2 bahan kimia rumah tangga, kondisi panas dan dingin, dan (3) Mengetahui daya rekat bahan finishing terhadap substrat atau lapisan dibawahnya. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai sumber informasi mengenai karateristik pewarnaan kayu rakyat dengan menerapkan teknik fumigasi amonia sehingga menjadi salah satu alternatif bagi industri mebel agar dapat memperoleh kualitas penampilan kayu yang baik dan dapat menjadi tambahan informasi bagi pelaku industri mengenai penggunaan bahan finishing pelarut air.
TINJAUAN PUSTAKA Akasia (Acacia mangium Wild) Kayu Akasia termasuk kedalam famili Fabaceae. Kayu akasia memiliki BJ sebesar 0,47–0,52. Kayu akasia memiliki corak yang polos berwarna gelap dan terang bergantian pada bidang radial, tekstur halus sampai agak kasar dan merata, arah serat biasanya lurus, kadang terpadu. Permukaan agak mengkilap, kesan rabanya licin dan kekerasannya berkisar dari agak keras sampai dengan keras (Pandit dan Kurniawan 2008). Kayu akasia yang diperoleh dari hutan tanaman diduga mempunyai sifat yang berbeda dalam hal sifat anatomi, sifat mekanis, komposisi bahan kimia, kayu remaja dan kayu reaksi. Beberapa pengalaman membuktikan bahwa kayu akasia berpotensi untuk digunakan sebagai kayu gergajian, moulding, meubel dan vinir. Papan yang diperoleh dari kayu akasia cukup memuaskan dengan permukaan yang bersih serta lurus tanpa gigitan gigi gergaji, arah seratnya lurus pada arah tangensial namun sedikit terjalin (interlocking) pada arah radial. Berdasarkan sifat tersebut terlihat bahwa kayu akasia tidak cukup kuat untuk kayu struktural konstruksi berat akan tetapi lebih baik digunakan untuk kayu konstruksi ringan dan meubel, sehingga kayu ini sangat potensial dikembangkan sebagai industri meubel dan pembuatan kusen. Jengkol (Archidendron parviflorum) Pohon jengkol merupakan tumbuhan asli Indonesia yang dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1000 mdpl. Tumbuhan jengkol dibudidayakan secara umum oleh penduduk di Jawa dan Sumatera. Damayanti dan Mandang (2007) dalam Muhammad (2012) mengemukakan bahwa kayu teras jengkol berwarna merah muda sedikit keputihan, dapat dibedakan secara jelas dengan kayu gubal yang berwarna putih, kuning sampai coklat pucat. Arah serat lurus dengan sedikit berpadu atau bergelombang dengan
3 tekstur agak kasar tapi rata dan memiliki tingkat kekerasan sangat lunak sampai agak keras. Kayu jengkol termasuk ke dalam kelas kuat II-III dengan kelas awet IV-V dengan berat jenis 0,4 (0,41-0,60). Kayu jengkol dapat digunakan untuk konstruksi ringan, papan sambung inferior, furnitur, lemari, kapal, dayung, perabot rumah tangga, pegangan pisau, sarung senjata, kotak dan peti mati. Selain itu dapat juga digunakan sebagai kayu bakar. Kemang (Mangifera kemanga) Kemang (Mangifera kemanga) adalah pohon buah sejenis mangga dengan bau yang harum. M. kemanga termasuk kedalam famili Anacardiaceae dan juga dikenal dengan nama lain seperti palong (Kutai). Kemang menyebar secara alami di Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya. Selain itu, kemang juga banyak dibudidayakan di Jawa bagian barat, terutama Bogor. Tumbuhan ini terutama menyebar di dataran rendah pada ketinggian 400-800 mdpl. Jenis ini tahan terhadap penggenangan dan seringkali dijumpai tumbuh di dekat sungai. Laban (Vitex pubescens) Laban termasuk famili Verbenaceae dan berupa pohon yang tingginya hingga mencapai 25 m. Pohon ini mempunyai banyak cabang yang tidak lurus serta tidak teratur. Kayunya cukup keras, padat, seratnya lurus, warnanya berselang-seling coklat kuning dan coklat pudar tua, dan kulit batangnya berwarna kuning kelabu. Laban terdapat hampir di seluruh Indonesia, Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bangka. Manfaat dari pohon laban antara lain daunnya digunakan untuk mengobati luka, kudis dan demam. Kulit kayunya digunakan untuk mengeringkan luka, sekaligus mempercepat proses penyembuhannya. Akar laban dapat dijadikan ramuan selepas bersalin, sakit badan, awet muda, antioksidan, mencairkan darah dan dapat melegakan batuk. Daun dan kulit laban berperan sebagai obat untuk memulihkan kesehatan setelah bersalin. Warna hijau muda diperoleh dari kain dicelup dahulu dalam larutan tom/tarum, kain menjadi berwarna biru, setelah agak kering kain dicelupkan kembali pada larutan kayu laban dan daun dandang gula. Kayu laban mempunyai warna yang indah sehingga banyak dipakai untuk pembuatan perkakas rumah tangga. Rebusan kulit V. pubescens digunakan untuk mengobati sakit perut, dan tapal dari daun yang digunakan untuk mengobati demam dan luka (Anonim 2007). Lamtoro (Leucaena glauca) Kayu lamtoro merupakan famili Leguminosae, termasuk kayu yang keras (Heyne 1987 dalam Seprina 2010). Lamtoro cukup mudah dikeringkan dengan hasil yang baik dan mudah dikerjakan. Kayu terasnya berwarna coklat kemerahan atau keemasan, bertekstur sedang, cukup keras dan kuat sebagai kayu perkakas, meubel, tiang atau penutup lantai. Kayu lamtoro tidak tahan terhadap serangan
4 rayap dan cepat membusuk apabila digunakan di luar ruangan, tetapi mudah menyerap bahan pengawet (Anonim 2009). Manglid (Manglietia glauca Bl.) Manglietia glauca Bl. merupakan salah satu jenis dari famili Magnoliaceae dan dikenal dengan nama daerah Manglid (Sunda), cemapaka bulus (Jawa), kepelan (Bali), dan Sitibai (Minangkabau). Manglid dapat mencapai ketinggian hingga 25-40 m dengan bebas cabang 25 m dan diameter mencapai 150 cm dan tersebar pada ketinggian 1000-1500 mdpl. Kayu manglid mengandung komponen kimia seperti selulosa, alpha selulosa, holoselulosa, hemiselulosa, lignin, abu dan silika, yang tersaji pada Tabel 2. Tabel 1 Komponen kimia kayu manglid
Komponen Kimia Selulosa Alpha selulosa Holoselulosa Hemiselulosa Lignin Abu Silika
Kadar (%) 87 90 72 85 96 56 08
Sumber: Triana (2005) dalam Anonim (2010)
Kayu manglid memiliki kayu yang mengkilap, struktur padat, halus, ringan dan kuat. Kekuatan kayunya digolongkan dalam kelas III dan kelas awet II. Adapun keuntungan dari kayu manglid adalah mudah dikerjakan karena memiliki BJ 0,41. Kayu ini sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan jembatan, perkakas rumah, dan barang-barang lainnya (Djam’an 2006). Oak (Quercus sp.) Kayu oak termasuk ke dalam famili Fagaceae. Di seluruh dunia terdapat sekitar 400 jenis oak dan dibagi dalam 3 kelompok jenis yaitu red oak, oak dan grup antara keduanya (Tucker 1980, Nixon 1997, Stephen R Shifley Dan Robert Rogers 2002 dalam Muhtar 2008). Oak memiliki nama botani Ouercus Alba., famili dari fagaceae, tumbuh alami di Amerika Utara bagian Timur dari Selatan Quebec sampai daerah Barat Minessota dan kearah Selatan Florida Utara ke Timur sampai Texas. Penyebaran kayu secara geografis berada di daerah Amerika bagian Utara, jenisnya antara lain white oak (Q. alba), chestnut oak (Q. prinus), post oak (Q. stellata), overcup oak (Q. lyrata), swamp chestnut oak (Q. michauxii), swamp white oak (Q. bicolor), bur oak (Q. macrocarpa) chinkapin oak (Q. muechlenbergii), dan live oak (Q. virginiana). Dari semua jenis oak, Quercus alba merupakan jenis yang utama dan yang paling penting untuk produksi venir dan kayu gergajian. Pohon ini dapat tumbuh
5 hingga mencapai 30 meter dan diameter 90-120 cm, mampu hidup hingga mencapai lebih dari 500 tahun, kayu gubal berwarna putih hingga cokelat muda dengan kepekatan yang berbeda-beda. Kayu teras berwarna kuning muda kecokelatan hingga cokelat gelap. Pori-pori kayu teras biasanya mengandung tilosis, yang dapat mencegah masuknya bahan cair ke dalam kayu. Kayu oak lebih berat dari pada kayu red oak. Kayu teras mempunyai ketahanan yang baik terhadap pembusukan (USDA FPL 1974). Variasi warna kayu jenis ini harus diperhatikan namun dapat dibedakan dengan jelas dengan red oak yang memiliki serat terbuka dengan jari-jari yang lebih panjang dibandingkan red oak, kadang berbulu dan memuntir. Papan tangensial menampilkan corak menyerupai lidah api hasil dari lingkaran tumbuh, sedangkan potongan radial memiliki pola mirip garis belang harimau dengan tekstur kayu medium sampai kasar (Keeler 1900 dalam Muhtar 2008). Puspa (Schima wallichii) Kayu puspa termasuk ke dalam famili Theaceae yang tinggi pohonnya dapat mencapai 40 meter dengan diameter sampai 250 cm dan tidak berbanir. Kulit luar berwarna merah muda, merah tua sampai hitam, beralur dangkal dan mengelupas. kayu teras berwarna coklat-merah atau coklat kelabu. Kayu gubal berwarna lebih muda dan tidak mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras. Kayu Puspa memiliki tekstur kayu yang halus, arah seratnya lurus atau berpadu. Permukaan kayu mengkilap, kesan rabanya licin dan struktur pori-pori hampir seluruhnya soliter dan kadang-kadang berisi tilosis. Persentase komponen kimia kayu puspa tersaji pada Tabel 3. Hasil penelitian Seprina (2010) memperoleh kandungan tanin kayu lamtoro sebesar 1,88%. Tabel 2 Komponen kimia kayu puspa
Komponen Kimia
Kadar (%)
Selulosa Lignin Pentosan Abu
51,2 27,0 16,6 0,4
Silika
0,1
Sumber: Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Kadir K, Prawira SA.(1989)
Kayu puspa cocok digunakan untuk tiang dan balok bangunan perumahan dan jembatan tetapi kurang baik untuk dibuat papan karena mudah berubah bentuk. Selain itu, kayu Puspa dapat dipakai untuk lantai, meubel rumah, perkapalan (gading-gading, dek) dan bantalan (diawetkan) (Martawijaya et al 1989). Waru Gunung (Hibiscus tiliaceus L.) Waru termasuk dalam famili Malvaceae. Pada bagian teras berwarna kelabu dan termasuk kayu ringan. Kayu waru dapat bertahan dalam tanah, sehingga kayunya dapat dipakai sebagai tiang. Di Jawa, kayu waru digunakan untuk
6 pembuatan kereta dan pedati, khususnya untuk pembuatan bingkai roda, ruji-ruji dan galah, serta untuk gagang kapak. Keawetan kayu waru terhadap serangga akan bertambah apabila bagian kayu gubalnya dihilangkan (Heyne 1987 dalam Seprina 2010). Seprina (2010) meneliti kandungan tanin pada beberapa jenis kayu, salah satunya kayu waru. Hasil penelitian kandungan tanin pada kayu waru diperoleh sebesar 5,04%. Fumigasi Amonia Sebenarnya telah ada metode pewarnaan cara fumigasi, seperti fumigasi belerang untuk menggelapkan dan mengkilapkan warna rotan secara alami. Belakangan ini aplikasi metode fumigasi, khususnya fumigasi amonia, telah mulai dicobakan pada kayu. Keunggulan dari metode fumigasi amonia ini adalah dapat meningkatkan tampilan warna dan corak kayu secara alami. Metode ini telah dicobakan di Amerika dan Eropa untuk mengubah tampilan warna dan corak alami kayu dengan hasil yang memuaskan (Kramer 1989). Fumigasi amonia merupakan salah satu metode pewarnaan kayu secara alami untuk menggelapkan dan memperkaya warna kayu oak. Fumigasi amonia ini tidak hanya mudah dilakukan namun hampir selalu berhasil dan sangat aman. Fumigasi merupakan proses dimana gas amonia bereaksi dengan kayu yang memiliki tanin alami. Perubahan warna yang telah terjadi pada kayu diperkirakan dapat bertahan selama ratusan tahun karena perubahan warna ini dialami oleh pigmen kayu itu sendiri dan tidak perlu khawatir akan terjadinya pengelupasan maupun pelunturan. Menurut Kramer (1989), fumigasi amonia bertujuan mereaksikan amonia dengan tanin dalam kayu agar terjadi perubahan warna secara permanen. Fumigasi amonia akan memberikan warna kayu menjadi sangat menarik dan warnanya lebih gelap. Dalam menggunakan amonia anhidrat diperlukan kewaspadaan karena amonia merupakan salah satu bahan kimia yang berbahaya. Fumigasi amonia merupakan metode yang digunakan dalam proses pembuatan furnitur, dengan warna kayu menjadi lebih gelap. Teknik ini hampir sama dengan finishing konvensional. Keuntungan menggunakan metode fumigasi amonia adalah amonia bekerja sendiri dalam proses fumigasi. Fumigasi membuat warna kayu lebih seragam dan lebih natural. Karakteristik hasil fumigasi lainnya adalah terbukanya pori-pori kayu dengan jelas seperti oak yang mengumpulkan zat warna ke dalam pori-pori kayu, sehingga diperoleh warna yang lebih gelap dan tampilan corak kayu yang indah. Peran Tanin dalam Fumigasi Amonia Kayu memiliki warna alami yang bervariasi dari hampir putih sampai berwarna hitam. Warna kayu dapat terjadi, terutama disebabkan karena adanya zat ekstraktif yang berpigmen pada kayu. Perbedaan warna kayu tidak hanya terjadi antar jenis kayu yang berbeda saja, tetapi perbedaan warna kayu ini juga dapat terjadi dalam jenis yang sama, bahkan dapat terjadi pada sebatang kayu. Kandungan zat ekstraktif yang berpengaruh terhadap perubahan warna ini adalah asam tanin (tannin acid).
7 Asam tanin atau yang lebih dikenal dengan tanin merupakan bahan baku pembuatan stain (warna). Asam tanin secara alami terdapat pada kayu oak, walnut, mahoni, dan dapat diaplikasikan pada kayu yang memiliki kadar tanin rendah dengan cara melapisi permukaan kayu dengan tanin yang dijual di pasaran. Luza (2009) menyatakan bahwa fumigasi menggunakan amonia yang bersifat basa pada kayu dengan kandungan tanin tinggi mengakibatkan amonia yang bereaksi semakin banyak dan warna yang dihasilkan semakin gelap. Pengolahan Citra (Image Processing) Pengolahan citra adalah proses mengamati dan menganalisa suatu objek tanpa berhubungan langsung dengan objek yang diamati. Proses dan analisanya melibatkan persepsi visual dengan data masukan maupun data keluaran yang diperoleh berupa citra dari objek yang diamati. Teknik-teknik pengolahan citra meliputi penajaman citra, penonjolan fitur tertentu dari suatu citra, kompresi citra dan koreksi citra yang tidak fokus atau kabur. Sedangkan citra merupakan sekumpulan titik-titik dari gambar yang berisi informasi warna dan tidak tergantung pada waktu. Umumnya citra dibentuk dari kotak-kotak persegi empat yang teratur sehingga jarak horizontal dan vertikal antar pixel sama pada seluruh bagian citra. Warna citra diperoleh dari penjumlahan nilai Red, Green, dan Blue (RGB) (Ahmad 2005 dalam Pradibta 2009). Menurut Ahmad (2005) dalam Pradibta (2009) pengolahan warna menggunakan model warna RGB sangat mudah dan sederhana, karena informasi warna dalam computer sudah dikemas dalam model yang sama. Salah satu cara yang mudah untuk menghitung nilai warna dengan menafsirkan hasilnya dalam model warna RGB adalah dengan melakukan normalisasi terhadap ketiga komponen tersebut. Normalisasi perlu dilakukan bila sejumlah citra ditangkap dengan penerangan yang berbeda-beda. Hasil perhitungan tiap komponen warna pokok yang telah dinormalisasi akan menghilangkan pengaruh penerangan, sehingga nilai untuk setiap komponen warna dapat dibandingkan satu sama lainnya walaupun berasal dari citra dengan kondisi penerangan yang berbeda. Bahan Finishing Pelarut Air (Waterbased Finishes) Bahan finishing pelarut air adalah bahan finishing yang menggunakan air sebagai pelarut utama. Bahan finishing ini hanya sedikit mengeluarkan emisi gas pada saat proses pengeringannya sehingga tidak akan mengotori udara lingkungan. Proses pengeringannya akan lebih lama dari jenis bahan finishing yang lain karena proses penguapan air yang lebih lambat daripada penguapan alkohol ataupun thinner. Namun kualitas lapisan film yang diciptakan tidak kalah baik dengan NC (Nitrocelullose) atau melamine. Di pasaran ada banyak sekali waterbased finishing material yang telah tersedia untuk memenuhi kebutuhan manusia, seperti waterbased coating, waterbased filer, waterbased stain, dan waterbased paint atau base coat. Bahan finishing pelarut air ini berbeda dari semua bahan pelarut finishing yang lainnya, antara lain mampu mengurangi kandungan bahan pelarut yang dipakai, mudah dibersihkan dengan air, dan tidak berwarna (Flexner 1994). Keuntungan lain yang
8 diperoleh dari bahan jenis ini adalah ramah lingkungan. Di samping aman bagi para karyawan yang bekerja di ruang finishing, saat di pergunakan oleh konsumen, penguapan bahan kimia juga lebih kecil. Finishing Kayu (Wood Finishing) Finishing kayu (Wood Finishing) adalah suatu proses dengan melakukan tahapan-tahapan kegiatan pengaplikasian suatu cairan (paint) yang akan menyebar pada suatu permukaan (surface) khususnya kayu, dan setelah mengering akan membentuk lapisan film tipis yang padat (Solid Thin Film) yang berfungsi sebagai perlindungan (protektif) dan peningkatan nilai keindahan kayu (dekoratif) (Adidarma 1998). Sifat-sifat finishing pada prinsipnya dapat dipengaruhi oleh tiga macam faktor diantaranya faktor kayu, faktor bahan pelapis yang digunakan, dan faktor aplikasi bahan finishing yang digunakan (USDA FPL 1974). a. Faktor kayu Kayu merupakan bahan baku yang sering digunakan dalam industri furniture dan material kayu memerlukan proses finishing dalam rangka peningkatan nilai jualnya. Setiap jenis kayu memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda sehingga sangat berpengaruh terhadap proses finishing. Beberapa sifat kayu yang berpengaruh dalam proses finishing adalah kembang susut kayu, kandungan zat ekstraktif, ukuran pori, dan tekstur kayu (ATTC 1992 dalam Nurhayati 2008). b. Faktor bahan finishing Menurut ATTC (1992) dalam Nurhayati (2008), cat dapat didefinisikan sebagai material pelapis berwarna dalam bentuk cair atau serbuk, setelah diaplikasikan akan membentuk lapisan fil yang tipis dan kering serta mempunyai fungsi sebagai pelindung dan memperindah permukaan kayu. Dalam cat terdapat 5 komponen penyusunnya yaitu bahan pembentuk film (binder), bahan pewarna (pigmen), bahan tambahan (extender) bahan pengisi (solvent), dan bahan pembantu ( additive). c. Faktor aplikasi bahan finishing Bahan finishing dapat diaplikasikan menggunakan rubbing, rolling, brushing, dan spraying. Metode yang lebih tepat digunakan tergantung pada beberapa faktor, termasuk karakteristik bahan finishing, metode pengaplikasian, atau ukuran dan bentuk objek yang akan di-finishing. Adapun keuntungan dalam penggunaan spray gun jika dibandingkan dengan brushing dan rolling adalah memiliki kualitas dan kapasitas produksi yang lebih baik, kemampuan untuk melapiskan sejumlah bahan cat yang efektif menempel pada permukaan substrat jauh lebih baik. Akan tetapi, penggunaan spray gun membutuhkan keterampilan operator yang tinggi agar diperoleh hasil finishing yang baik (Sunaryo 1997 dalam Nurhayati 2008).
9 Keawetan Alami Kayu Keawetan kayu adalah daya tahan kayu terhadap berbagai faktor perusak kayu. Biasanya faktor perusak yang dimaksud adalah faktor biologis seperti jamur, serangga (terutama rayap dan bubuk kayu kering) dan binatang laut. Sifat keawetan ditentukan berdasarkan persentase penurunan berat kayu akibat serangan faktor biologis. Sedangkan sifat keterawetan adalah kemampuan kayu menyerap bahan pengawetan tertentu yang diawetkan dengan metode tertentu (Martawijaya & Barly 2000). Nandika et al. (1996) menyatakan keawetan kayu adalah daya tahan suatu kayu terhadap serangan organisme perusak kayu seperti serangga dan jamur. Keawetan secara alami ditentukan oleh jenis dan banyaknya zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu yang tentu saja bervariasi menurut jenis kayu, umur pohon, lokasi dalam batang dan lain-lain. Hal inilah yang menyebabkan keawetan alami berbagai jenis kayu berbeda-beda. Bahkan pada jenis kayu yang sama dan pada pohon yang sama pun keawetan kayu berbeda. Rayap Kayu Kering (Cryptotermes cynocephalus Light) Biologi dan Perilaku Rayap Rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus) termasuk famili Kalotermitidae dan biasanya menyerang kayu-kayu kering yang digunakan sebagai bahan bangunan, perlengkapan rumah tangga, dan lain-lain. sarangnya terletak di dalam kayu dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah. rayap kayu kering dapat bekerja dalam kayu yang mempunyai kadar air 10-12% atau lebih rendah (Tarumingkeng 1971 dalam Pradibta 2009). Rayap kayu kering adalah jenis rayap yang sangat umum terdapat pada daerah-daerah tropis, khususnya pada dataran rendah Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan dan Filipina. Penyebaran rayap kayu kering berhubungan dengan iklim lembab. Nimfa C. cynocephalus memiliki panjang 5-6 mm dengan warna kuning kecoklatan. Pada kasta reproduktif muda berukuran 10 mm. rayap kayu kering merupakan perusak kayu paling banyak, terutama pada kayu yang berada dalam keadaan kering, seperti kusen pintu, jendela, alat-alat rumah tangga dan lain-lain. Hampir semua kayu ringan dan tidak awet diserang. Bahan-bahan lain yang mengandung selulosa seperti kertas dan kain diserang juga (Tarumingkeng 1971 dalam Pradibta 2009). Bentuk Kerusakan Serangan rayap kayu kering tidak mudah terlihat dari luar karena hanya pada bagian yang terlindung. Dari bagian luar, kayu yang diserang kelihatan masih utuh, padahal pada bagian dalam telah berlubang-lubang atau rusak sama sekali. Rayap mampu memperluas serangannya sampai bagian-bagian yang tinggi dengan membuat sarang antara di dalam bangunan yang jauh dari tanah dan memanfaatkan sumber-sumber kelembaban yang tersedia dalam bangunan tersebut. Kondisi tersebut hanya berlaku pada rayap tanah yang hidupnya mutlak
10 tergantung dari adanya air dan tanah sebagai kebutuhan penting untuk kehidupannya. Rayap kayu kering sendiri memiliki cara penyerangan yang berbeda dengan rayap tanah. Di Indonesia hanya ditemukan sedikit jenis rayap ini dimana yang umum ditemukan adalah C. cynocephalus. Serangga ini memiliki kemampuan hidup pada kayu-kayu kering di dalam bangunan gedung. Rayap ini tidak membangun sarangnya di atas permukaan kayu tetapi membangun sarangnya hanya di dalam kayu. Adanya serangan rayap seringkali diketahui setelah kayu yang diserang menjadi keropos tanpa adanya pecahan pada permukaannya. Serangan rayap kayu kering ini dapat dikenali dari adanya butiran-butiran kecil, lonjong, dan agak bertakik yang berwarna coklat muda. Serangan rayap kayu kering umumnya tidak terbatas pada kayu struktur bangunan tetapi juga seringkali menyerang barang-barang meubel tetapi tidak menyerang barang berlignoselulosa lainnya seperti kertas atau buku, kain, dan sebagainya. Namun daya serang rayap ini terbatas sehingga serangan rayap ini kurang berbahaya dibandingkan dengan serangan rayap tanah. Adapun beberapa faktor pendorong serangan rayap pada bangunan antara lain banayaknya kayu yang tertimbun di dalam tanah pada waktu pembangunan, adanya celah pada pondasi tembok, sistem ventilasi kurang baik, kayu yang berhubungan langsung dengan tanah, dan kondisi biofisik tapak bangunan itu sendiri yang menguntungkan bagi kehidupan rayap (Nandika et. al 2003).
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan yaitu dari bulan April sampai bulan Oktober 2012. Kegiatan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 9 jenis kayu, 8 jenis kayu diantaranya merupakan kayu lokal Indonesia yang termasuk dalam kayu rakyat, antara lain kayu akasia (Acacia mangium), kayu jengkol (Archidendron pauciflorum), kayu kemang (Mangifera kemanga), kayu laban (Vitex pubescens), kayu lamtoro (Leucaena glauca), kayu manglid (Manglietia glauca), kayu waru (Hibiscus tiliaceus) serta jenis kayu impor yaitu kayu oak (Quercus sp.) yang dikenal umum di Amerika dan Eropa untuk proses fumigasi amonia. Bahan yang digunakan untuk fumigasi yaitu amonia (Ammonium hidroksida) sebanyak 4 liter dengan konsentrasi 25%. Bahan-bahan finishing yang dipakai adalah Impra Aqua Filler AWF-911, Impra Aqua Sanding Sealer ASS-941, dan Impra Aqua Lacquer AL-961 Clear Gloss, serta air destilata sebagai bahan pengencer. Pengujian