BABAK I DI KOTA INDAH NAN MULIA
Betapa indah dan bahagia duduk di pangkuan ayah tercinta dalam dimensi kemuliaan ini. Tinggal di kota sorgawi yang penuh dengan kemuliaan dan cahayanya sama seperti permata yang paling indah, bagaikan permata yaspis, jernih seperti kristal. Sebuah kota yang tiada memerlukan matahari dan bulan untuk menyinarinya, sebab kemuliaan Tuhan meneranginya. Ku duduk dalam pangkuan ayah tercinta di tengah taman kota itu sambil menikmati indahnya istana nan mulia, memandangi aliran sungai air kehidupan yang jernih bagaikan kristal yang mengalir keluar dari takhta kemuliaan. Tiada kata terucap baik dari mulutku maupun ayah, karena kami sungguh terkesima dan menikmati indahnya kota dan istana di mana kami tinggal sekarang. Hingga tiba-tiba mataku tertuju di kejauhan sana, seseorang yang berpakaian putih terang cemerlang dengan wajahnya yang bersinar berjalan memasuki gerbang emas kota dan menapaki jalanjalan emas kota ini. Aku terperanjak dari pangkuan ayah dan berdiri serta berkata, “Itu Tuan Malakat ayah. Aku akan menghampirinya dan bertanya bagaimana keadaan ibu dan kakak.” Ayah hanya menatapku dan sambil tersenyum tenang, dari matanya aku mengerti seakan ayah berkata, “Iya cepat temui beliau, dan tanyakan bagaimana keadaan kakak dan ibumu, Nak.”
2
Aku berlari menuju seseorang yang sedang menapaki jalan emas itu. “Tuan, Tuan… tunggu tuan.” Malaikat itu berhenti dan menoleh ke arahku dengan wajah yang penuh ramah dan senyuman yang manis dari bibirnya, menunggu aku yang sedang berlari ke arahnya di atas rerumputan hijau nan indah bertebarkan bunga-bunga di taman kota ini. “Ada apa Indah? Apa ada yang bisa aku bantu,” sapa tuan malaikat dengan penuh kasih dan keramahan. “Aku melihat Tuan baru saja memasuki gerbang kota, dari mana kiranya gerangan Tuan?” tanyaku kepadanya. “Aku baru saja menjalankan tugas dari Raja untuk menjelajahi bumi. Memang ada apa Indah?” sahutnya. “Kalau Tuan baru kembali dari menjelajah bumi, apakah Tuan memperhatikan bagaimana keadaan ibu dan kakakku yang masih ada di bumi?” tanyaku dengan tidak sabar lagi menunggu jawaban. “Oh, ibu kamu sehat. Beliau telah menjalani hidupnya dengan bahagia. Beliau telah merelakan kepergianmu, namun tanpa pernah melupakan kamu, Indah. Semua masalah yang pernah dihadapinya kini telah berlalu.” Aku senang sekali mendengarnya. “Lalu bagaimana dengan kakakku?” Aku berharap kabarnya adalah sama menyenangkan dengan kabar tentang ibuku. Wajah tuan malaikat mendadak sayu. Aku melihat ada sesuatu yang berat untuk ia katakan kepadaku. Perasaanku melunglai namun tak sabar tuk segera dengar kabar tentang kakakku darinya. 3
“Kakakmu baik-baik saja, Indah,” katanya tuk menghiburku. “Namun apakah Tuan telah mengatakan yang sesungguhnya kepadaku?” Sahutku. “Di balik mata Tuan, ada sesuatu yang Tuan sembunyikan dari saya. Tolong Tuan katakan yang sebenarnya, bagaimana keadaan kakakku?” Aku mendesak. “Indah, sebagaimana tadi saya katakan, kakakmu baik-baik saja. Tetapi….” “Tetapi apa Tuan? Tolong ceritakan kepadaku.” Aku mendesaknya dan tidak sabar menunggu jawabannya. “Tetapi ia masih terus memikirkanmu, Indah. Kakakmu memang sudah merelakan kepergianmu karena menurutnya itu adalah yang terbaik bagi kebahagiaanmu. Namun sepertinya kakakmu masih terus dirundung rasa bersalah karena merasa bahwa dulu ia tidak dapat berbuat apa-apa untukmu. Bahkan ia menyalahkan dirinya karena berpikir bahkan ia tidak pernah berusaha untuk menjagamu, hingga akhirnya harus kehilangan kamu.” “Kakak…” suaraku parau, tenggelam dalam kerongkonganku, tak tahan rasanya mengetahui mengapa kakak masih merasa bersalah atas kepergianku. “Aku tidak pernah menyalahkan kakak,” kataku dalam hati. “Aku tahu bahwa kakak 4
telah melakukan semua yang terbaik, baik untukku maupun keluarga kita. Mengapa kakak menghukum diri sendiri sekian lamanya. Dua puluh tahun telah berlalu sejak aku pergi untuk selamanya, namun mengapa kakak masih merasa bersalah. Kakak tidak ada salah apa-apa.” Aku terus bergumam dalam hatiku merasakan betapa pedih hati kakak. Aku sangat mengenalnya. Kami pernah hidup bersama, tumbuh bersama dalam kedekatan kasih sayang antara adik dan kakak. Aku berdiri tertegun, dan pikiranku melayang menembus batas-batas kekekalan, meluncur turun melewati langit dan gugusan-gugusan bintang, terus menembus masuk atmosfir hingga akhirnya menyapu sebuah lembah yang penuh damai, Lembah Mbrejo, tempat di mana kami dilahirkan dan dibesarkan, yang tersimpan sejuta kenangan manis dan bahagia…. ****
5