BAGAIMANA KELOMPOK EKSTRIMIS MEMBENTUK KELOMPOK BARU Asia Report N°228 – 16Juli 2012
Terjemahan dari bahasa Inggris
DAFTAR ISI RINGKASAN IKHTISAR DAN REKOMENDASI .............................................................. i I. PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1 II. WARISAN KAMP ACEH ................................................................................................ 2 III. MUNCULNYA MEDAN DAN POSO ............................................................................. 4 A. KELOMPOK SABAR DI MEDAN ......................................................................................................4 B. KELOMPOK SANTOSO DI POSO......................................................................................................7 C. TADRIB (PELATIHAN MILITER) PIMPINAN SANTOSO .......................................................................8 D. PERAMPOKAN MOTOR ..................................................................................................................9 E. KEMBALI KE MEDAN .................................................................................................................10
IV. KELOMPOK DULMATIN DAN RENCANA MERACUN POLISI ......................... 10 V. HUBUNGAN KE ABU UMAR ...................................................................................... 12 VI. KONEKSI BIMA............................................................................................................. 14 VII. BOM SOLO DAN KEMBALINYA TIM HISBAH KE MEDAN .......................... 16 VIII. PLOT BOM BALI ........................................................................................................ 17 IX. BAGAIMANA KELOMPOK EKSTRIMIS MEMBENTUK KELOMPOK BARU ................................................................................................................................ 18 A. PELARIAN ..................................................................................................................................18 B. PENJARA DAN KUNJUNGAN KE PENJARA .....................................................................................19 C. PELATIHAN MILITER (TADRIB) ....................................................................................................21 D. FORUM INTERNET ......................................................................................................................21 E. PERKAWINAN.............................................................................................................................21 F. TAKLIM ......................................................................................................................................22
X. PELAJARAN YANG DIDAPAT PARA EKSTRIMIS .............................................. 23 XI. PELAJARAN YANG PERLU DIAMBIL OLEH PEMERINTAH ........................... 25 A. PERHATIAN LEBIH TERHADAP PEREKRUTAN ...............................................................................25 B. ZERO TOLERANCE TERHADAP KEKERASAN BERMOTIF AGAMA .....................................................26 C. PEMANTAUAN PENJARA YANG LEBIH BAIK .................................................................................26 D. PENINGKATAN LATIHAN OPSI NON-LETHAL DALAM OPERASI PENANGKAPAN ...............................27 E. KEAMANAN BANDARA YANG LEBIH BAIK ...................................................................................27 F. PERHATIAN LEBIH KE HUBUNGAN DENGAN KELOMPOK INTERNASIONAL ....................................27 G. MEMBANGUN HUBUNGAN ANTARA LEMBAGA PENELITIAN DENGAN INSTITUSI KEBIJAKAN .........28 H. EVALUASI PROGRAM DERADIKALISASI, DISENGAGEMENT DAN COUNTER-EKSTRIMISME YANG ADA ................................................................................................................................28
XII. KESIMPULAN .............................................................................................................. 29 LAMPIRAN A. PETA INDONESIA..............................................................................................................................30 B. TENTANG INTERNATIONAL CRISIS GROUP .......................................................................................31 C. LAPORAN DAN BRIEFING CRISIS GROUP ...........................................................................................32 D. CRISIS GROUP BOARD OF TRUSTEES ................................................................................................34
Asia Report N°228
16 Juli 2012
BAGAIMANA KELOMPOK EKSTRIMIS MEMBENTUK KELOMPOK BARU RINGKASAN IKHTISAR DAN REKOMENDASI Hampir sepuluh tahun setelah peristiwa bom Bali yang membuat terorisme di Indonesia menjadi perhatian internasional, kelompok ekstrimis di Indonesia saat ini lemah dan terpecah tapi masih aktif. Menghadapi tekanan yang kuat dari polisi, mereka menemukan caracara untuk membentuk kelompok baru saat dalam pelarian, penjara dan lewat forum-forum internet, kamp pelatihan militer dan perkawinan. Dalam banyak kasus, individu-individu yang sama terus muncul kembali dengan menggunakan jaringan-jaringan lama untuk membentuk aliansi baru. Kenyataan bahwa mereka terus menerus gagal dalam operasi-operasi mereka belakangan ini bukan berarti ancaman bahaya sudah lewat. Ada tanda-tanda bahwa paling sedikit beberapa diantara mereka sedang belajar dari kegagalan dan menjadi lebih canggih dalam perekrutan dan penggalangan dana. Pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana para ekstrimis membentuk kelompok baru akan dapat membantu penyusunan program-program counter-ekstrimisme yang lebih efektif. Pukulan terbesar terhadap kemampuan para teroris belakangan ini adalah terbongkarnya sebuah kamp pelatihan di Aceh di awal tahun 2010 oleh polisi. Sebuah aliansi yang terdiri dari hampir seluruh kelompok jihadi utama di Indonesia telah berencana untuk mendirikan sebuah basis yang aman (qoidah aminah) di Aceh. Banyak pemimpin senior mereka yang tertangkap atau tewas tertembak dan sejumlah besar informasi dari sana yang telah menghasilkan penangkapan, pengadilan dan pemenjaraan sekitar 200 individu. Bukannya membuat para ektrimis kemudian takut sampai tidak aktif lagi, operasi-operasi polisi ini ternyata malah mendorong sebuah gelombang aktivitas yang dimotivasi oleh keinginan balas dendam dengan dibentuknya kerjasama dan pusat-pusat pelatihan baru serta diluncurkannya aksi amaliyah baru. Aktivitasaktivitas para ekstrimis ini paling terlihat di Medan, Poso, Solo, Bima, dan sebagian Kalimantan Timur. Kegiatan-kegiatan bawah tanah selama ini dibantu secara langsung atau tidak langsung oleh para ustadz radikal dimana pengajian-pengajian mereka telah
memberi inspirasi dan tempat bertemu bagi para ekstremis dan simpatisannya. Hampir seluruh plot serangan teroris (ada lebih dari sepuluh) sejak tahun 2010 terkait langsung atau tidak langsung dengan para buronan dari Aceh. Mudahnya para buronan DPO (Daftar Pencarian Orang) ini dalam bergerak, berkomunikasi dengan rekan-rekan mereka di penjara, berbagi informasi dan ketrampilan, menyebarkan ideologi, membeli senjata, melakukan pelatihan dan merekrut anggota-anggota baru memperlihatkan begitu banyaknya upaya preventif mendasar yang masih harus dilakukan. Banyak dari kelompok-kelompok jihadi yang beroperasi saat ini punya hubungan dengan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), sebuah kelompok yang dibentuk oleh Abu Bakar Ba’asyir di tahun 2008, yang telah menggantikan Jemaah Islamiyah (JI) sebagai organisasi jihad paling besar dan aktif di Indonesia. JI kini menjadi obyek cemoohan dari kelompokkelompok yang lebih militan, karena dianggap telah meninggalkan jihad. Tapi JI terus membawa pengaruh lewat sekolah-sekolah mereka, dan melalui mantan anggota yang bergabung dengan organisasi-organisasi lain. Beberapa kelompok yang lebih kecil juga telah muncul, seringkali terdiri dari para pemuda yang tidak berpengalaman dan tidak punya ketrampilan, disiplin atau visi strategis yang dimiliki oleh generasi yang mendapat training di perbatasan Afghanistan-Pakistan antara tahun 1985 dan 1994, yang telah menghasilkan para pelaku bom Bali. Materi-materi yang di-posting di situs-situs radikal memperlihatkan bahwa para ekstrimis yang lebih berpendidikan telah dapat pelajaran dan pengalaman penting di Aceh, terutama mereka sadar sejauh mana kelompok mereka telah disusupi oleh “musuh” (negara RI, terutama polisi). Kesimpulannya: mereka harus jauh lebih hati-hati dalam menyaring anggota-anggota mereka, melindungi komunikasi dan menjaga rahasia. Kalau para ekstrimis benar-benar mengikuti pelajaran ini, maka tugas polisi akan menjadi lebih sulit.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
Pemerintah sejauh ini belum banyak melakukan introspeksi mengenai mengapa perekrutan terus terjadi atau mengapa ada begitu banyak plot teroris – meskipun kebanyakan tidak direncanakan dengan baik. Keberhasilan upaya counter-terrorism di Indonesia selama ini berkat penegakan hukum yang baik. Polisi kini sudah terampil dalam mengidentifikasi dan menangkap mereka yang bertanggungjawab atas kejahatan kekerasan dan mencegah plot-plot serangan teroris selama ada bukti untuk bertindak, seperti kepemilikan senjata dan bahan peledak secara ilegal. Tapi hampir tidak ada program-program yang efektif untuk menangani lingkungan dimana ideologi ekstrim terus berkembang.
Page ii
harus dipantau dan dievaluasi secara berkala, dan diperbaiki kalau perlu. 3.
Memperkuat kapasitas dalam Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk menganalisa perdebatan ideologi dalam jaringan radikal untuk mencari petunjuk mengenai perubahan target atau taktik.
4.
Mengembangkan prosedur-prosedur untuk memperbaiki information sharing (berbagi informasi) antara BNPT; Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (DitjenPas) Kementerian Hukum dan HAM; Polri; dan kejaksaan mengenai jaringan para ekstrimis dan individu di kalangan tersebut, dengan tujuan institusi-institusi ini memperoleh pemahaman yang lebih baik tidak saja mengenai latarbelakang napi secara individu tapi juga konteks dimana mereka beroperasi.
5.
Mempercepat upaya-upaya untuk menerapkan sebuah sistem dibawah DitjenPas untuk mengidentifikasi dan memantau para napi highrisk (beresiko tinggi), baik ketika dalam penjara maupun setelah bebas, termasuk:
REKOMENDASI-REKOMENDASI Kepada Pemerintah Indonesia: 1.
2.
Merancang sebuah studi untuk mengkaji jaringanjaringan yang dipakai oleh para ekstrimis untuk mendapat tempat berlindung ketika mereka diburu oleh polisi atau tempat mereka tinggal sudah tidak aman lagi. Studi semacam ini akan membantu menjelaskan basis dukungan bagi para ekstrimis dengan cara yang dapat membantu programprogram counter-ekstrimisme. Para napi yang ditangkap terkait kamp pelatihan di Aceh mungkin bisa menjadi salah satu fokus studi. Merancang sebuah program yang ditujukan untuk mengurangi pengaruh para ustadz ekstrimis, yang antara lain termasuk: a) Mengembangkan sebuah konsensus mengenai apa yang termasuk penghasutan dan hate speech (ungkapan kebencian), kemudian berupaya memperoleh kesepakatan dari para ulama bahwa retorika semacam itu tidak dapat diterima;
a) Pengadopsian sebuah protokol penilaian resiko secara profesional, dengan penilaian terhadap para napi yang dilakukan oleh staf-staf DitjenPas yang sudah terlatih dan berdasarkan pada penelitian yang seksama; dan b) Sebuah pilot project untuk mengerti kelemahannya dan membuat penyesuaian. 6.
Meningkatkan kemampuan analisa staf-staf DitjenPas sehingga sistem data yang saat ini beroperasi bisa digunakan untuk memperbaiki pengawasan, serta penganggaran dan perencanaan.
7.
Merancang dan mengimplementasikan sebuah kebijakan zero-tolerance terhadap kekerasan yang bermotif keagamaan, termasuk hukuman maksimum terhadap vandalisme, penyerangan dan ancaman kekerasan, dengan instruksi yang jelas kepada seluruh pegawai pemerintah, termasuk polisi, untuk menghindari interaksi dengan kelompok-kelompok atau anggota kelompokkelompok yang sudah diketahui pernah melakukan aktivitas seperti ini.
8.
Mengimplementasikan penilaian paska-operasi yang lebih serius di dalam Polri untuk mengkaji apa yang sebaiknya dilakukan secara berbeda, khususnya ketika penggunaan senjata telah menyebabkan korban luka atau tewas, dan meningkatkan latihan dalam mempelajari opsi-opsi non-lethal (menggunakan kekuatan yang tidak mematikan).
b) Mengeluarkan kebijakan melarang gedung pemerintah maupun institusi yang didanai oleh pemerintah untuk menjadi tuan rumah siapapun yang menyebarkan ajaran-ajaran semacam ini c) Mengidentifikasi empat atau lima wilayah target dimana pengaruh ekstrimis dianggap tinggi danmelakukan penelitian di wilayahwilayah tersebut untuk menyusun sebuah profil para pengikut ekstrimisme ini, dengan memperhatikan latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan dan pekerjaan. d) Mengembangkan pilot project, dengan berkonsultasi dengan para tokoh masyarakat dan akademisi , yang bisa mengkounter secara efektif ajaran para ustadz ekstrimis; dan hal ini
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
9.
Menutup kelemahan dalam keamanan di bandara yang memungkinkan penumpang dengan mudah memberi identifikasi palsu tanpa takut ketahuan.
10. Mendayagunakan keahlian cendekiawan muda Indonesia dengan lebih sistematik dalam mengembangkan kebijakan dalam upaya counterekstrimisme.
Jakarta/Brussels, 16 Juli 2012
Page iii
Asia Report N°228
16 Juli 2012
BAGAIMANA KELOMPOK EKSTRIMIS MEMBENTUK KELOMPOK BARU I. PENDAHULUAN Sejak Bom Bali 2002, polisi di Indonesia makin efektif dalam menghancurkan jaringan kelompok ekstrimis.1 Namun dalam keadaan terdesak, kelompok ekstrimis yang bermotivasi tinggi ini masih bisa menemukan cara-cara untuk merekrut anggota baru dan membentuk kelompok baru. Mereka membangun aliansi-aliansi baru melalui beberapa cara. Dalam pergerakan mereka dari satu tempat ke tempat lain, agar bisa selangkah di depan polisi, mereka melakukan kontak dengan rekan-rekan lama atau berhenti di wilayah yang punya potensi untuk perekrutan. Di penjara anggota dari kelompokkelompok berbeda saling berbaur; mereka juga bisa menarik penjahat biasa ke dalam kelompok mereka. Kunjungan ke anggota kelompok ekstrimis yang ditahan dalam penjara menjadi sebuah kesempatan bagi rekan dan keluarga tahanan lain untuk saling bertemu dan berinteraksi. Pelatihan-pelatihan militer, bahkan walau hanya beberapa hari, mengumpulkan orangorang dari berbagai latar belakang dengan cara yang 1
Untuk laporan Crisis Group sebelumnya yang menganalisa tentang ekstrimisme di Indonesia, lihat Asia Briefing N°132, Indonesia: From Vigilantism to Terrorism in Cirebon, 26 January 2012; Asia Report N°204, Indonesian Jihadism: Small Groups, Big Plans, 19 April 2011; Asia Briefing N°107, Indonesia: The Dark Side of Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT), 6 July 2010; Asia Report N°189, Indonesia: Jihadi Surprise in Aceh, 20 April 2010; Asia Briefing N°95, Indonesia: Noordin Top’s Support Base, 27 August 2009; Asia Briefing N°94, Indonesia: The Hotel Bombings, 24 July 2009; Asia Briefing N°92, Indonesia: Radicalisation of the “Palembang Group”, 20 May 2009; Asia Report N°147, Indonesia: Jemaah Islamiyah’s Publishing Industry, 28 February 2008; Asia Report N°142, “Deradicalisation” and Indonesian Prisons, 19 November 2007; Asia Briefing N°63, Indonesia: Jemaah Islamiyah’s Current Status, 3 May 2007; Asia Report N°114, Terrorism in Indonesia: Noordin’s Networks, 5 May 2006; Asia Report N°92, Recycling Militants in Indonesia: Darul Islam and the Australian Embassy Bombing, 22 February 2005; and Asia Report N°83, Indonesia Backgrounder: Why Salafism and Terrorism Mostly Don’t Mix, 13 September 2004.
bisa menjadi pendorong terbentuknya kelompok baru. Forum-forum chat internet memberi kesempatan baik bagi laki-laki maupun perempuan yang tertarik dengan jihad untuk berkenalan yang kemudian dilanjut dengan bertemu muka. Para pemimpin kelompok ekstrimis bisa mempertautkan hubungan antar kelompok lewat perkawinan, termasuk dengan mencarikan istri buat anggota mereka yang dipenjara. Terakhir, kegiatan taklim oleh ustadz-ustadz ekstrimis memberi kesempatan bagi individu-individu yang tertarik untuk membentuk sel-sel baru mendapatkan partner potensial untuk melancarkan aksi amaliyah baru. Semua metode ini digunakan oleh para ekstrimis untuk menanggapi operasi-operasi polisi setelah terbongkarnya sebuah kamp pelatihan teroris di Aceh tahun 2010. Penemuan kamp latihan yang diikuti oleh penangkapan terhadap sejumlah tersangka telah memberi polisi sejumlah besar informasi, tapi kejadian ini juga telah memicu gelombang kegiatan dalam komunitas para ekstrimis. Aliansi-aliansi taktis baru dibentuk, khususnya dengan pertalian antara Medan, Solo dan Poso. Penjara kini menjadi sangat penting sebagai tempat interaksi lintas organisasi. Dan balas dendam terhadap polisi – yang dianggap sebagai “opresor musyrik” (thaghut) kini jadi motivasi utama kaum ekstrimis untuk berjihad. 2 Dalam satu atau lain cara, dampak dari terbongkarnya kamp Aceh menjelaskan banyak dari plot-plot teroris yang terjadi setelahnya, antara lain: pembunuhan polisi di Jawa Tengah pada bulan Maret dan April 2010; perampokan bank di Medan bulan Agustus 2010 dan serangan terhadap sebuah Polsek di Sumatra Utara bulan September; serangkaian upaya serangan bom terhadap gereja dan kantor-kantor polisi, sebagian besar gagal, oleh sebuah kelompok di Klaten pada bulan Desember dan Januari 2011; sebuah serangan bom bunuh diri di masjid Mapolresta Cirebon bulan April 2011; penembakan terhadap polisi di Palu, Sulawesi Tengah, bulan Mei 2011; sebuah rencana untuk
2
Thaghut artinya seseorang yang menyembah selain Allah SWT. Istilah ini telah menjadi sebutan buat polisi dan badan negara lain yang dianggap halal sebagai target jihad.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
meracun polisi di Jakarta bulan Juni 2011; penusukan terhadap polisi di Bima, Sumbawa, bulan Mei dan kemudian upaya merakit bom di sebuah madrasah disana pada bulan Juli 2011; dan digagalkannya sebuah rencana bom Bali ketiga pada bulan Maret 2012. Insiden-insiden teror ini, meskipun sebagian besar berteknologi rendah (low-tech), tidak banyak menimbulkan korban dan bersifat amatir, bagaimanapun memperlihatkan ketahanan gerakan para ekstrimis yang tak boleh dianggap enteng. Dalam banyak kasus, insiden-insiden ini juga memperlihatkan peran yang terus dipegang oleh beberapa mantan anggota Jemaah Islamiyah (JI), banyak dari mereka, tapi tidak semuanya, sekarang menjadi anggota Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), sebuah organisasi yang didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir di tahun 2008. JI sebagai organisasi mungkin sudah menarik diri dari jihad aktif, tapi pengaruhnya terhadap gerakan ekstrimis lewat mantan-mantan anggotanya masih terus dirasakan. Laporan ini terutama berdasarkan pada pengkajian terhadap dokumen-dokumen persidangan dan konfirmasi (ketika memungkinkan) dengan individu-individu yang dekat dengan mereka yang ditahan. Laporan ini mengkaji secara detil tindakantindakan yang diambil oleh para individu yang terpaksa lari dari kamp Aceh dan bagaimana pelarian mereka menghasilkan terbentuknya kelompok-kelompok baru dan lokasi-lokasi baru dimana kegiatan jihad aktif – dan juga introspeksi dalam gerakan para ekstrimis mengenai apa yang salah.
Page 2
II. WARISAN KAMP ACEH Kamp pelatihan Aceh, yang diadakan dari tanggal 28 Januari hingga 22 Februari 2010 di perbukitan luar Jantho, Aceh Besar, sudah mulai direncanakan sejak awal tahun 2009. Alasan para pendirinya mendirikan kamp Aceh yaitu bahwa gerakan jihadi perlu sebuah basis yang aman (qoidah aminah) untuk melancarkan serangan terhadap musuh dan pada akhirnya mendirikan sebuah negara Islam. Aceh dipilih karena sejarah perlawanannya terhadap pemerintah Indonesia, kemampuannya untuk menerapkan syariah Islam dan lokasi strategisnya di ujung pulau Sumatra. Tapi para pengurusnya salah memperkirakan bahwa mereka akan mendapat dukungan lokal. Kamp Aceh adalah gagasan Dulmatin, salah seorang pelaku bom Bali, yang secara diam-diam kembali ke Indonesia dari Mindanao tahun 2007.3 Ia bekerja erat dengan seorang mantan anggota JI bernama Ubaid, yang kemudian ikut melibatkan Abu Bakar Ba’asyir.4 Sedikitnya sembilan kelompok telah mengirimkan peserta ke kamp Aceh, yaitu:
JAT, dipimpin oleh Ubaid
Kelompok Dulmatin, termasuk rekan-rekannya yang membantu menyembunyikannya setelah ia kembali dari Mindanao;
Ring Banten, sebuah faksi Darul Islam dari Jawa Barat, diwakili oleh pemimpinnya, Kang Jaja, dan beberapa anggota senior. Ring Banten pernah bekerja sama dengan JI dalam serangan bom Bali I, dan dengan Noordin Top, warga Malaysia mantan anggota JI, dalam serangan bom Kedubes Australia, serta serangan bom kembar di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton Jakarta tahun 2009;
3
Untuk latar belakang dan penjelasan lebih lanjut mengenai kamp Aceh, lihat laporan Crisis Group, Indonesia: Jihadi Surprise in Aceh, op. cit. Nama asli Dulmatin adalah Joko Pitono. Lahir tanggal 6 Juni 1970 di Pemalang, Jawa Tengah, ia adalah anggota JI, pernah berlatih di perbatasan PakistanAfghanistan, dan kemudian mengajar di pesantren JI di Johor, Malaysia, Pesantren Lukman al-Hakiem. Ia melarikan diri bersama keluarganya ke Mindanao lewat Poso, di Sulawesi Tengah, tahun 2003, dan kembali tahun 2007. Ia tewas tertembak oleh polisi dalam sebuah operasi polisi di luar Jakarta tanggal 9 Maret 2010. 4 Nama asli Ubaid adalah Lutfi Hadaeroh. Lahir tanggal 12 Desember 1979 di Ngawi, Jawa Timur, ia dipenjara di Jakarta tahun 2004 karena membantu Noordin Top, teroris asal Malaysia. Sebelum dibebaskan tahun 2007, ia menjadi dekat dengan rekan sesama napi Abu Bakar Ba’asyir. Ia kemudian menjadi anggota dewan eksekutif JAT setelah pembentukannya tahun 2008.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
Faksi Darul Islam lain, kadang disebut DI-Akram atau Kelompok Abu Umar, diwakili oleh Enceng Kurnia, yang pernah membantu Dulmatin berangkat ke Mindanao tahun 2003;
Sebuah kelompok dari Solo, Jawa Tengah, yang melibatkan beberapa bekas rekan Noordin Top, antara lain seorang bernama Suramto;
Para pengikut Aman Abdurrahman, seorang ustadz radikal sekaligus ideolog faham radikal;
Beberapa anggota Mujahidin KOMPAK, sebuah kelompok yang pernah mengirim anggota laskar mereka ketika terjadi konflik di Maluku dan Poso; pemimpinnya, Abdullah Sunata, membantu merekrut orang-orang untuk dikirim ke kamp, tapi ia tidak ikut dalam latihan militer.5
Sebuah rombongan yang sebagian besar terdiri dari bekas anggota JI Lampung, Sumatra.
Sebuah kelompok yang terdiri dari sekitar duapuluhan warga Aceh yang direkrut secara lokal.6
Aliansi tersebut juga termasuk sekitar duapuluhan residivis, kebanyakan bekas napi teroris, tapi ada juga beberapa bekas napi narkoba. Banyak dari hubungan personal yang memungkinkan aliansi ini terbentuk, terjalin diantara para napi dalam Lapas (lembaga pemasyarakatan) Cipinang.7 Sejumlah “pembibitan”
5
KOMPAK adalah singkatan dari Komite Aksi Penanggulangan Akibat Krisis, sebuah yayasan yang tadinya dibentuk untuk membantu korban bencana alam tapi setelah tahun 1999 menjadi donator utama jihad di Maluku dan Poso. 6 Untuk sejarah gerakan Darul Islam dan berbagai faksinya, lihat laporan Crisis Group, Recycling Militants, op. cit 7 Salah satu contoh yaitu hubungan antara Suramto, dari kelompok Noordin, dan Iwan Dharmawan, alias Rois, dari Ring Banten. Mereka bertemu ketika dipenjara di LP Cipinang tahun 2004 kemudian menjadi teman baik, hingga Suramto menikah dengan adik Rois ketika ia dibebaskan akhir tahun 2006. Setelah bebas ia sering mengunjungi Rois di penjara. Di bulan Februari 2009, salah seorang anggota kelompok Noordin, Bagus Budi Pranoto, alias Urwah, juga bekas napi, menelepon Suramto dan memintanya pergi ke Cipinang dan minta bantuan Rois untuk mendapatkan seorang “pengantin” (pelaku bom bunuh diri) untuk sebuah operasi. Rois setuju dan memerintahkan seorang anggota Ring Banten diluar bernama Sapta untuk merekrut seorang “pengantin”. Hingga Juni 2009, Sapta mendapatkan Nana Ikhwan Maulana, yang telah diwawancara dan disetujui untuk menjadi “pengantin” oleh Suramto dan Urwah. Ia meledakkan dirinya di hotel Ritz Carton tanggal 17 Juli 2009. Suramto, yang membantu membawa bahan-bahan peledak untuk operasi tersebut ke Jakarta, mendapat tempat persembunyian dari rekan-rekan Ring Banten-nya setelah aksi bom tersebut. Akhirnya, ia dan Sapta ikut kamp Aceh bersama-sama.
Page 3
ekstrimis di Aceh juga sudah berlangsung, sehingga para simpatisan sudah siap untuk memfasilitasi rute transit dan pasokan.8 Mereka termasuk beberapa mujahidin berpengalaman yang kabur ke Aceh untuk meloloskan diri dari operasi-operasi polisi sebelumnya.9 Rencana aslinya adalah kamp sudah mulai berjalan bulan Juli 2009, tapi rencana ini tertunda ketika Noordin Top dan pengikutnya mengebom hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta tanggal 17 Juli. Ketika para peserta dan instruktur pelatihan sudah berada di kamp bulan Januari 2010, Ubaid menyebut kelompok ini “Al Qaeda Serambi Mekkah”, meskipun memakai nama al-Qaeda, kelompok ini tidak punya kaitan yang diketahui dengan al-Qaeda.10 Kamp latihan teroris di hutan Aceh tersebut terbongkar oleh polisi tanggal 22 Februari 2010, ketika seorang warga desa yang sedang mengumpulkan kayu rotan dekat kamp melaporkan aktivitas yang tidak biasa.
8
Di tahun 2008, contohnya, Yudi Zulfahri sudah mengajak organisasi Aman Abdurrahman yang berbasis di Jakarta, Al Urwatul Wutsqo, untuk membuka cabang di Aceh. Ustadz Kamaluddin, ketua divisi dakwah yang baru saja selesai dipenjara, diperintahkan untuk pergi ke Aceh bersama Yudi untuk mencari bantuan dana dari Qatar Foundation disitu. Dana tidak didapat, tapi Yudi mengajak Kamaluddin pindah ke Aceh dan memperoleh pekerjaan buatnya sebagai pengajar bahasa Arab di sebuah pesantren Salafi di Indrapuri, Aceh Besar. Lama kelamaan ia semakin terlibat dalam rencana ini sejak pertengahan 2009 dan seterusnya. Imron Rosyidi, seorang lulusan Ngruki dan bekas anggota JI yang masuk JAT, sejak bulan Agustus 2009 juga pergi ke Aceh untuk mengajar dan akhirnya membantu urusan logistik. Kemudian di bulan Desember 2009, tak lama sebelum para peserta mulai berdatangan, Imron mengatur agar Agus Supriyanto, seorang rekan dari Palembang, pergi ke Aceh bersama istrinya untuk mengajar di Pesantren Fathul Ngulum di Aceh Jaya. Agus kemudian ikut terlibat di kamp. 9 Salah seorang tokoh yang menonjol yaitu Enal Ta’o alias Ridwan alias Zaenal, yang sudah pasti sangat dikenal oleh Ubaid dan beberapa pendiri kamp. Seorang anggota laskar penembak JI yang disegani di Poso dan masuk DPO polisi terkait serangkaian aksi pembunuhan dan penyerangan dari tahun 2003 hingga 2006, ia adalah warga negara Malaysia dari Sandakan, Sabah, yang membantu anggota JI yang transit di Sandakan menuju Mindanao untuk latihan militer dari tahun 1999-2000. Menurut laporan ia di-bai’at menjadi anggota JI tahun 1998 oleh Abu Bakar Ba’asyir dan bergabung ke pesantren terkait JI, Pesantren al-Muttaqin, Cirebon. Ia tinggal di Aceh sejak kabur dari Poso di tahun 2006 dan menikah dengan seorang perempuan asal Pidie Jaya, yang menurut laporan pernah belajar di sebuah pesantren di Jawa; kalau benar demikian, sudah hampir pasti perkawinan mereka diatur oleh JI. Ketika di Banda Aceh, ia bekerja sebagai supir buat Qatar Foundation. 10 “Serambi Mekkah”, julukan terkenal bagi Aceh.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
Puluhan orang kemudian ditangkap hanya dalam waktu beberapa minggu setelah kamp terbongkar, dan beberapa teroris Indonesia yang paling berpengalaman tewas tertembak dalam kurun waktu dua bulan sesudahnya, termasuk Dulmatin, Enceng Kurnia dan Kang Jaja.11 Operasi polisi ini juga mengakibatkan terpencar-pencarnya para buronan ke seluruh Indonesia sehingga pembagian dalam gerakan ekstrimis secara organisasi dan geografis kemudian menjadi kabur. Selain itu, dari operasi ini polisi menemukan sejumlah besar informasi baru yang mereka gunakan untuk melacak dan menangkap ratusan tersangka dalam kurun waktu dua tahun kedepan.
Page 4
III. MUNCULNYA MEDAN DAN POSO Kehancuran kamp Aceh membawa pengaruh khusus terhadap dua wilayah yaitu Medan dan Poso. Di Medan, sebuah sel ekstrimis yang diketuai oleh seorang bernama Mohammad Abdi, atau juga dikenal sebagai Sabar dan “Si Boss”, menanggapi operasi polisi dengan melakukan beberapa peran, termasuk melatih, menggalang dana dan menyediakan tempat persembunyian bagi rekan ekstrimis kalau diperlukan; namun awal tahun 2011 Sabar seperti menghilang, digantikan oleh Rizky Gunawan alias Udin sebagai ketua kelompok. Di Sulawesi Tengah, proyek Aceh mungkin telah memberi JAT insentif baru untuk menghidupkan kembali gerakan jihad, yang sejak tahun 2007 tidak aktif, dengan tiga mantan anggota JI (semuanya bekas napi) memegang peran komando. Pada akhirnya, sel Medan dan Poso ditarik ikut ke dalam sebuah aliansi taktis.
A. KELOMPOK SABAR DI MEDAN Pada saat kamp Aceh mulai berlangsung, paling sedikit ada lima kelompok jihadi yang menonjol di Medan dan kelompok Sabar salah satunya.12 Tidak banyak yang diketahui mengenai Sabar, yang saat ini masih buron. Kelihatannya ia merupakan anggota Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) di Medan, tapi tidak memegang jabatan resmi.13 Di tahun 2003 ia pernah membantu mengorganisir aksi protes mahasiswa terhadap sebuah peraturan pemerintah lokal yang melarang perempuan memakai jilbab untuk foto dinas di Medan. Awal tahun 2005, ia memimpin sekelompok relawan MMI membantu para korban bencana tsunami Desember 2004 di Aceh. Hingga tahun 2009, Sabar telah membentuk sebuah kelompok kecil yang anggotanya termasuk beberapa 12
11
Dulmatin tewas tertembak oleh polisi di Pamulang, di luar Jakarta tanggal 9 Maret 2010. Enceng Kurnia dan Kang Jaja tewas ditembak ketika mencoba kabur bersama-sama ke Aceh tanggal 12 Maret.
Yang lain adalah JAT; JI; sebuah faksi Darul Islam; dan sebuah kelompok bernama Kumpulan Mujahidin Indonesia (KMI) yang dijalankan oleh bekas ketua JI Toni Togar dari sel penjaranya. Mengenai KMI, lihat laporan Crisis Group, Indonesian Jihadism, op. cit. Sebuah pengajian ekstrimis yang diketua seorang bernama Hasbi kelihatannya menarik beberapa dari mereka yang dekat dengan Toni Togar dan Darul Islam. 13 MMI didirikan di Yogyakarta tahun 2000 sebagai sebuah organisasi pro-Syariah, dengan Abu Bakar Ba’asyir sebagai ketuanya; perselisihan internal akhirnya membuat Ba’asyir menarik diri dan membentuk JAT. Pimpinan MMI setempat pada saat cabang Sumatra Utara dibentuk awal tahun 2007 adalah Ustadz Syahrul sebagai amir, Ustadz Heriansyah dan Dr. Zulkarnain sebagai bendahara.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
orang dari Medan, seorang dari Jakarta dan seorang dari Padang; serta tiga orang dari Tim Hisbah, sebuah kelompok anti-maksiat dari Solo.14 Beberapa direkrut secara online.15 Udin, salah seorang mahasiswa Medan yang diorganisir Sabar dalam aksi protes enam tahun sebelumnya, juga ikut aktif melakukan perekrutan buatnya di Jawa, dan kemungkinan yang pertama kali berhubungan dengan Tim Hisbah. Ia juga punya hubungan yang sangat baik dengan JAT Jawa Tengah.16 Sabar awalnya menjaga jarak dengan kelompokkelompok ekstrimis lain di Medan. Ia tidak menghadiri sebuah pertemuan di bulan Juli 2009 ketika Abu Bakar Ba’asyir datang ke Medan untuk membahas mengenai pendirian cabang JAT di Sumatra Utara. Kabarnya ia juga tadinya menolak ikut ambil bagian di kamp pelatihan Aceh, dan lebih memilih membangun sumber daya kelompoknya sendiri.17 Ia berkomitmen
14
Lebih lanjut mengenai Tim Hisbah, lihat laporan Crisis Group, Indonesia: From Vigilantism to Terrorism in Cirebon, op. cit. Salah seorang anggota Tim Hisbah adalah Agus Gaplek. Katanya ia sedang di Semanggi, Solo awal tahun 2009, mencari kelompok jihad yang bisa ia ikuti dan bercakapcakap dengan seorang bernama Ust. Amri di Masjid Arofah. Amri-lah yang menyarankan ia bergabung dengan Sabar di Medan. Afiliasi Amri belum jelas. Dua rekan Agus dari Tim Hisbah bergabung tak lama kemudian, Parjito, alias Abdul Rohman, dan Haedar. Lihat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Agus Gaplek, 24 September 2010, dalam Berkas Perkaranya, Pengadilan Negeri (PN) Medan, 2011. 15 Amir, alias Nibras, adalah salah seorang yang direkrut secara online. Seorang pemuda dari Pasuruan, Jawa Barat, ia pernah belajar di sebuah pesantren di Madura. Disitu ia menjadi tertarik pada jihad dan setelah lulus tahun 2007 ia mempertahankan minatnya ketika melanjutkan studi belajar bahasa Arabnya, pertama-tama di Malaysia, kemudian di Surabaya. Sekitar tahun 2010, ketika ia sedang chatting di internet, ia berjumpa seorang teman online yang ternyata kemudian adalah Sabar. Sabar mengajaknya bergabung dengannya untuk memperdalam pengetahuannya tentang jihad, dan ia pergi ke Medan bulan April 2010, dan tinggal disitu hingga ia ditangkap atas keterlibatannya dalam perampokan bank Medan. Lihat BAP Amir, alias Nibras, alias Arab, 26 September 2010, dalam berkas perkaranya, PN Medan, 2011. 16 Rizky, alias Udin, mahasiswa Medan, belajar dan bekerja di Jawa dari tahun 2008 hingga 2011. Ia kuliah di Universitas Mercu Buana di Jakarta tahun 2008, jurusan ilmu komputer dan akuntansi. Ia kemudian pergi ke Ngawi, Jawa Timur dimana ia mengajar di sebuah madrasah Ibtidaiyah (setara dengan Sekolah Dasar). Ketika ia mengutarakan niatnya untuk menikah, Ustadz Afif, ketua JAT Jawa Tengah, mengatur sebuah pernikahan dengan seorang perempuan dari Klaten yang punya banyak teman di Pesantren al-Mukmin, Ngruki, Solo. 17 “Serial Trilogi Kebangkitan Jihad di Indonesia”, http:// jaisyulghareeb.wordpress.com/2012/03/01/serial-trilogikebangkitan-jihad-di-indonesia-bagian-pertama/. Tulisan ini
Page 5
menggalang dana lewat fa’i (merampok non-Muslim untuk keperluan jihad), tapi ia sangat berhati-hati dalam aksi fa’i nya, dengan hanya memakai tim kecil yang terdiri dari dua hingga empat orang, agar polisi berpikir ini hanya kasus kriminal biasa dan tidak terlalu berusaha melakukan pengejaran.18 Aksi fa’i mereka yang diketahui pertama kali pada 18 Februari 2010, beberapa hari sebelum polisi bergerak ke kamp Aceh, ketika mereka merampok sebuah kafe.19 Di bulan Mei dan Juni, anggotanya berhasil merampok dua bank di Medan.20 Tapi dengan terbongkarnya kamp Aceh, Sabar kelihatannya bergerak lebih dekat ke JAT. Awal bulan Juni, ia dan ketua JAT Medan, Alex Gunawan, berangkat ke Lampung bersama-sama untuk mengajak beberapa kelompok yang sudah ikut di kamp Aceh sebelumnya kembali ke Medan untuk training.21 Awal Agustus 2010, Sabar dikirimi seorang anggota baru yang mungkin direkrut lewat JAT. Proses perekrutan kelompok esktrimis ini sendiri memperlihatkan garis organisasi yang telah menjadi begitu cair. Mujahid tersebut adalah Jaja Miharja, seorang anggota Ring Banten dari Jawa Barat. Di awal tahun 2008, ia pergi ke Surabaya untuk bekerja. Disana ia mengikuti pengajian rutin JAT, meskipun tidak pernah di ba’iat menjadi anggota. Di akhir tahun 2009, ia kembali ke Banten untuk menikah dan setelah itu bekerja sebagai pedagang keliling obat-obatan herbal Islami. Di bulan Juli 2010, ia dihubungi oleh seorang teman dari Padang, yang ia kenal dari sebuah pengajian di Surabaya. Ia disuruh menunggu kabar dari “Infokom”, yang akan mengatur agar ia dan istrinya berangkat ke Medan. Dana untuk perjalanan ditransfer ke rekeningnya tak lama sesudahnya. Ketika sampai di Medan ia baru menyadari kalau “Infokom” adalah Sabar.22
adalah sebuah penilaian terhadap kekurangan-kekurangan dalam gerakan jihad yang ditulis oleh seseorang dari kelompok Sabar, dengan dua bagian telah diposting di situssitus radikal di bulan Maret 2012 dan bagian ketiga dijanjikan akan diposting. Penulisnya mengatakan kelompoknya di Medan menolak undangan untuk bergabung. 18 “Serial Trilogi Kebangkitan Jihad”, op. cit. 19 Kafe itu adalah Warnet Haunatas di Medan Baru. Lihat BAP Abdul Gani Siregar, 9 Oktober 2010, dalam berkas perkaranya, Pengadilan Negeri Medan, 2011. 20 Tanggal 21 Mei 2010, mereka merampok sebuah cabang Bank Rakyat Indonesia (BRI) di kecamatan Binjai Selatan, dan tanggal 16 Juni, sebuah cabang BRI di Amplas, Medan. 21 BAP Beben Choirul Banen, 2 November 2010, dalam berkas perkaranya, Pengadilan Negeri Medan, 2011. 22 BAP Jaja Miharja, September 2010 (tanggal persisnya tak terbaca), dalam berkas perkaranya, Pengadilan Negeri Medan, 2011.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
Tak begitu lama setelah kedatangan Jaja, Sabar mengorganisir sebuah pelatihan militer di Gunung Sibolangit di luar Medan.23 Training ini merupakan versi yang yang lebih kecil dari aliansi lintas organisasi, yang terdiri dari empatbelas orang dari enam organisasi berbeda.24 Melihat bermacam-macam organisasi orangorang ini berasal, mungkin sebelumnya sudah ada sebuah perjanjian informal diantara para kelompok ekstrimis setelah terbongkarnya kamp pelatihan Aceh bahwa training dan kerjasama lintas organisasi harus terus berlanjut. Pada Agustus 2010, kelompok Sabar mendapat anggota baru, yaitu Hilman Djajakusumah, seorang eks pengedar narkoba yang direkrut di lapas Kerobokan Bali tahun 2004 oleh Imam Samudra, salah seorang pelaku utama Bom Bali yang kemudian dihukum mati. Hilman membantu melakukan survey kemungkinan target-target operasi fa’i di sekitar Medan tapi hanya tinggal selama beberapa minggu sebelum kembali ke Jawa karena istrinya melahirkan.25 Seperti yang akan dibahas dibawah, Hilman muncul lagi di bulan Maret 2012 sebagai salah seorang dari lima orang yang terlibat dalam apa yang kelihatannya seperti sebuah plot bom Bali III yang diotaki oleh anggota JAT Beberapa minggu setelah kedatangan Hilman, Sabar menyuruh pengikutnya untuk menunda operasi-operasi selanjutnya untuk sementara, karena ada kelompok lain yang berencana untuk merampok sebuah cabang bank CIMB-Niaga di Medan. Sabar tidak setuju dengan cara kelompok lain tersebut beroperasi: ia merasa operasi itu tidak direncanakan dengan baik, dan terlalu banyak yang terlibat. Kekhawatirannya berdasar. Pada tanggal 18 Agustus, dalam sebuah operasi fa’i yang melibatkan 19 orang, para pelaku perampokan menembak mati seorang polisi ketika mereka mengambil uang bank itu, dan polisi kemudian melakukan pengejaran besarbesaran. Pada 19 September 2010, mereka berhasil melacak beberapa pelaku ke sebuah rumah di Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara, menembak mati tiga orang dan menangkap yang lain. Tiga hari kemudian, sebuah kelompok bersenjata yang dikomandoi oleh Taufik Hidayat, pemimpin pelaku perampokan CIMBNiaga, menyerang sebuah Polsek di Hamparan Perak, di luar Medan, dan menembak mati tiga orang anggota
23
Ingatan tentang bulannya berbeda-beda, ada yang mengatakan awal Juli, akhir Juli, dan awal Agustus 2010, tapi awal Agustus kelihatannya yang paling konsisten dengan kesaksian yang lain. 24 Mereka termasuk Alex Gunawan, ketua JAT Medan, dan seorang anggota JAT lain; lima anggota kelompok Sabar, termasuk tiga dari Tim Hisbah, Solo; dua dari anggota KMI Toni Togar; tiga dari kelompok Lampung; dan Jaja Miharja. 25 Berkas perkara Agus Gaplek. op. cit.
Page 6
polisi. Menyusul aksi serangan teroris tersebut, dalam sebuah operasi polisi, sepuluh orang ekstrimis ditembak mati, termasuk ketua JAT Medan, Alex Gunawan, dan puluhan lebih ditangkap. Semua kejadian ini membuat kelompok Sabar menjadi kelompok jihad yang paling aktif di Medan. Kejadian ini juga menambah kuat keinginan diantara para ekstrimis pada umumnya untuk melakukan balas dendam. Sabar dan pengikutnya membanggakan diri pada cara berpikir yang lebih strategis, yang membedakan mereka dari kelompok pelaku perampokan CIMB-Niaga. Dengan merefleksikan perbedaan-perbedaan ini di tahun 2012, seorang anggota kelompok Sabar menulis: Dua kelompok ini sebenarnya saling mengenal dan sama-sama beroperasi di kota yang sama, namun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat dan berbeda dalam langkah kerja dan strategi di lapangan. Kelompok yang pertama berpendapat bahwa amaliyah perang gerilya kota harus segera dilakukan secepatnya untuk membalaskan darah mujahidin Indonesia yang telah ditumpahkan oleh thoghut dengan semena-mena dengan personel yang telah ada (kebetulan jumlah mereka lebih besar jika dibandingkan kelompok kedua). Tinggal dicarikan dana operasional dan kebutuhan logistiknya. Mereka tidak sampai memikirkan tentang kelanjutannnya di masa yang akan datang, dimana dibutuhkan tambahan personel baru yang tentunya memerlukan perekrutan dan pelatihan. Pokoknya bertempur bersama sampai habis. Berbeda dengan kelompok yang kedua yang mempunyai master plan jangka panjang, yang juga merancang tentang bagaimana melakukan pelatihan dan perekrutan yang berkesinambungan di samping juga memulai amaliyah gerilya kota. kelompok yang kedua ini cenderung lebih rapi dalam setiap pekerjaan mereka, karena mereka menganut madzhabrapi, efektif dan efisien. Mereka menyadari bahwa personel mujahid pada hari ini semakin sulit dicari, jadi jangan mengumbar tenaga sembarangan, semua harus diperhitungkan dengan matang.26 Tapi operasi kontra terorisme yang dilancarkan setelah kejadian perampokan CIMB-Niaga dan aksi serangan ke sebuah Polsek sebulan kemudian juga mencederai kelompok Sabar, sehingga mereka terpaksa berpencar.27 Operasi ini juga menimbulkan solidaritas diantara kelompok yang cenderung berpikir jangka panjang dan mereka yang bersemangat tinggi tapi cenderung ceroboh di berbagai bagian di Indonesia, karena
26 27
“Serial Trilogi Kebangkitan Jihad”, op. Cit. Ibid.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
Page 7
keduanya berusaha meloloskan diri dari operasi pengejaran polisi. Salah satu daerah yang terkena imbas adalah Poso.
mantan napi, disiapkan memegang peran pemimpin: Yasin dan Latif, keduanya ustadz, dan seorang bernama Santoso. Yasin mengurusi perekrutan; Santoso fokus pada pelatihan militer.30
B. KELOMPOK SANTOSO DI POSO
Hingga saat ini tidak jelas bagaimana (atau apakah) Poso masuk dalam rencana Dulmatin dan Ubaid tentang Aceh, tapi waktunya cukup menarik. Pada saat pembahasan mengenai pendirian cabang JAT di Poso mulai, rencana pendirian kamp pelatihan Aceh juga sedang berlangsung. Prospek membangun sebuah qoidah amanah di Aceh sebagai bagian dari sebuah strategi jangka panjang mungkin telah meningkatkan insentif untuk membangun laskar militer yang serius bagi JAT. Poso – dimana JI pernah menginvestasikan sejumlah besar waktu dan sumber dayanya – menjadi sebuah lokasi yang masuk akal untuk membangun sebuah unit militer dan membangun lokasi pelatihan kedua.
Poso pernah menjadi lokasi pertempuran sengit antara komunitas Muslim dan Kristen sejak bulan Desember 1998, tak lama setelah gejolak politik dan ekonomi yang melanda Indonesia dan menyebabkan lengsernya Presiden Soeharto.28 Sejak pertengahan tahun 2000, JI telah mulai mengirim ustadz-ustadz dan instruktur militer, kebanyakan dari mereka pernah berlatih di Mindanao, untuk membantu pihak Muslim. Sebuah perjanjian damai pada bulan Desember 2001 telah menghentikan konflik antar agama disitu, tapi serangan-serangan oleh kelompok ekstrimis, sebagian besar oleh kelompok lokal yang terkait dengan JI dan KOMPAK, terus berlanjut. Kelompok JI berbasis di wilayah Tanah Runtuh, sementara KOMPAK tak jauh dari situ, di wilayah Kayamanya. JI akhirnya melihat Poso sebagai wilayah qoidah aminah (basis yang aman) yang bisa dipakai sebagai tempat untuk meluncurkan operasi dakwah dan jihad. Setelah peristiwa bom Bali, pada saat sel-sel JI terpecah belah di seluruh Indonesia, Poso menjadi wilayah satusatunya dimana kegiatan JI masih aktif. Namun kepemimpinan yang buruk dan serangan-serangan yang semakin nekad, akhirnya mengakhiri cabang JI Poso tersebut, dan dalam sebuah peristiwa baku tembak dengan polisi tanggal 22 Januari 2007, JI Poso akhirnya berhasil ditaklukkan – atau begitu kelihatannya – dalam sebuah operasi yang menghasilkan penangkapan terhadap sebagian besar pemimpin senior yang hingga saat itu berhasil meloloskan diri dari kejaran polisi. Setelah peristiwa itu, Poso cukup tenang, dan kelompok Tanah Runtuh dan Kayamanya kelihatannya sudah kehilangan semangat untuk berjihad. Tapi ternyata masih ada banyak individu yang masih berniat untuk bertempur. Yang mereka perlukan hanya sedikit motivasi, dan JAT menyuplainya. Di akhir tahun 2009, JAT mengadakan diskusi awal di Poso untuk membicarakan rencana membentuk sebuah cabang lokal.29 Tiga orang, semuanya mantan JI dan
28
Untuk latarbelakang, lihat laporan Crisis Group Asia No127, Jihadism in Indonesia: Poso on the Edge, 24 January 2007; No103, Weakening Indonesia’s Mujahidin Networks: Lessons from Maluku and Poso, 13 October 2005; and No74, Indonesian Backgrounder: Jihad in Central Sulawesi, 3 February 2004. 29 Aryanto Haluta, seorang anggota JAT belakangan ditangkap terkait penembakan dua petuga polisi di Palu, mengatakan
Sampai akhir Februari 2010, tidak lama setelah terbongkarnya kamp pelatihan Aceh, Latif berada di Solo dalam perjalanan untuk keperluan membeli senjata. Ia berhasil mendapat sebuah senapan serbu M16 dan 80 peluru, tapi ketika akan kembali ke Palu naik kapal dari Surabaya, pengamanan di pelabuhan Surabaya sangat ketat, sehingga ia terpaksa meninggalkan senapan tersebut pada rekan-rekannya.31 Di awal Maret, Santoso datang ke Solo untuk membahas langkah selanjutnya dengan sekelompok rekan-rekan Dulmatin, yang semuanya pernah ikut ambil bagian di kamp pelatihan Aceh. Salah satunya adalah seorang bernama Sibghotullah, seorang veteran
Abu Tholut datang ke Poso sekitar awal 2010 untuk membahas tentang rencana mendirikan sebuah cabang. BAP Aryanto Haluta, 1 Juni 2011, dalam berkas perkaranya, PN Jakarta Barat, 2012. Tapi setelah terbongkarnya kamp Aceh, Abu Tholut tinggal di Jawa dengan tidak menarik perhatian, dan ceritanya mengenai kegiatannya di tahun 2009 tidak menyebut Poso. 30 Yasin pergi ke Poso dari Semarang sebagai bagian dari tim dakwah JI dan terus menetap. Ia ditangkap setelah baku tembak dengan polisi bulan Januari 2007, dihukum lima tahun penjara dan dibebaskan tahun 2010. Santoso, asal Jawa tinggal di Tambarana, Poso pertama-tama terpantau polisi di bulan Agustus 2004, ketika bersama dengan enam orang lainnya merampok sebuah truk yang mengangkut pasokan rokok Djarum. Ia kemudian aktif di kelompokTanah Runtuh, sebuah afiliasi Jemaah Islamiyah yang berbasis di kawasan yang bernama sama di Poso. Menurut testimoni rekan sesama kelompok Tanah Runtuh, ia melakukan perampokan tersebut atas inisiatifnya sendiri, bukan atas instruksi dari unit militer JI. 31 Testimoni Mu’arifin, 28 September 2010, dalam berkas perkara Abdullah Sunata, Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 2011.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
KOMPAK dari konflik Poso yang dekat dengan Ubaid dan Dulmatin. Pada 9 Maret, mereka semua sedang menonton warta berita di televisi, ketika muncul berita yang melaporkan bahwa polisi telah menembak mati Dulmatin dalam sebuah operasi di luar Jakarta. Santoso kembali ke Poso tak lama sesudahnya, dan dua minggu kemudian Sibghotullah menyusul. Santoso mendapatkan sebuah tempat tinggal baginya dan pekerjaan sementara di sebuah proyek Pekerjaan Umum (PU).32 Petunjuk pertama yang memperlihatkan bahwa Poso kembali menjadi pusat pelatihan jihad datang dari penangkapan seorang DPO Aceh lain bernama Joko Purwanto di bulan Mei 2010. Joko, yang pernah berlatih di Mindanao dan tahu Poso dengan baik karena pernah jadi instruktur militer JI di situ tahun 2001, bersaksi bahwa ia pergi ke Poso bulan April untuk mengecek kemungkinan cari senjata lebih banyak dan menggalang dana untuk membantu para buronan lain dan keluarga mereka. Selama di Poso, ia pergi dengan Santoso untuk memeriksa sebuah lokasi pelatihan yang mungkin bisa dipakai dan bertemu dengan beberapa laskarnya.33 Ia kembali ke Jakarta seminggu kemudian dengan permintaan dari Santoso untuk mencarikan amunisi dan beberapa seragam polisi yang bisa dipakai dalam operasi. Tanggal 8 Mei, ia ditangkap di Solo, bersama dengan sejumlah senjata dan amunisi yang ada dalam daftar ‘belanjaan’ dari Santoso.
Page 8
Setelah sesi yang ketiga, Santoso memutuskan ia perlu senjata lebih banyak untuk dipakai dalam program pelatihan; tujuannya satu orang, satu senjata. Untuk itu, ia mengirim sebuah laskar penembak untuk menyerang polisi yang menjaga sebuah bank di Palu. Tapi hal itu bukan ide bagus. Dua polisi tewas tertembak, yang ketiga luka-luka, dan dalam operasi penangkapan setelah kejadian itu, ruang lingkup operasi Santoso sepenuhnya terungkap. Akan tetapi, pelatihan militernya sendiri telah berhasil mengumpulkan beberapa kelompok. Training yang pertama, di kecamatan Poso Pesisir akhir bulan Januari 2011, melibatkan sekitar duapuluh orang. Sebagian besar lokal, tapi ada paling sedikit lima orang dari Kalimantan. Identitas mereka tidak semuanya diketahui tapi kemungkinan besar mereka dibawa lewat koneksi JAT. Yang kedua, kemungkinan di bulan Maret 2011 (para peserta ingatnya berbeda-beda mengenai tanggalnya), juga di Poso Pesisir, selain peserta lokal ada lima peserta dari luar, semuanya terkait JI atau JAT. Tiga dari lima peserta luar ini sudah tertangkap, dan latar belakang mereka menggambarkan sejauh mana pembauran telah terjadi diantara kelompok-kelompok ekstrimis ini:
Di bulan Agustus 2010, Abu Bakar Ba’asyir ditangkap di Jawa Barat, tapi hal ini tidak menghentikan rencana untuk mendirikan cabang JAT di Poso – kemungkinan malah menambah bulat tekad mereka. Di bulan November, Mohammad Achwan, pemimpin JAT sementara, datang ke Poso bersama dengan Abdul Rahim Ba’asyir, anak bungsu Abu Bakar Ba’asyir, untuk menjelaskan tentang misi JAT ke para anggota baru. Di akhir kunjungan mereka, cabang baru JAT mulai beroperasi.
C. TADRIB (PELATIHAN MILITER) PIMPINAN SANTOSO Santoso dan sayap militernya lanjut melakukan tiga sesi pelatihan, yang tidak terdeteksi oleh pihak berwenang setempat, yaitu di bulan Januari, Maret dan Mei 2011.
Imron Rosyidi, lahir di Jakarta tahun 1985, adalah seorang lulusan (tahun 2000) pesantren Abu Bakar Ba’asyir di Ngruki, Solo. Setelah mengajar sebentar di Jawa Timur, ia kembali ke Jakarta dan bergabung dengan MMI, kemungkinan besar kemudian ia pindah haluan ke JAT ketika orang-orang JAT pisah dari MMI tahun 2008. Tahun 2009, ia pergi ke Aceh untuk mengajar di sebuah pesantren di sana, dan rumahnya belakangan menjadi sebuah pusat transit dan basis logistik bagi orang-orang yang akan ke kamp pelatihan Aceh. Setelah polisi menggerebek kamp Aceh, Imron pertama-tama lari ke Jakarta, dengan teman-teman dari Ring Banten, kemudian ke Solo, dimana untuk pertama kali, di bulan Maret 2010, ia bertemu dengan anggota Tim Hisbah.34 Akhirnya ia kembali ke Jakarta dan berusaha tidak menarik perhatian selama beberapa bulan. Awal 2011, ia merekrut beberapa orang teman untuk training dan berangkat ke Poso lewat Jakarta dan Balikpapan, dimana mereka menjemput dua orang anggota baru. Imron ditangkap bulan Juni 2011.
32
Santoso memperoleh kontrak dari pemerintah untuk membersihkan selokan di Palu dan mempekerjakan beberapa rekan-rekannya yang kemudian menjadi pasukan pembunuh kelompoknya. Kondisi ini memperlihatkan bahwa proyekproyek pekerjaan bagi eks-jihadi perlu dipantau dengan sangat hati-hati. 33 Testimoni Joko Purwanto dalam berkas perkara Abdullah Sunata, op. Cit.
34
Rekan-rekan Ring Banten-nya memperkenalkannya kepada Mu’arifin, yang saat itu tinggal di Bandung, dan orangtuanya punya rumah di Solo. Rumah di Solo menjadi tempat berkumpul bagi beberapa buron Aceh. Testimoni Mu’arifin, op. cit.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
Agus Supriyanto, lahir di Sumatera Selatan tahun 1982, adalah teman Imron dari masa kuliahnya di Universitas Muhammadiyah di Solo. Pada bulan Desember 2009, Agus pergi ke Aceh untuk mengajar atas permintaan Imron; ia kemudian diminta untuk bergabung dengan kamp Aceh. Setelah training selama dua minggu, ia kembali mengajar sebentar sebelum kembali ke Solo pertengahan tahun 2010. Tak lama setelah itu ia pindah ke Palembang, Sumatera Selatan, dan disitulah Imron menghubunginya lagi di awal tahun 2011 mengenai rencana training di Poso. Agus ditangkap tanggal 5 Mei 2012 di Palembang.35 Agung Prasetyo, juga dikenal sebagai Gede dan Akbar, dari Jawa Timur, kelihatannya teman sekelas Agus di Solo. Ia bertemu dengan Udin dari kelompok Sabar sekitar awal tahun 2010 di Solo. Tak berapa lama setelah itu, ia pindah ke Samarinda, Kalimantan Timur. Iparnya, Mu’arifin, ikut mendukung kamp pelatihan Aceh, dan setelah kamp Aceh terbongkar, atas permintaa Mu’arifin, ia membantu beberapa DPO Aceh mencari tempat bersembunyi dan bekerja di Samarinda di bulan Maret 2010.36 Tampaknya ia tetap berkomunikasi dengan kelompok Sabar dan beberapa kontak di Jawa Tengah. Ia ikut ambil bagian dalam latihan militer Poso yang pertama di bulan Januari 2011 dan kemudian kelihatannya menjadi perekrut dalam latihan yang kedua. Agung ditangkap tanggal 14 Mei 2012.
Training yang ketiga, di bulan Mei 2011, pengikutnya lebih beraneka ragam. Meskipun sebagian besar dari sekitar duapuluhan atau lebih pesertanya adalah orangorang Santoso, yang lain termasuk beberapa peserta dari luar dengan latar belakang menarik: Udin dari Medan; dua orang dari pesantren JAT di Bima, Sumbawa, yaitu Ustad Abrory dan Ustad Jipo; Cahya Fitriyanta, lulusan pesantren JI yang menjadi teman iparnya Dulmatin; dan dua orang dari Kalimantan. Salah satunya, Muadz (juga ditulis Muats dan Muad), kemungkinan adalah anggota kelompok sempalan Darul Islam yang dikenal sebagai DI-Akram atau kelompok Abu Umar, yang ditangkap di Tawao, bulan November 2011.
D. PERAMPOKAN MOTOR Semuanya mungkin akan baik-baik saja kalau saja Santoso tidak memutuskan untuk menyerang sebuah Polsek di Palu. Aksi ini mengakibatkan penangkapan
35
“Dana Kamp Teroris Poso dan Gerja Solo Disimpan di Bank”, www.beritasatu.com, 13 Mei 2012. 36 Testimoni Mu’arifin, op. cit.
Page 9
terhadap beberapa orang yang menjelaskan struktur cabang JAT kepada polisi dan memberi informasi yang menghasilkan gelombang baru penangkapan. Kejadian ini juga menyebabkan Santoso memanfaatkan cadangan orang-orangnya, yaitu: para bekas napi yang direkrut oleh Yasin dan Latif di penjara. Hingga saat itu, pada umumnya anggota laskar bersenjata Santoso adalah orang-orang yang sudah ia kenal sejak memuncaknya konflik. Tapi untuk beberapa alasan, mereka perlu sumber daya manusia ekstra. Mereka juga sudah hampir pasti kekurangan uang, karena sejumlah besar dana telah dipakai untuk training bulan Mei. Walaupun kebanyakan peserta membiayai diri sendiri, pengeluaran penyelenggara training kemungkinan cukup besar. Namun, setelah polisi mengikuti jejak mereka, pertahanan juga penting. Selain itu, mereka sekarang juga punya anggota yang tewas, karena polisi telah menembak mati dua orang tim Palu tak lama setelah insiden penyerangan, dan kelompok Santoso harus menggalang dana bagi jandajanda dan keluarganya. Untuk alasan-alasan ini semua, Santoso dan seorang residivis lain, Imron (tidak ada hubungan dengan Imron Rosyidi diatas), memutuskan untuk melakukan lebih banyak operasi pencurian motor untuk dijual di pasar gelap. Kelompoknya sudah pernah melakukan ini beberapa kali, tapi sekarang kebutuhan lebih mendesak. Imron, seorang anggota inti kelompok Santoso yang juga seorang eks-napi, mengajak lima orang untuk bergabung dengan sel baru dari Tim Askary JAT Poso. Sedikitnya dua orang, Fadlun dan Irwanto pernah satu penjara di Lapas Petobo, Palu, ketika Ustad Yasin dan yang lain menjalani hukuman disitu terkait bentrokan bulan Januari 2007. Yasin mengadakan pengajian di penjara sekitar awal 2008 yang diikuti oleh Fadlun, yang dipenjara karena menculik seorang anak, dua pengedar narkoba, dua pencuri, tiga pemerkosa dan seorang pembunuh. Ia mengajak para penjahat ini untuk bertobat atas perbuatan mereka di masa lalu dan mulai mengajarkan tentang tauhid dan jihad. Tidak jelas berapa yang terus ikut dalam pengajian radikal ini setelah mereka bebas. Fadlun kelihatannya sudah tidak ikut kegiatan keagamaan lagi setelah ia bebas tahun 2009. Ia pergi ke Malaysia sebagai TKI ilegal di Malaysia, pulang tahun 2010 dan bekerja di sebuah toko elektronik sampai ia ditangkap karena kasus penggelapan. Setelah ditahan selama sebulan di tahanan polisi, ia dibebaskan, bekerja sebagai kuli bangunan selama beberapa bulan dan sedang menganggur ketika Imron mengajaknya bergabung dengan kelompoknya. Pada bulan Agustus 2011, Irwanto, atas perintah Imron, bertanya ke Fadlun kalau ia berminat melakukan pencurian motor. Karena tidak ada pekerjaan lain yang lebih baik, Fadlun setuju, dan
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
antara bulan Agustus dan November 2011, ia dan Irwanto, kadang dibantu orang ketiga, berhasil mencuri dan menjual sebelas sepeda motor. Setahu Fadlun, setengah dari hasil penjualan akan diberikan ke para janda mereka yang ditembak mati oleh polisi. Temannya bersaksi bahwa 15 persen disisihkan untuk tujuan ini, dan sisanya yang 85 persen dibagi diantara para pelaku.37 Insentif dari segi ekonomi bagi para eks-napi yang ikut ambil bagian dalam aksi perampokan ini cukup tinggi.38 Pertanyaannya adalah apakah Imron tetap akan memanfaatkan cadangan eks-napinya kalau saja laskar militernya tidak dalam kondisi sulit. Apapun alasannya, hal itu ternyata merupakan langkah yang keliru karena para pencuri sepeda motor tertangkap dan hingga November 2011 sudah dipenjara lagi – sehingga kelompok Santoso kini semakin terekspos.
E. KEMBALI KE MEDAN Pada 9 Juni 2011, polisi menangkap ipar Dulmatin, Hari Kuncoro, di Jawa Tengah.39 Rekannya, Cahya Fitriyanta, seorang ahli komputer dan lulusan pesantren Abu Bakar Ba’asyir di Ngruki, Solo, yang sudah jadi DPO polisi, mulai khawatir ia yang akan ditangkap selanjutnya dan memutuskan untuk mengganti identitasnya, cari istri dan kabur. Yang pertama-tama ia lakukan dengan menggunakan keahlian komputernya yaitu membuat sembilan KTP, masing-masing dengan nama dan tempat lahir yang berbeda. Ia kemudian menelepon seorang perempuan yang sudah tidak ia temui sejak 2008 dan sudah lama terlibat dengan kelompok radikal, kemudian ia segera mengatur pernikahan dengannya. (Menikah penting karena istrinya bisa membantu menyediakan dana dan perlindungan). Setelah menikah, ia langsung berangkat sendirian ke Medan untuk tinggal dengan seorang rekan baru dari training Poso, yaitu Rizky Gunawan alias Udin. Selama sebulan ia dan Udin bekerja sama, menggalang dana lewat penipuan internet. Menurut polisi, aset Cahya di Medan pada saat penangkapan mencapai hingga lebih dari Rp 8 milyar, sebagian besar di properti. Ia dan Udin juga mampu menyumbang sejumlah besar dana bagi kegiatan training Poso.40
Page 10
IV. KELOMPOK DULMATIN DAN RENCANA MERACUN POLISI Cahya dan Hari Kuncoro merupakan bagian dari orang dekat Dulmatin.41 Seseorang yang juga bagian dari kelompok ini, yang menikah dengan adik dari istri pertama Dulmatin, adalah Ali Miftah, asal Cirebon tapi tinggal di Solo, dekat pesantren Ngruki. Ali menjadi terlibat dalam kamp Aceh lewat hubungannya dengan Dulmatin dan Ubaid.42Lewat serangkaian kejadian, pelariannya dari Aceh berkembang menjadi dibentuknya sebuah kelompok baru di Jakarta. Pada tanggal 11 April 2010, Ali Miftah sedang bersama Ubaid dan yang lain dari kamp Aceh di Medan, ketika sebuah patroli polisi melihat mobil mereka yang sedang berhenti dan mendatangi untuk memeriksanya. Semuanya ditangkap kecuali Ali Miftah, yang berhasil meloloskan diri. Ia kembali ke Solo dan pindah ke tempat Joko Purwanto, salah seorang dari peserta kamp Aceh yang juga berhasil lolos dan kembali ke Jawa – dan sudah berkomunikasi dengan Santoso di Poso. Dengan menggunakan tempat Joko sebagai basis, Ali Miftah berkeliling seputar Jawa Timur (Surabaya, Malang, Jember, Jombang, Kediri, Magetan, Ngawi dan Madiun) sambil berjualan obat-obatan herbal Islami. Berpindah-pindah tempat merupakan sebuah strategi keamanan dan cara untuk terus kontak dengan rekan-rekan jihadi, termasuk mereka yang berada dalam penjara. Ia merupakan pengunjung tetap lapas Sragen di Jawa Tengah, misalnya, hingga kemudian keadaan menjadi terlalu berbahaya baginya dengan semakin mendekatnya investigasi polisi. Selama itu tampaknya ia juga telah berkomunikasi dengan Umar Patek, yang kembali dari Mindanao bersama Hari Kuncoro bulan Juni 2009 tapi menolak untuk ikut terlibat dalam operasi Aceh. Joko ditangkap tanggal 13 Mei 2010 dan ditahan di Mabes Polri Jakarta. Ali Miftah kembali tinggal di rumah orangtuanya di Cirebon tapi tetap sibuk dengan urusan jihad, termasuk mencari tempat persembunyian baru di Jakarta buat Umar Patek.43 Ketika memerlukan
41 37
Berkas perkara Sarwo, (salinannya tidak tertera tanggal tapi kemungkinan November 2011). 38 Tapi motor curian dijual dengan sangat murah, sekitar Rp.1 juta satunya. 39 Hari menikah dengan adik perempuan Dulmatin, Widya Martiyana. 40 “BNPT seizes Rp8b in terrorist assets in Medan”, Jakarta Post, 21 Juni 2012 dan “Polisi Bekuk Terduga Teroris Poso”, www.beritasatu.com, 12 Juli 2012.
Dua yang lain di kelompok ini yaitu Tongji alias Warsito, yang membantu menjaga Dulmatin ketika ia tinggal di Pamulang, luar Jakarta di tahun 2009-2010 dan Moh, Sibghatullah. Keduanya ikut kamp Aceh. 42 Ia teman baik adik Ubaid, Umar Burhanuddin, teman sekelasnya di sekolah JI, Pesantren Darusyahada di Boyolali, Solo. Ali Miftah menganggap Ubaid sebagai seorang ustadz. Berkas perkara Ali Miftah, 15 Juni 2011. 43 Saat itu, Umar Patek sudah tinggal di Jakarta, tapi operasi polisi yang menewaskan Dulmatin bulan Maret 2010 mungkin telah membuatnya berpikir untuk pindah demi
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
bantuan, ia minta tolong seorang teman lamanya, Santhanam, seorang spesialis komputer yang tinggal di daerah Kemayoran, Jakarta.44 Santhanam sudah lama menjadi anggota sebuah taklim radikal. Hingga tahun 2010, ia adalah pengikut seorang ustadz radikal bernama Halawi Makmun, dan telah mengumpulkan sekitar tujuh orang yang tertarik melakukan peran jihadi yang lebih aktif. Tapi ketika Ali Miftah menyampaikan rencana untuk menyediakan akomodasi buat Umar Patek, ternyata hanya dua yang punya komitmen, sehingga rencana tersebut ditinggalkan, dan Patek akhirnya berangkat ke Pakistan tanpa bantuan mereka.45 Namun demikian, mereka masih ingin melakukan sesuatu, dan penangkapan Joko Purwanto di bulan Mei memicu diskusi mengenai apa yang bisa mereka lakukan buat para mujahidin di penjara. Dalam beberapa kunjungan ke Jakarta antara bulan Juli dan akhir tahun 2010, Ali Miftah bertemu dengan Santhanam dan rekan-rekannya untuk membahas mengenai penggalangan dana lewat fa’i dan membuat senjata rakitan sendiri. Mereka telah men-download materi mengenai cara merakit bom dari sebuah situs radikal dan bertekad untuk membuat sebuah senjata dalam satu tahun. Ali Miftah juga memberi sebuah pistol berbentuk pena untuk mereka coba dan tiru.46 Pada saat yang sama, ia menugaskan Santhanam untuk mengunjungi Joko di tahanan Mabes Polri secara rutin. Ia kelihatannya menganggap Joko sebagai ketua yang harus menyetujui semua keputusan. Pada pertengahan Februari 2011, pada saat Ali Miftah sedang datang berkunjung, Santhanam mengutarakan gagasan untuk meracun polisi. Katanya ia terinspirasi oleh Halawi Makmun, yang dalam ajarannya memerintahkan untuk memakai segala cara, termasuk racun, untuk menyerang thaghut, karena mereka bertanggungjawab atas kematian banyak orang Muslim. Ali Miftah setuju, tapi mengingatkan bahwa dengan
keamanan. Ia memang pindah rumah di bulan Juni tapi tetap tinggal di kawasan yang sama. 44 Santhanam bertemu Ali Miftah lewat Ridwan Farid, lulusan pesantrennya Ba’asyir’ di Ngruki, yang memimpin sebuah pengajian ekstrimis di Jakarta. Setelah bencana tsunami tahun 2004 di Aceh, Ridwan ikut Ali Miftah ke Aceh sebagai relawan, dan mereka tinggal satu rumah sebentar di Jakarta sekembalinya dari Aceh awal tahun 2005. Santhanam bertemu Ali Miftah pertama kali di rumah ini. 45 Ia berangkat bulan Agustus 2010 dan ditangkap di Abbottabad, Pakistan di bulan Januari 2011, dideportasi ke Indonesia tiga bulan kemudian dan diadili untuk kasus Bom Bali I tahun 2012. 46 Berkas perkara Sanathanam, tidak bertanggal tapi kemungkinan bulan Juni 2011. Situs itu adalah Forum Islam at-Tawbah (at-tawbah.net) yang diantaranya memuat versi bahasa Indonesia majalah online al-Qaeda berjudul Inspire.
Page 11
situasi dana yang terbatas berarti mereka harus menggunakan racun dari sumber alami seperti risin atau bisa ular. Lewat pencarian internet Google dengan mengetik “tanaman beracun”, Santhanam menemukan sebuah resep cara membuat racun risin, dan mereka sepakat untuk melanjutkan rencana mereka, kalau bisa sebelum vonis dijatuhkan terhadap kasus Abu Bakar Ba’asyir, yang sidangnya sudah dimulai. Sementara itu, Ali Miftah, semakin merasa tidak aman di Solo dan memutuskan untuk lari ke Poso. Di bulan Februari 2011, tidak lama setelah bertemu dengan Santhanam, ia menelepon Santoso, yang ia kenal lewat Joko, dan minta bantuan. Santoso setuju untuk membantu dan menemukan tempat untuk bersembunyi baginya di Parigi, Sulawesi Tengah. Ia sedang bekerja sebagai salesman perawatan herbal, guru TK dan penasihat remaja masjid ketika ditangkap tanggal 11 Juni 2011. Santhanam dan rekan-rekannya ditangkap sehari sebelumnya, atas kepemilikan racun risin yang mereka siapkan dalam sebuah botol air minum mineral. Pagi itu, Joko telah menelepon mereka dari penjara dan menyuruh mereka, kalau bisa melaksanakan rencana operasi mereka hari itu setelah shalat Jumat. Kelompok teroris yang lebih buruk kompetensinya dari mereka akan sulit untuk dicari. Jelas mereka tidak memikirkan rencana mereka secara mendetil; atau tidak ada yang berpikir instruksi Joko mungkin agak aneh. Mereka mengambil botol risin, mengolesnya pada dua buah sedotan dan pergi ke sebuah warung yang sering dikunjungi polisi dekat tempat Santhanam tinggal di Kemayoran. Mereka sedang berusaha mencari cara bagaimana menaruh sedotan kedalam minuman yang mungkin dipesan polisi atau ke mangkuk sambal, ketika mereka ditangkap. Kelompok Dulmatin kini pada umumnya sudah ditangkap atau tewas, dan Santhanam beserta rekanrekannya sekarang berada dalam tahanan, tapi pertanyaan besarnya yaitu mengenai orang-orang yang di Jawa Timur yang sering dikunjungi Ali Miftah, belum lagi Santoso dari Poso, yang saat ini masih buron.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
V. HUBUNGAN KE ABU UMAR Keterlibatan Muadz dari Kalimantan Timur dalam pelatihan Santoso bulan Mei 2011 memperlihatkan bahwa imbas dari terbongkarnya kamp Aceh mungkin telah mendekatkan kerjasama antara JAT dan kelompok yang sekarang lebih dikenal sebagai Kelompok Abu Umar.47 Kelompok ini sempalan Darul Islam, yang dulunya disebut sebagai DI-Akram, diambil dari nama pemimpinnya saat itu. Kelompok ini yang memulai salah satu program latihan militer yang pertama bagi orang-orang Indonesia di akhir tahun 1980an di Mindanao, markas Moro Islamic Liberation Front (MILF), Camp Abu Bakar, beberapa tahun sebelum JI mulai membangun sebuah kamp pelatihan disitu. Mereka juga merintis sebuah rute transit lewat Kalimantan Timur ke Tawao di Sabah dan lanjut ke Tawi-Tawi dan Zamboanga di Filipina bagian selatan. Abu Umar, yang nama sebenarnya Muhammad Ichwan, juga dikenal sebagai Zulfikar, direkrut masuk Darul Islam tahun 1988, ketika masih duduk di bangku SMA di Jakarta, dan di-bai’at sebagai anggota DI tahun 1990. Di tahun 1997, ia dikirim ke Mindanao untuk training, ditemani oleh Enceng Kurnia – yang di tahun 2010 tewas tertembak ketika mencoba meloloskan diri dari operasi polisi menggerebek kamp Aceh. Di tahun 1999, marah karena DI tidak tertarik membela komunitas Muslim dalam konflik Ambon, ia membantu membentuk sebuah unit yang disebut Batalyon Abu
47
Pengistilahan ini hanya untuk memudahkan karena tidak jelas bagaimana anggota menyebut kelompok mereka. Kelihatannya kelompok ini bagian dari kelompok sempalan Darul Islam yang lebih besar dan sudah hampir pasti punya nama sendiri. Pemimpin pertamanya adalah Taufiqur Rohman, alias Akram, alias Syamsudin, orang Jawa yang berlatih di perbatasan Pakistan-Afghanistan bersama dengan generasi pertama pimpinan JI. Ketika kembali dari perbatasan, ia pindah ke Sabah, terus ke Mindanao tahun 1989 untuk mendirikan kamp pelatihan buat DI. Dari tahun 1991 hingga 1998 ia tinggal di Nunukan, Kalimantan Timur, tapi mondar mandir ke Mindanao. Ia dan keluarganya kemudian balik lagi ke Temanggung, Solo. Tanggal 27 Januari 2000, ia bertanggungjawab atas pengeboman Masjid Kauman di Yogyakarta karena menurutnya itu adalah mesjid dhiror (mesjid yang dipakai untuk memecah belah ummah), justifikasi yang sama yang dipakai oleh pelaku bom bunuh diri di Mapolresta Cirebon bulan April 2011. Ia kelihatannya kemudian telah pindah ke Sulawesi Tengah dan Barat, dimana ia terlibat dalam sejumlah aksi penyerangan. Ia ditangkap tanggal 9 Mei 2005, atas tuduhan pengeboman mesjid, dan dihukum empat tahun penjara. Ia dibebaskan tahun 2008; tidak jelas bagaimana kabarnya setelah itu. Lihat “Perkara Pidana B.140 atas Nama Klien: Muhammad Auwal Suhardi, Taufiqur Rohman”, Universitas Islam Indonesia, 2005.
Page 12
Bakar.48 Diantara para pendirinya ada Ahmad Sayid Maulana – seorang instruktur di kamp Aceh yang juga tewas terbunuh oleh polisi di bulan Mei 2010. Kelompok ini berada di belakang penyerangan terhadap almarhum Matori Abdul Jalil, tatkala ia menjabat wakil ketua Majelis Permusyarawatan Rakyat, dan sejak saat itu Abu Umar masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) polisi.49 Setelah aksi penyerangan tersebut, Abu Umar mondarmandir antara Ambon, untuk bertempur dalam konflik yang sedang memuncak disitu, dan Kalimantan Timur, untuk berdagang. Di tahun 2002 ia membawa keluarganya pindah ke Sebatik, sebuah pulau yang terletak di lepas pantai Kalimantan Timur yang terbelah antara Malaysia dan Indonesia. Ia tinggal disitu selama tiga tahun dan mengajar di sebuah SD, tapi misi utamanya kelihatannya membantu mendirikan sebuah fasilitas training baru di Mindanao setelah tentara Filipina membongkar Camp Abu Bakar di tahun 2000. Ketika ia di Sebatik, anggota lain di organisasinya sedang aktif di tempat lain: Enceng Kurnia di tahun 2003 membantu Dulmatin dan Umar Patek kabur ke Mindanao lewat Poso, dan Sabar, alias Abu Audat (tidak sama dengan Sabar yang berbasis di Medan), sedang membantu melatih para mujahid di Sulawesi Selatan.50 Sabar, yang saat itu berbasis di Makassar, belakangan membantu menyediakan tempat bersembunyi kepada beberapa buron penting setelah kehancuran kamp Aceh. Di bulan Agustus 2005, setelah bosnya, Akram, ditangkap di Sulawesi Tengah, Abu Umar pindah kembali ke Jakarta, mengambil alih laskar militer unit DI disitu, membangun komunikasi kembali dengan para eks-anggota Batalyon Abu Bakar dan melakukan perekrutan anggota baru secara aktif. Dua anggota kelompoknya kembali ke Poso untuk bergabung dalam pertempuran dengan polisi tanggal 22 Januari 2007. Setelah polisi “menang”, semua
48
Lihat laporan Crisis Group, Recycling Militants, op.cit. Matori Abdul Jalil, saat itu juga merupakan ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). 50 Pada bulan Maret 2003, Enceng Kurnia memegang peran penting dalam membantu Umar Patek, Dulmatin dan keluarga mereka lari dari Mindanao via Poso dan Tawao, Sabah. Bulan Agustus 2003, ia pergi ke Mindanao selama sepuluh bulan. Sekembalinya ke Indonesia, Enceng bekerja dengan ketua KOMPAK Abdullah Sunata untuk mengadakan pelatihan militer di Ceram Barat, Maluku untuk sekitar 30 kader DI dan KOMPAK bulan Juli 2004. Ia ditangkap bulan Juli 2005 atas kepemilikan senjata secara ilegal dan menyembunyikan informasi terkait pengeboman Kedubes Australia tahun 2004. Lihat BAP Enceng Kurnia, Juli 2005, dari berkas perkaranya, Jakarta, 2006. 49
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
kelompok militan yang diwakili disitu mungkin telah memutuskan bahwa mereka perlu lebih banyak training militer. Kelompok Abu Umar memutuskan untuk berusaha mengadakan satu sesi training tiap enam bulan di Sulawesi, meskipun tampaknya mereka tidak terlalu berhasil mewujudkannya. Sesi pertama dilakukan bulan Agustus 2007 dekat Palopo, Sulawesi Selatan, dan yang kedua di bulan Juli 2008, di Pulau Kura-Kura dekat perbatasan Sulawesi Selatan-Sulawesi Tenggara, keduanya diikuti sekitar 25 peserta dan keduanya kelihatannya hanya untuk kelompok mereka, dan tidak ada peserta dari organisasi lain. Salah seorang yang ikut dalam sesi training kedua yaitu Iwan Kurniawan, adik Enceng Kurnia. Pada bulan Oktober 2008, beberapa anggota kelompok DI Jakarta ditangkap, dan Abu Umar, yang hingga saat itu hanya memegang urusan militer, mengambil alih komando operasi Jakarta, meskipun masih tidak jelas sejauh mana kelompok ini memegang kontrol di luar urusan militer. Selain itu, kelihatannya kelompok ini juga eksis di Sulawesi Selatan dan dipimpin oleh Sabar alias Abu Audat di Makassar. Pada bulan November 2008, Enceng Kurnia, kawan perang Abu Umar, dibebaskan dari penjara.51 Pada saat sesi training ketiga, sekali lagi di pulau KuraKura sekitar Oktober 2009, proses perekrutan untuk kamp Aceh sudah dimulai. Enceng Kurnia dan Ahmad Sayid Maulana sangat terlibat dalam program ini, dan Abu Umar, sejak September, sudah menawarkan kepada orang-orangnya kesempatan untuk ambil bagian – dan seorang pemuda dari Jakarta Barat mengambil kesempatan itu.52 Namun orientasi kelompok Abu Umar lebih condong ke Utara, ke arah Filipina bagian Selatan, dimana mereka punya seorang pemasok senjata dan koneksi yang kuat lewat Tawi-Tawi dan seterusnya. Mengingat hubungan yang dekat antara Enceng Kurnia dengan Dulmatin, mungkin pernah ada diskusi bahwa mereka akan saling mendukung dan membantu kalau proyek Aceh berhasil, tapi pada tahap itu kelompok Abu Umar tidak memperlihatkan adanya keinginan untuk bergabung kekuatan dengan siapapun, setidaknya di bidang militer; tapi di bidang dakwah,
51
Ia mengambil alih setelah polisi menangkap ketua sel Jakarta saat itu, Budiman, yang meninggal seminggu setelah dirawat di RS Polri karena sakit liver yang sudah lama dideritanya. Kelompok inti Budiman termasuk seorang yang memimpin kelompok Kayamanya di Poso sebentar, Ruslan Mardani, alias Wahyu alias Uci. Uci juga ditahan bulan Oktober 2008 dan kemudian dihukum sepuluh tahun penjara. 52 Testimoni Asmuni alias Munir, 7 Juli 2011, dalam berkas perkara Asmuni alias Munir, 2012.
Page 13
mereka dengan senang hati memanfaatkan ulama dari kelompok lain karena mereka tidak punya banyak.53 Sesi training yang keempat, di bulan Februari 2010 dekat Mamuju, Sulawesi Barat, berlangsung sebelum kamp Aceh terbongkar. Sejak saat itu, Abu Umar dan rekan-rekannya terkena dampaknya. Yang paling parah, Enceng Kurnia tewas tertembak, membuat adiknya, Iwan, – dan yang lain – bertekad untuk balas dendam.54 Anggota-anggota mereka di Makassar dan Jakarta memberi tempat berlindung kepada para buron, dari kamp Aceh dan dari kasus perampokan bank di Medan, beberapa dari mereka kemudian lari ke Poso, yang berarti komunikasi dan interaksi dengan kelompok Sabar di Medan maupun dengan Santoso di Poso menjadi lebih sering – dan kemungkinan mereka menarik perhatian polisi juga semakin tinggi.55 Pada bulan Februari 2011, kelompok Abu Umar mengorganisir sesi training di Gunung Walenrang, dekat Palopo, Sulawesi Selatan. Yang menarik, para pesertanya termasuk enam orang dari Poso. Pertanyaannya adalah apakah mereka orang-orangnya Santoso. Hal ini akan masuk akal, mengingat tujuan mereka paska terbongkarnya kamp Aceh adalah untuk melatih sebanyak mungkin anggota mereka, dan setidaknya satu orang dari kelompok Santoso kemungkinan terkait dengan seorang tersangka dalam kasus penembakan polisi Palu beberapa bulan sebelumnya.56 Kenyataan bahwa salah seorang anggota kelompok Abu Umar, Muadz, ikut dalam training Santoso di bulan Mei 2011 memperkuat kemungkinan bahwa ada hubungan saling mendukung diantara kedua kelompok ini. Kaitan lewat training menimbulkan pertanyaan mengenai apakah juga ada pembicaraan dengan Santoso mengenai cara mendapat senjata di Filipina Selatan. Santoso sangat perlu lebih banyak senjata
53
Hasilnya, Abu Umar mendorong orang-orangnya untuk ikut ceramah dan pengajian oleh ustadz-ustadz seperti Aman Abdurrahman, Halawi Makmun, Farid Okhbah dan Cholil Ridwan. Beberapa anak buah Abu Umar yang ditangkap bulan Juli dan November 2011 menganggap diri mereka sebagai pengikut Aman Abdurrahman. 54 Crisis Group interview, teman Enceng Kurnia, Jakarta, Agustus 2011. 55 Para DPO yang dibantu di Jakarta adalah Fitoyo, alias Fajar, Ibrahim dan Andi Maralon, semua kelihatannya masih buron, dan di Makassar, Sibghotullah, yang awalnya tinggal dengan Sabar, alias Abu Audat di Makassar dan kemudian tinggal dengan Santoso di Poso. 56 Seorang tersangka mengatakan salah seorang peserta bernama “Charlie”; seorang anggota tim assassin (pembunuh) Santoso, yang kemudian tewas tertembak oleh polisi, adalah Fauzan alias Charles.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
untuk sesi trainingnya; orang-orangnya Abu Umar punya banyak koneksi untuk mendapatkan senjata dari Filipina: ia punya pemasok senjata di Zamboanga, dan sejak awal 2011 anak tirinya ada di Jolo bersama dengan Abu Sayyaf Group (ASG).57 Apakah hubungan ini berarti akan ada lebih banyak kerjasama di masa depan diantara mereka, masih belum pasti. Tapi pada tanggal 4 Juli 2011 beberapa orang anggota kelompok Abu Umar, termasuk Iwan Kurniawan, tertangkap pada saat mereka sedang berusaha menyelundupkan senjata dari Mindanao lewat Surabaya. Abu Umar sendiri tertangkap di hari yang sama di Jakarta Barat.
Page 14
VI. KONEKSI BIMA Kalau Poso muncul berulang kali dalam cerita pelarian para anggota kelompok ekstrimis dari Aceh, begitu juga Bima, Sumbawa di propinsi Nusa Tenggara Barat. Hubungan mereka dengan ekstrimisme paska Aceh adalah lewat dua orang yang pernah belajar di pesantren JI, yaitu Abrory dan Uqbah.58 Abrory membantu mendirikan pondok pesantren Umar bin Khattab di Bima tahun 2004 dan menjadi pimpinannya. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ia dan seorang guru lain dari pesantren ini ikut dalam latihan militer Santoso di bulan Mei 2011. Sekitar sebulan kemudian, tanggal 30 Juni 2011, seorang siswa dari pesantren ini berjalan mendatangi sebuah Polsek dekat sekolah itu dan menusuk seorang polisi hingga tewas. Kurang dari dua minggu kemudian, tanggal 11 Juli, seorang pengajar tewas dalam sebuah ledakan ketika ia sedang membuat bom, dan staf pesantren beserta para siswanya menghalangi polisi masuk ke area pondok selama tiga hari, supaya beberapa perakit bom yang lain bisa melarikan diri terlebih dahulu. Ketika akhirnya polisi bisa masuk, mereka menemukan bukti-bukti bahwa ada lebih banyak bom yang telah dirakit. Abrory ditangkap tanggal 15 Juli 2011 – lebih dari dua puluh tahun setelah ayahnya ditangkap oleh pemerintah Soeharto karena berencana untuk mendirikan sebuah negara Islam.59
58
57
Tidak jelas bagaimana atau kapan orang-orangnya Abu Umar bergabung dengan ASG, tapi Dulmatin dan Umar Patek dipaksa keluar dari wilayah Moro Islamic Liberation Front (MILF) bulan November 2005 sebagai bagian dari perundingan damai antara MILF dan pemerintah Filipina. Saat itu mereka bergabung dengan ASG Jolo, dan kemungkinan orang-orang DI mengikuti langkah mereka. Mereka semua berada dalam satu unit dibawah Radullan Sahiron. Anak laki-laki Abu Umar menurut laporan berangkat ke Jolo bulan April 2011.
Abrory adalah lulusan Pesantren al-Muttaqien di Jepara, Jawa Tengah, tahun 1999. Alumni al-Muttaqien yang lain termasuk Mustaghfirin, yang ditangkap tahun 2006 karena membantu Noordin, dan Enal Ta’o, seorang WN Malaysia dari Sandakan, Sabah yang terlibat dalam beberapa kejahatan yang melibatkan kekerasan di Poso dan melarikan diri ke Aceh tahun 2006 dari kejaran polisi. Ia tewas tertembak disitu bulan Maret 2010. Abu Umar dan Mas Selamat Kastari, pimpinan JI Singapura, mengirim anak mereka bersekolah di pesantren ini. Uqbah pernah belajar di Mahad Aly di Gading, Soli, lulusan tahun 2003 bersama dengan Ubaid, Suramto dan Bagus Budi Pranoto, alias Urwah. Urwah kakak kelas (tiga tahun diatasnya) Abrory di alMuttaqien, lulus tahun 1996 kemudian belajar di Mahad Aly. Ubaid dan Uqbah, selain teman sekelas di Mahad Aly, juga sama-sama belajar di Pesantren Darusyahada di Boyolali, Solo sebelumnya. 59 Bima punya sejarah panjang dengan kelompok-kelompok radikal, semula terkait dengan Darul Islam. Salah seorang tokoh ekstrimis akhir tahun 1970an yaitu Abdul Qadir Baraja, yang mengajar di pesantren Abu Bakar Ba’asyir di Ngruki. Ia divonis bersalah menyediakan bahan peledak untuk pengeboman candi Borobudur tanggal 21 Januari 1985 di Jawa Tengah. Setelah dibebaskan ia mendirikan sebuah
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
Uqbah, lewat mantan teman sekelasnya, menjadi terlibat di akhir tahun 2008 dalam membantu menggalang dana buat Noordin Top yang dipakai untuk rencana pengeboman hotel.60 Setelah aksi pengeboman diikuti gelombang penangkapan oleh polisi, ia membantu mengatur tempat berlindung di pesantren Umar bin Khattab bagi ipar Dulmatin, Hari Kuncoro, yang tidak terlibat dalam pengeboman tapi tiba-tiba merasa tidak aman tinggal di Jakarta.61 Pada September 2009, Uqbah dipanggil ke Magetan, Jawa Timur oleh mantan teman sekelasnya, Ubaid, yang sedang mengajar di pesantren orangtuanya.62Ubaid mengajak Uqbah bergabung organisasi anti-kekerasan, Khilafatul Muslimin, yang terus aktif di Sumbawa, dan beberapa wilayah lain di Indonesia. 60 Testimoni Suramto, alias Ziyad, alias Deni, 20 September 2010 dalam berkas perkara Abu Bakar Ba’asyir, 2011. Urutan kejadian kelihatannya mulai akhir tahun 2008 ketika rekan Noordin Top, Urwah, yang saat itu baru dibebaskan dari penjara setahun yang lalu, mengundang beberapa bekas teman sekelasnya dan anak buahnya di daerah Solo untuk bergabung dengan kelompok Noordin. Salah satunya adalah Suramto. Tidak jelas kapan Uqbah ikut masuk, tapi di bulan November 2008, Urwah menyuruh Suramto untuk memberikan nomor rekening bank nya ke Uqbah, agar dana bisa ditransfer dari Bima. Transfer yang pertama dan kedua yang berjumlah total Rp.21,000,000 kelihatannya dilakukan jauh sebelum aksi bom hotel bulan Juli 2009 dimana Urwah sangat terlibat. Transfer yang ketiga berjumlah Rp.27.000.000, pastinya diterima Suramto dekat hari-H aksi pengeboman. Ia berhasil mengirim Rp.10.000.000 ke Urwah sebelum Urwah tewas terbunuh, kemudian menggunakan sisa uang untuk menghidupi dirinya di Bandung sebagai buron. Di bulan September 2009, Suramto, kali ini atas inisiatifnya sendiri, minta Rp. 1.000.000, yang langsung dikirim Uqbah. 61 Di bulan Agustus 2009, atas undangan “teman saya Uqbah”, Hari pindah ke pesantren Umar bin Khattab. Ia dan Umar Patek sudah kembali ke Indonesia bersama-sama dari Mindanao di bulan Juni 2009, jadi ia baru di Indonesia sekitar sebulan ketika serangan bom kembar terjadi. Ia pastinya khawatir ia bisa dilacak lewat kontak-kontak dengan individu-individu yang tak langsung terlibat dalam kelompok Noordin, meskipun tidak jelas siapa. Ia tinggal disitu hingga Desember 2009 dan kelihatannya pernah mengadakan beberapa pelatihan militer buat guru-guru disitu. Selama tahun 2010, kembalinya dari Bima, ia tinggal diam-diam di Jawa, dan bersiap-siap pergi ke Afghanistan begitu Umar Patek sudah membuka jalan. Tapi, Patek ditangkap bulan Januari 2011 di Abbottabad, Pakistan, dan rencana Hari buyar. Ia kelihatannya masih kontak dengan Abrory, dan di bulan Maret 2011, sebelum training Poso, Abrory minta bantuannya untuk membeli sebuah senjata memberinya uang untuk keperluan itu. Polisi sudah berhasil melacak Hari, dan mereka menangkapnya bulan Juni, sebelum ia bisa membeli senjata. Lihat berkas perkara Hari Kuncoro (tidak ada tanggal di salinan Crisis Group tapi mungkin Juni 2011). 62 Upaya untuk mendirikan cabang JAT di Bima sedang berlangsung sebelum Hari Kuncoro kembali dari
Page 15
dengan JAT dan minta bantuannya menggalang dana, antara lain untuk membantu keluarga para mujahidin yang tewas dalam operasi polisi, pesantren orangtuanya dan berbagai kegiatan terkait jihad lainnya. Sudah hampir pasti Ubaid tahu mengenai peran Uqbah membantu menggalang dana buat Noordin. Uqbah setuju. Pada bulan Desember 2009, Ubaid dan Abu Tholut, pemimpin senior JAT yang lain, datang ke Bima untuk urusan JAT dan minta bertemu sendirian dengan Uqbah. Mereka memberitahu Uqbah bahwa mereka sangat butuh uang saat ini untuk membantu keluarga para mujahidin yang tewas dan kegiatan-kegiatan lain.63 Ia setuju untuk membantu, dan bulan Februari 2010 ia telah mengirim hingga sebanyak Rp 35,000,000 ke Ubaid. Pada saat itu ia mulai tahu bahwa dana tersebut digunakan untuk sebuah kamp di Aceh, dan walaupun ia diajak untuk bergabung, ia menolak.64 Uqbah ditangkap tanggal 3 Desember 2010. Sementara itu, pada bulan Mei 2010, JAT Bima membantu seorang buron kamp Aceh lain bersembunyi. Buron tersebut yaitu Kamaluddin, seorang teman baik Aman Abdurrahman. Setelah ikut ambil bagian dalam kamp Aceh, ia berhasil kembali ke Jakarta di bulan Maret 2010 dan tinggal dengan tidak menarik perhatian di Cikampek, Jakarta Timur bersama sebuah kelompok dari Ring Banten. Setelah sebuah operasi polisi tanggal 12 Mei 2010 menewaskan seorang dari mereka yang berhasil meloloskan diri bersamanya dari Aceh, Kamaluddin (disingkat Kamal) memutuskan untuk pindah persembunyian, meninggalkan istrinya yang saat itu sedang hamil delapan bulan untuk diurus rekanrekannya di Cikampek selama ia pergi. Ia menelepon Andre Anggara, yang pernah jadi anggota sebuah taklim bersama Aman, dan sekarang anggota kelompok Abu Umar. Andre memberinya nomor telepon seorang pengikut Aman di Bima, sekarang seorang pemimpin JAT, yang pernah membantu membawa Aman ke Bima
Mindanao.Pada bulan Maret 2009, Abu Bakar Ba’syir datang ke Bima untuk memberi sejumlah ceramah termasuk di sebuah masjid di Bolo, dekat Pesantren Umar bin Khattab. Ia didampingi beberapa tokoh JAT, dan tuan rumahnya adalah Ustadz Abdul Hakim (atau Abah Hakim), media menyebutnya amir JAT-Bima. Lihat “Ustaz Abubakar Ba’asyir Kembali Berdakwah di Bima”, 17 Maret 2009, sumbawanews.com, di download ulang di http://bimakab.go.id/index.php?pilih= news&mod=yes&aksi=lihat& id=409. 63 Mereka khususnya mengangkat kesulitan yang dialami istri pelaku bom Bali Amrozi, yang baru mengalami serangan stroke, dan keluarga dari Air Setiawan dan Eko, dua anak buah Urwah yang tewas setelah aksi bom hotel. 64 BAP Mujadidul Haq alias Uqbah, 9 Desember 2010 dari berkas perkaranya, Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 2011.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
tahun 2009. Dengan bantuannya, Kamal menemukan sebuah tempat untuk tinggal dan bekerja, serta seorang istri kedua untuk mendampinginya dalam pelarian. Namun ketika Uqbah ditangkap pada bulan Desember 2010, Kamal memutuskan Bima semakin tidak aman, jadi ia pindah ke Makassar. Kejadian-kejadian diatas membantu menempatkan peristiwa penusukan polisi dan penghalang-halangan terhadap polisi di pesantren Umar bin Khattab di pertengahan 2011 dalam perspektif. Masyarakat Bima secara langsung dipengaruhi oleh operasi polisi. Dana buat dua proyek yang menjadi target polisi – aksi pengeboman hotel dan kamp Aceh – digalang di Bima. Abu Bakar Ba’asyir, yang pernah datang ke Bima tiga kali untuk melihat pendirian cabang JAT disitu, ditangkap bulan Agustus 2010; Uqbah ditangkap bulan Desember.65 Abrory dan seseorang bernama Jipo (juga kadang ditulis Zipo) telah ikut dalam training militer di Poso pada pertengahan Mei 2011 dimana para instruktur telah menekankan bahwa polisi adalah thaghut. Setelah ditangkap, Abrory dalam kesaksiannya di persidangan mengatakan bahwa ia tidak tahu menahu soal rencana penusukan polisi, tapi setelah penusukan itu terjadi, ia tahu kalau pesantren akan diserang oleh polisi, jadi ia perintahkan staf untuk menyiapkan bom, menggunakan ketrampilan yang ia pelajari ketika di Ambon tahun 2001.66 Pada kenyataannya, keterampilan itu baru saja ditingkatkan di Poso. Ketika polisi akhirnya berhasil memasuki pesantren setelah 3 hari berusaha dihalangi, mereka menemukan indikasiindikasi bahwa kantor polisi lain juga telah menjadi target serangan.67 Pada suatu waktu di bulan Juli 2011, tak lama setelah pengepungan pesantren, Jipo muncul di tempat Udin di Medan. Sejak itu Bima terhubung dengan Medan dan Poso dalam sebuah segitiga jihad baru.
Page 16
VII. BOM SOLO DAN KEMBALINYA TIM HISBAH KE MEDAN Sebuah aksi bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Solo tanggal 25 September 2011 yang hanya menewaskan pelakunya menjadi penguat hubungan antara Tim Hisbah yang berbasis di Solo, kelompok Sabar di Medan dan JAT di Poso – dan mungkin secara tidak langsung telah menyebabkan munculnya plot untuk melakukan serangan bom Bali ketiga. Sejarah Tim Hisbah sudah diuraikan dalam laporan Crisis Group sebelumnya.68 Mereka kelihatannya tibatiba berubah dari sebuah organisasi anti-maksiat yang melakukan aksi sweeping ke tempat-tempat hiburan di Solo setiap akhir pekan menjadi sebuah kelompok orang-orang yang menjadi teroris. Kenyataannya, perubahannya tidak berlangsung semudah atau secepat itu, tapi ada sebuah penjelasan mengenai urutan kronologisnya. Seperti yang sudah dikemukakan diatas, beberapa anggota Tim Hisbah telah pergi ke Medan di tahun 2009 dan 2010 untuk bekerja sama dengan Sabar. Salah satunya adalah seorang mualaf muda bernama Yuki Wantoro. Ia tewas tertembak dalam operasi polisi tanggal 19 September 2010, dan telah menjadi simbol bagi kelompok radikal di Solo mengenai kebrutalan polisi. Tak lama kemudian, ketua tim Hisbah, Sigit Qordhowi, menyatakan “bai’at mati”, yaitu sumpah untuk siap mati, terhadap polisi dan membentuk sebuah tim bom, yang anggotanya ia kirim untuk belajar dengan kelompok yang sepaham yang ada di Klaten. Ketika kelompok Klaten ditangkap bulan Januari 2011, dua anggota tim bom Tim Hisbah lari ke Cirebon, disitu mereka punya teman di sebuah kelompok pengajian radikal. Ketika beberapa anggota kelompok taklim radikal ini menjadi DPO (Daftar Pencarian Orang) Polisi dalam kasus bom bunuh diri bulan April 2011 di masjid Mapolres Cirebon, mereka kabur ke Solo, dimana anggota Tim Hisbah membantu mencarikan mereka pekerjaan dan tempat tinggal.69
68 65
Kunjungan Ba’asyir’s di bulan Maret 2009 disebut media sebagai kunjungannya yang kedua; tidak jelas yang pertama kapan. Yang ketiga di bulan Februari 2010, ketika Abrory dan yang lain dibai’at. 66 Testimoni Abrory Ali, 21 Juli 2011 dalam berkas perkara Abrory, alias Ustadz Abrory M. Ali, alias Maskadov, alias Abrory Al Ayyuby, 2012. 67 Yang mereka temukan antara lain peta Polsek Madapangga, dekat Dompu. “Polisi Temukan Rencana Penyerangan Polsek Madapangga Bima”, www.ntbterkini.com, 16 Juli 2011.
Laporan Crisis Group, Indonesia: From Vigilantism to Terrorism in Cirebon, and Report, Indonesian Jihadism, op. cit. 69 Aksi bom masjid Cirebon – ketika jemaah sedang shalat Jumat – memicu perdebatan sengit di situs-situs radikal. Mereka yang mendukung menyebut target bom adalah mesjid dhiror, yaitu mesjid yang dianggap dipakai untuk memecah belah ummah. Pembelaan paling keras datang dari Iwan Dharmawan, alias Rois, yang setelah perannya dalam merekrut pelaku bom hotel dan peserta kamp Aceh terungkap kemudian dipindahkan ke penjara dengan pengamanan ekstra
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
Pada 13 Mei 2011, sukses membuntuti orang-orang yang membantu para pelaku serangan bom, polisi menembak tewas Sigit dan dua lainnya dalam sebuah operasi di Solo. Kejadian ini hanya beberapa hari sebelum sesi training ketiga Santoso dimulai di Poso. Kematian tersebut sudah hampir pasti akan menaikkan semangat jihad para peserta training di Poso, dan menambah insentif anggota Tim Hisbah untuk membalas dendam. Serangan balas dendam terjadi 25 September, dengan dibomnya Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Kepunton, Solo. Kasus ini sebuah contoh lain yang memperlihatkan hubungan lintas organisasi yang cair, pelaku bom bunuh diri adalah salah seorang buron yang paling dicari dari kelompok Cirebon, sementara Tim Hisbah menyediakan seluruh bantuan pendukung. Target mereka lebih sejalan dengan agenda Tim Hisbah yang sangat berorientasi lokal. Tim Hisbah bersama dengan kelompok Klaten sudah lama terlibat dalam serangkaian percobaan untuk mengebom gereja dan kantor polisi di akhir 2010 dan awal 2011, namun gagal. Kali ini, disamping adanya isu bahwa gereja GBIS melakukan upaya-upaya Kristenisasi, pecahnya konflik antara komunitas Kristen dan Muslim dan pembakaran rumah-rumah warga Muslim di Ambon tanggal 11 September menambah motivasi dipilihnya gereja sebagai target.70 Tapi ceritanya tidak berakhir disini, karena anggota-anggota Tim Hisbah yang terlibat pengeboman lari ke Medan, dimana mereka dibantu oleh Udin dari kelompok Sabar. Udin, yang berhasil mengumpulkan begitu banyak uang dari penipuan internet, sejak saat itu dituduh membantu mendanai bom gereja Solo.
ketat di Pulau Nusakambangan, di lepas pantai selatan Pulau Jawa. Lewat orang-orang yang mengunjunginya, ia masih bisa menyelundupkan keluar pernyataan-pernyataan yang diposting di internet. 70 Lihat Crisis Group Briefing N°128, Indonesia: Trouble Again in Ambon, 4 Oktober 2011. Tanggal 17 Mei 2012, seorang anggota geng Ambon, Basri Manuputty, ditangkap di Tanjung Priok, Jakarta Utara bersama dengan lima orang lainnya dan dituduh memprovokasi kerusuhan bulan September dan memasang bom di lokasi-lokasi Kristen, meskipun motif dibelakang aksinya ini dan rekan-rekannya belum jelas.
Page 17
VIII. PLOT BOM BALI Pada tanggal 18 Maret 2012, polisi menembak mati lima orang yang mereka duga sedang merencanakan aksi bom Bali ketiga. Mereka sudah melakukan survey dua bar yang sering dikunjungi turis, yaitu Hard Rock Cafe di Kuta dan Cafe Lavida Loca di Seminyak, dan katanya sedang akan merampok sebuah money changer dan sebuah toko emas. Tiga dari mereka adalah mantan pengedar narkoba yang dipenjara di Lapas Kerobokan tahun 2004 dan terpengaruh oleh para pelaku bom Bali. Pemimpin mereka yaitu Hilman Djajakusumah alias Surya.71 Ketika Mukhlas, Amrozi dan Imam Samudra dipenjara di Lapas Kerobokan tahun 2003, Hilman saat itu sedang menjalani hukuman tujuh tahun penjara karena kasus kepemilikan ganja. Ia waktu itu diberi tugas oleh lembaga pemasyarakatan sebagai tamping mesjid, yaitu napi yang tanggungjawabnya meliputi membersihkan mesjid penjara dan membuka sel para napi yang ingin ikut shalat Jumat. Dari tugas ini ia kenal Imam Samudra dan para napi lain yang terkait bom Bali 2002, dan menjadi pengagum setia mereka.72 Di tahun 2004, sebuah kerusuhan meletus antara napi asal Bali dengan sebuah kelompok bom Bali asal Banten.73 Hilman dan beberapa napi kriminal yang direkrut menjadi anggota kelompok mereka berkelahi untuk pihak Banten, yang kemudian menang. Pamornya langsung naik diantara para napi teroris, tapi karena keterlibatannya dalam pertikaian itu, ia kemudian dipindahkan ke penjara lain di Karang Asem, Bali. Sebelum tahun 2007 ia telah dibebaskan, dan menurut seorang rekan sesama napi ia kemudian pergi ke Aceh, dimana ia mendapat pasokan ganja sebelum ditangkap, namun juga tempat yang menarik baginya karena merupakan satu-satunya propinsi yang diijinkan menerapkan syariah Islam. Selama di penjara Hilman berubah: ia menjadi sangat radikal karena pengaruh Imam Samudra,. “Ia menyebut semua petugas penjara yang beragama Hindu thaghut dan mengatakan kita harus membunuh kafir dimanapun mereka berada,” kata rekan sesama napi.74 Banyak dari cerita mengenai rencana bom Bali III masih harus dilengkapi, tapi yang jelas Hilman terus berkomunikasi dengan rekan-rekan sesama napinya, 71
Hilman, beretnis Sunda, lahir di Bandung, 12 Desember 1976. 72 Crisis Group interview, mantan napi, Bogor, 12 Juli 2007. 73 Di pihak Banten yaitu Abdul Rauf, Andi Hidayat dan Agus, menurut seorang yang berada disitu saat itu, Crisis Group interview, 12 Juli 2007. 74 Ibid.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
rekan-rekan Banten-nya dan beberapa dari mentor JInya setelah ia bebas. Selama beberapa waktu, menurut keluarganya, ia tinggal di Langkat, Sumatera Utara, dekat perbatasan dengan Aceh. Di tahun 2008, ia menikahi seorang perempuan dari Cimahi, Jawa Barat dan tinggal bersamanya disitu. Hingga pertengahan tahun 2010, ia bersama dengan kelompok Sabar di Medan, menggunakan nama Suryo dan secara aktif merencanakan aksi perampokan bank, walaupun bertentangan dengan pernyataan polisi, ia tidak pernah terlibat dalam kasus perampokan bank CIMB-Niaga.75 Rencana aksi penyerangan Bali yang baru kelihatannya merupakan proyek bersama antara JAT dan kelompok Sabar, dengan sebuah koneksi dari Sulawesi. Selain Hilman, mereka yang ditembak mati oleh polisi adalah:
Ahmad Busaeri bin Saiful Ali alias Umar Hasan alias Kapten, asal Jember, Jawa Timur. Ia juga dipenjara di Lapas Kerobokan bersamaan waktunya dengan para napi bom Bali selama sekitar lima bulan di tahun 2004, atas kasus kepemilikan obatobatan psikotropika. Mungkin akibat pertikaian napi dimana Hilman terlibat, ia kemudian dipindahkan ke Lapas Tabanan, Bali di bulan Januari 2005. Disitu ia berhasil kabur bulan Agustus 2006. Nanang Rudianto, alias Anang, juga dari Jember, yang satu sel dengan Amrozi di Lapas Kerobokan tahun 2004 dan sebagian tahun 2005, dimana ia menjalani hukuman penjara dua tahun untuk kasus kepemilikan obat-obatan. Badarudin Sulaiman Malla, alias Safri Sulaiman, alias Abu Hanif alias Amir, lahir di Palu, Sulawesi tahun 1963 tapi tinggal di Makassar. Ia diyakini punya hubungan dengan JI atau JAT.
Tidak banyak yang diketahui mengenai orang kelima, Martino Rusli, alias Dede, yang sudah lama tinggal di Bali tapi punya beberapa alamat di Jawa Barat maupun Jakarta dan sekitarnya. Digunakannya eks-kriminal sebagai tim pendahulu memperlihatkan bagaimana hubungan yang dibangun di penjara di tahun 2004 masih tetap aktif delapan tahun kemudian. Dan ini hanya tim lapangan. Menurut kabar, seseorang yang akan melakukan bom bunuh diri sudah dipilih dari kelompok Sabar, dan operasi ini secara keseluruhan berada dibawah instruksi seseorang dari JAT Jawa Timur, sebuah indikasi lain bahwa Sabar mungkin sudah mendekat ke JAT.
75
Berkas perkara Agus Gaplek, op. cit.
Page 18
IX. BAGAIMANA KELOMPOK EKSTRIMIS MEMBENTUK KELOMPOK BARU Penjelasan diatas memperlihatkan sejauh mana kelompok-kelompok ekstrimis Indonesia telah menyebar dan mengatur posisi kembali dalam menghadapi tekanan yang semakin kuat dari polisi. Mereka saling melindungi, saling berbagi kontak dan ketrampilan, menikah antar kelompok dan berlatih bersama, dimana solidaritas ini terbangun lebih karena kebutuhan dan situasi sulit yang melanda mereka. Mencairnya batasan-batasan geografis dan organisasi merupakan pertanda bahwa mereka telah melemah tapi ia juga menciptakan kesempatan baru untuk membentuk sel-sel baru. Ini bisa berbahaya, apalagi ketika keinginan untuk membalas dendam bertambah. Karena itu patut untuk melihat lebih dekat soal bagaimana kelompokkelompok ini berinteraksi. Perkembangan paska Aceh memperlihatkan kemungkinan paling sedikit ada lima: pelarian; penjara dan kunjungan penjara; training; forum internet; dan perkawinan.
A. PELARIAN Proses mencari tempat yang aman untuk bersembunyi memaksa para mujahid untuk saling berhubungan. Ada banyak sekali contoh mengenai hal itu dalam laporan ini: buronan Aceh lari ke Makassar, Poso dan Kalimantan Timur; anggota Tim Hisbah kabur ke Cirebon dan kemudian Medan; anggota kelompok Cirebon lari ke Solo; pelaku bank Medan bergabung dengan kelompok Abu Umar di Jakarta; Hari Kuncoro lari ke Bima; rekannya Cahya kabur ke Medan. Di setiap tempat persembunyian, ada kesempatan bagi kelompok-kelompok ini untuk saling mempengaruhi dan saling membantu dan untuk belajar ketrampilan baru, apakah itu menyetir mobil, seperti yang dipelajari anggota Tim Hisbah di Medan, atau merakit bom. Kehadiran seorang buron bisa membuat sebuah kelompok menjadi lebih militan, terutama ketika pendatang baru ini punya kredibilitas khusus di kalangan jihadi. Hari Kuncoro kelihatannya punya efek ini di Bima. Noordin Top juga punya efek yang sama ketika ia sedang dalam pelarian. Jaringan yang dipakai untuk memilih tempat berlindung kadang jaringan pesantren JI (jaringan ini jelas aktif dengan perginya Hari Kuncoro ke Bima), tapi jaringin ini mungkin tidak sekuat sebelumnya, karena semakin sedikit para jihadis generasi yang lebih muda yang berlatar belakang pesantren. Kepergian Ali
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
Miftah ke dan dari Aceh seluruhnya bergantung pada bantuan dari rekan-rekan alumni Pesantren Darusyahada, sebuah pesantren terkait JI. Beberapa buronan Aceh meminta bantuan dari rekan-rekan masa konflik Poso; yang lain dari sesama peserta pengajian. Salah satu masalah yang mereka hadapi dalam pelarian adalah bagaimana menghidupi diri di tempat baru. Bantuan dana jarang ada dan kalaupun ada hanya untuk jangka waktu terbatas. Menyusul terbongkarnya kamp Aceh, membantu mujahidin menjadi motivasi untuk melakukan fa’i. Cepat atau lambat, para buronan akhirnya harus menghidupi diri mereka sendiri, dan banyak yang kemudian berjualan keliling untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari. Berjualan barangbarang murah punya keuntungan modal awal yang tidak banyak, pasar yang sudah siap, mobilitas tinggi dan tidak menarik perhatian. Mobilitas tinggi penting buat mereka, bukan saja untuk bisa terus bergerak, tapi juga karena hal ini membantu mereka untuk tetap bisa berkomunikasi dengan rekan-rekan mereka, kadang termasuk dengan napi, di wilayah lain. Berjualan bakso atau makanan lain dengan gerobak menjadi salah satu opsi, tapi berjualan barang-barang yang tidak tahan lama membuat mobilitas mereka terbatas.76 Berjualan voucher telepon seluler populer karena pasarnya sudah terjamin; begitu juga berjualan obat-obatan herbal Islami, sebagian karena ada pemasok yang merupakan bagian dari jaringan jihad dan mungkin bersedia untuk memberi barang berdasarkan komisi.77 Sebelum ditangkap bulan Juni 2011, dalam pelariannya Ali Miftah mampu terus bergerak demi keamanan sambil mengecek status jaringannya secara berkala.78Pada saat di Sragen tahun 2010, ia sengaja 76
Ini adalah strategi untuk hidup yang dilakukan oleh para anggota kelompok yang terkait aksi bom bunuh diri di masjid Cirebon bulan April 2011, yang kemudian kabur ke Solo, Jawa Tengah dibantu Tim Hisbah. Lihat laporan Crisis Group, Indonesia: From Vigilantism to Terrorism in Cirebon, op. cit. 77 Mujahid lain yang juga berjualan obat-obatan herbal Islami termasuk Rizky Gunawan, alias Umar, yang menjualnya secara online, lewat sebuah situs, toko-muslim-solo.blogspot. com dan Facebook, dan lewat sebuah toko, Toko Azzam, yang ia kelola di Medan, dengan pasokan dari Solo. (Toko ini juga punya cabang di Klaten yang kelihatannya dimiliki oleh orang lain). 78 Ali Miftah mengklaim tidak pernah jadi anggota organisasi Islam, tapi ia sangat dekat dengan JI dan jaringan Noordin. Ia pernah belajar di Pesantren Darusyahada di Boyolali, dekat Solo, dimana salah seorang teman baiknya adalah Umar Burhanuddin. Umar, bersama dengan adiknya Ubaid, ditangkap karena melatih tim yang melakukan bom Kedubes Australia tahun 2004. Keduanya sudah dibebaskan; Ubaid sejak itu sudah ditangkap lagi karena peran utamanya
Page 19
mengunjungi para mujahid yang dipenjara disitu, dan mengabari mereka tentang kegiatan-kegiatan jihad saat itu dan rencana-rencana mereka.79 (Belakangan, setelah keadaan menjadi terlalu berbahaya baginya untuk datang ke penjara, ia mengirim utusan untuk bertanya dan mengecek isu-isu).80 Ketika lebih banyak penangkapan terjadi, ia kembali ke rumah orangtuanya di Cirebon, dan memakainya sebagai basis, lalu bekerja sebagai penjual buah, dengan membeli pasokan buah segar di Tasikmalaya, sekitar tiga jam dari Cirebon, dan menjualnya di Cirebon. Menjelang hari raya Idul Adha, ia kemudian membeli sejumlah kambing dan menjualnya di Jakarta. Dimanapun ia mampir, ia akan berkomunikasi dengan “anggota-anggota”, menjajaki bagaimana caranya mendapat persenjataan dan merencanakan operasi-operasi.81 Pada bulan Februari 2011, dengan operasi polisi yang semakin mendekat, ia mengontak Santoso di Poso dan menanyakan kalau ia bisa datang. Sebelum berangkat ia mengatur supaya pasokan obat-obatan herbal dikirim dari Solo agar ia masih bisa berjualan disana, sampai akhirnya ia tertangkap di bulan Juni 2011.
B. PENJARA DAN KUNJUNGAN KE PENJARA Penjara juga bisa mengubah bentuk organisasi jihad dalam beberapa cara, yaitu: dengan mengumpulkan napi dari berbagai kelompok dalam satu tahanan; dengan menciptakan atau memperburuk keretakan dalam satu organisasi lewat kooptasi (nyata atau hanya perasaan/ketika seorang napi dicurigai oleh anggota kelompok lain bekerja sama dengan petugas, bahkan walaupun itu mungkin tidak benar) napi secara individu; merekrut penjahat biasa; atau interaksi rekan dan keluarga selama kunjungan ke penjara. Seperti yang telah disebut diatas, aliansi dalam kamp Aceh sangat bergantung pada hubungan pertemanan yang dibangun dengan sesama napi di Lapas Cipinang, Jakarta. Sebuah gelombang napi baru dari kelompok ekstrimis dalam penjara-penjara Indonesia sejak tahun
mendirikan kamp Aceh. Di tahun 2007, Ali Miftah menikah dengan adik istri Dulmatin dan menjadi bagian dari kelompok inti Dulmatin sekembalinya ia dari Mindanao. 79 Berkas perkara Ali Miftah, op. cit. 80 Contohnya, ketika ia ingin cari tahu apakah benar bahwa seorang mantan anggota JI yang telah meninggalkan JI di Aceh kemudian minta pengampunan/maaf dari Abu Rusdan, ia mengirim seorang kurir untuk mengunjungi mantan anggota JI ini di tahanan polisi di Jakarta yang dipakai oleh Densus 88; orang itu membantah. 81 Berkas perkara Ali Miftah, op. cit. Ia terlibat dalam perencanaan awal plot untuk meracun polisi, meskipun idenya datang dari salah seorang anak buah, bukan Ali Miftah.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
2010 menambah kemungkinan bahwa aliansi-aliansi lintas organisasi semacam itu akan terbentuk. Beberapa plot aksi terorisme baru-baru ini telah melibatkan penjahat biasa yang direkrut ketika dalam tahanan. Eks-napi yang tidak punya latar belakang jihad punya keuntungan anonimitas, namun kekurangannya yaitu indoktrinasi ideologi mereka yang masih lemah. Misalnya, bandar atau pengedar narkoba, pada umumnya tidak diperhatikan oleh siapapun yang sedang memantau terorisme. Nama-nama mereka tidak akan muncul dalam daftar anggota kelompok-kelompok ekstrimis atau dalam pemetaan jaringan kelompok terror. Saat ini tidak ada upaya dokumentasi yang sistematis mengenai aliansi-aliansi yang dibangun oleh para napi beresiko tinggi selama dalam penjara; untuk mengkuti dan mencatat para napi teroris saja sudah cukup sulit. Padahal, kelompok-kelompok ekstrimis mungkin akan minta bantuan eks napi, terutama ketika menghadapi tekanan berat dari polisi dan mengalami kekurangan sumber daya, untuk memberi kekuatan tambahan atau untuk operasi yang memerlukan ketrampilan tertentu, seperti perampokan. Penggunaan mantan napi kriminal yang telah menjadi anggota kelompoknya oleh Santoso dalam pencurian sepeda motor merupakan salah satu contoh. Buat para kriminal, hubungan dengan para mujahid memberi mereka status lebih tinggi, sebuah cara untuk menebus dosa lama, dan seringkali karena para napi ekstrimis cenderung menerima lebih banyak pengunjung dan donatur ketika dalam penjara, akses ke makan yang lebih baik, pengobatan serta keuntungan-keuntungan lain.82 Berbeda dengan apa yang dibayangkan, aliansi-aliansi yang dibangun dalam penjara sejauh ini hanya menghasilkan sedikit aksi-aksi terorganisir oleh para napi, namun demikian pihak berwenang di Indonesia sebaiknya memberi perhatian lebih kepada sebuah percobaan melarikan diri dari penjara di Meulaboh, Aceh Barat, tanggal 8 Mei 2012. Sekitar 40 orang napi berhasil melarikan diri; 23 berhasil ditangkap kembali. Orang yang memimpin percobaan ini yaitu Syafrizal, seorang residivis yang sudah empat kali dipenjara. Ketika dihukum penjara yang keduakali untuk kasus narkoba, Syafrizal dipenjara dalam Lapas Medan bersama dengan seorang pemimpin JI Medan, Toni Togar. Setelah dibebaskan yang ketiga kali di tahun 2009, Syafrizal terlibat dalam fa’i merampok sebuah bank untuk kegiatan jihad, tertangkap, dan hanya menjalani hukuman setahun penjara dan dibebaskan lagi. Kali ini, ia tidak saja memimpin sejumlah perampokan tapi juga mencoba menyerang sebuah penjara di Lhokseumawe, Aceh untuk membebaskan
Page 20
kawanan napi. Ia ditangkap bulan April 2011, diadili dan dihukum tahun 2012, dan beberapa kali dipindahkan di berbagai penjara di Aceh, ketika ia memimpin penjebolan penjara di Meulaboh. Ia merupakan sebuah kasus klasik napi beresiko tinggi yang setelah ditangkap untuk ketiga kalinya seharusnya sudah diidentifikasi demikian (namun nampaknya tidak), terutama ketika sudah jelas ia bekerja sama dengan seorang ekstrimis yang sudah dikenal. Kunjungan dalam penjara juga merupakan cara penting untuk berbagi informasi, mempersatukan jaringan dan membangun kontak-kontak baru. Joko Purwanto, alias Handzolah, digambarkan akan mengunjungi Santoso di Poso untuk membahas tentang training dan pengambil alihan persenjataan setelah kamp Aceh terbongkar. Ia tiba di Palu, ibukota Sulawesi Tengah, dan sebelum berangkat ke Poso, tuan rumahnya bersikeras ia harus mengunjungi seorang ekstrimis yang sedang menjalani hukuman penjara di Lapas Petobo, Palu.83 Para istri anggota kelompok ekstrimis secara rutin mengunjungi Putri Munawaroh, salah seorang dari sedikit perempuan yang dihukum atas tuduhan terorisme. Suaminya tewas dalam operasi polisi bersama-sama dengan Noordin Top, dan situasi matinya membuat Munawaroh ditempatkan di posisi tinggi diantara para perempuan kelompok jihad sampaisampai mengunjunginya di penjara menjadi kewajiban bagi mereka ini. Kunjungan-kunjungan penjara ini menjadi sebuah cara bagi para perempuan ini untuk bertukar informasi (dan juga memperjelas hirarki di antara mereka). Beberapa kali, ketika mengunjungi rekan-rekan di Lapas Sragen tahun 2010, Ali Miftah mengatakan ia bertemu dengan seseorang dalam misi yang sama. Ternyata orang itu dari Magetan, dan ketika Ali Miftah menyebutkan sebuah kata sandi “Anthurium”, yaitu tanaman hias yang pernah dijual secara luas oleh para ekstrimis di wilayah Solo, orang itu kemudian tahu bahwa ia dari kalangan mereka. Setelah saling bertukar nama dan nomor handphone, perkenalan itu akhirnya diikuti oleh transaksi senjata. Kunjungan penjara tidak hanya dapat berfungsi sebagai tempat bertemu, tapi juga bisa berfungsi untuk tujuan perekrutan. Salah satu kelompok yang paling rentan untuk direkrut oleh para ekstrimis mungkin adik lakilaki dari para ekstrimis yang ditahan atau tewas. Tidak terlalu sulit untuk mengajak mereka untuk melakukan peran yang lebih aktif. Adik Enceng Kurnia, Iwan, menurut laporan menjadi sangat bertekad untuk balas dendam setelah kematian kakaknya. Ketika perencana
82
Laporan Crisis Group, “Deradicalisation” and Indonesian Prisons, op. cit.
83
Berkas perkara Joko Purwanto, op. cit.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
bom Bali II, Subur Sugiarto, ditahan di Cirebon, yang paling sering mengunjunginya di penjara adalah adiknya, yang telah ikut pelatihan militer kelompok ekstrimis.84 Ade Suradi, adik pelaku bom Kedubes Australia, Iwan Darmawan alias Rois, menjadi penghubung bagi kakaknya di luar penjara.
C. PELATIHAN MILITER (TADRIB) Tadrib menyediakan jalan lain bagi anggota berbagai kelompok ekstrimis untuk dapat berkumpul bersama dan membangun aliansi-aliansi baru. Hubungan diantara mereka tidak hanya terbangun ketika dalam latihan tapi juga dalam proses menggalang dana, mencari bahan-bahan yang diperlukan dan merekrut peserta. Kamp di Aceh adalah contoh paling baik dari ketersediaan sebuah lokasi latihan militer baru yang besar yang berhasil mengumpulkan anggota-anggota berbagai kelompok ekstrimis yang tanpanya mungkin tidak akan berkolaborasi. Latihan militer yang diadakan oleh Santoso di Poso kelihatannya juga punya efek yang sama, namun dengan skala yang lebih kecil, telah memperkokoh hubungan khususnya antara kelompok Santoso dan Sabar; Santoso dan individu-individu terkait JAT di Kalimantan; dan kelompok Sabar dengan orang-orang dari Bima. Cahya Fitriyanta dari Solo mungkin tidak akan pernah bertemu dengan Udin dari Medan kalau tidak ada kesempatan lewat kamp latihan militer. Perkenalannya dengan seseorang di kamp telah menghasilkan kerjasama dalam penipuan internet. Hari Kuncoro yang memperkenalkan satu sama lain sehingga kelompok Bima pergi ke Poso, tapi setelah mereka berkenalan, kelompok Bima bisa mengirim anggotanya yang lain ke Poso untuk latihan militer tanpa perantara lagi.
D. FORUM INTERNET
Page 21
Sekarang mungkin berubah. Beberapa kasus memperlihatkan bahwa kelompok-kelompok ekstrimis telah makin canggih dalam menggunakan internet, dan bahwa individu-individu menggunakan forum chatting dan Facebook untuk berkenalan termasuk berkomunikasi lintas organisasi. Contohnya, Sabar di Medan kelihatannya telah merekrut paling sedikit satu dari anggotanya yang bernama Amir alias Nibras lewat forum chatting.85 Ia juga kelihatannya yang lebih mengerti dibanding yang lain mengenai resiko pakai handphone, dan kebanyakan komunikasinya dengan para anggota dilakukan lewat forum chatting di warung-warung internet, bahkan meskipun saat itu mereka sama-sama di Medan.
E. PERKAWINAN Seperti halnya di masa lalu, perkawinan terus menjadi salah satu cara untuk memperkuat atau membangun kekuatan organisasi. Prioritas kelompok-kelompok ekstrimis adalah mencarikan istri yang sesuai buat para lajang, termasuk yang berada di penjara, serta suami buat para janda anggota ekstrimis yang tewas. Seperti kebanyakan ekstrimis di seluruh dunia, ekstrimis di Indonesia juga ingin menghasilkan sebanyak mungkin anak untuk menambah pengikut dan memperbesar organisasi mereka. Namun perkawinan juga bisa menjadi jalan untuk membangun aliansi-aliansi lintas wilayah atau lintas organisasi. Beberapa contoh muncul dari kelompok-kelompok yang digambarkan dibawah ini:
Di tahun 2009, Ustadz Afif dari JAT mengatur perkawinan Udin dengan seorang perempuan dari Klaten. Perkawinan ini bisa dilihat sebagai upaya untuk mempererat aliansi antara kelompok Sabar di Medan dengan JAT di Jawa Tengah.
Di tahun 2009, Agus Gaplek dari Karanganyar, Solo menikahi seorang perempuan dari Seram, Maluku, yang bekerja di sebuah toko buku di Cemani, Solo. Toko Buku Arofah sebelumnya terkait dengan JI dan sekarang mungkin dengan JAT. Ia kembali ke Maluku bersama calon istrinya untuk melaksanakan acara pernikahan. Disitu ia dibanjiri cerita-cerita dari ipar-ipar barunya mengenai pembantaian yang terjadi selama konflik Maluku. Ia kemudian kembali ke Solo, bergabung dengan Tim Hisbah dulu, kemudian dengan kelompok Sabar yang menawarkan janji untuk jihad yang lebih aktif. Tidak jelas bagaimana perkawinan tersebut diatur, tapi ia telah menghasilkan hubungan Medan-SoloMaluku.
Dengan semakin meningkatnya tekanan dari polisi, peran forum chatting di internet kini mungkin akan menjadi lebih penting sebagai media komunikasi, perekrutan dan pelatihan ketrampilan. Penggunaan internet bukan hal yang baru; di tahun 1999, anggotaanggota baru JI mendapat instruksi lewat internet sebagai bagian training awal mereka, dan Imam Samudra sebelum dihukum mati, berceramah tentang pentingnya hacking dan penipuan internet demi kepentingan jihad. Tapi hingga baru-baru ini, tidak banyak bukti mengenai perekrutan secara online.
84
Laporan Crisis Group, “Deradicalisation” and Indonesian Prisons, op. cit.
85
Lihat catatan kaki no 15 diatas.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
Di tahun 2010, Putri Munawaroh, janda seorang tersangka pelaku terorisme yang tewas bersama Noordin Top, dinikahkan lewat teleconference kepada Ridwan Lestaluhu, seorang ekstrimis Ambon yang sedang menjalani hukuman duabelas tahun penjara di Lapas Porong, Surabaya.86 Putri Munawaroh sendiri sedang menjalani hukuman tiga tahun penjara untuk kasus terorisme di sebuah penjara di Jakarta. Perkawinan itu diatur oleh mantan ketua JI, Adung, dan yang menjadi saksi adalah seorang anggota JI lain dan istrinya.87 Putri akan dibebaskan sebentar lagi dan diijinkan menerima kunjungan suami-istri (conjugal visit) bersama dengan suami barunya, sehingga dapat memperkuat hubungan antara kelompok-kelompok dan keluarga Maluku dan Jawa. Baik Putri maupun Ridwan tidak punya hubungan khusus dengan JI sebelum perkawinan ini, tapi peran yang dimainkan oleh Adung dan status Putri sebagai janda seorang “syuhada” bisa menariknya lebih dalam ke lingkungan kelompok radikal Solo. Di bulan April 2011, Udin dari Medan mengatur perkawinan seorang anggota Tim Hisbah dengan seorang janda pelaku perampokan bank CIMB Niaga, sehingga mempererat hubungan Tim Hisbah dengan kelompok Sabar.
Juga ada beberapa contoh buronan DPO yang menikah ketika dalam pelarian, untuk perlindungan dan mungkin citra kehormatan, dan juga “memenuhi kebutuhan biologis mereka”, seperti yang diungkapkan seorang mantan mujahid.88 Contohnya, Ustad Kamal, mengambil istri kedua setelah melarikan diri ke Bima. Perkawinan ini mempererat hubungannya dengan Bima jauh lebih kuat dibanding yang bisa dihasilkan oleh tadrib atau internet chatting.
86
Ridwan Lestaluhi ditangkap atas perannya dalam penyerangan ke sebuah tempat karaoke bernama Villa Karaoke, di Hative Besar, Ambon tahun 2005 yang menewaskan dua orang dan melukai satu orang. Beberapa dari orang-orang yang terlibat dalam serangan kafe ini kemudian bergabung dengan aktivis KOMPAK dan Darul Islam dalam sebuah serangan sebulan kemudian di Loki, Seram yang menewaskan lima orang polisi dan tukang masak mereka. Putri dituduh terlibat tindak terorisme karena tidak melaporkan kegiatan suaminya ke pihak yang berwenang. Seorang perempuan lagi yang diadili dan dihukum atas tuduhan tindak terorisme adalah istri ketiga Noordin Top, Munfiatun, juga dituduh tidak melapor aktivitas terorisme ke pihak berwenang. 87 Sunarto bin Kartodiharjo, alias Adung ditangkap bulan Juni 2004 dan dihukum tujuh tahun penjara setahun setelah menyembunyikan informasi tentang Noordin Top. Ia dibebaskan bulan April 2009. 88 Crisis Group interview, Januari 2010.
Page 22
Oleh karena itu, pemerintah perlu memberi perhatian lebih ke peran yang dipegang oleh para perempuan dalam membangun kembali aliansi-aliansi jihad dan perhatian lebih dekat ke orang-orang (seringkali lakilaki) yang memainkan peran ‘comblang’ di dalam kalangan kelompok ekstrimis yang ada saat ini.
F. TAKLIM Sebuah laporan Crisis Group sebelumnya menyebutkan bahwa ketika pengajian atau taklim dipimpin oleh ustadz-ustadz radikal, mereka bisa menjadi kendaraan untuk upaya radikalisasi dan perekrutan.89 Taklimtaklim ini juga menjadi tempat dimana aliansi-aliansi baru bisa dibangun dan orang-orang muda bisa didorong dari yang semula hanya aktif dalam kegiatankegiatan anti-maksiat dan anti-murtad kemudian beralih ke penggunaan kekerasan yang terencana atas nama agama. Laporan ini memberi banyak contoh, antara lain: anggota Tim Hisbah jadi kenal Udin dari Medan lewat taklim Sigit Qordhowi di Semanggi, Solo. Santhanam, koordinator lapangan rencana meracuni polisi mengatakan ia terinspirasi ajaran-ajaran ustad Halawi Makmun di Jakarta. Aman Abdurrahman punya status yang sama sebelum ditangkap tahun 2010; taklimnya menjadi tempat bertemu bagi para pengikutnya dan orang-orangnya Umar, dan hubungan itu membantu Ustad Kamal mendapat tempat bersembunyi di Bima. Di satu sisi, ustad-ustad ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah karena pengaruh mereka yang berbahaya. Tapi di sisi lain, dibawah reformasi, khotbah-khotbah mereka yang bersifat menghasut terhadap thaghut dilindungi oleh komitmen pemerintah terhadap kebebasan berekspresi. Hanya saja, komitmen ini ironisnya menurun, akibat tekanan dan pengaruh dari para militan yaitu ketika mereka menuntut pelarangan terhadap sejumlah buku, pertunjukan, patung dan filem-filem serta bentuk-bentuk ekspresi lain yang dianggap menyinggung Islam. Ketentuan dalam hukum pidana yang menghukum “penyebar kebencian” dan perbuatan menghasut jarang digunakan, karena dikaitkan dengan gaya pemerintahan otoriter di masa lalu ketika mereka digunakan untuk membungkam oposisi. Dan ketika ketentuan ini dipakai, hukuman yang dihasilkan sangat lunak dan tidak membawa efek jera.90 Oleh karena itu, kecuali 89
Laporan Crisis Group, Indonesia: From Vigilantism to Terrorism in Cirebon, op. cit. 90 Pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Habib Riziek dihukum 1,5 tahun penjara atas tuduhan menghasut setelah terjadi kerusuhan yang disulut oleh pengikutnya tanggal 1 Juni 2008 di Jakarta.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
pemerintah Indonesia bisa menemukan cara untuk mengcounter ceramah-ceramah ekstrimis dengan cara yang sejalan dengan nilai-nilai demokratis, langkahlangkah counter-radikalisasi kemungkinan besar akan gagal.
Page 23
X. PELAJARAN YANG DIDAPAT PARA EKSTRIMIS Apabila cara-cara kelompok ekstrimis membentuk kelompok baru kemudian jadi lebih jelas karena sekarang ada lebih banyak informasi sejak terbongkarnya kamp Aceh, maka penting juga untuk ditekankan bahwa kelompok ekstrimis juga telah mengambil beberapa pelajaran yang jika dipraktekkan bisa mempersulit upaya counter-terorisme. Sebagian besar pelajaran ini terkait dengan kebutuhan untuk meningkatkan standar keamanan diantara mereka, dan juga kebutuhan mendesak untuk mendapat dukungan yang lebih banyak dari jamaah. Beberapa pelajaran yang didapat diuraikan dalam sebuah tulisan berjudul “Serial Trilogi Kebangkitan Jihad di Indonesia”. Bagian pertama dan kedua telah tersebar luas secara online di situs-situs radikal pada bulan Maret 2012; bagian ketiga, yang menurut penulisnya akan mengulas tentang strategi perlawanan kedepan, belum muncul secara online. Penulisnya, yang menyebut dirinya sebagai Abu Jaisy al Ghareeb dan kelihatannya bagian dari kelompok Sabar di Medan, memaparkan bukti-bukti lengkap mengenai kegiatan pengawasan dan penyadapan oleh polisi ke dalam jaringan kelompok ekstrimis. Contohnya ia mengutip cerita seorang napi yang tertangkap setelah kamp Aceh kepada seorang rekan yang membesuknya: Akhi, ada satu hal yang mengejutkan ana pada waktu diinterogasi oleh penyidik thoghut, yaitu ditunjukkannya foto-foto ana waktu datang ke rumah antum dua atau tiga bulan sebelum ana berangkat ke Aceh. Antum juga terlihat dalam foto itu sedang bersama ana di suatu tempat. Terus penyidik bertanya kepada ana: “Kamu ke rumah orang ini dalam rangka apa? Mau minta dana buat berangkat ya?”.91 Padahal, menurut penulis, kunjungan tersebut hanya silaturrahim biasa dan tidak ada hubungan dengan penggalangan dana; dan mencurigai polisi sedang mengawasi orang itu dan mengambil foto siapapun yang datang ke rumahnya.92 Ia mengambil beberapa kesimpulan:
91 92
Kelompok ekstrimis harus lebih berhati-hati menyeleksi anggota. Semangat dan motivasi jihad
“Serial Trilogi Kebangkitan Jihad”, op. cit. Ibid.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
saja belum cukup, apalagi polisi telah berhasil menyusupi kelompok ekstrimis;
Kerahasiaan informasi harus lebih ketat dijaga, misalnya mengenai program latihan militer, harusnya orang yang tidak berangkat atau tidak tahu tentang program ini tidak boleh tahu, begitu juga dengan istri-istri. Khususnya anggota keluarga akan mudah bercerita, dan banyak anggota yang tidak paham kecanggihan pemantauan dan pengawasan polisi sekarang;
Sumber pengkhianatan kemungkinan besar ada di kelompok ekstrimis yang lain, dengan cemoohan khususnya kepada JI, yang menurut penulis sudah jadi boneka polisi;
Program yang sudah terkompromi harus dibatalkan;
Penggunaan alat komunikasi harus ekstra hati-hati, apalagi dengan kemampuan penyadapan polisi saat ini. Penulis mengutip contoh seorang penggerak kamp Aceh, yang sudah tewas, yang menelepon seorang ustadz yang sangat dikenal lewat telepon rumah untuk minta bantuan dana. Ustad tersebut langsung paham bahayanya dan berkata,”ya akhi, bukannya ana tidak bisa bantu antum, tapi cara yang seperti ini jika misalnya tidak dapat apa yang antum butuhkan, maka bencana-lah yang akan terjadi”. Tapi penelepon tersebut terus menggunakan hubungan telepon biasa dan berbicara seolah-olah tidak ada yang menyadap;93
Strategi terlalu kaku, kurang perencanaan darurat;
Pemahaman teori “qoidah aminah” masih lemah; masih banyak yang harus dilakukan untuk mengajarkan anggota-anggota mengenai strategi bertahan hidup di kota dan pentingnya kamuflase; dan
Dukungan ummat, dan kesadaran umum tentang pentingnya kelangsungan jihad masih sangat jauh dari yang dibutuhkan mujahidin.94
Butir satu hingga tujuh merupakan reaksi terhadap kecerobohan yang dilakukan oleh para mujahid di masa lalu. Mereka juga memperlihatkan bahwa dengan seorang pemimpin yang berpengalaman yang menerapkan disiplin lebih baik dan punya strategi jangka panjang dibanding saat ini, sebuah kelompok jihad mungkin akan berhasil beroperasi di bawah radar dan membangun kapasitas hingga memungkinkan untuk melakukan sebuah operasi besar.
93 94
Ibid. Ibid.
Page 24
Ada sebuah contoh menarik. Pada bulan Oktober 2002, setelah kejadian bom Bali, dan disusul gelombang penangkapan oleh polisi, Markaziah JI mengadakan pertemuan di Solo untuk membahas langkah selanjutnya. Saat itu seorang pemimpin senior ingin melancarkan serangkaian serangan dari Poso. Sementara, Nasir Abas, yang ketika itu ketua Mantiki III yang wilayahnya meliputi Poso, berusaha meyakinkan JI untuk menjalankan strategi yang lebih jangka panjang. Strategi jangka panjang ini menurutnya bisa dimulai dengan membangun Poso sebagai sebuah basis ekonomi yang aman dimana anggota JI akan mengambil alih perkebunan dan usaha-usaha lain, dan secara bertahap meningkatkan pendapatan organisasi. Lalu seiring dengan dibangunnya basis ekonomi, dakwah dan tadrib di seluruh Indonesia juga akan diintensifkan. Selain itu, sebagian dana dari usahausaha yang berbasis di Poso akan digunakan untuk membiayai pendirian pabrik-pabrik kecil untuk merakit senjata rumahan, sehingga setiap wakalah akan punya gudang persenjataan sendiri. Hingga tahun 2006, tiap wakalah juga akan punya laskar yang siap dikirim ke Filipina untuk latihan perang. Kalau pasukan keamanan Indonesia berupaya untuk menghalangi rencana ekspansi basis di Poso, JI akan mampu menanggapi dengan melancarkan serangan balasan yang terkoordinasi dari seluruh Indonesia. Rencana itu diterima, tapi tidak pernah terwujud, karena Nasir tertangkap di bulan April 2003.95 Kalau saja ada ahli strategi dengan kaliber yang sama muncul dari jajaran kelompok jihad saat ini, maka itu akan jadi kabar buruk. Butir terakhir mengenai dukungan ummat penting untuk dicatat. Ini bukan hal baru: sebuah tulisan kritik paska Aceh dari dalam gerakan ekstrimis juga telah menyadari kegagalan ini. Tapi bisa diambil dua kesimpulan: yang pertama, bahwa gerakan jihad perlu meluangkan lebih banyak waktu ke kegiatan dakwah. Yang kedua, bahwa mereka memerlukan kelompokkelompok advokasi pro-syariah yang mungkin tidak menggunakan kekerasan tapi mendakwahkan pesan yang sama. Seperti yang disebutkan oleh penulis kritik “Refleksi Jihad Aceh”: Lembaga-lembaga dakwah yang hidup di tengah umat dengan segenap ragam dan fokus perhatiannya juga perlu dipelihara. Misalnya ada lembaga yang fokus memberantas kemunkaran (FPI), menekuni pendidikan untuk anak-anak muslim (pesantren dan sekolahan), spesialis menghantam aliran sesat
95
Crisis Group interview, Nasir Abas, Jakarta, Juni 2012.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
(LPPI), spesialis melawan Liberalisme dan Pluralisme (INSIST: Adian Husaini dkk), spesialis melawan Syiah, spesialis melawan Kristenisasi (FAKTA dll). Mereka semua berperan menjaga rumah besar umat dari rongrongan tikus-tikus kemunkaran dan kesesatan.96 Laporan-laporan Crisis Group sebelumnya telah menekankan bahwa telah terjadi peleburan antara agenda kelompok jihadi dengan kelompok-kelompok advokasi ini, beberapa diantaranya menggunakan kekerasan untuk mendukung tujuan mereka – meskipun instrumen yang dipakai adalah alat tumpul bukan bom atau peluru. Semakin lemah kekuatan para jihadis dan semakin kuat kebutuhan untuk membangun dukungan dari umat, maka semakin penting bagi mereka untuk bergabung kekuatan dalam aliansi strategi dengan kelompok-kelompok lain. Kelompok-kelompok lain ini yaitu yang kemampuannya sudah terbukti untuk membangun basis massa di seputar isu-isu lokal seperti pendirian gereja, pemberantasan maksiat dan pengusiran jemaah Ahmadiyah.97 Gagalnya pemerintah untuk mengambil tindakan terhadap atau bahkan mengakui ancaman yang ditimbulkan oleh kelompokkelompok ini terhadap struktur sosial masyarakat di Indonesia tidak bisa dihindari akan mendorong lebih banyak kekerasan di masa depan.
Page 25
XI. PELAJARAN YANG PERLU DIAMBIL OLEH PEMERINTAH Pemerintah bisa mengambil manfaat dengan melakukan instropeksi seperti yang dilakukan kelompok ekstrimis untuk menganalisa mengapa tidak banyak perubahan yang terjadi walaupun program-program counterradikalisasi sudah dilakukan. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme disingkat BNPT, yang didirikan tahun 2010, untuk pertama kalinya saat ini sedang menyusun sebuah rencana counter-radikalisasi nasional, dengan masukan-masukan dari Kementerian Pendidikan, Sosial, Hukum dan HAM serta beberapa badan pemerintah yang lain – sepuluh tahun setelah keberadaan teroris-teroris lokal menjadi sebuah fakta yang diakui. BNPT juga berusaha keras agar UndangUndang Anti Terorisme yang lebih keras bisa diadopsi sehingga dapat menutup apa yang mereka lihat sebagai kekurangan dalam UU yang berlaku saat ini. Undangundang yang ingin diajukan antara lain akan memperpanjang masa penahanan dan penangkapan teroris, melarang latihan paramiliter dan menghukum aktivitas-aktivitas yang mengarah ke terorisme seperti aktif terlibat dalam merencanakan sebuah aksi teror. Revisi itu sudah pasti akan menjadi topik perdebatan hangat pada saat diajukan ke DPR akhir tahun 2012 nanti, tapi terlepas dari masalah-masalah yang mungkin akan ditimbulkan dan manfaatnya, sebuah undangundang secara sendirian tidak akan mampu membawa perubahan kecuali pemerintah menangani ekstrimisme secara lebih komprehensif.
A. PERHATIAN LEBIH TERHADAP PEREKRUTAN
96
“Refleksi Jihad Aceh”, http://elhakimi.wordpress.com, 22 Maret 2010. Ia menyebut beberapa organisasi sebagai contoh, semuanya kelompok-kelompok advokasi garis keras: Front Pembela Islam (FPI); Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI), sebuah lembaga think-tank berbasis di Jakarta yang fokus pada aliran-aliran sesat; Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS, dijalankan oleh seorang cendekiawan konservatif Adian Husaini); dan Forum Antisipasi Kegiatan Kristenisasi (FAKTA). 97 Jemaah Ahmadiyah adalah suatu gerakan keagamaan Islam yang pengikutnya menganggap pendiri gerakan mereka, Mirza Gulam Ahmad, sebagai seorang nabi. Ini adalah penghujatan/fitnah bagi Muslim ortodoks, yang meyakini bahwa Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir. Penganiayaan terhadap para pengikut Ahmadiyah di Indonesia semakin meningkat tahun-tahun belakangan ini. Lihat laporan Crisis Group Asia N°78, Indonesia: Implications of the Ahmadiyah Decree, 7 Juli 2008.
Sejauh ini tidak banyak usaha yang dilakukan untuk merumuskan dan mengembangkan program-program bagi kelompok-kelompok yang dianggap mudah atau rawan untuk direkrut. Seperti yang telah dikemukakan, mereka ini termasuk adik dan kadang anak-anak dari ekstrimis yang tewas atau tertangkap. Mereka sebenarnya bisa menjadi fokus dari sebuah program pendidikan dan kerja sosial yang sistematis. Kelompok rawan yang lain yaitu anak-anak muda yang menganggur atau setengah menganggur yang tinggal dekat mesjid dimana ustadz-ustadz radikal memberikan khotbahnya. Buat anak-anak muda ini, banyak dari mereka bekerja sebagai pedagang gerobak dan tukang parkir atau pekerjaan-pekerjaan berupah rendah yang lain, kombinasi dari waktu luang yang mereka miliki dan tawaran untuk melakukan sesuatu yang lebih menarik sulit untuk ditolak. Banyak dari anggota Tim Hisbah direkrut dari sekitar mesjid di Semanggi, Solo, dimana bekas ketua mereka yang telah tewas, Sigit Qordhowi, memimpin kelompok-kelompok pengajian
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
dan melancarkan aksi sweeping mingguan ke bar-bar dan sarang prostitusi. Beberapa proyek pilot untuk melibatkan anak-anak muda dalam kegiatan alternatif di sekitar tempat ekstrimis biasanya berkumpul akan berguna. Juga layak untuk mempelajari perekrutan terhadap lakilaki dan perempuan usia muda yang berpendidikan, middle-class, dan sangat melek komputer yang aktif dalam forum-forum chat online. Mereka adalah orangorang dimana ideologi jihad salafi mempunyai daya tarik yang kuat, punya pandangan yang agak internasionalis, suka membaca tulisan-tulisan terjemahan para ekstrimis dari Timur Tengah dan mendapatkan sensasi dari mengakses situs-situs alQaeda. Sebuah program yang dirancang secara spesifik untuk melibatkan mereka dalam debat-debat online, yang melibatkan ustadz-ustadz yang telah membaca naskah-naskah jihad dan tahu bagaimana caranya merespon dengan cara dan isi yang sesuai, bisa berguna. Indonesia telah mempelajari bagaimana Arab Saudi melakukannya, tapi mereka cenderung berasumsi bahwa “kaum moderat” bisa dilibatkan untuk mencoba mempengaruhi kelompok-kelompok radikal tanpa mempelajari betul-betul naskah-naskah radikal.
B. ZERO TOLERANCE TERHADAP KEKERASAN BERMOTIF AGAMA
Pemerintah perlu membuat dan menegakkan kebijakan zero tolerance terhadap kekerasan bermotif agama. Para ekstrimis yang kemudian terlibat dalam kegiatan jihad biasanya melalui beberapa tahap radikalisasi terlebih dahulu, seringkali dengan berpartisipasi dalam sebuah kelompok pengajian ekstrimis. Aksi sweeping tempat-tempat yang mereka anggap maksiat, seperti yang dilakukan Tim Hisbah ketika Sigit Qordhowi masih hidup, sangat berbahaya, karena mereka kerap menggunakan kekerasan walaupun tidak mematikan. Ada sejumlah bukti yang memperlihatkan bahwa sekalinya seorang radikal melakukan sejenis kekerasan, akan lebih mudah baginya untuk melakukan bentuk kekerasan yang lebih berat.98 Keengganan yang diperlihatkan polisi untuk mengambil tindakan terhadap pelaku kekerasan bermotif Islam yang kejahatannya cenderung berupa 98
Salah satunya yaitu evolusi dari sebuah kelompok yang ditangkap di Palembang tahun 2008. Kelompok ini mulanya melakukan perlawanan mereka hanya lewat dakwah keras terhadap pendeta evangelist yang berusaha mengkristenkan warga Muslim, kemudian menggunakan kekerasan terhadap mereka, hingga mencoba merakit bom untuk menyerang orang asing. Lihat laporan Crisis Group, Indonesia: Radicalisation of the Palembang Group, op. cit.
Page 26
aksi vandalisme, penyerangan dan ancaman kekerasan, telah dijelaskan sebelumnya, mereka ragu untuk bertindak tegas, mungkin karena kekurangan sumber daya, pertimbangan politik, bisa juga karena kolusi jasa keamanan atau tidak ada instruksi dari atasan. Alasan berbeda bisa berlaku di wilayah berbeda, tapi kalau tidak ada kebijakan pemerintah yang efektif dalam menghadapi perilaku semacam ini maka perekrutan orang-orang ke dalam kelompok ekstrimis sudah pasti akan terus berlanjut.
C. PEMANTAUAN PENJARA YANG LEBIH BAIK Penjara terus menjadi masalah besar. Direktorat Jendral Lembaga Pemasyarakatan (DitjenPas) yang berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM telah menerima sejumlah besar bantuan dana dari donor untuk meningkatkan kemampuannya mengidentifikasi dan memantau para napi high-risk, termasuk setelah mereka bebas, tapi masih banyak yang harus dilakukan, terutama mengingat adanya gelombang napi baru dua tahun belakangan. Staf-staf DitjenPas harus memperbaiki komunikasi mereka dengan BNPT sehingga informasi yang lengkap mengenai seluruh napi ekstrimis tersedia pada saat penjatuhan hukuman; menyepakati sebuah protokol untuk menilai napi-napi high-risk; melatih para staf bagaimana cara menggunakan protokol tersebut; dan mencobanya dalam beberapa proyek pilot sebelum menjalankannya secara lebih umum kepada semua napi terkait kasus terorisme dan kejahatan-kejahatan kekerasan lain. DitjenPas saat ini dalam proses mengembangkan sebuah database online yang kini sudah berjalan berisi catatan kasus elektronik para napi di sebanyak 149 dari 442 lembaga pemasyarakatan di Indonesia, termasuk lembaga-lembaga yang dihuni napi-napi ekstrimis kelas kakap. Lewat sebuah gateway SMS (petugas bisa mengakes database dengan mengirim sebuah pesan SMS ke sebuah komputer yang terhubung dengan jaringan handphone), informasi mengenai biodata seluruh napi dalam sistem bisa dilihat termasuk kategori kejahatan yang mereka lakukan, seperti terorisme.99 Sekarang pejabat DitjenPas perlu memberi
99
Beberapa masalah mengenai istilah masih harus diselesaikan, karena beberapa anggota organisasi teroris dikenai tuduhan kejahatan biasa; beberapa napi high-profile yang divonis atas tindak terorisme tetap ditahan di tahanan polisi daripada diserahkan ke lembaga pemasyarakatan dan oleh karena itu tidak dimasukan kedalam database; dan tujuhbelas orang yang divonis atas tindak terorisme tidak pernah menjadi anggota organisasi-organisasi ekstrimis dan mungkin seharusnya dikenai tuduhan pembunuhan. Hal ini berarti tiap data yang datang dari Ditjen Pemasyarakatan harus diperlakukan dengan sangat hati-hati. Hingga Mei
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
perhatian lebih untuk meningkatkan kemampuan analisa staf-staf mereka, sehingga database tersebut bisa menjadi alat yang efektif bagi upaya pengawasan.100 Staf lembaga pemasyarakatan juga perlu training yang lebih baik dalam memonitor kegiatan napi. Mereka tidak akan dianggap melakukan pembatasan yang tidak adil kalau misalnya membatasi akses para napi ke publikasi-publikasi ekstrimis dan melarang napi teroris memberi wawancara kepada wartawan. Selain itu, kebijakan yang lebih ketat kepada pengunjung juga perlu diberlakukan, untuk mencegah mereka membawa keluar naskah-naskah yang ditulis tangan oleh para ideolog faham radikal yang sedang dipenjara yang kemudian di-posting di situs-situs radikal, begitu juga dengan siapa yang mereka besuk. Database yang disebutkan diatas punya kapasitas untuk mengumpulkan data para pengunjung ke masingmasing napi. Namun sekali lagi, yang kurang adalah kemampuan analisa. Selain itu, perhatian yang lebih banyak juga bisa diberikan ke layanan medis dalam penjara, sehingga kelompok-kelompok yang terkait organisasi-organisasi radikal tidak bisa menggunakan penyakit yang diderita napi ekstrimis sebagai dalih untuk menggalang dana.101
D. PENINGKATAN LATIHAN OPSI NON-LETHAL DALAM OPERASI PENANGKAPAN
Polisi perlu melakukan lebih banyak untuk memastikan bahwa mereka tidak memberi motivasi tambahan kepada ekstrimis lewat penggunaan kekuatan secara berlebihan. Seperti yang telah dikemukakan dalam laporan sebelumnya, polisi perlu lebih banyak latihan dalam mempelajari opsi-opsi non-lethal (tidak mematikan) ketika menghadapi “penembak”. Tingginya angka penembakan hingga tewas oleh polisi
Page 27
sudah hampir pasti karena polisi menyadari mereka adalah target teroris nomor satu dan perasaan bahwa pilihan yang ada ketika berhadapan dengan teroris hanya “membunuh atau dibunuh”. Tapi tidak jelas apakah setelah operasi polisi terhadap kelompok ekstrimis kemudian ada praktek-praktek secara sistematis untuk mengkaji apa yang sebaiknya dilakukan secara lebih baik atau berbeda. Yang juga mungkin membantu yaitu merubah struktur insentif, sehingga polisi akan mendapat apresiasi lebih tinggi apabila tersangka ditangkap dalam keadaan hidup daripada tewas dalam operasi. Selain itu dibutuhkan larangan yang jelas dan tidak rancu mengenai interogasi dengan menggunakan teknik penyiksaan (dengan hukuman yang benar-benar diterapkan, jadi sebuah pelanggaran tidak diam-diam dibiarkan), serta training yang lebih baik dimana polisi dapat belajar dari pengalaman polisi yang lebih senior yang telah menemukan bahwa perlakuan yang lebih manusiawi terhadap tersangka ternyata menghasilkan manfaat yang lebih besar.
E. KEAMANAN BANDARA YANG LEBIH BAIK Setidaknya, laporan ini memperlihatkan betapa mudahnya para ekstrimis pergi kemana-mana di seluruh Indonesia dengan menggunakan KTP palsu atau pinjaman. Hampir semua anggota kelompok yang dibahas disini bisa membeli tiket dan melakukan checkin di maskapai penerbangan murah Indonesia dengan menggunakan nama dan dokumen palsu. Bukan hanya kelompok ekstrimis yang memanfaatkan keamanan bandara yang dibawah standar, tapi semua akan lebih aman kalau staf maskapai penerbangan lebih terlatih untuk melakukan pemeriksaan identitas, dan ada prosedur yang jelas untuk memberitahu petugas keamanan kalau ada dokumen yang mencurigakan.
F. PERHATIAN LEBIH KE HUBUNGAN DENGAN 2012, contohnya, database memperlihatkan ada 203 orang yang menjalani hukuman atas tindak terorisme, termasuk 77 di Jakarta, 36 di Jawa Tengah (termasuk di Nusakambangan), 27 di Sulawesi Tengah, 22 di Sumatra Utara, delapan belas di Jawa Timur, sembilan di Banten, enam di Sumatra Selatan, dua di Yogyakarta, dua di Papua dan masing-masing satu di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Papua Barat dan Jawa Barat. Tidak jelas siapa napi di Papua dan Papua Barat, tapi mungkin mereka ditangkap atas tuduhan menjual senjata ke organisasi pemberontak, Organisasi Papua Merdeka (OPM) di tahun 2011. Lihat smslap.ditjenpas.do.id/public/ krl/current/monthly/year/2012/month/5. 100 Komunikasi email dengan Leo Sudaryono, Asia Foundation, 25 Juni 2012. 101 Contohnya lihat permintaan bantuan dana buat seorang napi yang ditangkap paska Aceh di http://idc.voa-islam.com/ read/idc/31/sang-mujahid-menderita-kelumpuhan-di-penjaramari-bantu/.
KELOMPOK INTERNASIONAL
Cerita perkembangan paska Aceh memperlihatkan bagaimana sebagian besar kelompok ekstrimis menjadi lebih fokus ke isu-isu domestik dibanding isu-isu global, tapi ada perkecualian yang utama, dan hubungan dengan internasional jangan diabaikan. Hubungan kelompok Abu Umar dengan Abu Sayyaf Group di Filipina bagian selatan masih terus berlangsung, dan hampir bisa dipastikan masih ada sisa-sisa dari jaringan di Sabah. Sangat mengkhawatirkan bahwa dua dari buron teroris nomor satu di Asia Tenggara, Dulmatin dan Umar Patek masih bisa pulang ke Indonesia dan hidup tenang selama lebih dari dua tahun untuk Dulmatin, dan lebih dari satu tahun untuk Umar Patek, tanpa sepengetahuan aparat
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
Filipina bahwa mereka sudah kabur dari negara itu, atau sepengetahuan aparat Indonesia bahwa mereka sudah masuk ke Nusantara – dan dalam hal Umar Patek, pergi lagi ke Pakistan. Kalau diretrospeksikan kembali, penangkapan Umar Patek di Abbottabad, Pakistan di bulan Januari 2012 mungkin telah diekspos secara berlebihan – tidak ada indikasi bahwa ia tahu Osama bin Laden sedang tinggal disitu saat itu – tapi koneksi secara online yang membuat ia bisa pergi sejauh itu memperlihatkan adanya hubungan dengan kelompok internasional.102 Selain itu ada Yaman, dimana mahasiswa-mahasiswa Indonesia memiliki hubungan yang sudah lama dengan pesantren-pesantren tradisional di Hadramaut, wilayah Yaman dimana nenek moyang kebanyakan masyarakat keturunan Arab di Indonesia berasal. Namun sejumlah kecil orang Indonesia pernah belajar di pesantrenpesantren yang lebih radikal disitu. Koordinator lapangan aksi bom tahun 2009, yang sudah tewas, memberitahu keluarganya bahwa ia menjadi radikal ketika belajar di Universitas al-Eman di Sanaa di akhir tahun 90-an.103 Yang sekarang dikhawatirkan yaitu mengingat pergolakan yang sedang terjadi di Yaman dan kemungkinan gerakan al-Qaeda Jazirah Arab (AQAP) mengalami peningkatan disitu, sejumlah orang Indonesia mungkin bisa tertarik masuk ke kalangan ekstrimis internasional dengan cara yang mungkin bisa memperkuat kapasitas kontak mereka di Indonesia. Kenyataan bahwa kelompok ekstrimis saat ini tampaknya sedang fokus kedalam jangan sampai membutakan aparat Indonesia terhadap kemungkinan bahwa hubungan yang lebih kuat dengan kelompok internasional bisa berkembang di kemudian hari.
102
Mohammad Jibriel, yang menyebut dirinya “Pangeran Jihad”, ditangkap dan divonis berusaha menggalang dana di Arab Saudi untuk proyek bom hotel tahun 2009, juga berkomunikasi lewat chatting e-mail di tahun 2008 dengan seorang kontak dari divisi media al-Qaeda di Waziristan, yang menyebutkan ia juga berkomunikasi dengan anak Abu Bakar Ba’asyir, Abdul Rahim. Lihat berkas perkara Muhammad Jibriel, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 2010. 103 Syaifudin Zuhri bin Ahad Jaelani belajar di Sana’a dari tahun 1995 hingga 2000, dimana kelihatannya saat ia kuliah disitu ada yang bersamaan waktunya dengan saat Abdul Rahim Ba’asyir kuliah di Yaman juga. Lihat “Syaifudin Zuhri Masuk Al Qaeda Saat Sekolah di Yaman”, detik.com, 29 September 2009.
Page 28
G. MEMBANGUN HUBUNGAN ANTARA LEMBAGA PENELITIAN DENGAN INSTITUSI KEBIJAKAN
Perkembangan yang diuraikan disini memperlihatkan bahwa penelitian yang lebih banyak perlu dilakukan untuk mengkaji antara lain bagaimana kelompok teroris membentuk kelompok baru di bawah tekanan; peran forum-forum chat kelompok ekstrimis; peran mak comblang dalam kalangan kelompok ekstrimis; dan hubungan antara kelompok jihad dan organisasiorganisasi advokasi garis keras. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia di dalam dan luar negeri terlibat dalam penelitian-penelitian semacam ini, tapi sayangnya tidak ada sumber online yang terpusat dimana tesis-tesis atau penelitian akademis ini tercantum, jadi bahkan kalau institut-institut kebijakan ingin input yang lebih baik, sulit bagi mereka untuk menemukannya. BNPT perlu lebih memikirkan untuk merumuskan sebuah agenda penelitian yang bisa menjamin bahwa programprogram mereka didasarkan pada data-data yang solid dan analisa yang berkualitas paling tinggi.
H. EVALUASI PROGRAM DERADIKALISASI, DISENGAGEMENT DAN COUNTEREKSTRIMISME YANG ADA
Para donor telah mengeluarkan sejumlah uang yang sangat besar selama dasawarsa terakhir ini untuk mendanai seminar-seminar, program-program pelatihan, publikasi, study tour, advokasi dan penelitian mengenai kounter-terorisme dan “deradikalisasi”. Namun tidak seorangpun yang pernah mencoba untuk mengkoordinasikan sebuah evaluasi terhadap inisiatifinisiatif ini dan menilai apa saja yang berhasil, dan apa yang tidak, dan mengapa. Sebelum lebih banyak uang dan dana didedikasikan ke program-program ini, akan berguna sekali apabila evaluasi semacam ini dilakukan.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
XII. KESIMPULAN Meskipun dua tahun belakangan ada keberhasilan besar dalam membongkar jaringan kelompok ekstrimis, namun ancaman kekerasan dari kelompok ekstrimis di Indonesia belum lewat. Satu per satu, buron-buron wahid dalam DPO polisi berhasil dikejar, ditangkap, diadili dan dipenjara. Sejauh ini kerja polisi bagus, tapi mereka juga mujur. Selama ini para calon teroris tidak begitu terlatih dengan baik, kurang disiplin dan ceroboh. Aksi serangan besar yang paling akhir di Jakarta yaitu tahun 2009, dan jumlah korban yang tewas oleh aksi teroris di tahun 2011 ada lima orang: tiga petugas polisi, dan dua pelaku bom bunuh diri. Aparat mulai merasa puas diri bahwa ancaman bahaya sudah lewat. Akan tetapi, laporan ini memperlihatkan bahwa walaupun begitu banyak serangan terhadap mereka, kelompok ekstrimis masih mampu membentuk kelompok baru dibawah tekanan dan merencanakan aksi amaliyah baru, seringkali dengan bantuan dari rekan-rekan di penjara. Seorang pemimpin yang sangat terampil dan punya kesabaran lebih dibanding yang sejauh ini diperlihatkan kelompok jihad mungkin masih akan mampu untuk mengumpulkan orang-orang dan membentuk kelompok untuk melancarkan aksi amaliyah tanpa dideteksi oleh aparat. Yang sudah pasti, tekad mereka untuk mencoba masih belum luntur. Laporan ini juga memperlihatkan bagaimana situasi sulit saat ini telah menggalang kelompok-kelompok ekstrimis saling kontak satu sama lain, dengan cara mengurangi sejumlah kemajuan yang dibuat polisi dalam membongkar sel-sel individu. Jemaah Islamiyah (JI) menjadi contoh yang sangat menarik. Ia mungkin dicemooh sebagai boneka aparat dan beberapa anggotanya dianggap pengkhianat, tapi tokohnya Abu Rusdan, masih dihormati secara luas dan taklimnya menarik banyak pengikut termasuk orangorang yang lebih militan. Jaringan alumni dari sekitar 50 pesantren JI terus memegang peran penting, dan sekolah-sekolah JI masih menjadi tempat untuk regenerasi. Bukan suatu kebetulan bahwa Abu Umar menyekolahkan anak-anaknya di pesantren JI, begitu juga dengan Abdullah Sunata, ketua KOMPAK yang saat ini dipenjara. Bahkan meskipun JI telah menarik diri dari aksi kekerasan, banyak dari sekolahsekolahnya masih dianggap oleh kelompok-kelompok militan pada umumnya sebagai tempat dimana semangat jihad bisa ditanamkan. Lembaga Pemasyarakatan mungkin menjadi bidang yang paling perlu dibenahi oleh pemerintah. Dibanding jumlah penangkapan, tingkat residivisme resmi bagi napi teroris masih cukup rendah – dibawah 10 persen –
Page 29
tapi bukti dari kasus-kasus paska Aceh memperlihatkan bahwa jumlah napi yang telah bebas dan bersedia untuk membantu di belakang layar dalam kalangan ekstrimis jauh lebih tinggi. Singkatnya, meskipun di sepuluh tahun belakangan ada banyak keberhasilan besar dalam kerja counterterorisme, namun ekstrimisme yang melibatkan kekerasan masih menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian terus menerus.
Jakarta/Brussels, 16 Juli 2012
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
LAMPIRAN A PETA INDONESIA
Page 30
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
Page 31
LAMPIRAN B TENTANG INTERNATIONAL CRISIS GROUP
The International Crisis Group (Crisis Group) is an independent, non-profit, non-governmental organisation, with some130 staff members on five continents, working through field-based analysis and high-level advocacy to prevent and resolve deadly conflict. Crisis Group’s approach is grounded in field research. Teams of political analysts are located within or close by countries at risk of outbreak, escalation or recurrence of violent conflict. Based on information and assessments from the field, it produces analytical reports containing practical recommendations targeted at key international decision-takers. Crisis Group also publishes CrisisWatch, a twelve-page monthly bulletin, providing a succinct regular update on the state of play in all the most significant situations of conflict or potential conflict around the world. Crisis Group’s reports and briefing papers are distributed widely by email and made available simultaneously on the website, www.crisisgroup.org. Crisis Group works closely with governments and those who influence them, including the media, to highlight its crisis analyses and to generate support for its policy prescriptions. The Crisis Group Board – which includes prominent figures from the fields of politics, diplomacy, business and the media– is directly involved in helping to bring the reports and recommendations to the attention of senior policymakers around the world. Crisis Group is chaired by former U.S. Undersecretary of State and Ambassador Thomas Pickering. Its President and Chief Executive since July 2009 has been Louise Arbour, former UN High Commissioner for Human Rights and Chief Prosecutor for the International Criminal Tribunals for the former Yugoslavia and for Rwanda. Crisis Group’s international headquarters is in Brussels, and the organisation has offices or representation in 34 locations: Abuja, Bangkok, Beijing, Beirut, Bishkek, Bogotá, Bujumbura, Cairo, Dakar, Damascus, Dubai, Gaza, Guatemala City, Islamabad, Istanbul, Jakarta, Jerusalem, Johannesburg, Kabul, Kathmandu, London, Moscow, Nairobi, New York, Port-au-Prince, Pristina, Rabat, Sanaa, Sarajevo, Seoul, Tbilisi, Tripoli, Tunis and WashingtonDC. Crisis Group currently covers some 70 areas of actual or potential conflict across four continents. In Africa, this includes, Burkina Faso, Burundi, Cameroon, Central African Republic, Chad, Côte d’Ivoire, Democratic Republic of the Congo, Eritrea, Ethiopia, Guinea, Guinea-Bissau, Kenya, Liberia, Madagascar, Nigeria, Sierra Leone, Somalia, South Sudan, Sudan, Uganda and Zimbabwe; in Asia, Afghanistan, Burma/Myanmar, Indonesia, Kashmir, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Malaysia, Nepal, North Korea, Pakistan, Philippines, Sri Lanka, Taiwan Strait, Tajikistan,
Thailand, Timor-Leste, Turkmenistan and Uzbekistan; inEurope, Armenia, Azerbaijan, Bosnia and Herzegovina, Cyprus, Georgia, Kosovo, Macedonia, North Caucasus, Serbia and Turkey; in the Middle East and North Africa, Algeria, Bahrain, Egypt, Iran, Iraq, Israel-Palestine, Jordan, Lebanon, Libya, Morocco, Syria, Tunisia, Western Sahara and Yemen; and in Latin America and the Caribbean, Colombia, Guatemala, Haiti and Venezuela. Crisis Group receives financial support from a wide range of governments, institutional foundations, and private sources. The following governmental departments and agencies have provided funding in recent years: Australian Agency for International Development, Australian Department of Foreign Affairs and Trade, Austrian Development Agency, Belgian Ministry of Foreign Affairs, Canadian International Development Agency, Canadian International Development and Research Centre, Foreign Affairs and International Trade Canada, Royal Danish Ministry of Foreign Affairs, Dutch Ministry of Foreign Affairs, European Commission, Finnish Ministry of Foreign Affairs, German Federal Foreign Office, Irish Aid, Principality of Liechtenstein, Luxembourg Ministry of Foreign Affairs, New Zealand Agency for International Development, Royal Norwegian Ministry of Foreign Affairs, Swedish International Development Agency, Swedish Ministry for Foreign Affairs, Swiss Federal Department of Foreign Affairs, Turkish Ministry of Foreign Affairs, United Kingdom Department for International Development, U.S. Agency for International Development. The following institutional and private foundations have provided funding in recent years: Adessium Foundation, Carnegie Corporation of New York, The Charitable Foundation, TheElders Foundation, Henry Luce Foundation, William& FloraHewlett Foundation, Humanity United, Hunt Alternatives Fund, John D. & Catherine T. MacArthur Foundation, Open Society Institute, Ploughshares Fund, Rockefeller Brothers Fund and VIVA Trust.
July 2012
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
Page 32
LAMPIRAN C LAPORAN DAN BRIEFING CRISIS GROUP Central Asia Tajikistan: On the Road to Failure, Asia Report N°162, 12 February 2009. Women and Radicalisation in Kyrgyzstan, Asia Report N°176, 3 September 2009. Central Asia: Islamists in Prison, Asia Briefing N°97, 15 December 2009. Central Asia: Migrants and the Economic Crisis, Asia Report N°183, 5 January 2010. Kyrgyzstan: A Hollow Regime Collapses, Asia Briefing N°102, 27 April 2010. The Pogroms in Kyrgyzstan,Asia Report N°193, 23 August 2010. Central Asia: Decay and Decline, Asia Report N°201, 3 February 2011. Tajikistan: The Changing Insurgent Threats, Asia Report N°205, 24 May 2011. Kyrgyzstan: Widening Ethnic Divisions in the South, Asia Report N°222, 29 March 2012.
North East Asia North Korea’s Missile Launch: The Risks of Overreaction, Asia Briefing N°91, 31 March 2009. China’s Growing Role in UN Peacekeeping, Asia Report N°166, 17 April 2009 (also available in Chinese). North Korea’s Chemical and Biological Weapons Programs, Asia Report N°167, 18 June 2009. North Korea’s Nuclear and Missile Programs, Asia Report N°168, 18 June 2009. North Korea: Getting Back to Talks, Asia Report N°169, 18 June 2009. China’s Myanmar Dilemma, Asia Report N°177, 14 September 2009 (also available in Chinese). Shades of Red: China’s Debate over North Korea, Asia Report N°179, 2 November 2009 (also available in Chinese). The Iran Nuclear Issue: The View from Beijing, Asia Briefing N°100, 17 February 2010 (also available in Chinese). North Korea under Tightening Sanctions, Asia Briefing N°101, 15 March 2010. China’s Myanmar Strategy: Elections, Ethnic Politics and Economics, Asia Briefing N°112, 21 September 2010 (also available in Chinese).
North Korea: The Risks of War in the Yellow Sea, Asia Report N°198, 23 December 2010. China and Inter-Korean Clashes in the Yellow Sea, Asia Report N°200, 27 January 2011 (also available in Chinese). Strangers at Home: North Koreans in the South, Asia Report N°208, 14July 2011 (also available in Korean). South Korea: The Shifting Sands of Security Policy, Asia Briefing N°130, 1 December 2011. Stirring up the South China Sea (I), Asia Report N°223, 23 April 2012. Stirring up the South China Sea (II): Regional Responses, Asia Report N°229, 24 July 2012. North Korean Succession and the Risks of Instability, Asia Report N°230, 25 July 2012.
South Asia Nepal’s Faltering Peace Process, Asia Report N°163, 19 February 2009(also available in Nepali). Afghanistan: New U.S. Administration, New Directions, Asia Briefing N°89, 13 March 2009. Pakistan: The Militant Jihadi Challenge, Asia Report N°164, 13 March 2009. Development Assistance and Conflict in Sri Lanka: Lessons from the Eastern Province, Asia Report N°165, 16 April 2009. Pakistan’s IDP Crisis: Challenges and Opportunities, Asia Briefing N°93, 3 June 2009. Afghanistan’s Election Challenges, Asia Report N°171, 24 June 2009. Sri Lanka’s Judiciary: Politicised Courts, Compromised Rights, Asia Report N°172, 30 June 2009. Nepal’s Future: In Whose Hands?, Asia Report N°173, 13 August 2009 (also available in Nepali). Afghanistan: What Now for Refugees?, Asia Report N°175, 31 August 2009. Pakistan: Countering Militancy in FATA, Asia Report N°178, 21 October 2009. Afghanistan: Elections and the Crisis of Governance, Asia Briefing N°96, 25 November 2009. Bangladesh: Getting Police Reform on Track, Asia Report N°182, 11 December 2009.
Sri Lanka: A Bitter Peace, Asia Briefing N°99, 11 January2010. Nepal: Peace and Justice, Asia Report N°184, 14 January 2010. Reforming Pakistan’s Civil Service, Asia Report N°185, 16 February 2010. The Sri Lankan Tamil Diaspora after the LTTE, Asia Report N°186, 23 February 2010. The Threat from Jamaat-ul Mujahideen Bangladesh, Asia Report N°187, 1 March 2010. A Force in Fragments: Reconstituting the Afghan National Army, Asia Report N°190, 12 May 2010. War Crimes in Sri Lanka,Asia Report N°191, 17 May 2010. Steps Towards Peace: Putting Kashmiris First, Asia Briefing N°106, 3 June 2010. Pakistan: The Worsening IDP Crisis, Asia Briefing N°111, 16 September 2010. Nepal’s Political Rites of Passage, Asia Report N°194, 29 September 2010 (also available in Nepali). Reforming Afghanistan’s Broken Judiciary, Asia Report N°195, 17 November 2010. Afghanistan: Exit vs Engagement, Asia Briefing N°115, 28 November 2010. Reforming Pakistan’s Criminal Justice System, Asia Report N°196, 6 December 2010. Nepal: Identity Politics and Federalism, Asia Report N°199, 13 January 2011(also available in Nepali). Afghanistan’s Elections Stalemate, Asia Briefing N°117, 23 February 2011. Reforming Pakistan’s Electoral System, Asia Report N°203, 30 March 2011. Nepal’s Fitful Peace Process, Asia Briefing N°120, 7 April 2011 (also available in Nepali). India and Sri Lanka after the LTTE, Asia Report N°206, 23June 2011. The Insurgency in Afghanistan’s Heartland, Asia Report N°207, 27June 2011. Reconciliation in Sri Lanka: Harder Than Ever, Asia Report N°209, 18 July 2011. Aid and Conflict in Afghanistan, Asia Report N°210, 4 August 2011. Nepal: From Two Armies to One, Asia Report N°211, 18 August 2011 (also available in Nepali). Reforming Pakistan’s Prison System, Asia ReportN°212, 12 October 2011.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012 Islamic Parties in Pakistan, Asia Report N°216, 12 December 2011. Nepal’s Peace Process: The Endgame Nears, Asia Briefing N°131, 13 December 2011 (also available in Nepali). Sri Lanka: Women’s Insecurity in the North and East, Asia Report N°217, 20 December 2011. Sri Lanka’s North I: The Denial of Minority Rights, Asia Report N°219, 16 March 2012. Sri Lanka’s North II: Rebuilding under the Military, Asia Report N°220, 16 March 2012. Talking About Talks: Toward a Political Settlement in Afghanistan, Asia Report N°221, 26 March 2012. Pakistan’s Relations with India: Beyond Kashmir?, Asia Report N°224, 3 May 2012. Bangladesh: Back to the Future, Asia Report N°226, 13 June 2012. Aid and Conflict in Pakistan, Asia Report N°227, 27 June 2012.
South East Asia Local Election Disputes in Indonesia: The Case of North Maluku, Asia Briefing N°86, 22 January 2009. Timor-Leste: No Time for Complacency, Asia Briefing N°87, 9 February 2009. The Philippines: Running in Place in Mindanao, Asia Briefing N°88, 16 February 2009. Indonesia: Deep Distrust in Aceh as Elections Approach, Asia Briefing N°90, 23 March 2009. Indonesia: Radicalisation of the “Palembang Group”, Asia Briefing N°92, 20 May 2009. Recruiting Militants in Southern Thailand, Asia Report N°170, 22 June 2009 (also available in Thai). Indonesia: The Hotel Bombings, Asia Briefing N°94, 24 July 2009 (also available in Indonesian). Myanmar: Towards the Elections, Asia Report N°174, 20 August 2009. Indonesia: Noordin Top’s Support Base, Asia Briefing N°95, 27 August 2009. Handing Back Responsibility to TimorLeste’s Police, Asia Report N°180, 3 December 2009. Southern Thailand: Moving towards Political Solutions?, Asia Report N°181, 8 December 2009 (also available in Thai). The Philippines: After the Maguindanao Massacre, Asia Briefing N°98, 21 December 2009.
Radicalisation and Dialogue in Papua,Asia Report N°188, 11 March 2010 (also available in Indonesian). Indonesia: Jihadi Surprise in Aceh,Asia Report N°189, 20 April 2010. Philippines: Pre-election Tensions in Central Mindanao, Asia Briefing N°103, 4 May 2010. Timor-Leste: Oecusse and the Indonesian Border, Asia Briefing N°104, 20 May 2010. The Myanmar Elections, Asia Briefing N°105, 27 May 2010 (also available in Chinese). Bridging Thailand’s Deep Divide, Asia Report N°192, 5 July 2010 (also available in Thai). Indonesia: The Dark Side of Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT),Asia Briefing N°107, 6 July 2010. Indonesia: The Deepening Impasse in Papua,Asia Briefing N°108, 3 August 2010. Illicit Arms in Indonesia, Asia Briefing N°109, 6 September 2010. Managing Land Conflict in Timor-Leste, Asia Briefing N°110, 9 September 2010. Stalemate in Southern Thailand, Asia Briefing N°113, 3 November 2010 (also available in Thai). Indonesia: “Christianisation” and Intolerance, Asia Briefing N°114, 24 November 2010. Indonesia: Preventing Violence in Local Elections, Asia Report N°197, 8 December 2010 (also available in Indonesian). Timor-Leste: Time for the UN to Step Back, Asia Briefing N°116, 15 December 2010. The Communist Insurgency in the Philippines: Tactics and Talks, Asia Report N°202, 14 February 2011. Myanmar’s Post-Election Landscape, Asia Briefing N°118, 7 March 2011 (also available in Chinese and Burmese). The Philippines: Back to the Table, Warily, in Mindanao, Asia Briefing N°119, 24 March 2011. Thailand: The Calm Before Another Storm?, Asia Briefing N°121, 11 April 2011 (also available in Chinese and Thai). Timor-Leste: Reconciliation andReturn from Indonesia, Asia Briefing N°122, 18 April 2011 (also available in Indonesian). Indonesian Jihadism: Small Groups, Big Plans,Asia Report N°204, 19 April 2011 (also available in Chinese).
Page 33 Indonesia: Gam vs Gam in the Aceh Elections, Asia Briefing N°123, 15 June 2011. Indonesia: Debate over a New Intelligence Bill, Asia Briefing N°124, 12 July 2011. The Philippines: A New Strategy for Peace in Mindanao?, Asia Briefing N°125, 3 August 2011. Indonesia: Hope and Hard Reality in Papua, Asia Briefing N°126, 22 August 2011. Myanmar: Major Reform Underway, Asia Briefing N°127, 22 September 2011 (also available in Burmese and Chinese). Indonesia: Trouble Again in Ambon, Asia Briefing N°128, 4 October 2011. Timor-Leste’s Veterans: An Unfinished Struggle?,Asia Briefing N°129, 18 November 2011. The Philippines:Indigenous Rights and the MILF Peace Process, Asia Report N°213, 22 November 2011. Myanmar: A New Peace Initiative, Asia Report N°214, 30 November 2011 (also available in Burmese and Chinese). Waging Peace: ASEAN and the ThaiCambodian Border Conflict, Asia Report N°215, 6 December 2011 (also available in Chinese). Indonesia: From Vigilantism to Terrorism in Cirebon, Asia Briefing N°132, 26 January 2012. Indonesia: Cautious Calm in Ambon, Asia Briefing N°133, 13 February 2012. Indonesia: The Deadly Cost of Poor Policing, Asia Report N°218, 16 February 2012. Timor-Leste’s Elections: Leaving Behind a Violent Past?, Asia Briefing N°134, 21 February 2012. Indonesia: Averting Election Violence in Aceh, Asia Briefing N°135, 29 February 2012. Reform in Myanmar: One Year On, Asia Briefing N°136, 11 April 2012 (also available in Burmese). The Philippines: Local Politics in the Sulu Archipelago and the Peace Process, Asia Report N°225, 15 May 2012. How Indonesian Extremists Regroup, Asia Report N°228, 16 July 2012. Myanmar: The Politics of Economic Reform, Asia Report N°231, 27 July 2012.
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
Page 34
LAMPIRAN D INTERNATIONALCRISISGROUPBOARDOFTRUSTEES
CHAIR
Emma Bonino
Ricardo Lagos
Thomas R Pickering
Vice President of the Italian Senate; Former Minister of International Trade and European Affairs of Italy and European Commissioner for Humanitarian Aid
Former President of Chile
Former U.S. Undersecretary of State; Ambassador to the UN, Russia, India, Israel, Jordan, El Salvador and Nigeria
Micheline Calmy-Rey
PRESIDENT & CEO Louise Arbour Former UN High Commissioner for Human Rights and Chief Prosecutor for the International Criminal Tribunals for the former Yugoslavia and Rwanda
VICE-CHAIRS Ayo Obe Legal Practitioner, Lagos, Nigeria
Ghassan Salamé
Former President of the Swiss Confederation and Foreign Affairs Minister
Wesley Clark Former NATO Supreme Allied Commander
Sheila Coronel Toni Stabile Professor of Practice in Investigative Journalism; Director, Toni Stabile Center for Investigative Journalism, Columbia University, U.S.
Mark Eyskens Former Prime Minister of Belgium
Nabil Fahmy
Dean, Paris School of International Affairs, Sciences Po
Former Ambassador of Egypt to the U.S. and Japan; Founding Dean, School of Public Affairs, American University in Cairo
EXECUTIVE COMMITTEE
Joshua Fink
Morton Abramowitz
CEO & Chief Investment Officer, Enso Capital Management LLC
Former U.S. Assistant Secretary of State and Ambassador to Turkey
Joschka Fischer
Cheryl Carolus Former South African High Commissioner to the UK and Secretary General of the ANC
Former Foreign Minister of Germany
Lykke Friis
Maria Livanos Cattaui
Former Climate & Energy Minister and Minister of Gender Equality of Denmark; Former Prorector at the University of Copenhagen
Former Secretary-General of the International Chamber of Commerce
Jean-Marie Guéhenno
Yoichi Funabashi Chairman of the Rebuild Japan Initiative; Former Editor-in-Chief, The Asahi Shimbun
Arnold Saltzman Professor of War and Peace Studies, Columbia University; Former UN UnderSecretary-General for Peacekeeping Operations
Carla Hills
Joanne Leedom-Ackerman Former International Secretary of PEN International; Novelist and journalist, U.S.
Lalit Mansingh Former Foreign Secretary of India, Ambassador to the U.S. and High Commissioner to the UK
Benjamin Mkapa Former President of Tanzania
Laurence Parisot President, French Business Confederation (MEDEF)
Karim Raslan Founder, Managing Director and Chief Executive Officer of KRA Group
Paul Reynolds President & Chief Executive Officer, Canaccord Financial Inc.
Javier Solana Former EU High Representative for the Common Foreign and Security Policy, NATO SecretaryGeneral and Foreign Minister of Spain
Liv Monica Stubholt Senior Vice President for Strategy and Communication, Kvaerner ASA; Former State Secretary for the Norwegian Ministry of Foreign Affairs
Lawrence Summers Former Director of the US National Economic Council and Secretary of the U.S. Treasury; President Emeritus of Harvard University
Wang Jisi
President & CEO, Fiore Financial Corporation
Former U.S. Secretary of Housing and U.S. Trade Representative
Dean, School of International Studies, Peking University; Member, Foreign Policy Advisory Committee of the Chinese Foreign Ministry
Lord (Mark) Malloch-Brown
Lena Hjelm-Wallén
Wu Jianmin
Former UN Deputy Secretary-General and Administrator of the United Nations Development Programme (UNDP)
Former Deputy Prime Minister and Foreign Minister of Sweden
Moisés Naím
Founder and Chair, Mo Ibrahim Foundation; Founder, Celtel International
Executive Vice Chairman, China Institute for Innovation and Development Strategy; Member, Foreign Policy Advisory Committee of the Chinese Foreign Ministry; Former Ambassador of China to the UN (Geneva) and France
Frank Giustra
Senior Associate, International Economics Program, Carnegie Endowment for International Peace; Former Editor in Chief, Foreign Policy
George Soros Chairman, Open Society Institute
Pär Stenbäck Former Foreign Minister of Finland
OTHER BOARD MEMBERS
Mo Ibrahim
Igor Ivanov Former Foreign Minister of the Russian Federation
Asma Jahangir President of the Supreme Court Bar Association of Pakistan, Former UN Special Rapporteur on the Freedom of Religion or Belief
Wadah Khanfar
Chief Columnist for Yedioth Ahronoth, Israel
Co-Founder, Al Sharq Forum; Former Director General, Al Jazeera Network
Samuel Berger
Wim Kok
Nahum Barnea
Chair, Albright Stonebridge Group LLC; Former U.S. National Security Adviser
Former Prime Minister of the Netherlands
Lionel Zinsou CEO, PAI Partners
Bagaimana Kelompok Ekstrimis Membentuk Kelompok Baru Crisis Group Asia Report N°228, 16 Juli 2012
Page 35
PRESIDENT’S COUNCIL A distinguished group of individual and corporate donors providing essential support and expertise to Crisis Group. Mala Gaonkar
Ford Nicholson & Lisa Wolverton
White & Case LLP
Frank Holmes
Harry Pokrandt
Neil Woodyer
Steve Killelea
Shearman & Sterling LLP
George Landegger
Ian Telfer
INTERNATIONAL ADVISORY COUNCIL Individual and corporate supporters who play a key role in Crisis Group’s efforts to prevent deadly conflict. APCO Worldwide Inc.
Alan Griffiths
McKinsey & Company
Statoil
Stanley Bergman & Edward Bergman
Rita E. Hauser
Harriet Mouchly-Weiss
Belinda Stronach
Harry Bookey & Pamela Bass-Bookey
Sir Joseph Hotung
Talisman Energy
Iara Lee & George Gund III Foundation
Näringslivets Internationella Råd (NIR) – International Council of Swedish Industry Griff Norquist
VIVA Trust
Faisel Khan
Ana Luisa Ponti & Geoffrey R. Hoguet
Yapı Merkezi Construction and Industry Inc.
Zelmira Koch Polk
Kerry Propper
Stelios S. Zavvos
Elliott Kulick
Michael L. Riordan
Liquidnet
Shell
Jean Manas& Rebecca Haile
Nina Solarz
BP Chevron Neil & Sandra DeFeo Family Foundation Equinox Partners Fares I. Fares Neemat Frem Seth & Jane Ginns
George Kellner Amed Khan
Tilleke & Gibbins Kevin Torudag
SENIOR ADVISERS Former Board Members who maintain an association with Crisis Group, and whose advice and support are called on (to the extent consistent with any other office they may be holding at the time). Martti Ahtisaari
Eugene Chien
Nobuo Matsunaga
Leo Tindemans
Chairman Emeritus
Joaquim Alberto Chissano
Barbara McDougall
Ed van Thijn
George Mitchell
Victor Chu
Matthew McHugh
Simone Veil
Mong Joon Chung
Miklós Németh
Shirley Williams
Pat Cox
Christine Ockrent
Grigory Yavlinski
Gianfranco Dell’Alba
Timothy Ong
Uta Zapf
Jacques Delors
Olara Otunnu
Ernesto Zedillo
Alain Destexhe
Lord (Christopher) Patten
Mou-Shih Ding
Shimon Peres
Uffe Ellemann-Jensen
Victor Pinchuk
Gernot Erler
Surin Pitsuwan
Marika Fahlén
Cyril Ramaphosa
Stanley Fischer
Fidel V. Ramos
Malcolm Fraser
George Robertson
I.K. Gujral
Michel Rocard
Swanee Hunt
Volker Rühe
Max Jakobson
Güler Sabancı
James V. Kimsey
Mohamed Sahnoun
Aleksander Kwasniewski
Salim A. Salim
Todung Mulya Lubis
Douglas Schoen
Allan J. MacEachen
Christian Schwarz-Schilling
Graça Machel
Michael Sohlman
Jessica T. Mathews
Thorvald Stoltenberg
Chairman Emeritus
Gareth Evans President Emeritus
Kenneth Adelman Adnan Abu Odeh HRH Prince Turki al-Faisal Hushang Ansary Óscar Arias Ersin Arıoğlu Richard Armitage Diego Arria Zainab Bangura Shlomo Ben-Ami Christoph Bertram Alan Blinken Lakhdar Brahimi Zbigniew Brzezinski Kim Campbell Jorge Castañeda Naresh Chandra