BAHAN BACAAN PRAKTIKUM LAPANGAN
MANAJEMEN DAS
JURUSAN TANAH, FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2011
BAHAN BACAAN PRAKTIKUM LAPANGAN
MANAJEMEN DAS Oleh Tim Pengampu Matakuliah Manajemen DAS
JURUSAN TANAH, FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2011
DAFTAR ISI
Materi dan Lokasi Praktikum ............................................................................................
v
Kata Pengantar ………………………………………………………………………………….
vii
1.
Pengukuran Debit dan Sedimen di Sungai ...............................................................
1
2.
Biooassesment Ekosistem Sungai............................................................................
22
3.
Dampak Tataguna Lahan Terhadap Sumberdaya Air...............................................
30
4.
Isu Manajemen Di Sub DAS Sumber Brantas ..........................................................
41
5.
Proses Perencanaan DAS Mikro Sebagai Basis Pengembangan Aksi Manajemen DAS ..................................................................................................................................
6.
55
Pemahaman Data Biofisik Dengan Pendekatan Spasial Sebagai Basis Manajemen DAS ..................................................................................................................................
72
7.
Memahami Fungsi Hutan Terhadap Hidrologi DAS ..................................................
88
8.
Geohidrologi Dalam DAS..........................................................................................
91
9.
Persepsi dan Pengetahuan Stakeholders Terhadap Fungsi DAS.............................
108
Daftar Pustaka ................................................................................................................
116
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
IV IV
MATERI DAN LOKASI PRAKTIKUM (STOP) MANAJEMEN DAS 2014
MATERI I 1. 2. 3. 4.
Pengukuran Debit dan Sedimen di Sungai (Sumber : Panduan Praktikum) Analisis Kualitas Air (Sumber : Panduan Praktikum) Biota Sungai (Sumber : Panduan Praktikum) Dampak Tataguna Lahan terhadap Sumberdaya Air (Sumber : Bahan Bacaan Praktikum)
Fasilitator: Sri Sudaryanti; Patra, Sugeng Prijono, Kurniawan Sigit W., Ngadirin MATERI II 5. Issu Managemen di Sub DAS Sumber Brantas (Sumber : Bahan Bacaan Praktikum) 6. Proses Perencanaan DAS Mikro sebagai basis Pengembangan Aksi Managemen DAS (Sumber : Bahan Bacaan dan Panduan Praktikum) Fasilitator: Widianto, Iva Dwi Lestari, Aditya Nugraha P MATERI III 7. Pemahaman Batas DAS (Sumber : Panduan Praktikum) 8. Pemahaman Data Biofisik dengan pendekatan spatial sebagai basis Managemen DAS (Sumber : Bahan Bacaan Praktikum) Fasilitator: (1) Sudarto, Sativandi Riza, Siti Laelatul R MATERI IV 9. 10. 11. 12. 13.
Pengukuran Kanopi, Biodiversitas dan Nekromas (Sumber : Panduan Praktikum) Mengitung Cacing Tanah (Sumber : Panduan Praktikum) Mengamati Perakaran Tanaman (Sumber : Panduan Praktikum) Memahami Fungsi Hutan Terhadap Hidrologi DAS (Sumber : Panduan Praktikum) Memahami Pengaruh Alih Fungsi Hutan Terhadap LImpasan Permukaan dan Erosi (Sumber : Panduan Praktikum) 14. Geohidrologi dalam DAS (Sumber : Bahan Bacaan Praktikum) Fasilitator: (1)Didik Suprayogo, Nina Dwi Lestari; Sarkam MATERI V 15. 16. 17. 18.
Pemahaman Komponen ekosistem DAS (Sumber : Panduan Praktikum) Memotret Permasalahan DAS (Sumber : Panduan Praktikum) Menyusun Profil Wilayah (Sumber : Panduan Praktikum) Menyusun Rencana Aksi (Sumber : Panduan Praktikum)
Fasilitator: Widianto, Iva Dwi L PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
V V
MATERI VI 19. Presepsi dan Pengetahuan Stakeholders Terhadap Fungsi DAS (Sumber : Bahan Bacaan Praktikum) 20. Sistem Alami DAS dan Valuasi Lingkungan (Sumber : Panduan Praktikum) Fasilitator : Zaenal Kusuma, Rini Dwi Astuti, Suhartini, Istika Nita, Condro Puspo Nugroho.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
VI VI
KATA PENGANTAR Praktikum Lapangan ini merupakan kegiatan di lapangan yang dilakukan oleh mahasiswa untuk mempraktekkan ilmu atau materi yang didapat di dalam kelas. Kejelasan akan sebuah materi dari sebuah mata kuliah menjadi sangat penting dipahami oleh setiap mahasiswa. Karena hal itu akan mempengaruhi hasil yang hendak dicapai dari materi itu sendiri. Oleh karenanya, perlu dilakukan adanya Praktikum Lapangan sebagai salah satu metode pembelajaran yang dianggap lebih efektif karena mahasiswa akan langsung menerapkan ilmu yang didapatkan di lapangan. Praktikum Lapangan manajemen daerah aliran sungai (DAS) perlu dilakukan sehubungan dengan maraknya isu lingkungan tentang kuantitas dan kualitas air yang semakin tidak sehat dan tidak bersih. Untuk itu mahasiswa diharapkan dapat memahami komponen-komponen suatu DAS sehingga dapat mengetahui terjadinya permasalahan dan sumber masalahnya di suatu DAS. Untuk itu praktikum ini ditujukan agar mahasiswa mampu meningkatkan pengetahuan dan keyakinannya melalui pengalaman sendiri (learning by doing) dalam “membaca” bentang alam, memahami komponen manajemen DAS, menjelaskan penyebab kerusakan, proses dan dampaknya serta dapat memahami pengetahuan dasar suatu perencanaan manajemen DAS untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi baik secara biofisik, sosial-ekonomi, kelembagaan. Selamat menjalankan praktikum lapangan dan semoga bermanfaat.
Penyusun
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
VII
1. PENGUKURAN DEBIT DAN SEDIMEN DI SUNGAI
1.1.
PERSYARATAN PENGUKURAN DEBIT
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pengukuran debit dengan alat ukur arus agar dapat diperoleh lengkung debit yang dapat menggambarkan hubungan antara tinggi muka air dengan debit, mulai dari keadaan debit terkecil sampai dengan debit terbesar, persyaratan yang di maksud antara, lain meliputi : 1. lokasi pengukuran; 2. jumlah dan waktu pengukuran; 3. peralatan, tenaga pelaksana dan dana.
Berikut ini akan diuraikan secara singkat tentang ketiga faktor tersebut.
1.2.
Lokasi Pengukuran Debit
Setiap tenaga pelaksana pengukuran debit dengan alat ukur arus harus mengetahui kondisi hidrolis dari lokasi pengukuran, baik pada keadaan debit terkecil sampai dengan debit terbesar, paling tidak pada keadaan debit kecil, karena pada debit kecil keadaan alur sungainya dapat dengan jelas diketahui. Berikut ini disajikan persyaratan lokasi pengukuran yang haik untuk tempat pengukuran debit dengan alat ukur arus, persyaratan yang dimaksud antara lain : 1)
mempunyai pola aliran yang seragam. dan mendekati jenis aliran sub kritik, kecepatan alirannya tidak terIalu lambat atau terIalu cepat. Pengukuran yang baik pada lokasi yang mempunyai kecepatan aliran mulai dari 0,20 m/det sampai dengan 2,50 m/det;
2) tidak terkena pengaruh peninggian muka air dan aliran lahar; 3) kedalaman aliran pada penampang pengukuran harus cukup, kedalaman aliran yang kurang dari 20 cm biasanya sulit diperoleh hasil yang baik. 4) aliran turbulen yang disebabkan oleh batu-batu, vegetasi, penyempitan lebar alur sungai atau. karena sebab lainnya harus dihindarkan; 5) penampang pengukuran debit sebaiknya dekat pos duga air, diantara penampang pengukuran debit dengan lokasi pos duga air tidak terjadi penambahan/pengurangan debit; 6) penampang pengukuran debit/penampang melintang lokasi pos duga air harus mampu melewatkan debit banjir;
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
7) dilakukan pada alur sungai yang stabil, dimaksudkan pada lokasi tersebut. tidak terIalu banyak mengalami perubahan geometri oleh adanya proses degradasi/agradasi; 8) lokasi pengukuran debit mudah didatangi, tidak tergantung dari keadaan cuaca khususnya pada musim penghujan atau pada saat terjadi banjir; 9) adanya penampang kendali, dimaksudkan agar dapat berfungsi sebagai lokasi pengukuran debit dan peninggi muka air yang baik, sehingga dapat dilakukan pembacaan tinggi muka air untuk debit nol, dan 10) sesuai dengan perencanaan, lokasi pengukuran debit harus sesuai dengan yang direncanakan, artinya sedapat mungkin dilakukan pada suatu penampang palung sungai yang tetap. Persyaratan-persyaratan tersebut pada umumnya sulit dijumpai pada suatu lokasi alur sungai yang tetap dilapangan, walaupun demikian dapat. sebagai petunjuk pemilihan lokasi pengukuran debit yang baik, minimal persyaratan nomor 1 sampai 5 harus dapat terpenuhi.
1.3.
Jumlah dan Waktu Pengukuran Debit
Pelaksanaan pengukuran debit hasiInya harus dapat menggambarkan sebuah lengkung debit untuk sebuah penampang basah yang tetap. Jumlah pengukuran debit minimal 10 buah untuk sebuah lengkung debit yang datanya tersebar mulai keadaan aliran terendah sampai tertinggi. Untuk sebuah lengkung debit jumlah pengukuran debitnya tergantung dari banyak faktor, antara lain : 1) interval keadaan. tinggi muka air untuk debit terkecif dan terbesar; 2) stabilitas penampang kendali; 3) tuiuan penggunaan data; 4) frekuensi teijadinya banjir; 5) ketelitian pengukuran data pengukuran debit yang telah diperoleh dan 6) kemungkinan mengkalibrasi alat ukur arus.
Waktu pengukuran debit meliputi lama dan periode pelaksanaan. Apabila pengukuran debit dimaksudkan untuk membuat lengkung debit sebagai dasar perhitungan debit dalam menyusun buku publikasi debit (year books), maka waktu pengukuran harus benar-benar diperhatikan. Pada saat aliran rendah pengukuran debit dilaksanakan dua kali dalam sekali waktu pengukuran, pengukuran debit dilaksanakan bolak-balik penampang basah yang sama. Sedangkan pada saat banjir cukup satu kali dalam periode waktu pengukuran pada ketinggian muka air tertentu, untuk kemudian dilaksanakan pengukuran debit apabila selama banjir tersebut telah terjadi perubahan tinggi muka air. Ini dimaksudkan agar selama periode banjir dapat diperoleh beberapa data debit pada beberapa keadaan tinggi muka air yang dianggap tetap.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
2
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Sedangkan periode pelaksanaannya tergantung musim. Pada, musim kemarau pada umumnya cukup satu sampai dua kali selama keadaan aliran masih tetap rendah. Pada musim penghujan memerlukan frekuensi pengukuran yang lebih banyak, yaitu minimal 3 kali setiap bulannya dan setiap kali pengukuran debit pada saat banjir harus dapat diukur debitnya pada berbagai tinggi muka air yang dianggap tetap, terutama mulai keadaan puncak banjir sampai kembali menjadi keadaan aliran normal lagi.
1.4.
Peralatan, Tenaga Pelaksana dan Dana
Peralatan yang digunakan harus dipelihara dengan baik agar dapat berfungsi sesuai dengan spesifikasinya. Terutama alat ukur arus sebagai alat ukur kecepatan aliran, karena merupakan alat yang utama dan harus dikalibrasi secara berkala. Dalam melaksanakan pengukuran debit dengan alat ukur arus minimal diperlukan 3 orang, orang tersebut harus mempunyal pendidikan dan pengalaman yang cukup tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan pengoperasian pos duga air, pengukuran debit, merawat peralatan pengukuran debit. Disamping itu juga orang tersebut harus mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi, berdisiplin dan mempunyai kesehatan yang cukup baik, bersedia melaksanakan pengukuran debit banjir yang pada umumnya terjadi pada malam hari. Pada umumnya aliran banjir di Indonesia membawa material yang hanyut yang dapat membahayakan bagi keselamatan peralatan dan tenaga pelaksananya. Dana untuk pengukuran debit harus selalu tersedia sesuai dengan kebutuhan yang telah direncanakan. Dana kadang-kadang dapat menjadi faktor pembatas dalam usaha memperoleh lengkung debit yang baik apabila dana tidak dapat tersedia sesuai dengan kebutuhan untuk pengukuran debit dengan tepat waktu, terutama untuk mengukur debit selama periode banjir.
1.5.
Peralatan Pengukuran Debit
Peralatan yang digunakan untuk mengukur debit dengan alat ukur arus terdiri dari alat untuk mengukur kecepatan aliran, alat untuk mengukur kedalaman dan lebar aliran, selengkapnya terdiri dari jenis 1) alat ukur kecepatan aliran, alat ukur waktu dan alat hitung putaran balingbaling (counter); 2) alat ukur kedalaman aliran (sounding equipment); 3) alat ukur lebar aliran (witdh-measuring equipment); 4) alat perakitan (equipment assemblies); 5) alat tambahan (miscellaneous equipment); dan 6) alat transport lapangan.
Alat ukur kecepatan aliran yang biasa digunakan di Indonesia adalah alat ukur arus jenis standar, disamping jenis pigmy. Penggunaan peralatan harus disesuaikan PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
3
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
dengan keadaan alur sungai yang akan diukur. Peralatan dan. perlengkapan pengukuran debit pada sungai-sungai yang lebar dan dalam serta alirannya deras seperti sungai Batang Hari di Jambi dan sungai Musi di Sumatera, Selatan akan berbeda dengan pengukuran debit di sungai-sungai di Jawa, Sumatera Barat dan Sulawesi. Demikian juga pengukuran debit pada sungai-sungai kecil dan dangkal akan menggunakan peralatan dan perlengkapan yang berbeda pula.
Berikut ini akan diuraikan tentang kelima, jenis peralatan tersebut.
1.6.
Alat Ukur Arus Jenis Standar
Alat ukur arus jenis standar adalah alat untuk mengukur kecepatan aliran air dengan spesifikasi tertentu sehingga mampu untuk mengukur kecepatan aliran mulai dari 0,20 m/det sampai dengan 2,50 m/det. Apabila alat ini ditempatkan pada suatu tifik kedalaman aliran tertentu maka kecepatan aliran akan dapat ditentukan berdasarkan jumlah putaran rotor dan waktu lamanya pengukuran dengan menggunakan rumus tertentu. Dengan mengetahui jumlah putaran rotor per detik maka kecepatan alirannya dapat dihitung dengan persamaan
v = aN + b Keterangan : v
= kecepatan aliran (m/det)
a,b
= konstanta yang biasanya telah ditentukan dari Pabriknya atau ditentukan dari kalibrasi setelah alat ukur arus digunakan sampai dengan periode waktu tertentu.
N
- jumlah putaran
Ada dua tipe alat ukur arus jenis standar, yaitu 1) alat ukur arus tipe canting dengan rotor berporos vertikal, dan 2) alat ukur arus tipe baling-baling dengan rotor berporos horizontal. Masing-masing tipe alat ukur arus mempunyai keuntungan sendiri-sendiri apabila digunakan. 'Untuk itu dalam memilih penggunaan masing-masing jenis alat ini harus selalu mempertimbangkan keadaan fisik sungai yang akan diukur.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
4
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Gambar 1.1. SKETSA ALAT UKUR ARUS (a) TIPE CANTING DAN (b) TIPE BALING-BALING
Alat ukur arus tipe canting mempunyai alat penggerak siIstim mangkok. Alat ini mempunyai beberapa keuntungan, antara lain :
1) untuk mengukur aliran berkecepatan rendah hasilnya akan lebih baik; 2) bantalan poros terlindung dari air yang beriumpur-, 3) jika ada kerusakan rotor dapat diperbaiki tanpa merubah persamaan tera, dan 4) satu rotor saja dapat digunakan untuk pengukuran berbagai jenis kecepatan. aliran.
Alat ukur arus tipe baling-baling mempunyai alat penggerak sistim balingbaling, adapun keuntungan tipe ini antara lain 1) rotor tidak terlalu mengganggu aliran; 2) pengairuh lumpur atau kotoran terhadap rotor kecil sekali, dan 3) gesekan bantalan poros lebih kecil karena momen gesekan dapat ditiadakan.
1.7.
Alat Ukur Arus Tipe Canting
Alat ukur arus tipe canting yang umum digunakan adalah jenis AA-Prince, pada umumnya banyak digunakan di Amerika Serikat dan di Inggris. Dapat dibuat dari baja anti karat, aluminium atau plastik, mempunyai ukuran standar dengan rotor bergaris tengah 12,7 cm dan tingginya 5,8 cm. Mempunyai enam mangkuk berbentuk kerucut yang dibuat dari baja anti karat, Dilengkapi dengan ekor yang berfungsi untuk menjaga agar kedudukan alat tetap pada posisi menentang arus. Kecepatan aliran yang diukur dengan alat ukur arus tipe canting pada umumnya cenderung lebih besar dibanding dengan kecepatan aliran yang sebenarnya (sekitar 5%). Hal ini disebabkan karena kecepatan aliran yang terukur adalah arah aliran horizontal tanpa memperhatikan arah aliran tegak lurus penampang atau arah miringnva. Kerusakan canting sampal tingkatan tertentu sedikit sekali pengaruhnya terhadap hubungan antara v dan N pada persamaan 4.2. PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
10 10
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
1.7.1. Alat Ukur Arus TIpe Baling-baling Alat ukur arus tipe baling-baling ada beberapa merk, antara lain OTT buatan Jerman, NEYRPIC buatan Perancis, merk HASKELL dan HOFF buatan Amerika Serikat. Merk OTT banyak digunakan di Indonesia. Biasanya dibuat dari bahan baja anti karat, bahkan sekarang telah banyak dibuat dari bahan plastik khusus. Pembuat alat ini telah mengembangkan tipe baling-baling yang secara langsung dapat mencatat proyeksi kecepatan aliran pada sudut siku-siku jika penampang pengukuran tidak tegak lurus aliran. Kemiringan aliran dapat sampai 45* dengan kecepatan aliran sampai 2,5 m/det. Gambar 4.2 menunjukkan sketsa posisi alat ukur arus, misalnya pada arah AB, maka kecepatan yang diukur adalah sebesar v cos cz, bukan sebesar v seperti pada alat ukur arus tipe canting. Pengukuran kecepatan aliran dengan menggunakan alat ukur arus tipe baling-baling cenderung menghasilkan data kecepatan aliran yang lebih kecil daripada kecepatan aliran yang sesungguhnya. Cacat atau kerusakan kecil saja dari alat ini akan dapat merubah hubungan antara v dan N pada rumus 4.2. Selain alat ukur arus standar ada pula jenis Pigmy atau mini. Alat jenis Pigmy ini mempunyai rotor sebesar 2/5 kali rotor alat ukur arus standar dan hanya dipakai untuk mengukur aliran sungai kecil dan dangkal.
1.7.2. Alat Ukur Arus Jenis Lain Disamping alat ukur arus jenis standar, terdapat juga alat ukur arus jenis lain yaitu : 1) alat ukur arus optik (optical velocity meter); 2) alat ukur arus elektromagnetik (electromagneth point velocity meter), dan 3) alat ukur arus ultrasonik (ultrasonic point velocity meter)
1.7.3.
Perlengkapan Alat Ukur Arus
Pada pelaksanaan pengukuran debit, alat ukur ans dilengkapi dengan alat ukur waktu yang ketelitiannya sampal detik (stopwatch) dan alat hitung putaran baling-baling (counter), Yang ketelitiannya sampai hitungan ratusan.
1.7.4.
Alat Ukur Kedalaman Aliran
Setiap pengukuran debit dengan alat ukur arus harus melakukan pengukuran kedalaman aliran. Pengukuran ini dapat dilakukan dengan bermacam-macam alat, tergantung dari kondisi airan sungai yang akan diukur. Macam-macam alat ukur kedalaman aliran tersebut antara lain : 1)
batang duga (sounding roads).
2)
alat pemberat (sounding weight).
3)
alat penggulung (sounding reel).
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
11 11
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
4)
alat tangan penggulung (hand line)
5)
alat duga sonic (sonic sounder).
Batang Duga Apabila pengukuran debit dilakukan dengan merawas maka pengukuran kedalaman aliran dapat dilakukan dengan menggunakan batang duga. Batang duga ini terdiri dari plat dasar batang bagian bawah, batang bagian tengah, batang bagian atas dan penuqjuk arah. Untuk sungai yang kedalamannya kurang dari 3 meter pengukuran kedalaman masih dapat menggunakan batang duga yang pengukurannya dilaksanakan dengan menggunakan perahu. Batang duga selain berfungsi untuk mengukur kedalaman juga berfungsi sebagai alat untuk memasang alat ukur arus.
Alat Pemberat Apabila sungai yang diukur mempunyai ke, alian lebih dari 3 meter maka pengukuran kedalamap dengan kabel duga dan alat pemberat. Alat pemberat ini dapat digantung dengan kabel duga pada perah-u, jembatan atau kabel' gantung melintang (Cable Way). Alat pemberat dipasang dibawah, alat ukur arus supaya alat ukur tidak mudah berubah posisinya dan tidak mudah terhempas oleh dasar sungai. Alat pemberat yang umum digunakan adalah jenis C (Colombus). Berat alat pemberat bermacam-macam ada yang 10 Kg, 25 Kg,'Il 50 Kg, atau 75 Kg. Pemilihan penggunaan alat pemberat tergantung dari keadaan kecepatan aliran sungai yang diukur,
Alat Penggulung Alat penggulung dapat dipakai sebagai penggantung alat pemberat untuk mengukur kedalaman aliran sungai. Alat penggulung ini berupa tabung sebagai tempat gulungan kabel duga yang dilengkapi pula dengan engkol dan roda gigi untuk menaikan dan menurunkan pemberat serta mengunci pada posisi kedalaman aliran tertentu. Ada 5 tipe alat penggulung yang penggunaanya masing-masing tipe tergantung dari berat alat pemberat dan kedalaman sungai.
Kelima tipe alat tersebut adalah 1)
Tipe A Pack Reel Tipe ini cocok untuk digunakan pada kabel gantung melintang karena ukurannya kecil dan tidak terlalu berat. Alat tipe ini dapat pula dipasang pada penderek dari jembatan atau pada tungkai dereil yang dipasang di perahu.
2)
Tipe Canfield Penggunaan tipe ini hampir sama dengan fipe A Pack Reel.
3)
Tipe A – 55 Tipe ini digunakan untuk alat pemberat yang ringan.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
12 12
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
4)
Tipe B – 56 Tipe ini dapat digunakan untuk hampir semua tipe pemberat dan dapat dibantu dengan engkol maupun baterai.
5)
Tipe E – 53 Ini merupakan tipe alat penggulung yang paling berat dan dapat digunakan dengan beban alat pemberat yang sangat berat.
Alat penggulung jenis A-55, B-56 dan E-53 dilengkapi dengan alat penunjuk kedalaman secara langsung. Sedangkan alat pengapung tipe A Pack dan Canfield dilengkapi alat hitung (counter) yang menunjuk kedalaman secara langsung.
Alat Tangan Penggulung Alat tangan penggulung dapat digunakan untuk mengukur kedalam aliran sungai dari jembatan alat ini dilengkapi pula dengan alat pemberat. Alat dapat dirakit dengan mudah yang dapat berfungsi sebagai pengganti alat penggulung. Alat ini dapat juga digunakan pada jembatan rangka, akan tetapi alat ini tidak untuk digunakan pada kereta gantung (Cable Car).
Alat Duga Sonik Alat duga sonik dilengkapi dengan baterai bertegangan 6 atau 12 volt, dapat bekerja selama 10 jam dengan hanya sekali pengisian baterai. Disediakan tiga jenis alat pencatat kecepatan, yaitu untuk kecepatan 1, 3 atau 5 meter per jam. Ada empat interval operasi, yaitu 0-20, 20-40. 40-60, dan 60-80 meter. Alat ini mempunyal berat lebih kurang 20 kg sehingga sangat mudah untuk dibawa. Alat pemancar suara (transduser) mempunyai sudut kemiringan enam derajat sehingga kesalahan pencatatan pada dasar sungai miring dapat dikurangi sekecil-kecilnya. Lokasi pengukuran dapat dilakukan dekat tiang jembatan ataupun dekat bangunan lainnya. Pengukuran dapat dilakukan tanpa menurunkan alat ukur arus sampai dasar sungai dan kedalaman akan tercatat segera setelah pemberat masuk di dalam air. Alat ukur arus dapat ditempatkan pada posisi 0,2 kedalaman atau hanya sedikit di bawah permukaan air dan nilai kecepatan aliran sudah dapat diukur dengan segera. Untuk menentukan nilai kecepatan aliran rata-rata harus digunakan angka koreksi. Perubahan suhu air dapat berpengaruh terhadap kecepatan pancaran suara, akan tetapi pada air tawar kesalahan ini kurang dari 2 %. Kesalahan ini dapat dihilangkan sama sekali dengan mengatur alat duga sonik agar memberikan hasil yang sama dengan kedalaman rata-rata yang telah diukur dengan alat ukur kedalaman yang lainnya.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
13 13
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
1.7.5. Alat Ukur Lebar Aliran Setiap pengukuran debit selain mengukur kedalan aliran juga harus mengukur lebar aliran sungai. Untuk sungai yang ada jembatannya atau kabel gantung melintang, lebar aliran sungai dapat diukur dengan penggaris atau pita ukur. Untuk pengukuran debit dengan cara merawas atau dengan perahu lebar sungai dapat diukur dengan kabel ukur baja (tag Iii) Sedangkan untuk sungai yang sangat lebar dan tidak ada jembatan maupun kabel gantung melintang lebar aliran sungai dapat diukut dengan menggunakan alat penyipat ruang. Ada beberapa ukuran diameter kabel ukur baja antara lain 1/32, 1/16, 3/32 atau 1/8 inchi. Kabel ukur baja ini biasanya dilengkapi dengan pentolan patri sebagai titik interval. Kabel ukur baja ini mempunyai ukuran panjang standar yaitu 100, 135 165 meter. Dan ada tiga jenis yaitu Lee-Au, Pakron, Colombus A.
1.7.6. Alat Perakitan Untuk mengukur debit selain memerlukan alat arus, alat ukur kedalaman dan alat ukur lebar aliran pada kondisi sungai tertentu masih juga diperlukan peralatan perakitan kabel gantung melintang, perahu. atau jembatan. Pada sungai yang dalam, lebar dan tebingnya curam pengukuran debit dapat dilakukan dengan menggunakan perahu. Akan tetapi apabila kondisi sungai dalam dan tebingnya curam serta tidak ada jembatan maka pengukuran debit harus dilakukan melalui kabel gantung melintang yang dilengkapi dengan kereta gantung. Apabila tebing sungai sangat curam dan arus cukup deras maka pengukuran debit dapat dilakukan melalui kabel gantung melintang dari tepi sungai. Apabila di dekat lokasi pos duga air terdapat jembatan yang tidak berpilar dan memenuhi syarat untuk pengukuran maka pengukuran debit dapat dilakukan melalui jembatan.
1.7.7. Peralatan Tambahan Pengukuran debit memerlukan pula adanya beberapa peralatan tambahan antara lain : sepatu lapangan, baju pelampung, lampu senter, tali tambang baja, kalkulator, peralatan tulis dan jas hujan, kesemuanya dimaksudkan untuk keselamatan peralatan dan team pengukur.
1.7.8. Alat Transport Lapangan Alat Transport lapangan terutama mobil lapangan yang dirancang khusus untuk pengukuran debit harus tersedia dan harus dalam keadaan selalu siap pakai. Mobil lapangan harus mampu untuk sarana transport dalam segala musim. dan segala kondisi jalan menuju lokasi pengukuran debit/pos duga air.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
14 14
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
1.8.
Pengukuran Debit di Lapangan
1.8.1.
Prinsip
Prinsip pelaksanaan pengukuran debit dilakukan dengan mengukur tiga hal seperti berikut ini. 1) luas penampang basah; 2) kecepatan aliran, dan 3) tinggi muka air. Tinggi muka air dapat diukur dengan cara membaca elevasi permukaan pada alat papan duga air, apabila perbedaan fluktuasinya lebih besar dari pada 3 cm, selama pengukuran debit dilaksanakan maka diperlukan koreksi terhadap tinggi muka air tersebut.
A. 1.
Pengukuran Luas Penampang Basah Pengukuran Lebar Aliran
Pengukuran lebar aliran dilakukan dengan alat ukur lebar. Jenis alat ukur lebar yang digunakan harus disesusaikan dengan lebar penampang basah dan alat perakitan yang tersedia, Jarak setiap sembarang vertikal pada penampang basah harus diukur dari titik tetap pada tebing sungai. Pengukuran dengan merawas atau dari perahu pengukuran lebar dapat dilakukan dengan kabel ukur baja (tag line). Apabila pengukuran dilakukan dari kabel gantung melintang atau dari jembatan pengukuran lebar aliran dapat dilakukan dengan cara membuat interval lebar yang diukur menggunakan penggaris atau pita ukur baja.
2.
Pengukuran Kedalaman Aliran
Pengukuran kedalaman aliran dilaksanakan dengan menggunakan alat ukur kedalaman di setiap vertikal yang telah ditentukan jaraknya. Jarak setiap vertikal diusahakan serapat mungkin, supaya debit disetiap sub bagian penampang tidak lebih dari 1/5 bagian dari debit seluruh penampang basah.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
15 15
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Gambar 4.9. SKETSA PENGUKURAN KECEPATAN ALIRAN PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
16 16
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Jenis alat ukur kedalaman aliran tergantung dari dalamnya aliran dan alat perakitan yang tersedia. Batang duga digunakan apabila pengukuran kedalaman aliran dengan merawas apabila kedalaman aliran kurang dari 1,5 m, atau dengan perahu pada kedalaman aliran berkisar 1,5 - 3,0 m dan kecepatan alirannya rendah. Kabel duga dengan pemberat digunakan apabila kedalaman aliran lebih dari 2,5 m dan kecepatan alirannya tinggi, pelaksanaanya dapat menggunakan perahu, kereta gantung atau menggunakan "bridge crane" apabila di jembatan atau menggunakan alat duga sonik. Pengukuran kedalaman aliran dengan batang duga dan pemberat diperlukan koreksi kedalaman aliran, apabila posisi kabel duga membuat sudut lebih besar daripada 5 derajat terhadap garis vertikal.
B.
Pengukuran Kecepatan Aliran
1. Prinsip Pengukuran Kecepatan Aliran Untuk mengukur debit perlu mengukur kecepatan aliran rata-rata pada suatu penampang melintang sungai yang bersangkutan. Kecepatan aliran rata-rata dapat diperoleh dengan cara mengukur kecepatan aliran pada beberapa titik dari beberapa vertikal pada suatu penampang melintang dengan menggunakan ukur arus. Kecepatan aliran disetiap titik dihitung berdasarkan jumlah putaran balingbaling selama periode waktu tertentu. Periode waktu pengukuran dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu dengan cara : 1) mengukur jumlah putaran baling-baling untuk lama waktu yang telah ditentukan (t, pasti) setiap negara berbeda-beda dalam menentukan lama waktu ini. Di Indonesia pada umumnya berkisar antara 40-70 detik; standar WMO minimal 60 detik; Perancis berkisar 40-60 detik; Selandia Baru berkisar 40-70 detik; Jerman 50 detik; atau dengan 2) mengukur waktu yang diperlukan untuk mencapai jumlah putaran tertentu (N, pasti), cara ini belum lazim digunakan di Indonesia, dinegeri Belanda misalnya menentukan berapa lama yang diperlukan baling-baling alat ukur arus berputar sebanyak 100 buah putaran. Di Kanada, biasanya sebelum alat ukur arus digunakan untuk mengukur kecepatan yang sebenarnya dicoba dahulu selama 30 detik.
Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang teliti, maka Alat ukur arus dan perlengkapannya harus dalam keadaan baik, lokasi pengukuran harus memenuhi syarat, waktu pengukuran harus cukup dan kondisi pengukur harus betul-betul baik. Lokasi pengukuran usahakan sedekat mungkin dengan bangunan pos duga air. Dalam keadaan tertentu lokasi pengukuran dapat dilakukan di hulu atau di hilir bangunan pos duga masih mendekati sama dengan yang di pos duga air. Dalam melaksanakan pengukuran debit tidak boleh terburu-buru karena tidak cukupnya waktu pengukuran. Apabila sampai di lokasi pengukuran sudah sore hari dan kalau langsung mengukur diperkirakan akan sampai malam sehingga pengukuran debit dilaksanakan dengan tergesa-gesa maka sebaiknya pengukuran ditunda esok harinya. Kecuali apabila pengukur membawa perlengkapan yang memadai untuk pengukuran malam hari cukup aman dan hasil pengukuran pada PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
17 17
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
ketinggian muka air saat itu sangat diperlukan maka pengukuran dapat dilaksanakan saat itu juga. Lokasi pengukuran yang sulit dicapai dan tidak aman bagi pengukur akan sangat mempengaruhi kualitas hasil pengukuran. Adanya gangguan pada aliran misalnya banyak kayu hanyut akan mempengaruhi juga kualitas pengukuran. 2. Penentuan Jumlah Vertikal Yang dimaksud dengan vertikal (vertical) adalah garis tegak pada posisi pengukuran kedalaman aliran dilakan. Penentuan jumlah vertikal harus mempertimbangkan beberapa faktor antara lain : 1) keadaan sebaran aliran; 2) bentuk profil (dangkal, dalam atau tidak teratur); 3) waktu yang tersedia, dan 4) pengalaman team dari pengukur terhadap suatu lokasi pengukuran debit.
Pada umumnya setiap negara mempunyai aturan yang berbeda-beda penentuan jumlah vertikal, misalnya
dalam
1) Indonesia, minimal 20 vertikal; 2) Australia, minimal 20 verfikal; 3) Inggris, 10 vertikal untuk sungai kecil, dan 20 vertikal untuk sungai besar; 4) Kanada, minimal 20 vertikal; 5) Cekoslavia, 7 - 15 vertikal; 6) New Zealand, 10 - 20 vertikal, dan 7) Amerika Serikat, 20 - 30 vertikal.
Di Indonesia ditentukan minimal 20 vertikal, jarak setiap vertikal 1 diusahakan serapat mungkin agar debit di setiap sub bagian penampang tidak lebih dari 1/5 bagian dari debit seluruh penampang basah saat pengukuran. Jarak setiap vertikal tidak perlu mempunyai interval yang sama, akan tetapi tergantung dari debitnya. Penempatan setiap vertikal harus dipilih sebaikbaiknya berdasarkan variasi kedalaman dan sebaran kecepatan aliran arah horizontal pada penampang basah pengukuran. Jarak setiap vertikal dapat ditentukan dengan interval jarak yang sama apabila penampang sungainya seragam. Untuk sungai kecil/lebar penampang basahnya pendek, jumlah vertikalnya boleh kurang dari 20 buah, dengan mempertimbangkan ukuran diameter alat ukur arus yang digunakan, dimaksudkan agar disuatu bagian luas penampang basah tidak terjadi saling tumpang tindih pengukuran kecepatan alirannya. Apabila digunakan alat ukur arus mini Oenis Pigmy maka jarak setiap vertikal harus lebih dari 10 cm, jenis ini mempunyai diameter 6,0 cm. Untuk memperoleh data pengukuran debit yang teliti maka pengukurannya harus dilakukan 2 kali, yaitu pengukuran pulang-pergi, gambar 4.10 menunjukkan vertikal yang dimaksud. Apabila dalam pengukuran pulang dan pergi tidak terjadi perubahan tinggi muka air yang berarti, maka 2 kali pengukuran pulang dan pergi tersebut dapat dipandang sebagai satu (single) data pengukuran. Akan tetapi apabila selama 2 kali PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
18 18
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
pengukuran tersebut terjadi perubahan tinggi muka air yang cukup besar maka dapat dipandang sebagai 2 data (double) pengukuran debit (biasanya kurang teliti).
Gambar 1. SKETSA JUMLAH VERTIKAL.
Gambar 2. SKETSA JUMLAH TITIK PENGUKURAN KECEPATAN ALIRAN PADA VERTIKAL (a) SATU TITIK (b) DUA TITIK.
3. Jumlah titik Pengukuran Kecepatan Aliran Setiap Vertikal
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah titik pengukuran kecepatan aliran di setiap vertikal. Jumlah titik pengukuran kecepatan aliran tergantung dari beberapa faktor, antara lain: 1) ketelitian yang diperlukan; 2) tingkat perubahan tinggi muka air; 3) jenis sungai (lebar dan dangkal atau sempit dan dalam), dan 4) waktu yang diperlukan bergerak dari vertikal satu ke yang lainnya. PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
19 19
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Cara untuk menentukan jumlah titik ada beberapa pendekatan, yaitu : 1) fungsi matematis; 2) grafik kurva kecepatan; 3) metode integrasi; dan 4) metode semi integrasi. 1)
Fungsi Matematik
Distribusi kecepatan aliran pada sebuah vertikal dianggap bentuk kurvanya kurang lebih parabolis, eliptis atau bentuk lainnya. Berdasarkan anggapan tersebut maka kecepatan aliran rata-rata disebuah vertikal hanya diukur di beberapa titik dan kemudian dihitung hasilnya secara. aritmatik. Pengukuran dilaksanakan dengan : • metode satu titik; •
metode dua titik;
•
metode tiga titik;
•
metode lima titik; dan
•
nietode bawah permukaan.
Gambar 4. 11 menunjukkan sketsa pengukuran kecepatan alian metode satu titik, pada 0,6 kedalaman dan metode dua titik yaitu pada 0,2 dan 0,8 kedalaman. Pada gambar 4. 11. bagian (a) maka luas DFA - luas AFEB, maka kecepatan rata-ratanya dianggap sama dengan kecepatan aliran yang diukur pada titik 0,60 kedalaman. Uraian selanjutnya adalah penentuan fungsi matematis apabila pengukuran kecepatan aliran menggunakan alat ukur arus jenis standar. •
METODE SATU TITIK
a) Metode 0.60 kedalaman Dalam cara ini pengukuran kecepatan aliran dilakukan pada titik 0,6 kedalaman aliran dari permukaan air. Hasil pengukuran pada titik 0,6 kedalaman aliran ini adalah merupakan kecepatan rata-rata pada vertikal yang bersangkutan. Cara ini digunakan dengan syarat-syarat: 1) apabila kedalaman air antara 0,25 sampai 0,76 meter; 2) apabila aliran sungai membawa banyak sampah sehingga sulit untuk mengukur pada titik 0,2 kedalaman afiran; 3) apabila ada suatu sebab lain sehingga alat ukur arus tidak dapat diletakkan pada titik 0,8 kedalaman aliran, dan 4) apabila tinggi permukaan air sungai cepat berubah dan pengukuran harus dilaksanakan secara cepat. Cara pengukuran ini dilakukan pada titik 0,2 kedalaman dan kecepatan ratarata pada vertikal bersangkutan masih harus dikalikan dengan koefisien tertentu. Cara ini biasanya dilakukan untuk pengukuran banjir dengan kecepatan aliran sangat tinggi sehingga pengukuran pada titik 0,6 dan 0,8 kedalaman tidak dapat dilakukan.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
20 20
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Apabila tidak mungkin menduga kedalaman, titik 0,2 kedalaman dapat ditentukan dari penampang melintang di pos pengukuran yang sudah ada. Harga koefisien yang biasa digunakan untuk menghitung kecepatan rata-rata dengan cara pengukuran pada 0,2 kedalaman adalah 0,88, untuk lebih teliti koefisien tersebut harus diselidiki di setiap lokasi pengukuran. •
METODE DUA TITIK
Pada metode ini pengukuran kecepatan aliran dilakukan pada 0,2 dan 0,8 titik kedalaman aliran dari permukaan air. Kecepatan aliran rata-ratanya diperoleh dengan merataratakan kecepatan aliran yang diukur pada kedua titik tersebut. Cara ini disarankan untuk tidak digunakan mengukur kecepatan aliran pada sungai dengan kedalaman aliran kurang dari 0,76 meter karena pada kedalaman kurang dari 0,76 meter titik kedalaman pada 0, 8 dan 0, 2 akan kurang dari 0, 15 meter haik dari permukaan air maupun dari dasar sungai untuk menghindari gesekan udara, ataupun da-sar sungai. •
METODE TIGA TITIK
Pengukuran kecepatan aliran dilakukan pada, titik 0,2; 0,6 dan 0,8 kedalaman aliran dari permukaan air. Sebenamya cara ini merupakan gabungan antara cara dua titik dengan cara pada 0,6 kedalaman. Kecepatan rata-rata tiap vertikal diperoleh dengan merata-ratakan hasil pengukuran. pada 0,2 clan 0,8 kedalaman aliran kemudian hasil rata-ratanya, diratarataka lagi dengan hasil pengukuran pada 0,6 kedalaman aliran. Alasan cara ini digunakan agar diperoleh data kecepatan aliran rata-rata yang lebih baik, yaitu apabila distribusi kecepatan ata kearah vertikal tidaic normal; atau kecepatan aliran pada 0,8 kedalaman terganggu oleh gesekan. material didasar sungal sehingga tidak normal. Cara ini berlaku apabila kedalaman air yang diukur tidak kurang-dari -0576 meter. •
METODE LIMA TITIK Alasan cara ini digunakan agar sama dengan cara tiga titik agar diperoleh data yang lebih baik kualitasnya.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
21 21
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
2. BIOASSESSMENT EKOSISTEM SUNGAI REFLEKSI PEMBERDAYAAN PENELITIAN BIOASSESSMENT UNTUK PENILAIAN KUALITAS AIR SUNGAI Sri Sudaryanti Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang 2011
Abstrak Penelitian bioassessment telah dimulai di Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya sejak tahun 1991 sampai sekarang. Pemantauan kualitas air sungai di Indonesia selama ini hanya mengandalkan pendekatan fisika kimiawi, sedangkan pendekatan biologis (bioassessment) menggunakan komunitas makroinvertebrata belum mendapat perhatian. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk melakukan evaluasi terhadap hasil-hasil penelitian mulai 1992-2003. Kegunaannya untuk kepentingan perencanaan pengembangan penelitian bioassessment di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan pendekatan arbitrary, program TWINSPAN, CANOCO (CCA) sampai model prediksi AUSRIVAS. Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan komunitas makroinvetebrata dapat digunakan untuk pengelolaan ekosistem sungai baik untuk kepentingan perencanaan maupun pengendalian pencemarannya dalam bentuk ecological group dari makroinvertebrata. Beberapa faktror pendorong dan penghambat telah teridentifikasi untuk kepentingan tindak lanjut. KATA KUNCI : SUNGAI, BIO ASSESSMENT, MAKROINVERTEBRATA, INDONESIA
Pendahuluan Sungai dan salurannya merupakan satu kesatuan dengan daerah tangkap hujan dan daerah pengaliran sungainya. Semua biota yang hidup di ekositem sungai dipengaruhi oleh arus yang mengalir satu arah dari hulu menuju hilir dan beradaptasi dengan situasi seperti itu. Sungai adalah ekosistem perairan yang bersifat terbuka, artinya mudah mendapat pengaruh dari daerah sekitarnya baik secara alami maupun oleh berbagai kegiatan manusia. Sungai yang sehat adalah sungai yang mampu mendukung proses ekologis ekosistem sungai. Menurut Karr (1999), sehat adalah kata lain untuk kondisi baik, sungai yang sehat mempunyai ciri-ciri alami, cepat pulih apabila terdapat gangguan tanpa banyak bantuan manajemen, dan mampu mengenali resiko kerusakan. Makroinvertebrata adalah salah satu biota yang hidup di ekosistem sungai. Organisme tersebut mempunyai peran yang penting di ekosistem sungai sebagai keystone organisms.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
22 22
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Mengapa pemantauan secara biologis ? Selama ini pendekatan yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk melakukan pemantauan terhadap kualitas air sungai lebih mengandalkan pendekatan fisika kimiawi sedangkan pendekatan biota hanya menggunakan Escherecia coli (PP No 82 tahun 2001). Hasil pengukuran secara fisika kimiawi umumnya mencerminkan kondisi pada waktu pengambilan contoh dilakukan, hal ini sering memberikan hasil yang tidak sesuai karena hasil pengukuran kurang mencerminkan kondisi yang telah lalu, padahal masuknya polutan di perairan berlangsung terus menerus. Selain itu, dengan semakin kompleknya kegiatan industri, semakin sulit untuk melakukan identifikasi jenis polutan tertentu di perairan. Pendekatan fisika kimia juga membutuhkan biaya yang mahal sehingga hanya laboratorium tertentu yang dapat melaksanakan. Untuk mengatasi hal tersebut, bioassessment (pemberdayaan biota perairan sebagai alat pemantauan dapat dijadikan alternatif). Bioassesment hanya mencerminkan kondisi sungai dari gangguan organic terlarut, sedangkan untuk tipe gangguan untuk organic yang tidak terlarut, misalnya yang berasal dari logam berat, menggunakan bioassay. Mengapa makroinvertebrata ? Untuk melengkapi kekurangan pendekatan fisika kimiawi dapat dilakukan dengan memberdayakan komunitas makroinvertebrata, yaitu hewan-hewan yang tidak mempunyai tulang belakang dan berukuran makroskopis, relatif tidak bergerak, mempunyai siklus hidup yang panjang, dan mempunyai keanekaragaman tinggi yang tersebar di hulu sampai hilir sungai. Pendekatan tersebut telah digunakan di beberapa negara dan dikembangan berdasarkan kondisi spesifik lingkungan dari masing-masing negara. Oleh karena itu, tidak ada satupun dari system biomonitoing yang dapat diterapkan untuk banyak negara, Masing-masing system hanya sesuai untuk kondisi lingkungan masing-masing negara dimana system tersebut dikembangkan.
Tujuan bioassessment Penggunaan komunitas makroinvertebrata untuk penilaian kualitas air sungai dengan bioassessment menggunakan pendekatan analisis komunitas, artinya ketersediaan komposisi dari berbagai makroinvertebrata yang ditemukan dari site sungai sudah dapat digunakan untuk menilai kondisi kualitas air sungai (Sudaryanti, 1992; 1997b). Ditemukannya suatu kelompok makroinvertebrata mencerminkan kondisi kualitas air sungai apakah masih baik (tidak mengalami pencemaran oganik terlarut), atau telah mengalami pencemaran organic terlarut atau telah terganggu) (Sudaryanti, 2003). Status penelitian Periode 1991- sekarang (system arbitrary) Penelitian bioassessment ini dimulai dengan menggunakan system arbitrary yaitu pedomanyangsengajadibuatolehpenelitikarenapedoman yangdapatdijadikan PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
23 23
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
acuan untuk system sungai tropis belum tersedia (Sudaryanti, 1992). Penggunaan system arbitrary dengan mempertimbangan ekologi dari komunitas makroinvertebrata. Tujuan system arbitrary adalah mengelompokan stasiun pengamatan menggunakan data ekologis makroinvertebrata. Pengelompokan pada setiap factor ekologis menjadi beberapa kelas berdasarkan sifat ekologis makroinvertebrata (Sudaryanti, 1992).
Keluaran dari system arbitrary : Keluaran dari sistem arbitrary adalah diperoleh beberapa kelompok makroinvertebrata yang peka dan toleran terhadap gangguan lingkungan, sehingga dapat dikembangkan sebagai indicator ekologis (Sudaryanti, 1992; 1995a).
Periode 1994-sekarang Sistem arbitrary hanya dapat dilakukan untuk mengelola data dengan jumlah station relatif kecil, misalnya kurang dari 15 stasiun. Untuk kepentingan jangka panjang, tentu akan menyulitkan jika system tersebut digunakan untuk mengelola data yang besar atau lebih dari 15 stasiun. Untuk mengatasi hal tersebut mulai diterapkan penggunaan program TWINSPAN. Tujuan program TWINSPAN adalah mengelompokan stasiun-stasiun pengamatan dengan menggunakan komunitas termasuk komunitas makroinvertebrata.
Keluaran program TWINSPAN dan CCA (Canonical Correspondence Analysis) Keluaran dari program TWINSPAN menunjukan bahwa komunitas makroinvertebrata selain potensial diberdayakan indicator ekologis dalam pemantauan secara biologis, juga dapat digunakan untuk mengelompokan beberapa stasiun menjadi satu kelompok berdasarkan kesamaan dari karakter komunitas makroinvertebrata yang menyusunnya (Sudaryanti, 1995b; 1997a). Keluaran ini akan memudahkan tujuan pengelolaaan sumberdaya sungai yaitu untuk kepentingan preservasi, konservasi, dan rehabilitasi. Penggunaan program CANOCO, CCA (Canonical Correspondence Analysis). Program tersebut tujuannya menggunakan biota dalam hal ini makroinvertebrata dan factor ekologisnya secara bersama-sama untuk mengelompokan stasiun-stasiun pengamatan (Sudaryanti; 1995a; 1997a; 1998). Keluaran analisis CCA selain mendapatkan kelompok stasiun pengamatan yang mempunyai kesamaan karakter makroinvertebrata dan factor ekologisnya juga mendapatkan keerartan hubungan antara komunitas makroinvertebrata dengan factor ekologisnya. Untuk kepentingan manajemen ekosistem sungai keluaran tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pengelolaaan terpadu Daerah Aliran Sungai baik untuk kepentingan perencanaan maupun untuk kepentingan pengawasan (indicator ekologis).
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
24 24
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Periode 1998 –sekarang : model prediksi AUSRIVAS (Australian River Assessment Method) (Sudaryanti, 1998, Sudaryanti et al., 2001)
Pada tahun 1998 sebuah sistem bioasessment Australia (AUSRIVAS) telah diuji coba di DPS Brantas hulu dengan prosedur sebagai berikut : • Sampling dilakukan di 84 lokasi acuan dan 15 lokasi uji. Pada masing-masing lokasi dilakukan pengambilan data macroinvertebrata dan data habitat. Data habitat yang diambil adalah data habitat yang tidak dipengaruhi oleh kegiatan manusia misalnya tinggi tempat, letak lintang, jarak dari sumber, persentase naungan, lebar sungai, dan kedalaman. • Identifikasi macroinvertebrata dilakukansampai tingkat famili • Data macroinvertebrata kemudian diklasifikasi untuk membentuk pengelompokan lokasi acuan menggunakan program UPGMA (Unweighted Pair-Group arithMetic Averaging). • Menghubungkan data pengelompokan lokasi acuan dengan data habitatnya menggunakan program MDFA (Multiple Discriminant Function Analysis). Data habitat yang berperan dalam pengelompokan lokasi acuan adalah ketinggian dari permukaan laut, jarak dari sumber, tipe habitat, lebar sungai, dan persentase vegetasi riparian. • Menguji model dengan cara memasukan data habitat dari lokasi uji. Program MDFA(Multiple Discriminant Function Analysis), akan memprediksi macroinvertebrata yang ditemukan pada suatu lokasi uji jika lokasi tersebut tidak mengalami gangguan • Hanya taxa yang mempunyai probability lebih 50% di pertimbangkan untuk menghitung taxa yang diharapkan ditemukan pada lokasi uji apabila keadaannya tidak terganggu (tercemar) • Membandingkan taxa yang ditemukan di lokasi uji(Observed) dengan taxa yang diharapkan ditemukan di lokasi uji(Expected) . Keluarannya adalah rasio O/E. • Melakukan interpretasi nilai O/E. Nilai O/E mendekati 1 adalah baik (Sudaryanti 2000).
Perumusan masalah Kondisi sungai-sungai di Indonesia umumnya mempunyai bervariasi. Sampai saat ini kita belum mempunyai system biologis yang diakui. Oleh karena itu, dipandang sangat perlu mengembangkan system pendugaan dan pemantauan biologis dikembangkan berdasarkan kondisi local.
pemanfaatan yang pemantauan secara adanya upaya untuk yang secara khusus
Refleksi Pemberdayaan komunitas makroinvertebrata untuk pendugaan kualitas air sungai secara kualitatif di dunia telah mulai sejak tahun 1908 di Eropa (Sudaryanti et al., 2000). Di Indonesia pendekatan tersebut masih relatif baru, Program Studi PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
25 25
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya telah memulai sejak akhir tahun 1990 (Sudaryanti, 1995b). Diseminasi mengenai pendekatan tersebut sebetulnya telah dilakukan oleh Fakultas Perikanan, melalui penyelenggaraan pelatihan bekerjasama dengan Wageningen Agricultural University, the Netherlands pada tahun 1997 dengan peserta dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia (Sudaryanti, 1997b). Pada tahun 1998 Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya bekerjasama dengan BAPEDAL Jawa Timur dan The Australian Cooperative Research Centre of Freshwater Ecology mengadakan penelitian mengenai bioassessment di DAS Brantas hulu. Kegiatan tersebut melibatkan secara aktif staf dari Universitas Airlangga, ITS Surabaya, BTKL, BAPEDAL Serpong, dan Jasa Tirta. Hasil dari penelitian tersebut telah didesiminasi melalui penyelenggaraan Konferensi Nasional dengan peserta dari berbagai stakeholders bioassessment sungai di Indonesia yang mewakili pihak pemerintah, Perguruan Tinggi, Laboratorium dll (Sudaryanti, 1999). Pada tahun 2001 diseminasi kegiatan bioassessment telah diterbitkan melalui jurnal berskala internasional yaitu Aquatic Ecology (Sudaryanti et al., 2001) dan Journal of Environmental Management (Hart et al., 2001). Dari evaluasi hasil penelitian (1998-2003) (Sudaryanti, 2003) telah teridentifikasi beberapa factor pendorong dan penghambat untuk pengembangan bioassessment di Jawa Timur yaitu : Adanya komitmen dosen dan mahasiswa Tersedianya fasilitas peralatan pengambilan contoh yang lengkap dengan standar internasional di Fakultas Perikanan UNIBRAW Tersedianya peralatan laboratorium yang memadai (tersedianya strereomikroskup, fasilitas pemilahan dll) Tersedianya reference collection di Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Tersedianya data sekunder di UNIBRAW, ITS, dan UNAIR Secara kelembagaam mendapat dukungan dari BALITBANG Jawa Timur, BAPEDAL JawaTimur, KLH Pusat melalui pelaksanaan kerjasama penelitian (Sudaryanti, 1997b; 1999; 2001; 2003). Terbentuknya Embrio Working Group Dukungan dari Perhimpunan Entomologi Indonesia (Sudaryanti et al., 2000; 2003) Tersedianya prosedur sampling dengan standar internasional di Fakultas Perikanan UNIBRAW Sedangkan faktor penghambatnya adalah : Minat dosen dan mahasiswa masih rendah Belum ada appresiasi terhadap hasil-hasil penelitian Kunci identifikasi khusus specimen Indonesia belum tersedia, selama ini masih menggunakan kunci dari negara lain, misalnya Australia yang berbahasa Inggris. Kurang tersedia ahli taksonomi makroinvertebrata Jumlah peralatan pengambilan contoh dan laboratorium yang memadai terbatas, suku cadang peralatan tidak tersedia di Indonesia Reference site semakin berkurang Belum tersedia kebijakan penelitian yang digariskan Perguruan Tinggi Dukungan kelembagaan belum ada di tingkat Universitas/ Fakultas/Jurusan misalnya pengadaan penambahan peralatan pengambilan contoh dan laboratorium. PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
26 26
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Pelajaran yang diambil Macroinvertebarta mempunyai distribusi contagious, sehingga membutuhkan jumlah contoh yang banyak (10 m) untuk mendapatkan ketelitian yang tinggi untuk medapatkan kepadatan macroinvetebrata yang representatif. Pengolahan contoh dan identifikasi membutuhkan waktu lama. Alternatifnya perancangan contoh dilakukan dengan cepat. Kesulitan lainnya adalah distribusi dan kelimpahan macroinvertabrata dapat dipengaruhi oleh faktor selain kualitas air. Hal ini membutuhkan pengetahuan mengenai ekologi macroinvertebrata. Kesulitan lainnya, variasi kelimpahan macroinvertebrata dipengaruhi oleh musim, terutama insekta. Perilaku drift dari macroinvertebrata yang menyebabkan macroinvertebrata dapat ditemukan di tempat yang tidak biasanya. Pengetahuan tentang habitat yang disukai dan perilaku drifting akan mengatasi persoalan ini. Beberapa penelitian menunjukan bahwa perubahan komunitas makroinvertebrata di sungai-sungai di Jawa Timur selain karena faktor distribusi spatial juga temporal walaupun penelitian dilakukan pada musim kemarau. Perubahan komunitas makroinvertebrata secara temporal pada suatu stasiun yang sama diduga adanya masukan air limbah rumah tangga, karena Instanlasi Pengolah limbah rumah tangga belum populer.Dalam hal analisis, beberapa macroinvertabrata tertentu sulit diidentifikasi. Keberlanjutan penelitian bioassessment membutuhkan kerjasama terpadu dari para stakeholders termasuk dari aspek perlindungan hukum. Penutup Bioassessment dapat diaplikasikan untuk pemantauan ekosistem sungai di Indonesia karena selain dapat menilai status “kesehatan” ekosistem sungai (lihat Lampiran 1) juga dapat memberikan rekomendasi prioritas rehabilitasinya.
Daftar Pustaka Karr JR. 1999. Defining and measuring river health. Freshwater Biology 41, 221234. Blackwell Science Ltd. Sudaryanti S. 1992. Biological assessment of the Brantas river. Fisheries Project. Faculty of Fisheries. Brawijaya University Malang. Sudaryanti S and Marsoedi. 1995a. Biological approach to stream water quality in the Brantas river. The Centre for Environmental Studies, Brawijaya University Malang.Buletin Perikanan, volume 6, Desember 1995. Sudaryanti S. 1995b. Classification and ordination macroinvertebrate communities in the Brantas river, East Java related to environmental variables. Department of Aquatic Ecology and Water Quality Management, Wageningen Agricultural University, the Netherlands. Sudaryanti S. 1997a. Bioassessment of the Brantas river, East Java, Indonesia. Department of Aquatic Ecology and Water Quality Management, Wageningen Agricultural University, the Netherlands. PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
27 27
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Sudaryanti S. 1997b. Proceedings of training on strategic to monitor stream water quality using biological approach. Faculty of Fisheries, Brawijaya University, Malang and Wageningen Agricultural University, the Netherlands. Sudaryanti S. 1998. A preliminary study on using multivariate technique to assess the Brantas river water quality. First Symposium on Environmental Chemistry and Toxicology, Yogyakarta 23-24 February 1998. Sudaryanti S, Trihadiningrum Y, Rosmanida, Purwati SU, Supriyanto H, and Yuliyanti L.1998. A trial of the Australian River Bioassessment method in the Brantas river, East Java. International conference on Waste water and Water Quality, Lombok, 1922 October 1998. Sudaryanti S, Trihadiningrum Y, Rosmanida, Purwati SU, Supriyanto H, and Yuliyanti L. 1999. The river health of the upper Brantas catchment. National Conference on River Health Bioassessment. Brawijaya University, Malang 8-10 March 1999. Sudaryanti S. 1999. Proceedings of the National Conference on River Health Bioassessment. Brawijaya University in cooperation with the Australian Cooperative Research Centre for Freshwater Ecology, and the BAPEDAL-PCI Project. Sudaryanti S. 2000a. Bioassessment : An alternative to assess Brantas river water quality. Paper presented at the one-day seminar on the Brantas river : the present status and its prospect. The Centre for Environmental Studies, Brawijaya University, Malang 18 Januari 2000, Indonesia. Sudaryanti S, Soehardjono, and Wardoyo. 2000b. State of the art macroinvertebrate as bioindicator. Paper presented at the National Symposium of Entomologist. Indonesian Association for Entomologist, Jakarta Hart BT, Davies P, Humphrey C, Norris R, Sudaryanti S, and TrihadiningrumY.2001; Application of the Australian River Bioassessment method (AUSRIVAS) in the Brantas River, East Java, Indonesia. Journal of Environmental Management 62:93100. Academic Press, UK. Sudaryanti S, Trihadiningrum Y, Hart BT, Davies PE, Humphrey C, Norris R, Simpson J, and Thurtell L. 2001. Assessment of the biological health of the Brantas River, East Java, Indonesia using the Australian River Assessment Method (AUSRIVAS). Journal of Aquatic Ecology, 35 (2):135-146. June 2001. Kluwer Academic Publisher,the Netherlands. Sudaryanti S. 2001. Pemanfaatan Potensi Keaneragaman Hayati untuk pemantauan kualitas air sungai di Jawa Timur. Kerjasama Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Brawijaya Malang dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Propinsi Jawa Timur. Sudaryanti S. 2003. The role of Aquatic insect for detecting water pollution. Paper presented at the Seminar on the role of insect on environmental management. Indonesian Association on Entomologist. Malang.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
28 28
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Sri Sudaryanti.2003. Pengembangan Bioassessment Kualitas Air Sungai di Jawa Timur. Kerjasama Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Brawijaya Malang dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Propinsi Jawa Timur Tabel Jenis Makroinvertebrata untuk bioassessment (hanya berlaku di DAS Brantas hulu) Status kesehatan sungai Sehat
Terganggu sedikit
Terganggu sedang Terganggu berat Terganggu sangat berat
Taksa makroinvertebrata Perlidae Perlodidae Nemouridae Glossosomatidae Lepidosmatidae Elmidae Leptophebidae Caenidae Tipulidae Gomphidae Hydropsychidae Hydrobiidae Chironomous thummi Physidae Tubificidae Glosiphonidae
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
Kualitas fisika kimia Oksigen terlarut > 6.5- 7 mg/l
5,5-6,5 mg/l
4-5 mg/l
2-3 mg/l < 2 mg/l
29 29
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
3. DAMPAK TATAGUNA LAHAN TERHADAP SUMBERDAYA AIR
3.1.
Skenario Penggunaan Lahan
Laju pertambahan penduduk yang berlangsung lebih cepat dari pada pertambahan produksi makanan menimbulkan kekhawatiran akan kekurangan persediaan makanan di masa depan. Kondisi ini berarti kebutuhan sandang, pangan dan papan selalu meningkat sehingga manusia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini memicu manusia untuk melakukan alih guna lahan, misal alih fungsi hutan menjadi kawasan pertanian intensif dan areal pertanian yang berubah fungsi menjadi permukiman. Dampak dari aktivitas tersebut adalah berubahnya karakteristik hidrologis DAS dengan indikator debit puncak air larian permukaan (surface runoff). Salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah air larian permukaan meningkat apabila (Bosch dan Hewlett, 1982; Hibbert, 1993 dalam Asdak, 2007): 1. Hutan yang ditebang atau dikurangi dalam jumlah yang cukup besar. 2. Terjadi pengubahan jenis vegetasi dari tanaman berakar dalam menjadi berakar dangkal. 3. Terjadi pengubahan jenis vegetasi dari tanaman dengan kapasitas intersepsi (tajuk daun) tinggi ke tanaman intersepsi yang lebih rendah. Pengaruh penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologis DAS adalah vegetasi dapat memperlambat jalannya limpasan permukaan dan memperbesar jumlah air yang tertahan diatas permukaan tanah sehingga menurunkan laju limpasan permukaan. Dampak dari penurunan laju limpasan permukaan adalah turunnya debit puncak air sungai dan waktu menuju debit puncak (Asdak, 2007). Jadi terdapat hubungan antara jenis penggunaan lahan dengan karaktersitik hidrologi suatu DAS. Tabel 3.1.Perbandingan besarnya limpasan permukaan antara hutan alam tidak terganggudanperkebunankopiberumur16 tahun(Januari-April198). Hutan tidak terganggu
Perkebunan kopi berumur 16 tahun
52-65
46-49
926,5
926,5
104,75
633,37
Persentase curah hujan
11,3
68,4
Erosi (ton/ha/6 bulan)
0,28
1,18
Peubah Lereng (%) Curah hujan (mm) 3
Limpasan permukaan (m /ha)
Sumber: gintings(1981)
Dampak dari alih guna lahan adalah meningkatnya limpasan permukaan, seperti pada penelitian oleh Gintings (1981) dalam Hamilton (1983) dengan membandingkan antara perkebuanan kopi dengan hutan tidak terganggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
30 30
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
kebun kopi berdampak pada kenaikan limpasan permukaan menjadi 633,37 m3/ha atau naik 6 kali lipat (Tabel 3.1). Hasil penelitian tersebut didukung oleh Suprayogo et al (2007) yaitu pada kondisi iklim tropika basah, limpasan permukaan pada lahan yang mengalami alih fungsi lahan dari hutan menjadi tanaman semusim pada skala plot dapat meningkat 3 sampai 15 kali lipat sedangkan erosi tanah meningkat 250 hingga 600 kali dibanding hutan. Peningkatan limpasan permukaan merata sepanjang musim tergantung besar-kecilnya curah hujan. Ardiyansyah (2007) dalam penelitianya menyatakan bahwa pengubahan pengunaan lahan dari hutan ke non hutan menurunkan infiltrasi maksimum sehingga menaikkan air limpasan permukaan. Berbagai hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengubahan penggunaan lahan hutan menjadi non hutan berdampak pada peningkatan jumlah air larian permukaan (surface runoff). Peningkatan jumlah air larian permukaan akan memperbesar debit puncak air larian permukaan. Kondisi ini mengakibatkan bertambahnya jumlah volume air sungai sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya bahaya banjir. Risiko banjir akan semakin besar seiring dengan peningkatan kemungkinan terjadinya bahaya banjir (hazard). Diley et al (2005) dalam Leon (2006) merumuskan risiko sebagai suatu hubungan matematika yaitu : Risk = hazard x eksposure x vulnerability, dimana hazard adalah kemungkinan terjadinya bahaya suatu bencana seperti bahaya banjir, tsunami, dan gempa bumi; vulnerability berkaitan tingkat kerentanan dari dalam diri manusia, secara ekonomi, infrastruktur ketika menghadapi (exposure) suatu bencana. Jadi berdasarkan pengertian tersebut maka peningkatan bahaya banjir akan berdampak pada peningkatan risiko banjir, dan sebaliknya. Salah satu upaya mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya banjir adalah pengaturan bentuk penggunaan lahan di DAS. Berbagai hasil penelitian menunjukaan bahwa keberadaan hutan di DAS mampu mengurangi terjadinya bahaya banjir sehingga semakin luas hutan maka bahaya banjir akan semakin berkurang. Simulasi bentuk penggunaan lahan pada berbagai skenario dilakukan untuk melihat dampak pengubahan bentuk pengunaan lahan di DAS terhadap sumber daya air. Guna melihat hal tersebut berikut ini terdapat dua contoh hasil penelitian yang berlokasi di DAS Brantas Hulu, Jawa Timur dan DAS Samin , Jawa Tengah . A. DAS Brantas Hulu, Jawa Timur Contoh kasus yang pertama ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di DAS Brantas Hulu yang berlokasi di Kota Batu, Jawa Timur. Kondisi penggunaan lahan di DAS Brantas hulu telah mengalami pengubahan dari waktu ke waktu. Guna melihat hal tersebut berikut ini terdapat 4 skenario bentuk penggunaan lahan yaitu skenario 1 mencerminkan kondisi pengguanaan lahan sebelum reformasi, skenario 2 menggambarkan kondisi penggunaan lahan setelah reformasi, kondisi 3 menunjukkan kondisi pengunaan lahan berdasarkan RTRW wilayah administratif Kota Batu, dan skenario 4 mewakili kondisi penggunaan lahan yang ada saat ini atau eksisiting. Berikut ini penjelasan lebih rinci dari masing-masing skenario tersebut:
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
31 31
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
1. Skenario 1 (S1): kondisi sebelum reformasi. Skenario S1 merupakan hasil interpretasi dan klasifikasi bentuk penggunaan lahan yang mengacu pada citra satelit Landsat tahun 1989. Bentuk penggunaan lahan yang terdapat di DAS Brantas hulu meliputi kebun, tegalan, hutan alami, lahan terbuka, permukiman, sawah, semak belukar, dan hutan produksi. dominan meliputi hutan alami, kebun (kebun apel), semak belukar, dan permukiman. Sebaran secara spasial berbagai bentuk penggunaan lahan tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini (Gambar 3.1).
Gambar 3.1. Peta penggunaan lahan reformasi.
di DAS Brantas Hulu sebelum
Berdasarkan klasifikasi citra Landsat 1989 menunjukkan bahwa keberadaan hutan alami dan kebun (apel) mendominasi di DAS Brantas Hulu yaitu sebesar 30,51 % dan 23, 41% dari total luas DAS yaitu 17384.51 hektar (Gambar3.2).
Gambar 3.2. Grafik persentase luas penggunaan lahan di DAS Brantas hulu sebelum reformasi. PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
32 32
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
2.
S2: kondisi sesudah reformasi
Skenario ini menggambarkan kondisi penggunaan lahan sesaat setelah terjadinya reformasi pada tahun 1998/1999. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurahman Wahid menyatakan bahawa hutan untuk rakyat, pernyataan ini diartikan oleh masyarakat bahwa keberadaan hutan adalah untuk kesejahteraan masyrakat sehingga banyak hutan yang diubah menjadi lahan pertanian intensif seperti hortikultura dan tegalan. Guna melihat hal ini citra satelit yang menjadi acuan adalah Landsat ETM 2002.
Gambar 3.3. Peta penggunaan lahan reformasi.
di DAS Brantas Hulu sebelum
Hasil kasifikasi citra menunjukkan bahwa terrjadi pengubahan luas hutan alami menjadi 10% dari totol luas DAS. Hal ini terjadi karena hutan alami telah berubah menjadi hutan terganggu, hutan produksi, dan semak belukar. Hutan produksi dalam hal ini adalah hutan-hutan milik Perhutani yang telah ditanami tanaman semusim (tetelan). Sementara itu, hutan terganggu mempunyai kondisi yang lebih bagus daripada hutan produksi dimana tegakan pohon masih mendominasi. Sementara itu, semak belukar kebanyakan adalah lahan yang dulunya hutan dan setelah ditebang pohonnya menjadi lahan terlantar yang kemudian ditumbuhi oleh semak belukar. Lahan-lahan ini pada umumnya berada pada posisi lereng yang curam. Lebih jelasnya, jenis penutupan lahan dan luasannya disajikan pada tabel berikut.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
33 33
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Gambar 3.4. Grafik persentase luas penggunaan lahan di DAS Brantas hulu sesudah reformasi
3.
S3: kondisi berdasar RTRW
Pasca reformasi kondisi pengunaan lahan di DAS Brantas menjadi tidak terkontrol. Pemanfaatn lahan tidak lagi melihat kaedah konservasi dan tingkat kemampuan lahannya. Lahan dengan tingkat kemiringan curam yang seharusnya digunakan sebagai lahan hutan tetap digunakan sebagai lahan hortikultura. Kondisi ini terus berkembang sehingga berdampak pada berbagai kejadian bencana yang telah terjadi seperti banjir dan tanah longsor. Oleh sebab itu, pememerintah Kota Batu menyusun Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) untuk menata ulang penggunaan lahan di DAS Brabtas Hulu sehingga fungsi DAS dari aspek ekonomi dan hidrologis dapat tercapai. Pelaksanaan RTRW telah dimplementasikan sejak tahun 2005. Dalam RTRW ini ditetapkan bahwa seluruh kawasan hutan yang telah berubah fungsi dikembalikan lagi pada fungsi sebenarnya yaitu sebagai hutan alami dan hutan produksi (Hutan Tanaman Industri). Berikut ini sebaran spasial bentuk penggunaan lahan berdasarkan RTRW Kota Batu Gambar 3.5)
Gambar 3.5. Peta penggunaan lahan di DAS Brantas Hulu berdasarkan RTRW. PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
34 34
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Bentuk penggunaan lahan yang direkomendasikan berdasarkan RTRW Kota Batu terdiri atas delapan jenis yaitu kebun, sayuran, hutan alami, lahan terbuka, permukiman, sawah, agroforestri, dan hutan produksi. Hutan produksi dan hutan alami mnempati persentasi yang paling besar yaitu 35,88% dan 20,93 % (Gambar3.6).
Gambar 3.6. Grafik persentase luas penggunaan lahan di DAS Brantas hulu berdasarkan RTRW.
4.
S4: kondisi aktual
Kondisi aktual menggambarkan komposisi bentuk penggunaan lahan yang ada saat ini. Citra satelit yang digunakan adalah citra landsat ETM tahun 2006. Hasil klasifikasi citra tersebut digunakan sebagai acuan simulasi yang menggambarkan kondisi aktual saat ini. Berikut ini sebaran spasial penggunaan lahan pada kondisi aktual (Gambar 3.7)
Gambar 3.7. Peta penggunaan lahan di DAS Brantas Hulu pada kondisi aktual. PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
35 35
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Hasil klasifikasi penggunaan lahan berdasarkan citra satelit menunjukkan bahwa kondisi actual di DAS Brantas tersusun atas Sembilan jenis penggunaan lahan lahan meliputi kebun, tegalan, hutan alami, lahan terbuka, permukiman, sawah, semak, hutan produksi, dan hutan terganggu. Keberadaan hutan alami hanya sebagian kecil dari totakl luas DAS Brantas yaitu 7,9 %, sedangkan yang dominan adalah permukiman dan tegalan yaitu masing –masing sebesar 25,2% dan 20%.
Gambar 3.8. Grafik persentase luas penggunaan lahan di DAS Brantas hulu pada kondisi aktual.
5. Dampak pengubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi di DAS Brantas Hulu, Jawa Timur. Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat pengaruh pengubahan penggunaan lahan terhadap sumberdaya air adalah fluktuasi debit saat musim kemarau dan hujan. Fluktuasi debit antara musim hujan dan musim kemarau pada setiap skenario penggunaan lahan menunjukkan bahwa kondisi landuse aktual mempunyai perbedaan total debit musim kemarau dan musim penghujan yang paling tinggi. Nilai perbedaan tersebut hampir sama dengan kondisi pada saat landuse setelah reformasi. Sementara itu, skenario landuse ke-3 menunjukkan nilai perbedaan debit musim kemarau dan penghujan yang paling rendah dalam hal ini jumlah debit musim kemarau telah melebihi 50% dari debit total pada musim penghujan. Rasio serta perbandingan antara debit kemarau dengan penghujan ditunjukkan pada tabel dan grafik berikut. Tabel 3.2. Rasio debit musim kemarau dan penghujan (data hujan tahun 2004) Landuse
Rasio Kemarau/Penghujan
Actual Landuse
0.38
Scenario 1
0.51
Scenario 2
0.39
Scenario 3
0.66
Hasil simulasi menunjukkan bahwa debit air sungai saat musim penghujan tertinggi terjadi pada skenario S2 (setelah reformasi) sedangkan terendah terjadi PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
36 36
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Discharge (juta m3)
pada S1 (sebelum reformasi). Hal ini berarti pengubahan penggunaan lahan hutan menjadi pertanian intensif berdampak pada peningkatan debit air sungai. Kondisi ini juga terjadi pada skenario S4 (penggunaan lahan kondisi actual), artinya dampak pengubahan penggunaan lahan hutan masih terjadi hingga saat ini, hal ini terlihat pada nilai debit saat musim hujan masih tergolong lebih tinggi dari pada S1 (Gambar3.9). 350 300 250 200 150 100 50 Actual Landuse
Scenario 1
Debit Penghujan
Scenario 2
Scenario 3
Debit Kemarau
Gambar 3.9. Grafik perbandingan debit musim kemarau dan penghujan (data hujan tahun 2004)
Jadi berdasarkan hasil simulasi pada berbgai skenario tersebut dapat disimpulkan bahwa pengubahan penggunaan lahan akan berdampak pada karakteristik hidrologis DAS yang dapat terlihat dengan indikator debit pada saat muasim keammarau dan penghujan. Peningkatan debit air sungai pada saat penghujan akan berdampak pada peningkatan terjadinya bahaya banjir sehingga risiko banjir di bagian hilir DAS dapat meningkat. B.
DAS Samin, Jawa Tengah
Contoh kasus yang kedua ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di DAS Samin yang berlokasi di Kabupaten Karangnyar, Propinsi Jawa Tengah. Empat jenis skenario dengan mengatur luasan hutan disimulasikan untuk melihat bagaimana pengaruh pengubahan penggunaan lahan terhadap fungsi hidrologis DAS dengan indikator debit puncak air larian permukaan pada titik outlet DAS. Berikut ini keempat jenis skenario tersebut (Tabel 3.3): Tabel 3.3. Skenario bentuk penggunaan lahan yang digunakan dalam simulasi di DAS Samin Kode
Skenario
S0
Luas hutan 0% ,utamakan aspek sosial ekonomi
S15
Luas hutan 15% (sebagai kontrol), kondisi eksisiting.
S30
Luas hutan 30% , fungsi hutan mengurangi debit air larian
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
37 37
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
S100
Luas hutan 100%, utamakan aspek fisik.
1. Skenario S0 Skenario ini mensimulasikan bentuk penggunaan lahan di DAS Samin dari aspek ekonomi saja, artinya hanya mementingkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Seluruh DAS diubah menjadi lahan pertanian intensif meliputi hortikultura, tegalan, kebun campur, dan sawah.
Gambar 3.10. Peta bentuk penggunaan lahan pada skenario S0. Hutan dan lahan terbuka diubah menjadi hortikultura sedangkan permukiman tetap seperti kondisi eksisiting. Pengubahan hutan dan lahan terbuka menjadi hortikultura karena mata pencaharian masyarakat sekitar daerah tersebut sebagai petani (BPS Kecamatan Karanganyar, 2008). 2. Skenario S15 Skenario ini mensimulasikan kondisi eksisting berdasarkan hasil klasifikasi citra Landsat ETM 1 Oktober 2002. Persentase luas hutan adalah 15% dari luas total DAS Samin. Perlakukan ini sebagai kontrol atau pembanding terhadap perlakukan yang lain. Nilai debit air larian diasumsikan sebagai debit terjadinya banjir karena data debit banjir hasil pengukuran lapangan tidak tercatat. Suatu skenario dpat dikatakan mapu mengurangi risiko banjir terjadi apabila nilai debit air larian lebih kecil daripada S15.
Gambar 3.11. Peta bentuk penggunaan lahan pada skenario S15.
3. Skenario S30 Skenario ini mensimulasikan penambahan luas hutan diduga mampu mengurangi debit air larian di DAS Samin. Luas hutan dibuat 30% dari total luas DAS. Lahan hortikultura dan tegalan diubah menjadi hutan, sedangkan sawah dan kebun campur tetap sesuai kondisi eksisting. Pengubahan sawah menjadi hutan sangat kecil kemungkinannya karena pada areal persawahan terdapat irigasi teknis PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
38 38
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
sehingga petani dapat bercocok tanam padi sepanjang tahun. Selain itu daris aspek fisik lahan tersebut cocok untuk persawahan.
Gambar 3.12. Peta bentuk penggunaan lahan pada skenario S30. 4. Skenario S100 Skenario ini mensimulasikan bentuk penggunaan lahan dari aspek fisik saja yaitu pengurangan debit puncak air larian. Hasil penelitian Gintings (1981) dalam Hamilton (1983) menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi kebun kopi berdampak pada kenaikan air larian sebesar 6 kali lipat.
Gambar 3.13. Peta bentuk penggunaan lahan pada skenario S100. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pengurangan debit puncak air larian secara maksimal apabila seluruh kawasan di DAS Samin diubah menjadi hutan. Kenyataan dilapangan proses ini sulit terjadi, namun hal ini penting untuk melihat fungsi hutan dalam menurunkan debit puncak air larian permukaan. Jadi pertimbangan lainnya adalah hutan mampu mengurangi debit puncak air larian. Dampak pengubahan penggunaan lahan terhadap fungsi hidrologis di DAS Samin, Jawa Tengah Indikator yang digunakan dalam penelitin adalah debit puncak air larian permukaan (surface runoff). Debit puncak S15 hasil simulasi adalah 24,07 m3/dt, angka ini digunakan sebagai kontrol. Pembukaan lahan hutan menjadi hortikultura pada skenario S0 terbukti meningkatkan debit puncak air larian yaitu 24,72 m3/dt. (Gambar 4.11). Hal ini berarti bentuk penggunaan lahan yang hanya memprioritaskan aspek ekonomi saja dapat meningkatkan debit puncak permukaan.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
39 39
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Gambar 3.14. Grafik debit puncak air larian permukaan pada berbagai skenario bentuk penggunaan lahan di DAS Samin Penambahan luasan hutan berpengaruh terhadap pengurangan rerata debit aliran permukan yaitu pada perlakuan S3 yaitu sebesar 23,33 m3/dt. Hutan yang berfungsi menurunkan debit aliran permukaan terbukti pada perlakuan S100 yaitu menghasilkan debit paling rendah sebesar 21,91 m3/dt. Berdasarkan hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa pengubahan bentuk penggunaan lahan di DAS Samin berpengaruh terhadap sumberdaya air dalam hal ini debit puncak air larian permukaan di titik outlet. Peningkatan debit puncak air larian berdampak pada peningkatan risiko banjir di bagian hilir DAS. Kondisi ini menuntut adanya pengelolaan DAS yang komprehensif sehingga tidak saling merugikan kepentingan masyrakat bagian hulu maupun hilir (Gambar3.15). Jadi pengubahan penggunaan lahan di DAS berpengaruh terhadap karakteristik hidrologis DAS tersebut. Debit puncak outlet
hujan
Risiko banjir di hilir
25.00
24.72 24.07
24.00 m /dt 3
23.33 22.92
22.91
23.00
21.91
22.00 21.00 20.00 S0
Gambar
3.15
S15
S30
S 60
S 100
SOp
Skenario bentuk penggunaan lahan di DAS Samin
.Hubungan pengubahan bentuk penggunaan pengurangan risko banjir di hilir DAS Samin
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
lahan
dengan
40 40
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
4. ISU MANAJEMEN DI SUB DAS SUMBER BRANTAS
4.1.
Isu Hidrologi Menuju DAS yang Sehat
Perhatian utama pengambil keputusan di tingkat Pemerintah Kota Batu terkait dengan isu-isu hidrologi di DAS Sumber Brantas akan diuraikan sebagai berikut.
4.1.1.
Tarik ulur kepentingan budidaya hortikultura di kawasan pegunungan dengan implementasi tata ruang daerah
DAS Sumber Brantas yang sebagian besar masuk wilayah Kota Batu ditetapkan sebagai salah satu wilayah resapan air DAS Brantas. Untuk itu Pemerintah Kota Batu menetapkan Tata Ruang Wilayah dengan menetapkan kawasan lindung yang luasnya sekitar 10.352 ha atau 52% dari wilayah Kota Batu dan kawasan budidaya seluas 9.555 ha atau 48%. Sementara itu, kondisi kawasan lindung yang ada di Kota Batu pada saat ini baru mencapai 33%. Wilayah yang semestinya sebagai kawasan lindung saat ini masih berupa semak belukar (13%), sebagian lagi digunakan sebagai usaha tani sayuran dan kebun apel (5%) dan sisanya sebagai lahan kering berupa tegalan yang juga diusahakan untuk usaha tani sayur-mayur.
Gambar 4.1.
Beberapa sudut kawasan budidaya di DAS Sumber Brantas, wilayah Kota Batu.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
41 41
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Secara demografis, Kota Batu yang luasnya 199,1 km2 memiliki jumlah penduduk mencapai 182.885 jiwa pada tahun 2007, sehingga tingkat kepadatan penduduk di wilayah ini termasuk sangat tinggi yakni mencapai sebesar 919 orang/km2. Demikian pula tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat Kota Batu atau sekitar 34% adalah tamatan SD, sementara lulusan SLTP dan SLTA masing-masing 17%, dan sekitar 6% adalah tamatan perguruan tinggi. Sementara itu yang tidak/belum sekolah dan tidak lulus SD mencapai sekitar 26% dari penduduk Kota Batu. Kondisi demografi dan tingkat pendidikan yang demikian serta didukung oleh kondisi tanah yang subur menyebabkan sebagian besar masyarakat menjatuhkan pilihan mata-pencaharian pada bisang pertanian. Sektor pertanian hortikultura (sayur, bunga dan buah-buahan) menjadi andalan masyarakat Kota Batu. Nilai ekonomi komoditas hortikultura yang sangat tinggi membuat masyarakat Kota Batu “kelaparan lahan” sehingga setiap jengkal tanah tidak ada yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. Adanya kesempatan menanam sayuran di lahan Perhutani tidak disiasiakan oleh masyarakat yang tidak memiliki lahan maupun yang sudah memiliki lahan sendiri. Pola kehidupan yang demikian memberikan dampak positif terhadap pendapatan dan pendapatan per-kapita masyarakat Kota Batu. Pendapatan per kapita masyarakat Kota Batu memperlihatkan fenomena kenaikan yang signifikan selama beberapa tahun terakhir, yaitu dari Rp. 3.752.924,84 pada tahun 2001 menjadi Rp. 3.865.829,88 pada tahun 2002, dan tahun 2003 sebesar Rp. 3.949.952,17 kemudian pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp. 4.066.437,47 pada tahun 2005 Rp. 4.258.056,20 serta tahun 2006 menjadi Rp. 4.394.253,80. Namun sayang usaha pertanian tersebut dilakukan di kawasan resapan air dan sistem budidaya pertanian yang dilakukan seringkali kurang mengindahkan prinsipprinsip konservasi tanah dan air. Upaya untuk mengalihkan jenis komoditas sayuran menjadi tanaman tahunan menjadi kurang menarik bagi masyarakat, mungkin karena imbalan pendapatan yang diterima tidak sepadan dengan praktek yang sekarang. Telah terjadi tarik-ulur antara Pemerintah Kota Batu, Perum Perhutani dan masyarakat khususnya di lahan Perhutani untuk mengganti tanaman sayuran dengan tanaman tahunan yang dapat melindungi tanah dan air. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa sudah mulai ada titik temu antara ketiga pihak tersebut untuk mengganti tanaman sayuran dengan tanaman kopi yang akan ditanam diselasela tegakan pohon (pinus dsb).
4.1.2.
Kerusakan ekologi hutan akibat perambahan hutan untuk budidaya tanaman sayur
DAS Sumber Brantas yang luasnya 17.344 ha atau sekitar 9.6 % dari total luas DAS Brantas Hulu merupakan salah satu bagian dari kawasan resapan sistem Kali Brantas di Jawa Timur. Antara tahun 1997 sampai tahun 2001, telah terjadi deforestasi di DAS Sumber Brantas seluas 1.597 ha, yang dialih-gunakan (sementara) sebagai kawasan pertanian tanaman semusim khususnya sayuran dengan kondisi konservasi tanah dan air yang sangat memprihatinkan. Sebagian besar deforestasi diakibatkan oleh penebangan tegakan pohon secara ilegal di kawasan hutan Perhutani, sebagai akibat ketidak-pastian ekonomi dan PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
42 42
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
politik pada masa krisis moneter dan sebagai dampak dari proses otonomi daerah Kota Batu. Hal serupa juga terjadi di kawasan Tahura R. Soerjo, walau tidak separah di kawasan Perhutani. Masyarakat dan bahkan pejabat di Kota Batu sendiri tidak bisa mengenali batas-batas kawasan yang berada di bawah pengelolaan Perum Perhutani dan Tahura R. Soerjo, sehingga penebangan terjadi dimana-mana. Mulai tahun 2000, baik Perum Perhutani maupun Tahura R. Soerjo yang sedang berusaha melakukan rehabilitasi hutan, harus menghadapi masalah konflik kepentingan dengan masyarakat lokal yang telah merasakan keuntungan ekonomi ketika melakukan budidaya tanaman sayuran di kawasan hutan. Konflik dengan masyarakat ini timbul terutama karena adanya kesenjangan komunikasi (communication gap) atau komunikasi yang lemah antara pengetahuan masyarakat, kebijakan pemerintah Kota Batu dan kebijakan Perum Perhutani dalam menjalankan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
Gambar 4.2.
4.1.3.
Penanaman sayuran secara intensif diantara tegakan pinus di kawasan hutan produksi dan lindung Perhutani DAS Sumber Brantas.
Menurunnya debit mata air utama di Kota Batu
Kawasan hutan lindung di bawah pengelolaan Tahura R. Soerjo dan Perum Perhutani serta hutan produksi dibawah Perum Perhutani yang berada di DAS Sumber Brantas merupakan areal resapan dari 111 buah mata air utama yang ada di wilayah Kota Batu. Deforestasi yang telah terjadi di kawasan hutan lindung maupun di kawasan hutan produksi mengakibatkan perubahan penutupan hutan sehingga PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
43 43
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
memberikan dampak terhadap kurang berfungsinya kawasan resapan. Akibatnya, 53 buah mata air pada musim kemarau didapati sudah mati diantaranya sumber Bayuning, sumber Terongbelok, sumber Gemulo, sumber Kasinan, sumber Coban Rais, dan sumber Gunung Biru (Koran Tempo, 29 Nopember 2006). Sementara itu debit 58 mata air yang masih ada juga menurun. Penelusuran yang dilakukan oleh masyarakat Bumiaji pada tahun 2008 mendapatkan sebuah lagi mata air mati yang terletak di atas sumber Pesanggrahan (Malang Post, 8 Agustus 2008). Dampak yang lain adalah meningkatnya debit puncak aliran sungai dan tingginya muatan sedimen pada musim penghujan serta menurunnya aliran dasar sungai (base-flow) di musim kemarau. Pengukuran dan pengamatan rutin terhadap debit Kali Brantas di kawasan Kota Batu memang belum ada, tetapi hal-hal tersebut dapat disimpulkan dari berbagai hasil studi dan indikator yang disampaikan oleh berbagai pihak di Kota Batu.
4.1.4.
Banjir dan sedimentasi waduk
DAS Sumber Brantas yang luasnya 17,3 ribu hektar merupakan salah satu anak sungai Kali Brantas dibangian hulu disamping enam Sub-DAS lainnya yang bermuara di Waduk Karangkates. Berdasarkan data dari BP DAS Brantas (2006), ternyata DAS Sumber Brantas memberikan kontribusi sedimentasi tertinggi kedua setelah DAS Amprong. Berdasarkan perkiraan BP DAS Brantas, besarnya sedimen yang masuk sungai dari DAS Sumber Brantas mencapai 86,7 ribu m3 setiap tahun. Sedimen dari DAS Sumber Brantas berasal dari erosi yang terjadi rata-rata sebesar 143 ton/ha/tahun. Erosi terutama dari kawasan budidaya pertanian (sayuran) dan kawasan hutan Perhutani yang ditanami tanaman semusim. Selain karena faktor lereng yang curam, besarnya kehilangan tanah dipicu oleh sifat tanah yang mudah tererosi (erodibilitas tanah) dan absennya vegetasi penutup tanah khususnya pada awal musim penghujan.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
44 44
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Gambar 4.3.
Erosi dan longsor yang terjadi di bagian hulu DAS mengakibatkan pendangkalan sungai dan waduk, serta kerusakan sarana irigasi (check-dam Talun) akibat banjir bandang di Kali Brantas bagian hulu.
Tingginya tingkat erosi di kawasan ini sangat merisaukan Perum Jasa Tirta 1 (PJT) yang sangat berkepentingan dalam menjaga kelestarian umur efektif bendungan di bagian hilir, seperti Bendungan Sengguruh, Sutami, Lahor dan Wlingi serta bangunan-bangunan air lainnya. Berdasarkan studi yang pernah dilakukan oleh PJT 1, umur efektif Bendungan Sutami yang direncanakan selama 100 tahun berkurang menjadi hanya 30 tahun saja akibat pendangkalan waduk. Pada tahun 2003 kapasitas efektif waduk Sengguruh hanya tinggal 42% dan waduk Sutami tinggal 57% dibanding saat pembangunan (PJT, 2006). Oleh karena itu PJT memiliki kepentingan untuk ikut serta menjaga kawaaan DAS Sumber Brantas, paling tidak untuk menekan jumlah sedimen yang masuk ke sungai dan memelihara fungsi kawasan resapan beserta sumber-sumber airnya.
4.1.5.
Kontaminasi pestisida dan pupuk dalam aliran air
Wilayah Kota Batu dan sekitarnya merupakan sentra produksi hortikultura (buah dan sayur) yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Usaha tani hortikultura sangat sesuai di kawasan ini, yang memiliki tanah vulkanik subur, cukup air serta suhu udara sejuk pada ketinggian di atas 600 m dpl. Pertanian yang berbasis tanaman buah dan sayur umumnya dikelola secara sangat intensif, dengan masukan (input) PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
45 45
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
yang sangat tinggi seperti pengolahan tanah, penggunaan bibit, pupuk dan pestisida, serta penerapan irigasi. Pengunaan masukan kimia untuk pertanian hortikultura sudah sangat tinggi dosisnya, sehingga jika tidak menggunakannya maka besar kemungkinan produksi menurun bahkan tidak jarang gagal panen karena serangan hama dan penyakit. Pemakaian bahan kimia dengan takaran yang sudah melebihi batas mengakibatkan terjadinya pencucian sisa pestisida dan pupuk sehingga menyebar mengikuti aliran air menuju air tanah (ground water) atau ke sungai. Selain itu sisa bahan aktif (residu) juga terdapat dalam produk buah atau sayur yang dipanen, sehingga melebihi ambang batas yang diperkenankan. Pada tahun 2005, terdapat 20 sumber air di kawasan DAS Sumber Brantas yang diduga tercemar oleh pestisida, dan yang paling menderita adalah sumber air Banyuning dan Gemulo (Tempo, 25 Agustus 2005). Sumber-sumber air yang diduga tercemar pestisida ini lokasinya berada di bagian bawah (hilir) dari kawasan pertanian yang didominasi oleh tanaman sayuran. Namun menurut pendapat Kepala Dinas Pertanian Kota Batu, mata air masih aman dari pestisida, tetapi kalau air permukaan kemungkinan besar sudah sedikit tercemar. Penelitian kualitas air akibat pencemaran pupuk dan pestisida di Kota Batu sampai sejauh ini masih sangat sedikit, sehingga sulit mendapatkan hasil publikasi yang bisa dikutip. Sementara monitoring dan pengukuran terhadap kualitas air belum pernah dilakukan, karena memang sangat mahal. Upaya monitoring kualitas air sungai melalui indikator bentos (vertebrata air) sudah pernah dilakukan tetapi belum bisa dilaksanakan secara rutin.
4.1.6.
Limbah industri, perhotelan dan domestik dalam aliran air
Wilayah Kota Batu yang terletak di pegunungan dengan hawa sejuk dan pemandangan indah serta dihuni penduduk hampir 200 ribu orang, memiliki kegiatan perkonomian yang sangat aktif di sektor pariwisata, pertanian dan industri pertanian. Kegiatan-kegiatan tersebut menghasilkan berbagai bentuk limbah dalam jumlah cukup banyak. Setiap hari Kota Batu menghasilkan sampah sebanyak 350 m3, namun hanya sekitar 30% saja yang bisa diangkut ke TPA (tempat pembuangan akhir). Selebihnya, sampah yang tidak tertampung kebanyakan berada di rumahrumah penduduk berupa sampah domestik. Sebagian kecil dapat dimanfaatkan menjadi kompos dan kerajinan dari sampah rumah tangga (TEMPO Interaktif, 3 September 2008). Sampah ini sangat potensial mencemari sungai yang mengalir di Kota Batu termasuk Kali Brantas, mengingat masyarakat memiliki perilaku suka membuang sampah ke sungai. Upaya sedang dilakukan oleh Pemerintah Kota Batu untuk membangun TPA baru di daerah Tlekung seluas 6 hektar dengan teknologi “sanitary landfiled” supaya bisa menampung dan mengolah sampah kota tersebut. Selain sampah domestik, sampah pertanian juga sangat berpotensi mencemari sungai, terutama kotoran sapi. Masih banyak peternak sapi perah yang membuang kotoran bercampur sisa pakan langsung ke saluran drainasi yang akhirnya masuk ke sungai. Upaya membangun instalasi pengolahan limbah ternak untuk menghasilkan biogas sudah sering disosialisasikan tetapi nampaknya masih belum banyak diminati petani. Masyarakat di Kelurahan Temas (Kota Batu) sejak tahun 2006 mengembangkan pengolahan limbah terpadu dengan sistem wetland, untuk PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
telah 46 46
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
menampung limbah rumah tangga dan limbah industri rumah tangga. Pengelolaan ini dikerjakan oleh Karang Taruna Temas dan LSM Fokal Mesra Kota Batu. Karena dinilai berhasil, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendukung dana pengembangan sistem ini dengan menambah kapasitas (volume) penampungan limbah sehingga bisa menampung limbah dari 500 rumah-tangga, sementara sebelumnya hanya dari 40 rumah-tangga (TEMPO Interaktif, 29 Agustus 2008).
Gambar 4.4.
Sampah pertanian, sampah domestik dan sampah industri rumahtangga dibuang bukan di tempat sampah yang disediakan, berpotensi mencemari mata air dan sungai (kiri atas).
Sumber sampah yang lain adalah dari sektor pariwisata, terutama hotel dan restoran besar. Seharusnya mereka mempunyai instalasi pengolahan limbah sendiri sesuai dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang mewajibkan perusahaan untuk mengelola sampahnya. Sampah dalam industri hotel dan restoran tak boleh diendapkan lebih dari satu hari. Jika harus mengelola sendiri, manajemen merasa kesulitan karena mereka bukan perusahaan pengolah sampah, sehingga biasanya diserahkan kepada kontraktor. (TEMPO Interaktif, 28 September 2008). Kenyataanya, masih banyak limbah rumah tangga dan limbah industri/perusahaan yang dibuang pada tempat pembuangan sampah liar yang berada di dekat pemukiman penduduk dan lokasi pabrik atau bahkan dibuang langsung ke sungai (Gambar 3.4.). Untuk mengatasi masalah pencemaran sampah ini Pemerintah Kota PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
47 47
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Batu telah merencanakan membangun instalasi pengolahan limbah terpadu untuk mengolah limbah domestik dan industri. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Batu sudah mulai melakukan kajian dan penelitian.
4.1.7.
Konflik stakeholder sebagai akibat ketidak teraturan pemanfaatan sumber air dan aliran sungai
Konflik atau potensi konflik yang disebabkan oleh rebutan penguasaan air sudah mulai dirasakan di Kota Batu. Beberapa tahun yang lalu telah terjadi tarik ulur antara Pemkot Batu dan Pemkot Malang (PDAM) terkait dengan pembagian dana atas penggunaan air dari Kota Batu oleh PDAM Kota Malang. Dalam penelusuran bersama masyarakat ditemukan adanya beberapa instansi dan perusahaan besar yang mengambil air langsung dari mata air di kawasan hutan (Tahura dan Perhutani). Berbagai pihak merasa tidak pernah memberikan ijin untuk pengambilan air dan terjadi saling lempar tanggung-jawab atas terjadinya kasus ini. Selain instalasi pengambilan air yang besar, di lapangan juga ditemukan banyak sekali instalasi penyedotan air dalam skala kecil dengan pompa mesin untuk keperluan irigasi lahan-lahan disekitarnya. Persoalan timbul pada musim kemarau ketika debit air Kali Brantas sangat kecil, kebutuhan sehari-hari untuk domestik dan lain-lainnya ternyata tidak terpenuhi, maka persoalan penyedotan air dihulu menjadi isu yang menimbulkan potensi konflik.
Gambar 4.5.
Pompa air “berserakan” secara tersembunyi maupun terang-terangan di sekitar sumber air di DAS Sumber Brantas, untuk menyedot air secara “ilegal” digunakan untuk irigasi dan berbagai keperluan lainnya secara
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
48
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
4.1.8.
Berkembangnya kawasan pemukiman dan industri di kawasan resapan
Kawasan DAS Sumber Brantas secara tradisional merupakan daerah resapan yang sangat potensial bagi kesetimbangan hidrologi di DAS Brantas. Namun, fungsi tersebut akhir-akhir ini menjadi sangat terganggu akibat perkembangan penutupan lahan yang tidak terkendali. Gangguan terbesar adalah penebangan hutan baik ilegal maupun legal, mengakibatkan semakin luasnya tanah terbuka yang menyebabkan semakin besarnya limpasan permukaan dan erosi, akibat menurunnya laju infiltrasi. Limpasan permukaan semakin besar dengan berkurangnya kawasan resapan akibat tertutup oleh bangunan baik perluasan pemukiman, pembangunan hotel, industri, dsb. Salah satu contoh pembangunan perusahaan jamur yang berada di kawasan Sumber Brantas seluas beberapa hektar (Gambar 4.1.).
Gambar 4.6.
4.2.
Kondisi tutupan lahan di kawasan resapan DAS Sumber Brantas terbuka di hulu dan pemukiman di tengah (foto kanan), dan bangunan untuk industri/perusahaan di bagian hulu yang menutupi permukaan tanah sebagai kawasan resapan (foto kiri)
Tugas:Pemeliharaan Fungsi DAS Sumber Brantas melalui Mekanisme Imbal Jasa
Masalah hidrologi DAS Sumber Brantas sebenarnya sudah dirasakan sejak awal tahun 1980-an, terutama oleh Proyek Brantas (sekarang Perum Jasa Tirta), yang membangun dan mengelola beberapa bendungan di sepanjang Kali Brantas sejak tahun 1970-an. Sementara masalah hidrologi di DAS Brantas sendiri sudah jauh lebih dulu muncul, sehingga mulai tahun 1960an sudah mulai direncanakan dan dibangun beberapa bendungan untuk mengendalikan banjir di sepanjang Kali Brantas. PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
49 49
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Permasalahan yang dihadapi Proyek Brantas adalah besarnya tingkat sedimentasi di waduk-waduk akibat erosi yang terjadi di bagian hulu, termasuk DAS Sumber Brantas, yang jauh lebih besar dari yang diperkirakan. Pada saat itu masih belum dirasakan adanya masalah yang terkait dengan fluktuasi debit air. Upaya-upaya pencegahan erosi sudah dilaksanakan oleh beberapa institusi pemerintah, termasuk inisiatif dari Proyek Brantas yang selanjutnya diserahkan kepada PJT 1 sebagai pengelola. Upaya penghijauan dan reforestasi, bantuan kepada masyarakat (petani) untuk membuat bangunan konservasi (teras, drop structure, gully plug, saluran pembagi, penguat teras dsb), serta mendorong petani untuk menerapkan upaya konservasi tanah dan air dalam praktek pertanian mereka. Upaya-upaya yang sudah menggunakan daya dan dana sangat besar itu ternyata tidak memberikan hasil seperti yang diinginkan. Sedimentasi di waduk tetap tinggi sehingga ada perkiraan terjadi penurunan kapasitas efektif waduk dibanding kapasitas yang direncanakan. Hasil studi JICA pada tahun 1998 dan survei yang dilakukan PJT antara tahun 1992-2003 menunjukkan bahwa kapasitas tampungan total waduk Sutami tinggal 50 % dari yang direncanakan semula (PJT I, 2005). Dalam kaitan ini, PJT 1 dan PT PJB (Pembangkitan Jawa-Bali) adalah stakeholder yang berkepentingan langsung terhadap upaya perbaikan konservasi tanah dan air di DAS Sumber Brantas. Akibat pendangkalan waduk juga secara berantai dirasakan oleh masyarakat luas, antara lain melalui ketersediaan listrik (PLN). Dengan semakin berkembangnya aktivitas masyarakat di sepanjang Kali Brantas, semakin banyak pula aktivitas yang bergantung dari ketersediaan air sungai ini baik jumlah (kuantitas), kualitas, maupun kontinyuitasnya. Pemanfaatan air sungai ini antara lain untuk irigasi (sawah seluas 340.000 ha), industri (ratusan pabrik dan perusahaan 3 kecil sampai besar), bahan baku air minum PDAM sebanyak 300 juta m , -1 menghasilkan enerji listrik 1 milliar kWh tahun , dsb (PJT 1, 2006). Kondisi hidrologi DAS Sumber Brantas sesudah tahun 2000 ternyata tidak semakin baik tetapi justru sebaliknya semakin kritis. Alih-guna lahan hutan menjadi lahan budidaya pertanian tidak saja memicu peningkatan erosi dan sedimentasi, tetapi juga mengakibatkan banjir dan kekeringan. Semakin banyak warga masyarakat tergantung dan terlibat dalam pengelolaan tanah/lahan di kawasan hulu sehingga permasalahan DAS Sumber Brantas semakin kompleks. Permasalahan pengelolaan DAS Sumber Brantas yang melibatkan ribuan warga masyarakat Kota Batu, Perum Perhutani, Tahura R. Soerjo dan Pemerintah Kota Batu ternyata tidak mudah diselesaikan. Salah satu alasan yang sering diungkapkan adalah minimnya reward terhadap upaya-upaya pengelolaan lahan dalam bentuk perhatian/penghargaan dan dukungan dana. Kondisi terkini mengharuskan semua pihak baik masyarakat di hulu, tengah maupun hilir Kali Brantas untuk memikul tanggung jawab bersama dalam memelihara DAS dengan melakukan pengelolaan DAS secara tepat. Bentuk tanggung jawab setiap stakeholder perlu dirumuskan secara adil sesuai dengan tindakan/aksi yang bisa diperankan oleh masing-masing pihak. Salah satu upaya yang ditawarkan adalah mekanisme imbal-jasa lingkungan (payment of environmental services - PES) dengan konsep sepuluh tahap Sistem Dukungan Negosiasi (Jeanes at al., 2006) untuk membantu para pihak untuk memperbaiki mosaik penggunaan lahan dari prespektif fungsi DAS yang mengalami degradasi untuk menuju praktek penggunaan lahan yang sehat (profitable, sustainable) (Tabel 3). Mekanisme yang sudah diterapkan di beberapa negara, juga sudah diuji-cobakan di beberapa tempat (DAS) di Indonesia. Mekanisme ini juga sudah pernah diteliti dan diuji-cobakan dalam skala kecil di DAS Brantas (Gunawan et al., 2005). PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
50 50
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Tabel 3.SelupuhtahapSistemDukunganNegosiasi(Jeanesatal.,2006). Tahapan 1
2
Sepuluh tahapan pendekatan dukungan negosiasi DAS Karakterisasi. (hujan, kepadatan penduduk, status migrasi, usaha pertanian utama) dan diagnosis issue utama dan masalahnya terkait dengan fungsi DAS dan perikehidupan (termasuk sumber air minum) Penilaian Bentang Lahan, kemiringan, penggunaan lahan dan zonasi vegetasi, toposequen tanah dari punggung bukit ke sungai.
3
Pemahaman aliran air dan kosekuensi aliran lateral (pengangkutan dan pemerangkapan) tanah, unsur hara, polutan dll. Intersepsi, transpirasi, aliran permukaan, aliran dalam tanah, aliran bawah tanah, mata air, dll. Apa yang diangkut aliran air (tanah, unsur hara, garam-garam, polutan, bahan organic, limbah domestik) dan apa yang dapat dipisahkan (penyaringan)
4
Pencirian system penggunaan lahan terkait dengan hasil/tenaga kerja/ kebutuhan masukan biaya produksi / keuntungan dan dampakdampaknya terhadap aliran air (evapotranspirasi, dampak pada pemadatan tanah, penutupan lahan).
5
Pencirian mosaik bentang lahan dalam pandangan terpisah-pisah – terpadu, dan kosekuensinya terhadap mempertemukan fungsi produksi dan fungsi lingkungan.
6
Pemahaman tradeoffs antara fungsi agronomis relatif (RAF) dan fungsi lingkungan relative (REF), sebagai contoh dalam bentuk jumlah 2 penduduk yang kecukupan pendapatan per km sebagai RAF dan jumlah penduduk dengan kecukupan air bersih asebagai REF indikator – dibangun dari tahapan 4.
7
Mosaik bentang lahan (dibangun dari tahapan 5) dalam kontek aliran air dan “externalities” untuk pembuatan keputusan di lahan petani; keberadaan aturan dan insentif (‘carrots and sticks’) di tingkat masyarakat dan pemerintah; apakah moasik bentang lahan yang ada konfigurasinya stabil untuk memenuhi sebuah kebutuhan
8
Analisis praktek pola dan penggunaan lahan yang ada berdasarkan prespektif para pihak (termasuk gender dan pemerataan).
9
Pemahaman masalah yang ada dan konflik pada tingkat pengetahuan lokal, kebijakan dan ilmiah: apakah ada berbagi prespektif (tetapi bias berbeda apresiasi keluaran yang beragam) atau apakah kebutuhan untuk leveling off” sebagai tahapan dalam negosiasi.
10
Kelanjutan kesepakaran negosiasi, diikuti dengan kegiatan monitoring dan dampaknya terhadap layanan lingkungan dan perikehidupan masyarakat
Hasil studi LP3ES bersama YPP dan PJT I (Gunawan et al., 2005) menunjukkan adanya potensi yang cukup besar untuk memperbaiki kondisi DAS Brantas melalui pengelolaan DAS yang disukung oleh mekanisme imbal-jasa lingkungan. Potensi ini ditanggapi secara positif oleh masyarakat di Jawa Timur, sehingga Pemerintah PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
51 51
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Provinsi Jawa Timur bersama DPRD dan masyarakat Jawa Timur sudah mulai menyiapkan Peraturan Daerah (Perda) mengenai mekanisme imbal-jasa lingkungan ini. Konsep Perda ini sedang dibahas secara intensif dengan melibatkan masyarakat luas (LSM, Perguruan Tinggi, petani, kalangan industri, pengusaha, dsb) sejak tahun 2007, namun sampai saat ini masih belum selesai. Berdasarkan situasi, kondisi dan kebutuhan DAS Sumber Brantas, serta dengan memperhatikan konteks yang lebih luas (DAS Brantas dan Provinsi Jawa Timur), maka dapat disimpulkan bahwa mekanisme imbal jasa lingkungan sangat potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu pilar pengelolaan DAS Sumber Brantas. Jika hal ini menjadi kesepakatan bersama untuk dilaksanakan maka masih banyak hal-hal yang perlu disiapkan oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Untuk itu diskusikan dengan anggota kelompok dan tetapkan macam kegiatan yang perlu dilakukan dalam setiap tahapan agar pelaksanaan membangun komunikasi dalam menjalankan Jasa Lingkungan di DAS Sumber Brantas dapat berjalan dengan baik dengan mengisi Tabel berikut:
Tabel 4.3.
Tahap
Macam Kegiatan yang perlu dilakukan dalam Membangun Komunikasi dalam Menjalankan Jasa Lingkungan di DAS Sumber Brantas Dukungan negosiasi DAS
1
Karakterisasi dan diagnosis DAS.
2
Penilaian Bentang Lahan.
3
Pemahaman aliran air
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
Macam Kegiatan yang perlu dilakukan
52
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
4
Pencirian system penggunaan lahan
5
Pencirian mosaik mempertemukan produksi dan fungsi lingkungan.
6
Pemahaman tradeoffs
7
Mosaik bentang lahan dan; keberadaan aturan dan insentif
fungsi
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
53 53
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
8
Analisis praktek pola dan penggunaan lahan berdasarkan prespektif stakeholder.
9
Pemahaman pengetahuan lokal, kebijakan dan ilmiah:
10
Kelanjutan kesepakaran negosiasi,
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
54 54
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
5. PROSES PERENCANAAN DAS MIKRO SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN AKSI MANAJEMEN DAS
5.1.
Pendahuluan
Pemberdayaan masyarakat melalui satuan DAS mikro merupakan suatu hal yang baru. Pemahaman akan hal ini masih simpang-siur antar berbagai pihak. Oleh sebab itu perlu waktu yang hampir setahun untuk menyamakan persepsi diantara para pengelola DAS. Walaupun masih belum dicapai kesepahaman yang sama program ini tetap harus dimulai. Oleh karena itu dengan berbagai hambatan akhirnya program pemberdayaan masyarakat dengan melalui satuan DAS mikro dimulai pada tahun 2002. Sebagai bagian dari program pemberdayaan masyarakat melalui DAS Mikro, upaya mempertahankan kelestarian lahan dan sumberdaya alam pada umumnya menjadi salah satu bagian program yang penting. Berikut ini disampaikan konsep pegangan bagi fasilitator lapangan berkaitan dengan pengelolaan biofisik khususnya lahan. Dalam pedoman lapangan ini hanya dituliskan garisbesarnya saja, sementara masih banyak hal yang tidak termuat didalamnya. Latar belakang teoritis sebaiknya dipahami oleh para fasilitator sehingga penyesuaian dan pengembangan pedoman lapangan ini dapat dibuat oleh para fasilitator secara mandiri. Pedoman ini bukan merupakan petunjuk teknis yang harus dilaksanakan secara kaku di lapangan. Para fasilitator harus dapat mengambil keputusan dalam menghadapi kondisi sebenarnya di lapangan dengan penuh tanggung-jawab. Oleh sebab itu sebaiknya para fasilitator selalu mau belajar dan mengembangkan diri melalui berbagai cara terutama dengan membaca berbagai informasi teknologi tertulis yang banyak sekali dipublikasikan. Secara khusus materi ini disiapkan untuk membekali fasilitator lapangan agar memiliki suatu metodologi dalam mengembangkan langkah-langkah pendampingan bagi program pelestarian lahan melalui pendekatan DAS mikro dan mampu mempertanggung-jawabkan setiap langkah yang diambilnya baik kepada masyarakat maupun kepada atasannya.
5.2.
Pengertian
Kegiatan ini merupakan gerakan masyarakat dalam memecahkan masalah DAS Mikro termasuk: 1. Kualitas air sungai •
Tingginya muatan sedimen yang berasal dari berbagai proses erosi dan/atau longsor
•
Kontaminasi zat kimia yang disebabkan penggunaan zat kimia berlebihan pada daerah hulu
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
55 55
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
2. Kuantitas air sungai: terlalu banyak air pada musim hujan dan terlalu sedikit air pada musim kemarau dan berubahnya debit total tahunan 3. Kekurangan atau kelebihan air di dalam suatu DAS Masalah yang akan dipecahkan kemungkinan berkaitan dengan pengaruh pengelolaan di hulu terhadap hilir sehingga memerlukan keikutsertaan masyarakat di hulu dan hilir DAS tersebut. Karena melibatkan berbagai kelompok masyarakat maka penanganan Pengelolaan DAS Mikro jauh lebih sulit dibandingkan dengan perlakuan pada tingkat lapang seperti pada PoP. Dalam banyak hal solusi masalah DAS memerlukan negosiasi antara berbagai pihak (stakeholders) tentang bagaimana pemecahan masalah DAS. Sebagai contoh, tingginya konsentrasi zat kimia pada sungai karena tingginya penggunaan zat agrokimia di hulu perlu dipecahkan melalui negosiasi antara petani di hulu dan pengguna air di hilir. Contoh intervensi DAS adalah sistem pengelolaan air, bangunan terjunan air, perbaikan saluran drainase, perbaikan filter suatu lansekap secara vegetatif (misalnya dengan penanaman rumput atau pohon-pohonan, penanaman menurut garis kontur, perbaikan pagar hidup pada skala DAS dst.). Metode: Kegiatan dimulai dengan karakterisasi dan identifikasi masalah suatu DAS dan penilaian apakah masalah tersebut relevan dengan mandat pengelolaan DAS. • Pembuatan peta wilayah DAS secara partisipatif dan pengidentifikasian tentang apa dan di mana masalah tersebut. • •
Perumusan pemecahan masalah dengan menggunakan pengetahuan lokal. Pemaduan antara solusi lokal dengan solusi berdasarkan ilmu pengetahuan. Di dalam tahap ini perlu dikaji secara mendalam apa implikasi yang dapat
•
Dalam setiap intervensi perlu diupayakan untuk menggunakan sebanyakbanyaknya sumber daya lokal. Sebagai contoh, apakah akan menggunakan batu atau bambu untuk membangun bangunan terjunan, sangat ditentukan oleh banyak tidaknya bahan tersebut pada DAS setempat.
ditimbulkan dengan penggunaan teknik yang baru diperkenalkan.
5.3.
Persiapan oleh Fasilitator
Sebelum melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan DAS mikro, maka diperlukan langkah-langkah persiapan untuk membekali para fasilitator agar memiliki landasan dan dasar yang kuat dalam melangkah selanjutnya. Tahap persiapan ini sangat tergantung dari mana program ini dimulai, apakah mulai dari nol atau dimulai dari suatu tahap tertentu. Hal ini sangat tergantung dari kemajuan program PIDRA di lapangan. Namun demikian, para fasilitator dapat mempelajari uraian berikut ini dan melakukan evaluasi diri untuk menentukan di mana posisinya pada saat ini. Pedoman ini juga dapat dipakai sebagai check-list (daftar acuan) untuk mengetahui apa yang sudah dan belum dimiliki. Langkah persiapan ini ditujukan untuk membekali para fasilitator dengan informasi yang
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
56 56
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
dibutuhkan dalam pendampingan nantinya. Hal ini dianggap perlu karena fasilitator nantinya harus bekerja dan mengambil keputusan sendiri sehingga harus memiliki konsep yang tepat, benar dan konsisten (tidak berubah-ubah). 2
Kegiatan berikut dilakukan oleh fasilitator (PTL dan FLSM) dan jika perlu didampingi oleh Tim Ahli (Komiisi Pelaksana, Komisi Teknik, Peneliti, Konsultan, dsb). Kegiatan ini ditujukan untuk menyiapkan konsep pengelolaan biofisik DAS mikro yang akan dipakai sebagai acuan dalam mendampingi masyarakat. Langkah2 yang diperlukan dalam mikro adalah sebagai berikut :
menyiapkan
skenario
pengelolaan
DAS
a. Menyiapkan Peta DAS dan Sub DAS Peta DAS atau Sub DAS di mana desa atau dusun sasaran PIDRA ini terletak, dengan skala antara 1 : 10.000 sampai 1 : 50.000 tergantung luasnya. Peta-peta tersebut seharusnya bisa diperoleh dari dari BPDAS (BRLKT) atau instansi lain yang berwenang, berikut rancangan teknis rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dari DAS tersebut. Informasi tentang rencana dan program pengembangan kawasan tersebut baik oleh pemerintah (pusat & daerah) maupun swasta (perkebunan, perhutani, peternakan, dsb) perlu dibahas di tingkat kabupaten. Perencanaan pengelolaan DAS mikro harus memperhatikan perencanaan dan pengembangan ini. b. Menggambarkan Desa PIDRA pada Peta DAS Wlayah desa atau dusun yang menjadi sasaran PIDRA digambarkan pada peta DAS atau Peta Sub DAS yang ada, kemudian digambarkan batas-batas kawasan DAS mikro didalam dan sekitar desa tersebut (bisa satu atau lebih DAS mikro). Pembuatan batas DAS mikro dapat dilakukan dengan menggunakan foto udara (stereoskop) atau dengan penyelusuran lapangan. Luas sebuah DAS mikro sangat beragam, bisa antara 5 – lebih dari 100 ha. Namun untuk keperluan ini perlu dibuat batasan sebuah DAS mikro dengan memperhatikan keragaman penggunaan lahan, luas pemilikan lahan, dan bentuk permukaan atau kelerengan dan wilayah administrasi. Sketsa peta DAS mikro memberikan informasi tentang batas-batas pemilikan atau penguasaan lahan, batas persil, kelerengan, penggunaan atau penutupan lahan dan pohon yang dominan, bangunan atau konstruksi, sungai, parit atau saluran air dan landmark lainnya yang dominan. Peta ini digambar dengan skala antara 1 : 500 sampai 1 : 1.000. c. Identifikasi dan Karakterisasi DAS Mikro Pada fase ini perlu dilakukan pendataan secara cepat (misalnya dengan teknik RRA atau sondeo) tentang kepemilikan atau penguasaan lahan yang ada di wilayah DAS mikro, meliputi penggalian informasi : Lahan : sistem penguasaan, luas, penggunaan dan rencana pengembangan Identifikasi biofisik dan permasalahan yang berhubungan dengan kerusakan lahan dan lingkungan d. Rancangan Pengembangan DAS Mikro Berdasarkan peta dan karakterisasi DAS Mikro serta identifikasi potensi dan permasalahan dapat dibuat rancangan pengelolaan. Pada tahap ini harus dicari alternatif pemecahan masalah sebanyak mungkin melalui pengalamannya sendiri, bertanya kepada orang lain yang lebih tahu & ahli, membaca literatur dan PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
57 57
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
sebagainya. Pada tahap ini perlu memperhatikan rancangan yang lebih tinggi tingkatnya (misalnya rancangan DAS, Sub DAS, Kabupaten, dst). Rancangan pengembangan dan pengelolaan DAS mikro ini dituangkan dalam sebuah peta dengan skala 1 : 500 sampai 1 : 1000. Idealnya, proses ini dilakukan untuk seluruh wilayah desa untuk kemudian digabungkan dalam wilayah Sub DAS atau DAS (tergantung luasnya) pada skala kerja yang lebih kecil, misalnya 1 : 2.500 sampai 1 : 5.000. Peta ini merupakan penggabungan dari beberapa DAS mikro sehingga menyerupai permainan “jigzaw puzzle”.
5.4.
Pemetaan DAS Mikro oleh Masyarakat
Inti dari pendekatan DAS mikro adalah pemberdayaan masyarakat agar mampu memahami potensi dan permasalahan yang dihadapi serta menyusun rencana untuk mengatasi problem tersebut. Hal seperti ini dilakukan bersama-sama dalam suatu kelompok yang memiliki keterkaitan sumberdaya yang ada dalam suatu kawasan DAS mikro. Tugas para fasilitator dan pendamping lapangan untuk memberdayakan mereka agar masyarakat tersebut memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi potensi dan permasalahan yang dihadapi serta mencari jalan keluar yang paling tepat untuk kondisi mereka sendiri. Proses-proses tersebut perlu diperagakan oleh masyarakat sebelum mereka mengimplementasikan dengan menggunakan berbagai alat peraga misalnya peta, gambar, maket, dan sebagainya. Oleh karena itu pemetaan DAS mikro secara partisipatif oleh masyarakat bukan hanya suatu kegiatan yang mengada-ada tetapi memiliki peran strategis dalam proses pemberdayaan masyarakat. Beberapa kegiatan yang dianggap perlu dilakukan rangka melakukan pengelolaan DAS mikro adalah :
masyarakat
dalam
a. Pembentukan Kelompok DAS Mikro Pertama-tama dilakukan penyebaran isu tentang pentingnya pengelolaan lahan dan lingkungan yang lebih efektif bila dilaksanakan berdasarkan satu satuan wilayah alami (misalnya DAS mikro – DAS). Kemudian memfasilitasi berkumpulnya anggota masyarakat (petani atau pemilik lahan) yang persilnya termasuk dalam kawasan DAS mikro tertentu dan memfasilitasi pembentukan kelompok yang akan menangani pengelolaan kawasan DAS mikro untuk tujuan kelestarian lahan dan lingkungan hidup dan meningkatkan hasil dari usaha tani di kawasan DAS mikro tersebut sehingga bisa berkontribusi terhadap penghasilan keluarga masingmasing. Proses ini bisa berjalan cepat tetapi bisa juga perlu waktu yang sangat lama. Pertanyaan-pertanyaan untuk dibahas bersama : Bagaimana PIDRA memfasilitasi terbentuknya kelompok ini ? Apa yang menjadi visidanmisi kelompok DAS mikro ini ? Apakah persamaandanperbedaaannya dengan kelompok tani mandiri ? Bagaimana proses pendampingannya ? Monitoring dan evaluasinya ?
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
58 58
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
b. Kegiatan Utama Kelompok Salah satu kegiatan utama Kelompok DAS mikro adalah perbaikan lahan dan lingkungan agar dapat mendukung kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat secara lestari. Kelompok DAS mikro perlu melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada perbaikan (rehabilitasi) dan pengawetan (konservasi) lahan dan lingkungan hidup. Melalui kelompok ini setiap anggotanya perlu memahami konsep pengelolaan lahan dan lingkungan secara benar dan mampu menerapkan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan khusus tentang pengelolaan lahan dan lingkungan serta persamaan persepsi bagi setiap anggota kelompok dan dengan anggota masyarakat lainnya. Melalui kelompok petani hamparan DAS mikro ini, diadakan penyadaran mengenai peran setiap orang dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan baik lokal sampai global. Secara praktis mereka juga diberi latihan ketrampilan praktis untuk menerapkannya dalam kehidupan dan kegiatan sehari-hari. Untuk merencanakan sampai menerapkan pengelolaan lahan yang berwawasan konservasi pada kawasan yang dikuasainya, maka dapat diikuti prosedur berikut : 1) Persiapan : analisis potensi dan permasalahan (swot) oleh kelompok Kelompok dan semua anggotanya diberdayakan agar mampu mengidentifikasi sumberdaya yang ada disekitarnya serta memahami potensi dan permasalahan yang dihadapi baik pada saat ini maupun pada waktu yang akan datang. Kemampuan ini dapat dituangkan dalam suatu bentuk peraga yakni berupa Peta Sketsa DAS mikro yang bisa menunjukkan persil-persil, kepemilikan, jalan, sungai atau saluran air, tebing, pohon-pohon penting, penggunaan lahan dan kenampakkan fisik lainnya. Kelompok mengidentifikasi permasalahan pada kawasannya, baik secara individu (masing-masing pemilik pada lahannya sendiri) atau secara bersama (anggota kelompok mengidentifikasi permasalahan dari lahan milik orang lain di kelompoknya). Hasil identifikasi permasalahan dicatat dan digambarkan dalam peta yang menunjukkan lokasi atau titik-titik dimana terdapat permasalahan yang sehubungan dengan kelestarian lahan. 2)
Perencanaan : penyusunan rancangan pengelolaan lahan oleh kelompok
Kelompok menyusun rencana pengelolaan lahan di kawasan DAS mikro untuk dasar bagi perencanaan dan pengelolaan lahan yang dimiliki oleh petani anggota kelompok tersebut. Berdasarkan kondisi aktual (potensi) dan permasalahan yang dihadapi, kelompok mendiskusikan dan mencari cara-cara terbaik mengatasi permasalahan. Proses ini menghasilkan berbagai usulan (aternatif) pemecahan masalah yang disepakati bersama. Permasalahan yang tidak dapat dijawab dalam proses ini dapat diupayakan pemecahannya melalui program penelitian secara partisipatif (PoP = Penelitian oleh Petani). Usulan aletrnatif pemecahan masalah dapat dirumuskan dalam Peta Rencana Pengelolaan dan Konservasi Lahan yang menunjukkan lokasi (titik dan daerah) dengan berbagai alternatif rencana pemecahan menurut versi petani. Setiap anggota kelompok kemudian menjabarkan rencana kegiatan masing-masing di lahannya sendiri. 3) Penerapan(implementasi) Rencana yang dibuat kelompok atau individu mungkin sangat ideal sehingga : PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
59 59
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
• •
tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh petani atau oleh kelompok, perlu bantuan atau subsidi dari luar, dan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh kondisi yang diharapkan bisa sangat lama, tidak bisa selesai dalam satu atau dua tahun saja
Yang penting bahwa kelompok sudah memiliki rencana yang jelas dan telah ada kesepakatan serta upaya untuk melaksanakannya secara konsisten. Penerapan rencana yang dibuat tersebut mungkin perlu dibantu baik melalui program PIDRA atau program-program lain melalui Pemerintah Kabupaten atau swasta. 4) MonitoringdanEvaluasi Semua kegiatan yang dilakukan oleh kelompok dan anggotanya juga perlu ada monitoring dan evaluasi secara internal untuk menjamin berlangsungnya kegiatan secara benar Adanya mekanisme kesepakatan kelompok untuk menyusun rencana pengelolaan merupakan suatu upaya menumbuhkan proses saling mengontrol antar anggota. Namun demikian perlu dipersiapkan mekanisme monitoring dan evaluasi internal yang lebih sistematis.
5.5.
Penutup
Proses pemetaan DAS mikro secara partisipatif dan Peta perencanaan pengelolaan DAS mikro yang dibuat secara partisipatif bukanlah merupakan standar atau target yang harus dicapai dalam pendekatan pengelolaan DAS, namun merupakan outcome atau cerminan dari kemampuan masyarakat untuk memahami persoalan sumberdaya yang dikuasai maupun yang mempengaruhinya.
Masyarakat diharapkan dapat dan mampu melakukan identifikasi sumberdaya yang disekitarnya baik yang dimiliki atau dikuasai pihak lain dan memahami potensi serta permasalahan yang dihadapi pada saat ini dan di masa akan datang. Mereka juga diharapkan memiliki pengetahuan dan teknologi untuk memecahkan masalah tersebut serta memilih yang terbaik bagi mereka. Selanjutnya masyarakat juga diharapkan memiliki kemampuan untuk menerapkan teknologi yang dipilih baik secara mandiri atau mencari bantuan dari pihak-pihak lain. Oleh sebab itu yang perlu mendapat penekanan adalah proses pemberdayaan masyarakat agar mereka memiliki kemampuan dalam beberapa hal yang mungkin sering dianggap mustahil bagi mereka untuk memnguasainya. Dalam hal inilah peran fasilitator atau pendamping sangat diperlukan.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
60 60
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Contoh Peta Sosial Desa
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
61 61
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
62 62
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
63 63
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Punggung bukit
Punggung bukit
Contoh Sketsa Peta DAS Mikro
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
64 64
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Contoh Sketsa Peta Dusun
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
65
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
66 66
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
67 67
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
68 68
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
69 69
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
70 70
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
71 71
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
6. PEMAHAMAN DATA BIOFISIK DENGAN PENDEKATAN SPASIAL SEBAGAI BASIS MANAJEMEN DAS
6.1.
Pendahuluan
DAS Sumber Brantas dikenal juga sebaga DAS Brantas Hulu, karena di kawasan ini terdapat beberapa mata air yang dinyatakan sebagai titik awal aliran Kali Brantas. Ada pihak-pihak yang menyebutkan bahwa DAS Brantas Hulu meliputi beberapa Sub-DAS diantaranya adalah SubDAS Sumber Brantas, SubDAS Amprong, SubDAS Bango, SubDAS Lesti, SubDAS Metro, SubDAS Lahor dan SubDAS Lemon. Total luas seluruh DAS Brantas Hulu 200 km2, dan semuanya merupakan daerah tangkapan air hujan dari waduk Karangkates. DAS Sumber Brantas adalah salah satu DAS p[aling kritis dari sekitar 29 DAS yang ada di Jawa Timur. Hampir separoh dari wilayah DAS ini termasuk dalam kategori lahan kritis (BKPH XI, 2006). Isu lingkungan yang paling menonjol di kawasan ini adalah (a) alih-guna lahan dari hutan menjadi tanaman sayur-sayuran, (b) penurunan kuantitas dan kualitas air, dan (c) degradasi lahan. Perubahan penggunaan lahan (alih-guna lahan) di DAS Sumber Brantas sebenarnya sudah berlangsung sejak awal abad 20, tetapi itu terjadi secara lambat (gradual). Alih-guna lahan semakin cepat terjadi pada tahun 1960-an dan mencapai puncaknya pada akhir tahun 1990-an, tepatnya tahun 1998-1999 ketika terjadi situasi peralihan yang dikenal dengan masa reformasi. Perbandingan citra satelit kawasan ini yang diambil pada tahun 1991, 2001 dan 2005 menunjukkan adanya pengurangan tutupan lahan sebagai hutan alam dan hutan tanaman (produksi) dan meningkatnya luas penggunaan lahan untuk perkebunan, tegal, semak belukar dan pemukiman. Alihguna lahan hutan menjadi tegalan, yakni lahan tadah hujan ditanami sayuran, sangat berpotensi mengalami kerusakan akibat erosi. Hal ini juga sudah dipahami oleh masyarakat setempat (Studi Detail Konservasi Sub DAS Brantas Hulu, 2006). Sejak tahun 1970-an usaha tani hortikultura (sayuran dan bunga) merupakan sumber penghasilan utama sebagian besar petani di Kota Batu. Pada akhir tahun 1990-an terjadi penebangan hutan besar-besaran, sebagian besar dijadikan tegalan dan ditanami sayuran. Penurunan kuantitas dan kualitas air di DAS Brantas Hulu diindikasikan dari seringnya terjadi banjir dan kekeringan di wilayah Kota Batu maupun bagian hilirnya. Banjir mulai terjadi pada tahun 2000, selanjutnya terjadi hampir setiap musim penghujan dan yang paling besar terjadi pada tahun 2004. Indikator lainnya adalah mengecilnya debit sebagian besar mata air di kawasan ini, dan bahkan dua per tiga jumlah mata air mengering atau mati selama satu dekade terakhir. Penurunan debit mata air juga sudah dirasakan dan dipahami oleh masyarakat setempat. Apabila sepuluh tahun lalu kebutuhan air warga Dusun Kekep (Tulungrejo) dapat dicukupi dari sebuah sumber air saja, tetapi saat ini air yang diperoleh dari empat sumber air ternyata masih belum mencukupi kebutuhan warga dusun tersebut (Studi Kelestarian Sumber-sumber Air di Kota Batu, 2006).
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
72 72
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Kerusakan lahan diyakini oleh banyak pihak berawal dari proses pembukaan lahan hutan yang memiliki kelerengan curam untuk ditanami tanaman semusim terutama sayuran. Kehilangan tanah akibat erosi di beberapa kawasan DAS Mikro ditaksir sebesar 1.500 ton ha-1 tahun-1 . Permasalahan sumberdaya alam di DAS Brantas Hulu selain disebabkan oleh faktor ekonomi juga oleh faktor sosial yang memicu terjadinya konflik-konflik di tingkat masyarakat maupun pemerintahan. Perbedaan cara pandang terhadap upaya pengelolaan sumberdaya alam di DAS ini jika dibiarkan akan memperparah kerusakan sumberdaya alam di wilayah ini. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya pemahaman bersama oleh seluruh stakeholder yang terkait tentang keadaan DAS Brantas Hulu serta apa yang tengah terjadi di sub DAS ini. Untuk mewujudkan hal itu perlu mengajak seluruh stakeholder agar dapat bersama-sama mencermati dan memahami kondisi dan permasalahan apa yang sedang terjadi di sub DAS Brantas Hulu serta mencarikan solusi dari permasaahan tersebut.
6.2. 6.2.1.
Gambaran Umum Lokasi Studi Kondisi Landscape Dan Iklim, Geologi Das Sumber Brantas
6.2.1.1. Kondisi Landscape DAS Sumber Brantas terletak di bagian tengah Provinsi Jawa Timur, dengan luas sekitar 17.343,77 Ha. Wilayah DAS ini sebagian besar berada di Kota Madya Batu dan sebagian kecil berada di Kabupaten Malang (Kecamatan Pujon dan Karangploso). Bagian hulu termasuk kawasan Taman Hutan Raya (Tahura Suryo). Secara geografik terletak pada 115017’0’’ hingga 118019’0’’ Bujur Timur dan 7055’30’’ hingga 7057’30’’ Lintang Selatan. DAS Sumber Brantas ini berada di wilayah pegunungan volkanik yang mengelilinginya, yaitu: Gunung Arjuna-Welirang, Gunung Anjasmara dan Gunung Kawi-Butak. Gambaran relief dan kompleks pegunungan yang membatasi DAS Sumber Brantas telah disajikan pada pada Gambar 2.3.
6.2.1.2. Kondisi Iklim Secara kuantitas, nilai curah hujan tahunan rerata di sekitar DAS Sumber Brantas dan sekitarnya sesuai yang tercatat pada stasiun penakar adalah relatif besar. Sepanjang periode 30 tahun terakhir (1975 – 2004), curah hujan rerata tahunan pada daerah studi sebesar 1876,70 mm dengan nilai terkecil sebesar 1009,9 mm yang terjadi pada tahun 2004 dan terbesar sebesar 3060,7 mm yang terjadi pada tahun 1992. Bulan kering biasa terjadi pada bulan Mei sampai dengan Oktober, sedangkan bulan basah biasa terjadi antara awal bulan November sampai dengan April. Curah hujan rerata bulanan terbesar adalah 398,98 mm pada bulan Januari dan terkecil sebesar 10,98 mm pada bulan Agustus. Dari hasil pencatatan pada Stasiun Tlekung selama 5 (lima) tahun terakhir (1996 – 2000), diperoleh nilai suhu udara rerata bulanan minimum sebesar 22,80oC yang terjadi pada bulan Januari dan maksimum sebesar 25,12oC yang terjadi pada bulan Mei. Kelembaban udara relatif tahunan rata-rata sebesar 85,33%. Kelembapan udara maksimum sebesar 88.60% terjadi pada bulan April dan minimum sebesar 81,20% yang terjadi pada bulan Februari. PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
73 73
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
6.2.1.3. Kondisi Geologi Informasi Geologi diperoleh dari Peta Geologi skala 1:100.000 Lembar Malang (Santosa, et.al., 1992). Secara umum tanah yang berkembang di DAS Sumber Brantas berkembang dari bahan volkanik hasil gunung api, yang dipengaruhi oleh Gunung Arjuno dan Anjasmoro di bagian utara, dan Gunung Panderman di bagian selatan. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Malang (Santosa, et.al., 1992), formasi geologi yang dijumpai di kawasan Kota DAS Sumber Brantas ada lima, berturut-turut dari yang paling luas yaitu: 1). Qvaw (Batuan Gunungapi Arjuna Welirang), 2). Qpat (Batuan Gunungapi Anjasmara Tua), 3). Qvp (Batuan Gunungapi Panderman), 4). Qpvkb (Batuan Gunungapi Kawi-Butak). dan 5). Qpva (Batuan Gunungapi Anjasmara Muda). Sebaran masing-masing formasi disajikan pada Gambar 2.9. Ditinjau dari umur batuan, Kompleks Pegunungan Anjasmara-Lalijiwa adalah pegunungan tua yang telah mati dan mengalami perusakan bentuk kerucut gunungapi. Kompleks pegunungan yang aling muda adalah Arjuna-Welirang, dimana Gunung Arjuna sedang istirahat dan Gunung Welirang masih aktif dengan mengeluarkan gas (belerang).
Gambar 2.9. Peta geologi DAS Sumber Brantas Qpat
Old Anjasmara Volcanic Product
Qpvkb
Kawi-Butak Volcanic Product
Qpva
Young Anjasmara Volcanic Product
Qvaw
Arjuna-Welirang Volcanic Product
Qvp
Panderman Volcanic Product
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
74 74
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Batuan paling tua di wilayah Kota Batu adalah Batuan Anjasmara Tua (Qpat) yang tersusun atas bahan breksi gunungapi, tuf breksi, tuf dan lava. Satuan ini diduga sebagai alas dari Batuan Gunungapi Kuarter Bawah dan diperkirakan berumur Plistosen Awal - Tengah; hal itu berdasarkan adanya singkapan dari Batuan Gunungapi Anjasmara Tua yang tertindih takselaras langsung oleh Batuan Gunungapi Arjuna-Welirang yang berumur Plistosen Akhir. Batuan gunungapi ini tertindih oleh Batuan Gunungapi Anjasmara Muda dan Batuan Gunungapi Panderman. Batuan Anjasmara Muda menindih batuan Anjasmara Tua, dengan demikian maka umur batuan ini lebih muda dibandingkan dengan Batuan Anjasmara Tua. Batuan ini merupakan batuan gunungapi kuarter bawah yang tersusun atas bahan breksi gunungapi, tuf breksi, lava, tuf dan aglomerat. Lava yang menyusun merupakan sisipan melidah dalam breksi dengan tebal beberapa meter. Batuan gunungapi ini diperkirakan berumur Plistosen Tengah, berdasarkan kedudukan stratigrafinya yang tertindih oleh Batuan Gunungapi Kuarter Tengah. Batuan Gunungapi Kawi termasuk dalam batuan gunungapi kuarter tengah yang tersusun atas bahan breksi gunungapi, tuf lava, aglomerat dan lahar. Batuan gunungapi ini diperkirakan berumur Plistosen Akhir bagian awal, tertindih oleh Batuan Gunungapi Kuarter yang lebih muda dan Tuf Malang, Batuan Gunungapi Panderman merupakan parasit pada lereng timur laut dari Gunung Kawi-Butak, berbentuk kerucut (lateral eruption). Satuan ini termasuk ke dalam batuan gunung api kuarter atas yang tersusun atas bahan breksi gunungapi, lava, tuf, breksi tufan, aglomerat dan lahar. Batuan gunungapi ini diperkirakan berumur Plistosen Akhir-Holosen. Batuan Gunungapi Arjuna-Welirang merupakan batuan yang paling muda di kawasan Kota Batu. Merupakan satuan geologi yang terbentuk dari bahan volkanik yang terdiri dari breksi gunungapi, lava, breksi tufan dan tuf. Struktur geologi yang terdapat di wilayah ini terlihat membujur utara selatan dari Cangar sampai Desa Bulukerto. Satu retakan juga terdapat menyilang di Desa Temas – Pandanrejo – Giripurno. Informasi ini memberikan peringatan bahwa jika ada ativitas volkanik lanjutan, jalur yang dilewati struktur ini merupakan jalur yang berbahaya. Disamping itu, pada pembahasan hidrologi hal ini akan berdampak pada kondisi hidrologi kawasan Kota Batu. Informasi geologis ini selanjutnya dipakai untuk menjelaskan geomorfologi dan kondisi tanah. Hal ini proses geomorfologis sangat dipengaruhi oleh batuan pada masing-masing lokasi. Demikian juga halnya dengan tanah, salah satu faktor pembentuk tanah adalah bahan induk tanah yang merupakan hasil pelapukan dari batuan induknya.
6.2.1.4. Geomorfologi Geomorfologi adalah suatu ilmu yang mengkaji bentuk lahan di muka bumi, termasuk evolusi bentuk lahan dari waktu ke waktu. Dengan demikian, geomorfologi ini merupakan suatu pendekatan untuk memahami, menjelaskan dan mendeskripsikan suatu lanskap. DAS Sumberbrantas dikelilingi oleh tiga komplek pegunungan, yaitu Gunung ArjunoWelirang di bagian timur laut, Gunung Anjasmoro di bagian barat laut, dan Gunung PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
75 75
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Kawi Butak – Panderman di bagian barat daya. Ketiga komplek pegunungan ini merupakan pegunungan volkanik, sehingga DAS Sumberbrantas secara geomorfologi memiliki bentuk lahan (landform) dalam grup volkanik. Hal ini dikarenakan DAS Sumberbrantas tersusun atas batuan induk volkanik, berupa berupa bahan-bahan volkan yang berupa breksi gunungapi, tuf breksi, lava, tuf dan aglomerat.
6.2.1.5. Kondisi Landform Kondisi geologi dan proses pembentukan lahan menghasilkan bentuk lahan yang dipengaruhi oleh proses volkanisme. Berdasarkan atas reliefnya, bentuk lahan di Kota Batu dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu: (1). jalur pelembahan sempit (Ac) dan jalur aliran lahar (Al), (2). dataran (P), (3). perbukitan (H), dan (4). pegunungan (M). Dimana, berdasarkan posisinya pada suatu lereng dan kemiringan lerengnya masih dapat dibagi lagi menjadi berbagai macam bentuk lahan. Sebaran masing-masing bentuk lahan disajikan pada Gambar 2.10. Jalur pelembahan tersebar di seluruh lokasi merupakan hasil proses denudasional / pengikisan dari bentuk lahan asalnya. Pada beberapa jalur, ditumpuki oleh sedimentasi lahar tua atau debris. Kedalaman, lebar dan bentuknya tergantung lokasi jalur ini. Di bagian lereng atas pegunungan umumnya cukup lebar dan dalam dengan lemah bentuk V. Di bagian dataran, tidak terlalu lebar, tidak terlalu dalam dan berbentuk U. Sistem dataran dijumpai di bagian tengah, merupakan dataran volkanik antar pegunungan yang terbentuk oleh berbagai bahan hasil letusan dan atau sedimentasi hasil erosi dan atau longsor dari kawasan perbukitan / pegunungan di atasnya. Berdasarkan atas posisi dan proses pegikisan yang dapat dibagi lagi ke beberapa subsistem, yaitu: dataran bagian bawah (Pl), bagian tengah (Pm), bagian atas (Pu), dataran yang tertoreh (Pd) dan bagian dataran yang mengalami erosi berlebihan (Ps).
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
76 76
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Gambar 2.10. Peta landform DAS Sumber Brantas
Sistem perbukitan dijumpai di bagian lereng tengah atau kaki kompleks pegunungan yang ada di sekitarnya. Relief perbukitan memiliki amplitudo ketinggian antara 50 – 300 m. Berdasarkan atas posisi dan kemiringan lerengnya dapat dibedakan atas: puncak/punggung perbukitan (Hp), pereng perbukitan (Hs), kaki perbukitan (Hc), dan lereng perbukitan yang tertoreh (Hd). Sistem Pegunungan berapa di bagian lereng atas kompleks pegunungan yang ada, yaitu Gunung Arjuna-Welirang, Anjasmara dan Kawi-Butak. Berdasarkan atas konfigurasi permukaannya, grup ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu: Plato, spurs dan punggung gunung (Mp), kerucut gunung vulkanik pada bagian lereng atas (Mu), lereng-lereng gunung curam (Ms), bahan tertimbun akibat longsoran di gunung (Mc ), gunung tertoreh dengan punggung tajam sejajar (Md), Kerucut gunung vulkanik terisolir, curam sampai sangat curam (Mi), dan bekas longsoran tanah di gunung (Ml).
6.2.1.6. Kondisi Lereng Kemiringan lereng di DAS Sumber Brantas sangat bervariasi dari datar sampai sangat curam. Lereng datar dijumpai pada dataran antar gunungapi di bagian PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
77 77
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
tengah, termasuk dataran sempit antara Gunung Arjuna dan Anjasmara. Lereng terjal umumnya dijumpai pada tebing lereng hampir di semua lokasi. Lereng datar sampai agak datar (<8 %) sekitar 19.18 % luas areal berada pada dataran volkanik antar pegunungan. Sebagian besar berada di Kecamatan Junrejo dan Batu dan sebagian kecil di Kecamatan Bumiaji. Di Kecamatan Bumiaji biasanya diusahakan untuk tanaman pangan (padi dan jagung), sedangkan di Kecamatan Batu dan Bumiaji untuk tanaman sayuran. Lereng landai (8-15 %) sekitar 16.8 % luas wilayah pada dataran berombak di kaki perbukitan yang dimanfaatkan untuk lahan budidaya (tanaman pangan di Kecamatan Bumiaji dan Batu), dan sayuran dan/atau buahbuahan di Kecamatan Bumiaji. Lereng agak curam (15-25 %) sekitar 15.45 % luas wilayah pada dataran berombak-bergelombang di kaki perbukitan yang budidaya tanaman pangan dan kebun campuran (Kecamatan Junrejo dan Batu) dan kebun apel dan/atau sayuran di Kecamatan Bumiaji. Lereng curam (25-40) sekitar 15.47 % luas wilayah pada kawasan kaki perbukitan atau tebing lembah yang ada di DAS Sumber Brantas. Penggunaan lahan berupa kebun campuran, tanaman pangan atau sayuran. Lereng sangat curam sampai terjal (>40 %) sekitar 33.10 % dijumpai di kawasan perbukitan pegunungan dan tebing sungai. Lahan ini umumnya berupa hutan, semak belukar atau bambu (di pinggir sungai di kawasan budidaya).
6.2.1.7. Kondisi Jenis Tanah Tanah yang terbentuk cukup bervariasi dari tanah-tanah muda sampai tanah yang cukup tua. Tanah muda (Entisol) dijumpai pada di jalur pelembahan atau lereng pegunungan yang memiliki solum tanah sangat dangkal. Andisol dijumpai di lereng atas dan tengah pegunungan yang ada di sekeliling DAS Sumber Brantas. Inseptisol dijumpai pada hampir seluruh lahan dataran dan beberapa lokasi di lereng pegunungan. Molisol umumnya merupakan tanah-tanah Inceptisol yang memiliki warna hitam di permukaan, sehingga umumnya dijumpai pada dataran bergelombang di kawasan hutan. Alfisol umumnya dijumpai pada dataran di kaki-kaki perbukitan di Sekitar Kota Batu. Sebaran jenis tanah disajikan pada Gambar 2.12.
6.2.1.8. Penciri (atribut) Hidrologi Sesuai dengan bahan induk pembentuk Lansekap dan penyusun tanahnya, maka karakteristik hidrologi DAS Sumber Brantas dapat dibedakan atas tiga kelompok (Gambar 2.13). Ketiga kelompok karakteristik hidrologi tersebut dijelaskan sebagai berikut.
a.
Bagian timur laut (Lereng Gunung Arjuna)
Aliran sungai radian berasal dari puncak kerucut Gunung Arjuna. Punggung bukikt dan lembah sungai memanjang dari puncak sampai bagian kaki perbukitan, dengan pola drainase dendritik agak parallel. Pola drainase dikontrol oleh proses volkanisme yang berupa stratovolcano, sehingga membentuk sungai memaknjang dari puncak kerucut gunungapi sampai bagian dataran. Batuan singkapan pada bagian atas menyebabkan limpasan permukaan cukup tinggi di wilayah ini, untungnya mulai lereng tengah ke bawah tumpukan material tufa volkanik cukup tebal sehingga resapan air cukup tinggi. Pada kenyataannya, tidak banyak mata air yang muncul pada lereng pegunungan ini. PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
78 78
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Gambar 2.11. Peta kelerengan DAS Sumber Brantas
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
79
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Gambar 2.12. Peta jenis tanah DAS Sumber Brantas b. Bagian barat (Lereng Gunung Anjasmara),
Batuan yang berasal dari leleran lava menyebabkan terdapatnya batuan impermeable di bagian bawah lapisan tufa volkanik di sebagian besar lereng ini. Relief lebih kasar karena sifat bahan induk dan proses perusakan krucut volkanik oleh gempa volkanik di masa yang lampau. Pola drainase dendritik dengan panjang sungai tidak terlalu panjang pada lembah dalam dan curam. Pada kenyataannya, banyak dijumpai mata air dari kawasan ini.
c. Bagian selatan (Lereng Gunung Panderman dan Kawi)
Pola drainase dendritik berasal dari kaki Gunung Kawi-Butak dan Panderman. Tanah solumdangkaldenganbatuankokoh dibagianbawahmenyebabkansebagianbesar PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
80 80
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
air hujan akan mengalami mengalir di permukaan. Tanah dalam umumnya yang dipengaruhi oleh bahan dari Gunung Kawi-Butak. Mata air yang muncul di wilayah ini lebih banyak dipengaruhi oleh Gunung Kawi dan Butak.
b a
c
Gambar 2.13. Peta pembagian subcatchment di DAS Sumber Brantas
Sementara itu, atribut-atribut hidrologi DAS Sumber Brantas yang dihasilkan dari peta DEM ditunjukkan pada gambar 2.14. Terdapat 15 subdas dengan daftar dan luasan seperti yang disajikan pada Tabel 2.4.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
81 81
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Table 2.4. Areas of the subcatchments in Upper Brantas Watersheed
Area Subcatctment ID 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Total
Ha
%
876.788 1850.898 1520.337 129.836 1076.827 740.345 1327.340 2162.346 793.625 962.241 1090.600 440.990 1895.813 1151.678 1324.116 17343.780
5.06 10.67 8.77 0.75 6.21 4.27 7.65 12.47 4.58 5.55 6.29 2.54 10.93 6.64 7.63 100
Routing distance dari setiap subDAS ke outlet DAS di ujung Sungai Brantas di Pendem disajikan pada Tabel 2.5.
Table 2.5. Routing distance dari centroid subcatchment ke outlet Sungai Brantas di Pendem
Subcatctment ID 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
RoutDist-Pendem (km) 21.319 24.090 19.269 2.149 16.176 15.117 16.179 11.184 17.770 4.529
11 12 13 14 15
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
6.418 4.974 10.462 11.081 15.202
82 82
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Gambar 2.14. Peta pembagian subcatchment di DAS Sumber Brantas
6.2.2.
Klasifikasi Penutupan Lahan Di Das Sumber Brantas
Hasil dari proses klasifikasi penutupan lahan dengan metode hierarki adalah peta penutupan lahan di DAS Sumber Brantas, Jawa Timur. Luas setiap penggunaan lahan di DAS Sumber Brantas pada tahun 1989 dan 2002 disajikan pada Tabel 2.6.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
83 83
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Sedangkan penyebaran setiap penggunaan lahan pada tahun 1989 dan 2002 berturut-turut disajikan pada Gambar 2.16 dan 2.17.
Tabel 2.6. Luas penggunaan lahan di DAS Sumber Brantas. 1989 No
2002
Landuse Ha
%
Ha
%
1
Ricefield
714.15
4.11
672.39
3.87
2
Dryland
1,655.55
9.52
2,297.97
13.22
3
Garden
4,023.60
23.14
2,928.42
16.84
4
Natural Forest
5,357.16
30.82
4,034.52
23.21
5
Production Forest
1,222.47
7.03
1,655.64
9.52
6
Shurb
2,332.26
13.42
3,742.38
21.53
7
Bareland
31.85
0.18
25.83
0.15
8
Settlement
240.57
1.38
1,346.67
7.75
9
No Data (Cloud and Shadow
1.806.90.
10.39
680.69
3.91
Total
17,384.51
100.00
17,384.51
100
Selama 13 tahun terdapat beberapa perubahan penggunaan lahan. Beberapa macam penggunaan lahan mengalami penurunan yang cukup nyata, yaitu kebun dan hutan alami. Sedangkan beberapa penggunaan lahan mengalami peningkatan luasan, antara lain: tegalan, hutan produksi, semak belukar dan pemukiman. Secara spasial perubahan ini cukup rumit dari satu bentuk penggunaan ke bentuk penggunaan yang lain. Perubahan penggunaan lahan pada tahun 1989 dan 2002 disajikan pada Gambar 2.15.
2,000. 00
1,500. 00
1,000. 00
andshadow)
Setllement
Bareland
NoData (cloud
(1,000. 00)
Shurb
Forest
Production
Natural Forest
Garden
(500. 00)
Dryland
-
Ricefield
500. 00
(1,500. 00)
Gambar 2.15. Perubahan penggunaan lahan antara tahun 1989 ke tahun 2002.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
84 84
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Tersedianya citra yang diambil pada waktu yang berbeda, dimana citra tahun 1989 direkam pada bulan Februari (musim basah), sedangkan citra tahun 2002 direkam pada bulan Agustus. Terlepas dari adanya alihguna lahan yang memang banyak terjadi di kaawasan ini, kondisi ini juga berdampak pada luasnya lahan bervegetasi (daun penuh) pada tahun 1989 dan daun gugur pada tahun 2002. Berkurangnya luas kebun (apel dan jeruk) tampaknya karena pengaruh hal ini, karena pada bulan- agustus banyak apel yang sudah selesai masa panen dan mengalami perompesan sehingga terkesan tidak bervegetasi. Gambar 2.18 menunjukkan bahwa landuse utama di DAS Sumber Brantas adalah lahan sawah (3.87%), tanaman pertanian (agricultural land =13.22% dan kebun = 16.84 %) serta hutan (hutan alami = 9.37 % , hutan terganggu= 13.84% dan agroforestry berbasis pohon = 9.52%). Lahan sawah umumnya dijumpai pada wilayah datar di bawah ketinggian 800 m di Kecamatan Junrejo dan Batu. Wilayah datar yang tidak cukup mendapatkan air hujan biasanya digunakan sebagai lahan tegalan dengan tanaman ketela atai jagung. Wilayah datar dengan ketinggian lebih 800 m banyak digunakan untuk budidaya sayuran dan/atau bunga.
Gambar 2.16. Penggunaan lahan pada tahun 1989 di DAS Sumber Brantas
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
85 85
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Gambar 2.17. Peta penggunaan lahan pada tahun 2002 di DAS Sumber Brantas
Sayuran seperti kobis, wortel, kacang-kacangan banyak diusahakan pada dataran berombak-bergelombang dengan ketinggian antara 800-1000 m di Kecamatan Batu dan Bumiaji bagain bawah. Sedangkan kentang bisanya ditanam pada lahan berombak dan bergelombang dengan ketinggian lebih dari 1000 mm, khususnya di Kecamatan Bumiaji. Kebun campuran dengan aneka tanaman kayu-kayuan dan buah-buahan banyak dijumpai pada kawasan dataran bergelombang atau perbukitan dengan lereng curam (>25 %) di lereng Gunung Panderman di bagian selatan DAS Sumber Brantas. Pada lereng Hunung Arjuna dan Anjasmara umumnya, kalau tidak lahan kering dengan tanaman sayuran biasanya berupa hutan produksi.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
86 86
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
9.52
16.84
13.84 13.22
9.37
21.53 0.15
0.34 3.87
3.57
7.75
Garden
Agricultural Land
Natural Forest
Bare Land
Setllem ent
Shadow
Rice Field
Cloud
Shrub
Disturb Forest
Tree Base Agroforestry
Gambar 2.18. Penggunaan lahan di DAS Sumber Brantas tahun 2002
Di bawah tegakan tanaman muda pada hutan produksi biasanya juga ditanami sayuran dan atau tanaman pangan sampai kanopi tanaman kayu-kayuan cukup rapat. Penggunaan lahan monokultur dengan pemberian pupuk yang tidak seimbang menyebabkan terjadinya degradasi kesuburan tanah. Hal ini ditandai dengan semakin tingginya jumlah pupuk, baik pupuk yang diberikan melalui tanah maupun yang diberikan melalui penyemprotan daun. Untungnya, bahan induk yang berupa bahan volkanik yang memiliki kandungan hara tinggi masih memiliki cadangan hara yang cukup tinggi. Sebagian besar kebun apel ditengarai telah mengalami degradasi kesuburan tanah, meskipun secara fisik masih cukup baik bagi berbagai usaha tani. Selain karena usaha tani monokultur dengan pemberian pupouk yang tidak seimbang, degradasi tanah di wilayah ini juga disebabkan oleh erosi dan longsor karena penggunaan lahan yang tidak sesuai dengandaya dukungnya. Erosi dan longsor cukup tinggi di wilayah ini, khususunya di Kecamatan Bumiaji yang memiliki lahan dengan kemiringan cukup curam dan digunakan untuk budidaya tanaman kentang. Kentang yang tidak menghendaki genangan, menyebabkan air hujan sebagian besar melimpas di permukakan sehingga menyebabkan terjadinya erosi dan longsor teras.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
87 87
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
7. MEMAHAMI FUNGSI HUTAN TERHADAP HIDROLOGI DAS
7.1.
Pendahuluan
Penghutan kembali atau reboisasi telah banyak dilakukan oleh multipihak untuk menyukseskan program pemerintah. Namun upaya reboisasi yang telah menghabiskan biaya dan tenaga cukup banyak tersebut, belum menunjukkan hasil yang optimal. Salah satu penyebab kegagalannya adalah karena bentuk reboisasi yang dipilih masih belum belum dapat memenuhi kebutuhan masyara at. Guna mencapai keberhasilan konservasi lahan di suatu kawasan DAS, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang kriteria dan indikator yang terlibat di dalam proses proses-proses hidrologi. Terganggunya fungsi hidrologi DAS seringkali dikaitkan dengan adanya kesalahan dalam pengelolaan lahan. Pengelolaan lahan yang kurang tepat di bagian hulu akibatnya akan dirasakan di bagian hilir (Agus et al., 2002), salah satu contoh adalah semakin banyaknya lahan hutan yang digunakan sebagai lahan pertanian yag intensif dengan kondisi lahan agak terbuka. Disisi lain keberhasilan pengelolaan DAS ditentukan tingkat penutupan tanah oleh vegetasi hutan. Pada prinsipnya upaya mempertahankan fungsi DAS adalah berhubungan dengan upaya mempertahankan tingkat penutupan permukaan tanah untuk menjaga agar jumlah dan kualitas air tersedia sepanjang waktu (Van Noordwijk et al. 2004). Penutupan permukaan tanah oleh pohon dapat berupa hutan alami, atau sebagai permudaan alam, agroforestri, atau pohon monokultur (misalnya hutan tanaman industri). Hutan berperanan penting dalam pengaturan tata air DAS melalui pengaruh tegakan pohon dalam (a) mengubah pola aliran air hujan, dan (b) perbaikan sifat tanah, secara skematis disajikan dalam Gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Skema peran pohon sebagai pengatur tata air dalam tanah (Hairiah et al., 2004)
Gambar 2. Skema peran akar pohon dalam mempertahankan porositas tanah melalui peningkatan antivitas akar dan cacing tanah (Hairiah et al., 2004)
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
88 88
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Hutan dapat mempertahankan fungsi DAS melalui perannya dalam beberapa hal antara lain adalah: 1.
Zona di atas tanah. Peran pohon pada zona di bagian atas tanah dibagi menjadi 2 yaitu: a. Tutup hijau. Fungsi ini diberikan oleh tajuk pohon dan tumbuhan bawah yang mengintersepsi (menahan) air hujan yang jatuh ke permukaan tanah (Gambar 6). Intersepsi air hujan ini penting untuk: • Mengurangi daya pukul air hujan terhadap permukaan tanah. • Menambah jumlah air hujan yang masuk kedalam tanah secara perlahan-lahan. • Mempertahankan iklim mikro. Lapisan air tipis (waterfilm) yang tertinggal pada permukaan daun dan batang selanjutnya akan menguap (evaporasi). Hal ini penting untuk mempertahankan kelembaban udara. b. Tutup coklat. Fungsi ini diberikan oleh lapisan seresah yang tebal di permukaan tanah. Seresah adalah bagian mati tanaman berupa daun, cabang, ranting, bunga dan buah yang gugur dan tinggal di permukaan tanah baik yang masih utuh ataupun telah sebagian mengalami pelapukan. Termasuk pula hasil pangkasan tanaman atau dari sisa-sisa penyiangan gulma yang biasanya dikembalikan ke dalam lahan pertanian oleh pemiliknya.
Seresah bermanfaat dalam: •
Mempertahankan kegemburan tanah melalui: perlindungan permukaan tanah dari pukulan langsung tetesan air hujan, sehingga agregat tidak rusak dan pori makro tetap terjaga. Menyediakan makanan bagi organisma tanah terutama makroorganisma ‘penggali tanah’, misalnya cacing tanah. Dengan demikian jumlah pori makro tetap terjaga. Menyaring partikel tanah yang terangkut oleh limpasan permukaan. Dengan demikian, air yang mengalir ke sungai tetap jernih.
•
•
c.
2.
Serapan air oleh pohon. Untuk hidupnya pohon menyerap air dari dalam tanah, sehingga meningkatkan jumlah ruang pori dalam tanah yang memungkinkan air hujan untuk masuk ke dalam tanah. Bila resapan air cukup cepat, maka tingkat limpasan permukaan akan berkurang.
Zona di dalam tanah • Pori makro tanah. Akar pohon yang berkembang dalam profil tanah sangat bermanfaat dalam mempertahankan jumlah pori makro tanah, karena akar pohon yang mati meninggalkan liang sehingga jumlah pori makro tanah bertambah (Gambar 7). • Resapan air. Tunggul pohon dan akar pohon yang mati menimbulkan lubang atau cekungan dalam tanah, yang dapat berfungsi mengurangi kecepatan limpasan permukaan sehingga memberi kesempatan kepada air untuk meresap ke dalam tanah.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
89 89
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
3.
Bentang lahan • Bentang lahan yang kasar, permukaan tanah yang tidak seragam, termasuk adanya cekungan dan rawa, memberi peluang aliran air untuk untuk berhenti lebih lama dan mengalami infiltrasi. Kondisi kekasaran permukaan pada bentang lahan tersebut juga berfungsi sebagai filter sedimen. • Adanya pengelolaan drainase di daerah hulu juga akan mempengaruhi fungsi hidrologi DAS. Pengelolaan lahan setelah konversi hutan di daerah hulu biasanya ditujukan untuk perbaikan drainase guna melindungi tanaman dari bahaya penggenangan dan/atau aliran permukaan. Adanya daerah rawa pada suatu lansekap mempunyai peranan penting dalam mengurangi terjadinya banjir di daerah hilir. Namun sebaliknya, jika ada usaha mengurangi frekuensi terjadinya banjir di daerah hulu dengan mempercepat aliran ke hilir, justru akan meningkatkan resiko banjir di daerah hilir. • Jalan setapak yang terbentuk oleh aktivitas manusia, hewan atau roda kendaraan. Pada hutan alami, perlintasan hewan biasanya meninggalkan jalan setapak yang merupakan pemicu pertama terbentuknya jalur aliran permukaan walaupun tingkatannya masih belum terlalu membahayakan. Jalan setapak yang terbentuk oleh roda pedati atau kendaraan berat selama penebangan pohon di hutan cenderung meningkatkan intensitas aliran permukaan dan penghanyutan sedimen ke sungai.
Ketiga aspek hutan tersebut memberikan dampak yang berbeda terhadap total debit sungai tahunan, debit sungai dimusim kemarau, debit banjir sesaat dan kualitas air. Setiap tipe hutan berbeda kondisi vegatasi, tanah dan bentang lahannya. Cara alih guna lahan hutan dan pemulihannya melalui kegiatan “reforestasi” juga akan mempengaruhi cara dan kercepatan perubahan kondisi vegetasi, tanah dan bentang lahan dalam menjaga fungsi DAS. Pemahaman tentang “peran hutan dalam fungsi DAS” perlu dispesifikasi sebelum kita menilai dampak alih guna lahan hutan terhadap fungsi DAS. Tipe hutan dan tipe penggunaan lahan lainnya yang dialihgunakan akan menentukan apakah “peranan hutan dalam fungsi DAS” adalah negatif, netral atau bahkan positif terhadap hidrologi DAS. Atas dasar definisi “yang meluas” tentang “hutan” seperti diuraikan diatas, ‘deforestasi’ dapat dipandang sebagai kehilangan fungsi hutan. Jadi, dampak umum dari konversi hutan dan atau perubahan penutupan lahan oleh pohon pada suatu bentang lahan dapat dipahami dari kombinasi dan interaksi berbagai proses tersebut di atas. Dengan demikian upaya mempertahankan fungsi DAS dapat difokuskan pada pengurangan aliran air BUKAN pada jenis pohon yang ditanam.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
90 90
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
8. GEOHIDROLOGI DALAM DAS
8.1.
Pendahuluan
Mataair adalah aliran air tanah (water table) yang terpotong oleh topografi sehingga air memancar ke permukaan bumi. Untuk memahami asal-usul mataair diperlukan pengetahuan dasar tentang air tanah, proses pembentukannya dan alirannya. Oleh karena itu dalam bab ini akan dibahas lebih dahulu hal-hal yang terkait dengan air tanah dan mataair.
8.2.
Air Tanah
Air tanah adalah air yang menempati rongga – rongga dalam lapisan batuan. Ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai terjadinya penyebaran dan gerakan air di bawah tanah disebut Hidrologi Air Tanah. Geohidrologi hampir mempunyai pengertian yang sama dengan hidrologi air tanah, sedangkan hidrogeologi lebih banyak ditekankan pada geologinya. Hidrologi air tanah merupakan pengetahuan khusus yang merangkum unsur-unsur geologi, hidrologi dan mekanika fluida. Geologi mempengaruhi penyebaran air tanah, hidrologi menentukan pemberian dan pengisian air ke dalam tanah, sedangkan mekanika fluida menjelaskan mengenai gerakannya.(Bisri, hal:10)
8.2.1.Sejarah Air Tanah. Air tanah merupakan salah satu sumber akan kebutuhan air bagi kehidupan makhluk di muka bumi. Usaha memanfaatkan dan mengembangkan air tanah dilakukan sejak jaman kuno. Dimulai dengan menggunakan peralatan yang sangat sederhana sekali, yaitu timba sebagai alat pengambil air yang diikat dengan tali pada ujung sebatang bambu atau kayu memanjang, dan pada pangkal bambu atau kayu tersebut diberi alat pemberat, sehingga pengambilan air dilakukan dengan sistem pegas. Kemudian berkembang, dengan menggali dan membuat sumur-sumur dangkal dengan memakai cara-cara yang sederhana pula. Baru pada tahun-tahun terakhir ini pemanfaatan dan pengambilan air tanah dilakukan dengan menggunakan teknik dan cara yang cukup canggih. Salah satunya ialah dengan cara mengebor sumur-sumur dalam yang mempunyai kedalaman antara 50 – 200 meter atau lebih dalam, serta memasang pompa-pompa turbin untuk memompa air tanah tersebut. Bangsa Persia telah memanfaatkan dan mengembangkan air tanah sejak 800 tahun sebelum masehi. Mereka membuat terowongan air pada tanah alluvium di dekat kaki gunung dengan dilengkapi sumur induk dan beberapa lubang yang mereka namakan “KANATS” seperti Gambar 2.1.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
91 91
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
kaki gunung
sumur kanats
corong pangkal saluran sawah
penghasil air
tanah muka air batuan kedap air
Gambar 2.1
alluvium
Potongan Suatu Kanats
Kanats ini hingga sekarang banyak dibuat terutama oleh bangsa-bangsa Timur Tengah. Iran membuat kanats secara besar-besaran dengan jumlah 22.000 kanats untuk memenuhi 75 % kebutuhan air seluruh negeri. Panjang kanats antara 5 – 30 km. Debit yang dihasilkan adalah berpola, tidak jarang dapat menghasilkan 100 m 3/hari.
8.2.2.Terjadinya Air Tanah Untuk menguraikan terjadinya air tanah diperlukan peninjauan kembali bagaimana dan dimana air tanah tersebut berada, juga penyebaran di bawah permukaan tanah dalam arah vertikal maupun horisontal. a. Asal Air Tanah Hampir semua air tanah dapat dianggap sebagai bagian dari daur hidrologi, termasuk air permukaan dan air atmosfir. Sejumlah kecil air tanah yang berasal dari sumber lain dapat pula masuk ke dalam daur tersebut (Gambar 2.2) b. Penyebaran Vertikal Air Tanah Terdapatnya air tanah di bawah permukaan tanah dapat dibagi dalam daerah jenuh dan tidak jenuh. Dalam daerah jenuh semua rongga terisi oleh air dibawah tekanan hidrostatik. Daerah tidak jenuh terdiri atas rongga-rongga yang berisi sebagian oleh air, sebagian oleh udara.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
92 92
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Awan hujan
Awan
Awan
Awan
hujan
hujan
hujan
Transpirasi angin
Evaporasi
Evaporasi air
Perkolasi Permukaan phreatik
Evaporasi
(muka air tanah)
laut aliran air tanah
Gambar 2.2
aliran air tanah
Daur Hidrologi
Daerah tidak jenuh terletak di atas daerah jenuh sampai kepermukaan tanah. Daerah jenuh sebelah atasnya dibatasi oleh batas lapisan jenuh atau lapisan kedap air, bawahnya merupakan lapisan kedap air, berupa tanah liat atau batuan dasar (bedrock). (Bisri, hal: 4) Air yang berada didalam daerah jenuh dinamakan air tanah. Air yang berada di dalam daerah tidak jenuh dinamakan air mengambang atau air dangkal (vadus water). Daerah tidak jenuh dibagi menjadi daerah dangkal, daerah antara dan daerah kapiler (Gambar 2.3) Daerah Air Dangkal Tanah di daerah air dangkal ini berada di dalam keadaan tidak jenuh, kecuali kadang-kadang bila terdapat banyak air dipermukaan tanah seperti yang berasal dari curah hujan dan irigasi. Daerah tersebut dimulai dari permukaan tanah sampai ke daerah akar utama (major root zone). Tebalnya beragam menurut jenis tanaman dan jenis tanah. Daerah air dangkal mempunyai arti penting bagi pertanian. Daerah Antara Daerah antara ini berada diantara batas bawah dan daerah air dangkal sampai batas atas dari daerah kapiler. Ketebalannya sangat beragam, yaitu antara 0 yang terjadi bila muka air tanah mendekati permukaan tanah, sampai beberapa ratus meter pada keadaan muka air tanah yang dalam. Daerah ini berguna memungkinkan mengalirnya air ke bawah, dari daerah dekat permukaan tanah sampai permukaan air tanah. Air yang tidak bergerak (air pellicular) ditahan dalam daerah ini oleh gayagaya higroskopis dan kapiler. Kelebihan airnya merupakan air gravitasi yang mengalir ke bawah karena pengaruh gravitasi.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
93 93
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Air dangkal
Daerah Air dangkal Daerah Tidak Jenuh
Air Gravitasi Air Kapiler
Daerah antara
Daerah Kapiler
Muka Air tanah
Daerah Jenuh
Air tanah Gambar 2.3.
Penyebaran Vertikal Air Tanah
Daerah Kapiler Daerah kapiler berada antara permukaan air tanah sampai batas kenaikan kapiler dari air.
8.2.3. Sifat Batuan Yang Mempengaruhi Air Tanah Untuk mengetahui keadaan dan kedudukan air tanah harus diketahui karakter geologinya, untuk diidentifikasi susunannya dalam hubungan dengan kemampuan menahan, menampung, mengalirnya air serta besar kapasitasnya. Suatu lapisan yang mempunyai susunan sedemikian, sehingga dapat melepaskan air dalam jumlah yang cukup dinamakan akuifer. Air tanah berada dalam formasi geologi yang tembus air yang dinamakan akuifer, yaitu formasi–formasi yang mempunyai struktur di mana dimungkinkan adanya gerakan air melaluinya dalam keadaan kondisi medan biasa. Sebaliknya formasi yang sama sekali tidak tembus air adalah formasi tersebut banyak mengandung air tetapi tidak dimungkinkan adanya gerakan air yang melaluinya seperti pada batulempung. Menurut Thomas, susunan geologi yang dapat berlaku sebagai akuifer adalah : kerikil dan pasir -
batugamping
-
batuan gunung berapi
-
batu pasir
- tanah lempung khusus yang bercampur dengan bahan yang lebih kasar PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
94 94
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
-
konglomerat
-
batuan kristalin (Bisri hal: 5)
Porositas dalam endapan ini tergantung pada bentuk dan susunan masing-masing butir dan tingkat sementasi serta pemadatannya. Besarnya porositas berada antara mendekati 0% sampai lebih dari 15% tergantung dari faktor-faktor tersebut diatas dan tipe material. TABEL 2.1
POROSITAS BEBERAPA BAHAN SEDIMEN
VAN
POROSITAS ( % )
TANAH
50 - 60
Tanah Liat
45 - 55
Lanau ( Silt )
40 - 50
Pasir medium sampai kasar
35 - 40
Pasir berbutir sampai sama ( Uniform ) Pasir halus sampai medium
30 - 40
Kerikil
30 - 40
Kerikil berpasir
20 - 35
Batu pasir
10 - 20
SHALE
1
- 10
BATU KAPUR
1
- 10
30 - 35
8.2.4. Kriteria Air Tanah Air tanah yang bersangkutan dengan pengembangan air, diklasifikasi dalam 5 (lima) jenis sesuai dengan keadaan kondisi air tanah yakni, air tanah dalam dataran alluvial, air tanah dalam kipas detrital, air tanah dalam terras dilluvial, air tanah di kaki gunung api dan air tanah dalam zone batuan retak. 1.
Air Tanah Dataran Alluvial
Volume air tanah dalam dataran alluvial ditentukan oleh tebal, penyebaran dan permeabilitas dari akuifer yang terbentuk. Air susupan, air tanah yang dalam dan air tanah sepanjang pantai mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : a. Air Susupan ( influent water ) Air tanah dalam lapisan yang mengendap di dataran banjir ditambah langsung dari peresapan air sungai, disebut air susupan. Titik permulaan peresapan air sungai dapat diperkirakan dari garis kontur permukaan air tanah. Permukaan air tanah ini dangkal, sehingga pengambilan air dapat diadakan dengan sumur dangkal atau drainase pengumpul. Arah aliran air berubah dan air tanah itu keluar ke sungai sehingga memerlukan penyelidikan yang cukup untuk menentukan cara pengambilan air. Untuk meningkatkan effisiensi pengambilan air, maka arah letak drainasepengumpulharustegakluruspadagariskonturpermukaanair. PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
95 95
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
b. Air Tanah Di Lapisan Yang Dalam Alluvium dan dillivium yang diendapkan setebal tujuh puluh sampai beberapa ratus meter di dataran alluvium terdiri selang-seling dari lapisan pasir dan kerikil, lapisan loam dan lapisan lempung. Air tanah dilapisan yang dalam selalu tertekan dan seringkali permukaan air yang tertekan itu terdapat di dekat permukaan tanah. 1.
2. 3. 4.
-2
-3
Permeabilitas dari akuifer adalah kira-kira 10 sampai 10 cm/det dan mengingat permukaan air hidrolik itu dalam, maka pengambilan air dilakukan dengan sumur dalam (sumur pompa). Untuk pipa-pipa ∅ 300 mm, dalam 100 meter, kapasitas pompa 3 adalah kira-kira 1.000 sampai 3.000 m /hari. Penurunan permukaan tanah dapat terjadi oleh konsolidasi lapisan lempung yang disebabkan oleh penurunan permukaan air tanah. Jika pemompaan diadakan pada lapisan yang dalam, maka penurunan permukaan air tertekan itu besar dan jari-jari lingkaran pengaruh dapat mencapai beberapa kilometer.
c. Air Tanah Sepanjang Pantai Mengingat sumur di tepi pantai itu tidak dapat dipergunakan kembali setelah dimasuki air asin, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut : S :
Permukaan air laut
f
Permukaan air tanah
:
W :
Sumur
B :
Batas antara air asin dan air tawar
W f S
B
H = 42h
h
Gambar 2.4. Air Tanah Sepanjang Pantai
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
96 96
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Untuk Air Tanah Bebas
W1
W2 W3
f
S
A
B Gambar 2.5 Air Tanah Bebas Percampuran air asin dan air tawar dalam sebuah sumur dapat terjadi pada : • Dasar sumur terletak dibawah perbatasan antara air asin dan air tawar. • Permukaan air dalam sumur selama pemompaan menjadi lebih rendah dari permukaan air laut, sehingga daerah pengaruhnya mencapai tepi pantai. • Keseimbangan dipertahankan,
perbatasan
antara
air asin
dan
air tawar tidak dapat
perbatasan itu dapat naik secara abnormal yang disebabkan
oleh penurunan permukaan air di dalam sumur selama pemompaan. Untuk Air Tanah Terkekang
E
F C
G
S SS Ba
M
Gambar 2.6. Air Tanah Terkekang Perbatasan antara air asin dan air tawar dalam akuifer terkekang ditentukan oleh dalamnya akuifer, permeabilitas, besar tekanan dan lain-lain. Jadi kadang-kadang meskipun sumur itu dalam dan di tepi pantai, tidak akan terdapat percampuran air asin. Kadang-kadang percampuran itu terjadi meskipun sumur itu dangkal dan cukup jauh dari pantai.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
97 97
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Alluvium Di Atas Lembah Yang Tenggelam Jika lapisan pasir dan kerikil dengan permeabilitas yang tinggi diendapkan di atas dasar lembah yang tenggelam yang mempunyai daerah pengaliran yang kecil
dibandingkan dengan luasnya lembah itu, maka sering juga air asin dapat menyusup agak jauh kedalam daratan melalui lapisan pasir dan kerikil ini.
2.
Air Tanah Di Dalam Kipas Detrital C
F f
C1
B
Gambar 2.7 Air Tanah dalam Kipas Detrital Gambar 2.7 memperlihatkan endapan kipas detrital itu dibagi atas endapan diatas kipas, endapan dibagian ujung kipas. Kesemuanya mempunyai karakteristik sebagai berikut : •
•
•
•
Endapan dibagi atas kipas terdiri dari lapisan pasir dan kerikil yang tidak terpilih. Zone penambahan dimana air tanah itu sulit di tampung, terbentuk pada bagian hulu endapan ini. Permeabilitas endapan pada bagian atas kipas adalah kira-kira 10 -1 sampai 10 -2 cm/det. Endapan di bagian kipas terutama terdiri dari lapisan pasir dan permeabilitasnya adalah kira-kira 10-2 sampai 10-3 cm/det, permukaan air tanah bebas umumnya dalam. Endapan loam pada ujung bawah kipas umumnya berbentuk lensa. Akuifer yang terdapat di bawah endapan ini adalah air tanah yang terkekang. Makin dekat ke ujung dasar kipas, permukaan air tanah itu makin dangkal dan sering kali air akan keluar di ujung bawah kipas. Tetapi pada bagian ini dapat terbentuk juga zone air tanah terkekang yang dangkal, mengingat bagian ini tertutup dengan lapisan lempung.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
98 98
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
3.
Air Tanah dalam Terras Diluvial
V f
Sp D1
Ba A1
Gambar 2.8 Air Tanah dalam Teras Diluvial Air tanah dalam terras diluvial yang tertutup dengan endapan terras yang agak tebal ditentukan oleh keadaan bahan dasar dan daerah pengaliran dari terras. Kondisikondisinya adalah sebagai berikut : •
•
4.
Pada lembah bagian dari batuan dasar terdapat akuifer yang tebal dan mata air akan keluar pada bagian dimana batuan dasar itu letaknya dangkal. Jika terras itu bersambung dengan kaki gunung api dan lapisan endapannya juga bersambung dengan lapisan kasar gunung itu, maka pengisisan air tanah akan menjadi besar meskipun daerah aliran terras itu kecil.
Air Tanah di Kaki Gunung Api
Mengingat kaki dari gunung api itu mempunyai topografi dan geografi yang aneh, maka air tananya mempunyai karakteristik sebagai berikut : Kaki gunung api itu mempunyai latar belakang yang tinggi, sehingga bagian ini mempunyai curah hujan yang lebih banyak daripada daerah sekelilingnya. Pengisian air tanah tentu lebih banyak. Fragmen-fragmen batuan gunung api mempunyai ruang-ruang yang banyak dan dapat dengan mudah menyalurkan air tanah. Pada bagian ujung terras akan berbentuk akuifer yang besar dengan mata air yang banyak. Mengingat pada bagian dasar aliran lava itu terdapat banyak retakan dan ruangruang, maka air tanah dengan mudah dapat melalui dasar sepanjang lembah itu . Begitu juga dengan air tanah yang memiliki sifat seperti air celah.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
99 99
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
5.
Air Tanah di Zone Retakan
Mengingat lapisan-lapisan zaman Tersier mempunyai kepadatan yang besar, porositas efektif antara butir tanah adalah kecil. Koefisien permeabilitasnya adalah -4 -6 kira-kira 10 sampai 10 cm/dt dan tidak terbentuk akuifer. Akan tetapi jika terdapat zona sesar yang memotong lapisan-lapisan ini, maka didalamnya terdapat air celah. Sesar turun atau geser dengan lapisan teratas yang turun mempunyai banyak ruang-ruang (rongga-rongga) dan dapat dengan mudah mengandung air celah. Selanjutnya mengingat air tanah yang terkumpul pada zone sesar bisa sedemikian besar melampaui topografi maka akan menjadi mataair struktural. Kondisi airtanah seperti ini dapat diambil berlimpah-limpah air tanah yang kwalitasnya baik secara terus menerus, jika pengambilannya dilakukan dengan pemboran pada titik yang tepat dan cukup dalam. Jika dibiarkan bebas hanya menggunakan debit alamiah dari mataair struktural saja.
A = Homogin
Permukaan
Lapisan
Fa = Sesar Turun f
Fa A A
Gambar 2.9
Zona Air Tanah dalam Sesar Turun
Sh = Shale Fa = Sesar Geser-Turun f = Bebas
Permukaan Air Tanah Fa
f
T
Ba Sh Gambar 2.10
Kenaikan Permukaan Air Tanah oleh Sesar geser
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
100 100 100
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Sebaiknya sesar geser dimana lapisan bawahnya yang turun, kebanyakan mempunyai ruang-ruang yang sedikit yang disebabkan oleh pembentukan sesar tanah liat. Air tanah itu terbendung oleh dasar, sehingga permukaan air tanah yang naik. Pengambilan air tanah dapat diusahakan dengan penggalian sumur horisontal
2.1.5.
Formasi Volkanik Sebagai Akuifer
Untuk pekerjaan pengembangan air tanah di daerah volkanik yang juga mempunyai banyak potensi untuk terdapatnya air tanah, maka harus dikenali lebih dahulu batuan apa yang berfungsi sebagai akifer. Dengan mengetahui jenis batuan apa yang bisa menjadi akifer maka pencarian lokasi terdapatnya air tanah akan lebih efektif, adapun jenis Formasi batuan volkanik yang dapat menjadi akifer yaitu : 1.
2.
4.
Batupasir yang tidak tersemen tuf, batuan ini berpotensi sebagai akifer yang baik karena terdiri atas butir-butir pasir yang kecil dengan porositas / ruang antar butir yang besar. Selain itu karena adanya permeabilitas pada batupasir yang pada umumnya lebih besar dibandingkan dengan sedimen yang lain sehingga fluida mudah sekali melewati rongga antar butir batuan ini. Batupasir ini umumnya terjadi di kaki gunung dengan fasies Fluviovolkanik, jadi materialnya berasal dari material gunungapi terdekat dan jenis batuannya adalah batuan sedimen yang diendapkan sistem sungai. Pada kondisi akifer terkekang karena adanya lapisan penutup diatas akifer maka tekanan air menjadi tinggi dan jika dibor akan menjadi sumur artesis. Contoh yang bagus di mataair Umbulan Kabupaten Pasuruan dimana akifer adalah batupasir sedangkan lapisan penutup adalah lava basal yang kedap air, debit mataair > 5000 liter/ detik. Untuk daerah Pasrepan di sebelah Baratlautnya juga dijumpai banyak sumur bor artesis dengan debit diatas 40 liter/detik, bedanya lapisan penutup disambung oleh batuan tuf yang tersemen kedap air, jadi begitu pemboran menembus tuf maka air tanah langsung memancar ke permukaan tanpa pompa. Breksi Lahar adalah batuan volkanik yang merupakan campuran pasir, lumpur dan kerakal-bongkah batuan beku sebagai fragmen terasing di dalamnya. Jika breksi lahar sudah diendapkan maka efek pemampatan material akan menyebabkan tercucinya material lumpur keluar dari batuan, akibatnya ada ruang antar butir pasir yang bisa diisi oleh air tanah. Kondisi breksi yang seperti itu akan membuat breksi berpotensi menjadi akifer yang baik meskipun batuan bervariasi dengan kerakalbongkah, contoh di Ngoro, Mojokerto, di daerah Ngoro Industrial Park akifernya adalah jenis ini yang berasal dari Formasi Arjuno Tua dengan kisaran debit pemompaan 20 – 40 liter/detik. Konglomerat volkanik, adalah batuan yang terdiri atas kumpulan fragmen batuan beku yang bentuk butirnya rounded-well rounded umumnya tersemen lemah, sehingga menyisakan ruang antar butir yang cukup -2 -1 besar dengan koefisien permeabilitas mencapai orde 10 sampai 10 sehingga sangat mudah dilalui air tanah dan batuan konglomerat volkanik dapat berfungsi sebagai akifer yang bagus. Sebagai contoh di Selatan Mojosari, Mojokerto pemboran dari PT.Multi Bintang yang
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
102 102 102
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
5.
8.3.
debitnya > 25 liter/detik berasal dari konglomerat Formasi Pugeran yang merupakan produk kipas aluvial yang berumur setara dengan breksi lahar Formasi Anjasmoro Tua, pada beberapa titik bor ebit mencapai 46 liter/detik, lapisan tersebut bersifat akifer bebas / tidak terkekang. Lava terkekarkan, batuan lava yang semula umumnya kedap air dan masif sehingga porositas maupun permeabilitasnya kecil, tetapi jika mengalami retakan karena pengaruh gaya tarik permukaan lava pada saat pendinginan lava, akan mengalami retakan yang sangat intensif. Akibat retakan ada celah-celah yang berfungsi sama dengan pori antar butir, sehingga pada lava yang demikian dikenal sebagai permeabilitas sekunder dan bisa menjadi akifer yang cukup baik. Sebagai contoh di Singosari, Malang, perkebunan teh Wonosari, hasil pemborannya yang berdebit 10 – 20 Liter / detik berasal dari lava andesit yang terkekarkan dari Formasi Arjuno Tua.
Klasifikasi Mata Air
Berdasarkan asal-usul terjadinya / genesanya mataair dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu : Mataair Topografi, Mataair Struktur dan Mataair Stratigrafi. Masingmasing mataair mempunyai karakter geologi yang khas dilokasi sekitar pemunculan mataair dan menghasilkan besar debit yang berbeda-beda. Adapun definisi dan gambaran visual dari ketiga mataair tersebut adalah sebagai berikut :
8.3.1.
Mata Air Topografi
Mataair Topografi adalah mataair yang muncul sebagai akibat pemotongan muka air tanah (water table) dengan permukaan tanah / topografi, hal ini menjadi sangat jelas bila mataair berada di pinggir tebing sungai. Jumlah mataair seperti ini disepanjang tebing sungai bisa lebih dari 3 buah tetapi tidak ada kelurusan dari mataair yang banyak tersebut. Posisi dari mataair mengikuti lekuk tebing yang ada dengan debit yang umumnya kecil yaitu kurang dari 20 liter / detik pada beberapa kasus dilaporkan debit maksimal mataair topografi bisa mencapai 25 liter/detik. Adapun visualisasi mataair topografi dapat dilihat pada gambar. 2.11.
M a t a a ir
M A T
Gambar 2.11.
A k u ife r
Penampang melintang mataair Topografi
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
103 103 103
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
8.3.2.
Mata Air Struktur
Mataair struktur adalah mataair yang pemunculan airnya dipermukaan bumi terkait erat dengan adanya struktur sesar, minimal akan didapatkan 3 buah mataair yang berdekatan yang posisinya mempunyai kelurusan satu dengan yang lain. Kelurusan yang ada bukan semata-mata karena topografi melainkan kelurusan yang disebabkan oleh sesar, jadi untuk memastikan jenis mataair ini maka harus bisa dibuktikan di lapangan dengan adanya unsur-unsur sesar di sekitar lokasi mataair. Adapun penciri unsur sesar adalah : gawir sesar, zona sesar, breksi sesar, goras- garis dan milonit., jika tidak didapatkan adanya penciri unsur sesar maka mataair dikategorikan sebagai mataair topografi. Air yang muncul di mataair struktur umumnya berasal dari akifer dalam yang terkekang atau setengah terkekang yang posisinya jauh di dalam bumi, tetapi karena adanya sesar maka zona sesar merupakan zona retakan yang lemah dan merupakan permeabilitas sekunder sehingga bisa dilewati air tanah dari akifer bawah ke permukaan bumi. Debit mataair jenis ini umumnya menengah berkisar 10 – 40 liter/detik tetapi bisa juga hanya 1 liter/detik tergantung dari perforasi retakannya intensif atau tidak. Mataair struktur karena berkaitan dengan gerakan sesar, maka jika lempeng bumi yang tersesarkan cukup besar akan menimbulkan gesekan besar yang membuat panas. Akibat dari panas terebut akan membuat air tanah yang naik ke permukaan bumi menjadi panas, jadi selain berasosiasi dengan kelurusan, mataair topografi bisa berasosiasi dengan mataair panas. Perbedaan dengan mataair panas hasil postvolkanik adalah kandungan sulfurnya tidak sekuat mataair panas post volkanik, selain adanya penciri unsur sesar. Pada mataair panas postvolkanik lokasi mataairnya pasti didekat gunungapi atau intrusi sedangkan mataair panas sesar tidak harus. Pada mataair panas postvolkanik umumnya berassosiasi dengan batuan yang teralterasi sedangkan mataair panas sesar tidak, suhu mataair panas asal sesar bisa berkurangdalam hitungan 25-50 tahun tapi tidak menurun pada mataair panas postvolkanik, Lihat Gambar 2.12.
8.3.3.
Mataair Stratigrafi
Mataair stratigrafi adalah mataair yang muncul ke permukaan bumi oleh sebab adanya susunan batuan yang sangat khas yaitu adanya lapisan penutup yang kedap air di atas suatu akifer. Mataair akan muncul di ujung lapisan penutup yang kedap dengan jumlah umumnya lebih dari 2 buah dengan debit yang cukup besar > 40 liter/detik untuk masing-masing mataair utama, bila terdapat 5 mataair jnis ini bisa terjadi yang utama 3 buah berdebit > 40 liter/detik sedangkan yang 2 buah < 40 liter/detik . Debit yang sangat fantastis dari mataair ini lebih besar dari 5000 liter/detik yaitu pada mataair Umbulan, Pasuruan (mataair terbesar di P.Jawa), dimana lapisan penutupnya adalah lava basalt yang tersingkap jelas di pinggir jalan menuju Lombang kira-kira 2-3 Km di Selatan Umbulan. Kondisi akifer untuk mataair ini adalah terkekang sehingga tekanan air cukup besar dan cadangan airnya juga besar. Besar kecilnya cadangan air tanah akan sangat tergantung dari : -
Luas dan panjangnya lapisan penutup.
-
Tingkat kekedapan lapisan penutup
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
104 104 104
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
-
Luas daerah isian di atas.
-
Permeabilitas tanah dan batuan daerah isian
-
Curah hujan di daerah isian.
M a ta a i r
M a ta a i r M a ta a i r
A k u ife r
A k u if e r
Gambar.2.12. Mataair struktur
Kondisi yang gundul/gersang di dekat mataair tipe ini samasekali tidak berpengaruh terhadap fluktuasi debit mataair, tetapi kondisi di daerah isian yang bisa sangat jauh akan mempengaruhi debit. Sebagai contoh : Mataair umbulan daerah isiannya berasal dari lautan pasir G.Tengger yang sangat luas setara kota Malang, permeabilitas pasir sangat tinggi walaupun tidak ada hutan, curah hujan > 3000 mm/tahun. Batuan kedap air sebagai lapisan penutup sangat bervariasi tergantung lokasinya, pada daerah volkanik batuan berupa : Lava Basalt, Lava Andesit, Tuf dan di kaki gunung dari faies fluviovolkaniknya bisa berupa batulempung. Di daerah Pasrepan lapisan penutupnya berupa Tuf, sedangkan di Daerah Bangsal sampai Puri, Mojokerto lapisan penutupnya adalah batulempung. Untuk perencanaan daerah konservasi mataair stratigrafi pasti menyangkut daerah isian yang jauh dari lokasi mataair, perubahan tata guna lahan di daerah isian pasti akan mengubah infiltrasi menjadi limpasan permukaan, untuk jelasnya lihat Gambar 2.13.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
105 105 105
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
R ec h a r g e Are a
C ap R o c k Mat a air
Ak u if er
Gambar 2.13. Penampang melintang mataair Stratigrafi
8.4.
Kondisi Mataair di Kota Batu
Jumlah matair yang sementara ini berhasil diinventarisir kurang lebih 110 buah dengan berbagai karakter mataair berdebit besar maupun kecil. Mataair banyak dijumpai pada tebing – tebing yang terpotong oleh topografi maupun struktur geologi berupa kekar dan sesar, seperti mata air Kali mranak, mata air Binangun, mata air sumberbrantas dan lain lain. Penyebaran kawasan pemunculan mataair di daerah penelitian berdasarkan pengamatan lapangan dan data sekunder berada di Ds Tulungrejo (14 lokasi), Ds Bulukerto (4 lokasi), Ds. Bumiaji (9 lokasi), Ds. Sumbergondo (2 lokasi), Ds. Gunungsari (4 lokasi), Ds. Pandanrejo (1 lokasi), Ds Oro oro ombo (2 lokasi), Ds. Sidomulyo (4 lokasi), Ds. Pesanggrahan (1 lokasi), Ds. Ngaglik (2 lokasi), Ds Punten (6 lokasi), Kelurahan Sisir (3 lokasi), Kelurahan Temas (3 lokasi), Ds. Mojorejo (2 lokasi), Ds. Tlekung (4 lokasi). Akibat penjarahan hutan lindung seluas kurang lebih 5900Ha, debit air turun sekitar 50%, bahkan sebagian mati.
8.4.1.
Kelompok Mataair Anjasmoro
Kelompok ini dari hasil pengamatan sementara mempunyai ciri : -
Akifer potensialnya adalah pasir dan breksi lahar dari Formasi Anjasmoro Tua
-
jarang lapisan penutup berupa tuf, lebih banya akifer bebas.
-
Banyak memiliki mataair berdebit 1 – 25 liter/detik.
-
Jenis mataair umumnya mataair topografi.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
106 106 106
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
8.4.2.
Kelompok Mataair Kawi – Panderman Kelompok ini dari hasil pengamatan sementara mempunyai ciri : -
Akifer potensialnya adalah breksi lahar Formasi Panderman
-
Tidak ada lapisan penutup sehingga jenisnya akifer bebas.
-
Banyak memiliki mataair berdebit 1 - 30 liter/detik.
-
Jenis mataair umumnya mataair topografi dan struktur.
-
Kadang-kadang berasosiasi dengan mataair panas asal hidrotermal..
8.4.3.
Kelompok Mataair Arjuno Kelompok ini dari hasil pengamatan sementara mempunyai ciri : -
Akifer potensialnya adalah breksi lahar Formasi Arjuno Tua
-
Lapisan penutupnya lava andesit yang tebal dan kedap air.
-
Sifat akifer terkekang.
-
Banyak memiliki mataair berdebit besar > 40 liter/detik.
-
Jenis mataair umumnya mataair stratigrafi.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
107 107 107
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
9. PERSEPSI DAN PENGETAHUAN STAKEHOLDERS TERHADAP FUNGSI DAS
9.1.
Analisis Stakeholder: Kepentingan dan perannya
Analisa stakeholder menunjukkan bahwa perhatian terhadap fungsi DAS relatif tinggi, namun diantara stakeholder masih belum jelas integrasi target-target pengelolaan DAS yang digarap serta indikator kinerja yang dihasilkan dalam memperbaiki kondisi hidrologi DAS. Setiap stakeholder merencanakan dan melakukan tindakan pengelolaan DAS secara sektoral yang disesuaikan dengan kepentingan dan mandat masing-masing instansi. Rencana dan tindakan pengelolaan DAS oleh setiap instansi ini bisa berbeda tetapi tidak jarang terjadi tumpang-tindih kegiatan maupun sasaran yang dituju. Koordinasi sudah sangat sering diwacanakan bahkan pertemuan koordinasi antar pihak juga sudah menjadi agenda bersama, namun istilah koordinasi masih sebatas pertemuan belum sampai pada tindakan nyata. Sampai sejauh ini peencanaan dan tindakan pengelolaan DAS belum didasarkan pada integrasi kesepakatan stakeholder dalam menetapkan prioritas pengelolaan DAS. Dalam analisis kepentingan dan peran stakeholder pengelolaan hidrologi DAS di Kota Batu berikut ini dipisahkan antara stakeholder dari luar (tingkat Provinsi dan Pusat) dan stakeholder dari dalam wilayah Kota Batu.
9.2.
Kepentingan dan Peran Stakeholder Tingkat Pusat dan Provinsi
Kegiatan perencanaan dan pengelolaan hidrologi DAS yang terkait dengan stakeholder tingkat Provinsi Jawa Timur dan tingkat pusat baik langsung maupun tidak langsung ternyata cukup banyak dilakukan di wilayah Kota Batu, walaupun luasnya “hanya” sekitar 170 km2 ini. Beberapa instansi pada tingkat lebih tinggi sangat berkepentingan dengan kawasan ini, yang merupakan bagian hulu dari sebuah DAS yang dihuni oleh penduduk yang sangat besar jumlahnya di bagian yang paling strategis dari Provinsi Jawa Timur. Beberapa stakeholder di tingkat Provinsi Jawa Timur yang terkait dengan pengelolaan hidrologi DAS Sumber Brantas adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda), Dinas Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan, Dinas Kesehatan, Dinas Enerji dan Sumberdaya Mineral. Sementara itu beberapa dinas dan instansi lain yang secara tidak langsung juga sering berhubungan dengan isu DAS adalah Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas). Kelompok berikutnya adalah instansi atau lembaga pusat yang beroperasi di daerah seperti Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Kali Brantas, Perum Jasa Tirta I (PJT), Perum Perhutani KPH Malang, dan Balai Pengelolaan DAS Brantas (BP DAS). Pihak lain yang berperan dalam bidang ini di Kota Batu adalah Environmental Services Program (ESP)-USAID Jawa Timur, sebuah LSM international yang memiliki kegiatan di tingkat nasional. Sdebenarnya masih ada pihak luar lain yang juga berperan yakni PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
109 109 109
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
dari Perguruan Tinggi yang ada di Kota Malang seperti Universitas Brawijaya (UB), Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Universitas Muhamadiyah Malang (UMM). Berikut ini diuraikan secara ringkas dalam matriks kepentingan setiap pihak dalam pengelolaan DAS, kemudian peran yang sudah dilakukan dalam pengelolaan DAS Sumber Brantas serta persepsi dan pengetahuan masing-masing stakeholder terhadap pencapaian DAS yang sehat (Tabel 4.1.).
Tabel 4.1. Kepentingan dan Peran Stakeholder Pemerintah/non-Pemerintah Tingkat Pusat dan Provinsi dalam Pengelolaan DAS Sumber Brantas
Stakeholder (Stakeholder)
Peran yang dilakukan dalam pengelolaan DAS Sumber Brantas
Persepsi dan Pengetahuan tentang pencapaian DAS yang sehat
1.
Inventarisasi dan identifikasi sumber-sumber air dan sumber pencemar 2. Menetapkan pedoman perhitungan daya tamping beban pencemaran 3. Menetapkan persyaratan pembuangan air limbah ke air atau sumber air 4. Memantau kualitas air pada sumber air dan badan sungai
Sungai Brantas merupakan salah satu bahan baku air minum bagi penduduk Jawa Timur telah tercemari oleh buangan limbah domestik dan limbah industri, untuk itu perlu dibentuk lembaga tersendiri dalam menetapkan kebijakan, perencanaan, pengendalian dan pengawasan bidang pembangunan lingkungan hidup
Kepentingan dalam pengelolaan DAS
BAPEDALDA Jatim
1. 2. 3. 4.
Konservasi Sumber Air Perlindungan Kualitas Air Pendidikan Lingkungan Penerapan Kebijakan PROKASIH
BBWS Kali Brantas
Pengelolaan air sungai
1.
Infrastruktur pengelolaan sumberdaya air di sepnajang sungai terganggu fungsinya karena sedimentasi, sampah dan banjir
Dinas Kehutanan Jawa Timur
Koordinasi antar lembaga teknis 1. untuk pengelolaan hutan yang disesuaikan dengan kebijakan Gubernur dalam pengelolaan 2. hutan
Pendayagunaan potensi sumberdaya alam, hutan, sarana prasarana serta pemberdayaan masyarakat untuk mendorong perekonomian rakyat
Tahura R Soerjo
Konservasi biodiversitas hutan, konservasi sumberdaya air.
BP DAS Brantas
Implementasi Pengelolaan DAS 1. melalui pendekatan DAS Mikro, Mengaktifkan forum DAS, Monitoring dan evaluasi kinerja 2. DAS
Perencanaan konservasi sumberdaya air dalam DAS 2. Pembangunan ckhek Dam untuk mengurangi sedimentasi waduk Koordinasi Forum DAS yang ditetapkan berdasarkan SK Gubernur, Koordinasi pelaksanaan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL), 3. Inisiasi Kebijakan Perda untuk pengetrapan Jasa Lingkugan Perlindungan hutan melalui pembentukan dan memfungsikan Kelompok Tani Tahura (KTT), Paguyuban Kepala Desa dan Jaga Wana dari masyarakat setempat Koordinasi implementasi Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL), Penyelenggaraan pertemuan rutin forum DAS,
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
Implementasi DAS Mikro sebagai kegiatan Forum DAS dapat membantu penyehatan DAS
110 110 110
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
3. Monitoring dan evaluasi hidrologi DAS Perum Perhutani KPH Malang
Pengusahaan hutan melalui 1. pendekatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
Perum Jasa Tirta I
Pengusahaan sumberdaya air dengan pemanfaatan infrastruktur bangunan air di sepanjang sungai Kali Brantas, namun menghadapi masalah bahwa sumber daya air yang dikelola 85% bukan dialokasikan untuk kegiatan komersil.
Perencanaan, Pemeliharaan dan Pengawasan usaha di sektor kehutanan baik di kawasan hutan lindung maupun produksi, 2. Fasilitasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan dalam implementasi PHBM, 3. Rehabilitasi hutan rusak
Kerjasama pengelolaan hutan melalui PHBM dengan masyakat dan stakeholder yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan atas dasar Forest Resource Management dan Community Based Forest Management dapat mengembalikan fungsi hidrologi hutan
1.
Kerusakan hutan dan lahan berdampak terhadap tingginya tingkat erosi dan sedimentasi dan mengancam kelestarian sumberdaya air. Kondisi ini dapat menurunkan fungsi infrastruktur bangunan air yang telah di bangun dengan investasi yang sangat tinggi.
2. 3. 4. 5.
6. Dinas Umum Jatim
Implementasi konsep jasa lingkungan hulu-hilir melalui pemberdayaan desa contoh, Monitoring kualitas dan kuantitas air, Rehabilitasi lahan di bantaran sungai, Pemeliharaan bangunan air dan sungai di K. Brantas Inisiator Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA) dengan memfasilitasi Penyusunan Rencana Konservasi Tanah Desa (RKTD) dan implementasinya. Mendukung kegiatan GN-RHL
Pekerjaan Koordinasi antar lembaga teknis Perencanaan Pengairan untuk pengelolaan sumber daya jaringan irigasi air yang disesuaikan dengan kebijakan Gubernur dalam pengelolaan SDA
Dinas Energi dan Pemanfaatan dan konservasi Sumber daya Mineral sumber daya air bawah tanah Jatim
infrastruktur
Kajian geo-hidrologi (geo-listrik)
Pemanfaatan sumberdaya air untuk irrigasi
Pemenuhunan kebutuhan air melalui cadangan air bawah tanah
Dinas Kesehatan (Sanimas) Jatim
Peningkatan masyarakat lingkungan
PDAM Kota Malang
Mempertahankan pasokan air Pengembangan negoisasi harga untuk kebutuhan air minum kota air baku dengan Pemkot Batu Malang yang secara historis infrastrukturnya telah dibangun sejak Jaman Belanda, namun dengan otonomi daerah saat ini masuk wilayah Kota batu
Konservasi sumber air baku dibutuhkan untuk keberlanjutan penyediaan air baku warga Kota Malang
Environmental Service Propram (ESP)- USAID
Penanganan kesehatan balita terhadap diare melalui pendidikan kesehatan masyarakat, sanitasi lingkungan, penanganan sampah, penyediaan
Integrasi hulu hilir terhadap pengelolaan sumberdaya air untuk mendukung kesehatan balita terhadap diare.
melalui
kesehatan Penanganan limbah industri dan Peningkatan kualitas air di badan sanitasi domestik di Desa Temas secara sungai dan kualitas air yang komunal dengan bangunan dikonsumsi masyarakat “wetland”
Pemberdayaan masyarakat melalui sekolah lapangan pengelolaan lingkungan, fasilitasi LMDH untuk implementasi PHBM, pengelolaan sampah dan sanitasi
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
111 111 111
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
air bersih masyarakat dan masyarat, inisiasi pembentukan perlindungan air melalui forum pengelolaan lingkungan, pengelolaan DAS Fasilitasi komunikasi tree parties dalam pengelolaan lingkungan UB (Universitas Brawijaya)
Penelitian, Pendidikan dan Pengabdian pada Masyarakat
1.
UNISMA (Universitas Islam Malang)
Penelitian, Pendidikan dan Pengabdian pada Masyarakat
1.
UMM (Universitas Muhamadiyah Malang)
Penelitian, Pendidikan dan Pengabdian pada Masyarakat
3. Fasilitasi Pemkot dan Masyarakat Kota Batu dalam pengelolaan DAS (GNKPA) 4. Fasilitasi pengembangan konsep pengelolaan DAS
9.3.
Fasilitasi Pemkot dan Masyarakat Kota Batu dalam pengelolaan DAS 2. Peningkatan kualitas SDM lewat pelatihan dan pendampingan langsung dan tidak langsung 3. Peningkatan kapasitas Pemkot danLSM lokal 4. Fasilitasi pengembangan konsep pengelolaan DAS Fasilitasi Masyarakat Kota Batu dalam peningkatan pendapatan melalui berbagai program kegiatan masyarakat 2. Peningkatan kapasitas masyarakat
Kepentingan dan Peran Stakeholder Tingkat Kota
Identifikasi terhadap stakeholder yang berperan dalam kegiatan perencanaan dan pengelolaan hidrologi DAS Sumber Brantas menghasilkan sederet stakeholder baik dari lembaga pemerintah maupun non-pemerintah di Kota Batu. Stakeholder yang terkait dengan pengelolaan DAS dari lembaga pemerintah adalah lembaga legislatif (DPRD), Walikota Batu, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Bina Marga dan Pengairan, Dinas Kesehatan, Dinas Cipta Karya dan Pemukiman, Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Kantor Koperasi dan UKM, PDAM Kota Batu, dan MUSPIKA (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) Batu, Bumiaji dan Junrejo. Daftar stakeholder non-pemerintah yang berperan aktif dalam konteks pengelolaan DAS di Kota Batu adalah Harapan Putih Sentosa, Yayasan Pengembangan Pedesaan (YPP), Yayasan Pusaka, Paramitra Jawa Timur, Fokal Mesra, (dari kelompok LSM), dari kelompok petani seperti Kelompok Tani Tahura (KTT), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), IPPHTI, Kelompok Tani (Buah, Bunga dan Sayur), dan Serikat Petani Gunung Biru (SPGB), serta dari kelompok pengusaha HIPPAM, Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Sebagai sebuah catatan sejarah, bahwa sebelum tahun 1990an Batu merupakan kota kecamatan yang menjadi salah satu bagian dari Kabupaten Malang. Pada 6 Maret 1993, dibentuk dan diresmikan Kota Administrasi Batu yang meliputi wilayah PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
110 110 110
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Kecamatan Batu, Kecamatan Bumiaji dan Kecamatan Junrejo. Barulah pada 21 Juni 2001 status Batu resmi menjadi Kota berdasarkan UU No 11 Tahun 2001. Kota Batu menjadi daerah otonomi dipimpin seorang Walikota. Walikota Batu pertama, Imam Kabul menjabat pada periode 2001 s/d 2007. Sebelum pilkada bulan Oktober 2007, Walikota meninggal dunia (26 Agustus 2007), sehingga jabatan walikota Batu dipegang oleh seorang pelaksana harian (plh), sampai terpilihnya walikota definitif. Pilkada baru dilaksanakan 5 Nopember 2007 dan terpilih pasangan Walikota Eddy Rumpoko dan Wakil Walikota H. Achmad Budiono, SH. MM, yang dilantik pada pada hari Senin 23 Desember 2007, setelah memenangkan pilkada pada 5 November 2007 lalu. Terjadi ketidak-pastian di kalangan birokrasi Kota Batu sejak meninggalnya Walikota Imam Kabul sehingga banyak hal yang menyangkut kebijakan seolah diambangkan karena menunggu kepastian walikota yang baru. Demikian pula sejak walikota Eddy Rumpoko dilantik sampai masih terjadi suasana yang mengambang, karena adanya isu perubahan organisasi dan mutasi jabatan di lingkungan SKPD Kota Batu. Hal ini ternyata sangat berpengaruh terhadap sikap dan kebijakan yang diambil oleh beberapa dinas, khususnya yang terkait dengan penelitian RHA, yakni sebagai stakeholder dari lembaga pemerintah (PEK). Isu tersebut akhirnya menjadi kenyataan pada bulan Desember 2008, di mana terjadi perubahan yang cukup besar di beberapa SKPD yang terkait dengan penelitian RHA ini. Selain mutasi pejabat atau pimpinan SKPD ternyata juga ada perubahan struktur organisasi beberapa SKPD. Perubahan SKPD yang terkait dengan isu pengelolaan DAS pada bulan Desember 2008 adalah sebagai berikut : 2001-Desember 2008 Dinas Hidup
Kehutanan
dan
Lingkungan
Mulai Desember 2008 menjadi
Dinas Lingkungan Hidup
Dinas Sumberdaya Air dan Enerji
menjadi
Dinas Pengairan dan Bina Marga
Dinas Pertanian dan Peternakan
menjadi
Dinas Pertanian dan Kehutanan
Berikut ini diuraikan secara ringkas dalam matriks kepentingan setiap pihak dalam pengelolaan DAS, kemudian peran yang sudah dilakukan dalam pengelolaan DAS Sumber Brantas serta persepsi dan pengetahuan masing-masing stakeholder terhadap pencapaian DAS yang sehat (Tabel 4.2.).
Tabel 4.2. Kepentingan dan Peran Stakeholder Pemerintah/non-Pemerintah Tingkat Kota Batu dalam Pengelolaan DAS Sumber Brantas
Stakeholder (Stakeholder) DPRD dan Wali Kota
Kepentingan dalam pengelolaan DAS Implementasi visi tahun 2003-2007 “Batu, Agropolitan bernuansa pariwisata dengan masyarakat madani”, menuju visi 2007-2012 : Kota Batu sebagai sentra pariwisata berbasis pertanian, didukung oleh sumberdaya manusia, sumberdaya alam, dan sumberdaya budaya serta pemerintahan yang kreatif, inovatif, dan bersih bagi seluruh rakyat yang dijiwai keimanan dan ketaqwaan
Peran yang dilakukan dalam pengelolaan DAS Sumber Brantas 1. Penetapan Missi : (a) Peningkatan SDM untuk mengelola Sumber Daya Alam berbasis pertanian dan pariwisata yang berwawasan lingkungan, dan (b) Perwujudan peningkatan lingkungan hidup dan terkendalinya tata ruang daerah 2. Penerbitan Peraturan Daerah No. 6 / 2005 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Air
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
Persepsi dan Pengetahuan tentang pencapaian DAS yang sehat Pengembangan agropolitan dan wisata yang didukung penerapan motto “Batu Hijau Lestari” dengan pendekatan kultural dan struktural
111
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
kepada Tuhan Yang Maha Esa
Bawah Tanah dan Air Permukaan 3. Meningkatkan peran Kota Batu sebagai Kota pertanian (agropolitan), khususnya untuk jenis tanaman sayur, buah dan bunga serta menguatnya perdagangan hasil pertanian dan industri pertanian (agro-industri) yang diperhitungkan, 4. Meningkatkan posisi dan peran Kota Batu dari “Kota Wisata” menjadi “sentra Wisata” yang diperhitungkan di tingkat regional atau bahkan nasional
BAPPEDA
Mewujudkan Tata Ruang Daerah 1. dengan Penetapan Kawasan Lindung, Luasnya sekitar 52% (10,352 Ha) dan Kawasan Budidaya 48% (9,555 2. Ha) dari luas wilayah Kota Batu.
Pemetaan dan penyusunan data Penerapan tata ruang daerah dapat spatial untuk perencanaan tata menciptakan lingkungan yang sehat ruang, Koordinasi Instansi terkait untuk implementasi tararuang daerah
Dinas Pertanian dan Kehutanan
Peningkatan Peran Serta Masyarakat 1. dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Peningkatan kualitas lingkungan 2. hidup dengan penanganan lahan kritis, baik di dalam maupun di luar 3. kawasan hutan. 4.
Bantuan Ternak untuk mendukung rehabilitasi hutan membina Kelompok Tani LMDH dan RLKT; Sosialisasi Pencegahan dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Perlindungan dan Pengamatan Hutan Terpadu
Dinas Lingkungan Hidup
Pengelolaan lingkungan hidup untuk menjamin kualitas air dan sanitasi masyarakat
1. Pengembangan Teknologi Persampahan dan Pemantauan Kualitas Lingkungan 2. maupun Pengkajian Dampak Lingkungan termasuk Pembuatan Teknologi Biogas Limbah Ternak ; 3. Pengelolaan Prokasih; Pengadaan Sarana dan Prasarana Pemantauan Kualitas Air ; 4. Peningkatan Konservasi Daerah Tangkapan Air serta Pembuatan Dam Penahan ; 5. Pengembangan Data dan Informasi Lingkungan serta Penyuluhan 6. Pengendalian Polusi dan Pencemaran; 7. Penghijauan Kanan Kiri Jalan, 8. Pengadaan dan Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Pencegahan Bahaya Kebakaran dan Pengelolaan Persampahan/Pemeliharaan dan Pengembangan 9. Ruang Terbuka Hijau.
Peningkatan peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup kota Batu
Dinas Bina Marga dan Pengairan
mewujudkan pola pengelolaan sumber daya air yang terpadu dan berkelanjutan,
1.
Pengelolaan sumberdaya air melalui pemulihan debit sumber air utama dan penataan pemanfaatan sumberdaya air 112 112 112
Pembangunan dan pemeliharaan saluran irigasi, dam, pembuatan plengsengan dan penguatan
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
Pengelolaan hutan dengan pemberdayaan perikehidupan dan perekonomian masyakat solusi konservasi dan rehabilitasi hutan dan kerusakan sumberdaya lahan dan mengupayakan mitigasi dan adaptasi pemanasan global
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
terkendalinya pemanfaatan air tanah, meningkatnya kemampuan pemenuhan kebutuhan air bagi rumah tangga, permukiman, pertanian, dan industri, dengan prioritas utama untuk kebutuhan pokok masyarakat serta berkurangnya dampak bencana banjir dan kekeringan.
tebing sungai, 2. Pelayanan Sistem Irigasi 3. Pengembangan penampungan air melalui waduk mini untuk penyediaan air bersih 4. Pemberdayaan petani pemakai air (HIPPA) 5. Pemanfaatan sumber-sumber air bersih 6. Perencanaan pembangunan dan pembuatan jaringan irigasi, perencanan dan pembuatan jaringan air bersih/minum. 7. Pengembangan sumur bor dan reservoir untuk pengadaan air bersih 8. Pengawasan Air Bersih dan Pelatihan HIPPAM serta Wasdal 9. Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Mata Air. 10. Pengembangan energi alternatif dengan biogas
berdasarkan daerah
Dinas Kesehatan
Mewujudkan Kebijakan Lingkungan Hidup Sehat
Dinas Cipta Karya dan Pemukiman
perencanaan pembangunan infrastruktur pembangunan Jaringan Air Minum/Air Bersih Pengembangan usaha produktif dan perlindungan lingkungan melalui bantuan peberdayaan masyakat oleh aparat desa dan organisasi kemasyarakatan di tingkat desa Pembinaan, pelatihan dan pendampingan dalam bidang kewirausahaan maupun pengelolaam manajemen koperasi Pengusahaan sumberdaya air untuk penyediaan air bersih masyarakat
Penyelenggaraan Penyehatan Lingkungan di tempat Penyediaan Air Bersih Penyediaan jaringan air bersih baik dalam fasilitasi PDAM dan HIPAM
Perbaikan kesehatan masyarakat melalui perbaikan sanitasi konsumsi air masyakarat Pemanfaatan sumberdaya air untuk pemerataan penyediaan air bersih warga masyarakat Penguatan kelembagaan desa untuk memaduan kemajuan pembangunan dan perlindungan lingkungan
Kantor Pemberdayaan Masyarakat
Kantor Koperasi dan UKM
PDAM Kota Batu
MUSPIKA
Penegakan hukum UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Hidup, UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Kep Men LH No 07 tahun 2001 tentang Pejabat dan Pengawas Lingkungan Hidup Daerah, Keputusan Bersama Kementrian LH, Kejaksaaan dan Kepolisian No KEP 04/ MENLH/04/2004, KEP 208/A/JA/04/2004, No Pol: Kep19/IV/2004 tentang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Terpadu, Keputusan Gubernur Jatim No 45 tahun 2002 tentang baku mutu limbah cair bagi industry atau kegiatan usaha lainnya di Jawa Timur
Bantuan dana segar untuk kegiatan masyakarat sesuai kebutuhan desa yang disusun dari RESBANG Desa.
regulasi
pemerintah
Pembentukan Kelompok Kerja Program Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro serta Perkuatan Struktur Keuangan Koperasi.
Pembinaan perkonomian masyakarat desa sekitar hutan melalui pengembangan koperasi
Melakukan managemen pemafaatan air dan penyediaan infrastruktur untuk penyediaan air bersih masyarakat dan industry serta perhotelan Pengawas_Penyidik bidang lingkungan hidup, Pembuktian Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Mendukung Kebijakan Pemerintah Daerah, dan memfasilitasi peran masyarakat dalam menaati peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
Pengelolaan restribusi air yang sebagian digunakan untuk penyelamatan sumber air disekitar mata air
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
Penegakan hokum dapat mencegah kerusakan lingkungan
113 113 113
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
LSM Harapan Sentosa YPP
Pulih
Yayasan Pusaka
LSM Paramitra
Kelompok Tani Tahura (KTT)
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH)
Fasilitasi Rehabilitasi hutan
Fasilitasi kegiatan PHBM oleh LMDH dan Perhutani Fasilitasi penerapan Jasa Penguatan kelembagaan kelompok Lingkungan Hulu-hilir tani untuk rehabilitasi lahan dan hutan, menjadi mediator dalam rehabilitasi lahan Fasilitasi dan advokasi Pengembangan kegiatan Gerakan permasalahan lingkungan Rehabilitasi Hutan dengan program GIRAB Pengembangan Jasa Linglkungan Fasilitasi pengembangan peraturan melalui mekanise pengembangan daerah tentang jasa lingkungan, peraturan daerah fasilitasi koordinasi kegiatan Tahura R Soerjo dengan masyarakat, Pengembangan Perdes Lingkungan Pengembangan kegiatan konservasi Pengembangan rencana aksi untuk biodiversitas dan pemanfaan fungsi konservasi biodiversitas dan hutan non kayu untuk usaha pemanfaatan fungsi hutan non kakyu produktif dan pengembangan sistem pengamanan hutan Perbaikan perikehidupan anggota Penguatan pesanggem dalam rangka melalui peran aktif dalam mendukung implementasi PHBM di implementasi PHBM wilayah Perhutani
Penguatan masyarakat untuk merehabilitasi hutan Penguatan Kelembagaan Masyarakat dapat sebagai roda penggerah rehabilitasi lahan dan hutan yang efektif Pendekatan cultural dan structural dapat sebagai penggerak efektif dalam rehabilitasi hutan dan lahan Penguatan kelembagaan masyarakat dapat sebagai pendorong percepatan rehabilitasi lahan dan hutan serta konservasi kawasan lindung Konservasi biodiversitas hutan dapat menjaga kelestarian sumberdaya air
Perbaikan perekonomian pesanggem, dan kebersamaan dank e solidan organisasi LMDH dapat mendukung pengembangan fungsi ekologis hutan IPPHTI Impelentasi pengendalian hama Pengembangan dan implementasi Perbaikan kualias air melalui penyakit terpadu dalam usaha pengendalian hama penyakit terpadu implementasi Pengendalian Hamabudidaya pertanian yang menekan sekecil mungkin Penyakit Terpadu ( PHT) kontaminasi pestisida dalam aliran air HIPPAM Penyediaan air bersih masyarakat Perencanaan, pengembangan dan Konservasi sumber air penting untuk pedesaan yang murah dengan pemanfaatan sumber air untuk keberlanjutan penyediaan air besih managemen masyarakat desa itu penyediaan dan pemerataan air kebutuhan rumah tangga sendiri bersih masyarakat pedesaan HIPA Pemanfaatan dan pengelolaan air Pengaturan kebutuhan air baku Konservasi sumber air penting untuk untuk irrgiasi baik di lahan untuk irrigasi keberlanjutan penyediaan air irigasi perkebunan apel, lahan kering dan dalam pendukung usaha pertanian lahan sawah FOKAL MESRA Masyarakat untuk Pemanfaatan sumberdaya alam untuk Pemantauan kondisi lingkungan dan Fasilitasi pemberdayaan masyarakat untuk pengelolaan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat harus rehabilitasi hutan dan lahan, selaras alam pengelolaan lingkungan pemantauan kualitas air di badan sungai Kelompok Tani Pemanfaatan sumberdaya air untuk Penggunaan pestisida yang dapat Pengaturan pemanfaatan air yang lebih irrigasi menyebabkan kontaminasi aliran air efisien dan pengembangan pengendalian HPT dapat memperbaiki kondisi lingkungan Serikat Petani Gunung Memperjuangan anggotanya yang Pemanfaatan lahan hutan dengan Konservasi Gunung Biru dengan Biru (SPGB) mayoritas tidak memiliki lahan untuk mengusahakan tanaman dibawah menyertakan masyarakat untuk mendapatkan lahan garapan dihutan tegakan peningkatan ekonominya dapat dengan menjaga kelestarian hutan melestarikan sumberdaya air. Persatuan Pengusaha Pemanfaatan sumber air untuk Berpartisipasi dalam rehabilitasi Pasokan air baku untuk kebutuhan Hotel dan Restauran kebutuhan usaha perhotelan hutan usaha perhotelan penting melalui (PHRI) rehabilitasi hutan
PEK terkait dengan RHA di DAS Sumber Brantas menjadi sangat menarik akibat adanya periode transisi di Kota Batu. Terlihat bahwa kebijakan yang diambil oleh Dinas-dinas sangat tergantung dari figur pimpinan daerah dalam hal ini walikota. Salah satu isu penting terkait dengan RHA yang bisa dijadikan contoh adalah hubungan antara hutan dan air (banjir dan kekeringan). Semua komponen di Kota PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
114 114 114
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Batu tampaknya sepakat bahwa penurunan fungsi hidrologi di kawasan ini disebabkan oleh penebangan pohon di hutan kawasan Perhutani yang tidak segera dihutankan kembali. Hampir semua komponen masyarakat dan pemerintah menyadari bahwa untuk memperbaiki keadaan tersebut adalah dengan cara menghutankan kembali kawasan Perhutani dan Tahura yang gundul dan rusak. Namun kesepakatan semacam ini tidak langsung bisa diimplementasikan. Proses penghutanan kembali terhambat oleh kegiatan masyarakat sekitar hutan yang menanami tanah-tanah gundul tersebut dengan tanaman semusim khususnya sayur-sayuran. Tanaman sayur ternyata memberikan hasil yang luar biasa besar bagi para petani, sehingga mereka enggan menghentikan kegiatannya itu. Programprogram yang dikembangan pemerintah untuk membatasi penanaman sayur ternyata tidak mampu menghentikannya. Penghutanan kembali atau menanam pohon kehutanan 100% di lahan Perhutani jelas sudah tidak memungkinkan lagi akibat adanya keterlibatan masyarakat didalam kawasan hutan. Masyarakat tidak mungkin disingkirkan atau diusir dari kawasan itu, sehingga satu-satunya jalan adalah melibatkan mereka dalam pengelolaan hutan (konsep PHBM oleh Perhutani). Salah satu kompromi yang ditawarkan oleh Perhutani adalah mengganti tanaman sayuran dengan tanaman tahunan. Dari berbagai pilihan, ditawarkan porang dan kopi untuk ditanam disela-sela tanaman pokok (tegakan). Namun usulan masyarakat dan Perhutani ini tidak disetujui oleh birokrasi Pemkot Batu. Namun setelah pergantian walikota, justru ide ini menjadi program Pemkot Batu untuk menghentikan penanaman sayur sebagai tanaman sela di lahan Perutani dan menggantinya dengan tanaman kopi. Bahkan di awal tahun 2009 ini Pemkot Batu memberikan berbagai bentuk insentif untuk mempercepat pelaksanaan penanaman kopi ini. Itulah salah satu contoh perubahan yang mendasar dari kebijakan yang sangat dipengaruhi oleh figur kepala daerah dalam era otonomi daerah seperti sekarang ini. Kesimpulannya, PEK yang digali dari unsur birokasi (lembaga pemerintah daerah) dapat berubah karena pengaruh dari pimpinan tertinggi di daerah tersebut.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
115 115 115
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
DAFTAR PUSTAKA Badan Pertimbangan Penelitian Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, 2005. Investigasi Geologi Bersama Masyarakat untuk Penyelamatan Mata Air di DAS Brantas Hulu.
Widianto, Fahmudin Agus dan Didik Suprayogoo, 2001. PENGELOLAAN DAS MIKRO SECARA PARTISIPATIF Dalam rangka Program PIDRA.
Widianto, Suprayogo, D, Sudarto dan Lestariningsih I.D. 2008. Rapid Hydrological Appraisal Implementationat Upper Brantas Watershed, East Java. Trees in multi-Use Landscapes in Southeast Asia (TUL-SEA): A negotiation support toolbox for Integrated Natural Resource Management. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia, The Federal Ministry for Economic Cooperation and Development (BMZ), Germany and Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.
PRAKTIKUM MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JURUSAN TANAH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
116 116 116