikan kebudayaan, yang dalam pandangan Halliday disebut linguistik instrumental, seperti dijelaskan di atas. Sejalan dengan bahasa fungsional ini, Sausser (1966: 16) menyatakan bahwa manusia dalam mengekspresikan gagasannya diwujudkan dalam bentuk bahasa. Bentuk bahasa itu disebut representasi. Representasi adalah kegiatan memproduksi makna melalui bahasa. Teori ini menjelaskan bahwa konstruk-konstruk mempunyai kondisi sosial yang alami dan dipelajari melalui hubungan dengan orang lain. Budaya menjadi penting dalam memaknai suatu peristiwa, yang dapat diungkap hanya menggunakan bahasa. Tegasnya, bahasa merupakan representasi kebudayaan suatu masyarakat, sekaligus gambaran kondisi kejiwaan dan sosialnya. Hal ini dijelaskan, diantaranya, oleh Kunjana Rahardi (2009: 101) melalui ilustrasi bahasa lampah yang menggambarkan konstruksi budaya jawa, khususnya Yogyakarta. Sesuai dengan namanya, bahasa lampah dilaksanakan dengan berjalan mengelilingi keraton Yogyakarta dalam kondisi membisu. Tiada bersuara me(neng) dilakukan dalam rangka menciptakan keheningan hati dan kebeningan nurani we(ning) yang bisa menyebabkan manusia memahami posisi dan eksistensinya secara persis du(nung) dalam masyarakat sehingga dia bisa tertib (juntrung) dalam interaksinya dalam masyarakat. Demikian, bahasa lampah yang ungkapannya adalah neng, ning, nung merepresentasikan kebudayaan adiluhung masyarakat jawa dimana orang berproses menemukan jati dirinya dalam posisinya di dalam masyarakat. Bisa dipahami bahasa lampah ini dilaksakan pada situasi-situasi yang berbeda dari kebiasan. Misalnya masalah saur manuk (kegaduhan) RUU keistimewaan DIY yang beritanya sudah beredar pada tahun 2001 dan masa jabatan Gubernur dan wakil Gubernur yang habis pada 09 Oktober 2008 (Rahardi, 2009: 104). Dalam skala nasional budaya mubeng beteng (keliling keraton) dengan lampah bisu (jalan membisu), masyarakat Yogyakarta sesungguhnya ingin menyatakan kepada bangsa Indonesia tentang jati diri (juntrunge) yang menempati posisi dan melakoni peran dalam panggung sejarah Indonesia. Ini berarti bahasa neng, ning, nung merepresentsaikan konstruksi budaya masyarakat Yogyakarta. Dalam konteks konstruksi budaya seperti itulah bahasa Arab Indonesia hendak ditempatkan dalam buku ini. Hal ini mengandaikan bahasa Arab Indonesia tidak tercerabut dari akar-akar sosial dan sejarahnya dalam perjalanan bangsa dan negara Indonesia. Apa itu Bahasa Arab Indonesia ? Ungkapan bahasa Arab Indonesia memang memunculkan spekulasi-spekulasi, diantaranya bahasa Arab khas Indonesia. Ini berarti ada bahasa Arab lain yang bukan Indonesia, misalnya bahasa Arab Malaysia, bahasa Arab Singapura, bahasa Arab Brunei Darussalam dan banyak lagi. Semuanya ini jelas-jelas tidak dikehendaki dalam buku ini. Hanya saja, apabila mengacu ke paparan singkat di pendahuluan bahwa bahasa Arab ditempatkan dalam konstruksi budaya, maka bahasa Arab Indonesia dimaksudkan sebagai bahasa Arab yang merefleksikan konstruksi budaya Indonesia. Dengan kalimat lain, bahasa Arab berperan dalam masyarakat dan kebudayaan Nasional, sebagaimana akan dijelaskan dalam tinjauna historis tentang bahasa Arab Indonesia nanti. Secara historis bahasa Arab sendiri memiliki hubungan yang kuat dengan syair yang pada masa pra-Islam menjadi bagian tradisi kehidupan bangsa Arab, bahkan keadaan bangsa Arab dengan segala peristiwa yang terjadi pada zaman dahulu dan berbagai hal yang menjadi
adat istiadat dan tradisi dalam kehidupan mereka, diungkapkan, salah satunya, melalui syair. Dalam hubungan ini, sering dikatakan bahwa al-syi´r dîwân al-´Arab (syair adalah ontologi kehidupan bangsa Arab). Syair pada waktu itu merupakan medium yang efektif untuk mensosialisasikan identitas sebuah kabilah sebagai kolektivitas yang tidak menampakkan batas-batas antara individu dan kelompok. Lebih dari itu, syair mengekspresikan sebuah perjuangan untuk sebuah pride (kebanggaan) dan prestige (wibawa) sebuah kabilah, walau beberapa ahli meragukan orsinilitas-nya. Memang jika keberadaan syair pra-Islam ditelusuri ke belakang, keraguan pada orsinilitas-nya bukan tanpa dasar. Thaha Husein (1969: 65) misalnya, berpandangan bahwa syair pra-Islam tidak layak dijadikan sumber informasi tentang zaman pra-Islam. Keberatan Thaha Husein cukup beralasan mengingat hal-hal yang bersifat historis. Syair pra-Islam mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang dengan berbagai peristiwa, yang boleh jadi terjadi pemalsuan, karena alasan-alasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Misalnya, semakin berkurangnya ‘mata rantai transmisi’ akibat meninggalnya para penyair dalam peperangan, terutama setelah Islam harus berhadapan dengan Persia dan Romawi. Selain itu, syair merupakan kebanggaan, jiwa, dan pedang kabilah. Dikatakan ‘kebangaan’ karena ia merupakan simbol kejayaan kabilah, dikatakan ‘jiwa’ karena ia membakar semangat dan meredam emosi kabilah, dan dikatakan ‘pedang’ karena ia bisa menjadi senjata yang merobekrobek citra kabilah lain. Inilah yang mendasari Syahrin Harahap (1994: 133) melontarkan pertanyaan retoris: “bukankah ini merupakan penyebab adanya kecenderungan orang-orang belakangan, sengaja atau tidak, untuk mengklaim syair yang diciptakan di zaman Islam sebagai syair pra-Islam ?” Di samping alasan historis, terdapat alasan yang berkaitan dengan teori sastra, yaitu karya sastra --syair (puisi) dan natsr (prosa)-- suatu bangsa adalah hasil intelektual generasi bangsa itu dan merefleksikan karakter dan daya imajinasinya. Penelitian Thaha Husein (1969: 67) menghasilkan temuan bahwa sastra pra-Islam tidak mencerminkan perbedaan yang signifikan antara intelektual generasi pra-Islam dan generasi Islam, padahal perbedaan intelektual merupakan konsekuensi logis dari perbedaan generasi. Dengan kalimat lain, terdapat inkonsistensi antara gaya intelektual, karakter dan daya imajinasi yang terdapat dalam syair pra-Islam dan kondisi masyarakat Arab yang berkembang pada zaman pra-Islam. Meskipun syair pra-Islam sarat dengan problem orsinilitas mengingat sosiolisasinya dilaksanakan melalui metode oral yang potensial bagi munculnya pemalsuan syair karena alasan solideritas etnis (syuʻûbiyyah) dan solideritas kabilah (politik), tetapi teks-teks syair praIslam khususnya yang disosialisasikan oleh perawi-perawi yang tsiqah, memiliki signifikansi dalam menjelaskan asal-usul bahasa bahasa Arab fushha (bahasa Arab baku) sebelum turun alQur’ân. Secara sinkronis, para peneliti menduga bahwa teks-teks syair masa pra-Islam yang dijadikan takaran untuk menentukan bahasa Arab baku adalah teks-teks kisaran 1 (satu) sampai 2 (dua) abad sebelum kelahiran Islam (awal turunnya al-Qur’ân). Dari sisi waktu, ini berarti bahasa Arab baku yang tergambar dalam teks-teks syair tersebut tidak begitu jauh dari kelahiran Islam. Adapun fase-fase yang dilalui oleh bahasa Arab baku hingga mencapai fase kesempurnaan merupakan penyelidikan yang tidak mudah dilakukan, sebagaimana dinyatakan oleh Ahmad Muhammad Qadur (1999: 114). Lebih lanjut Qadur (1999: 115) menyatakan bahasa Arab yang sudah mencapai fase kesempurnaan itulah yang berkembang di Jazirah Arab. Wilayah Jazirah ini membentang dari belahan Utara dan belahan Selatan dengan heteroginitas lingkungan, adat-istiadat, dan tradisi, serta situasi geografis tempat penutur jati melangsungkan kehidupannya. Hal ini menjelaskan mengapa bahasa Arab memiliki variasi dialek sesuai dengan heteroginitas kabilah Arab. Pada masa pra-Islam bahasa Arab menjadi bahasa komunikasi di lingkungan terbatas Jazirah Arab dan daerah-daerah sekitarnya, seperti daerah-daerah pinggiran Syam dan Irak hingga Tadmur, Mesopotamia, Bukit Sinai, dan Gurun Timur Mesir. Sebagain besar penutur
jati merupakan Arab pedalaman yang berdomisili di Hijaz, Nejed, Yaman, Tuhamah, Hadramaut, Oman, Bahraen, dan Syam, serta Irak. Mereka jarang menetap di kota-kota. Pada masa itu kota-kota besar hanya ada di Hijaz, yaitu Makkah, Madinah, dan Thaif dan di Yaman, yaitu Shana’a (Zaidan, 1957: 47). Kota-kota ini merupakan “jalur sutra” perdagangan membentang dari Yaman ke Syam (Suriah) dimana Makkah menjadi kota persinggahan yang menjadikannya sebagai kota metropolis. Hal ini terekam dalam al-Qur’ân. “Karena kebiasaan Quraisy, kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas (untuk melakukan perdagangan)” (Q.S. Quraisy [106]: 1-2). Perjalanan perdagangan bangsa Arab di musim dingin ke negeri Yaman yang berada di bawah kekuasaan Habasyah atau Persi dan di musim Panas ke Syam (Syria/Suriah) yang berada di bawah kekuasaan Romawi. Memang, apabila literatur-literatur kebahasaaraban ditelusuri, maka akan ditemukan bahwa bahasa Arab terbagi menjadi 2 (dua) (Wafiy, 1962: 92-104 dan Subkhi al-Shaleh, 1986: 52-56). Pertama; Bahasa Arab Selatan yang dijadikan sarana untuk berkomunikasi di kawasan Yaman dan sekitarnya. Itu sebabnya mengapa Bahasa Arab Selatan ini disebut juga dengan Bahasa Yaman Kuno atau Bahasa Qahthân. Termasuk dalam Bahasa Arab Selatan ini adalah bahasa Mineen (Ma´in), bahasa Sabeen (Saba’), bahasa Hadramaut, bahasa Qataban, dan bahasa Habasyah (Ethiopia). Setelah sebelumnya terjadi konflik bahasa (al-shirâ´ al-lughawiy) antar bahasa Arab Selatan, bahasa Saba’ mampu bertahan, bahkan mendominasi bahasa-bahasa Arab Selatan. Itu sebabnya mengapa bahasa Saba’ sering diidentikkan dengan bahasa Arab Selatan. Kedua; Bahasa Arab Utara yang dijadikan sarana mengekspresikan pikiran dan perasaan di Nejed, Hijaz, Bahrain, Irak, dan Suriah. Bahasa Arab Utara terbagi menjadi 2 (dua). Yang pertama adalah basha Arab Bâ‘idah. Oleh karena informasi bahasa Arab Bâ‘idah diperoleh melalui prasasti batu tulis, bahasa Arab Bâ‘idah disebut juga ´Arabiyyat al-Nuqûsy (Bahasa Arab Batu Tulis). Berdasarkan daerah dan masyarakat bahasanya, paling tidak, ada 3 (tiga) batu tulis (bahasa) yang termasuk dalam bahasa Arab Bâ‘idah, yaitu: bahasa lihyân (abad IV dan II SM.), bahasa Tsamûd (abad III dan IV M.), dan bahasa Shafâ (antara abad III dan VI SM.). Yang kedua adalah bahasa Arab Bâqiyah, yaitu bahasa yang sekarang dikenal sebagai bahasa Arab. Bahasa Arab Bâqiyah dijadikan sarana untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan dalam sastra, buku dan tulisan-tulisan lainnya. Bahasa Arab Bâqiyah inilah yang digunakan dalam syair pra-Islam. Dalam hal ini, Ibn Sallam (1988: 34) menegaskan bahwa keberadaan qashiîdah (ode) dan kematangan syair di tangan penyair-penyair pra-Islam, menggunakan bahasa Arab pada masa yang deket sekali dengan kelahiran Islam. Untuk mengikuti jalan pikiran Ibn Sallam, kiranya dipandang relevan melacak peristiwa penyerangan Makkah. Hal ini didasarkan pada penegasan Ibn Sallam selajutnya bahwa yang dimaksud dengan masa yang dekat dengan Islam adalah masa Abd.al-Muthalib (495 M.) dan Hasyim bin Abd. al-Manaf (464 M.). Kalau penyerangan Makkah yang dilakukan Abrahah alAsyram terjadi pada tahun 570 M. dan penguasa Makkah yang menghadapi serangan tersebut adalah Abd. al-Muthalib, sebagaimana diinformasikan oleh Haikal (1995: 40), maka yang dimaksud dengan masa yang dekat dengan Islam adalah masa yang berkisar pada abad V M. Dengan kalimat lain, bahasa Arab yang digunakan dalam syair pra-Islam adalah bahasa Arab Utara Bâqiyah. Kalau pendapat ini dapat diterima, maka kelihatan jelas bahwa syair pra-Islam yang diragukan orsinilitas-nya oleh Ibn Sallam adalah syair pra-Islam yang menggunakan bahasa Arab Utara Bâ‘idah dan bahasa Arab Selatan, bukan bahasa Arab Utara Bâqiyah. Masa bahasa Arab Utara Bâqiyah berkisar pada tahun 500-an tahun sebelum kelahiran Islam. Dengan paparan singkat di atas, point penting yang hendak disampaikan adalah bahasa Arab fushha (bahasa Arab baku) memiliki akar-akar sejarahnya pada syair pra-Islam dan bahasa syair masa pra-Islam dijadikan takaran untuk menentukan bahasa Arab fushha. Sampai di sini
penulis menghindar dari perdebatan mengenai hubungan dialek Quraisy dengan bahasa Arab fushha. Hanya saja, data dan fakta kesejarahan dan kebahasaan membuktikan bahwa dialek Quraisy merupakan benih bahasa Arab fushha mengingat alasan-alasan yang bersifat sosialkeagamaan, sosial-politik, sosial-ekonomi, dan peradaban pada saat itu. Secara teoritis, konflik bahasa yang berakibat pada unggulannya suatu bahasa sangat dipengaruhi oleh dominasi yang terkait dengan stabilitas politik, kemantapan ekonomi, dan kekokohan agama dari penutur jati dialek itu, dan faktor-faktor itu tampak dipenuhi oleh dialek Quraisy. Inilah yang menjadi dasar beberapa ahli berpandangan bahwa dialek Quraisy mendominasi sebagai bahasa tutur di Jazirah Arab pada masa pra-Islam. Ibn Faris (w. 395 H.) (dalam Hammad, 1983: 170), misalnya, menyatakan bahwa delegasi-delagasi Arab (non-Quraisy) berkunjung ke Makkah untuk menunaikan haji dan ber-tahkim ke penguasa Quraisy untuk memperoleh keadilan tentang persoalan-persoalan yang menimpa mereka. Dengan kelebihan yang ada pada dialek Qurasy, baik tingkat fashâhah, keteraturan untaian kata-kata maupun kelembutan dan kesantuan bahasa, penguasa Quraisy memilah dan memilih bahasa-bahasa yang baik dan benar yang mereka gunakan dalam tuturan, sebagai bahasa serapan yang kemudian dibakukan menjadi bahasa Arab baku. Selain itu, Makkah merupakan daerah perdagangan, bahkan jalur lalu lintas perdagangan internasional pada saat itu. Al-Quran menggambarkan dengan tepat arus perjalanan perdagangan yang dilakukan oleh para pedagang pada musim panas dan dingin (Q.S. 106: 1-2). Di Mekah terdapat pasar-pasar tahunan yang diadakan setiap pertengahan bulan Dzul Hijjah, yaitu pasar Ukaz juga pasar Dzul Majaz yang diadakan pada akhir bulan Dzul Hijjah. Penutur jati juga menyediakan pendidikan syair tingkat tinggi yang diselenggarakan di Lembaga Pendidikan Sûq (pasar). Pada zaman pra-Islam sering diadakan perlombaan pidato dan meggubah syair (puisi). Perlombaan diadakan pada musim penduduk Makkah dan sekitarnya megunjungi tempat yang bernama sûq (pasar), yaitu tempat yang diramaikan dengan berbagai kegiatan jual-beli, misalnya sûq ukâz (pasar ukaz). Di sana mereka mengadakan transaksi jual-beli pertanian, peternakan, dan industri mereka atau barang dagangan dari luar. Di sela-sela kesibukan-kesibukan transaksi jual-beli itu diadakan perlombaan menggubah syair secara spontan, yang diikuti oleh “macan-macan panggung” dan “begawan-begawan” syair yang datang dari berbagai kabilah. Demikianlah, dialek Quraisy menjadi sangat dominan di antara dialek-dialek Arab bâqiyah. Hanya saja, di sana terdapat dialek Tamim, selain dialek Quraisy. Dalam hal ini, alShaleh (1986: 66) mengelompokkan dialek-dialek Arab dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu: dialek Hijaz yang sering disebut dialek Quraisy dan dialek Nejed yang lazim dinamakan dialek Tamim. Pembuktian pengelompokan ini didasarkan pada data dan fakta kebahasaan sebagai berikut: No. Dialaek Quraisy 1 ﻧَـﻌﻠﻢ، ﺗَـﻌﻠـﻢ ْ ْ ٢ ﺟـﻤﻌﺔ، ﺣـﻤـﺮ ٣ ٤
ُُ ُُ ِ َْﳛـﻘﺪ-َﺣ َﻘﺪ َﻣ ِﺪﻳﻦ
Dialek Tamim
ﻧِ ْﻌﻠـﻢ، ﺗِ ْﻌﻠـﻢ ُﺟـ ْﻤﻌﺔ، ُﺣـ ْﻤـﺮ َﺣ ِﻘ َﺪ – ِ ْﳛـ َﻘﺪ َﻣ ْﺪﻳﻮن
No. Dialaek Quraisy ٥ ِﻣﺮﻳﺔ ْ ٦ أﻳﻬﺎت 7 ٨
اِ ْﺳﻮة ﻗِـ ْﺪرة
Dialek Tamim
ُﻣ ْﺮﻳﺔ
ﻫﻴﻬﺎت ُﺳﻮة ْأ ﻗُـ ْﺪرة
Demikianlah, jika dibandingkan dengan dialek Quraisy, dialek Tamim memiliki tingkat ke-fashâhah-an tersendiri yang bisa dijadikan hujjah dalam proses taʻqîd (pembakuan kaidah bahasa) melalui metode qiyâs, bahkan tidak jarang dialek Tamin mengungguli dialek Quraisy. Haya saja, sesuai dengan pengakuan dan kerelaan dari hampir seluruh Kabilah yang memiliki berbagai variasi dialek, dialek Quraisy dipandang sebagai dialek yang paling memadahi dari sisi bahan, sarat dengan sentuhan rasa dari sisi gaya bahasa (uslûb), paling kaya dari sisi kosa
kata, paling mampu mengungkapkan keindahan secara detail melalui berbagai variasi tuturan. Selain itu, dialek Quraisy tidak memiliki penyimpangan-penyimpangan, seperti ʻanʻanah (mengganti ﺃdengan عseperti )أﺷﻬﺪ َﻋﻨﱠﻚ رﺳﻮل ﷲpada dialek Tamim, kasykasyah (membubuhkan ش ِ ِ setelah كseperti ﺶ ْ أﻋﻄﻴﺘﻜatau mengganti كdengan شseperti ﻋﻴﻨﺎكmenjadi )ﻋﻴﻨﺎشpada Rabi’ah, taltalah (memberi penanda baca kasrah pada hurûf al-mudlâraʻah seperti ﺗِ ْﻌﻠﻢ، )ﻧِ ْﻌﻠﻢpada dialek Bahra’ dan sebagainya. Bisa dipahami mengapa bahasa Qurasy digunakan dalam karangan, syair, dan pidato (al-Shaleh, 1986: 67; Qadur, 1999: 139-143). Bahasa Qurasy yang menyerap dialek-dialek Arab lainnya inilah yang memberikan kontribusi besar dalam penyebaran dan penggunaan bahasa Arab baku (fashhâ) melalui sosialisasi syair-syair pra-Islam, sehingga ia menjadi Lingua Franca (al-Lughat alMusytarikah) setelah sebelumnya merupakan dialek kabilah tertentu. Itu sebabnya mengapa alQur’ân diturunkan menggunakan bahasa Arab baku (fushha) agar bisa dipahami oleh orangorang dalam berbagai kabilah Arab. Oleh kerena itu, tidaklah kebetulan ketika al-Qur’ân diturunkan menantang bangsa Arab, sebenarnya sasarannya adalah bangsa Arab secara keseluruhan, bukan kabilah tertentu saja. Bahasa Arab inilah yang lazim disebut Fashhâ Turâts (Bahasa Arab Baku Klasik). Selain Fashhâ Turâts, terdapat Fashhâ Muʻâshirah (Bahasa Arab Baku Kontemporer), yaitu bahasa Arab resmi yang dipergunakan di bangku-bangku sekolah dan kuliah, buku-buku, majalah, surat kabar, papan-papan pengumuman, dokumen pemerintahan, surat menyurat, surat-surat pribadi media televisi dan radio, pidato-pidato, konferensi-konferensi, seminarseminar ilmiah dan militer dan sebagainya. Untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan bahasa, di Mesir didirikan Majmaʻ al-Lughat al-ʻArabiyyah (Lembaga Bahasa Arab) pada tahun 1932, di Baghdad didirikan al-Majmaʻ al-ʻIlmiy al-ʻIrâqiy (Lembaga Ilmiah Irak) tahun 1947, di Rabat didirikan markaz Tansîq al-Taʻrîb (Pusat Kordinasi Arabisasi) tahun 1961. Puncaknya adalah di Yordania melalui pendirian Majmaʻ al-Lughat al-ʻArabiyyah al-Urduniy (Lembaga Bahasa Arab Yordandia) tahun 1976 (Qadur, 1999: 158). Sesungguhnya bahasa Arab Indonesia adalah kelanjutan Fashhâ Turâts dan Fashhâ Muʻâshirah yang dalam berbagai prakteknya mengalami adaptasi lokal sesuai dengan konteks keindonesiaan. Dalam catatan Sauri (2008: 12) disebutkan bahwa seiring dengan perjalanan waktu Bahasa Arab semakin diminati untuk dipelajari, baik untuk tujuan keagamaan, pendidikan, ekonomi, politik dan budaya maupun untuk tujuan-tujuan yang lainnya, dan tingginya minat masyarakat Muslim Indonesia untuk mempelajari Bahasa Arab karena lima alasan berikut ini: Pertama, Keagamaan. Fungsi utama Bahasa Arab bagi masyarakat Muslim Indonesia adalah sebagai bahasa agama. Sumber utama ajaran agama Islam adalah Al-Qur’ân dan Hadîts. Kedua sumber ini menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Seseorang yang mau memahami dengan baik dan sempurna kedua sumber ini harus mempelajari Bahasa Arab. Bahasa Arab juga digunakan pada beberapa ritual keagamaan, seperti adzan, shalat, khutbah, do'a, dan ritual-ritual lainnya. Pada ritual-ritual tersebut bahasa yang digunakan mestilah Bahasa Arab. Kedua, Pendidikan. Bahasa Arab mempunyai peran penting dalam pendidikan, terutama pendidikan Islam. Berbagai referensi yang berkaitan dengan pendidikan Islam sebagian besar menggunakan Bahasa Arab. Orientasi dan referensi dalam kajian pendidikan Islam sebagian besar mengacu kepada tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh ulama-ulama Timur Tengah. Ketiga, Ekonomi. Dewasa ini posisi negara-negara Arab mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat strategis dalam perdagangan internasional. Posisi tersebut muncul dikarenakan negara-negara Arab termasuk kategori kaya secara ekonomi. Dewasa ini muncul berbagai lembaga yang mengajarkan Bahasa Arab untuk tujuan khusus, seperti untuk tujuan perdagangan, perminyakan, rumah tangga, dan sebagainya.
Keempat, Budaya. Kebudayaan Indonesia sebagian besar merupakan sumbangan dari kebudayaan Islam. Akar kebudayaan Islam adalah budaya Islam yang muncul dari komunitas Arab pada zaman Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, kebudayaan Indonesia sangat erat kaitannya dengan kebudayaan Arab-Islam, walaupun tidak persis sama. Kajian terhadap kebudayaan Indonesia akan sangat lengkap jika di dalamnya dikaji pula masalah kebudayaan Islam, baik dalam konteks lokal Indonesia maupun global. Kelima, Politik. Wilayah Timur Tengah mempunyai posisi strategis pada berbagai aspek, termasuk aspek politik. Berbagai peristiwa politik sekecil apa pun di wilayah tersebut akan berpengaruh dan mendapat perhatian yang luas dari masyarakat internasional. Hal ini dikarenakan wilayah tersebut merupakan jantung dunia. Di sana tempat munculnya tiga agama besar, tempat bertemunya tiga benua, dan posisi ekonominya yang strategis. Hal-hal ini telah menempatkan wilayah tersebut mempunyai posisi politik yang penting. Tinjauan Historis tentang Bahasa Arab Indonesia Bahasa Arab Indonesia memiliki peran dalam perkembangan masyarakat dan budaya Jawi (Nusantara, Indonesia). Ini artinya diskusi tentang perkembangan bahasa Arab Indonesia mengandaikan pembicaraan tentang sikap dan intelektual Muslim Indonesia mengingat bahasa Arab Indonesia hadir di Indonesia berbarengan dengan kehadiran agama Islam di Indonesia dimana bahasa Arab Indonesia diposisikan sebagai alat untuk kepentingan pengamalan dan pemahaman agama Islam yang bersumber dari al-Qur’ân dan Hadits yang notebene menggunakan bahasa Arab. Sebenarnya penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’ân lebih berkaitan dengan teknis penyampaian nilai-nilai yang dikandung al-Qur’ân daripada nilai-nilai itu sendiri. Hal ini dinyatakan secara eksplisit oleh al-Qur’ân
ِ ِ ﺖ آ َﺗِِﻪ أَأ َْﻋ َﺠ ِﻤ ﱞﻰ َو َﻋ َـﺮﺑـِ ﱞﻰ ﻗُ ْﻞ ُﻫ َﻮ ﻟِﻠﱠ ِﺬﻳْ َﻦ َآﻣﻨُـ ْﻮا ُﻫ ًﺪى َو ِﺷ َﻔﺎءٌ َواﻟﱠ ِﺬﻳْ َﻦ ﻻَ ﻳـُ ْﺆِﻣﻨُـ ْﻮ َن ْ َﺼﻠ ّ َُوﻟَ ْﻮ َﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎﻩُ ﻗُـ ْﺮآ ً أ َْﻋ َﺠﻤﻴﺎًّ ﻟََﻘﺎﻟُْﻮا ﻟَ ْﻮﻻَ ﻓ ِِ (٤٤ :٤١/ﺎد ْو َن ِﻣ ْﻦ َﻣﻜﺎَ ٍن ﺑَﻌِْﻴ ٍﺪ )ﻓﺼﻠﺖ َ ِِﰲ آ َذا ْﻢ َوﻗْـٌﺮ َوُﻫ ْﻢ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ َﻋ ًﻤﻰ أُْوﻟَﺌ ُ َﻚ ﻳـُﻨ Dan seandainya Kami menjadikannya (al-Qur’ân) ini Qur’ân yang berbahasa bukan Arab, niscaya mereka akan berkata: “sekiranya ayat-ayat itu dirinci”. Apakah (mungkin al-Qur’ân dalam bahasa) bukan Arab, sedangkan dia (Nabi Muhammad) seorang Arab ? Katakanlah: al-Qur’ân itu merupakan petunjuk dan obat bagi orang yang beriman. Sedangkan mereka yang tidak beriman, pada telinga mereka ada sumbat, dan ada kebutaan pada (mata) mereka. Mereka itu seolah-olah mendapat panggilan dari tempat yang jauh (QS. Fushshilat [41]: 44)
Persoalan teknis penyampaian nilai-nilai yang di kandung al-Qur’ân terkait erat dengan perkembangan sosio-intelektual yang dinamis dalam masyarakat Arab pra-Islam. Dimensi intelektual yang dinamis dari orang Arab tersebut berhubungan dengan salah satu tradisi yang mengakar di kalangan bangsa Arab, yaitu cita rasa bahasa yang sangat mendalam dan dinamika imajinasi yang mewarnai kehidupan intelektual. Cita rasa kebahasaan dan dinamika imajinasi ini telah melahirkan suatu karya sastra yang tinggi nilai estetikanya dan cita rasa kebahasaannya. Itu sebabnya mengapa bahasa Arab pada zaman pra-Islam telah mencapai puncak ketinggian yang diwujudkan dalam keterampilan berolah bahasa. Hal ini tercermin dalam kemampuan bangsa Arab menggubah syair yang pada waktu itu menjadi medium paling efektif bagi sosialisasi suatu kabilah. Boleh jadi itulah rahasianya mengapa masalah kebahasaan menjadi sangat signifikan bagi dakwah Muhamad. Sebenarnya keterkaitan bahasa dengan dakwah yang Muhamad sampikan lebih bersifat teknis. Dalam hal ini, bahasa merupakan medium komunikasi Muhamad dengan masyarakat kabilah yang memiliki cita rasa bahasa yang tinggi dan imajinasi yang dinamis. Bahasa sebagai medium komunikasi harus memiliki ketangguhan. Dengan kalimat lain, “bahasa” Muhamad harus memiliki cita rasa bahasa dan imajinasi lebih tinggi dan lebih dinamis dari yang dimiliki masyarakat Arab. Sebab tanpa kelebihan ini, “bahasa” Muhamad akan kehilangan ketangguhan ketika dihadapkan kepada tantangan-tantangan
masyarakat Arab. Dalam literatur-literatur kebahasaaraban dan tafsir, kelebihan yang merupakan ketangguhan lazim disebut mukjizat. Untuk alasan itulah al-Qur’an diturunkan kepadanya sebagai mukjizat yang salah satu aspeknya adalah masalah kebahasaan dengan berbagai gaya bahasa dan retorika yang memukau, sekaligus pembenaran terhadap ketentuan al-Qur’an bahwa “Allah mengutus Rasul hanya dengan bahasa kaumnya … (Q.S. Ibrahim/14: 4) (al-Baqilani, 1990: 65; Shihab, 1997: 44-46) Meski penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’ân lebih merupakan teknis penyampaian, tetapi persoalannya menjadi problematik ketika al-Qur’ân dikaitkan dengan kemukjizatan al-Qur’ân dari aspek bahasanya, yang justru terletak pada penggunaan bahasa Arab. Secara teologis kemukjizatan al-Qur’ân inilah yang menjadikan bahasa Arab bersifat sakral, dan ini pula yang menjadi motivasi kuat bagi kaum Muslim, termasuk Muslim Indonesia, mempelajari bahasa Arab, karena sebagaimana dikatakan Norcholis Madjid (dalam Arsyad, 2003: xxiv) apresiasi terhadap al-Qur’ân tidak cukup hanya secara kognitif dan rasional semata, tapi harus dilengkapi dengan apresiasi mistis atau spiritual, yang memancar dari keunggulan linguistik yang menggunakan medium bahasa Arab. Apresiasi mistis atau spiritual diwujudkan dalam bentuk kegiatan belajar bahasa Arab. Muslim Indonesia belajar al-Qur’ân secara tartîl dimana aspek fonetik mendapat perhatian dalam porsi yang besar. Penting disebutkan bahwa praktek pembacaan al-Qur’ân secara tartîl melahirkan ilmu tajwid, yaitu ilmu yang mempelajari mengenai cara pengucapan dan intonasi yang tepat dalam melafalkan al-Qur’ân. Meski ilmu ini masuk dalam rumpun ilmu tafsir, tetapi dari sisi materi ilmu ini dapat dikatagorikan bahasa, karena ia mempraktekkan pelafalan huruf dengan intonasi sesuai dengan karakter huruf-huruf dalam al-Qur’ân, dan ini berarti masuk dalam wilayah fenetik yang merupakan cabang dari linguistik murni. Data dan fakta menunjukkan bahwa bahasa Arab dikenal berbarengan dengan masuknya agama Islam ke wilayah Nusantara. Bahasa Arab menjadi tidak asing khususnya bagi masyarakat Muslim di Nusantara, karena muatannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pemenuhan kebutuhan keagamaan mereka, yaitu pembentukan akhlak karimah melalui pembacaan al-Qur’ân dan pendirian shalat, yang berhajad kepada bahasa Arab mengingat bacaan-bacaannya berbahasa Arab. Pembentukan akhlak karimah tak pelak menciptakan kehidupan keagamaan tingkat tertentu dari masyarakat Muslim Nusantara, dan inilah perkenalan awal mereka terhadap bahasa Arab Indonesia. Gambaran mengenai kehidupan keagamaan tersebut bisa ditangkap melalui analisis Graaf terhadap data mengenai kehidupan dan perekonomian rakyat Jawa di daerah pedesaan pada awal zaman Islam, yaitu abad ke-15 dan ke-16, yang bersumber dari kisah orang saleh dan catatan Cina. Meski tidak memercayai sepenuhnya, karena kisah dan catatan tersebut ditulis pada abad ke-17 dan ke-18, Graaf (1985: 6) menyimpulkan tampak jelas tergambar bahwa di dalam legenda-legenda orang soleh dan naskah-naskah Jawa sejenis itu, bahwa orang-orang yang termasuk golongan menengah Islam ini ternyata menempati kedudukan yang penting; mereka berbeda dari golongan Keraton di satu pihak, dan dari golongan tani di pihak lain. Oleh karena itu, sangat beralasan ketika Graaf (1985: 6) mengesankan bahwa pada abad ke-15 dan ke-16, golongan menengah Islam di wilayah perdagangan dan lingkungan spiritual di luar kota Keraton banyak sumbangannya terhadap perkembangan pembaharuan Jawa yang sudah dipengaruhi Islam. Dalam bahasa yang berbeda, Tjandrasasmita (2000: 30) mengatakan bahwa pada abad ke-14-15 dan ke-16 M kunci pelayaran dan perdagangan di lautan sebagian besar ada pada golongan pedagang-pedagang Muslim. Demikianlah, kesan Graaf bila dihubungkan dengan pengenalan bahasa Arab Indonesia, maka muncul dugaan bahwa komunitas pedagang-pedagang Muslim berperan ganda. Di satu pihak mereka adalah saudagar, di pihak lain mereka adalah da’i. Hal ini ditegaskan oleh Tjandrasasmita (2000: 28) bahwa apabila pada waktu kedatangan pertama-tama ke setiap daerah mereka bertujuan dagang, maka pada tahap berikutnya secara tidak langsung dapat pula
menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Lambat laun terjadi hubungan antara kelompok-kelompok mereka dengan masyarakat setempat, dan akibat lanjutnya adalah terjadi Islamisasi. Gambaran lain mengenai kehidupan soisal-keagamaan tingkat tertentu juga dapat dilihat pada pesantran yang merupakan tempat penggemblengan kader-kader santri agar nantinya menjadi ulama, kyai dan pemimpin keagamaan dalam masyarakat. Dalam hal ini, Madjid (t.th.:8) mengatakan bahwa banyak orang berhasil memperoleh status sosial-keagamaan –juga berhak atau titel kyai, ustadz, atau yang lainnya-- hanya karena dianggap ahli dalam gramatika bahasa Arab ini. Bentuk konkrit keahlia itu biasanya sederhana, yaitu kemampuan mengaji atau mengajarkan kkitab-kitab.... Lebih lanjut Madjid (t.th.: 8) konotasi keagamaan dalam keahlian bidang ini semata-mata karena objek studinya adalah bahasa Arab. Bahan ajar tatabahasa Arab bersumber pada kitab-kitab berbahasa Arab, yang menggambarkan tingkat kemampuan santri. Bruinessen (1999: 151) memuat ilustrasi tingkatan kemampuan itu melalui bahan ajar digunakan dalam pembelajaran bahasa Arab Indonesia. Karya shorof yang populer di pesantren Jawa adalah Amtsilah Tashrifiyyah yang ditulis oleh Muhammad Ma’shum bin Ali dari Jombang. Pada tingkatan selanjutnya Hall al-Maʻqûd min Nazhm al-Maqshûd dipelajari, sebagai pengganti atau bersamaan dengan al-Maqshûd, dan ini biasanya diikuti dengan penjelasan yang lebar melalui kitab ʻIzzi dan Kailani. Sementara bahan ajar nahwu digunakan secara berjenjang mulai Jurumiyyah, Imrithi (versi Jurumiyyah dalam bentuk bait-bait bersajak), Mutammimah (kitab syarah yang lebih mendetail) sampai ke Alfiyah karya Ibn Malik (600-672 H.), yang biasanya dipelajari bersama-sama syarahnya Ibn ʻAqil. Kitab Alfiyah, menurut al-As’ad (1992: 227), memang populer di kalangan pelajar sampai dewasa ini. Bahkan populeritas Alfiyah menjangkau Indonesia, sebagaimana dipahami dari laporan Martin Van Bruinessen (1999: 141). Hal itu mendorong intensifikasi kajian terhadap kitab Alfiyah, dan ini juga didorong lebih jauh oleh tulisan-tulisan yang merupakan penjelasan (syarh), penjelasan atas penjelsan (hâsyiyah), dan komentar (ta‘lîq) atas kitab Alfiyah. Sebut saja, misalnya Ibn al-Nadzim (w. 686 H.) yang dipandang sebagai pemberi syarh pertama atas kitab Alfiyah, Ibn al-Nahhas (w. 697 H.) yang belajar linguistik Arab dari murid Ibn Malik, yaitu Ibn Umarun, Ibn Hisyam (w. 761 H.), Ibn Aqil (w. 769 H.) yang bukan saja memberi syarh atas kitab Alfiyah, tetapi juga atas kitab Tashîl al-Fawâ’id wa Takmîl alMaqâshid yang juga karya Ibn Malik, Ibn Jama’ah (w. 819 H.) yang memberi hâsyiyah atas syarh Ibn Nadzim, al-Dimaminiy di India (w. 827 H.) yang memberi syarh atas kitab Tashîl alFawâ’id wa Takmîl al-Maqâshid, al-Suyuthi (w. 911 H.) yang memberi komentar (ta‘lîq) atas kitab Alfiyah Ibn Malik, al-Asymuniy (w. 929 H.) yang memiliki karya dengan judul Manhaj al-Sâlik ila Alfiyat Ibn Malik, syarh atas kitab Alfiyah, al-Hafna (w. 1178 H.) yang memberi hâsyiyah atas Syarh al-Asymuniy, al-Shiban (w. 1206 H.) yang memberi hâsyiyah atas Syarh al-Asymuniy (al-Thanthawi, 1969: 230-256). Karena itu, tidak sulit memahami mengapa alfiyah Ibn Malik ini menjadi sangat populer dan masih dipergunakan hingga hari ini, termasuk di pesantren-pesantren Indonesia. Bahasa Arab Indonesia semakin menemukan bentuk pengenalan yang intens di kalangan masyarakat Muslim Nusantara. Pengenalan yang intensi diwujudkan dalam bentuk pemelajaran tatabahasa Arab (nahwu shorof) yang mendapat porsi perhatian sedemikian rupa sehinga terkesan bahasa Arab Indonesia identik dengan tatabahasa Arab. Proses pemelajaran yang berhajad pada porsi yang relatif besar terhadap tatabahasa Arab ini, justru membentuk keterampilan tertentu dan menjadi semacam “kunci” untuk membuka hazanah pemikiran keagamaan atau meminjam istilah Azra membuka “kandungan intelektual”. Kemampuan masyarakat Muslim Indonesia bidang ini mengundang decak kagum ulama Timur Tengah. Hal ini dinyatakan oleh Wahid (2007: 134) bahwa pendalaman ilmu-ilmu bahasa Arab sebagai ilmu bantu untuk fiqh merupakan sesuatu yang mengagumkan, bahkan bagi para ulama Timur Tengah, karena hingga hari ini bacaan dan penguasaan gramatika ini merupakan keunggulan ulama-ulama Indonesia di pesantren atas ulama-ulama Timur Tengah.
Demikianlah, jika dikaitkan dengan Indonesia yang diklaim sebagai negara muslim terbesar, maka bahasa Arab mendapatkan akar-akarnya dalam masyarakat, mengingat bahasa Arab digunakan untuk kepentingan agama. Selain itu, bahasa Arab juga menjadi bahasa pengantar dalam jaringan intelektual, khususnya dalam konteks pembaharuan pemahaman terhadap agama dalam konteks lokal Indonesia. Penelitian Azra (1994), misalnya, menyorot jaringan keilmuan di antara ulama Timur Tengah dengan murid-murid Melayu-Indonesia Abad ke-17 dan ke-18 dengan tokoh intelektual Nur al-Din al-Raniri (w. 1068/1658), Abd. Al-Ra’uf al-Sinkili (1024-1105/1615-1693) dan Muhammad Yusuf al-Maqassari (1037-1111/16271699). Juga penelitian Mas’ud (2006) melacak jejak intelektual arsitek pesantren Abad ke-19 dan paroh pertama Abad ke-20, yang mengangkat tokoh Nawawi al-Bantani (1813-1897), Mahfuz al-Tirmisi (w. 1338/1919), Khalil Bangkalan (1819-1925), K.H.R. Asnawi Kudus (1861-1959) dan Hasyim Asy’ari (1871-1947). Ajaran dan tendensi para tokoh ini hampir semuanya diekspresikan dengan menggunakan media bahasa Arab, dan ini tidak mungkin dilakukan tanpa dukungan bahasa Arab Indonesia yang mengalami distorsi muatan sebagaimana dipaparkan di atas. Fakta dan data menunjukkan bahwa bahasa Arab memberikan kontribusi dalam pembentukan kata bahasa Indonesia. Penelitian Sudarno (1990), misalnya, yang hasilnya kemudian dibukukan dengan judul Kata Serapan dari Bahasa Arab, bisa dikedepankan sebagai contoh. Menurut Sudarno (1990: 60) proses masuknya kata-kata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia meyebabkan persinggungan kedua aturan yang berbeda tersebut, yang implikasinya adalah terjadinya perubahan pada 2 (dua) hal, yaitu: a) perubahan bentuk kata-kata serapan yang masuk dan b) perubahan perubahan kaidah bahasa Indonesia. Perubahan itu menyangkut bidang fonetik, pola suku kata, dan rangkaian suku kata. Beralasan ketika Azra (1998: 138) menyatakan bahwa bahasa Arab tidak hanya merupakan bahasa Islam yang berkembang di pesantren, madrasah, cendekiawan dan masyarakat Islam, tetapi juga bahasa Arab terintegrasi ke dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Daerah. Sekurang-kurangnya dalam pertumbuhan perbendaharaan kata, baik dalam arti leksikal maupun dalam semantik. Misalnya: sabun, nafsu, dewan, kertas..., yang kesemuanya berasal dari bahasa Arab. Bahkan bahasa Arab dijadikan sebagai media untuk membakar semangat perjuangan mengusir penjajah Belanda melalui nyanyian heroik (Azra, 1998: 139)
إن ﷲ ﻣﻌﻨﺎ، ﻻ ﲣﻒ وﻻ ﲢﺰن، ﻳﻬﻮد و ﻧﺼﺎرى ﺗﻔﺴﺪ ﰲ اﻷرض، اﻧﻈﺮ اﱃ وﻃﻨﻜﻢ، ﻗﻢ ﻣﻦ ﻧﻮﻣﻜﻢ، اﺑﻦ أ ﺟﻨﺴﻨﺎ اﻧﺪوﻧﻴﺴﻴﺎ (artinya: “...hai putera-puteraku bangsa Indonesia, bangunlah dari tidurmu, lihatlah tanah airmu. Penjajah membuat kerusakan di muka bumi. Jangan takut, jangan gentar sesungguhnya Allah beserta kita”) Demikianlah, dalam sejarahnya bahasa Arab Indonesia telah memainkan peran bagi bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia, jiwa dan rohnya ditransfusi dari darah bahasa Arab Indonesia, bahkan gelora perjuangan disuntik dengan cairan bahasa Arab Indonesia. Lebih dari itu, sebagaimana akan dipaparkan di atas, bahasa Arab Indonesia menjadi cermin budaya Indonesia, sehingga dunia Internasional bisa melihat kebudayaan Indonesia melalui bahasa Arab Indonesia. Belakangan ini bahasa Arab Indonesia diserahkan penanganannya secara keroyokan melibatkan Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ristek, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bisa dipahami jika visi dan orientsi pemelajaran Bahasa Arab Indonesia berbeda-beda sesuai dengan perbedaan visi lembaga-lembaga terkait itu. Secara sosiologis, Bahasa Arab Indonesia, berdasarkan hasil pengamatan Azyumari Azra (dalam Sauri, 2008: 11), diyatakan bahwa di Indonesia bahasa Arab sebenarnya banyak dipelajari di sekolahsekolah non-pemerintah seperti madrasah, pesantren, atau kursus-kursus yang sifatnya nonformal.
Demikianlah, secara fungsional Bahasa Arab Indonesia memiliki peranan dalam peningkatan Sumber Daya Manusia Indonesia. Urgensi Bahasa Arab Indonesia menjadi semakin nyata bila dikaitkan dengan konteks keindonesiaan yang belakangan berjuang menjelaskan Islam damai, Islam Moderat, Islam toleran dan terma-terma yang tendensius lainnya, khususnya terkait dengan gerakan radikal yang bersumber dari interpretasi keagamaan yang dangkal, yang dalam wacana kontemporer sering diistilahkan dengan Islam Nusantara. Bahasa Arab Indonesia diharapkan bisa menjelaskan aspek kebahasaan dari makna teks-teks keagaman sesuai dengan konteks lokal keindonesiaan. Bahasa Arab Indonesia: Antara Kenyataan dan Harapan Bahasa merupakan eksistensi yang tidak terpencil dan tumbuhkembangnya tidaklah dari “ketiadaan”. Bahasa merupakan eksistensi masyakat yang menyantap menu peristiwa-peristiwa sosial dan terpengaruh oleh faktor-faktor perkembangan sejarah. Bisa diduga bahwa bahasa akan menggambarkan kondisi suatu masyarakat, apakah ia terbelakang atau berperadaban dan apakah ia mengalami perkembangan meningkat atau perkembangan menurun. Dengan kalimat lain, budaya suatu masyarakat bisa dilihat dari bahasanya karena, bahasa merupakan pita rekaman detail-detail kehidupan sosial suatu masyarakat. Pada saat yang sama masyarakat tutur tidaklah terpencil dari masyarakat tutur lainnya. Masyarakat tutur hidup di antara berbagai masyarakat dengan berbagai variasi tuturan. Itu sebabnya mengapa masyarakat tunduk pada ketentuan bahwa ia mesti berinteraksi dengan masyarakat tutur lainnya dalam skema al-akhdzu wa al-iʻthâ’ (take and give). Skema ini memunculkan hubungan-hubungan politik, ekonomi, dan kebudayaan. Ini berarti interaksi masyarakat tutur, baik secara internal maupun eksternal, potensial bagi terjadinya al-shirâʻ allughawiy (konflik bahasa) yang implikasinya, boleh jadi, ada bahasa yang tersisihkan. Sebuah wilayah yang luas seperti bangsa Indonesia dengan berbagai etnis dan budaya yang ada di dalamnya, lazim memiliki beraneka ragam bahasa dan kebudayaan. Kondisi in potensial bagi letupan konflik budaya yang menurut Harsya W. Bachtiar (dalam Azra, 1998: 140) terjadi karena tuntutan masing-masing sistem budaya untuk mendapatkan otonominya. Budaya etnis (suku bangsa), budaya agama (dalam konteks ini budaya Islam dengan bahasa Arab), budaya Barat dan budaya Indonesia saling berpacu untuk menanamkan pengaruh sebesar-besarnya dalam pembentukan budaya Indonesia. Demikianlah, bahasa Arab Indonesia mengalami perkembangan positif sepanjang perjalanan sejarah Jawi (Nusantara/Indonesia) pada rentang Abad ke-17 hingga paroh awal abad ke-20, dan ini merupakan prestasi tersendiri bagi masyarakat tutur yang bukan saja bilingual, tetapi juga multilingual. Prestasi ini menciptakan prestise tersendiri bagi masyarakat tuturnya, yang tentu saja secara psikologis membuat masyarakat memiliki kebanggaan (pride) untuk menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat Muslim Indonesia. Hanya saja, dibandingkan dengan masa lalu, pada belakangan ini kondisi bahasa Arab Indonesia tidak berbanding lurus karena, bahasa Arab Indonesia justru menciptakan budaya inferior di kalangan Muslim Indonesia sendiri, setidaknya untuk sebagiannya. Dalam hal ini, terdapat analisis bahwa meskipun budaya Islam berasal dari luar negeri, tetapi ia berhasil mendapatkan akar yang kuat dalam masyarakat Indonesia. Sebagai akibat tertentu ia (budaya Islam) kehilangan identitas dirinya sebagai budaya asing. Kendatipun kenyataan bahwa sistem budaya Islam mempunyai banyak unsur, misalnya penggunaan bahasa Arab atau Arabisasi, tetapi pengasosiasian semacam ini menimbulkan semacam sikap mental yang menolak hal-hal yang berbau kearab-araban, seperti bahasa Arab. Sikap “menolak” bermula dari sikap inkonsistensi masyarakat Muslim Indonesia. Mereka ingin menggali “budaya asli” sambil mengambil budaya asing yang tidak luput dari cacimaki dan pujian (Azra, 1998: 140). Alih-alih mempraktekkan bahasa Arab, menggunakannya untuk nama seoarang anak yang baru lahir saja menimbulkan sikap keangganan, apalagi setelah “peristiwa September
kelabu” bagi Amerika Serikat. Bahkan beberapa tahun setelah peristiwa itu, nama-nama yang berbau kearaban, termasuk nama orang, menimbulkan persoalan keemigrasian, termasuk di negara-negara pendukung Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri pernah terjadi “diskrimasi keemigrasian” dimana nama-nama tertentu yang akan boarding pass harus melewati dan menuju ruang tertentu. Dari kondisi budaya dan sikap mental yang tidak menguntungkan itu, maka bahasa Arab Indonesia tidak mendapat pasaran dalam masyarakat Muslim Indonesia (Azra, 1998: 141). Hal ini diperparah oleh model pemelajaran bahasa yang parsial. Di beberapa lembaga pendidikan fenomema pemelajaran bahasa Arab mengalami distorsi muatan dimana bahasa Arab menjadi dipadankan secara paralel dengan tatabahasa Arab yang sering disebut nahwu. Hal ini mengandung konsekuensi membentuk paradigma berpikir santri bahwa seseorang dipandang tuntas berbahasa manakala dia memiliki kemampuan untuk mendeskripsikan kaidah-kaidah tatabahasa Arab dan menerapkannya pada contoh-contoh kalimat. Memang pemelajaran yang berorientasi kepada tatabahasa tidak harus selalu dipandang salah mengingat pemelajaran juga mesti membekalkan keterampilan membuat konstruksi kalimat berbasis pada kaidah-kaidah tatabahasa, yang dalam wacana lingusitik terapan sering pemelajaran bahasa berbasis al-Qawâʻid wa al-Tarjamah (tatabahasa-terjemah). Dalam konteks Indonesia periode tertentu, metode ini telah melahirkan sejumlah ulama yang bukan saja berkiprah dalam tingkat nasional, tetapi juga tingkat internasional. Informasi ini disampaikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (2007: 134) bahwa pendalaman ilmu-ilmu bahasa Arab sebagai ilmu bantu untuk fiqh merupakan sesuatu yang memang mengangumkan, bahkan bagi para ulama Timur Tengah, karena bacaan dan penguasaan atas gramatika ini merupakan keunggulan ulama-ulama Indonesia di pesantren atas ulama-ulama Timur Tengah. Ini terbukti sampai hari ini. Penguasaan atas gramatika klasikal bahasa Arab ini merupakan modal utama para kiai pesantren dalam percaturan ilmiah dunia Islam. Hanya saja, kemampuan yang diperoleh melalui pemelajaran bahasa Arab seperti di atas masuk dalam ranah kognitif. Sedangkan ranah psikomotorik menjadi tidak tertangani secara baik. Akibatnya pemelajar memiliki “lincah lidah” kaidah Arab, tapi tidak memiliki “lancar lidah” bahasa Arab. Keterampilan bahasa yang terbatas pada ranah kognisi tentu saja belum memadai untuk kepentingan-kepentingan komunikasi yang mengandalkan pada bahasa tutur. Penting disebutkan bahwa pemelajaran berbasis pada al-Qawâʻid wa al-Tarjamah menciptakan persoalan psikologis tersendiri. Ada keluhan bahwa pemelajaran bahasa Arab sulit dan rumit. Hal ini terkait dengan sistem sintaksis yang berbeda antara satu bahasa dengan bahasa lainnya, baik pada tataran morpologi maupun tataran sintaksis itu sendiri, yang secara tehnis-terminologis. Bersama-sama dengan morpologi, sintaksis merupakan bagian dari subsistem tatabahasa atau gramatika. Kalau morpologi menelaah struktur intern kata, maka sintaksis menelaah struktur satuan bahasa yang lebih besar dari kata, mulai frasa hingga kalimat. Tegasnya sintaksis merupakan studi gramatikal struktur antarkata. Dalam hal ini, kaidah-kaidah sintaksis dalam tatabahasa menjelaskan kegramatikalan kalimat, urutan kata, kataksaan struktural, hubungan-hubungan gramatikal, makna strukural dan aspek produktif bahasa (Kushartanti, 2005:123,127). Penelitian Ibrahim Mushtafa (1888-1962 M.) terhadap kitab-kitab bahasa memang menghasilkan temuan bahwa di sana terdapat sejumlah buku bahasa yang judulnya mengekspresikan tingkat kesulitan tertentu. Sebut saja, misalnya tashîl (membuat mudah), taudlîh (membuat jelas), taqrîb (membuat dekat) dan audlah (pembersih, penerang, penuntun) (Mushtafa, 1959: ii). Secara leksikal kata-kata yang dipergunakan untuk menjadi judul-judul kitab nahwu ini mengisyaratkan buku-buku bahasa yang menyimpan sejumlah persoalan yang akan dihadapi, ketika buku-buku itu dipahami. Penelitian Abbas Hasan (1966: 66-67) terhadap kitab-kitab bahasa semisal Ham‘u alHawâm‘, al-Asymûmiy dan al-Shibân menghasilkan temuan bahwa buku-buku tersebut
menyajikan pluralisme pandangan tatabahasawan yang mengandung konsekuensi memunculkan variasi validitas kaidah bahasa yang bisa dipergunakan untuk meregulasi bahasa. Di dalam buku-buku tersebut dijelaskan klasifikasi kata menjadi ism (nomina), fi‘l (verba) dan harf (partikel) disertai definsi, karakteristik dan jenis masing-masing. Di sana juga disajikan hukum-hukum i‘râb dan penanda gramatikalnya bagi unit-unit lingual yang berfungsi sebagai fâ‘il, mubtada’, nawâsikh, al-marfû‘ât, al-manshûbât, al-majrûrât, verba transitif dan intransitif, sebagaimana diulas unit-unit lingual sebagai ‘âmil, baik yang posisinya di depan ma‘mûl maupun di belakang ma‘mûl. Juga i‘râb al-asmâ’ al-khamsat, mutsanna (dual) dan jama’ (plural). Di dalam al-Asymûmiy disebutkan paling tidak 10 pandangan, bahkan al-Shibân menyebutkan 12 pandangan tentang i‘râb al-asmâ’ al-khamsat. Alih-alih kata sepakat, pandangan tatabahasawan yang berdekatan pun kebanyakan tidak ditemukan. Hal ini berimplikasi pada kesulitan menjadikan tatabahasa sebagai perangkat penunjang untuk mengekspresikan gagasan, baik secara tulis maupun lisan. Dengan kalimat lain, belajar tatabahasa tidak membentuk keterampilan berbahasa. Tegasnya tatabahasa mengalami disorientasi, dari kemahiran berbahasa (learn how to use language) menjadi pengetahuan bahasa (learn about language) yang memiliki kecenderungan yang kuat pada pengasahan nalar (rational exercises). Akibat lanjutnya adalah bahasa menjadi wahana latihan penalaran dari pada bahasa itu sendiri. Dalam kondisi yang seperti itu, bangsa Arab tidak memiliki kebanggaan terhadap bahasa Arab. Hal ini bisa dilihat dalam konferensi pers yang mereka selenggarakan kadangkadang justru dengan menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Arab. Lebih dari itu, dari perspektif eksternal bangsa Arab, dibandingkan negera-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai sebagai Nasional, bangsa Arab atau negara-negara yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa Nasional kurang menaruh perhatian pada pengajaran bahasa Arab bagi orang asing. Keprihatinan ini terkonfirmasi oleh penulis Arab, Ahmad Muhammad Qadur (1999: 161) yang mengatakan karena alasan-alasan yang bersifat materi dan non-materi para ahli berhanti dari kegiatan menulis dan menerjemah. Oleh karena itu, mesti ada visi dan orientasi perguruan tinggi yang mengarah kepada terbentuknya Pusat-pusat Kajian Ilmiah. Hal ini penting dipikirkan karena, berkurangnya produk-produk pemikiran yang terpublikasi yang relevan dengan pendidikan tinggi, akan menjadi sasaran kritik dari pihak-pihak yang tidak menghendaki bahasa Arab terangkat ke tingkat internasional. Demikinlah, bahasa Arab Indonesia --yang pernah mengalami kejayaan di bumi Indonesia dimana bahasa Arab merefleksikan budaya Indonesia melalui warisan intelektual yang terkodifikasikan-- mengalami keterpurukan. Beruntung Indonesia memiliki benteng perlindungan yang menjaga warisan budaya, yaitu lembaga-lembaga pendidikan agama, seperti: pesantren, madrasah, Sekolah Tinggi Agama Islam, Institut Agama Islam, Universitas Islam, baik negeri maupu swasta yang di bawah pengawasan dan pembinaan Kementerian Agama. Bahkan perguruan tinggi umum yang di bawah pengawasan dan pembinaan Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi pun ikut serta dalam melestarikan warisan budaya itu melalaui Program Studi Bahasa Arab. Sebut saja, misalnya, UI (Universitas Indonesia) di Jakarta, UGM (Universitas Gadjah Mada) di Yogyakarta, UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) di Bandung, UNPAD (Universitas Padjadjaran) di Bandung, UNJ (Universitas Negeri Jakarta), UM (Universitas Negeri Malang), UNESA (Universitas Negeri Surabaya), UNM (Universitas Negeri Makassar), dan USU (Universitas Sumatera Utara) di Medan dan sebagainya. Pemelajaran bahasa Arab untuk kepentingan akademik ataupun edukatif semestinya tidak diklaim sulit dan rumit. Keluhan itu memang fakta sosial yang tidak bisa dibiarkan tanpa evaluasi, tetapi perumusan pemecahan masalah ini juga tidak bisa dielakkan bagi akademisi, sehingga pemelajaran bahasa Arab tidak membuat orang merasa sulit dan rumit, khususnya bagi masyarakat di Indonesia. Dalam hal ini, adanya hubungan sinergis antara bahasa Arab
Indonesia dan budaya Indonesia karena, sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam. Tentu saja ini merupakan modal dasar bagi masyarakat di Indonesia untuk membangkitkan bahasa Arab Indonesia dalam perannya sebagai cermin budaya bagi dunia Internasional. Bisa dipahami bahwa memahami bahasa Arab Indonesia akan menambah kecintaan terhadap budaya Indonesia yang jiwa dan rohnya ditranfusi dari darah bahasa Arab Indonesia. Seorang Barorah Baried (dalam Arsyad, 2003: 10) meyakinkan kepada kita bahwa untuk mempersatukan kekuatan dunia ketiga, bahasa ini (bahasa Arab Indonesia) patut diperhatikan di Indonesia. Tidak banyak yang menyangkal bila dikatakan bahwa bahasa Indonesia mempunyai banyak perkataan yang berasal dari bahasa Arab. Oleh kerena itu, untuk mengadakan studi bahasa Indonesia diperlukan adanya pengetahuan dan pengertian akan bahasa Arab. Seorang linguistik dari Arab, Ibrahim Anis (dalam Arsyad: 2003:13) memberi signal bahwa untuk mempersatukan wilayah-wilayah yang sudah “islamized” (termasuk wilayah Indonesia), penyatuan bahasa merupakan faktor dominan dan lebih kuat daripada kesatuan agama. Sejarah lama dan baru mengungkap berapa banyak negara yang tadinya satu agama, tetapi lantaran berbeda bahasa, negera-negara tersebut terpisah dan bertarung kekuasaan satu sama lain. Dalam konteks keislaman dan keindonesiaan, dianggap perlu mengemukakan pandangan seorang mantan Dekan Fakultas Adab IAIN Alauddin Makasar, H, Mustafa M. Nuri (dalam Arsyad, 2003: 9) bahwa bahasa Arab (Indonesia) memegang peranan yang sangat penting untuk lebih memahami ajaran-ajaran agama guna ditransfer ke benak masyarakat awam, ke benak murid-murid yang cerdas. Perguruan Tinggi Agama yang tidak mementingkan bahasa Arab itu tidak rasional. Orang yang mengusai bahasa Arab sangat mudah untuk mengajar semua cabang ilmu agama. Sebaliknya, alumni perguruan tinggi agama yang bahasa Arabnya sangat minim, akan tidak efektif dalam pelaksanaan tugasnya sebagai guru agama, sebab ( ﻓﺎﻗﺪ اﻟﺸ ـ ـ ـ ـ ــﻴﺊ ﻻ ﻳﻌﻄﻰorang tidak memiliki apa-apa, tidak akan memiliki kemampuan untuk memberi sesuatu) Dari pandangan-pandangan dan argumentasi-argumentasi di atas, alasan-alasan mana lagi yang menyebabkan kita ragu-ragu? Bukankah sebuah asa sedang menunggu kita ? Tentu saja, persyaratan-persyaratan bagi tercapainya sebuah asa mesti kita penuhi. Ingat pesan moral yang disampaikan oleh seorang penyair kenamaan: ‘Anda ingin meraih sukses, tapi Anda tidak menempuh jalan-jalan menuju sukses, perahu itu tidak akan berlayar di atas permukaan tanah yang kering’ yang redaksi dalam bahasa Arabnya adalah sebagai berikut:
إن اﻟﺴﻔﻴﻨﺔ ﻻ ﲡﺮى ﻋﻠﻰ اﻟﻴﺒﺲ
÷ ﺗﺮﺟﻮ اﻟﻨﺠﺎة وﱂ ﺗﺴﻠﻚ ﻣﺴﺎﻟﻜﻬﺎ
Dalam kaitan dengan pesan moral itulah, rekomendasi Azra (1998: 142) penting diperhatian, yaitu: 1. menghilangkan asumsi bahwa belajar bahasa Arab identik dengan Arabisasi 2. mengubah anggapan selama ini yang menganggap bawha bahasa Arab adalah kolot yang hanya digunakan oleh kyai-kyai 3. melihat kembali struktur metode pengajaran bahasa Arab yang selama ini dipergunakan 4. mengubah dan menyesuaikan dengan kondisi dan system budaya Indonesia. Persoalannya kemudian adalah bagaimana tradisi keilmuan bahasa Arab Indonesia yang dinamis bisa dibentuk. Tentu saja, dinamika keilmuan bidang bahasa Arab Indonesia akan terjadi jika penelitian menjadi bagian dari keilmuan bahasa Arab. Selain itu, sebuah konsep tidak memiliki kebermaknaan jika tidak diupayakan penerjemahannya dalam implementasi di lapangan. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah melalui Kementerian terkait menjadi signifikan,
sehingga bahasa Arab Indonesia memiliki bargaining position yang tentu saja akan membuka peluang bagi ketertarikan masyarakat di Indonesia terhadap bahasa Arab Indonesia. Bagaimana pemerintah mendukung terangkatnya bahasa Arab diberikan contohnya oleh Muhbib (2007) bahwa pemerintah Malaysia di bawah Perdana Menteri Abdullah Badawi menerbitkan kebijakan berupa kewajiban bagi semua lembaga pendidikan (Islam, Kristen, Budha, Konghucu, dsb.) untuk mengajarkan bahasa Arab pada tingkat dasar dan menengah, karena pemerintah menghendaki para lulusan lembaga pendidikannya itu mempunyai daya saing dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat global. Selain itu, penggunaan bahasa Arab pada bandara internasional Kuala Lumpur sebagai salah satu media informasi (di samping bahasa Inggris, Mandarin, dan Melayu), ternyata banyak mengundang minat wisatawan dan investori dari Timur Tengah, di samping membuka lapangan kerja bagi lulusan bahasa Arab Indonesia. Dari uraian di atas, jelas bahwa harapan bahasa Arab Indonesia memiliki posisi tawar masih belum jelas bayangannya. Walaupun hal ini sangat disayangkan, tetapi sebenarnya ada sebuah hikmah yang tersirat dalam kenyataan ini, yaitu tantangan bagi masyarakat di Indonesia untuk menumbuhkan kesadaran pembelajaran bahasa Arab yang lebih relevan dengan situasi dan budaya Indonesia, dan salah satu keilmuan yang seksi dan berhubungan dengan bahasa Arab Indonesia adalah filologi. Refleksi dan Kemungkinan Sebagai catatan pamungkas, dipandang penting mengangkat prediksi Soedjatmiko (dalam Wahid, 2007: 15) tentang munculnya tiga peradaban dunia negara-negara berkembang di masa depan yang tidak terlalu jauh, yakni a) peradaban Sinetik (bersumber pada daratan Cina) yang meliputi kawasan RRC, Korea, Japang dan Vietnam, b) peradaban Indik (bersumber pada pada ke-India-an) dengan lingkup sebagian Asia Tenggara, Srilanka dan anak benua India sendiri, dan c) peradaban Islam yang membentang dari Asia Tenggara hingga ke Maroko. Apa yang menarik dari pengamatan itu adalah terkait kebangkitan kembali peradaban Islam dimana Indonesia menjadi bagian di dalamnya. Dikatakan ‘menarik’ karena Indonesia sedang mendapat sorotan justru karena persoalan-persoalan yang dikaitkan dengan Islam, misalnya isu terorisme, isu bom Bali, isu Sunni versus Syi’ah, isu ISIS yang justru dideklarasikan di Ciputat yang dikenal sebagai pusat penggodokan intelektual Muslim Moderat dan sebaginya. Isu-isu ini meletupkan gumam Islam radikal, Islam keras, Islam garang, yang ajaran-ajarannya, menurut Guru Besar bidang Sastra Arab yang juga Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sukran Kamil, lebih merupakan problem penafsiran terhadap ayat-ayat daripada problem nilai-nilai Islam. Dalam wacana kritik sastra, penafsiran ini sangat strukturalis, karena pijakan utama analisis adalah karya (teks) itu sendiri. Sementara bagaimana unsur-unsur pembangun strukturnya sama sekali tidak mengikutsertkan analisis mengenai jati diri dan pandangan-pandangan pengarang, peranan pembaca sebagai pemproduksi makna, relevansinya dengan dunia nyata (Tirto Suwondo, 1994: 74). Dengan demikian, penafsiran menjadi positivistik, karena berdasarkan teksnya bisa dibuktikan secara empirik dengan merujuk teks. Teks pun menjadi sebanding dengan tingkah laku sosial (Kamil, 2009: 183). Kondisi tersebut tak pelak mengundang anggapan mustahil bahwa kebudayaan Islam bangkit kembali di Indonesia. Sinisme ini justru akan membesarkan kebudayaan Islam di
Indonesia. Kebesaran material yang diwariskan kepada dunia dalam bentuk kebanggaan manuskrip, tradisi transformasi intelektual dari generasi ke generasi, dan kelangkapan yang ada pada masa lampau kebudayaan Islam di Indonesia; semuanya dapat digunakan sebagai alat pengembangan kebudayaan Islam baru di Indonesia di masa depan. Salah satu syarat mutlak kebangkitan kembali sebuah peradaban dunia sudah terpenuhi oleh peradaban Islam, yaitu: “persambungan elemen-elemen warisan material yang begitu megah, diantarkan ke gerbang kebangunan kembali oleh kelengkapan yang berkembang dalam dirinya” (Wahid, 2007: 17). Paralel dengan itu adalah kebudayaan Islam di Indonesia yang salah satu wujud warisan materialnya adalah manuskrip. Hasilnya dapat diamati dari tumbuhkembangnya kajian filologi terhadap naskah-naskah berbahasa Arab. Guru Besar pertama bidang filologi Islam di Indonesia, yang juga mantan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Oman Fathurahman (2015: 59) mengatakan: “masuknya sarjana dan peneliti naskah dari kalangan IAIN pada gilirannya sangat mewarnai kecenderungan untuk memilih teks keislaman, dan mendiskusikan kandungan isinya secara lebih mendalam”. Akibat lanjut adalah ledakan kajian-kajian keislaman dalam bentuk skripsi, tesis dan disertasi dengan pendekatan yang oleh Fathurahman (2015: 63) disebut “filologi plus” (yang boleh jadi terinspirasi dari istilah pijit plus), yaitu kajian naskah dengan pendekatan multidisiplin ilmu, mencakup penerapan kritik teks disertai kajian mendalam atas konteks Islam lokalnya, dan dengan memanfaatkan pendakatan berbagai teori, termasuk teori-teori sastra. Kalau disepakati bahwa ledakan kajian “filologi plus” merupakan kebangkitan kembali kebudayaan Islam di Indonesia, maka bahasa Arab Indonesia akan menemukan masa depannya pada kajian-kajian manuskrip berbahasa Arab. Mengingat sebuah teks, termasuk manuskrip, ditulis bukan dari “ketiadaan”, tetapi sebagai respon terhadap perkembangan masyarakat yang terjadi pada saat tulisan dihasilkan, maka manuskrip-manuskrip merepresentasikan konstruksi budaya Islam masa tertentu dari perkembangan kebudayaan Indonesia. Guna memperkuat basis keilmuan bahasa Arab Indonesia dipandang penting mendirikan Pusat Bahasa Arab Indonesia (PBAI) yang salah satu devisinya adalah devisi penerjemahan. Dalam sejarah peradaban Islam, kebangkitan peradaban di dunia Islam selalu diawali dengan kegiatan penerjemahan yang dilakukan secara kelembagaan dimana pemerintah memberi dukungan riil sepenuhnya kepada gerakan penerjemahan. Secara institusional, kehadiran lembaga ini bukan saja memperkokoh basis keilmuan bahasa Arab Indonesia, tetapi juga sarana pendukung bagi tranformasi intelektual dari satu generasi ke generasi berikutnya. Selain itu, Lembaga ini bisa menjadi tempat penyaluran penerjemah-penerjemah muda lulusan Program Studi Tarjamah dan linguis-linguis muda lulusan Program Studi Bahasa dan Sastra Arab, yang selama ini mengandalkan kepada kerahiman penerbit, khususnya penerbit yang memiliki komitmen pada ilmu-ilmu keislaman. Ini berarti geliat mereka ditentukan oleh gelagat penerbit. Dengan demikian PBAI akan mewadahi terjadinya tranformasi Program Studi Tarjamah dan Program Studi Bahasa dan Sastra Arab akibat ledakan kajian-kajian “filologi plus".Wallahu aʻlamu bi al-shawâb.
Daftar Pustaka Arsyad, Azhar, 2003, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya, Beberapa Pokok Pikiran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan ke-1 As‘ad, Abd (al-). al-Karim Muhamad, 1992, al-Wasîth fî Târîkh al-Nahwi al-‘Arabiy, Riyadl: Dâr al-Syawâf, Cet. ke-1 Azra, Azyumari, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Penerbit Mizan, Cetakan ke-1 -------------------, 1998, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cetakan ke-1 Baqilani (al-), 1990, I´jâz al-Qu’ân, Beirut: Dâr Ihyâ ´Ulûm al-Dîn, Cetakan ke-2 Bloomfield, Leonard, 1995, Bahasa, diindonesiakan oleh I. Sutikno, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan ke-1 Bruinessen, Martin Van, 1999, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, Cetakan ke-3 Chaer, Abdul dan Leonie Agustina, 2004, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Jakarta: Rineka Cipta, Cetakan ke-2 Fathurahman, Oman, 2015, FIlologi Indonesia: Teori da Metode, Jakarta: Prenadamedia Group, Cetakanke-1 Graaf, H.J. de dan TH. G. TH. Pigeaud, 1985, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa; Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16, Jakarta: PT Grafiti Psers, Cetakan ke-1 Hammad, Ahmad Abd. Al-Rahman, 1983, ´Awâmil al-Tathawwur al-Lughawiy, Beirut: Dâr alAndalus Hasan, Abbas, 1966, al-Lughat wa al-Nahwu bain al-Qadîm wa al-Hadîts, Kairo: Dâr alMa‘ârif Harahap, Syahrin, 1994, Al-Qur’an dan Sekulerisasi; Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha Husein, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, Cetakan ke-1 Husein, Thaha, 1969, Fî al-Adab al-Jâhiliy, Kairo: Dâr al-Ma´ârif, Cetakan ke-10 Haikal, Muhamad Husein, 1995, Sejarah Hidup Muhamad, terjemahan dari Hayât Muhammad oleh Ali Audah, Jakarta: Litera Antarnusa, Cetakan ke-18 Ibn Jinniy, al-Khashâ’ish, 2001, Beirut: Dâr al-Kutub al-ʻIlmiyyah, Cetakan ke-1
Kamil, Sukran, 2009, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, Cetakan ke-1 Koentjaraningrat, 2009, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, Cetakan ke-9 Kushartanti, dkk. (peny), 2005, Pesona Bahasa; Langkah Awal Memahami Linguistik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan ke-1 Madjid, Norcholish, t.th., Bilik-Bilik Pesantren, Jakarta:Dian Rakyat Mas’ud, Abdurrahman, 2006, Dari Haramain ke Nusantara, Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan ke-1 Mushtafa, Ibrahim, Ihyâ’ al-Nahw, (Kairo: Lajnat al-Ta'lîf wa al-Tarjamat wa la-Nasyr, 1959) Qadur, Ahmad Muhammad, 1999, Madkhal ilâ al-Lughat al-ʻArbiyyah, Beirut: Dâr al-Fikr alMuʻâshir, Cetakan ke-2 Salam (al-), Muhamad ibn, 1988, Thabaqât al-Syu´arâ’, Beirut: Dâr al-Kutub al-´Ilmiyyah Santoso, Anang, 2007, “Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya” dalam Bahasa dan Seni, Tahun 35, Nomor 1, Februari Sauri, Sofyan, 2008, “Sejarah Perkembangan Bahasa Arab dan Lembaga Islam di Indonesia” dalam Historia: Journal of Historical Studies, IX, 1, Juni Shaleh (al-), Shubhi, 1986, Dirâsât fî Fiqh al-Lughah, Beirut: Dâr al-ʻIlm li al-Malâyîn, Cetakan ke-11 Shihab, M. Quraish, 1997, Mukjizat al-Qur’an Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, Bandung: Mizan Sumarsono dan Paina Partana, 2002, Sosiolinguistik, Yogyakarta: SABDA, Cetakan ke-1 Saussure, Ferdinand de, 1966, Coure in General Linguistcs, Boston: McGraw Hill Sudarno, 1990, Kata Serapan dari Bahasa Arab, Jakarta: Arikha Media Cipta, Cetakan ke1Zaidan, Jurji, 1957, Târîkh Âdâb al-Lughat al-ʻArabiyyah, Jilid I, Kairo: Dâr al-Hilâl Suwondo, Tirto, 1994, “Analisis Struktural: Salah Satu Model Pendekatan dalam Penelitian Sastra”, dalam Teori Penelitian Sastra, Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia IKIP Muhammadiyah Yogyakarta, Cetakan ke-1 Thantawiy (al), Muhamad, 1969, Nasy'at al-Naw wa Târîkh Asyhur al-Nuhât, Tahqiq Abd. alAdzim al-Syanawiy dan Muhamad Abd. al-Rahman al-Karawiy, Kairo: Maktabah alNahdhat al-Mishriyyah, Cet. ke-2 Tjandrasasmita, Uka, 2000, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia, Kudus: Menara Kudus, Cetakan ke-1
Wafiy (al-), Ali Abd. al-Wahid, 1962, Fiqh al-Lughah, Kairo: Lajnat al-Bayân al-´Arabiy, Cetakan ke-5 Wahab, Muhbib Abdul, 2007, ‘‘Tantangan dan Prospek Pendidikan Bahasa Arab Di Indonesia’’ dalam Afaq Arabiyyah, Vol. 2, No. 1 Juni, 1-18 Wahid, Abdurrahman, 2007, Islam Kosmopolitan; Nilai-nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan, Jakaarta: The Wahid Institut, Cetakan ke-1