Beautiful Mind Beatiful Life : I
BAGUS ITU !!! Ilustrasi : Setiap pagi sepasang suami isteri selalu menikmati sarapan pagi bersama di ruang makan rumahnya. Ruang makan itu berjendela besar dan menghadap ke sisi samping rumah tetangga. Pagi itu mereka melihat isteri tetangga sedang menjemur baju, dan berkatalah si isteri kepada suaminya, “Kasihan ya Pa, suami tetangga sebelah masak ia punya isteri kok tidak bisa mencuci dengan bersih, lihat tuh baju-bajunya sepertinya masih kotor”. “He-hem…,” si suami mengangguk sambil meneruskan makannya. Esok harinya seperti biasa mereka makan pagi sambil memandang ke luar dan melihat isteri tetangga sedang menjemur pakaian. Si isteri berkata kepada si suami, “Benar-benar malang deh suami tetangga kita, bisa-bisanya ia dapat isteri yang tidak bisa mencuci baju dengan benar”. Seperti hari kemarin, si suami hanya mengangguk-angguk setengah mengiyakan perkataan isterinya. Pada hari berikutnya suami isteri ini kembali menikmati makan paginya dan kembali si isteri berkomentar tentang isteri tetangga yang menurutnya tidak pandai mencuci. Seperti biasa pula si suami menanggapinya dengan ekspresi datar. Keesokan harinya saat suami isteri makan menikmati sarapan paginya, tiba-tiba si isteri berkata sambil tersenyum sinis, “Akhirnya istri tetangga kita bisa juga mencuci dengan benar, lihat tuh pa.. cuciannya kelihatan bersih. Mungkin ia baru dimarahi sama suaminya atau baru diajari cara mencuci yang benar sama ibunya, sehingga sekarang cuciannya tampak bersih”. Si suami menatap isterinya sambil berkata : “Oh… tadi pagi aku baru saja membersihkan kaca jendela kita, sehingga pemandangan diluar dapat kita lihat dengan lebih jelas ….”. Si istri, “Ehm..,ooh… ups…”. (diceritakan kembali dari Hingdranata Nikolay,2012)
Ketika kita mengalami kejadian yang selama ini kita pikir (anggap) buruk membuat kita berkata “ Aduh, mati aku!” atau “Sial,… !”. Setelah terpikir atau terucap kalimat semacam itu, apa yang terjadi ? Ternyata yang terjadi berikutnya adalah, “Aduh kok begini,… “, “Aduh kok begitu, ….”. Pikiran-pikiran buruk dengan segera akan menyergap dan memenuhi seluruh pikiran dan perasaan kita. Seketika itu kadar hormon kortisol (hormon yang memicu stress) akan meningkat. Kita menjadi „bete‟, bad mood , atau menjadi suntuk sehingga tidak bisa berpikir jernih lagi. Bagaimana cara kita menyikapi peristiwa- peristiwa semacam ini ?
Memandang dunia dengan bingkai. Bagaimana respon kita saat mengalami suatu kejadian tergantung pada bagaimana kita „membingkai‟-nya dalam pikiran kita. Cara kita membingkai sesuatu (benda, orang, kejadian, informasi, dll) sangat menentukan makna yang kita lekatkan dan hubungkan padanya.
Bagaimana kita membingkai sesuatu yang kita alami disebut dengan framing. Bingkai akan mengarahkan dan mempengaruhi bagaimana sebuah kejadian atau pengalaman dimaknakan (N.Hingdranata,2012: 83). Bayangkan saat pertama kali anda melihat bunga mawar. Saat itu anda melihat sebuah keindahan yang menimbulkan rasa romantisme dan cinta. Ketika kemudian anda tertarik untuk memegangnya, anda meraih tangkainya dan tanpa sengaja tangan anda tertusuk duri pada batang bunga mawar tersebut. Seketika itu, rasa romantisme dan cinta beralih menjadi rasa sakit dan sebal. Jika kemudian anda diminta mendeskripsikan bunga mawar, maka anda akan mengemukakan bahwa bunga wawar itu indah tapi menyakitkan. „Indah tapi menyakitkan‟ adalah bingkai makna yang kita lekatkan ada bunga mawar. Makna yang berasal dari hasil melihat dan merasa / mengalami ditambah dengan „bumbu‟ emosi (dan pengalaman emosi masa lalu) yang muncul pada saat itu. Makna itu kemudian anda simpan sebagai ingatan makna atau memori tentang bunga mawar. Memori ini akan menjadi referensi untuk memaknai (mempersepsi) ketika anda melihat bunga mawar lagi. Penglihatan dan pengalaman anda melihat bunga mawar yang kedua atau informasi-informasi yang anda dapatkan dari pengalaman (makna) orang lain bisa saja akan mengubah persepsi makna bunga mawar yang sebelumnya telah anda buat. Kumpulan memori tentang makna inilah yang kemudian kita gunakan untuk membingkai atau „memandang‟ dunia.
Bingkai menentukan Makna Segala peristiwa atau situasi yang terjadi di luar diri kita merupakan realitas eksternal. Realitas eksternal itu sebenarnya bersifat netral. Kitalah yang kemudian menjadikannya tidak netral. Kitalah yang memberi label bahwa “hal itu baik” atau “hal itu buruk”. Anggapan kita tentang peristiwa / situasi tersebut sebagai hal yang baik dan menyenangkan ataukah sebagai hal yang buruk, mengecewakan atau menyedihkan, adalah realitas internal dalam diri kita. Bagaimana kita memaknai suatu peristiwa adalah penciptaan sebuah realitas internal. Diri kita sendirilah yang telah menciptakan realitas internal tersebut. Dalam buku Be Happy! Get You Want! Hingranata (2012:202), menegaskan bahwa situasi adalah situasi. Kejadian adalah kejadian. Tidak ada makna yang sama untuk semua orang. Makna bagi setiap individu adalah unik, tergantung pada bagaimana ia membingkainya dalam pikirannya. Suatu peristiwa atau situasi „menjadi baik‟ saat kita merasa cocok (sesuai dengan pengalaman makna yang kita miliki saat itu) sehingga memaknainya sebagai hal yang baik. Sebaliknya suatu peristiwa atau situasi „menjadi buruk‟ saat kita merasa tidak sesuai dan memaknainya sebagai hal yang buruk. Sayangnya, kebanyakan orang menganggap bahwa realitas internalnya adalah realitas yang sesungguhnya, dan dia menganggapnya sebagai sebuah kebenaran. Mereka akan mempertahankannya hingga mereka menemukan makna baru, yang kemudian akan mengantikan realitas internal sebelumnya. Bagi mereka, isi kepala mereka adalah perwakilan mutlak dari semua yang mungkin ada di dunia ini (Nikolay, 2012:28).
Dalam penjelasan salah satu presupposisi Neuro-Linguistic Programming (NLP) yang ditulis oleh Hingdranata Nikolay menyebutkan, bahwa manusia hidup berdasarkan persepsi (hasil dari pembingkaian makna). Kumpulan persepsi tersebut akan membentuk sebuah peta realita. Manusia membentuk (membangun) peta persepsinya sepanjang hidupnya dengan cara yang unik. Peta realita itu kemudian akan dijadikan sebagai filter saat ia menangkap sebuah stimulus eksternal dan akan menjadi referensi berfikir dan bertindak. Kita melihat, mendengar, merasakan, berpikir dan bertindak berdasarkan pada peta yang telah kita bangun. Sebuah peta yang ternyata tidak mewakili daerah yang sebenarnya. Oleh karena itu apa yang menurut kita atau orang lain sebagai benar atau salah, baik atau buruk adalah menurut peta masing-masing. Kita menjadi tahu sekarang bahwa perbedaan pendapat bahkan perbedaan keyakinan adalah hal yang wajar, sangat wajar karena peta yang dijadikan dasar / referensi juga berbeda secara unik. Lalu mana yang benar ? Presupposisi NLP ini menegaskan bahwa yang penting bukanlah soal peta siapa yang paling benar atau salah, tetapi yang paling membawa manfaat. Peta realita yang kita bentuk akan kita gunakan untuk memotret dan memaknai segala peristiwa yang kita alami selanjutnya. Bagaimana caranya agar kita mampu menggunakan peta realita kita secara efektif ?. Jawabnya sederhana, gunakan peta realita tersebut untuk memotret yang bagus-bagus, beri warna yang indah (maknai secara positif), besarkan ukurannya dan tempelkan lekat-lekat di jidat!. Bagaimana cara melakukannya ? Lakukan reframing !
Membingkai kembali (reframing) Beberapa bingkai (memori pemaknaan) yang telah kita miliki memang berguna untuk membantu kita merespon sebuah kejadian, namun beberapa diantaranya juga bisa memberikan batasan-batasan bagi kita untuk maju dan menjadi orang yang efektif. Kita bisa mengubah makna suatu kejadian secara sengaja dan penuh kesadaran dengan cara mengubah bingkai kita. Perubahan makna otomatis akan menuntun kita pada perubahan cara berpikir dan bertindak. Jika suatu ketika kita mengalami suatu peristiwa atau berada dalam situasi yang tidak kita inginkan, segera katakan “Bagus itu!”. Kalimat itu sangat efektif diucapkan dan diperdengarkan dengan kesengajaan dan penuh kesadaran pada saat kita menghadapi suatu peristiwa atau situasi yang kita anggap sebagai peristiwa atau situasi buruk. Setelah mengatakan “Bagus itu !”, kemudian segera pikirkan “bagusnya dimana ya?”. Saat itulah akan kita identifikasi dan temukan sisi „baik‟ suatu peristiwa. Bukankah Tuhan menciptakan segala sesuatunya tidak untuk kesia-siaan. Pasti ada maksud dan hikmah di semua peristiwa. Jika demikian, alangkah indahnya hidup kalau kita bisa melihat, menikmati sisi-sisi positif serta menemukan nilai-nilai yang membahagiakan. Dengan demikian kita bisa memahami maksud baik Tuhan dengan segera secara sengaja dan penuh kesadaran. (Hemm.. menarik bukan ?) Ketika peta realita yang kita punya saat ini, kita pakai untuk memotret sebuah peristiwa yang ternyata menghasilkan gambaran yang „buruk‟ maka ubah angle –nya (sudut pemotretan),
sehingga kita bisa mendapatkan potret yang baik. Pada saat kita melakukan hal tersebut, sesungguhnya kita sedang melakukan upaya reframing. Kalimat “Bagus itu!” dengan sengaja kita tujukan agar segala yang baru saja kita lihat, dengar, rasakan dan alami terbingkai kembali ke dalam realitas internal sebagai sesuatu yang “bagus”. Kalimat “Bagus itu!, berarti ….” akan memaksa kita mengubah bingkai yang selama ini kita pakai. Jika kita berhasil mengubah bingkai, maka makna suatu peristiwapun akan berubah. Jika makna dari suatu kejadian berubah maka respon (cara berpikir dan bertindak) kitapun akan berubah. Proses pemaknaan ulang (reframing) akan membantu kita mendistorsi realitas agar makna (persepsi) yang kita dapatkan (lekatkan) pada peristiwa itu adalah makna-makna yang baik yang membuat kita lebih bahagia. Makna yang membuat kita merasa aman dan nyaman-nyaman saja dalam peristiwa atau situasi tersebut. Kalimat “Bagus itu!”, memberikan kesempatan saat itu juga bagi kita untuk mendapatkan nilai positif di setiap kejadian. Ingatkah anda saat seseorang mengatakan kepada kita atau ketika kita menasehati diri sendiri dengan kata-kata : “Sudahlah, terima saja … nanti kamu pasti akan menemukan hikmahnya (sisi baiknya atau nilai positifnya) ….”. Dan setelah beberapa waktu berselang, kita dengan riang kemudian berkata “Aha… ternyata ada hikmahnya” atau “Oh, saya tahu sekarang, ternyata banyak hal positif yang saya dapatkan, Tuhan memang selalu memberikan yang terbaik untuk saya” dan kemudian baru kita bisa merasakan bahagia. Jika kita bisa merasakan kelegaan, rasa “It‟s OK” dan kebahagiaan saat ini, mengapa mesti menunggu nanti ? Ulasan ini seperti menyodorkan sebuah pilihan kepada kita : “Anda mau bahagia sekarang atau nanti ?”. Jika kita memilih untuk bahagia sekarang, maka lakukan reframing saat itu juga. Kalimat “Bagus itu!, .....”, bisa menjadi the magic word yang membantu kita menemukan sisi-sisi positif sesegera mungkin. Kita bisa menjadi pribadi yang sangat fleksibel dalam berbagai situasi. Kita juga bisa berpikir tentang berbagai kemungkinan baik serta merespon peristiwa-peristiwa itu dengan berbagai pilihan tindakan yang sesuai. Perhatikan contoh situasi berikut ini : “Orang itu kerjanya lamban, ia terlalu banyak pertimbangan”. (bermakna buruk) Reframing : “Bagus itu !, berarti dia adalah orang yang berhati-hati.” atau “Bagus itu !, berarti dia benar-benar menginginkan hasil yang sempurna” Dalam hal ini kita membingkai kembali makna „perilaku banyak pertimbangan‟ tadi dengan cara memikirkan makna yang berbeda meskipun perilakunya sama. Dengan demikian „rasanya‟-pun menjadi berubah. Karena kita „merasakan‟ makna yang berbeda maka repon kitapun akan ikut berubah. Melalui reframing ini kita seolah menanyakan kembali atau mencari kemungkinan lain tentang makna apalagi yang mungkin dari perilaku tersebut. Contoh situasi yang lain adalah sebagai berikut : “Sepertinya pacarku tidak benar-benar mencintaiku, karena ia tidak pernah sekalipun mengatakan I love you”.
Reframing : “Bagus itu !, berarti dia adalah bukanlah pria yang suka „ngegombal‟ ” atau “Bagus itu !, berarti dia tidak suka mengobral kata cinta” Kata-kata “Ia selalu…” atau “Ia tidak pernah sekalipun …. “ merupakan ungkapan yang berlebihan terkait dengan perilaku seseorang. Kita dapat membingkai kembali makna perilaku seseorang dengan cara memikirkan kembali betapa bermanfaatnya perilaku itu dalam konteks atau situasi yang lain. Saat kita mengetahui manfaat baik dan kemudian memaknai perilaku atau kejadian itu sebagai hal baik, coba rasakan bedanya. Bukankan terasa lebih „ringan‟ dan terasa everything is OK !. Jika kita pikir (bingkai) dunia itu suram maka suramlah apapun yang kita lihat, tapi jika kita pikir (bingkai) bahwa dunia itu indah maka indahlah segala hal yang kita lihat. Ingin merasa sedih atau mau merasa happy adalah soal pilihan. Kita akan selalu punya alasan untuk bete, kalau kita ingin mem-bete-i seseorang. Tapi kitapun bisa memutuskan untuk senantiasa bahagia khan?. Nah, Bagus itu !, artinya mulai saat ini kita tahu bagaimana membuat kehidupan kita lebih bahagia. Sungguh, Life is beautiful!
Referensi : Nikolay, Hingdranata.2012.Be Happy! Get What You Want.PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Nikolay, Hingdranata.2012. Training Manual : Licensed Practitioner of Neuro-Linguistic ProgrammingTM .NLP Indonesia Nikolay, Hingdranata.__-. Presuppositions of NLPTM. Inspirasi Indonesia Catatan Pribadi, 2012. Training : Licensed Practitioner of Neuro-Linguistic ProgrammingTM