BAHAN B A AJAR
SINT TAKSIS BAHAS SA IND DONESIIA
[Mateeri ini hanyaa digunakan n untuk bah han kuliah. Oleh karen na itu, materri yang d dimuat dalaam bahan ajar ini dilaraang dikutip p untuk kepentingan ap pa pun tanpa seiziin penulis.]
h Oleh Tri Mastoyo M Jaati Kesuma a Program m Studi Sasstra Indon nesia Fak kultas Ilmu u Budaya Universitas Gaadjah Mada Yogyakaarta
20133 0
BAB I PENGANTAR 1. Pengertian Sintaksis Istilah “sintaksis”, yang dalam bahasa Inggris disebut syntax, terambil langsung dari bahasa Belanda syntaxis (Ramlan, 1987:21). Oleh Matthews (1981:1), ihwal asal syntaxis tersebut dikatakan sebagai berikut. “The term ‘syntax’ is from the Ancient Greek syntaxis, a verbal noun which literally means ‘arrangement’ or ‘setting out together’. Traditionally, it refers to the branch of grammar dealing with the ways in which words, with or without appropriate inflections, are arranged to show connections of meaning within the sentence.” ‘Istilah syntax berasal dari bahasa Yunani Kuna syntaxis, nomina verbal yang sebenarnya berarti “penyusunan” atau “pengaturan bersama”. Secara tradisional, sintaksis mengacu pada cabang tata bahasa yang berkenaan dengan cara-cara yang di dalam kata-kata, dengan atau tanpa infleksi yang sesuai, diatur untuk menunjukkan hubungan makna di dalam kalimat.’
Pandangan lain menyebutkan bahwa kata ”sintaksis” berasal dari sun 'dengan' dan tattein 'menempatkan bersama-sama'; secara etimologis berarti "menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat dan kelompok-kelompok kata menjadi kalimat" (Verhaar, 1981:70). Pada dasarnya, sintaksis tersebut berurusan dengan hubungan antarkata di dalam kalimat (Verhaar, 1996:161). Sintaksis merupakan cabang linguistik atau ilmu bahasa. Dalam bahasa Indonesia, sintaksis disebut pula ”tata kalimat” (Samsuri, 1985:42). Istilah tersebut diperlawankan dengan ”tata kata” dan ”tata bunyi”. Tata kalimat merupakan uraian pembentukan kalimat-kalimat bahasa Indonesia, tata kata merupakan pemerian pembentukan kata-kata bahasa Indonesia, dan tata bunyi merangkum pemerian bunyi-bunyi bahasa Indonesia (Samsuri, 1985:42). 2. Bahan dan Objek Kajian Sintaksis Sintaksis dapat didefinisikan sebagai cabang linguistik yang mempelajari bagaimana kata-kata dari suatu bahasa dapat disusun untuk membentuk satuan yang lebih luas, seperti frase, klausa, dan 1
kalimat (Baker, 2003:265). Frase, klausa, dan kalimat tersebut merupakan bahan kajian, bukan objek penelitian sintaksis. Objek penelitian sintaksis adalah semua hubungan gramatikal di dalam satuan kebahasaan atau satuan gramatikal yang disebut frase, klausa, dan kalimat tersebut (bdk. Verhaar, 1981:70). Hubungan yang dimaksudkan menyangkut hubungan antarklausa dalam kalimat majemuk dan hubungan antarkonstituen dalam klausa dan frase. 3. Sintaksis dan Morfologi Sintaksis dan morfologi bersama-sama merupakan tata bahasa (Verhaar, 1981:70). Morfologi menyelidiki hubungan-hubungan gramatikal di dalam kata itu sendiri; sintaksis itu mempelajari hubungan gramatikal di luar batas kata, tetapi di dalam satuan yang kita sebut kalimat (Verhaar, 1981:70). Morfologi itu menyangkut struktur gramatikal di dalam kata, dan sintaksis itu berurusan dengan tata bahasa di antara kata-kata di dalam tuturan (Verhaar, 1996:161). Menurut Simpson (1979:103), morfologi mempelajari struktur gramatikal kata, sedangkan struktur gramatikal yang lebih luas dari kata dipelajari oleh sintaksis. Morfologi mempelajari hubungan gramatikal dalam struktur internal kata, sedangkan sintaksis berusaha menjelaskan unsur-unsur suatu satuan kebahasaan serta hubungan antara unsur-unsur satuan kebahasaan itu dalam suatu satuan kebahasaan, baik hubungan fungsional maupun hubungan maknawi (Ramlan, 1987:22). Hubungan antarsatuan kebahasaan dalam sintaksis meliputi hubungan antara kata, frase, klausa, atau kalimat yang satu dengan kata, frase, klausa, atau kalimat yang lain (Ramlan, 2001:24). Dalam morfologi kata merupakan satuan kebahasaan yang paling besar, sedangkan dalam sintaksis merupakan satuan kebahasaan yang paling kecil (Ramlan, 2001:24). 4. Jenis-jenis Sintaksis menurut Bahan Kajiannya Menurut bahan penelitiannya, sintaksis dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu sintaksis kalimat majemuk, sintaksis klausa, dan sintaksis frasa (lih. Verhaar, 1996:162). Sintaksis kalimat majemuk membahas kalimat majemuk, sintaksis klausa membicarakan klausa, sedangkan sintaksis frasa membahas frasa. Kalimat majemuk menjadi bahan penelitian sintaksis kalimat majemuk, bahan penelitian sintaksis klausa adalah klausa, dan bahan penelitian sintaksis frasa adalah frasa. 2
5. Tujuan dan Lingkup Materi dalam Buku Ini Buku ini disusun dengan maksud untuk memaparkan materi pembahasan dalam sintaksis bahasa Indonesia. Materi yang dimaksud dapat dikelompokkan menjadi empat bab. Bab I berisi pendahuluan, sedangkan bab II, III, dan IV memaparkan jenis-jenis sintaksis. Buku ini, yaitu dalam bab V, diakhiri dengan penyajian beberapa model sintaksis bahasa Indonesia.
3
BAB II SINTAKSIS KALIMAT MAJEMUK 1. Pengantar Sintaksis kalimat majemuk adalah sintaksis yang membahas kalimat majemuk. Kalimat majemuk itu menjadi bahan kajiannya, sedangkan yang dibahas adalah hubungan antarbagian dalam kalimat majemuk. Sintaksis kalimat majemuk dapat disebut pula sintaksis antarklausal. Dalam bab ini, disajikan seluk-beluk materi yang berhubungan dengan sintaksis kalimat majemuk atau sintaksis antarklausal tersebut. Seluk-beluk yang dimaksud meliputi pengertian dan ciri-ciri kalimat, unsur-unsur pembentuk kalimat, jenis-jenis kalimat, dan hubungan antarbagian dalam kalimat majemuk. 2. Pengertian dan Ciri-ciri Kalimat Menurut Parera (2004:262)), setidak-tidaknya ada 122 definisi kalimat. Adalah tidak mungkin jika definisi kalimat yang jumlahnya 122 itu dipaparkan satu per satu. Oleh karena itu, dalam paparan ini hanya dipilih satu pengertian, yaitu pengertian kalimat menurut Alwi dkk. (1993). Alwi dkk. (1993:349) berpendapat bahwa kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Menurut Alwi dkk. (1993:349), kalimat itu memiliki ciri sebagai berikut. ”Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan intonasi akhir yang diikuti kesenyapan yang mencegah terjadinya perpaduan atau asimilasi bunyi atau proses fonologis lainnya. Dalam wujud tulisan berhuruf Latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!); sementara itu di dalamnya disertakan pula berbagai tanda baca seperti koma (,), titik dua (:), tanda pisah (─), dan spasi. Tanda titik, tanda tanya, dan tanda seru sepadan dengan intonasi akhir, sedangkan tanda baca lainnya sepadan dengan jeda. Spasi yang mengikuti tanda titik, tanda tanya, dan tanda seru melambangkan kesenyapan.”
4
3. Unsur-unsur Pembentuk Kalimat Ada tiga kelompok unsur pembentuk kalimat. Kelompok pertama unsur pembentuk kalimat adalah lapis. Kalimat dibentuk oleh dua lapis, yaitu lapis segmental dan lapis suprasegmental. Istilah lain untuk lapis segmental adalah lapisan subjektif, sedangkan yang untuk suprasegmental adalah lapisan objektif (Wojowasito, 1978:5). Lapis segmental adalah lapis pembentuk kalimat yang berupa deretan fonem yang diucapkan secara beruntun sebagai "batang tubuh" kalimat (Sudaryanto (peny.),, 1991:59). Adapun lapis suprasegmental adalah titinada yang ada di sepanjang bunyi-bunyi fonemis itu (Sudaryanto (peny.),, 1991:59). Lapis yang suprasegmental itu dapat disebut pula lapis fatis. Bagi kalimat, kedua lapis itu tidak dapat dihilangkan karena cara bekerja yang satu bergantung kepada yang lain. Contohnya sebagai berikut. (1) Berita itu memang mengejutkan (Dini, 1989:3) Contoh (1) tersebut merupakan kalimat yang dibentuk oleh lapis segmental dan lapis suprasegmental. Lapis segmentalnya adalah keseluruhan bunyi fonemis berikut. (1a) [bərita itu memaŋ m\ŋ\jUtkan] Adapun lapis suprasegmental contoh (1) adalah titinada atau intonasi yang ada sepanjang bunyi-bunyi fonemis itu, yang mengalun rata pada satuan salah satu upaya pencerdasan kehidupan berbangsa dan menurun pada Indonesia. Menurut Ramlan (1987:27), lapis suparasegmental pembentuk kalimat ditunjukkan dengan adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Pola intonasi itu terdiri atas tiga jenis, yaitu pola intonasi [2] 3 // [2] 3 1 #¶ untuk kalimat berita; pola intonasi [2] 3 // [2] 3 #¶ untuk kalimat berita yang fungsi Predikatnya terdiri atas kata-kata yang suku kedua dari belakangnya bervokal /\/, seperti kata keras, cepat, kering, tepung, dan bekerja; dan pola intonasi [2] 3 // [2] 3 #fl untuk kalimat tanya (Ramlan, 1987:32-33). Contohnya sebagai berikut. (2) Wibi bergegas masuk ruangan. (Februana, 1999:199) 5
(3) Gang di depan rumahnya masih sepi. (Februana, 1999:17) (4) Besok kamu harus sekolah! (Februana, 1999:67) (5) Untuk apa uang sebanyak ini? (Februana, 1999:69) Contoh (2) dan (3) merupakan contoh kalimat berita dengan perbedaan pada intonasi final. Kalimat berita (2) berintonasi final [2] 3 1 #¶ (lihat (2a)), sedangkan kalimat berita (3), karena fungsi Predikatnya, yaitu masih sepi, terdiri atas kata yang suku kedua dari belakang, yaitu sepi, bervokal /\/(lihat (3a)). Sementara itu, contoh (4) merupakan contoh kalimat perintah yang, seperti halnya kalimat berita, berintonasi final [2] 3 1 #¶ (lihat (4a)), sedangkan contoh (5) merupakan kalimat tanya karena berintonasi final [2] 3 #fl (lihat (5a)). (2a) Wibi bergegas masuk ruangan [2] 3 // [2] 3 1#¶ (3a) Gang di depan rumahnya masih sepi [2] 3 // [2] 3 2 #¶ (4a) Besok kamu harus sekolah [2] 3 // [2] 3 1#¶ (5a) Untuk apa uang sebanyak ini [2] 3 // [2] 3#fl Unsur pembentuk kalimat kelompok kedua adalah bagian. Unsur pembentuk yang disebut bagian itu khusus menyangkut lapis segmental. Unsur pembentuk yang disebut bagian itu terdiri atas dua jenis, yaitu bagian inti dan bagian bukan inti. Bagian inti adalah unsur pembentuk kalimat yang tidak dapat dihilangkan atau dilesapkan, sedangkan bagian bukan inti adalah unsur pembentuk kalimat yang justru dapat dilesapkan (Sudaryanto (peny.), 1991:59). Menurut Alwi dkk. (1993:354), bagian inti terdiri atas konstituen-konstituen kalimat yang tidak dapat dihilangkan, sedangkan bagian bukan inti terdiri atas konstituen-konstituen yang dapat dihilangkan. Setiap pelesapan terhadap bagian inti akan meruntuhkan kejatian bagian sisanya sebagai kalimat, sedangkan setiap pelesapan bagian bukan inti tidak berakibat runtuhnya kejatian bagian sisanya sebagai kalimat (Sudaryanto (peny.), 1991:59-60). Contohnya sebagai berikut.
6
(6) Saat itu aku tidak memikirkan tindakan bodohku. Kalimat (6) terdiri atas empat bagian, yaitu (a) saat itu, (b) aku, (c) tidak memikirkan, dan (d) tindakan bodohku. Bagian (b) – (d) merupakan bagian inti, sedangkan bagian (a) merupakan bagian bukan inti karena dapat dilesapkan tanpa meruntuhkan kejatian bagian sisanya sebagai kalimat. Sementara itu, penghilangan bagian (b), (c), atau (d) akan menyebabkan kalimat bagian sisanya tidak berterima. Perhatikanlah (6a) –(6d) berikut. (6a) (6b) (6c) (6d)
Aku tidak memikirkan tindakan bodohku. *Saat itu tidak memikirkan tindakan bodohku. *Saat itu aku tindakan bodohku. *Saat itu aku tidak memikirkan.
Unsur pembentuk kalimat kelompok ketiga disebut konstituen. Konstituen juga merupakan unsur pembentuk kalimat yang menyangkut lapis segmental. Konstituen adalah unsur berjenis lapis segmental manapun yang langsung membentuk kalimat (Sudaryanto (peny.), 1991:60) atau satuan-satuan kebahasaan yang membentuk konstruksi kalimat (Alwi dkk., 1993:352). Contohnya sebagai berikut. (7) Pemerintah Korea Selatan telah membentuk satuan tugas khusus sejak tahun 1988. Kalimat (7) terdiri atas empat konstituen, yaitu (a) Pemerintah Korea Selatan, (b) telah membentuk, (c) satuan tugas khusus, dan (d) sejak tahun 1988. Dari keempat konstituen itu, konstituen (d) merupakan konstituen bukan inti. Alasannya adalah penghilangan konstituen (a), (b), dan (c) akan mengakibatkan ketidakberterimaan bagian sisanya, sedangkan penghilangan konstituen (d) tidak merusak keberterimaan bagian sisanya. Perhatikanlah (7a)-(7d) berikut ini. (7a) *Telah membentuk satuan tugas khusus sejak tahun 1988. (7b) *Pemerintah Korea Selatan Satuan tugas khusus sejak tahun 1988. (7c) *Pemerintah Korea Selatan telah membentuk sejak tahun 1988.
7
(7d) Pemerintah Korea Selatan telah membentuk satuan tugas khusus. Dari ketiga kelompok unsur pembentuk kalimat, dalam lingkup konstituenlah dikenal aspek kekategorian, kefungsian, dan keperanan yang semuanya sintaktis (Sudaryanto (peny.), 1991:60). Sementara itu, dalam konsep bagian inti dan bagian bukan inti dimungkinkan adanya beberapa konstituen pada masing-masing bagian itu (lih. Sudaryanto (peny.), 1991:60). Contohnya sebagai berikut. (8) Besok pagi, kira-kira pukul 10.00, saya akan menghadap Bapak. Kalimat (8) tersebut terdiri atas dua bagian, yaitu bagian bukan inti dan bagian inti. Bagian bukan intinya terdiri atas dua konsituen, yaitu besok pagi dan kira-kira pukul 10.00, sedangkan bagian intinya terdiri atas tiga konstituen, yaitu saya, akan menghadap, dan bapak. 4. Jenis-jenis Kalimat Kalimat dapat dikelompokkan berdasarkan empat kriteria, yaitu menurut (1) jumlah klausa pembentuknya, (2) bentuk sintaktisnya, (3) kelengkapan unsur-unsur pembentuknya, (4) pola susunannya, dan (5) ada tidaknya unsur klausanya. Berikut ini masing-masing dipaparkan. 4.1 Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk Kalimat dapat dibedakan menurut jumlah klausa pembentuknya menjadi dua jenis, yaitu kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Berikut ini kedua jenis kalimat itu dipaparkan. 4.1.1 Kalimat Tunggal Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa (lih. Alwi dkk., 1993:380). Istilah lain untuk kalimat tunggal adalah kalimat sederhana (lih. Ramlan, 1987:49). Perhatikanlah contoh berikut ini. (9) Karman lahir di Pegaten pada tahun 1935 (Tohari, 2005:54). (10) Karman mengalihkan pokok pembicaraan dengan sangat hati-hati (Tohari, 2005:167). 8
Contoh (9) dan (10) tersebut merupakan kalimat tunggal atau kalimat sederhana karena masing-masing hanya terdiri atas satu klausa. Kalimat (9) berunsurkan klausa Karman lahir di Pegaten pada tahun 1935 dan kalimat (10) berunsur klausa Karman mengalihkan pokok pembicaraan dengan sangat hati-hati. Pembentuk kalimat tunggal atau kalimat sederhana adalah klausa bebas (Kridalaksana, 2008:106). Klausa bebas adalah klausa yang secara potensial dapat menjadi kalimat bebas (Kridalaksana, 2008:124). Kalimat bebas adalah kalimat yang pemahamannya tidak memerlukan konteks lain atau konteks tambahan (lih. Kridalaksana, 2008:103). Bandingkan kedua contoh berikut. (11) Marni membersihkan meja (Tohari, 2005:181). (12) Tengkuknya terasa dingin (Tohari, 2005:160). Bila kalimat (11) dan (12) dibandingkan, akan dapat diketahui bahwa pemahaman untuk kalimat (11) tidak memerlukan konteks tambahan, sedangkan pemahaman untuk kalimat (12) sangat memerlukan konteks tambahan. Kalimat (12) tersebut akan lebih mudah dipahami bila diwujudkan dalam bentuk kalimat (12a) berikut. (12a) Karman tiba-tiba diamuk oleh rasa takut. Tengkuknya terasa dingin. Kalimat tunggal atau kalimat sederhana dapat berupa kalimat dasar. Kalimat dasar adalah kalimat yang strukturnya sederhana (Kridalaksana, 2008:104). Ciri kalimat dasar itu adalah (i) terdiri atas satu klausa, (ii) unsur-unsurnya lengkap, (iii) susunan unsur-unsurnya menurut urutan yang paling umum, dan (iv) tidak mengandung pertanyaan atau pengingkaran (Alwi dkk., 1993:358). Kalimat dasar tersebut dipakai untuk contoh melatih pola-pola yang lebih ruwet (Kridalaksna, 2008:104). Contohnya sebagai berikut. (13) Kereta meluncur dengan kecepatan tinggi (Dini, 1989: 226). Contoh (13) tersebut merupakan kalimat tunggal yang berbentuk kalimat dasar karena memenuhi ciri (i)-(iv). Sebaliknya, contoh (14) ber9
ikut bukan kalimat tunggal yang berbentuk kalimat dasar karena tidak memenuhi ciri (iv). (14) Mas Wagimin, kunci kamar atas di mana? Kalimat tunggal atau kalimat sederhana dapat pula berupa kalimat inti, yaitu kalimat yang hanya terdiri atas dua unsur inti (Soegiarta, 1984:61). Contohnya sebagai berikut. (15) Badu tidur. (16) Siti Munazaroh pandai. Kedua contoh tersebut merupakan kalimat tunggal berbentuk kalimat inti karena masing-masing unsur pembentuknya bersifat inti. Artinya, masing-masing unsur pembentuknya sudah tidak dapat dipilah-pilah lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil lagi karena masing-masing hanya terdiri atas satu unsur, yaitu unsur Badu dan tidur untuk kalimat (15) serta Siti Munazaroh dan pandai untuk kalimat (16). 4.1.2 Kalimat Majemuk Berbeda dengan kalimat tunggal, kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih. Istilah lain untuk penyebutan kalimat majemuk adalah kalimat luas. Perhatikanlah contoh berikut ini. (17) Kalau kita perhatikan pertumbuhan kepariwisataan dunia dalam periode tahun 1990-1991, hampir setiap kawasan mengalami pertumbuhan yang cukup berarti. (18) Aku mengambil kertas kosong dan menulis sebuah wasiat mengenai pemindahan hak atas rumah kepadanya. Contoh (17) dan (18) tersebut berjenis kalimat majemuk karena masing-masing terdiri atas dua klausa. Kalimat (17) terdiri atas klausa kita perhatikan pertumbuhan kepariwisataan dunia dalam periode tahun 1990-1991 dan hampir setiap kawasan mengalami pertumbuhan yang cukup berarti yang dihubungkan dengan konjungsi kalau. Kalimat (18) terdiri atas klausa aku mengambil kertas dan menulis sebuah wasiat mengenai pemindahan hak atas rumah kepadanya yang dihubungkan dengan konjungsi dan. 10
4.1.2.1 Hubungan Eksplisit dan Implisit dalam Kalimat Majemuk Hubungan antarklausa dalam kalimat majemuk ada yang dinyatakan secara eksplisit dan ada yang hanya secara implisit. Hubungan eksplisit adalah hubungan antarklausa yang dinyatakan dengan kata penghubung. Contohnya sebagai berikut. (19) Gaji saya belum tentu dapat untuk menutup biaya hidup sehari-hari jika saya keluar dari rumah majikan teman saya. Contoh (19) tersebut merupakan contoh kalimat majemuk yang hubungan antarklausanya dinyatakan secara eksplisit dengan kata penghubung, yaitu jika. Dalam contoh (19), kata penghubung jika tersebut menghubungkan dua klausa, yaitu klausa gaji saya belum tentu dapat untuk menutup biaya hidup sehari-hari dan klausa saya keluar dari rumah majikan teman saya. Hubungan antarklausa secara implisit menyangkut hubungan antarklausa yang tidak dinyatakan dengan kata penghubung. Hubungan antarklausa itu, secara ortografis hanya dinyatakan dengan tanda koma (,) atau titik koma (;). Contohnya sebagai berikut. (20) Saya menerima berpuluh-puluh pegawai wanita, menempatkan mereka di bagian-bagian yang saya kira sesuai dengan kepribadian masing-masing. (21) Malam makin larut; pekerjaan belum selesai juga. Kalimat (20) dan (21) tersebut merupakan contoh kalimat majemuk yang hubungan antarklausanya hanya dinyatakan secara implisit. Secara ortografis, hubungan antarklausa dalam kalimat majemuk (20) hanya ditunjukkan dengan tanda koma (,), sedangkan dalam kalimat majemuk (21) dinyatakan dengan tanda titik koma (;). 4.1.2.2 Jenis-jenis Kalimat Majemuk Kalimat majemuk atau kalimat luas dapat dipilah menjadi dua kelompok, yaitu kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat. Berikut ini kedua jenis kalimat majemuk tersebut dipaparkan secara berkonflasi.
11
a. Kalimat Majemuk Setara Kalimat majemuk setara adalah kalimat majemuk yang klausaklausa pembentuknya mempunyai kedudukan yang sama atau setara. Kalimat majemuk setara sering disebut pula kalimat luas yang setara (Ramlan, 1987:52). Dalam pembentukan kalimat majemuk setara, klausa yang satu tidak merupakan bagian dari klausa lainnya; masing-masing berdiri sendiri sebagai klausa yang setara, yaitu sebagai klausa inti semua (Ramlan, 1987:52). Perhatikanlah contoh berikut ini. (22) Petugas piket melihat daftar dan langsung menyebutkan nama seorang prajurit yang bernama Kim Pong Ho. Contoh (22) tersebut merupakan kalimat majemuk atau kalimat luas yang terdiri atas dua klausa, yaitu klausa (22a)a. dan (22a)b., yang dihubungkan dengan kata penghubung atau kata sambung dan. (22a) a. petugas piket melihat daftar b. (petugas) langsung menyebutkan nama seorang prajurit yang bernama Kim Pong Ho Kedua klausa tersebut berkedudukan sama atau setara, artinya klausa yang satu dapat dipahami tanpa harus melibatkan klausa yang lain. Oleh karena itu, contoh (22) tersebut dapat disebut kalimat majemuk setara atau kalimat luas yang setara. Dalam pembentukan kalimat majemuk setara, klausa yang satu dihubungkan dengan klausa yang lain dengan kata penghubung yang menyatakan hubungan setara. Kata penghubungan yang setara itu, antara lain, adalah dan, dan lagi, lagi pula, serta, lalu, kemudian, atau, tetapi, tapi, sedangkan, melainkan, bahkan, apalagi, dan malahan (lih. Ramlan, 1987:52). Contohnya sebagai berikut. (23) Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa hari. (24) Masyarakat Sipirok amat segan dan lagi hormat pada keluarga itu. (25) Acaranya makan terus, makanannya berganti-ganti, lagi pula banyak sekali kalau pesan. (26) Ia menjerit serta membanting-bantingkan kakinya ke lantai. (27) Ia pura-pura sakit kakinya, lalu menculik Nona di rumah 12
(28)
(29) (30) (31)
(32)
(33) (34) (35)
(36)
seorang perempuan tua yang jarang dikunjungi orang. Ida Putu Mas menikah dengan seorang perempuan kasta Brahmana, kemudian mempunyai anak laki-laki yang diberi nama Ida Wayan Ompog. I da Gde Swamba berjanji akan mengurus atau menghidupi anak itu. Ida Wayan Ompog sangat kecewa, tetapi lama-kelamaan ia dapat mengatasinya. Hamid sangat senang hatinya mendengar kabar itu, tapi ia harus menyelesaikan ibadah hajinya yang tinggal beberapa hari. Ayahnya telah meninggal dunia, sedangkan harta kekayaannya yang tidak tidak terlalu banyak itu habis untuk biaya hidup. Ayahnya bukan membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bermarga Siregar. Semangat mereka mendadak padam, bahkan mereka menjadi malu. Kedatangan Luh Sukreni itu justru membuat Men Negara dan Ni Negeri iri hati, apalagi Sukreni yang lebih cantik itu menanyakan Ida Gde Swamba. Dengan ramah dan senyum manis, ibu dan anak itu menerima Luh Sukreni, malahan mereka memintanya untuk bermalam di warungnya sampai Ida Gde tiba.
b. Kalimat Majemuk Bertingkat Kalimat majemuk bertingkat dapat disebut pula kalimat luas yang tidak setara. Kalimat majemuk bertingkat adalah kalimat majemuk yang klausa-klausa pembentuknya berkedudukan tidak sama, tidak sederajat, atau tidak setara. Salah satu klausanya merupakan bagian, bawahan, atau terikat pada klausa lainnya. Jadi, kalimat majemuk bertingkat terdiri atas dua jenis klausa, yaitu klausa bebas atau klausa utama dan klausa terikat, klausa bawahan, atau klausa subordinatif. Perhatikanlah contoh berikut ini. (37) Malam semakin gelap ketika ia mengelilingi sebuah bukit. Contoh (37) tersebut merupakan kalimat majemuk yang terdiri atas dua klausa, yaitu: 13
(37a) a. malam semakin gelap b. (ketika) ia mengelilingi sebuah bukit Contoh tersebut merupakan kalimat majemuk bertingkat karena satu klausanya, yaitu ketika ia mengelilingi sebuah bukit, merupakan bagian dari klausa yang lain, yaitu malam semakin gelap. Dalam pembentukan kalimat majemuk bertingkat, hubungan antara klausa yang satu dengan klausa yang lain dinyatakan dengan kata penghubung bertingkat atau tidak setara. Kata penghubung tersebut, antara lain, adalah agar, supaya, andaikata, apabila, bila, asal, asalkan, bahwa, jika, jikalau, kalau, karena, sebab, ketika, tatkala, manakala, sambil, hingga, sehingga, kendatipun, meskipun, walaupun, sungguhpun, biarpun, setelah, sesudah, sejak, sewaktu, saat, dan selama. Contohnya sebagai berikut. (38) I Made Aseman sangat berharap agar Men Negara dipenjarakan di Singaraja. (39) Ni Negeri mengharapkan supaya anak gadisnya dapat memikat Ida Gde Swamba menjadi suaminya. (40) Andaikata ia tidak menepati janji, apa tindakanmu? (41) Ia sangat malu apabila kejadian itu diketahui oleh ayahnya. (42) Ia tak pernah meminta bayaran bila mengetahui pasiennya adalah orang tidak mampu. (43) Anda boleh pulang asal pekerjaan Anda beres. (44) Sitti Nurbaya bersedia menjadi istri Datuk Maringgih asalkan ayahnya tidak dipenjarakan. (45) I Gusti Made Tusan sendiri tidak mengenal bahwa musuh yang sedang dihadapinya adalah anaknya sendiri. (46) Saat ia menderita tekanan batin yang hebat, ayahnya meninggal. (47) Ketika pergi dari Karangasem, Ia meninggalkan seorang anak yang baru berusia delapan bulan. (48) Tatkala orang-orang di sekelilingnya meminta agar ia menceritakan pengalamannya, ia terpaksa berbohong. (49) Kakinya terkilir hingga ia harus menggunakan tongkat untuk berjalan. (50) Men Negara pandai memasak sehingga masakannya selalu disukai oleh para pekerja itu. 14
(51) Ia meninggalkan daerah itu karena suatu persoalan dengan suaminya. (51) Usaha dagang Men Negara menjadi maju sebab Ni Negeri yang berparas cantik itu dapat menarik para pekerja pemetik kepala untuk singgah di warungnya. (52) Setelah mendapat restu ibunya, pemuda itu pun segera meninggalkan Martapura. (53) Sesudah membaca surat itu, Yusuf memutuskan untuk kembali ke Jakarta. (54) Sementara hari-hari Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku. (55) Kendatipun Hamidah berada jauh dari Idrus, mereka masih menjalin hubungan lewat surat. (56) Meskipun Ida Made Bang telah memutuskan hubungan dentan Dayu Suci, ia terpaksa menjauhkan diri dari rumah pusaka orang tuanya. (57) Sungguhpun gadis itu sebenarnya sedang merindukan cinta kasih seseorang, Supomo dipandangnya sebagai bukan laki-laki idamannya. (58) Dengan berat hati, Hamid mengutarakan maksud itu walaupun yang sebenarnya ia sangat mencintai Zainab. (59) Betapapun hati Robert kecewa, ia tak dapat berbuat apaapa. (60) Mereka lebih suka hidup di rantau biarpun miskin. (61) Ia mencoba tetap bertahan di kota itu sambil mencari pekerjaan baru. (62) Sejak Khairil tinggal di rumah itu, tak bosan-bosannya Sutan Malakewi mempengaruhi Rukayat. (63) Sewaktu mereka bercakap-cakap, Sutan Ali Akbar secara tidak sengaja melihat cincin emas yang dipakai Yatim. (64) Selama menjadi heiho, ia dan pasukannya dikirim oleh Jepang ke Burma untuk mempertahankan kekuasaan Jepang. 4.2 Kalimat Deklaratif, Kalimat Imperatif, dan Kalimat Interogatif Kalimat dapat pula dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu kalimat deklaratif, kalimat imperatif, dan kalimat interogatif. Pengelompokan kalimat dengan hasil seperti itu merupakan pengelompok15
an kalimat berdasarkan bentuk sintaktis kalimat (lih. Alwi dkk., 1993:379) atau fungsi kalimat dalam hubungan situasi (lih. Ramlan, 1987:31). 4.2.1 Kalimat Deklaratif Kalimat deklaratif, yang disebut pula dengan istilah kalimat berita, adalah kalimat yang isinya berupa berita atau informasi bagi pendengar atau pembaca. Kalimat deklaratif tersebut berfungsi untuk memberitahukan sesuatu kepada orang lain sehingga tanggapan yang diharapkan berupa perhatian seperti tercermin pada pandangan mata yang menunjukkan adanya perhatian (Ramlan, 1987:32). Kalimat deklaratif itu mempunyai pola intonasi deklaratif. Pola intonasi deklaratif itu dilambangkan dengan tidak bertanda pada akhir kalimat (lih. Alwi dkk. 1993:398). Berikut ini diketengahkan contoh-contohnya. (65) Pasukan Recon menggunakan bangunan sekolah tua sebagai baraknya. (66) Salah seorang yang ada di kantor pusat divisi mengirimnya ke kantor pusat resimen. (67) Perempuan dari Ahyondong itu berada di kelompok barikade. 4.2.2 Kalimat Imperatif Kalimat imperatif, yang dikenal pula dengan istilah kalimat perintah atau kalimat suruh, adalah kalimat yang isinya mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan dari orang yang diajak berbicara (Ramlan, 1987:45). Kemunculan kalimat imperatif itu senantiasa melibatkan orang kedua sebagai orang yang diharuskan melakukan perintah, entah perintah itu positif (menyuruh), entah negatif (melarang) (Sudaryanto (peny.), 1991:139). Menurut Alwi dkk. (1993:399), kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri formal sebagai berikut. a. Kata-kata (penghalus) seperti tolong, coba, silakan, ayo, dan mari dapat mengawali kalimat, dan kata-kata itu dapat ditempeli partikel (penghalus) –lah. b. Subjek kalimat, berupa pronomina persona kedua atau pronomina pertama jamak inklusif, cenderung tidak hadir. c. Predikat kalimat tidak mengandung bentuk-bentuk seperti ingin, mau, mungkin, boleh, sudah, belum, sedang, atau akan. 16
d. Predikat yang berupa verba transitif tidak mendapat prefiks meng-. e. Predikat dapat dilekati partikel –lah. Berikut ini disajikan contoh-contoh kalimatnya. (68) Serahkanlah tangkai telepon itu kepada ibumu! (69) Carilah makanan di warung sebelah! (70) Dilarang buang sampah di sepanjang jalan ini! 4.2.3 Kalimat Interogatif Kalimat interogatif disebut pula dengan istilah kalimat tanya. Kalimat interogatif itu adalah kalimat yang secara formal ditandai oleh kehadiran kata tanya atau pronomina interogatif seperti apa(kah), siapa, berapa, kapan, bagaimana, mengapa, mana, di mana, ke mana, dan dari mana. Kalimat interogatif itu berfungsi untuk menanyakan sesuatu atau seseorang (bdk. Ramlan, 1987:33). Berikut ini disajikan contohcontohnya. (71) Apa(kah) ia mau menerima uang Kim Pong Ho ada di sini? (72) Siapa(kah) yang mau berenang di sungai untuk mengumpulkan kayu bakar? (73) Berapa tahun Anda bekerja di Korea Selatan? (74) Kapan akan dating ke rumah saya? (75) Bagaimana kabarmu hari ini? (76) Mengapa Bapak tak keluar kota? (77) Mana buku yang Anda pinjam? (78) Di mana Anda tinggal? (79) Anda akan pergi ke mana? (80) Anda berasal dari mana? 4.3 Kalimat Biasa dan Kalimat Inversi Manakala diperhatikan dari segi susunan unsur subjek dan predikat, kalimat dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kalimat biasa dan kalimat inversi. Kalimat biasa adalah kalimat yang subjeknya terletak di depan predikat, sedangkan yang predikatnya mendahului subjek disebut kalimat inversi. Kalimat inversi biasa pula disebut kalimat susun balik. Perhatikanlah contoh berikut ini. (81) Kami menerima karyawan baru untuk ditempatkan di luar Jakarta. 17
(82) Ada pencuri kemarin malam. Contoh (81) tersebut merupakan kalimat biasa karena subjeknya, yaitu kami, ada di depan predikat menerima, sedangkan (82) merupakan kalimat inversi atau susun balik karena subjeknya, yaitu pencuri, terletak di belakang predikat ada. 4.4 Kalimat Lengkap dan Kalimat Tak Lengkap Apabila dilihat dari segi kelengkapan unsur pembentuknya, kalimat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kalimat lengkap dan kalimat tak lengkap. Kalimat lengkap sering disebut pula dengan istilah kalimat mayor, sedangkan yang tak lengkap disebut dengan istilah kalimat minor. Kalimat lengkap adalah kalimat yang unsur-unsur pembentuknya, seperti subjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (Pl), dan keterangan (K), semua ada, sedangkan kalimat tak lengkap adalah kalimat yang salah satu unsurnya pembentuknya tidak ada. Perhatikanlah contoh berikut ini. (84) Kwansik meninggalkan ruangan dengan penuh kemenangan. (85) Tergesa-gesa amat, mau pergi ke mana? Contoh (84) tersebut merupakan kalimat lengkap karena semua unsur pembentuknya, yaitu S (Kwansik), P (meninggalkan), O (ruangan), dan K (dengan penuh keme-nangan), ada. Sebaliknya, contoh (85) merupakan kalimat tak lengkap karena satu unsur pembentuknya, yaitu S (kamu), tidak ada. 4.5 Kalimat Berklausa dan Kalimat Tak Berklausa Kalau didasarkan pada ada tidaknya klausa sebagai unsur pembentuk, kalimat dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kalimat berklausa dan kalimat tak berklausa. Kalimat berklausa adalah kalimat yang berunsurkan klausa, sedangkan yang tidak berunsur klausa disebut kalimat tak berklausa. Perhatikanlah contoh yang berikut ini. (86) Anjing-anjing di tempat tetangga menggonggong. (87) Sungguh!
18
Contoh (86) tersebut merupakan kalimat berklausa karena berunsurkan klausa anjing-anjing di tempat tetangga menggonggong, sedangkan contoh (87) merupakan kalimat tak berklausa karena satuan kebahasaan sungguh bukanlah klausa.
19
BAB III SINTAKSIS KLAUSAL 1. Pengantar Sintaksis klausal adalah sintaksis yang membahas klausa. Dalam sintaksis klausal, klausa tersebut diperlakukan sebagai bahan pembahasan, sedangkan objek yang dikaji adalah hubungan antarkonstituen pembentuk klausa. Berikut ini hubungan antarkonstituen tersebut dipaparkan. 2. Unsur Pembentuk Klausa: Pusat dan Pendamping Klausa dibentuk oleh konstituen-konstituen. Konstituen adalah unsur pembentuk atau pemadu (menurut istilah Samsuri, 1985:148217) klausa. Contohnya sebagai berikut. (89) Dari dalam kerimbunan beringin terdengar kicau burungburung. (Tohari, 2005:11) Secara intuitif, klausa (89) tersebut terdiri atas tiga unsur, yaitu (a) dari dalam kerimbunan beringin, (b) terdengar, dan (c) kicau burung-burung. Ketiga unsur itulah yang disebut konstituen. Di antara konstituen-konstituen pembentuk atau pemadu klausa terdapat satu konstituen yang mempunyai peranan atau kedudukan yang melebihi konstituen(-konstituen) yang lain karena selalu hadir di dalam klausa dan keselaluhadirannya itu menentukan pemunculan konstituen(-konstituen) yang lain. Konstituen yang memiliki peranan atau kedudukan yang lebih yang menentukan pemunculan konstituen yang lain itu disebut konstituen pusat, sedangkan konstituen(-konstituen) yang lain yang pemunculannya ditentukan oleh konstituen pusat dinamai konstituen pendamping (Alwi dkk., 1993: 363; Sudaryanto (peny.) 1991:61). Perhatikanlah contoh berikut ini. (90) Sumarto menyerahkan tangkai telepon itu kepada ibunya di lantai bawah. Klausa (90) tersebut terdiri atas empat konstituen, yaitu (a) Sumarto, (b) menyerahkan, (c) tangkai telepon itu, dan (d) kepada ibunya. Dalam konstruksi kluasa tersebut, konstituen (b) berperanan sebagai pusat, sedangkan yang lain, yaitu (a), (c), dan (d) berfungsi sebagai pendam20
ping. Konstituen (b) ditentukan sebagai pusat karena selalu hadir di dalam klausa, sedangkan konstituen (a), (c), dan (d) ditentukan sebagai pendamping karena hadir tidaknya di dalam klausa tergantung pada watak sintaktis atau semantis konstituen pusat. Demikianlah, berdasarkan contoh (90) tersebut, dapat diketahui bahwa unsur pembentuk langsung konstruksi klausa terdiri atas dua jenis, yaitu pusat dan pendamping (bdk. Alwi dkk., 1993:363). 3. Jenis-jenis Konstituen Pendamping Konstituen pendamping dibedakan menjadi dua, yaitu pendamping inti dan pendamping bukan inti. Pendamping inti adalah pendamping yang kehadirannya dituntut oleh konstituen pusat, sedangkan pendamping bukan inti adalah pendamping yang kehadirannya di dalam klausa tidak dituntut dan tidak bergantung pada konstituen pusat. Kehadiran pendamping inti di dalam klausa bersifat wajib, sedangkan pendamping bukan inti bersifat opsional atau manasuka. Contohnya sebagai berikut. (91) Dengan cara menekuk punggung dalam-dalam, Karman memberi hormat kepada Pak Sersan. (Tohari, 2005:10) Klausa (91) tersebut terdiri atas lima konstituen, yaitu (a) dengan cara menekuk punggung dalam-dalam, (b) Karman, (c) memberi, (d) hormat, dan (e) kepada Pak Sersan. Dari kelima konstituen tersebut, konstituen (c) merupakan konstituen pusat, sedangkan yang lain, yaitu konstituen (a), (b), (d), dan (e), merupakan konstituen pendamping. Dari keempat konstituen pendamping itu, konstituen (b), (d), dan (e) merupakan pendamping inti, sedangkan konstituen (a) merupakan pendamping bukan inti. Konstituen (a) merupakan pendamping bukan inti karena dapat dilesapkan tanpa merusak keberterimaan bagian sisanya (lihat (3a)). Sebaliknya, konstituen (b), (d), dan (e) dinyatakan sebagai pendamping inti karena jika dilesapkan, bagian sisanya akan tidak berterima (lihat (3b)). (91a) Karman memberi hormat kepada Pak Sersan. (91b)a. *Dengan cara menekuk punggung dalam-dalam, memberi hormat kepada Pak Sersan. b. *Dengan cara menekuk punggung dalam-dalam, Karman memberi kepada Pak Sersan. 21
c. *Dengan cara menekuk punggung dalam-dalam, Karman memberi hormat. 4. Hubungan Struktural Konstituen-konstituen Klausa Bila diperhatikan letaknya dalam klausa bersusun biasa, konstituen pendamping dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pendamping kiri dan pendamping kanan. Dalam klausa bersusun biasa, konstituen pendamping kiri diisi oleh fungsi Subjek (S), sedangkan yang letak kanan diisi oleh Objek (O), Pelengkap (Pl), dan Keterangan (K). Fungsi K tersebut terdiri atas dua jenis, yaitu K-wajib (yang dapat pula disebut K Aglutinatif) dan K tidak wajib. Fungsi K-wajib adalah fungsi K yang wajib hadir demi keutuhan struktur klausa, sedangkan K-tidak wajib adalah fungsi K yang hadirnya di dalam klausa tidak diperlukan oleh fungsi P. Contohnya sebagai berikut. (92) Untuk sementara, Karman tinggal di rumah saya. Klausa (92) tersebut berstruktur K1 (untuk sementara) – S (Karman) – P (tinggal) – K2 (di rumah saya). Fungsi K1 (untuk sementara) bersifat tidak wajib hadir sehingga dapat dihilangkan (lihat (92a), sedangkan fungsi K2 bersifat wajib karena bila dihilangkan akan merusak keberterimaan klausa sisanya (lihat (92b)). (92a) Karman tinggal di rumah saya. (92b) *Untuk sementara, Karman tinggal. Konstituen pendamping kanan berfungsi melengkapi verba Predikat (P) sehingga konstituen pendamping kanan, yaitu O, Pl, dan K-wajib, sering pula disebut konstituen pemerlengkapan (Alwi dkk., 1993:364). Fungsi P bersama pemerlengkapannya membuat predikasi terhadap S yang dapat pula mempunyai fungsi K tidak wajib (Alwi dkk., 1993:364). Hubungan struktural konstituen-konstituen klausa tersebut dapat digambarkan melalui empat contoh berikut. (93) Ni Sukreni kembali ke kampungnya. (94) Hamid meneruskan perjalanan ke Singapura. (95) Suratman menjadi guru di Pamekasan.
22
Klausa (93) – (95) memiliki struktur berbeda-beda. Berikut ini struktur klausa masing-masing digambarkan. Klausa (93)
Subjek
Predikasi
Keterangan
Predikat FN
FV
Ni Sukreni
Fprep
kembali
ke kampungnya
Klausa (94) Subjek
Predikasi Predikat
Keterangan
Pemerlengkapan Objek
FN Hamid
FV
FN
meneruskan
Fprep
perjalanan
ke Singapura
Klausa (95) Subjek
Predikasi Predikat
Keterangan
Pemerlengkapan Pelengkap
FN Suratman
FV
FN
menjadi
guru
Fprep di Pamekasan 23
5. Fungsi, Kategori, dan Peran Sintaksis Dalam sintaksis klausal dikenal tiga tataran analisis, yaitu analisis fungsi, kategori, dan peran sintaktis. Dalam hubungan ini, fungsi sintaktis merupakan tataran yang pertama, tertinggi, dan yang paling abstrak; kategori sintaktis merupakan tataran yang kedua dengan tingkat keabstrakan yang lebih rendah daripada fungsi sintaktis; dan peran sintaktis merupakan tataran yang ketiga dan terendah tingkat keabstrakannya jika dibandingkan dengan kedua tataran lainnya (Sudaryanto, 1983b:13). 5.1 Fungsi Sintaktis Fungsi sintaktis adalah “tempat kosong” di dalam struktur klausa. Sebagai tempat kosong, eksistensinya baru ada karena formulasi, yaitu sedang digunakan sebagai tempat oleh pengisinya (Sudaryanto, 1983a:274). Pengisi itu berupa bentuk (bahasa) yang tergolong dalam kategori tertentu dan mempunyai peran tertentu pula (lih. Alwi dkk., 1993:360). 5.1.1 Sifat Fungsi Sintaktis Fungsi sintaktis mempunyai tiga sifat pokok, yaitu formal, kosong, dan struktural (Sudaryanto (peny.), 1991:65-68). Fungsi sintaktis bersifat formal karena hanya ada secara formal dalam pemakaian semata-mata dan dalam kaitannya dengan pengisinya (Sudaryanto, 1983a:274). Fungsi sintaktis itu tidak terikat pada unsur semantis tertentu (asalkan menjadi salah satu peserta pada verba), tidak terikat juga pada unsur kategorial tertentu (asalkan nominal, bermarkah dengan preposisi atau bentuk kasus, atau tanpa pemarkahan tersebut) (Verhaar, 1996:167). Fungsi sintaktis bersifat kosong menurut isi semantisnya, artinya menurut peran sintaktis, dan kosong menurut bentuknya, atau secara kategorial (asalkan nominal) (Verhaar, 1996:173). Fungsi sintaktis dikatakan bersifat kosong sebab berstatus sebagai “tempat” yang harus diisi oleh pengisinya. Fungsi sintaktis itu merupakan kerangka formal belaka. Fungsi sintaktis bersifat struktural karena identitas fungsi sintaktis yang satu dapat ditentukan hanya dalam hubungannya dengan fungsi sintaktis yang lain yang sama-sama membentuk kerangka formal klausa. Hubungan antarfungsi sintaktis semacam itu merupakan struktur (Sudaryanto (peny.), 1991:67) 24
5.1.2 Jenis-jenis Fungsi Sintaktis Yang termasuk dalam tataran fungsi sintaktis meliputi Subjek (S), Predikat (P), Objek (O), Pelengkap (Pl), dan Keterangan (K). Dari kelima fungsi sintaktis itu, fungsi P dipandang sebagai fungsi yang paling penting karena keberadaannya di dalam struktur klausa berkedudukan sebagai pusat struktur fungsional klausa. Akibatnya, hadir tidaknya fungsi-fungsi sintaktis yang lain di dalam klausa bergantung pada watak fungsi P itu. Fungsi sintaktis yang mendampingi fungsi P terdiri atas dua jenis, yaitu fungsi inti dan fungsi bukan-inti atau fungsi luar-inti. Fungsi inti adalah fungsi yang kehadirannya di dalam klausa dituntut oleh fungsi P. Oleh karena itu, kehadiran fungsi inti di dalam klausa bersifat wajib. Jika kehadirannya di dalam klausa dihilangkan, klausa bagian sisanya akan tidak gramatikal atau berterima. Yang termasuk ke dalam fungsi inti adalah fungsi S, O, dan Pl. Fungsi bukan-inti atau fungsi luar-inti adalah fungsi yang kehadirannya di dalam klausa tidak dituntut oleh fungsi P. Kehadiran fungsi bukan-inti atau luar-inti tidak wajib atau manasuka, boleh hadir dan boleh juga tidak. Oleh karena itu, jika kehadirannya di dalam klausa dihilangkan, klausa bagian sisanya akan tetap berterima. Fungsi sintaktis yang termasuk ke dalam fungsi bukan-inti atau luar-inti adalah fungsi K. 5.1.2.1 Fungsi Predikat (P) Fungsi Predikat (P) adalah fungsi sintaktis yang berkedudukan sebagai pusat struktur klausa. Fungsi P dominan diisi oleh kategori verba. Contohnya sebagai berikut. (96) Ismail berdiri di pinggir jalan dari pagi. (Lubis, 1982:23) Konstituen berdiri dalam contoh (96) tersebut merupakan kategori verba yang mengisi fungsi P. Tentu saja, fungsi P dapat pula diisi oleh kategori lain, misalnya kategori adjektiva dan nomina. Contohnya sebagai berikut. (97) Orang semakin banyak. (Lubis, 1982:62) (98) Nyonya Hartowidigdo seorang wanita yang telah berumur 60 tahun. (Lubis, 1982:16) 25
Fungsi P dalam klausa (97) dan (98) tersebut tidak diisi oleh kategori verba, melainkan kategori adjektiva dan nomina, yaitu semakin banyak dalam klausa (96)) dan seorang wanita yang telah berumur 60 tahun (dalam klausa (98)). 5.1.2.2 Fungsi Subjek (S) Fungsi Subjek (S) adalah fungsi sintaktis yang memiliki ciri: (a) pengisinya tidak dapat dipertanyakan, (b) pengisinya tidak dapat diganti oleh pronomina interogatif siapa atau apa, dan (c) dalam klausa bahasa Indonesia susunan yang biasa, biasanya terletak di sebelah kiri fungsi P. Contohnya sebagai berikut. (99) Sejak di-PHK Slamet menjadi penganggur. Konstituen Slamet dalam contoh (99) tersebut mengisi fungsi S. Alasannya, konstituen tersebut tidak dapat dapat dipertanyakan karena konstituen Slamet sebagai jawaban pertanyaan tidak menduduki fungsi S, tetapi P. (lihat (99a)), tidak dapat diganti pronomina interogatif siapa (lihat (99b)), dan terletak di depan fungsi P. (99a)a. Pertanyaan: Sejak di-PHK siapa yang menjadi penganggur? b. Jawaban: (Sejak di-PHK) (K) - yang menjadi penganggur (S) - (adalah) Slamet (P). (99b) *Sejak di-PHK siapa menjadi penganggur? 5.1.2.3 Fungsi Objek (O) Fungsi Objek (O) adalah fungsi sintaktis yang kehadirannya di dalam klausa dituntut oleh fungsi P yang diisi verba transitif pada klausa aktif. Fungsi O itu memiliki ciri: (a) dalam klausa bahasa Indonesia senantiasa terletak langsung di belakang fungsi P, (b) pengisinya dapat diganti dengan pronomina persona terikat -nya, dan (c) dapat dipromosikan menjadi fungsi S dalam klausa pasif. Amatilah klausa berikut. (100) Di sini aku harus mengenakan mantol yang sangat tebal. Fungsi O dalam contoh (100) tersebut diisi oleh konstituen mantol yang sangat tebal. Ditentukan demikian karena konstituen tersebut 26
terletak langsung di belakang fungsi P, yaitu mengenakan, dapat diganti dengan pronomina terikat –nya (lihat (100a)), dan dapat menjadi S dalam kalimat bentuk pasifnya (lihat 100b)). (100a) Di sini aku harus mengenakannya. (100b) Di sini (K) – mantol yang sangat tebal (S) – harus aku kenakan (Pl-P) 5.1.2.4 Fungsi Pelengkap (Pl) Fungsi Pelengkap (Pl) adalah fungsi sintaktis yang memiliki ciri: (a) tidak dapat dipromosikan menjadi S dalam klausa pasif karena imbangan pasifnya tidak mungkin atau tidak mungkin menjadi fungsi S dalam klausa pasif karena fungsi P-nya justru sudah pasif dan fungsi S-nya pun sudah ada, (b) senantiasa terletak di belakang fungsi P, dan (c) tidak dapat diganti dengan pronomina terikat -nya kecuali dalam kombinasi dengan preposisi selain di, ke, dari, dan akan. Contohnya sebagai berikut. (101) Dia akan membelikan suaminya sebuah kain sembahyang. Konstituen sebuah kain sembahyang dalam contoh (8) tersebut mengisi fungsi Pl. Ditentukan demikian karena konstituen itu, bila struktur klausanya diubah, senantiasa terletak di belakang fungsi P. Pemindahan konstituen ke tempat lain akan mengakibatkan klausanya tidak berterima. (101a) Suaminya dibelikannya sebuah kain sembahyang. (101b) *Sebuah kain sembahyang suaminya dibelikannya. (101c) *Suaminya sebuah kain sembahyang dibelikannya. 5.1.2.5 Fungsi Keterangan (K) Fungsi Keterangan (K) adalah fungsi sintaktis yang letaknya di dalam klausa dapat dipindah-pindahkan. Contohnya adalah konstituen demi nusa dan bangsa dalam klausa berikut. (102) Mereka, para pahlawan, rela mati demi nusa dan bangsa. Terkait dengan fungsi K tersebut, perlu diperhatikan contoh berikut.
27
(103) (104) (105) (106)
Kami tinggal di Jakarta Selatan. Ia diam di kota itu (beberapa hari). Burung itu hinggap di jendela. Ia berada di luar negeri.
Dalam contoh (103) – (106) tersebut, fungsi K tidak dapat dilesapkan karena jika dilesapkan akan menyebabkan bagian sisanya tidak gramatikal atau tidak berterima. (103a) (104a) (105a) (106a)
*Kami tinggal. *Ia diam. *Burung itu hinggap. *Ia berada.
Ketidakberterimaan (103a) – (106a) tersebut terjadi bukan karena watak semantis verba yang mengisi fungsi P harus menghadirkan fungsi K, melainkan demi kelengkapan atau keutuhan klausa. Akibatnya, kehadiran fungsi K dalam keempat contoh tersebut bersifat wajib. Fungsi K yang wajib hadir demi kelengkapan atau keutuhan konstruksi klausa tersebut disebut K wajib (Alwi dkk., 1993:364) atau K aglutinatif (Sudaryanto (peny.), 1991:132). Dengan demikian, seperti disinggung pula pasal 4. di atas, terdapat dua fungsi K, yaitu K-tidak wajib dan K-wajib. 5.2 Kategori Sintaktis Kategori sintaktis adalah pengisi fungsi sintaktis menurut bentuknya (Verhaar, 1981:72). Kategori sintaktis tersebut mengacu pada apa yang sering disebut "kelas kata" atau “golongan kata”. Suatu kategori tidak memiliki sifat struktural seperti halnya fungsi-fungsi sintaktis (bdk. Verhaar, 1981:78). 5.2.1 Sifat Kategori Sintaktis Kategori sintaktis mempunyai dua sifat pokok, yaitu formal dan sistemik. Kategori sintaktis memiliki sifat formal karena merupakan aspek "bentuk" sintaktis sesuatu klausa (lih. Sudaryanto (peny.), 1991:65). Kategori sintaktis bersifat sistemik dalam pengertian bahwa pengenalan kategori tertentu tidak dalam hubungannya dengan kategori tertentu yang lain yang juga sama-sama sedang menjadi konstituen sintaktis klausa yang bersangkutan, melainkan di 28
dalam hubungan asosiatif antara bentuk yang sedang menjadi konstituen sintaktis klausa tertentu itu dengan bentuk yang lain yang tidak sedang menjadi konstituen sintaktis klausa yang bersangkutan (Sudaryanto (peny.)., 1991:65-66). 5.2.2 Jenis-jenis Kategori Sintaktis Satuan dasar klausa adalah kata. Oleh karena itu, kategori sintaktis lalu berarti kategori kata sebagai satuan dasar klausa (Sudaryanto (peny.), 1991:71). Berdasarkan perilaku sintaktis dan wujud morfemisnya, kategori dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi tujuh jenis, yaitu verba, adjektiva, nomina, pronomina, numeralia, adverbia, dan kata tugas (bdk. Sudaryanto (peny.), 1991:70-125; Ramlan, 1985; Kridalaksana, 1985; Alwi dkk., 1993:93-348). Berikut ini masing-masing jenis kategori itu dipaparkan. 5.2.2.1 Verba Verba adalah kategori yang dominan mengisi fungsi predikat (P) di dalam klausa. Dalam bahasa Indonesia, identitas verba dalam bahasa Indonesia dapat diketahui melalui ciri-ciri berikut. a. Secara morfemis, verba dalam bahasa Indonesia tidak dapat dilekati afiks verbal ter- yang bermakna ‘superlatif’ atau ‘paling’ (Alwi dkk., 1993:93). Oleh karena itu, bentuk seperti *tersuka, *termati, *terhidup, dan *terpergi, misalnya, tidak lazim dalam bahasa Indonesia. b. Secara sintaktis, verba dalam bahasa Indonesia dapat diikuti oleh frasa dengan sangat … (Ramlan, 1985:50), tetapi tidak dapat diperluas dengan kata-kata yang menyatakan makna ‘superlatif’ atau ‘paling’, seperti agak, sangat, dan sekali sehingga bentuk-bentuk seperti *agak pergi, *sangat pergi, *pergi sekali; *agak bekerja, *sangat bekerja, *bekerja sekali; dan *agak mati, *sangat mati, *mati sekali, misalnya, tidak dijumpai dalam bahasa Indonesia. c. Secara semantis, verba dalam bahasa Indonesia menyatakan makna tindakan (atau perbuatan), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas (Alwi dkk. 1993:93). 5.3.2.2 Adjektiva Adjektiva adalah kategori yang mengandung makna sifat atau kualitas. Dalam bahasa Indonesia, adjektiva itu memiliki ciri berikut. 29
a. Untuk yang berbentuk monomorfemis, secara morfemis dapat dilekati afiks ter- yang bermakna ‘superlatif’. Kata-kata seperti kecil, bahagia, dan panjang misalnya adalah adjektiva karena dapat ditambah dengan terkecil, terbahagia, dan terpanjang. b. Dominan memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina (lih. Alwi dkk. 1993:188). Katakata seperti kecil, bundar, dan panjang dalam anak kecil, meja bundar, dan kain panjang misalnya adalah adjektiva. c. Secara frasal dapat diperluas dengan kata-kata yang menyatakan makna ‘superlatif’, seperti agak, sangat, dan sekali. Kata-kata seperti bodoh, dekat, dan ganas misalnya adalah adjektiva karena dapat dijadikan agak bodoh, sangat bodoh, bodoh sekali; agak dekat, sangat dekat, dekat sekali; dan agak ganas, sangat ganas, ganas sekali. 5.2.2.3 Nomina Nomina adalah kategori yang berfungsi sebagai pengacu terhadap unsur kenyataan yang berupa manusia, binatang, tumbuhtumbuhan, benda, gagasan, pengertian, dan yang lain sejenisnya beserta dengan segala dimensi yang dimiliki dan dapat disebut sebagai kata (Sudaryanto (peny.), 1991:86). Menurut Alwi dkk. (1993:239), nomina dalam bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut. a. Dalam klausa yang fungsi P-nya verba, nomina cenderung menduduki fungsi S, O, atau Pl. Kata pemerintah dan perkembangan dalam klausa Pemerintah akan memantapkan perkembangan adalah nomina. Kata ayah dan pekerjaan dalam klausa Ayah mencdarikan saya pekerjaan adalah nomina. b. Nomina tidak dapat diingkarkan dengan kata tidak. Kata pengingkarnya ialah bukan. Untuk mengingkarkan klausa Ayah saya guru harus dipakai kata bukan: Ayah saya bukan guru. c. Nomina umumnya dapat diikuti oleh adjektiva, baik langsung maupun dengan diantarai oleh kata yang. Dengan demikian, buku dan rumah adalah nomina karena dapat bergabung dengan adjektiva menjadi buku baru, rumah mewah atau buku yang baru dan rumah yang mewah. 5.2.2.4 Pronomina Pronomina (atau kata ganti) adalah kata yang dipakai untuk mengacu kepada nomina lain (Alwi dkk., 1993:273). Dalam bahasa Indonesia, terdapat tiga jenis pronomina, yaitu pronomina persona, 30
penunjuk (atau demonstratif), dan tanya (atau interogatif). Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu orang (Alwi dkk., 1993:274). Berdasarkan arah pengacuan, pronomina persona dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu pronomina persona pertama, kedua, dan ketiga. Pronomina persona mengacu pada diri sendiri, pronomina persona kedua mengacu kepada orang yang diajak bicara, dan pronomina persona ketiga mengacu kepada orang yang dibicarakan (Alwi dkk., 1993:274). Dengan memperhatikan pendapat Kaswanti Purwo (1982:97) dan Alwi dkk. (1993:274), berikut ini didaftar pronomina persona dalam bahasa Indonesia.
JENIS Pronomina Persona I Pronomina Persona II
Pronomina Persona III
Wujud Morfemis Bebas Tunggal Jamak aku, daku, kita, kami saya engkau, kau, kamu dikau, kamu, sekalian, anda kalian ia, dia, beliau mereka
Terikat ku-, -ku kau-, -mu
-nya
Pronomina penunjuk (atau demonstratif) berkaitan dengan penunjukan substantif, tempat, dan tanya (bdk. Alwi dkk., 1993:287; Sudaryanto (peny.), 1991:94). Pronomina penunjuk substantif adalah pronomina penunjuk yang mengacu ke acuan substansi tertentu. Dalam bahasa Indonesia, substansi tersebut terdiri atas dua jenis, yaitu dekat dan (agak) jauh dari pembicara. Pronomina penunjuk substantif dekat dinyatakan dengan kata ini dan yang (agak) jauh dengan kata itu. Pronomina penunjuk tempat (atau lokatif) berkaitan dengan tempat tertentu. Dalam bahasa Indonesia, pronominal penunjuk tempat ini terdiri atas tiga jenis, yaitu tempat yang dekat (dinyatakan dengan kata sini), agak jauh (dinyatakan dengan kata situ), dan jauh (dinyatakan dengan kata sana) dengan pembicara. Karena menunjuk tempat, pronominal ini sering digunakan dengan preposisi pengacu arah di, ke, atau dari sehingga terdapat di/ke/dari sini, di/ke/dari situ, dan di/ke/dari sana (Alwi dkk., 1993:291). Pronomina penunjuk tanya adalah pronomina yang dipakai sebagai pemarkah pertanyaan (Alwi dkk., 1993:292). Dalam bahasa 31
Indonesia, kata yang termasuk dalam kategori pronomina penunjuk tanya adalah siapa, apa, mana, mengapa, kenapa, kapan, di mana, ke mana, dari mana, bagaimana, berapa, dan keberapa (Alwi dkk., 1993:292). Dalam pemakaian, pronomina siapa berkorespondensi dengan persona, sedangkan yang lain berkorespondensi dengan penunjuk (atau demonstratif). 5.2.2.5 Numeralia Numeralia adalah kategori yang dipakai untuk menghitung banyaknya maujud (orang, binatang, atau barang) dan konsep (Alwi dkk. 1993:301). Dalam bahasa Indonesia, yang disebut numeralia adalah kata-kata seperti (a) satu, dua, tiga; (b) kesatu, kedua, ketiga; dan (c) semua, beberapa, seluruh. Yang (a) disebut numeralia kardinal tentu, yang (b) disebut numeralia ordinal, dan yang (c) disebut numeralia kardinal taktentu. 5.2.2.6 Adverbia Adverbia adalah kategori yang memberi keterangan pada verba, adjektiva, nomina predikatif (atau nomina yang menempati fungsi P), dan kalimat (lih. Sudaryanto (peny.), 1991:107). Dalam bahasa Indonesia, yang termasuk dalam kategori adverbia itu adalah katakata seperti sangat, hampir, kemarin, besok, sebaiknya, rupanya. 5.2.2.7 Kata Tugas Kata tugas adalah kata yang bertugas untuk memungkinkan kata atau satuan kebahasaan lain yang lebih besar daripada kata berperanan di dalam kalimat (lih. Sudaryanto (peny.), 1991:73). Berdasarkan pranannya di dalam frasa atau kalimat, kata tugas dapat dibagi menjadi enam jenis, yaitu preposisi, konjungsi, kata bantu predikat, artikel, partikel, dan interjeksi. Preposisi adalah kata yang berfungsi sebagai unsur pembentuk frasa preposisional. Dalam bahasa Indonesia, yang termasuk dalam preposisi itu adalah di, ke, dari, terhadap, untuk, tentang, antar, antara, bagaikan, seperti, tanpa, dengan, oleh, daripada, sebagai, selama, sejak, selain, bagi, secara, mengingat, menjelang, menuju, menurut, akan, dan sebagainya. Konjungsi adalah kata yang berfungsi menghubungkan dua satuan kebahasaan. Satuan kebahasaan yang dihubungkan dapat berupa klausa, frasa, dan kata. Dalam bahasa Indonesia, yang termasuk 32
dalam konjungsi adalah dan, serta, tetapi, kalau, sedangkan, bila, jika, apabila, meskipun, padahal, agar, kendati, bahwa, andaikan, asalkan, lantaran, karena, sebab, sambil, dan sebagainya. Kata bantu predikat adalah kata tugas yang terikat pada verba pengisi fungsi P. Kata jenis ini dapat menunjukkan sikap pembicara terhadap peristiwa atau kejadian yang diungkapkan, dapat menunjukkan segi keberlangsungan tindakan atyau peristiwa yang diungkapkan (sudah atau belum atau sedang berlangsung), dan dapat pula menunjukkan keberulangan suatu tindakan atau peristiwa (Sudaryanto (peny.), 1991:122). Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang termasuk dalam kata bantu predikat adalah kata-kata seperti (a) harus, ingin, tidak, agak; (b) belum, akan, sudah; dan (c) sering, terkadang, kadang-kadang. Kata-kata yang (a) disebut modalitas, yang (b) disebut aspek, dan yang (c) disebut pengungkap keseringan (lih. Sudaryanto (peny.), 1993:122). Artikel adalah kata yang membatasi makna jumlah nomina (Alwi dkk. 1993:340). Dalam bahasa Indonesia, yang termasuk ke dalam artikel itu misalnya sang, si, dan para. Partikel adalah kata yang secara bentuk menyerupai afiks, tetapi perilakunya bebas sebagaimana kata pada umumnya (Sudaryanto (peny.), 1991:121). Partikel dalam bahasa Indonesia itu, missalnya, adalah -lah, -kah, -tah, dan -pun. 6.3 Peran Sintaktis Peran sintaktis adalah pengisi fungsi menurut makna. Peran sintaktis itu mengacu pada aspek makna konstituen sintaktis klausa (Sudaryanto (peny.), 1991:65). 6.3.1 Sifat Peran Sintaktis Peran mempunyai dua sifat pokok, yaitu semantis dan relasional-struktural. Peran sintaktis dikatakan bersifat semantis karena semata-mata merupakan aspek makna. Peran sintaktis adalah aspek "jiwa" sintaktis sesuatu klausa (lih. Sudaryanto (peny.), 1991:67). Peran bersifat relasional-struktural. Yang dimaksudkan adalah pengenalan terhadap kejatian sesuatu peran harus dalam kaitannya dengan kejatian peran yang lain dalam kalimat yang sama (Sudaryanto (peny.), 1991:67). Sifat itu mengisyaratkan bahwa adanya peran yang satu tidak dapat dibayangkan tanpa adanya peran yang lain. Peran pelaku, misalnya, tidak berarti tanpa adanya peran aktif 33
dan sebaliknya peran aktif tidak berarti tanpa adanya peran pelaku. Pengenalan dengan cara demikian menimbulkan akibat bahwa peran juga bersifat struktural; artinya, hubungan antarperan semacam itu membentuk struktur. Struktur yang dibangun oleh peranperan itu disebut “struktur peran”. 6.3.2 Jenis-jenis Peran Sintaktis Ada bermacam-macam peran sintaktis. Macam-macam yang dimaksud dapat dibedakan berdasarkan tugas peran sintaktis dalam mengisi fungsi sintaktis P, S, O, Pl, dan K. 6.3.2.1 Peran Sintaktis Fungsi P Dengan mengikuti Ramlan (1987:107-112), peran-peran sintaktis pengisi fungsi P adalah perbuatan, keadaan, keberadaan, pengenal, jumlah, dan pemerolehan. Peran perbuatan berhubungan dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Peran perbuatan ini memiliki ciri ”dapat menjawab pertanyaan sedang mengapa bagi perbuatan yang aktif dan diapakan bagi perbuatan yang pasif (Ramlan, 1987:107). Contohnya sebagai berikut. (107) Tomiko membawa aku berkeliling toko pusat perbelanjaan. (108) Apartemen yang kecil itu dilengkapi dengan kamar kecil dan dapur. Verba membawa dan dilengkapi dalam contoh (107) dan (108) tersebut menyatakan peran perbuatan, yaitu perbuatan aktif untuk membawa karena dapat menjawab pertanyaan sedang mengapa (17a) dan perbuatan pasif untuk dilengkapi karena dapat menjawab pertanyaan diapakan (108a). (107a)a. Tomiko sedang mengapa? b. (Tomiko) sedang membawa aku berkeliling toko pusat perbelanjaan. (108b) a. Apartemen yang kecil itu diapakan? b. (Apartemen yang kecil itu) dilengkapi dengan kamar kecil dan dapur.
34
Peran keadaan adalah peran yang menyatakan ”keadaan”. Peran ini dapat menjawab pertanyaan bagaimana (Ramlan, 1987:108-109). Contohnya sebagai berikut. (109) Tomiko mengantuk. Verba mengantuk dalam contoh (109) tersebut menyatakan peran keadaan karena dapat menjawab pertanyaan bagaimana berikut. (109a) a. Bagaimana Tomiko? b. (Tomiko) mengantuk. Peran keberadaan adalah peran yang dapat menjawab pertanyaan di mana (Ramlan, 1987:110). Contohnya sebagai berikut. (110) Tomiko tinggal di Tokyo. Verba tinggal dalam contoh (110) tersebut menyatakan peran ”keberadaan” karena dapat menjawab pertanyaan berikut. (110a) a. Di mana Tomiko? b. (Tomiko) tinggal di Tokyo. Peran jumlah adalah peran yang menyatakan jumlah. Peran ini dapat menjawab pertanyaan berapa (Ramlan, 1987:111). Contohnya sebagai berikut. (111) Ayam peliharaan orang itu dua puluh ekor. Numeralia dua puluh dalam contoh (111) tersebut menjatakan peran jumlah karena dapat menjawab pertanyaan berikut. (111a) a. Berapa ayam peliharaan orang itu? b. Dua puluh ekor. Peran pemerolehan adalah peran yang menyatakan peruntukan, kegunaan, atau manfaat dari apa yang dinyatakan pada kata yang menjadi objeknya (Ramlan, 1987:112). Contohnya sebagai berikut. (112) Ia sedang membuatkan adiknya baju. 35
Verba membuatkan dalam contoh (112) tersebut menyatakan peran pemerolehan karena dalam membentuk klausa menuntut adanya peran yang menyatakan peruntukan, yaitu adiknya. Dalam contoh tersebut adiknya memperoleh perbuatan “membuatkan baju” yang dilakukan oleh pelaku, yaitu ia. 6.3.2.2 Peran Sintaktis Fungsi S, O, Pl, dan K Dengan mengikuti Alwi dkk. (1993:374-377), peran sintaktis yang mendampingi peran pengisi fungsi P terdiri atas sembilan jenis, yaitu pelaku, sasaran, pengalam, peruntung, alat, tempat, waktu, atribut, dan hasil. Pelaku adalah peran sintaktis yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dalam fungsi P. Peran pelaku hadir sebagai pengisi fungsi S dalam klausa yang fungsi P-nya diisi oleh peran perbuatan aktif (contoh (113)) dan K atau Pl dalam klausa yang fungsi P-nya diisi oleh peran perbuatan pasif (contoh (114) dan (115)). (113) Pembuat roti itu membeli secentong besar jagung goreng. S: Pelaku (114) Tempat air itu dilindungi oleh rumah-rumahan. K: Pelaku (115) Di muka rumah kulihat seorang ibu siap untuk Pl: Pelaku bepergian. Peran sasaran adalah peran yang dikenai perbuatan yang dinyatakan dalam fungsi P. Peran sasaran hadir sebagai pengisi fungsi O dalam klausa verbal ekatransitif (contoh (116)), Pl dalam klausa dwitransitif (contoh (117)), dan S dalam klausa verbal pasif (contoh (118)). (116) Pembuat roti itu membeli secentong besar jagung goreng. O: Sasaran (117) Ia sedang membuatkan adiknya baju. Pl: Sasaran (118) Secentong besar jagung goreng dibeli oleh pembuat roti itu. S: Sasaran
36
Peran pengalam adalah peran yang mengalami keadaan atau peristiwa yang dinyatakan dalam fungsi P. Peran pengalam hadir sebagai pengisi fungsi S dalam klausa yang fungsi P-nya berkategori adjektiva (contoh (119)) atau verba intransitif yang menyatakan keadaan (contoh (120)). (119) Adikku sakit. S: Pengalam (120) Bayi di gendongan itu hanya kelihatan sebagian S: Pengalam kepalanya. Peran peruntung, yang juga disebut peran benefaktif, adalah peran yang memperoleh peruntukan atau manfaat dari peristiwa atau perbuatan yang dinyatakan dalam fungsi P (lih. Alwi dkk., 1993:376). Peran peruntung hadir sebagai pengisi fungsi O (contoh (121)) atau Pl (contoh (122)) dalam klausa verbal dwitransitif, S dalam klausa pasif (contoh (123)) atau klausa dengan fungsi P yang diisi oleh verba jenis menerima atau mempunyai (contoh (124)). (121)
Andri membelikan saya pisang goreng. O: Peruntung (122) Ibu memberikan uang kepada adik saya. Pl: Peruntung (123) Saya dibelikan pisang goreng oleh Andri. S: Peruntung (124) Aku belum memiliki dompet setebal yang kuidamkan. S: Peruntung
Peran alat adalah peran yang digunakan untuk melakukan perbuatan yang dinyatakan dalam fungsi P (lih. Alwi dkk., 1993:376). Contohnya sebagai berikut. (125) Mas Wagimin menanami kebun saya dengan pepaya. Pl: Alat (126) Annie memotong kue dengan pisau. K: Alat Peran tempat adalah peran yang menyatakan tempat (lih. Alwi dkk., 37
1993:376). Contohnya sebagai berikut. (127) Nakajima-san sering menghadiri pengambilan potret itu. O: Tempat (128) Sore nanti saya akan pergi ke Malang. K: Alat Peran waktu adalah peran yang menyatakan waktu (lih. Alwi dkk., 1993:377). Contohnya sebagai berikut. (129) Hampir sepuluh bulan aku tinggal di desa. K: Waktu Peran atribut adalah peran yang berfungsi menjelaskan unsur S atau O (Alwi dkk., 1993:377). Contohnya sebagai berikut. (130) Tomiko adalah pegawai kantor pos. Pl: Atribut (131) Seluruh warga mengangkat saya sebagai ketua RT. Pl: Atribut Peran hasil adalah peran yang menyatakan hasil dari perbuatan yang dinyatakan dalam fungsi P. Peran ini hadir dalam klausa yang fungsi P-nya menyatakan perbuatan-hasil. Contohnya sebagai berikut. (132) Saya ingin membuat rak buku. O: Hasil (133) Mainan itu terbuat dari janur. S: Hasil
38
BAB IV SINTAKSIS FRASA 1. Pengantar Sintaksis frasa mempelajari frasa. Dalam kajian sintaksis, frasa tersebut berperanan sebagai bahan kajian. Objek kajiannya adalah hubungan antarkonstituen di dalam frasa. Hubungan yang dimaksud meliputi hubungan fungsi, kategori, dan makna. Berikut ini ketiga hal itu dipaparkan. 2. Pengertian dan Sifat Frasa Frasa ditemukan dalam klausa. Frasa tersebut merupakan konstituen pembentuk klausa. Frasa adalah satuan kebahasaan yang berupa gabungan dari dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif (Kridalaksana dkk., 1985:115) atau tidak melampau batas fungsi (Ramlan, 1987:151). Perhatikanlah contoh berikut ini. (134) Kami semua ingin menikmati udara segar di sini. Klausa (134) tersebut terdiri atas empat konstituen, yaitu kami semua, ingin menikmati, udara segar, dan di sini. Keempat konstituen tersebut memiliki dua ciri. Pertama, masing-masing konstituen mengisi satu fungsi, yaitu konstituen kami semua mengisi fungsi S, ingin menikmati mengisi fungsi P, udara segar mengisi fungsi O, dan di sini mengisi fungsi K. Kedua, masing-masing konstituen terdiri atas dua unsur, yaitu kami dan semua untuk konsituen kami semua, ingin dan menikmati untuk konstituen ingin menikmati, udara dan segar untuk konstituen udara segar, dan di dan sini untuk konstituen di sini. Jadi, satuan kebahasaan yang berupa gabungan kata yang mengisi satu fungsi seperti dalam contoh (1) tersebutlah yang disebut frasa. Menurut Ramlan (1987:152), frasa memiliki dua sifat. Pertama, frasa merupakan satuan kebahasaan yang terdiri atas dua kata atau lebih. Jadi, frasa terdiri atas dua unsur. Kedua unsur itu dapat berupa kata dengan kata (misalnya ruang makan), kata dengan frasa (misalnya gedung sekolah itu), dan frasa dengan frasa (misalnya baju baru anak itu). Kedua, frasa merupakan satuan kebahasaan yang tidak melebihi batas fungsi konstituen klausa, maksudnya frasa selalu terdapat dalam satu fungsi konstituen klausa, yaitu S, P, O, Pl, atau K. 39
3. Frasa Eksosentris dan Frasa Endosentris Frasa dapat dibedakan berdasarkan perilaku sintaktis unsurunsur pembentuknya menjadi dua jenis, yaitu frasa eksosentris dan frasa endosentris. Frasa eksosentris adalah frasa yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan semua unsurnya (Ramlan, 1987: 155). Contohnya sebagai berikut. (135) Aku berjalan di trotoar. Dalam klausa (135) tersebut terdapat frasa di trotoar. Frasa di trotoir itulah yang disebut frasa eksosentris karena dalam pemakaian tidak mempunyai distribusi yang sama dengan semua unsurnya. Jadi, dalam kenyataan berbahasa tidak dijumpai bentuk berikut. (135a) a. *Aku berjalan di. b. *Aku berjalan trotoar. Frasa eksosentris dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu frasa eksosentris direktif dan frasa eksosentris nondirektif. Frasa eksosentris direktif adalah frasa eksosentris yang berperangkai preposisi atau kata depan (Kridalaksana, 1988:81). Frasa eksosentris direktif ini disebut pula frasa preposisional. Contohnya sebagai berikut. (136) a. b. c. d. e.
di dapur ke pasar demi orang banyak dengan pisau dari sekolah
Frasa eksosentris nondirektif adalah frasa eksosentris yang terjadi dari partikel, seperti si, kaum, para, yang, dan sumbu yang berupa kata atau frasa yang mempunyai beberapa kategori (Kridalaksana, 1988:84). Contohnya sebagai berikut. (137) a. b. c. d.
si miskin kaum cerdik pandai para muda yang besar
40
Frasa endosentris adalah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya, baik semua unsurnya maupun salah satu dari unsurnya (Ramlan, 1987:155). Contohnya sebagai berikut. (138) Api membakar semua ruangan pabrik. Semua ruangan pabrik dalam contoh (5) tersebut merupakan frasa endosentris karena mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya sehingga dijumpai bentuk-bentuk berikut. (138) a. b. c. d. e.
Api membakar semua ruangan. Api membakar ruangan pabrik. Api membakar pabrik. Api membakar semua. Api membakar ruangan.
Frasa endosentris dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu frasa endosentris atributif, frasa endosentris koordinatif, dan frasa endosentris apositif. Frasa endosentris koordinatif adalah frasa yang unsure-unsur pembentuknya setara. Kesetaraan unsur-unsur pembentuk tersebut dinyatakan dengan konjungsi dan atau atau (Ramlan, 1987:156). Contohnya sebagai berikut. (139) Slamet membuka seluruh lemari dan laci meja. (140) Aku tidak dapat melihat dengan jelas pengarang atau penulis novelnya. Frasa endosentris atributif adalah frasa endosentris yang unsur-unsur pembentuknya tidak setara sehingga unsur-unsurnya tidak mungkin dihubungkan dengan konjungsi dan atau atau (Ramlan, 1987:156). Dalam frasa ini terdapat unsur pusat (UP) dan atribut (Atr). Contohnya sebagai berikut. (141) Wewangian menghiasi kamar tidur Tjok. Frasa kamar tidur Tjok tersebut merupakan frasa endosentris atributif dengan kamar tidur sebagai UP dan Tjok sebagai Atr. Frasa endrosentris apositif adalah frasa endosentris yang tidak dapat dihubungkan dengan konjungsi dan atau atau, tetapi secara se41
mantis unsur yang satu sama dengan unsur lainnya (Ramlan, 1987: 157). Contohnya sebagai berikut. (142) Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, mengadakan kunjungan kerja ke Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Frasa Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan tersebut merupakan frasa endosentris apositif dengan Dahlan Iskan sebagai aposisi atau unsur yang sama dengan Menteri Badan usaha Milik Negara (BUMN). 4. Jenis-jenis Frasa Endosentris Frasa endosentris dapat dibedakan berdasarkan kategori unsur pusat (UP)-nya menjadi enam jenis, yaitu frasa verbal, frasa adjektival, frasa adverbial, frasa nominal, frasa pronominal, dan frasa numeralial. Frasa verbal adalah frasa endosentris berunsur pusat kategori verbal. Contohnya sebagai berikut. (143) a. b. c. d. e.
akan tidur sedang makan telah belajar belajar lagi harus pergi
Frasa adjektival adalah frasa endosentris yang UP-nya berupa kategori adjektival. Contohnya sebagai berikut. (144) a. b. c. d. e.
sangat lapar lapar sekali agak besar kurang manis sering pusing
Frasa adverbial adalah frasa yang UP-nya berupa kategori adverbial. Contohnya sebagai berikut. (145) a. tadi pagi b. kemarin malam 42
c. nanti malam d. sore nanti e. hampir malam Frasa nominal adalah frasa yang UP-nya berupa kategori nominal. Contohnya sebagai berikut. (144) a. b. c. d. e.
baju baru mahasiswa lama buku saya gedung pertemuan musik pop
Frasa pronominal adalah frasa yang terjadi dari pronominal sebagai UP dan kategori lain sebagai Atr. Contohnya sebagai berikut. (145) a. b. c. d.
mereka saja kita semua mereka berempat mereka ini
Frasa numeralial adalah frasa yang terjadi dari numeralia sebagai UP dan unsur lain sebagai Atr. Contohnya sebagai berikut. (146) a. b. c. d. e.
empat gelas lima bersaudara semua orang seluruh negeri ribuan orang
43
DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, dan Anton M. Moeliono. 1993. Tata bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Aronoff, Mark dan Janie Rees-Miller. 2003. The Handbook of Linguistics. Oxford: Blackwell Publishing Company. Baker, Mark C. 2003. “Syntax” dalam Aronoff dan Janie, 2003. Kaswanti Purwo, Bambang. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: ILDEP-Balai Pustaka. Kridalaksana, Harimurti. 1988. Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. ---------. 2003. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kridalaksana, Harimurti dkk. 1985. Tata bahasa deskriptif Bahasa Indonesia: Sintaksis. Jakarta: Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Matthews, P.H. 1981. Syntax. Cambridge: Cambridge University Press. Parera, J.D. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga. Ramlan, M. 1985. Ilmu Bahasa Indonesia: Penggolongan Kata. Yogyakarta: Andi Offset. ---------. 1987 (edisi I, 1981). Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: C.V. Karyono. ---------. 2001 (edisi I, 1967). Ilmu Bahasa Indonesia: Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: C.V. Karyono. Samsuri. 1985. Tata Kalimat Bahasa Indonesia. Jakarta: Sastra Hudaya. Simpson, J.M.Y. 1979. A. First Course in Linguistics. Edinburgh: Edinburgh University Press. Sudaryanto. 1983a (disertasi 1979 yang diterbitkan). Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia: Keselarasan Pola-Urutan. Jakarta: ILDEPDjambatan. ---------. 1983b. Linguistik: Esai tentang Bahasa dan Pengantar ke dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sudaryanto (peny.). 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Verhaar, J.W.M. 1981. Pengantar Lingguistik. Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ---------. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wojowasito. 1978. Ilmu Kalimat Strukturil. Bandung: Shinta Dharma. 44
DAFTAR SUMBER DATA Dini, Nh. 1989. Jalan bandungan. Jakarta: Djambatan. Februana, Ngarto. 1999. Lorong tanpa Cahaya. Yogyakarta: Media Pressindo. Lubis, Mochtar. 1982. Kuli Kontrak. Jakarta: Sinar Harapan. Tohari, Ahmad. 2005. Kubah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
45