5. PEMBAHASAN 5.1 Proses Penangkapan pada Bagan Rambo Alat tangkap bagan dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok. Berdasarkan mobilitasnya maka dikenal adanya bagan tancap dan bagan apung. Bagan tancap sifatnya menetap sedangkan bagan apung dapat berpindah tempat dari satu fishing ground ke fishing ground lainnya. Bagan rambo merupakan bagan apung dengan mobilitas yang tinggi. Dapat dioperasikan mulai dari pantai sampai jauh dari pantai. Bagan rambo merupakan perkembangan yang paling mutakhir dari alat tangkap bagan apung yang ada di Indonesia saat ini. Berbeda halnya dengan bagan apung lainnya, karena ukurannya yang sangat besar sehingga sering pula disebut dengan bagan raksasa. Dalam pengoperasiannya menggunakan rangsangan cahaya buatan sebagai alat bantu penangkapan. penarik perhatian ikan.
Dengan dernikian cahaya b e h n g s i sebagai
Cahaya ini dihasilkan dari sebuah diesel sebagai
pembangkit tenaga listrik. Karena menggunakan cahaya buatan maka operasi penangkapannya hanya dapat dilakukan pada malam hari, untuk menyalurkan behaviour dari jenis-jenis ikan tertentu. Jika dibandingkan dengan liftnet yang beroperasi di perairan pantai jepang dengan menggunakan kekuatan cahaya 10 20 kW (Arimoto et al. 2002) maka alat tangkap bagan rambo sudah dapat menyamainya. Jika dibandingkan dengan jenis bagan lainnya, maka operasional bagan rambo dapat dilakukan pada bulan terang, karena kekuatan cahaya yang dipergunakannya sangat tinggi sehingga penetrasi cahaya yang masuk secara vertikal ke dalam air akan lebih dalarn dan secara horisontal dapat menarik 206
gerombolan ikan pada jarak yang jauh. Dibandingkan dengan bagan diesel yang dioperasikan di perairan Lampung dengan menggunakan jumlah lampu neon dari 105 - 137 unit seperti yang dilaporkan oleh Iskandar et al. (2002), dimana cahaya pada kedalaman 21-22 m iluminasi cahaya mencapai 0,3-3 lux, maka daya tembus cahaya lampu merkuri pada bagan rambo masih lebih tinggi. Dengan demikian jurnlah tangkapan, trip penangkapan atau jumlah hauling yang dapat dilakukannya pada bagan rambo
dapat lebih banyak, yang pada akhirnya jumlah tangkapan
pertripnya akan lebih banyak pula. Faktor
oseanografi
sangat
berpengamh
penangkapan bagan rambo adalah arus.
terhadap
proses
operasi
Arus yang kuat selain menyebabkan
proses hauling akan terganggu juga menyebabkan bergesernya kedudukan waring dalam air sehingga waring tidak tepat berada di bawah perahu dan akan menyebabkan ikan akan meloloskan diri. Pada kecepatan arus yang lebih besar dari 0,34 ddetik, nelayan bagan rambo tidak akan menurunkan jaringnya. Hal ini sangat penting diketahui terutama bila alat ini dioperasikan di daerah penangkapan yang baru, maka kecepatan arus menjadi salah satu pertimbangan utama.
Jika dibandingkan dengan alat tangkap set net dimana kecepatan arus
yang bisa ditolerir adalah 0,257 d d e t i k (0.5 knot) dan pada kecepatan lebih besar dari 0,75 d d e t i k akan merusak jaring (Nathanael, 1992; Zarochman, 1992; Sudirman, 2001 dan Martasuganda 2002b). Secara keselurahan set net lebih kuat menahan arus dari pada alat tangkap bagan rambo. Kecerahan perairan di Selat Makassar berkisar 16 -18 m. Kondisi kecerahan ini yang baik untuk tujuan penangkapan ikan.
Ben Yami (1987),
niengemukakan bahwa kecerahan air di atas 10 m tergolong baik untuk penangkapan ikan yang menggunakan alat bantu cahaya. 207
Dalam melakukan operasi penangkapannya, maka fishing ground dengan dasar lumpur, atau lumpur bercampur pasir merupakanjishirlg ground yang baik. Daerah karang biasanya dihindari karena akan merusak waring
sebagai alat
tangkapnya. Namun demikian daerah-daerah yang berdekatan dengan terumbu atau dengan jarak tertentu dari terumbu karang bisanya memberikan hasil tangkapan yang baik. Baberapa masalah yang timbul dalam proses penangkapan bagan rambo adalah ukuran mata jaring (mesh size) yang dipergunakan sangat kecil dan tertangkapnya ikan-ikan yang bukan menjadi tujuan penangkapan. Mesh size yang kecil membuat alat ini tidak selektif terhadap ukuran, sedangkan berkumpulnya ikan-ikan target di areal bagan rambo dapat pula mengundang ikan-ikan yang bukan menjadi target penangkapan, sehingga menimbulkan discard catch.
5.2 Analisis Tingkah Laku Ikan pada Bagan Rambo 5.2.1 Proses Adaptasi Retina Mata Ikan Terhadap Cahaya Reaksi ikan terhadap cahaya dapat berbeda-beda, seperti fototaksis positif, preferensi untuk intensitas cahaya optimum, investigatory reflex, untuk mengelompok dan mencari makan di bawah cahaya, serta disorientasi sebagai akibat kondisi buatan dari gradient intensitas cahaya di bawah air (Ben-Yami 1987). Pada alat tangkap bagan rambo penggunaan intensitas cahaya yang tinggi pada batas tertentu 16,25 kW
-
18,25 kW, nampaknya sangat efektif untuk
menangkap ikan-ikan pelagis kecil khususnya ikan teri. Pada intensitas 20.000 W total hasil tangkapan mulai menurun.
Dari aspek proses adaptasi cahaya, retina mata ikan teri yang tertangkap pada bagan rambo melalui pergerakan sel cone dan pigment nampaknya ikan teri cepat teradaptasi cahaya dan senang pada inensitas yang tinggi, sehingga jumlah pengangkatan jaring dalam satu trip masih dapat ditingkatkan. Selama ini jumlah hauling dalam semalam dilakukan rata-rata 3 kali.
Jika jenis ikan teri lebih
dominan dari speises lainnya maka pengangkatan jaring dapat dilakukan 4-5 kali semalam, hal ini untuk menghlndari ikan teri tersebut meninggalkan catchable area bagan rambo. Dengan kata lain pemasangan jaring atau pencahayaan selama 2 jam dianggap cukup untuk menarik perhatian ikan teri teradaptasi cahaya secara sempurna. Namun hal ini masih perlu diamati secara saksama pada skala laboratorium. Berbeda halnya jika musim ikan pada waktu itu adalah bukan ikan teri, misalkan ikan layang. Jika yang ada di bawah bagan rambo adalah ikan layang atau musim ikan layang maka pengangkatan jaring sebanyak 3 kali sudah optimal. Hal ini disebabkan karena ikan layang cenderung memilih intensitas cahaya yang lebih rendah sehingga dibutuhkan waktu yang lama untuk melakukan proses adaptasi cahaya secara sempurna, atau dibutuhkan cara lain agar lebih dekat dengan bagian catchable area bagan rambo. Diduga bahwa posisi ikan layang lebih banyak berada di bagian luar bagan rambo atau pada kedalaman 20-30 m dan pada kedalaman tersebut iluminasi cahaya antara 0,2
-
5 lux.
Hasil
pengamatan ini mendukung apa yang dikemukakan oleh Iskandar et al. (2002), bahwa pada bagan diesel kedalaman gerombolan ikan berada pada kedalaman 20-
Ikan layang teradaptasi sempurna terhadap cahaya terjadi setelah tengah malam. Disamping pengaruh intensitas cahaya hal ini diduga dipengaruhi pula 209
oleh pengaruh ritme circardian (circardian rhythms) atau disebut juga dengan endogenous circardian sigtzals, ha1 terjadi pada beberapa spesies ikan (Levinson and Burnside, 1981; McCormack and Burnside, 1991). Pada ikan salmon (Salmo trutta) diperoleh bahwa puncak adaptasi akibat
ritme circardian terjadi pada
subuh dan senja hari (Douglas and Wagner 1982). Penelitian ini memperkuat hasil temuan Baskoro (1999), yang mengamati tingkah laku pergerakan ikan teri dan adaptasinya terhadap cahaya pada alat tangkap bagan apung dengan menggunakan lampu petromaks.
Persamaannya
adalah bahwa ikan teri mudah diamati dipermukaan air, sangat responsif terhadap cahaya dan berada pada kedalaman kolom air 2 -5 m, dengan intensitas 25 lux dan 4 lux. Perbedaannya adalah pada alat tangkap bagan apung dengan alat bantu lampu petromaks, ikan teri yang tertangkap setiap waktu hauling belum teradaptasi sempurna, kecuali pada subuh hari. Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa ikan teri membutuhkan intensitas yang tinggi untuk proses adaptasinya terhadap cahaya secara sempurna. Berbeda halnya dengan ikan layang.
Ikan ini sangat sensitif terhadap cahaya, namun
menyenangi intensitas yang rendah. Ikan layang yang tertangkap pada bagan rambo setiap waktu hauling belum teradaptasi sempurna terhadap cahaya. Hal ini juga terjadi pada bagan apung di Pelabuhan Ratu (Baskoro, 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa cumi-cumi tidak memiliki preferensi terhadap semua intensitas cahaya yang digunakan oleh bagan rambo. Hal ini disebabkan karena cumi-cumi selalu memilih daerah iluminasi yang rendah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arakawa et al. (1998), menunjukkan bahwa pada squid jigging dengan total output cahaya 300 kW posisi cumi-cumi berada pada
kedalaman antara 30 - 70 m, atau setara dengan 1,8 x 1
-
5,8 x 10-4 u ~ . c m - ~
nm-' pada panjang gelombang 5 10 nrn. Dan informasi tersebut di atas, khususnya pada ikan layang (Decapterus ruselli) masih diperlukan penelitian pada skala laboratorium, untuk menjawab berapa lama pencahayaan yang diberikan pada ikan layang baru teradaptasi cahaya secara sempurna. Penelitian pada ikan Trachiurus japonicus, suatu spesies yang berdekatan genus dengan ikan layang
pada skala laboratorium (Sudirman,
et al. 2001) menunjukkan bahwa ikan tersebut sangat sensitif dan teradaptasi dengan cahaya setelah 30 menit berada di bawah cahaya pada iluminasi cahaya 3305 lux. Persoalan yang mucul adalah bagaimana nelayan bagan mengetahui bahwa ikan-ikan yang berada pada catchble area adalah jenis-jenis ikan tertentu. Pada jenis ikan tertentu seperti ikan teri, cakalang nampaknya hal ini tidak terlalu jadi masalah, karena pergerakannya di dalam air dapat dengan mudah diamati. Dengan
demikian
dibutuhkan
alat
bantu
tambahan
berupa
underwater
observation, baik itu camera bawah air atau alat akustik lainnya untuk menentukan jenis ikan dan kedalamanya dalam air.
Maka pertimbangan-
pertimbangan ekonomi dan kemampuan sumberdaya manusia sangat dibutuhkan. Karena alat tersebut harganya mahal dan pengoperasiannya membutuhkan keterampilan yang tinggi. Pada penelitian ini proses adaptasi cahaya baru diamati pada 2 spesies, yaitu teri (S.i~wlaris)dan layang (D.ruselli). Maka penelitian proses adaptasi ikan pada bagan rambo ke depan perlu dilanjutkan pada spesies lainnya seperti selar, kembung, tembang dan ikan japuh.
Jika data tersebut diketahui akan
memperkaya pemahaman proses adaptasi cahaya ikan-ikan yang tertangkap pada bagan rambo dan memudahkan untuk meningkatkan efisiensi penangkapan. Permasalahan selanjutnya yang mungkin timbul di daerah tropis seperti Indonesia adalah umumnya ikan-ikan yang tertangkap multi spesies sehingga sangat sulit untuk menangkap ikan dengan hanya spesies tertentu, namun demikian dengan mengetahui periode musim-musim spesies yang dominan akan dapat membantu keluar dari permasalahan ini. Persoalan lain yang muncul dalam penelitian adaptasi ikan terhadap cahaya, khusus dalam skala laboratorium adalah bagaimana membawa ikan ke Laboratorium dalam kondisi hidup.
Bagi ikan demersal persoalan ini rnasih
mudah diatasi, namun untuk ikan-ikan pelagis seperti kembung, selar dan layang dibutuhkan suatu ketekunan dan keterampilan penanganan yang sangat hati-hati sehingga diperoleh data yang sangat akurat. Adaptasi cahaya pada ikan-ikan dicard catch menunjukkan bahwa jenis ikan tersebut
tidak tertarik cahaya.
Ini berarti bahwa penambahan ataupun
pengurangan kekuatan cahaya pada bagan rambo tidak dapat digunakan untuk menghmdari tertangkapnya jenis ikan tersebut. 5.2.2 Tingkah Laku Ikan di Catchable Area Bagan Rambo
Tingkah laku ikan pada cathable area bagan rambo ada yang dapat diamati secara visual dan ada yang hanya dapat diamati dengan menggunakan
underwater camera. S e l m a ini nelayan hanya mengamati secara visual saja. Namun demikian pengalaman pengamatan visual dari nelayan dapat pula dijadikan salah satu indikasi banyak tidaknya ikan
di bawah pZatform bagan
rambo, khususnya jika kondisi cuaca dalam keadaan yang sangat baik. 212
Kedatangan ikan secara horisontal khususnya sarnpai pada kedalaman 2 m dapat diamati secara sempurna. Banyak tidaknya gelembung-gelembung air di bawah platform bagan rambo mengindikasikan banyak tidaknya ikan yang berada di bawah permukaan air. Hasil pengamatan bawah air (underwater observation) di bawah Platform bagan menunjukkan bahwa kebanyakan ikan berada pada kedalaman 20 - 30 m, sehingga pengamatan secara visual pada kedalaman tersebut tidak dapat dilakukan. Pengamatan dengan underwater camera pada malam hari hanya dapat menjangkau pada jarak tertentu sehingga tidak mampu mengidentifikasi jenis ikan sampai pada kedalaman dimana gerombolan ikan itu dominan.
Pengamatan
dengan jelas dapat dilakukan hanya pada saat hanya lampu konsentrasi yang dinyalakan, pada saat demikian aktivitas gerombolan ikan dapat diamati. Ikan-ikan akan memasuki areal di bawah platform bagan rambo secara bergerombol ketika mulai dilakukan pemadaman lampu secara bertahap, baik secara horisontal maupun secara vertikal.
Secara horisontal ikan teri
mendominasi ikan-ikan kecil, sedangkan secara vertikal tidak teridentifikasi, namun diduga ikan tersebut adalah ikan kembung dan layang. Hal ini bisa diduga karena ikan yang tertangkap pada waktu itu adalah ikan kembung dan layang. Berapa jurnlah ikan yang 1010s pada saat hauling pada bagan rambo?. Hasil penelitian ini sangat sulit untuk memberikan suatu gambaran.
Hal ini
disebabkan karena pada saat hauling hanya lampu konsentrasi yang dinyalakan sehingga jarak dimana pada bagian ikan yang dapat meloloskan diri tidak bisa terjangkau oleh sorotan undrwater camera karena kondisi di daerah tersebut tidak begitu terang.
Adanya gerombolan ikan di luar lingkup area bagan rambo baik pada saat penyalaan semua lampu maupun pada saat pemadaman secara perlahan mengindikasikan bahwa tidak sedikit ikan yang 1010s dari cakupan jaring pada bagan rambo. Jika demikian halnya maka perlu dipikirkan bagaimana jika pada saat hauling di bagan rambo dilakukan pula pelingkaran jaring (misalnya purse seine) di bagian luar bagan rambo. Tentu banyak kendala-kendala teknis yang akan di hadapi dan hams dicarikan solusinya, tetapi di duga akan memberikan peningkatan efisiensi bagi nelayan. 5.2.3 Interaksi Antar Spesies dan Periode Makan Ikan di Areal Bagan
Interaksi antara mahluk hidup terjadi karena individu-individu memiliki keinginan untuk selalu hidup dan berjuang memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk mempertahankan jenisnya (Ediyono, et al. 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa semua mahluk hidup yang hidup bersama-sama pada satu habitat atau ekosistem yang sama akan berinteraksi satu dengan yang lainnya. Interaksi yang terjadi dapat bersifat menguntungkan (mutualisme dan komensalisme), merugikan (predasi, kompetisi, amensalisme dan parasitisme) atau bersifat netral yaitu tidak saling mengganggu antar populasi walaupun keduanya berada pada habitat yang sama dan memiliki kebutuhan yang sama karena cukup tersedianya makanan. Dari hasil penelitian mengenai interaksi antar spesies terlihat bahwa ikanikan yang tertangkap pada bagan rambo memiliki interaksi pemangsaan dengan kata lain selain ikan tertarik oleh cahaya, juga terjadi interaksi antar spesies dimana ikan selar (Selar crumenoptha1mu.s) merupakan top konsumer dari ikanikan yang dominan. Narnun demikian diduga ikan selar masih dimangsa oleh ikan-ikan predator yang sering tertangkap dalam persentasi yang kecil yaitu 214
tenggiri, ikan kuwe, cakalang, tongkol
dan
alu-alu.
Hasil pengamatan
menunjukkan pula bahwa ikan yang berada pada saluran pencernaan ikan yang diamati masih dalam kondisi segar membuktikan bahwa ikan tersebut melakukan feeding activity di areal bagan rambo.
Pengamatan melalui underwater
camerapun menunjukkan bahwa ikan kembung, ikan layang pada saat hauling time sedang memangsa ikan teri.
Dalam kaitannya dengan interaksi keberadaan ikan teri pada catchable area bagan rambo diduga kuat mempunyai peranan yang sangat penting atas
kehadiran ikan-ikan lainnya seperti ikan kembung, layang, selar dan jenis pemangsa lainnya. Dengan demikian populasi ikan teri di daerah fishing ground akan sangat menentukan populasi ikan-ikan lainnya. Ditinjau dari segi kelestarian ikan selar, kembung dan layang difishing ground tersebut maka populasi ikan teri perlu dipertahankan. Jika diamati jumlah populasi hasil tangkapan ikan teri yang sangat dominan di fishing ground bagan rambo di perairan Barru. Hal ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mallawa et al. (1992), Nadir (2000). Dari data yang ada sekarang nampaknya belum memperlihatkan suatu kompetisi yang merugikan antar masing-masing jenis ikan, dengan kata lain kompetisinya masih bersifat netral karena jumlah populasi teri masih dominan. Namun demikian diperlukan suatu penelitian yang lebih mendalam mengenai kebutuhan ikan teri terhadap ikan lainnya dan berapa stock teri yang tersedia. Dengan demikian dampak penangkapan bagan rambo terhadap masingmasing spesies yang dominan tertangkap ditentukan oleh faktor perbandingan komposisi di dam, komposisi hasil tangkapan, model pemangsaan antar spesies serta sifat-sifat populasi seperti pertumbuhan dan kepadatan stocknya. 215
Dari data tersebut di atas, maka hipotesis dapat diterima bahwa terjadi interaksi antar spesies pada catchable area bagan rambo. Interaksi yang terjadi adalah interaksi pemangsaan dimana ikan selar merupakan top konsumer di antara ikan-ikan pelagis kecil dominan yang tertangkap dan ikan teri merupakan konsumer tingkat pertama. Ini berarti pula bahwa keberadaan ikan teri di sekitar bagan rambo akan mengundang hadirnya ikan-ikan lain seperti layang, kembung, dan selar, bahkan ikan-ikan pelagis besar seperti cakalang dan tenggiri. Ikan teri sebagai pemakan plankton dan larva ikan menunjukkan adanya hubungan antara jenis plankton yang diperoleh di areal bagan rambo dengan jenis plankton yang ada dalam saluran pencernaan ikan teri. Hanya ada beberapa klas dari fitoplankton yaitu chrysophyceae dan gastropoda. Nematoda dari dari golongan zooplankton tidak ditemukan dalam saluran pencernaan ikan teri, namun tidak memperlihatkan hubungan antara kelimpahan plankton dengan jumlah hasil t angkapan. Sangat sulit untuk mengatakan bahwa kedatangan ikan teri di areal bagan rambo melakukan pencarian makan, mengingat makanan dalam saluran pencernaannya apakah dimakan di areal bagan rambo atau sebelum masuk ke areal tersebut sudah melakukan feeding activity, masih dibutuhkan suatu penelitian lanjutan. Dari hasil pengamatan adaptasi retina dapat dipastikan bahwa keberadaan ikan teri disekitar areal bagan rambo murni karena tertarik oleh cahaya. Oleh sebah itu pemanfaatan cahaya sebagai alat bantu penangkapan khususnya bagan rambo dalam mengeksploitasi ikan teri disuatu perairan sangat efektif. Namun demikian berapa jumlah bagan rambo yang hams dioperasikan di perairan B a r n Selat Makassar masih dibutuhkan suatu kajian penelitian. 216
Dalam kaitannya dengan periode makan ikan, terlihat bahwa kecuali ikan teri, ikan-ikan lainnya cenderung rnelakukan feeding activity. Namun masih sulit menentukan motivasi kedatangan ikan tersebut, apakah karena sifat fotoksisnya atau
melakukan feeding activity. Namun ikan layang diketahui dengan pasti
bahwa kedatangannya di areal bagan rambo disamping sifat fotaksisnya juga karena karena feeding activity. Persentase kepenuhan lambung dari masing spesies dan pengamatan bawah air telah membuktikan hal ini. 5.3 Komposisi Hasil Tangkapan pada Bagan Rambo
Dari data komposisi hasil tangkapan menunjukkan bahwa lebih dari 94% hasil tangkapan bagan rambo didominasi oleh teri,
layang, kembung, selar,
ternbang, japuh dan cumi-cumi. Selebihnya adalah ikan-ikan predator, by-catch dan discard catch. Walaupun jumlah spesies yang tertangkap dengan alat tangkap bagan rambo cukup banyak namun masih didominasi oleh spesies tersebut di atas. Sebagai konsekuensi dari daerah tropis maka jumlah spesies sangat beragam. Namun dari hasil tangkapan tersebut tidak ditemukan spesies langka yang dilindungi tertangkap oleh bagan rambo sehingga di duga tidak membahayakan biodiversity. Dari data penelitian ini menunjukkan bahwa komposisi hasil tangkapan lebih beragam waktu sebelum tengah malam dan saat tengah malam serta tangkapan akan lebih didominanasi oleh spesies tertentu menjelang subuh hari. Hal ini terdapat persamaan dan perbedaan dengan apa yang telah didapatkan oleh Boskoro (1999). Pada bagan apung di Teluk Pelabuhan Ratu menunjukkan bahwa keragaman spesies pada saat tengah malam lebih banyak dari pada sebelum tengah malam namum pada bagan rambo sama. Persamaannya adalah pada saat 217
subuh hari keragaman spesies lebih sedikit. Masih perlu dikaji apakah perbedaan jenis lampu yang digunakan oleh kedua jenis bagan tersebut akan mempengaruhi gejala persamaan dan perbedaan ini.
5.4 Selektivitas Bagan Rarnbo
Pengaturan selektivitas alat tangkap dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stock ikan (Nikijuluw,2002). Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan ini menjadi tujuan penangkapan dengan jalan memberi kesempatan pada ikan yang masih muda untuk tumbuh, bertambah nilai ekonominya, serta kemungkinan bereproduksi sebelum ikan tersebut ditangkap. Dengan kata lain penangkapan ikan dilakukan secara selektif hanya pada ikan yang tidak masuk dalam kategori ini. Dengan cara demikian penangkapan ikan dapat dilakukan secara kontinu karena ikan yang tidak ditangkap memilki kesempatan untuk bereproduksi dan menghasilkan ikan muda yang akan berkembang dan memiliki kemanpuan bereproduksi. Penangkapan ikan secara selektif berarti menjaga kontinyuitas kegiatan penangkapan ikan sehingga keberlanjutan sumberdaya ikan dapat terjamin (Nikijuluw, 2002). Hasil penelitian menunjukkan adanya spesies tertentu yang 1010s dari mesh size jaring bagan rambo yang digunakan. Namun demikian yang 1010s tersebut
umumnya bukan menjadi sasaran utama penangkapan.
Hanya ikan teri pada
ukuran tertentu yang sebagai spesies target yang dapat 1010s. Ikan target lainnya seperti layang, kernbung, selar, ternbang, japuh dan cumi-cumi semua tertangkap dengan bagan rambo. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa bagan rambo hanya selektif terhadap ikan teri dan tidak selektif terhadap ikan target lainnya. 218
Dengan demikian maka dari segi seleksi secara mekanik (mechanical selection) seperti yang dikemukakan oleh Arimoto (2001) maka pada bagan rambo hanya terjadi pada ikan teri. Dari segi tipe selektivitas seperti yang dikemukakan oleh He and Arimoto (2001) selektivitas spesies, selektivitas ukuran dan selektivitas jenis kelamin, maka pada bagan rambo selektivitas spesies terjadi hanya pada ikan-ikan yang tertarik oleh cahaya, walaupun dalam jumlah yang kecil tertangkap pula ikan yang tidak tertarik oleh cahaya. Dari segi ukuran hanya selektif terhadap ikan teri dan dari segi jenis kelamin maka bagan rambo tidak selektif terhadap jenis kelamin. Pencatatan komposisi ukuran dan
tingkat kematangan gonad (TKG)
dihubungkan dengan waktu akan diperoleh data perkembangan gonad ikan tersebut. Persentase kornposisi tingkat kematangan pada setiap saat dapat dipakai untuk menduga terjadinya pemijahan (Effendie, 1997). Ikan yang mempunyai satu musim pemijahan yang pendek dalam satu tahun atau saat pemijahannya akan ditandai dengan peningkatan persentase tingkat kematangan gonad yang tinggi pada setiap akan mendekati musim pemijahan. Bagi ikan-ikan yang mempunyai musim pemijahan sepanjang tahun, pada pengambilan contoh setiap saat akan didapatkan komposisi TKG terdiri dari tingkat dengan persentase yang tidak sama. Persentase yang tinggi dari tingkat kematangan gonad
yang besar
merupakan puncak pemijahan walaupun pemijahannya sepanjang tahun (Effendie, 1997).
Hasil
penelitian terhadap
tangkapan
utama
pada
bagan
rambo
menunjukkan bahwa adanya variasi ukuran dan TKG, namun umurnnya pada 2 spesies utama layang dan kembung, jumlah ikan yang belum dewasa sangat menonj01. 219
Ikan teri (Stolephorus insularis) merupakan tangkapan utarna pada bagan rambo, dengan ukuran yang bervariasi.
Namun demikian kebanyakan ikan
tersebut telah dewasa dan telah melakukan pemijahan. Puncak pemijahan terjadi pada bulan Maret
-
Juni. Kenyataan menunjukkan bahwa puncak musim teri di
perairan Barru Selat Makassar terjadi pada bulan tersebut. Pada ukuran berapa sebenarnya ikan teri melakukan pemijahan di Selat Makassar, belum diperoleh informasi yang pasti. Berdasarkan hasil penelitian ditempat lain seperti di Selat Singapura yang dilaporkan oleh Tham (1965) bahwa Stolephorus heterolobus, memijah pada panjang baku 50 mm. Tiews et al. (1970)
mengemukakan bahwa di Teluk Manila ikan teri memijah pada panjang 60 mm. Stolephorus devisi di perairan Papua New Gunea memijah pada ukuran 45 -50
rnrn, S.heterolubus 50 - 55 mm dan pada S.insularis memijah pada panjang di atas 6,5 cm di Teluk Manila (Tiews et al. 1970).
Jika dibandingkan dengan ukuran ikan teri dari hasil penelitian ini dengan hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa 72,3% ukuran tersebut telah melakukan pemijahan. Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Najamuddin et al. (1994) yang menunjukkan bahwa lebih dari 70% ikan teri yang tertangkap pada bagan rambo berada pada kisaran panjang 69,2 - 97,9 mm. Namun dari hasil pembedahan hanya 33% yang telah melakukan pemijahan. Dalam hubungannya dengan kelestarian sumberdaya ikan teri di Perairan Selat Makassar, maka aspek fekunditas dari ikan ini perlu dipertimbangkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tiews et al. (1970) menunjukkan bahwa fekunditas ikan teri jenis S.insu1aris berkisar 5416- 10033 butir. demikian potensi reproduksinya sangat besar.
Dengan
Pada musim puncak (Maret-Juni) penangkapan ikan teri di perairan Barru Selat Makassar, harga ikan teri sangat turun sehingga jumlah tangkapan yang banyak tidak diimbangi dengan harga yang baik, menyebabkan penangkapan dihentikan untuk beberapa saat. Tindakan ini menguntungkan dari sudut kelestarian sumberdaya teri. Dari alasan-alasan tersebut di atas dapat katakan bahwa bagan rambo masih tergolong ramah terhadap penangkapan ikan teri. Berbeda halnya dengan ikan layang (Decapterus ruselli) dan ikan kembung (Rastralliger kanagurta). Umumnya yang tertangkap adalah ikan-ikan muda yang diduga belum pernah melakukan pemijahan. Menurut Tiew et al. (1970) untuk ikan layang pertama kali memijah panjang total 180
-
200 mrn pada permulaan masa hidupnya.
Jika ha1 ini
dihubungkan dengan hasil penelitian maka dari sudut ukuran hanya 8,4% yang telah melakukan pemijahan. Pada penelitian ini pada ukuran panjang total 15 cm sudah ada yang melakukan pemijahan. Hasil penelitian ini mendukung
hasil
penelitian yang dilakukan oleh Widodo (1988), memperoleh ikan layang yang matang gonad pertama kali pada ukuran panjang 155,3 mm dan pemijahannya terjadi beberapa kali dalam setahun. Hal ini berarti sekitar 15 % ikan tersebut telah melakukan pemijahan. Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan rendahnya persentase ikan layang dan kembung yang telah memijah menunjukkan ketidakramahan
alat
tangkap bagan rambo terhadap ikan layang dan kembung. Terhadap ikan selar (Selur crumenopthalmus) yang tertangkap pada bagan rambo 35,06% merupakan ikan yang sudah dewasa dan jurnlahnya tidak terlalu bhnyak. Ukuran ikan ini telah memijah pada ukuran panjang total 16,5 cm. Hal ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Krissanuri dan Hariati (1994) yang 22 1
dilakukan di perairan Utara Rembang memperoleh ikan selar memijah pada panjang cagak 15,3
-
16,9 cm untuk betina dan 18,3-20,O cm untuk jantan.
Namun demikian banyak ukuran yang lebih besar dan yang di duga sudah melakukan pemijahan posisinya berada di luar lingkup tangkapan bagan rambo, sehingga penangkapan bagan ini terhadap ikan selar tidak menunjukkan suatu permasalahan lingkungan. Dengan kata lain bagan rambo masih tergolong ramah terhadap ikan selar. Ikan selar mempunyai mata yang besar, hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2002) menunjukkan bahwa ikan ini sel konnya terdiri dari sel kon tunggal dan sel kon ganda (double cone cell) membentuk susunan mosaik dengan konfigurasi satu sel kon tunggal dikelilingi oleh empat sel kon ganda yang mengindikasikan bahwa ikan ini memiliki sensitifitas dan adaptasi yang tinggi terhadap cahaya. Kecenderungan lain terlihat pada hasil tangkapan bagan rambo adalah pada akhir bulan Juli tangkapan utama sudah mulai bergeser ke ikan japuh (Dussumeria acuta). Ikan-ikan ini tertangkap pada ukuran yang dewasa.
Sehingga sangat baik untuk mengamati pula variasi ukuran ikan ini pada saat musim ikan japuh sehingga akan melengkapi data yang telah diperoleh. Penelitian ini dilakukan selama enam bulan. Bagaimana trend komposisi ukuran dan variasi TKG pada 6 bulan berikut?. Masih diperlukan penelitian yang lama minimal untuk waktu satu tahun.
Namum pada bulan Oktober mulai
memasuki permulaan musim Barat, dimana puncak musim Barat tersebut terjadi pada Bulan Nopember sampai awal Pebruari. Pada saat musim Barat kebanyakan bagan rambo tidak melakukan aktivitas operasi penangkapan ikan.
5.5 Kaitan Dengan Keramahan Lingkungan
Minimal terdapat 3 unsur pokok yang sangat penting diperhatikan dalam perikanan bertanggungjawab yaitu environmental friendly, memberikan nilai ekonomi yang kontinu dan secara sosial dapat diterima oleh masyarakat. Ketiga komponen ini sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan bagan rambo
dimasa datang. Asian Productivity Organisation (2002),
mengemukakan bahwa kriteria
perikanan berkelanjutan adalah bagaimana
bekerja secara maksimal secara kontinu membantu para nelayan, sehingga dapat melakukan pemanfaatan dengan ramah lingkungan, secara teknik dapat dilakukan dan secara ekonomi menguntungkan termasuk mendukung penyediaan ketahanan pangan.
Menumt Gopakumar (2002), prinsip dari pengelolaan perikanan
berkelanjutan adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan jangka panjang dengan memperhatikan karakteristik biologi, dan ekologi termasuk konservasi, dan adanya sharing keuntungan. Dengan demikian maka pemanfaatan sumberdaya perikanan laut secara berkelanjutan hams dilakukan dengan cara pengelolaan perikanan bertanggung jawab (responsible Jisheries) dengan teknologi yang berwawasan lingkungan. Dengan demikian semua stake holder hams mempunyai suatu paradigma berwawasan lingkungan. Dalam misinya teknologi yang berwawasan lingkungan hams dapat diterjemahkan lagi kedalam
bentuk teknologi yang ramah
lingkungan. Dalam Code of Conduct
For Responsible Fisheries (FAO, 1995) Artikel
10 mengenai pengelolaan perikanan disebutkan bahwa, Negara-negara dan sernua pihak yang terlibat dalam pengelolaan
perikanan melalui suatu kerangka
kebijakan hukum dan kelembagaan yang tepat, hams mengadopsi
langkah 223
konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan baik pada tingkat lokal, nasional, subregional atau regional, hams didasarkan pada bukti ilmiah terbaik dan tersedia dan dirancang untuk menjamin kelestarian jangka panjang sumberdaya perikanan pada tingkat yang dapat mendukung pencapaian tujuan dari pemanfaatan yang optimum, dan mempertahankan
ketersediaan untuk
generasi kini dan mendatang: pertimbangan-pertimbangan jangka pendek tidak boleh mengabaikan tujuan ini (Artikel, 7.1.1) Bagaimana halnya dengan perikanan bagan rambo yang dioperasikan oleh nelayan di perairan Selat Makassar?. Hasil penelitian ini telah dijelaskan beberapa ha1 yang berkaitan dengan beberapa aspek yang perlu dianalisis lebih dalam lagi. Aspek selektivitas alat tangkap bagan rambo merupakan satu ha1 yang paling krusial. Jika diarnati lebih saksama, jelas alat tangkap ini tidak selektif terhadap ikan layang dan ikan kernbung, karena dominan hasil tangkapan dari jenis ikan tersebut adalah ikan yang belum dewasa, tetapi untuk jenis ikan teri dan selar masih dapat digolongkan selektif Selektif terhadap teri karena masih ditemukan adanya yang 1010s dari mata jaring, dan kebanyakan ikan teri yang tertangkap adalah ikan dewasa dan telah melakukan pemijahan, sehingga stock ikan teri yang akan melakukan reproduksi masih banyak. Terhadap Ikan selar walaupun yang tertangkap masih lebih banyak yang belum dewasa namun jumlah ikan ini yang tertangkap dengan bagan rambo, sangat kecil dan ikan ini mempunyai ketajarnan penglihatan yang tinggi sehingga dengan mudah menghindari jaring.
Hasil
pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa kebanyakan ikan selar yang berukuran besar tertangkap oleh pemancing selar dibagian luar catchable area, 224
sehingga bagan rambo tidak akan merusak populasi ikan selar. Dari pembahasan ini dapat dikatakan bahwa bagan rambo selektif terhadap teri dan selar tetapi tidak selektif terhadap layang dan kembung. Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa tidak ditemukan adanya spesies langka yang dilindungi oleh undang-undang
tertangkap dengan bagan rambo,
seperti napoleon dan penyu. Dengan demikian alat tangkap ini selektif dan aman bagi spesies yang dilindungi. Demikian halnya dengan jumlah
discards pada bagan rambo. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tingkat discard hanya 2,18 % dari total hasil tangkapan. Discarded catch pada bagan rambo bukan hanya jenis vertebrata tetapi juga invertebrata. Diantara jenis invertebrata yang dominan adalah jenis udang mantis (mantish shrimp).
Jenis udang mantis ini ternyata bukan hanya
discard catch pada bagan rambo tetapi pada ukuran lebih kecil dari 10 cm merupakan discard pada trawl (Ishi and Kitahara, 2001). Berdasarkan klasifikasi by-catch (discard) yang dikemukakan oleh oleh Hall (1995), Alverson and Huges (1995) maka discards pada bagan rarnbo tergolong sustainable by-catch. Sebagai bahan perbandingan dapat dikemukakan bahwa pukat udang di perairan Laut Arahra menangkap by-catch
19 kali lebih
banyak dari hasil tangkapan udang, dimana 95% dari hasil tangkapan sampingan tersebut dibuang ke laut (discards) dan hanya 5% sisanya dimanfaatkan sebagai produk sampingan (Naamin dan Sumiono yang diacu oleh Nasution, 1998). Pembanding lainnya adalah rawai tuna
menangkap tangkapan sampingan
sebanyak 1,13 - 1,58 kali lebih besar dari hasil tangkapan target (alverson yang diacu oleh Arimoto, 1995). Ye et al. (2000) mengemukakan bahwa pada perikanan udang di Kuwait 98% by-catch dibuang ke laut. Gray et al. (2001) 225
memperoleh 44% total individu dan 38% berat total dari alat tangkap beachseining yang beroperasi di perairan Botani Bay Australia merupakan discarb. Stobutzki et al. (2001) melaporkan bahwa di perairan tropik Australia jumlah spesies by-catch lebih dari 350 spesies.
Pada bagan rambo diperoleh lebih dari
30 spesies. Dari perbandingan tersebut menunjukkan bahwa laju discarded catch pada bagan rambo maupun keragamannya masih rendah. Walaupun discard rate pada bagan rambo sangat rendah namun usahausaha untuk meminimumkan tetap perlu dilakukan. Salah satu usaha yang bisa dilakukan adalah sortir yang dilakukan oleh para ABK (human selection) pada saat penangkapan dan membuangnya kembali ke laut dalam keadaan hidup (Arimoto, 2001). Pada masa yang akan datang discard catch ini dapat berubah menjadi ikan konsumsi karena pertambahan jumlah penduduk, pertumbuhan industri dan meningkatnya penerimaan konsumen pada produk yang berbeda (Clucas, 1998). Dapat dikemukakan pula bahwa beberapa spesies discard pada bagan rambo seperti ikan buntal merupakan spesies dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi di Jepang. Dengan demikian diperlukan teknologi penanganan dan pengolahan jenis-jenis ikan tersebut. Bagaimana dampak terhadap biodiversity, habitat dan biodegredable?. Walaupun jumlah spesies yang tertangkap banyak, namun hanya 5 spesies yang lebih dorninan selebihnya adalah spesies tangkapan yang jumlahnya sangat sedikit dari sudut kuantitatif. Namun demikian hngsi ekologi spesies yang tertangkap tersebut perlu dikaji, bagaimana dampaknya terhadap
ekosistem secara
keseluruhan. Terhadap habitat, alat tangkap ini tidak mengganggu habitat, khususnya habitat karang, karena waring yang digunakan akan tersangkut di daerah karang jika dioperasikan pada habitat tersebut. Walaupun biasa 226
dioperasikan di daerah dekat dengan terumbu, tetapi pada kedalaman di atas 40 m. Terhadap biodegredable menunjukkan bahwa umurnnya bahan-bahan dari alat tangkap bagan rambo terbuat dari kayu, kawat dan waring. Potensi terbesar yang sulit terurai hanyalah waring yang digunakan.
Biasanya waring ini mampu
bertahan sampai dengan 2 tahun. Komponen lain yang digunakan dan sangat besar pengaruhnya terhadap lingkungan adalah penggunaan bahan bakar minyak (BBM).
Konsumsi BBM
bagan rambo tergolong tinggi, karena sepanjang malam genset hams dinyalakan sebagai sumber listrik dari alat tangkap ini. Disamping itu kebutuhan BBM juga untuk keperluan tawing boat. Dibutuhkan minimal 100 liter perhari dalam satu unit bagan rambo.
Kondisi ini hams diantisipasi dengan mengembangkan
teknologi yang membutuhkan konsumsi BBM yang rendah, maka penggunaan solar cell perlu dipikirkan penggunaannya pada bagan rambo, walaupun secara
ekonomis masih perlu dikaji. Hal ini disebabkan karena di Indonesia kelangkaan BBM sering terjadi. Aspek lain yang perlu di perhatikan adalah aspek sosial dan legalitas. Dari aspek legalitas, sampai saat ini belum ada pelarangan alat tangkap bagan rambo, dengan demikian legal untuk melakukan operasi penangkapan. Namun demikian daerah operasi alat tangkap ini terkonsentrasi hanya pada beberapa tempat, karena bermasalah ditempat lain terutama pada suatu fzshing ground yang masih didominasi oleh perikanan skala kecil. Di perairan Sulawesi Selatan, alat tangkap bagan rambo tersebar pada 4 perairan utama yaitu, Barru, Sinjai, Bone dan Luwu. Keempat daerah tersebut termasuk maju usaha penangkapan ikannya. Dari aspek sosial alat tangkap ini telah menyerap banyak lapangan kerja, baik pada pengoperasian
alat tangkapnya maupun sektor-sektor yang terkait 227
dengan usaha perikanan bagan rambo, seperti pembuatan es, transportasi, perdangan, telekomunikasi dan sebagainya. Dengan demikian terjadi peningkatan kesejahteraan sosial bagi masyarakat dimana operasi bagan rambo dilaksanakan. Potensi konflik hanya dapat terjadi jika terjadi kecemburuan sosial apabila dioperasikan di daerah yang dekat dengan pantai yang kebanyakan dimanfaatkan oleh nelayan skala kecil seperti yang di laporkan oleh Satria, et al. (2002), dimana terjadi konflik antara nelayan Pangkep dan nelayan bagan rambo Barn. Dari konflik tersebut, maka pengaturanjshing ground merupakan solusinya. Aspek ekonomi merupakan hal yang sangat penting dalam kaitan dengan keramahan lingkungan. Faktor-faktor
seperti investasi, keuntungan,
nilai
produknya menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Sehubungan dengan aspek ekonomi ini Mallawa et al. (1991) menyatakan bahwa B-C ratio pada bagan rambo mencapai 1,29 dan biaya investasi dapat kembali setelah 1,32 tahun. Dengan
demikian secara
menguntungkan.
ekonomi
alat tangkap
bagan
rambo
sangat
Tapi keuntungan itu apakah secara kontinu atau hanya
keuntungan sesaat kepada masyarakat.
Sampai sekarang belum ada informasi
akan kerugian secara ekonomi yang melakukan usaha pada perikanan bagan rambo. Dari uraian tersebut di atas dapat dibuat suatu gambaran secara skematis
kondisi tingkat keramahan lingkungan bagan rambo saat ini dan alternatif pengembangan perikanan bagan rambo yang bertanggungjawab, seperti akan diuraikan berikut ini.
yang
5.6 Skenario Peningkatan Keramahan Lingkungan
Dalam usaha mewujudkan perikanan yang berkelanjutan (sustainable
fisheries) khususnya
dalam bidang perikanan tangkap
maka eksploitasi
sumberdaya hayati laut hams dapat dilakukan secara bertanggungjawab atau biasa disebut dengan responsiblefisheries. Oleh sebab itu kita sebaiknya membuat suatu kriteria dalam rangka mewujudkan harapan tersebut. Dari sekian banyak kriteria yang diajukan untuk menilai kerarnahan lingkungan dari bagan rambo, maka kondisi keramahan lingkungan bagan rambo saat ini seperti ditunjukkan pada diagram Figure 5.1. Dari Figure 5.1 tersebut terdapat empat kriteria yang kurang memenuhi persyaratan bagan rambo sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan. Keempat kriteria tersebut adalah; 1. Selektivitas (Selectivity) 2. Konsumsi BBM (Oil consumption) 3. Investasi (Investment)
4. Dapat diterima masyarakat (Acceptable) Dari kriteria tersebut masing-masing diberikan solusi untuk meningkatkan keramahannya.
Untuk penerimaan masyarakat, terutama untuk menghindari
konflik dengan nelayan kecil maka pengaturan fishing ground merupakan solusi yang baik. Bagan rambo hams beroperasi di luar jalur penangkapan Zona I atau diluar Zona 11. Dalam ha1 investasi yang tinggi maka maka pemanfaatan solar cell merupakan alternatif pertama disusul dengan penggunaan jurnlah lampu, jumlah kawat dan jumlah kayu yang digunakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan intensitas 16,25 kW adalah yang paling optimum. Untuk mengurangi 229
konsumsi BBM yang tinggi
maka penggunaan solar cell merupakan suatu
alternatif yang baik meskipun secara ekonorni masih perlu diperhitungkan. Selektivitas merupakan kriteria yang paling sulit dipenuhi oleh bagan rambo mengingat ukuran mata jaring yang digunakan sangat kecil (0,5 cm). Namun demikian alat tangkap ini masih selektif terhadap ikan teri yang merupakan tangkapan dominan.
Untuk menanggulangi masalah ini maka ada
beberapa alternatif solusi yang dapat ditawarkan masing-masing: 1. Perbaikan mesh size (Improving of mesh selectivity) 2. Pengendalian jurnlah alat tangkap(Control of unit number)
3. Pengaturanfishing ground (Arragement offishir~gground) 4. Pengaturan musin penangkapan (Management offihing season)
5. Peningkatan kesadaran masyarakat nelayan terhadap lingkungan (Awareness offisher for environmentally friendly) 6. Optimasi cahaya yang digunakan (Optimum of lightingpuwer) 7. Mengatur kedudukan jaring dalam air (Net depth position)
Table 5.1
menunjukkan matriks perbandingan bobot skor antara 7
alternatif tersebut di atas dan vektor prioritas dari masing-masing alternatif. Berdasarkan pembobotan yang diberikan menunjukkan bahwa vektor prioritas pengendalian jumlah alat tangkap memberikan nilai yang paling tinggi, disusul dengan pengaturanfishing ground, perbaikan selektivitas mata jaring, pengaturan musim penangkapan dan peningkatan kesadaran masyarakat nelayan terhadap lingkungan. Masih diperlukan kajian dan analisis mengenai alternatif tersebut di atas. Pertimbangan optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan masih dominan, rriengingat sumberdaya yang ada tidak seluruhnya optimal pemanfaatannya.
Table 5.1 Scoring of matrix comparison among the alternative vector priorities
1
Alternatif
No
2
3
4
5
6
7
Vector Priority
(%I 1
Control of unit number
2
Arragement of fishing ground
3
3
3
7
5
34.85
115
1
3
5
3
5
5
19.83
113
113
1
7
5
12.77
115
113
3
1
1
3
5
12.06
113
115
3
1
1
3
5
12.06
117
115
117
113
113
1
5
6.43
115
115
115
115 115 115 115
113 113
Management of fishing season
6
5
Improving of mesh selectivity
5
5
Optimum of lighting power
4
1
Awareness of fisher for environmentally friendly
7
Net depth position
1.96
Namun demikian pengendalian jumlah alat yang dapat beroperasi adalah suatu ha1 yang sangat bijaksana.
Pengendalian jumlah alat adalah dengan
menentukan jumlah unit penangkapan ikan yang boleh dioperasikan melalui sistem perizinan.
Dengan dernikian maka perizinan tidak semata-mata
dilaksanakan karena tuntukan admistratif, namun lebih sebagai alat atau mekanisme pengendalian (Nikijuluw, 2002). Persoalannya adalah bagaimana cara mengalokasikan perizinan diantara nelayan, masih perlu dikaji dan di atur dengan baik. Dalam ha1 mengontrol jumlah unit alat tangkap bagan rambo, masih perlu dikaji berapa jumlah yang sebaiknya beroperasi, karena ha1 ini berhubungan 23 1
dengan jumlah stock ikan dan fluktuasi musimannya. Sarnpai tahun 2002 jumlah alat tangkap bagan rambo yang beroperasi di perairan Barru sebanyak 63 unit. Penelitian ini belum dapat menjawab pertanyaan tersebut. Pengaturan fishing ground adalah merupakan alternatif yang kedua mengingat masih banyak fishing gorund yang belum dimanfaatkan secara optimal. Dilain pihak alat tangkap bagan rambo mempunyai mobilitas yang tinggi untuk berpindah dari satu Jishing ground ke fishing ground lainnya, dengan demikian tidak akan terjadi benturan atau kontlik dengan nelayan skala kecil. Alternatif mengenai penggunaan kekuatan cahaya, yaitu maksimum 18,5 kW dianggap sudah cukup. Hal ini ditunjukkan pada kekuatan cahaya bagan 20 kW jumlah hasil tangkapan mulai menurun. Wisudo et al. (2002) mengemukakan bahwa optimasi kemanpuan tangkap pada light fishing dapat dilakukan dengan mengontrol sumber cahaya yang digunakan. Alternatif perbaikan selektivitas mata jaring sangat baik, namun dengan memperbesar mesh size maka ikan teri akan 1010s dari mata jaring. Alternatif ini sebaiknya dikombinasikan dengan alternatif pengaturan musim penangkapan. Dengan demikian akan menggunakan dua atau lebih mesh size pada waring bagan rambo. Pengaturan musim penangkapan merupakan salah satu alternatif Alternatif ini akan sangat efektif jika pola musim ikan sepanjang tahun diketahui dengan pasti.
Penelitian lapangan ini dilakukan tidak sampai sampai 1 tahun
sehingga pola musim tahunan tidak diketahui dengan pasti. Pengamatan menunjukkan bahwa pada akhir penelitian jumlah ikan teri yang tertangkap sudah berkurang dan muncul ikan japuh yang ukurannya lebih besar. Jika diketahui pola seperti ini dengan pasti maka penggunaan mesh size yang lebih besar akan sangat 232
membantu dalam peningkatan keramahan alat tangkap bagan rambo terhadap lingkungan. Pengaturan kedudukan jaring bagan rambo dalam air merupakan salah satu alternatif solusi. Hal ini didasarkan dari data yang diperoleh melalui pengamatan bawah air yang menunjukkan bahwa ikan teri sebagai target utama, dominan terkonsentrasi dipermukaan air pada kedalaman 2 sampai 5 m. Jika penangkapan hanya dikonsentrasikan pada ikan teri saja maka kedudukan jaring 15 sampai 20 m dalam air cukup untuk menangkap ikan teri.
Persoalannya adalah jika kedudukan jaring dalam air 15 sampai 20 m maka ikan-ikan lain akan menghindar, yang pada akhirnya akan mengurangi total tangkapan dari nelayan bagan rambo. Alternatif lain adalah memberikan kesadaran kepada masyarakat
akan
pentingnya kelestarian sumberdaya perikanan. Dari sini diharapkan muncul kesadaran dan tanggungjawab dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari dan dapat memberikan keuntungan secara optimal dan berkelanjutan. Jika ini dipahami oleh para nelayan, maka segala alternatif dalam rangka peningkatan keramahan lingkungan pada alat tangkap bagan rambo akan lebih mudah dilaksanakan dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dapat ditempuh melalui pendidikan dan pelatihan kepada para nelayan yang menyangkut peningkatan kesadaran lingkungan. Dengan
demikian perikanan
bertanggungjawab
sebagaimana yang
diamanatkan dalam Code of Czrnduct for Responsible Fisheries akan dapat dilaksanakan setahap demi setahap khususnya pada perikanan bagan rambo di Selat Makassar. Secara singkat diagram skenario penangkapan bagan rambo yang ramah lingkungan seperti ditunjukkan pada Figure 5.2. 233
I
~ a & Rambo Fishery with Environmentally Friendly
I
.t w CRI-
~
Low of Oil Consump
Selectivity
TERIA
Low Investment
Low BYCatch
damage to habitat and
safe for fisherman
Safe for endangered
Safe for Biodiversity
Profi table
Accep -table
v TION
+ SOLUTION
Improving ofMesh Selectivity
Control1 of Unit Number
Arrange ment of Fishing Ground
-ment of Fishing season
ness of Out put
out put, wood and
man
P
Figure 5.1 Existing condition the environmentally fiendly level of barn rambo and alternative solution.
Fishing Ground
Sustainable Fisheries
'=F * Responsible fishing
Bagan Rambo fishery with environmentally friendly technology
Control of number
Improving of of fishing ground
lighting output
Management of fishing
I
selectivity
-
I How many gears are needed ? necessary to investigate
Fishing operation conducted in the area of less number traditional fisheries or under exploited area
power; 16.25 kW md max power;18.5 kW
Net depth position
Anchovy season used net with 0.5 cm. Season of other fish exchange the net with larger mesh size
,
II
II II
Increasetl awareness of fishers for responsible
Informal education on environmentally friendly gradually
I
I
Lu depth
Figure 5.2 Scenario of the bagun rambo fishery with an environmentalty friendly technology.