BABAD ARYA
TABANAN
Disusun Oleh A A Ngurah Poetrakasunu Ida Anglurah Kurambitan X
BABAD ARYA TABANAN
OM Awighnam- Astu Nama Siddham (Ya Tuhan semoga tak terhalangi dan terkabul) Permohonan ampun saya kehadapan Bhatara Sanghyang Suksma Wisesa (Tuhan Yang Maha Esa) yang menciptakan baik buruknya menjadi manusia , semoga tak terhalang dalam menyusun riwayat ini , terhindarlah saya dari kutuk dan dosa , bukan karena mahir tentang isi Sanghyang Purasa Tatwa , sebenarnya tidak hendak durhaka untuk menyusun ceritra lama , terutama sebagai peringatan untuk keluarga besar yang seketurunan , semoga berhasil dengan sempurna. Inilah sekarang diuraikan sebagai kata pembukaan , pada zaman dulu diantara tahun saka , 1250 (bhaani=0, Bhuta =5, rwa =2, ulan =1), sampai dengan tahun saka ,(rasa=6, gati =5 tangan =2 ratu=1) ,1256, ketika bertahkta Ratu Bra Kahuripan yang bergelar Jaya Wisnu Wardani , Raja (Ratu) majapahit yang ke tiga adik wanita dari Sri Kala Jemet Raja Majapahit kedua , para putra dari Sri Jaya Wardana raja Majapahit kepertama lahir dari permaisuri puteri Raja Sri Buda (Raja Kertanagara di singasari yaitu keturunan Prabu Tunggul Ametung di Tumapel dari pihak ibu (pradana) dan keturunan Prabu Ken Angrok dari pihak ayah (Purasa). Baginda raja putri sebagai pengayom kerajaan majapahit di tanah jawa , baginda memilih seorang suami melalui sayembara terpilihlah olehnya yang bernama Raden Cakradara dari keluarga Kesatria Kahuripan , dinobatkan , bergelar Sri kerta Wardana , baginda diberikan kuasa oleh Raja Putri. Sri Maharadewi , untuk memerintah negeri di pulau jawa , karena bijaksana , terpuji tingkah lakunya muda serta tampan , mahir dalam hal rajaniti (pemerintahan) selalu dibantu oleh krisna jada , yang menjabat patih amangkubumi di majapahit , terkenal pintar dalam politik bijaksana tutur katanya , pemberani menguasai ilmu peperangan , berliau berhasil pulau jawa , demikian ceritranya di zaman dulu , tidak diuraikan lagi . Semoga agar bisa panjang umur , semoga memperoleh ketentraman , semoga pula tidak terhalang , semoga tidak tercela dan memperoleh kesempurnaan.
1
Tidak terkutuk oleh beliau yang dahulu dan oleh para dewata , tak tertimpa mala petaka , selamat seluruh keluarga dan keturunan diterima sampai sekarang , selamat sejahtera dan sempurna , sampai dengan para pembaca cerita lama ini. Begini diuraikan sebagai permulaan suatu riwayat , bahwa pada zaman dahulu ada keturunan raja , lahir di kerajaan kahuripan , enam orang bersaudara laki-laki , yang tertua bernama , Rahaden Cakradara , yang kedua Sirarya Dharma , adik – adiknya Sirarya Kenceng dan Sirarya Kuta Wandira , Sirarya Sentong , dan yang bungsu Sinarya Tan Wikan (Belog) , cikal bakalnya adalah Sri Airlangga Raja Kediri , bagaimana penjelasannya , begini: Pada zaman dahulu tahun saka , 959 Dwara = 9 Bhuta =5 Lawang = 9 , ada seorang raja berkuasa di kerajaan kediri Jawa , beristana di Daha , Panjalu bergelar Sri Maharaja Airlangga , Maharaja Raka Jalu , Lokeswara , Darmawanga , Anti Wikrama Untunggadewa, “Sagara Puptam Winasanam” Dikuasai seluruh jawa yang dikelilingi lautan , baginda menaklukan Sri Walunata di Jiran. Baginda raja berputra tiga orang , seorang wanita dan dua orang peria , yang tertua wanita lahir dari permaisuri , bernama Dyah Kili Suci Endang -,- Suci , Rake kapucangan namanya yang lain , tetapi tidak tertarik hatinya pada kebesaran dan kekuasaan , sebab sangat setia melaksanakan brata tidak bersuami (membujang ) , hanya mengembara di dalam rimba pegunungan ingin melaksanakan kewajiban seorang pendeta yaitu brata tapa yoga dan samadi. Adapun kedua putra baginda yang laki-laki yang lahir dari permaisuri , mereka membagi negara kerajaan , seorang dinobatkan di kediri atau daha yang menurunkan para raja kediri , antara lain Sri Jayabaya , Sri Dangdang Gendis , jayasaba , terakhir sampai dengan Sri Jayakatong . Dan yang seorang lagi dinobatkan di Kahuripan atau Janggala beliau menurunkan para warga Raja Kahuripan , sampai pada para kesatria enam bersaudara , yang telah diceriterakan di depan , demikian konon ceriteranya. Kembali diceriterakan lagi , tentang keterangan para kesatria enam bersaudara itu , bagaimana keadaanya. Yang sulung , yang bernama Rahaden Cakradara , alangkah tampan dan sempurna wajahnya , tinggi ilmunya cerdas dan bijaksana , pemberani dan mahir dalam pertempuran , didalam sayembara beliau terpilih untuk dijadikan suami oleh sang Raja Putri
2
Bre Wilwatikta (Raja Majapahit) yang ketiga . setelah menikah berliau bergelar Shri Kerta Wardana. Adapun yang kedua banyak nama beliau , Sirarya Damar , Arya Teja , Raden Dilah dan Kyayi Nala , demikian setelah matang perundingannya itu maka bergegas berangkat dengan perabu , untuk menyerbu pulau Bali , dibagi tiga perjalanan para prajurit itu . Patih Gajah Mada , menuju ke sebelah timur pulau Bali , dibantu oleh para patih keturunan Mpu Witadarma , berlabuh di Toya Anyar (Tianyar) . Adapun yang dari Bali sebelah utara Sinarya Damar , dibantu oleh Sirarya Sentong dan Kutawaringin berlabuh di pantai Ularan . Dan Sirarya Kenceng bersama dengan Arya Belog , Arya Pengalasan , Arya Kanuruhan, menuju Bali bagian selatan berlabuh di kuta . Setelah itu terjadi rakyat Pulau Bali menjadi panik , terburu – buru para punggawa Bali berangkat berbondong – bondong ke arah tujuan , lengkap dengan senjata , ada ke timur, ke utara , ke selatan menghadapi prajurit dari jawa itu . -,Tersebutlah penyerangan Gajah Madha dari sebelah timur , seraya membakar semak belukar pegunungan menyala-nyala cahaya api , asap mengepul menjulang tinggi ke langit , tiba-tiba terlihat oleh para arya dari sebelah utara dan selatan , maka serempak para prajurit majapahit itu , mengamuk habis-habisan dengan gagah berani sebab demikian perjanjian mereka dahulu . Tak terkatakan betapa hebat pertempuran di ketiga penjuru itu , tikam menikam akhirnya rakyat Bali menderita kekalahan . yang di sebelah timur , gugur pemuka orang Bali yang bernama Ki Tunjung Tutur , bermukim di Toya Anyar , dan si Kopang , yang oleh prajurit Jawa . lalu rakyat Bali yang masih hidup lari berhamburan akhirnya Bali sebelah timur Tohlangkir (Gunung Agung ) mengalami kekalahan . Adapun yang berperang di pantai utara , dapat dikalahkan Si Girikmana yang bermukim di Ularan oleh Sirarya Damar, dan Ki Buwan yang berkendudukan di Batur dibunuh oleh Sirarya Kutawandira. Setelah gugur kedua orang pejabat (mantri) itu, maka pasukan Bali pun berlarian akhirnya kalah daerah di sebelah utara gunung .
3
Diceriterakan mereka yang menyerang (Bali) dari selatan dihadang oleh prajuritprajurit Bali , antara lain Ki Gudug Basur , dengan jabatan demung , serta Ki Tambyak yang bermukim di Jimbaran bersama pasukan rakyat beramai – ramai . Amat hebat pertempuran itu diiringi suara gamelan gegap gempita bercampur dengan dentingan tombak, banyak rakyat yang gugur dan menderita luka-luka, rakyat Bali mengalami kekalahan, mundur ke belakang. Bertahan Ken Tambyak dan Ki Gudug Basur, direbut oleh para arya dan pejabatpejabat Jawa, tak terperikan betapa hebat pertempuran itu sama-sama cerdik mengatur siasat, ternyata Ken Tambyak terbunuh dipenggal kepalanya oleh Sirarya Kenceng. Tinggal Ki Gudug Basur direbut oleh prajurit Jawa, ia kebal dan tangguh tidak terlukai oleh senjata. Semain paya ia berperang karena direbut kemudian badannya pun lemah akhirnya ia pun gugur tanpa siksaan (luka), disoraki oleh prajurit Jawa, lalu matahari terbenam, bagaikan melerai pertempuran itu. Peperangan itu telah seminggu berjalan, ketika gugur ki Gudug Basur. Diceritakan bahwa setelah darah pesisir pulau Bali telah ditaklukan, tinggallah Ki Pasung Gerigis di desa Tengkulak bertahan di Bali Tengah, tidak susut kesaktiannya pemberani dan akhli peperangan, cerdik mengatur siasat bagaikan bayang-bayang (mayamaya) tampaknya hingga bingung hati Patih Gajah Mada, karena amat licin dan cerdiknya Pasung Grigis berperang, sedangkan tujuan Gajah Mada untuk mengalahkan hidup-hidup, sebab demikianlah permintaan Baginda Raja Majapahit dahulu. Ketika pertempuran berhenti pada malam hari, Patih Gajah Mada berunding dengan para pemuka pasukan Jawa terutama Sirarya Damar, berada di belah utara gunung (darah Buleleng) dimufakatkan tentang keberhasilan permintaan baginda raja Majapahit, ialah takluknya Ki Pacung Grigis. Setelah tersusun suatu siasat yang licin, Para arya
seluruhnya
menyetujui janji yang ditetapkan oleh Patih Gajah Mada. Keesokan harinya para prajurit Jawa serempak membalik senjata (buka sikap tempur) serta membawa bendera putih suatu tanda tidak mengadakan perlaawanan, sebab demikian aturan yang ditetapakan dalam peperangan. Setelah demikian Pasung Grigis pun mengetahui prilaku prajurit Jawa yang hendak menyerah, beliau (Pasung Grigis) menjadi gembira.
4
Terdorong oleh takdir Yang Maha Kuasa maka lenyap kecerdasan akal siasatnya, tak terpikirkan dirinya didaya upayakan/tidak sadar bagaikan tidur nyenyak, hatinya seolah-olah diselubungi oleh “rajah tamah” (nafsu yang merajalela), timbul kebanggaan dan takabur di hatinya, tidak waspada dengan tipu muslihat, mengandalkan kesaktiannya yang tinggi akhirnya prajurit Jawa disuruh agar menghadap. Setiba para menteri Jawa itu semuanya menunduk, laksana tidak memiliki suatu keberanian menghadap Krian Pasung Grigis dengan mencakupkan tangan (sikap nganjali) serta mempermaklumkan kekalahannya (tunduk), disambut dengan ucapan terimakasih oleh Pasung Grigis. Tidak diuraikan bagaimana akhli percakapan mereka, Pasung Grigis kembali ke istananya di Tengkulak bergandengan tangan dengan Mahapati Gajah Mada diikuti oleh seluruh pemuka rakyat (pararya). Setelah tiba di istana tak terkatakan penyambutan disertai sanda gurau yang menyenangkan hati mereka masing-masing. Dikala itu Patih Gajah Mada memasang muslihat yang licin/kartanya “Ampuni permintaan saya si Mada kehadapan Ki Gusti, karena mentakjubkan tersiar sampai kemanamana konon Ki Gusti mempunyai anjing piaraan berwarna hitam yang dinyatakan faham pada sifat-sifat manusia, apabila Ki Gusti berkenan memanggil anjing itu/dengan menjanjikan untuk diberi makan. Demikian permintaan Patih Gajah Mada, hati Pasung Grigis menjadi gembira ria, tak menduga daya upaya yang mencelakakan, katanya “Jangan bimbang dan ragu sekehendak adinda Patih. Dengan tersenyum menjerit-jerit Ki Pasung Grigis, memanggil anjing itu, dengan segera datang seraya membawa (mengigit) tempurung kelapa yang bundar, namkun tidak benar diberikan makanan oleh Ki Pasung Grigis. Jlas terliaht oleh Patih Gajah Mada dan segenap para arya tentang prilakunya demikian, segera berdiri Patih Gajah Mada maju dan menuding muka Ki Pasung Grigis dengan suara dahysat; “Hai engkau Pasung Grigis, jelas musnah keutamanmu karena engkau berbuat kasar culas pada perbuatanmu, ingkar akan katakatamu engkau tidak menepati janji, semoga untuk melanjutkan hilang lenyap kesaktianmu melayang-layang, karena telah disaksikan oleh tiga belas dewata saksi dunia (Sanghyang Triyodasa Saktsi). Kini bagaimana kehendakmu? Ingikah mengadu ketangkasan kepadaku? Ayo jaga senjataku!.
5
Lalu terdiam kebingungan Ki Pasung Griga, sesegera hatinya menjadi lemah ibarat disapukan seluruh kesigapannya, ditikam hatinya oleh Patih Gajah Mada, kemudian ia menjawab lembah lembut bahwasanya ia menyerahkan diri dan seluruh pulau Bali, menyatakan kekalahan pulau Bali oleh kerajaan Jawa, demikian konon tingkah tertawanya ki pasung grigis di Tengkulak. Setelah tertawan Ki Pasung Grigis seluruh pemuka rakya Bali serta rakyat yang masih hidup tunduk kepada Majapahit. Diceritakan bahwa para pemuka pasukan Jawa terutama Patih Gajah Mada dan sekalian anggota pasukanya bersukaria bersama-sama memuaskan diri sebab memang demikian suatu hadiah bagi mereka yang unggul dalam peperangan. Tak tersangka-sangka datang utusan baginda raja Majapahit putra sang Patih Tawa, bernama Kuda Pangasih Adi dari Ken Bebed istri Patih Gajah Mada dititahkan untuk melawat serta menyaksikan kadaan mereka yang berperang. Setelah tiba di Tengkulak diterima oleh Patih Gajah Mada dan para pemuka semua juga telah diuraikan dari awal peperangan, maka mereka semua bersenang hati. Lalu berkatalah Ki Kuda Pangasih kepada Patih Gajah mada “ Paduka Gusti karena telah memperoleh kemenangan, paduka Gusti dititahkan agar segera kembali ke pulau Jawa sebab lama kiranya Ki Gusti meninggalkan keraton”. Patih gajah mada menjawab “Saya tidak membantah segala titah baginda raja hanya sedang mengatur para ‘Arya’ yang mampu mempertahankan pulau Bali ini”. Setelah itu para Arya selain sira Arya Damar dikumpulkan, seraya diperintahkan agar berkelompok-kelompok mempertahankan daerah tempat masing-masing, diantaranya : Sirarya Kencang menguasai daerah Tabanan dengan rakyat empat puluh ribu orang. Sirarya Kuta Waringin bertahan di Gelgel dengan rakya lima ribu orang. Sirarya Sentong bertahan di Pacung dengan rakyat sepuluh ribu orang. Sirarya Belog bertahan di Kabakaba dengan rakyat lima ribu orang, sebab mreka adalah adik-adik dari suami Sri Maharajadewi Majapahit. Adapun para arya yang lain dari itu diatur penempatannya oleh Patih Gajah Mada untuk mempertahankan pulau Bali dengan rakyat beribu-ribu, serta semua telah diatur oleh Patih Gajah Mada tentang cara mengatur pemerintahan serta ilmu kepemimpinan sampai dengan ilmu politik.
6
Disana mereka (para arya) serempak menjawab, semua mendukung perintah Patih Gajah Mada dan merekapun mensiagakan dirinya di masing-masing penjuru. Tingalkan sebentar para arya yang telah berada di pulau Bali, lalu diceritakan bahwa Mahapatih Gajah Mada dan Sirarya Damar, Ki Kuda Pengasih dengan seluruh pasukannya, semua telah siap untuk kembali ke Jawa disertai pula oleh Ki Pasung Grigis. Tidak diuraikan perjalanan mereka, semua telah berada di atas perahu, tak terkatakan dalam pelayaran, perahunya hilir mudik, kemudian belabuh di pantai utara pulau Jawa, langsung menuju ibu ota Majapahit menghadap di bawah duli arti maharaja. Setelah dipermaklukan riwayat perjalanan mereka, dari awal sampai akhir, mreka baginda raja sangat bersuka cita. Dan kemudiah hari, Ki Pasung Grigis dikirim untuk menggempur pulau Sumbawa, yang selalu dibantu oleh laskar Majapahit, menyerang seorang raja tua yang berkuasa di Sumbawa, Baginda bernama Dedelanata berwajah dahsat bertaring yang kukuh dan tajam, giginya bagaikan taji, mata terbelalak seperti mata barong, mulut bergerak seperti suara guntur, tidak diceriterakan perturangnya akhirnya keduanya gugur. Setelah gugur baginda raja Dedelanata, sampai dengan rakyat hingga keplosok-plosok (Sumbawa) mengabdi kepada maharaja Majapahit. Setelah pulau-pulau di sebelah timur takluk kepada raja Jawa, kuatlah kedudukan Sri Jayawisnu Wardani tidak seorang berani menentang baginda, kemudkan baginda menghandalkan kebesaran kebesaran antara lain Sirarya Damar diangkat menjadi adipati Palembang di Pulau Sumatra. Ki Kuda Pangasih diangkat menjadi adipati Sumenep di Pulau Madura. Adapun baginda adipati Bali kita uraikan, begini penjelasannya, ini sebagai penyimpangan cerita secara singkat. Permohonan ampun saya kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, sembah sujudnya kehadapan kehadapan Dewata, yang menganugrahkan hidup dan penghidupan, moga tercapai tujuan saya tampa halangan, sebelum lanjut saya menceritakan riwayat keturunan Brahmana. Ada seorang Brahmana bernama Mpu Bajrasastwa, Mpu Wiradharma, putra Mpu Panuhun, Mpu Witadharma, Danghyang Mahadewa nama beliau yang lain, keturunan Brahma, beliau penganut Buda, dengan kepintaran yang sempurna, keutamaan Mpu
7
Bajrasatwa, beliau mempunyai tiga orang putra, Mpu Tanuhun, Mpu Lampita dan Mpu Adnyana. Mpu Tanuhun berputra dua orang bernama Mpu Kuturan dan Mpu Pradah yang mengalahakan Janda Raja Jirah (Walu Natheng Jirah) beliau Mpu Paradah berputra Mpu Bahula Candra, menikah dengan putri rangdeng Jirah bernama Dyah Ratna Manggali. Kemudian berputera laki-laki bernama Mpu Tantular yang mengarang Sutasoma. Mpu Tantular berputra empat orang laki-laki bernama Danghyang Asmaranata, Danghyang Sidimantra, Danghyang Panawasikan, bungsu Danghyang Kresna Kepakisan, beliau dijadikan guru junjungan Patih Gajah Mada, Danghyang Kresna Kepakisan berputra empat orang, tiga orang pria dan seorang wanita, mereka semua dimohonkan oleh Patih Gajah Mada untuk menjadi raja. Yang tertua bertakhta di Brangbangan, adiknya bertakhta di Pesuruan, yang ketiga putri dinobatkan di Sumbawa, yang bungsu dinobatkan di Bali. Tidak diceritakan mereka yang berkedudukan di Jawa dan Sumbawa, kini diuraikan baginda yang berkedudukan di Bali, beristana di Samprangan disebutkan Batara Wawu Rawuh. Sri Kresna Kapakisan Dalam Samprangan gelar baginda yang lain, diberikan kemuliaan karena prilakunya yang baik oleh Patih Gajah Mada serta keraton selengkapnya sampai dengan pakaian kebesaran, sembilan kris si Ganeja Dungkul, lengkap selengkaplengkapnya selalu didampingi oleh para “Ksatria” dan para “Waisia” yang berasal dari Majapahit, termasuk pula para pejabat Baliaga yang masih hidup. Baginda bertahta di Bali dengan sentausa, selalu bekerjasama dengan pejabat-pejabat bawahannya, tidak kurang rasa tenggang menenggang, amatlah tenteram ketika Sri Aji Kapakisan bertakhta, tidak ada percekcokan tak ada yang berani durhaka, semua tunduk memandang kesaktian baginda raja, demikian keadaan baginda yang berkuasa di pulau Bali. Kini diceritakan kembali sebagai lanjutan riwayat lama terdahulu, tentang beliau yang berhasil memerintah daerah tabanan. Semoga tidak terhalang. Dengan sangat hormat saya mohon amupun kehadapan Bhatara Hyang Murti yang saya puja dengan sari-sari aksara suci ONG-kara, beliau yang telah suci, menyatu dengan para dewata, tidak henti-hentinya saya bersujud menghormat memohon kesucian lahir bathin, agar dianugerahkan kepada saya, restu untuk menceritakan riwayat beliau bila ternyata kurang atau lebih semoga tidak menimbulkan kutuk dan dosa dari leluhur yang tertinggi terdahulu, yang
8
telah berhasil memperoleh kebaikan abadi dan terpuji, demikian permohonan saya, terakhir agar panjang umur. Kembali diceritakan tentang riwayat di depan, kelanjutan riwayat di jaman bahari, beliau yang pertama kali tiba di Bali bernama Bhatara Arya Kenceng, yang berkuasa di daerah Tabanan, beristana di sebuah desa Buwahan di sebelah selatan Baleagung, batas daerah kekuasaan beliau : sebelah timur sungai Panahan sebelah barat sungai Sapwan, sebelah utara Gunung Beratan atau Batukaru, sebelah selatan daerah-daerah di utara desa Sanda, kurambitan, blungbang, Tanggun Titi, dan Bajra, sama-sama daerah kekuasaan kabakaba, mulai tahun saka, sad = 6;buta = 5; manon = 2; jadma = 1 -/- 1256, serta membuat sebuah taman, di sebelah tenggara istana Taman Sari istana selengkapnya sampai dengan pakaian kebesaran seorang menteri. Amat tertib
jalan pemerintahannya tidak seroangpun berani
durhaka atas kebesaran wibawa Batara Arya Kenceng sebab beliau menterapkan disiplin yang membaja, tidak ketinggalan sifat ramah tamah dan manis dal;am kepemimpinannya, beliau menguasai berbagai pengetahuan, juga seorang yang gagah perkasa unggul dalam peperangan. Adapun beliau Betara Arya Kenceng menikah dengan seorang wanita, putri seorang keturunan brahmana di Ketapang Reges wilayah Majapahit, sang puteri tiga bersaudara. Yang tertua menikah dengan Dalem Sri Krisna Kepakisan, yang ketiga (anom) menikah dengna Arya Sentong dan yang kedua (penengah) menikah dnegna Batara Arya Kenceng. Tak terlukiskan tentang upcara pernikahannya serta cinta kasih dalam membina keindahan bersuami istri. Lagipula Batara Arya Kencang setiap saat sebagai pucuk pemimpin menghadap ke Samplangan sebab beliau menjabat menteri utama di samping raja, beliau pandai membesarkan hati raja, maka amatlah gembira baginda raja, karena tulus ikhlas pengabdiannya hingga turun titah b aginda Dalem kepada Batara Ayr Kenceng, demikian : “Wahai dinda Arya Kenceng, karena saya telah yakin akan pengabdian dinda yang tulus ikhlas kini saya memnyampaikan wasiat utama kepada dinda, agar terus menerus sampai pada anak cucu dan buyut dinda dengan saya turun temurun, agar tetap saling mencintai, dinda berhak mengatur tinggi rendah kedudukan derajat kebangsawanan (atur jaddma) dan menjatuhkan hukuman atau denda yang berat dan ringan. Dan adinda juga berhak mengatur seluruh para arya, sedangkan par arya itu dilarang membantah adinda.
9
Tentang tata upacara pembakaran jenazah (atiwatiwa), dua hal jangan dipergunakan, satu boleh, sebab tiga hal dianggap utama yaitu : bandhusa nagabanda dan usungan bertingkat sebelas. Lain dari pada itu, sebanyak-banyaknya berhak adinda memakainya, sebab dinda adalah keturunan Ksatria bagaikan para Dewata dibawah pengaturan Hyang Pramesti Guru, demikian dinda menjadi pejabat pendamping saya, selaku penghargaan saya buat, sebab bila tidak menjabat sebagai menteri, tidak ada raja di Bali ini, negara menjadi kacau balau, berperang dnegan sesamanya. Demikian titah baginda raja serta telah diumumkan kepada para arya semua, diterima oleh Sirarya Kenceng, dengan cermat menjunjung segala tigah baginda raja. Setelah itu permusyawaratan itupun ditutup, mereka yang menghadap sama-sama pulang menuju rumahnya masing-masing. Diceritakan beliau Batara Arya Kenceng, entah berapa tahun berselang maka beliau berputera laki-laki lahir dari ibu brahmani. Kemudian setelah dewasa, putera beliau itu selalu berdebat dnegan putera baginda raja (Dalem) dan putra Arya Sentong yang sama-sama lahir dari wanita brahmana (brahmani). Lama kelamaan setelah tiba saatnya wafat pula beliau Batara Arya Kenceng tak terkatakan betapa sedih rakyatnya. Pada hari yang baik dilaksanakan upacara pembakaran jenazah, sesuai dengan anugrah Dalem, menggunakan usungan (Bande) tingkat sebelas, hal mana diwariskan sampai sekarang. Adapun rokh sucinya (Sanghyang Dewa Pitara), dibuatkan tugu penghormatan (pedharman) di sebuat Batur, yang selanjutnya di ‘sunsung’ oleh keturunan beliau hingga sekarang dan selanjutnya. Demikian riwayat Batara Arya Kenceng dari awal sampai akhir, semoga saya tidak terkutuk karena menceritakan sejarah zaman silam hingga sekaran, panjang umur dan sempurna hendaknya. Pada saat-saat memuncak kerajaan Batara Arya Kenceng sebagai perintis di Bali mengendalikan pemerintahan negara Tabanan, beliau meningalkan empat orang putra, tiga orang peria dan seorang wanita. Yang sulung putra bermaan Dewa raka, dengan gelar Shri Magadaprabu. Yang kedua juga peria bernama Dewa Made, bergelar Shri Magadanata, Sirarya Ngurah Tabanan nama lainnya mungkin keduanya itu beribu brahmani. Yang lahir dari lain ibu, putra ketiga peria bernama Kyayi Tegeh atau Tegeh Kori, lalu adiknya yang bungsu seorang wanita bernama Nyai Tegeh Kori.
10
Begini keadaan keempat putra Sirartya Kencang itu, Sri Magadaprabu tidak tertarik hatinya pada kebesaran dan kekuasaan, maka takhta kedudukan ayahnya diserahkan kepada putra kedua yang bergelar Shri Magadanata, beliaulah yang menggantikan kedudukan ayahnya, sehingga bergelar Sirarya Ngurah Tabanan. Adapun Kyayi Tegeh Kori, berpindah tempat kedudukan di Badung disebelah selatan kuburan Badung beliau memerintah wilayah negara badung beliau mendirikan bendungan di Pega, beliau juga yang menurunkan warga besar yang disebut Paragusti Tegeh Kori. Yang bungsu seorang wanita, menetap tinggal di istana. Diceritakan bahwa Sri Magadaprabu, Sri Magadanata, kedua beliau itu terkenal pintar bermanin senjata dan mempunyai kulit yang kebal akan senjata. Pada saat-saat mereka bersuka ria, selalu mereka mengambil prisai dan pedang lalu berperang tanding berdua-duaan sama-sama pintar dan kebal senjata, itu disebut latihan perang-perangan. Tersebut bahwa Sri Magadaprabu mempunyai seorang anak wanita, diserahkan kepada penguasa atau yang bermukim di Pucangan dan pula anak angkatknya sebanyak lima orang yaitu : 1. Ki Tegehan di Bwahan, 2. Ki Bendesa di Tajen, 3. Ki Talabah di Twak Ilang, 4.Ki Gulingan di Rejasa sama-sama keturunan Ngurah Tegal Alo dan 5. Ki Bandesa Beng keturunan Pasek Buduk. Tidak diceritakan puteri dan anak angkatnya itu. Tersebut pula Sri Megadhaprabhu entah berapa tahun usianya, beliaupun berpulang menuju alam baka. Kembali diceritakan secara singkat tentang Sri Magadanata, Sirarya Ngurah Tabanan, nama lainnya tetap memangku kekuasaan dengan wibawanya hingga keamanan negara jamin, tidak beda dengan ayahnya ketika bertakhta dahulu, dan tidak lupa pula bagai pemuka menghadap baginda Dalem Ketut yang mula-mula beristana di Swecapura atau Linggarsapura Sukasada namun lainnya terkenal dengan Gelgel Baginda adalah putera dari Dalem Wawu Rauh bergelar Sri Kresna Kepakisan yang pertama-tama beristana di Samprangan baginda (Smara Kepakisan) adik dari Dalem Ile. Adapun Sirarya Ngurah Tabanan berputera tujuh orang peria lahir dari dua orang ibu warga para Sanghyang. Yang sulung bernama Sirarya Ngurah Langwang, yang kedua bernama Ki Gusti Madyotara atau Made Kaler, yang ketiga Ki Gusti Nyoman Pancima atau Nyoman Dawuh, yang bungsu Ki Gusti Ketut Wetaning Pangkung atau Dangin Pangkung.
11
Dan yang lahir dari lain ibu, Gusti Nengah Samping Boni, Ki Gusti Nyoman Batan Ancak dan Ki Gusti Ketut Lebah. Selanjutnya diceritakan pada masa bertakhta Sri Magadanata yang bergelar Sirarya Ngurah Tabanan. Dalam Jangka waktu lama, turun takdir yang maha pencipta menimbulkan kelainan-kelainan entah apa sebabnya, beliau pernah menutupi rambut putra Dalem yang masih anak-anak (rare), hingga Dalem marah keapda Sri Magadanata, akhirnya Dalem mengutus agar ke Jawa, menyelidiki keadaan raja-raja di Majapahit. Tidak tersebut perjalanan dan pengiringnya maka tiba di Majapahit, sunyi sepi negara itu, kelam kabuit pikiran para pejabat dan rakyat, karena kemasukan Agama Islam, maka beliau (Sirarya Ngurah Tabanan) kembali ke Bali. Tidak diceritakan perjalanan mereka. Bahwa seorang adiknya wanita yang berada di istana Pucangan diambil oleh Dalem (raja) Gelgel dan diserahkan kepada Kyayi Asak di Kapal, adik dari Kryan Patandaka, putera dari Sirarya Wongaya Kepakisan asal mula keturunan ksatria keturunan Kediri. Adapun setelah Sri Magadanata tiba di istana, setelahd dapat menghadap Dalem, ketahuan bahwa adiknya telah diserahkan kepada Kyayi Anak, berpikir-pikirlah belau atas kemarahan baginda Dalem, ketahuan bahwa adiknya telah diserahkan kepada Kyayi Anak, berpikir-pikirlah beliau atas kemarahan baginda Dalem, akhirnya beliau menanggung sakit hati maka segera beliau menyerahkan pemerintahan kepada putera makhkota, yang bernama Sirarya Langwang, selanjutnya bergelar pula Sirarya Ngurah Tabanan. Sedangkan Sri Magadanata hendak melaksanakan kewajiban pendeta, selanjutnya membuat rumah di hutan sebelah barat daya dari istana Pucangan, disebut Kubon Tingguh. Sebab pemukiman beliau yang berduka cita, kemudian beliau menikah lagi dengan puteri Bandesa Pucangan, bersaudara sepupu hubungan dari pihak ibu dengan yang tinggal di Kubon Tingguh. Kemudian melahirkan seorang anak peria berbadan tampan tiada celanya diberi nama Kyayi Ktut Bandesa, atau Kyayi Pucangan nama lainnya. Setelah Sang Ktut Bandesa meningkat dewasa lalu diserahkan oleh ayahnya kepada kakanya Da Ngurah Tabanan, maka ia menetap bersama-sama di istana Bwahan, hidup tentram dan berwibawa.
12
Namun beliau yang bermukim di Kubon Tingguh telah tiba ajalnya, beliau wafat bersatu dengan sang penciptanya, tidak diceritakan tentang tata upacaranya, semua berakhir dengan sempurna. Kini diuraikan tentang Kyayi Wuruju (Ktut) Pucangan sendang jejaka putra, tetapi ia tidak senang menetap tidur di istana, semalam-malaman ia tidur di bangunan-bangunan umum, di pondok-pondok tempat berjualan atu pondok di sawah ladang (kuwu) sebab ia ingin menyerap berita rakyat yang buruk atau baik. Lalu beliau pada suatu malam, ada orang-orang lalulalang di jalan raya, melihat api bercahaya di samping jalan raya itu, api itu segera didekati. Setelah dekat olehnya, api itu lenyap seketika kemudian diperhatikan maka tampak beliau Sirartya Ktut Pucangan, tidur disana. Kemudian daripada itu banyak orang mengatakan bahwa Sirarya Ktut Pucangan sering-sering bersinar menyala di tempat tidurnya, maka baginda raja di istana Pucangan (sirarya Ngurah Tabanan) mengetahui prihal tersebut lalu adiknya Kyayi Ktut Pucangan diuji coba, disuruh memangkas pohon beringin di depan istana karena pohon beringin itu besar dan tinggi banyak cabang rantingnya dan sangat membahayakan lebih-lebih pula tidak seorangpun yang berani memangkasnya. Kyayi Ktut Pucangan tidak mebantah perintah kakaknya dan sedikitpun tidak merasa kecut, segera ia memanjat pohon beringin itu dengana kapak di tangan, dalam waktu singkat cabang ranting pohon beringin itu habis dipangkasnya, benar-benar tidak mencelakakan dirinya. Setelah habis cabang dan rantingnya, tinggal pohon dengan puncak menjulang tinggi keangkasa, lalu dipanjat dan dipotongnya. Setelah terpotong, segera naik Kyayi Pucangan seraya melihat kesana kemari duduk dipuncak pohon beringin, yang sedang bergoyang putar-putar karena ingin menunjukkan kemahirannya. Dalam keadaan demikian, masyarakat merasa terkejut melihat prilakunya terutama Sang Nata Buwahan (Arya Ngurah Tabanan) dan saudara-saudaranya sekalian, sama-sama ngeri menyaksikan tindak tanduk Kyayi Ktut Pucangan yang mengagumkan, maka dengan segera Arya Ngurah Tabanan memerintahkan agar turun. Yang dipanggil tidak membantah, segera turun menghadap yang pertuan. Disana Sirarya Ktut Bandesa (Pucangan) diberi nama julukan oleh kakaknya dan diumumkan kepada khalayak ramai, pergantian nama Arya Ktut Bandesa, dengan Arya Ketut Notor Wandira namanya sekarang, serta yang dipertuan menghadiahkan sembilan keris bernama I Cekle diserahkan kepadanya, demikian kisah dahulu.
13
Diceritakan pula sang Arya Notor Wandira, telah cukup dewasa lalu menikah dengan seorang gadis dari desa Buahan, maka brputera dua orang pria bernama Kyayi Gede Raka, adiknya bernama Kyayi Gede Rai. Adapun setelah Sang Arya Notor Wandira berputera dua orang, tak henti-hentinya berminat pada kebesaran dan kekuasaan, maka iapun pergi melakukan semadi memohon wahyu para Dewata di gunung Beratan, yang disebut pula Watukaru. Tak terlukiskan kekuatan yoganya dengan hati yang suci dan ikhlas, maka terdengar suara gaib, demikian katanya : “Hai Sang Arya Notor Wadira, aku tidak berhak menganugrahimu, sebaiknya pergi saja ke Gunung Batur, memohon wahyu kepada Betari Danu, beliau akan mengabulkan permohonanmu. Oleh karena itu maka yoganya dihentikan lalu kembali pulang. Entah berapa lama menunggu hari yang baik selalu ia berpergian hingga jauh berjalan, iapun tiba di desa Tambyak, tiba-tiba berjumpa dengan seorang anak laki-laki berkulit hitam rambut merah gigi putih keluar dari sela-sela batu di pura Tambyak, seraya ditanya olehnya: jawab anak yang ditanya itu bahwa ita tidak tahu asal mula dan namanya, itulah sebabnya ia dipungut diajak pulang oleh Sang Arya Notor Wandira dijadikan bujang (abdi) diberi nama Ki Tambyak, kemudian bernama Ki Andegala. Pada suatu hari yang baik, Kyayi Ktut Pucangan ingat akan petunjuk para Dewasa yang berada di Watukaru (Hyanging Watukaru), lalu ia pergi dengan Ki Tambyak, berjalan menuju Gunung Batur (Seladri). Namun perjalanannya keliru karena hambatan gelap malam, hingga tertuju olehnya pura Panarajon, disana ia bersemadi bersujud kehadapan Hyang Maha Kuasa. Segera Dewa di pura Panarajon itu keluar dan bersabda “Wahai kamu Kyayi Pucangan, adalah keliru ciptamu untukku, aku adalah Hyanging Panarajon, hanya sebagai petugas Dewa di Batur, maka hentikan semadimu, lanjutkan pergi menuju gunung Batur, aku mengnatarmu. Dalam keadaan demikian segera dihentikan semadinya, berangkat bersama Ki Tambyak mengikuti gerak langkah Dewa di Panarajon. Tidak tersebut bagaimana dalam perjalanan, mereka tiba di Seladri (Gunung Batur) segera Sang Arya bersemadi dengan setulus hati dalam waktu singkat keluar Batari Danu serta bersabda, “Hai Kyayi Pucangan,
14
hentikan semadimu aku yang kau cipta, aku maklu akan keperluanmu, pasti terkabul kehedakmu, tetapi ada permintaanku, junjunglah (sunggi) aku berjalan menyebrangi danau. Adapun Kyayi Ktut Pucangan tidak membantah perintah Batari Danu, dnegan hati yang teguh, tidak merasa takut dan ragu-ragu, karena tidak terdorong oleh nafsu yang merajalela (rajah tamah), lalu dipikulnya Batari Danu melewati air danau, kakinya tidak tenggelam barang sepergelangan, laju langkahnya ditengah-tengah danau, setelah tiba di pinggiran kembali, disana Batari Danu memberikan wahyu, sabdanya, “Untuk selanjutnya semoga kamu Pucangan, berhasil memperoleh kebesaran wibawa dan kekuasaan, pergilah kamu menuju negara Badung menghadap sang Anglurah Tegeh Kori disana juga awal mula kebesaranmu. Demikian sabda Batari, selanjutnya Batari Danu dan Dewa di Panarajon menghilang. Kyayi Ktut Pucangan lalu pulang kembali ke istananya di Buahan, bersama Ken Tambyak. Tidak diceritakan berapa lama Sang Arya Ktut Notor Wandira berada di rumah, beliau pergi bersama anak istrinya dan Ki Tambyak, menuju negara Badung, menumpang di rumah De Buyut Lumintang. Keesokan harinya perjalanan Sang Arya Ktut Pucangan dilanjutkan berasama pengikutnya serta ditemani oleh De Buyut Lumintang. Setelah tiba di desa Tegal, langsung menuju istana Kyayi Nglurah Tegeh Kori, diantarkan oleh De Buyut Tegal. Disanalah Kyayi Ktut Pucangan, menghambakan dirinya bersama anak istri kepada Kyayi Ngurah Tegeh Kori, amat gembira hati beliau yang dituju, beliau juga amat sayang kepada Kyayi Ktut Pucangan, mengingat bahwa ia adalah kemenakannya sendiri, yang pintar juga menghambakan diri. Akhirnya Kyayi Ktut Pucangan dijadikan anak angkat diberi nama Kyayi Ngurah Tegeh, karena kedua putra Kyayi Ngurah Tegeh Kori yaitu Kyayi Gede Tegeh dan Kyayi Made Tegeh semua perbuatannya agak memalukan tidak memiliki cara kepemimpinan hanya memenuhi kepuasan hati (panca-indria), tidak menurut nasehat sang ayah. Maka Kyayi Nyoman Tegeh dimukimkan di rumah Mekel Tegal, diberikan rakyat limapuluh orang. Demikianlah riwayat pengabdian Kyayi Pucangan kepada Kyayi Ngurah Tegeh Kori sebagai awal mulanya memperoleh kebesaran. Selesai.
15
Kini diuraikan tentang beliau di istana Pucangan, yang bergelar Sirarya Ngurah Langwang, juga bergelar Sirarya Ngurah Tabanan serta enam orang adik-adiknya, pada akhirnya dipisahkan tempat tinggalnya oleh sang Natheng Sukasada (Raja Gelgel). Sirarya Ngurah Tabanan dan tiga adiknya, Ki Gusti Madhyotara, Ki Gusti Nyoman Pascima, Ki Gusti Ketut Wetaning Pangkung, semua itu disuruh pindah rumah ke desa Tabanan. Sedangkan tiga orang lagi, Ki Gusti Nengah Samping Boni, Ki Gusti Nyoman Batan Ancak, Ki Gusti Ktut Lebah, semua disuruh pindah menuju desa Nambangan Badung sebagai pendamping Kyayi Ketut Pucungan Notor Wandira, yang telah menetap di Bandana (Badung). Setelah sama-sama berpindah tempat dan menguasai rakyat masing-masing maka dikisahkan baginda Arya Ngurah Tabanan, mula-mula berdiam di sebelah utara Pura Puseh Tabanan, dari sana berusaha membangun istana, sebelah selatan pura Puseh dengan pintu gerbang menghadap ke timur, berpintu kembar di apit sandi bentar berbentuk supit-urang. Istana dengan empat bidang halaman depan (= wijil ping 4), halaman pertama bernama “tandakan”
kedua bernama ‘bale kembar’, ketiga bernama ‘tandeg’, dan yang keempat
bernama ‘ancaksaji’. Dan yang paling luar ditanggul di sana sini, tak terlukiskan hiasan istana itu sampai ke balairung dan beliau mendirikan pula istana disebelah timur halaman depan (bencingah) raja Sukasada (Gelgel), diberi nama Puri Dalem. Sedangkan istana raja diberi nama Puri Agung Tabanan. Setelah istana itu selesai, maka beliau raja Tabanan berkedudukan di istana itu, dan ibu kota Tabanan, dinamai Singasana demikian awal mula baginda raja bergelar Prabu Singasana. Mungkin pada saat-saat itu baginda dalem (raja Gelgel) seorang pendeta raja (bagawanta), hingga ada keluarga Brahman Keniten dari Kamasan Gelgel dimohon agar pergi ke Tabanan, bermukim di Pasamuwan hingga saat ini berada di Pasekan. Tidak terkatakan kemegahan istananya, serta kebesaran wibawanya, entah berapa tahun lamanya sampai pada suatu saat yang baik, wafatlah baginda raja Singasana kembali ke alam baka, tidak terlukiskan pula kemegahan upacara, tidak beda dengan adat istiadatnya terdahulu. Hingga selesai.
16
Setelah prabu Singasana tiada, tinggal empat orang putera beliau, yang tertua dilantik dengan gelar Sirarya Ngurah Tabanan, Adiknya bernama Ki Gusti Lod Carik, Ki Gusti Dangin Pasar, Ki Gusti Dangin Margi. Tidak diceritakan perihal ketiga orang para putera itu. Adapun Ki Gusti Made Utara, beliau menurunkan keluarga yang disebut Paragusti Subamia. Dan Ki Gusti Nyoman Pascima, beliau menurunkan keluarga yang disebut Pragusti Jambe, yang akhirnya disebut Pameregan. Sedangkan Ki Gusti Wetaning Pangkung beliau menurunkan keluarga, yang disebut Paragusti Lod Rurung Ksimpar dan Srampingan. Lain lagi beliau yang diam di Nambangan Sirarya Ktut Pucangan bergelar Prabu Bandana, beliau menurunkan keluarga di Badung. Ki Gusti Nengah Samping Boni, belau yang menurunkan semua warga Pragsuti keturunan Samping. Dan ki Gusti Batan Ancak, beliau yang menurunkan para gusti Ancak dang Anglingan. Dan Gusti Ktut Lebah hanya berputera seorang wanita, untuk selanjutnya tidak ada keturunan. Diuraikan lagi tentang putera mahkota raja Singasana (Sang Raja Putra Singasana Pamayun ) yang berkedudukan sebagai penguasa daerah Tabanan / beliau bergelar Sang Nateng Singasana / amat mulia dalam hal kegagahan juga ahli dalam politik / teguh dan kebal / Tak terlukiskan tantang kebesarannya / beliau menikah dengan seseorang gadis dari Badung (Bandana) dalam hubungan kemenakan dari pihak sepupu bernama Ni Gusti Ayu Pamadekan / puteri Kyayi Ktut Pucangan atau kyayi Nyoman Tegeh / ia dijadikan permaisuri pendamping raja Singasana Tabanan / dan beliau tidak beristrikan lain lagi / karena amat cinta kasih sang permaisuri / akhirnya berputera dua orang bernama Ki Gusti Wayahan Pamandekan atau I Dewa Raka / adiknya Ki Gusti Made Pamandekan atau I Dewa Made // Tidak terkatakan bagaimana perawatan dan asuhan terhadap kedua raja putra itu / akhirnya baginda Angrurah Tabanan dikirim bertempur oleh Baginda Raja Sukanada menyerang Sanak bernama Si Kebo Mundar / atau Parawa nama lainnya / bersama-sama dengan Kyayi Telabah yang berkedudukan di kuta juga Kyayi Pring Gagahan / Kyayi Sukahet // Sirarya Ngurah Tabanan bersenjatakan keris Kala Wong / serta tombak Ki Baru Sakti / Sirarya Ngurah Telabah bersenjatakan keris Ki Tinjak Lesung //
17
Tesebut bahwa keberangkatan mereka dengan pasukan / lengkap dengan pakaian tempur / bertolak dengan perahu dari Teluk Padang / berlabuh dipantai Sasak langsung berhadapan dengan lascar rakyat Sasak // Amat ramai peperangan itu / sama-sama banyak jatuh korban lagi yang menderita luka-luka / lalu terserang Kyayi Telabah oleh Si Kebo Mundar yang sama-sama bersenjatakan tombak / namun Kyayi Ngurah Telabah mengalami kekalahan tombaknya patah / akhirnya Kyayi Ngurah Telabah melarikan diri menyeberang lautan meninggalkan pasukannya / kemudian perlawanannya digantikan oleh Sirarya Ngurah Tabanan / mengadu senjata -/- dengan Si Kebo Mundar // Si Kebo Mundar kalah dalam pertarungan / karena kerap kali terkena tikaman / tetapi tidak luka / akhirnya pingsan Si Kebo Mundar / maka ia dilarikan oleh rakyatnya / akibatnya negara Sasak pun dikalahkan hingga ke Ibu Kota / berhasil ditaklukan Si Kebo Mundar // Setelah Si Kebo Mundar takluk / laskar Bali kembali menuju desanya masing-masing // Adapun Kyayi Ngurah Telabah dipecat oleh Dalem / karena kesalahannya mundur dalam pertempuran meninggalkan pasukan / itu asal mula jatuh kebesarannya // Sedangkan daerah Kyayi Ngurah Telabah / serta seluruh rakyatnya diserahkan kepada Kyayi Teguh Kori di Badung / sejak itu pula daerah Kuta dikuasai oleh Badung // Kini diceritakan kembali sang Nateng Singasana (raja Tabanan) / dalam waktu singkat berkat takdir Yang Maha Pencipta / jatuh sakit sang permaisuri Ni Gusti Ayu Pamedekan hingga meninggal dunia / tak terkatakan betapa upacaranya / mulai saat itu (raja Tabanan) dijuluki Prabu Winalwanan / atau Kabalwan (duda) // Demikian pula tak terperikan betepa duka cita sang Prabu Winalwanan ditinggal oleh sang permaisuri tercinta / hampir lupa pada pengaturan negara / akhirnya beliau menderita penyakit amat berat / yaitu sejenis kusta -/seluruh kulit tubuh menjadi kasar (kebun) / oleh karena itu tahta kerajaan diserahkan kepada kedua orang putranya ialah Ki Gusti Wayahan Pamadekan dan Ki Gusti Made Pamadekan // Sedangkan Sang Prabu Winalwan selanjutnya bertapa di lereng gunung Watukaru bagian selatan di sebelah timur Pura Wongaya // Pertapaan itu disebut Tegal Jero // Entah berapa lamanya bersemadi memuja dewa di Batukaru / maka beliau menerima wahyu dari Dewa disana / dititakan agar membangun perumahan didepan Wanasari / di tanah yang ditunjukan tanda keluar asap / dengan dibantu oleh keluarga brahmana di Wanasari yang bernama Pranda Ktut Jambe // Apapun perjalanan Prabu Winalwan / telah tiba di Wanasari
18
memohon belas kasihan Pranda Ktut Jambe / sang pendeta mengabulkan segala permintaan sang prabu // Akhirnya dijumpai asap mengepul keluar dari dalam tanah / selanjutnya beliau membangun perumahan disana // Dalam segala kegiatan sang prabu selalu ditemani oleh Pranda Ktut Jambe hingga tidak jarang pula bersemadi di pura sang pendeta itu / lalu timbul cemoohan dari Ida Gde Nyuling dari geria Burwan yaitu kakak Pranda Ktut Jambe / karena Pranda Ktut Jambe rela -/- bersahabat dengan seorang raja yang menderita penyakit parah dan tak mungkin disembuhkan / namun tidak dihiraukan oleh Pranda Ktut Jambe / karena beliau tahu menghormati rajanya // Hal itu terdengar olah prabhu Winalwan dan maklum atas celaan Ida Gde Nyuling / maka beliau bersabda / bahwa beliau turun temurun tidak akan memohon tirta (air suci untuk upacara) kepada Ida Gde Nyuling turun temurun / serat berkabul / bila berhasil dapat sembuh maka sekeluarga beliau turun temurun tidak lepas berguru (Mesurya = Bhs. Bali) kepada Pranda Ktut Jambe turun temurun yang selalu membantunyan // Kemudian baginda raja sembuh dari penyakitnya seluruh kulitnya yang sakit mengelupas lalu dikumpulkan ditanam disamping rumah kediamannya dan didirikan sebuah tugu peringatan (padarman) yang disebut Batur Wanasari // Itulah sebabnya baginda raja disebut Batara Makules (makules berarti berganti kulit) // Bagi pranda Ktut Jambe / itu awal mula dijadikan pendeta raja (bhagawanta) untuk raja Singasana dengan nama Da Pranda Gde Jambe / / Setelah baginda raja sembuh pun beliaupun kembali pulang ke istana Singasana / kemudian beliau menikah lagi dan terbilang jumlah istrinya / berputera sebelas orang pria wanita / yaitu : Ki Gusti Made -/Ki Gusti Wangaya / Ki Gusti Kukuh / Ki Gusti Kajyanan / Ki Gusti Brengos, Gusti Luh Kukuh / Gusti Luh Kukub / Gusti Luh Dauh Tanjung / Gsti Luh Tangkas / Gusti Luh Ktut / demikian riwayat Prabu Winalwanan (Batara Makules) // Adapun adik-adik baginda (Prabu Winalwan) tiga orang / yaitu : Ki Gusti Lod Carik / untuk seterusnya hingga turun temurun disebut Pragusti Lod Carik / / Ki Gusti Dangin Pasar / mempunyai keturunan warga Pragusti Suna / Munang dan Batur / / Dan Ki Gusti Dangin
19
Margi mempunyai keturunan Ki Gusti Blambangan / Ki Gusti Jong / Gusti Nang rawon di Kesyut Kawan / Gusti Nang Pagla di Timpag // semuanya itu disebut warga Pragusti Dangin // Sedangkan putra Ki gusti Samping / cucu Ki gusti Nengah Samping Boni / bernama Ki Gusti Putu Samping serta adik-adiknya Kyayi Titih / Kyayi Ersania / Kiyayi Nengah / Kyayi Den Ayung // karena mereka tidak memperoleh kedudukan / maka kembali lagi ke singasana / mungkin sebagai pengiring ketika pernikahan Ki Gusti Ayu Pamadekan itulah selanjutnya mempunyai keturunan / yaitu : Ki Gusti Putu Samping keturunan seterusnya disebut samping dan bluran // kyayi Ersania // Kiyayi Nengah keturunan selanjutnya disebut Tengah // Kiyayi Den Ayung / tanpa keturunan / dan Kiyayi Titih keturunan seterusnya disebut Titih / tetapi jatuh martabat kebangsawanannya (patita) karena telah menyembah arwah leluhur (pitara) keturunan Bendesa Mas di Blungbang namanya// Ketika kembali diceritakan lagi dahulu ketika Prabu Winalwan menyerahkan tahta kerajaan kepada kedua orang putranya / maka I Gusti Wayahan Pamadekan dilantik sebagai raja / selanjutnya bergelar Sirarya Ngurah Tabanan / raja Singasana // adiknya Ki Gusti Made Pamadekan / tetap sebagai pengawal pribadi kakaknya / sama-sama kebal senjata / gagah perkasa dalam peperangan / tangguh dan ahli dalam politik / maka tidak berbeda keamanan Negara terjamin seperti masa-masa sebelumnya // Adapun Kiyayi Angrurah Wayahan Pamadekan / Berputra pria wanita / yang pria bernama Ki gusti Nengah Mal Kangin yang wanita menikah dengan putra Ki Gusti Ngurah Made Pamadekan yang sulung // Sedangkan Ki gusti Angrurah Made Pamadekan berputra tiga orang / yang sulung pria / yang kedua Gusti Made Dalang / yang ketiga Ki Gusti Luh Tabanan // kemudian Ki Gusti Angrurah Wayahan Pamadekan / dikirim berperang ke jawa oleh baginda Dalem Di Made di Sukasada (Gelgel) dibantu oleh Kiyayi Ngurah Pacung // Diceritakan perjalanan baginda Angrurah Tabanan / diiringi oleh adiknya Angrurah Made Pamadekan serta pasukan bersenjata lengkap / tidak ketinggalan Kiyayi Ngurah Pacung serempak berangkat pada hari / bulan keempat (sasih kapat) / hari ketujuh bulan hidup / yaitu hari minggu / Pon / berlayar dengan perahu dan berlabuh untuk mempertahankan jawa bagian timur // kemudian berhadapan dengan laskar rakyat Mataram / amat dasyat peperangan itu tikam-menikam / bagaikan berlaut darah / bergunung dengan mayat //
20
Tak terbilang betapa hebat pertempuran itu / laskar bali mengalami kekalahan / para pemimpinya pada berlari meninggalkan medan peperangan karena musuh terlalu besar jumlahnya kala itu Angrurah Wayahan Pamadekan memerintahkan adiknya Angrurah Made Pamadekan agar mundur / karena beliau amat berhati-hati untuk bertindak beliau pun tidak membantah // ketika Angrurah Wayahan Pamadekan tidak terbatas perlawanannya / mengamuk ke garis depan / dikurung oleh musuh yang besar jumlahnya / diparang dan ditikam dengan tombak tetapi tidak luka / akhirnya tubuh beliau lemas dan kepayahan dan menderita rasa sakit yang berlebihan / ketika itu Angrurah Wayahan Pamadekan berwasiat / agar turun-temurun sampai kemudian tidak ada yang kebal // dengan segera beliau disambut oleh raja Mataram diangkat menantu / kemudian punya putra bernama raden Tumenggung // Dikisahkan pada waktu Angrurah Made Pamadekan melarikan diri yang selalu dibuntuti oleh musuh / dengan cepat beliau bersembunyi dibawah pohon godem (sejenis jawawut hitam) / kanyiwan dan jawawut / kebetulan ada burung perkutut bersuara bersiul-siul diatasnya / akhirnya kecewa yang mengejar sebab tidak menyangka beliau ada disana // setelah beliau memperoleh kesempatan baik / dengan cepat beliau pergi kearah timur menuju blambangan dengan laskarnya / langsung naik perahu menyeberang ke Bali Tabanan // tak terbayangkan betapa sedih dan tangis rakyat setelah mengetahui prihal tersebut / yang juga telah dilaporkan kepada baginda Dalem // Setelah tidak ada lagi Angrurah Wayahan Pamadekan / maka digantikan oleh Angrurah Made Pamadekan sebagai penguasa daerah Tabanan / lalu bergelah Da Angrurah Tabanan / raja Singasana // Disana beliau menyampaikan wejangan kepada anak keluarganya di daerah Tabanan / bahwasannya mulai saat ini sampai kemudian hari / turun-temurun dilarang menyiksa atau memelihara / dan memakan daging burung perkutut segala jenis // semua yang mendengar tidak ada yang membantah bahkan bersumpah / sangat mentaati sabda baginda raja itu / dengan demikian permusyawaratan pun berkahir / itu sebagai awal mula keturunan raja (arya) Singasana Tabanan / tidak boleh memelihara dan memakan daging burung perkutut dari segala jenis yang diwariskan hingga sekarang / demikian riwayatnya dijaman dahulu //
21
Tidak lama pula beliau memimpin rakyat / maka beliau pun wafat berpulang ke alam baka / tak terlukiskan duka cita rakyat / demikian pula upacaranya berakhir dengan sempurna // Bahwa setelah wafat Angrurah Made pamadekan / kembali baginda raja Winalwan memegang tampuk pemerintahan karena cucu beliau belum dewasa // kala itu kembali tercipta kesempurnaan negara sediakala / bahkan untuk selanjutnya baginda memikirkan agar negaranya kuat dengan jalan menghadiahkan kelima putrinya / yaitu Gusti Luh Kukuh diberikan kepada Brahmana Mpu / Gusti Luh Kukub diberikan kepada brahmana di Wanasari / Gusti Luh Dawuh Tanjung diberikan famili (wangi) di Batwaji Kawan / Gusti Luh Tangkan diberikan kepada seorang ksatria ‘Pagedangan’ di Batwaji Kanginan / dan Gusti Luh Ketut / diberikan kepada seorang penguasa (bandyaga) di Seneh / penuturannya terhenti sebentar// Ada suatu cerita tambahan bahwa / penguasa daerah Pacung dua orang bersaudara laki-laki / yang sulung bernama Kiyayi Ngurah Tamu / adiknya bernama Kiyayi Ngurah Ayunan / putra sisrarya Putu adalah keturunan dari Sirarya Sentong yang pertama kali bermukim di Pacung / beliau menguasai daerah disebelah utara daerah kekuasaan Kapal sampai dengan pegunungan disebelah utara (Lẻr) // Adapun Kyayi Ngurah Tamu dan Kyayi Ngurah Ayunan rupa-rupanya tidak cocok mereka bersaudara karenan saling berebut kewibawaan / maka I Gusti Ngurah Ayunan pindah tempat berumah di Perean / -/- dari sana beliau meminta bantuan kepada baginda raja Tabanan dengan perjanjian bahwa bila berhasil sampai kalah kakaknya di Pacu ia akan berjanji akan mengabdi turun temurun sampai dikemudian hari kepada baginda raja Singasana // Setelah sama-sama setuju dengan perjanjian itu maka baginda raja Singasana berangkat untuk menyerang Kyayi Ngurah Tamu yangv berkuasa di Pacung // Tidak diceritakan jali pertempuran itu akhirnya gugur lah Kyayi Ngurah Tamu. Adapun segala kekayaannya di Pacung seperti keris tombak semua dibawa ke Perean oleh Kyayi Ngurah Ayunan // Sedangkan rakyatnya berhasil direbut olah Kyayi Pupuwan / mulai saat itu daerah Pacung Perean sampai dengan Beratan dikuasai oleh Tabanan // Setelah itu semakin besar pula kekuasaan baginda raja Singasana //
22
Lama kelamaan / cucu-cucu beliau telah sama meningkat dewasa maka diatur oleh baginda raja // Kyayi Nengah Mal Kangin putera Kyayi Ngurah Wayahan Pamandekan / disuruh bermukim di Mal Kangin / didampingi oleh Ki Gusti Bola Gusti Made / Gusti Kajayanan // Dan cucu-cucu yang lain -/- yaitu putera Kyayi Ngurah Made Pamandekan / yang sulung (pamahyun) dan yang kedua (pamade ) sama-sama menetap di istana // Yang wanita bernama Gusti Luh Tabanan / menikah dengan Ki Gusti Agung Badeng Kapal // Berhubung beliau Sang Nateng Winalwan telah lanjut usia / tiba saatnya beliau wafat bersatu dengan penciptanya / tak terlukiskan kesedihan rakyat / juga tentang kesempurnaan upacara pembakaran jenazahnya (atiwa-tiwa) / selesai // Setelah wafat batara Makules / digantikan oleh cucu beliau Putera Kyayi ngurah Made Pamandekan yang sulung / beliau sebagai pelindung rakyat seluruh Tabanan / selanjutnya bergelar Sirarya Ngurah Tabanan / Prabu Singasana // Diuraikan kembali semua paman baginda raja yang lahir dari penawing (bukan permaisuri / yaitu Ki Gusti Bola berputera Ki Gusti Tambuku // Ki Gusti Made menurunkan warga pragusti Punahan // Ki Gusti Wangaya // Ki Gusti Kukuh / berputera warga pragusti Kukuh // Ki Gusti Kajyanan berputera Ki Gusti Ombak / Ki Gusti Pringgga keduanya -/selanjutnya disebut pragusti Kajyanan // Dan Ki Gusti Barengon / tidak memperolah keturunan // Pada masa pemerintahan baginda raja (cucu batara makules) mungkin beliau pernah memindahkan I Gusti Suna dari Ibukota Tabanan / beginilah sebabnya ada bernama I Gusti Suna / keturunan dari I Gusti Dangin Pasar yang melaksanakan pensucian diri (surudayu) karena ketinggian ilmu kerohaniannya / beliau pernah mengutus untuk mempersembahkan santapan kepada baginda raja pada pagi hari / tetapi tiba di istana pada pagi-pagi buta (parak siang) // Baginda raja tersinggung / dan memerintahkan agar pindah tempat ke desa Pucuk // Entah berapa lama berselang / maka I Gusti Suna mempersembahkan lagi santapan (panyambrama) kepada baginda raja / sehari setelah upacara (manising awaknya) / baginda raja amat marah diduga mempersembahkan bekas upacara (layuba) / itulah sebabnya dialihkan / disuruh bertempat tinggal di Alanglinggah // Dalam perjalanannya tiba di Sungai Otan / pengiring-pengiring yang mengusungnya berhenti hendak mandi // setelah selesai mandi maka utusan itu hendaknya dipikul kembali /
23
tetapi tidak kuasa karena yerlalu berat selanjutnya dilaporkan -/- kepada baginda raja / beliau terdiam mengenang keutamaan dan ketinggian ilmu Sang Suna // Selanjutnya Sang Suna membangun perumahan disana dan asramanya diberi nama Yangsoka // Diuraikan pula tentang tata cara baginda raja mengendalikan tampuk pemerintahan / tidak seperti masa-masa terdahulu keutuhan keamanan negaranya / bagaikan kemasukan pengaruh kehancuran (kali sanghara) niat sanak keluarga beliau // Ternyata kacau balau hati Ki Gusti Ngurah Mal Kangin berniat angkara hendak merebut kekuasaan dibantu oleh para familinya dan bekerjasama dengan Ki Gusti Kaler penguasa di Penida / keturunan Kyayi Asak Kepakisan // Entah berselang beberapa bulan baginda Raja Singasana disuruh menghadap ke Sukasada (Gelgel) dinyatakan atas perintah Baginda Dalem // Baginda Raja Singasana lalu pergi dengan segera diiringi oleh para sanak famili // Sedangkan kedua orang putera baginda masih berada di istana dikawal olah warga kaum petani (desa) // Tidak tersebut dalam perjalanan di Sukanada (Gelgel) maka famili beliau segera menghadap kepada Dalem / mempermaklumkan bahwa Raja Singasana telah -/- datang seraya memfitnah / terutama memohonkan hukuman kepada baginda Dalem / tindakan untuk menghancurkan raja Singasana / Dalem bersabda “ Tidak berhak saya memjatuhkan hukuman kepada dinda Singasana sebab kamu masing-masing berkeluarga / terserah kehendakmu untuk mencari jalan kematiannya dinda Tabanan saya meterstuinya // Demikian sabda baginda Dalem / maka famili raja Tabanan mohon diri / dan mempermaklumkan kepada raja Singasana bahwasannya dititahkan agar kembali pulang // Maka raja Singasana pun kembali dengan rombongan pengiringnya // Sampai di Panida / segera disergap oleh Ki Gusti Nengah Mal Kangin dan pengikutpengikutnya / berkat tipu mslihat Ki Gusti Kaler di Panida / sebab baginda raja Singasana tidak mengerti akan tipu daya yang licik / baginda kehilangan akal mengakibatkan kemangkatan-nya // Kala itu sebilah tombak beliau bernama Ki Sandang Lawe, hilang tanpa sebab / karena itu Prabu Singasana disebut Bhatara Nisweng Panida // Demikian akhir riwayatnya //
24
Dikisahkan setelah wafat Sang Ratu Nisweng Panida / tak terbilang segala upacaranya -/- telah selesai / tinggallah dua orang putra baginda yang belum dewasa / yaitu Ni Gusti Luh Kapahon terutama Ni Gusti Ayu Rai lahir dari permaisuri sepupu almarhum / adiknya Ki Gusti Nengah Mal Kangin / yang dibawa ke puri Mal Kangin karena kemenakannya sendiri // Ada pula istri almarhum berasal dari Dauh Pala sedang hamil // Setelah tiba waktunya lahir seorang putera bernama Ki Gustu Alit Dauh // Adapun yang menggantikan kedudukan sebagai penguasa daerah Tabanan adalah Kyayi Made Dalang menguasai wilayah Tabanan sebelah barat sungai Dikis // Dan disebelah timur sungai Dikis / dapat dikuasai oleh Kyayi Nengah Mal Kangin. Pada waktu pemerintahan kedua orang itu keamanan belum pulih karena hati rakyat tetap bingung melihat situasi peraturan yang hancu lebur // Tidak lama berselang Ki Gusti Made Dalang meninggal dunia tanpa keturunan / tidak dituturkan akhir tata upacaranya // Diceritakan setelah Kyayi Made Dalang meninggal dunia dapat dipersatukan kembali seluruh wilayah Tabanan oleh Kyayi Nengah Mal Kangin // Adapun putra raja (Niswang Panida) -/- yang laki-laki pergi meninggalkan istana / menyelinap masuk ke pelosok-pelosok desa / karena direncanakan untuk dibunuh oleh I Gusti Nengah Mal Kangin / bersama Ki Gusti Kaler Panida / selalu dicari-cari oleh utusan I Gusti Kaler / tetap tidak didapatkannya karena masyaakat di pedesaan smua setia bakti kepada beliau sang raja putera / semua rakyat pedesaan melindunginya / sehingga ketika beliau berlindung di rumah Slingsing / beliau disembunyikan digulung dengan tikar // Datang yang mencari bertanya-tanya seraya dijawab dengan : “ Tidak ada disini mungkin ditempat lain “ // Yang membuntuti lalu pergi // Entah berapa lama baginda raja putera disembunyikan oleh bandesa Selingsing // Juga waktu beliau disembunyikan dirumah bandesa Pelem / suatu kebetulan istri bendesa sedang menumbuk padi bersama anaknya / disana beliau raja putera menyamar bergabung dengan orang menumbuk padi seraya ditaburi dedak // Ketika datang mereka yang mengejarnya tidak diketahui olehnya / maka ia bertanya “ Kemana perginya sang Raja Putra / apakah -/- kemari? “ // Jawab yang menumbuk padi : “ Kami tidak hirau karena asik menumbuk padi “// yang mencari-cari lalu pergi //
25
Entah berapa lama malam lamanya bersembunyi dan dijamin di rumah bandesa Pelem / tak terperikan betapa duka cita Sang Rajaputra / kemudian beliau ingat bahwa mempunyai seorang bibi di Kapal / yang menikah dengan Ki Gusti Agung Bandeng / maka sang Rajaputra pindah dari Pelem / menuju rumah Ki Gusti Agung Banding di Kapal / langsung menyerahkan diri pribadi kepada bibinya // Sungguh terpenjerat Ki Gusti Luh Tabanan dan Ki Gusti Agung Bandeng mendengar hal sedemikian / timbul rasa kecewa dihati Ni Gusti Luh Tabanan / merasakan penderitaan sang Rajaputra Tabanan / lebih-lebih pula atau kemangkatan sang Ratu Niswang Panida // Selalu menyesali diri tak terhiburkan / akhirnya masygul hati Ki Gusti Agung Badeng dan sangat marah / karena beliau amat cinta kepada istrinya Ni Gusti Luh Tabanan / segera Dan Gusti Agung Bandeng berangkat dengan pasukannya untuk menyerang Ki Gusti Nengah Mal Kangin -/- dan Ki Gusti Kaler Panida / Tak terkatakan ramai pertempuran itu banyak jatuh korban dan menderita luka-luka lari sampai ke Panida / amat hebat peperangan itu // Pada waktu itu Ki Gusti Kaler Panida dan Ki Gusti Mal Kangin meninggal dunia selain pengikutnya yang banyak menjadi korban / kecuali yang sempat menyelamatkan diri / namun ada juga yang terkejar // Setelah itu datang Da Gusti Agung Badeng bersama Ni Gusti Luh Tabanan diam di jro Mal Kangin mengawal baginda rajaputra Ki Gusti alit Dauh // Adapun para pengikut yang nasih hidup yang bersikeras memberikan saran-saran kepada yang menjadi korban di Panida semua itu diborgol atas perintah Ni Gusti Luh Tabanan // Bahwa setelah meninggal Ki Gusti Nengah Mal Kangin / ternyata meninggalkan seorang putera namun tidak ikut dikenakan hukuman mati karena menanggung cacat badan (mala) bernama Ki Gusti Perot , yang akhirnya menurunkan Para Gusti Kamasan. Bahwa setelah Da Gusti Agung Badeng tidak berkedudukan di Mal Kangin / digantikan oleh Gusti Bola memegang kekuasaan di Mal Kangin namun keamanan negara belum terjamin / karena Kyayi Bola tidak mempunyai pengetahuan apapun dalam upaya memimpin negara hanya terdorong oleh nafsu berkuasa dan berwibawa / ia lupa kepada sang rajaputra Singasana I Gusti Alit Dauh diperlakukan seperti abdi saja / sebab tidak hilang kebenciannya kepada cucunya itu / tidak hendak dipersemai kekuasaannya / hingga sangat berduka cita Ki Gusti Alit Dauh / merasakan keadaannya sendiri / sangat kecewa melihat
26
peraturan hancur lebur / tetapi beliau tidak jemu-jemu berusaha untuk berbuat baik dan benar / juga bersiap-siap mempelajari kerohanian // Kemudian beliau mencapai usia dewasa / semakin tampak kebesaran jiwanya / sebab beliau seolah-olah penjelmaan Wisnu / berbudi pekerti luhur / bagaikan cahya mentari tanpa mega / tidak pernah culas dan ingkar -/- beliau mencintai sesame manusia / selalu hormat manis budi bahasanya tidak pernah menyimpang dari kebenaran segala tindakan beliau // Tidak
lama
antaranya
maka
tercurah
cinta
kasih
para
pejabat
(mantra) dan rakyat semua setia bakti kepada sang rajaputra Ki Gusti Alit Dauh // Sebab telah tiba pada batas kehancurannya lalu timbul kesadaran akan kewajiban seorang pemimpin mengingat pula keturunan ‘ksatriya’ / maka beliau bersiap-siap menyerang Ki Gusti Bola / seraya berunding dengan Ki Gusti Subamiya / Ki Gusti Jambe dauh / Ki Gusti Lod Rurung / dan Ki Gusti Kukuh / yang keempat orang itu bersedia untuk membelanya // Demikian pula baginda raja putra mengumpulkan rakyat dari warga desa (tani) ‘sawidak’ jumlahnya untuk prajurit-prajurit terdepan // Kemudian pada suatu saat dikala parak siang / bergerak mereka berangkat menyerang Mal Kangin / dengan laskar rakyat serta pemimpinpemimpinnya (mantri) maka berhamburan rakyat Ki Gusti Bola menghadapi serangan itu / pertempuran pun sengit korban berjatuhan lain pula yang menderita luka-luka // Ternyata kalah -/- perlawanan Laskar Mal Kangin // Tinggal pertarungan Ki Gusti Bola / direbut ditembaki namun tidak luka / timbul kemarahan sang rajaputra Ki Gusti Alit Dauh seraya mengambil sebilah tombak prajuritnya serta menikam Ki Gusti Bola / sekaligus hingga meninggal // turut pula puteranya bernama Ki Gusti Tambuku menjadi korban // Demikian pula sanak famili dan pemuka-pemuka desa yang durhaka kepada sang raja putera semua dibunuh / kecuali mati dalam pertempuran / yang m,asih hidup semua tunduk takluk mohon agar tidak dibunuh // Dalam keadaan demikian ternyata telah kalah desa mal kangin, maka sang raja putra hendak menyerahkan kembali tombak itu kepada pemiliknya, namun tak seorangpun mengaku memilikinya, tombak itu diperhatikan, jelas bahwa tombak itu “Ki Sandang lawe” yang lenyap dahulu ketika gugurnya sang nisweng penida, selanjutnya tombak itu dibawa ke singasana Tabanan.
27
Diceritakan bahwa setelah meninggal Kyayi Bola di Malkangin, tetap sang Raja PutraKi Gusti Alit Dawuh sebagai penguasa Negara Tabanan sampai dengan Malkangin dan Marga (Wratmara) berkemas beliau untuk membuat upacara pelantikan Raja serta upacara “Panca Wali Krama” dipuja oleh para pendeta Lima orang jumlahnya, beliau yang telah berjiwa suci, mereka itu orang orang yang disucikan di pulau Bali, tak terlukiskan kemeriahan dan kesempurnaan upacara yadnya tersebut. Setelah Usai yadnya itu dengan sempurna, sebagai awal mula Ki Gusti Alit Dawuh bergelar Shri Magada Sakti/ Raja Singasana. Adapun yang menjabat “Bahudanda” Ki Gusti Nyoman Kukuh dengan pangkat Patih. Sebagai Punggawa Ki Gusti Subamya dan Ki Gusti Lod rurung, tidak disebutkan pejabat pejabat lain (para mantri) Adapun istri Baginda Raja yang terutama Gusti Luh Subamya, Gusti Luh Babadan Lod Rurung, Gusti luh Batwaji dan Ki Gusti Luh Marga / tak terhitung lagi para istri baginda yang lain // Demikianlah selama bertahta ki Gusti Alit Dawuh Yang bergelar Sri Megada Sakti / amat aman dan tertib negaranya seperti dulu ketika bertahta Prabu Winalwan almarhum adalah buyut (kompiang) nya sendiri / semua tunduk mereka yang berniat jahat dan angkara bahkan kembali berbudi pekerti yang luhur tingkah lllaku baik karena kawatir -/- melihat kesaktian baginda raja juga beliau bersusila dan bijaksana memerintah negara / seorang yang berusia muda pemberani dan ahli peperangan tak kurang dalam bidang ilmu kerohanian sampai dengan punggawa dan pejabat lainnya sama-sama membulatkan tekad setia bakti dan taat // Dikisahkan pada suatu tempat yang baik baginda raja berada di ruang pertemuan duduk diantara tilam yang indah / dihadap oleh para punggawa / para pejabat yang lain terutama patih tidak jauh adalah adalah sang pendeta kerajaan dari Wanasari dan para pendeta yang lain didalam pertemuan sampai dengan pemuka desa dan rakyat / penuh sesak dibalai ruang semua hormat menghadap baginda raja // agenda raja bersabda, katanya ‘ Sekarang dengarkanlah olehmu semua segala wejangan ku terutama paman patih dan punggawa manca (mantra) / sebagai saksi pranda purohita / bahwa mulai saat ini saya tidak lagi mengabdi (aswit) kepada Dalem / karena saya menyadari bahwa kehancuran almarhum Maharaja Dewata yang wafat di Panida / karena tipu muslihat famili sendiri / selanjutnya
28
direstui oleh Dalem yang tidak sudi menghalanginya / menurut perkiaraan saya -/- beliau ingkar tidak taat menepati sabda wasiat Sri Kresna Kepakisan kepada almarhum leluhur saya / yang pertama-tama sebagai penguasa daerah Tabanan // Wahai apakah saya bukan keturunannya / oleh almarhum yang berhasil menundukan pulau Bali ? / untuk seterusnya semoga ‘ksatrya’ itu tidak berhasil memegang tali pemerintahan negeri , para pejabat tinbngi berkelompok-kelompok / bercekcok sesama pejabat / Demikian sabda baginda raja // Serempak menjawab para pejabat terkemuka sang patih / terutama lagi sang pendeta kraton / semua mendukung titah baginda raja // Tidak terbilang keramah-tamahan baginda / semua bersuka ria bercakap-cakap / itulah pertanda kepemiminan yang besar dan berwibawa / dan setelah itu permusyawaratanpun selesai // Pada suatu ketika sebuah berita sampai kepada baginda raja Singasana bahwasannya Da Pranda Sakti di Wanasari hendak dihancurkan oleh Kyayi Agung Putu Agung dari Kramas/ diduga berbuat salah dengan paksa mengawini adiknya yang bernama Ni Gusti Ayu /- Alit Tabanan / Tidak diketahui bahwa telah diserahkan oleh adiknya bernama I Gusti Agung Made Agung di Kapal. Dengan segera Baginda Raja Singasana mengirim utusan kepada Kyayi Subamya serta pasukan rakyat diperintahkkan untuk membela De Peranda Sakti di Wanasara, karena Baginda bersepupu di pihak Ibu, dengan Ki Gusti Alit Made Tabanan istri
Da
Pranda
Wanasara.
Setelaj
kyayi
subamya
sampai
di
Wanasara
dan
mempermaklumkan untuk memberikan pembelaan namun tidak diijinkan oleh Da Pranda, karena beliau merasa tidak berdosa, sabdanya “ Jangan demikian Kyayi, saya tidak perkenankan sebab saya menegakkan kebenaran, tidak lain alam sang Hyang Ciwa yang akan saya tuju, lebih baik Kyayi kembali permaklumkan demikian pada yang dipertuan Baginda Raja Singasana, dan ini sebilah Keris pusaka bernama I Tangkeb Kele, persembahan kepada Baginda Raja sebagai cendera mata tanda setia dari Brahmana Keniten.” Demikianlah kata Da Peranda, segera terdiam Kyayi Subamya karena tidak kesampaian niatnya untuk bertanding ketangkasan, kemudian menjawab bahwa tidak membantah segala apa sabda da Pranda yang mulia, selanjutnya kembali ke Singasana mempermaklumkan kepada Baginda Raja. Beliau termenung memikirkan kemuliaan Budi Da PerandaWanasara, adapun keris tersebut langsung diserahkan kepada Kyayi Subamya, Itu
29
awal mula para brahmana kaniten di Tabanan berhubungan baik dengan jalan sebilah keris I Tangkeb Kele yang berada di Jro Subamia // Sedangkan Da Pranda Wanasara tanpa perlawanan dibunuh oleh pasukan dari Kramas // Diceritakan pula baginda Sri Magada Sakti di Singasana hendak menyerang para penguasa desa-desa yang diwilayahkan oleh Ki Gusti Kaler di Panida dulu / karena beliau teringat akan masalah almarhum yang wafat di Panida / kemudian baginda berangkat dengan pasukan dan pemimpin rakyat menyerang desa-desa termasuk desa Pandak / Kekeran / Kediri dan Nyitdah // Adapun sebagai penguasa desa-desa itu Ki Pungakan Wayahan di Nyitdah / Ki Pungakan Nyoman di -/- Pandak / dan Ki Pungakan Ketut di Kekeran Kediri / mereka adalah tiga bersaudara / anak dari Bandesa Braban / cucu dari Bandesa Braban yang pernah mengalahkan ‘Bhuta Gajah’ di Den Bukit / yang menyakiti I Dewa Ngurah penguasa di Buleleng / itulah sebabnya I Dewa Ngurah menghadiahkan sebilah keris bernama Ki Baru Gajah dan seorang istri sedang hamil kepada Ki Bandesa / kemudian lahir bernama Sang Bendesa / demikian riwayatnya hingga disebut Para Pungakan // Ada pula yang lain berkedudukan di desa Pandak yang bernama Sang Bagus Kasiman / semuanya itu takluk kepada baginda raja // Dia Ki Pungakan Ktut di Kediri ditetapkan sebagai pejabat (Bahudanda) // Sang bagus Kasiman ditempatkan di Kulating / mulai saat ini semua desa-desa yang semula dibawah kekuasaan I Gusti Kaler Panida takluk dan menghamba kepada baginda Raja Singasana // Lain lagi Ki Gusti Nyoman Kelod Kawuh di Bandana (Badung) anak Ki Gusti Wayahan Kelod Kawuh / cucu dari Ki Gusti Upasta Panjang -/- sanak keluarga dari Ki Gusti Nyoman Batan Ancak / tetapi tidak memperolah kedudukan di Badung sehingga ia kembali lagi ke Singasana / ia pula yang dititahkan oleh Sri Magada Sakti bermukim di Pandak sebagai penguasa daerah pantai batas kerajaan // Dalam jangka waktu yang tidak lama / bahwa Ki Gusti Agung Putu di Kapal / putera Ki Gusti Agung Made Agung / cucunda Ki Gusti Agung Badeng di Kramas / ia berperang dengan Ki Gusti Batu Tumpeng di Kekeran Nyuh Gading // Namun Ki Gusti Agung Putu di Kapal kalah dalam peperangan itu tetapi tidak menderita luka-luka karena kebalnya / oleh karena itu direbut musuh yang terlalu banyak akhirnya tertangkap / seraya dihadapkan kepada
30
Sri Magada Sakti di Singasana / lalu diperlakukan sangat baik I Gusti Agung Putu olah baginda raja Tabanan / tidak berbeda dengan memperlakukan keluarga / sebab hati baginda raja Singasana merasa seolah-olah itu adalah putera baginda // Entah berapa bulan lamanya Ki Gusti Agung putu menghamba di Tabanan / maka ada permohonan Kyayi Putu Balang di Marga kepada Sri Magada Sakti / sembahnya ‘apabila diperkenankan -/- oleh tuan hamba maka I Gusti Agung Putu saya mohon untuk mengajak dan menjaminnya di rumah saya; // Jawab baginda raja , Saya berkenan / tetapi jangan ceroboh mengajaknya agar seperti menghormati diri saya ‘// Lau Ki Gusti Agung Putu diajak oleh Kyayi Putu Balang kerumahnya di Marga / kemudian Ki Gusti Agung Putu pindah ke desa Belayu / didampingi oleh adik Kyayi Putu Balang bernama kyayi Ketut Celuk / disana Ki Gusti Agung Putu berkemas-kemas untuk memperolah keunggulan dalam menyerang lagi desa-desa dan kelompok-kelompok seperti Kyayi Batu Tumpeng musuh utamanya / semua takluk setiap yang diserangnya / akhirnya Ki Gusti Agung Putu pindah rumah ke desa Mengwi / semakin besar pula kekuasaanya dan tak henti-hentinya bekerja sama dengan Sri Magada Sakti di Singasana / sebagai titik awal berdirinya kerajaan di Mengwi / atau Mangapura / juga disebut Kawyapura // Kembali diceritakan lagi baginda -/- raja Singasana selama bertahta Sri Magada Sakti negara aman dan sentausa tidak terdapat halangan dan hambatan tanaman bahan-bahan pangan bertumbuh subur dan berhasik baik / harga barang-barang murah / berkat kebijakan kepemimpinan baginda raja // Banyak istri dan putra-putra baginda raja / enam orang pria yang terutama / bernama De Gusti Ngurah yang telah meninggal / kedua Arya Da Gusti Ngurah Dawuh dan Da Gusti nyoman Telabah / Sedangkan yang lahir dari “panawin” Kyayi Jegu dan Kyayi Krasan / selanjutnya Kyayi Oka lahir dari Gusti Luh Ketut Dawuh Jalan / semua berjiwa berani dan pandai bersilat lidah / mahir dalam ilmu sastra poitik dan kerohanian / semuanya tidak durhaka pada perintah baginda raja / demikian perintah dan teladan Magadaputra diikuti dengan baik // Dan para putri baginda tujuh orang jumlahnya / yang terkemuka bernama Da Gusti Ayu Muter / lahir dari permaisuri dari Lod Rurung / yang diserahkan kepada sang Brahmana di Pasarwan Pasekan -/- Da Gusti Ayu Subamia lahir dari permaisuri berasal dari Jro Subamia
31
yang menikah dengan Gusti Ngurah Mecutan Sakti di Badung // Dan Gusti Luh Dangin diserahkan kepada Ngakan Nyoman di Kekeran Kediri // Ni Gusti Luh Abian Tubuh yang rencananya bersuamikan Kyayi Made Padang putera Ki Gusti Ngurah Panji Sakti di Lor Gunung // Ni Gusti Luh Mal Kangin bersuamikan seorang brahmana di Dangin Carik // Dan Ni Gusti Luh Bakan diserahkan kepada Ki Gusti Nyoman Lod Rurung // Kembali diceritakan baginda raja Singasana / Sri Magada Sakti suatu kebetulan menghadapi permusawaratan dibalairung baginda duduk di atas Singasana / bertilam halus / lengkap dengan upacara kebesaran seorang raja selalu didampingi oleh putera-putera baginda / tidak luput pula beliayu Pranda Purohita (pendeta raja) / dihadap oleh para pejabat antara lain Kryan Patih -/- Ki Gusti Kukuh dan para punggawa / Kyayi Wiryeng Subamia / Kyayi Babadan Lod Rurung / serta pejabat-pejabat dari Wratmara (Marga) / kyayi Wayahan Perean / Kyayi Padang Aling serempak dengan rakyat yang dikepalai oleh Prebekel dan pemuka desa / tak terlukiskan keramah-tamahan baginda raja tidak lain yang dimusyawarahkan hanya bertujuan keamanan dan ketertiban negara // Tiba-tiba seseorang abdi tergesa-gesa mempermaklumkan kepada baginda raja bahwa Gusti Agung Sakti Brangbangan raja Mengwi datang beranjangsana sedang dalam perjalanan // Kala itu baginda raja agak heran mendengar // yang semula beliau memerintahkan untuk membunuh tahanan / akhirnya tertunda pelaksanaannya // Adapun mereka yang hadir dalam permusawaratan itu semua bersiap mengatur sopan santun ntuk menerim tamu / segera datang beliau Gusti Agung dari Mengwi / dengan tata cara yang menarik / banyak pengiring kira-kira enam puluh orang (sawidak) // Segera disapa oleh baginda raja Singasana seraya duduk bersama dengan teratur / tidak kurang pula jamuan sesuai jamuan tamu agung dibarengi dengan gurau -/- senda / sama-sama saling memuji atas kebesaran dan kekuasaan baginda masing-masing // Disana Ki Gusti Agung Brangbangan memulai percakapan / katanya ‘ ampun tuanku raja / anakda menghadap tiada lain untuk memohon bantuan kepada tuanku raja / apabila Tuanku raja berkenan mengasihi sanakda awasilah keraton anakda yaitu Mangapura / sebab anakda berhasrat untuk berbincangsana ke negeri Brangbangan / mungkin lama tak kenbali ‘ / demikian kata baginda raja Mengwi //
32
Maka dijawab oleh Sri Maga Sakti “Janganlah sakeasangka anakku Prabhu segala permintaan anakku prabhu dapar bapa penuhi “ // Demikian jawab baginda raja Singasana yang telah disetujui // Tak disangka-sangka datang pula pejabat-pejabat Gusti Agung serta rakyat yang berjumlah enam puluh orang / mengikuti jejak rajanya . seraya menghormati kepada baginda raja selanjutnya duduk dengan teratur // Setelah itu datang pula sajian santapan dari istana karena -/- kebijksanaan Ni Gusti Luh Ktut Dauh Jalan yang menyelenggarakan di istana mengatur upacara selengkapnya dipersembahkan kepada baginda raja berdua dan kepada pejabat bawahannya sampai dengan rakyat (pengiring) seluruhnya / disana baginda raja keduanya bersantap dengan sempurna termasuk para pendeta dan pejabat-pejabat Singasana menemani pejabat-pejabat Mengwi / serta segenap hadirin // Tak terlukiskan suasana baginda raja Singasana mengakhiri permusawaratan / tak diceritakan lagi // Tak tersebut berapa lama berselang / kini hampir tiba saat perjanjian Ki Gusti Agung Mengwi dengan baginda raja Singasana // Disana baginda Sri Magada Sakti memanggil para punggawanya serta pasukan rakyat untuk berangkat berjaga-jaga di Keraton Mengwi sampai dengan Kaba-Kaba // Tidak diuraikan dalam perjalanan semua telah tiba ditempat tujuan untuk berjaga-jaga / setelah baginda raja Mengwi diiringkan oleh para menteri dan pasukannya beranjangsana ke Branngbangan Jawa -/- // Demikian saat-saat Sri Magada Prabu membangun pagar istana (ancaksaji) di Kaba-kaba // Entah berapa lama mereka berjaga jaga di keratin mengwi kemudian kembali baginda raja mengwi bersama pengiringnya menuju rumahnya masingmasing. Disana lascar Rakyaat Tabananterutama Para Punggawajuga sama sama pulang menuju rumahnya masing masing, tidak lanjut diceritakan. Ini suatu riwayat tambahan / diceritakan bahwa baginda raja Kaba-kaba ditimpa halangan dan kesukaran sebab beliau belum mampu memegang pemerintahan belum dewasa telah ditinggalkan oleh ayahnya / terjadi pendurhakaan para pejabat (ngrurah) dan pemimpin desa-desa dalam wilayah kekuasaan Kaba-kaba di sebelah barat sungai Sungi / mulai dari desa Beda ke barat sampai pada wilayah kekuasaan Ki Ngurah Bajra semua tidak mau tunduk setia kepada baginda raja muda (Sang Natha Alit) karena sama-sama hendak berdiri sendiri dengan kekuatan masing-masing // Akibatnya sangat susah hati sang Natha Alit Kaba-kaba /
33
kehilangan akal tidak tahu bagaimana cara menampik tipu muslihat lawan / kemudian hal itu diserahkan -/- kepada baginda raja Magada Sakti Singasana / terserah baginda yang mengatur / seluruh pejabat dan pimpinan desa yang durhaka kepada baginda raja muda Kaba-kaba // Karena hal yang demikian / maka baginda raja Sri Magada Sakti Singasana merencanakan untuk menyerang desa-desa yang disebutkan diatas tadi // Setelah matang rencana dan siasatnya bergeraklah mereka menyerang // Adapun sebagai kepala-kepala pasukan Tabanan diantaranya Ken Nyarikan dan Si Den Tombak menyerang wilayah yang dikuasai oleg desa Beda // I Dewa Pagedengan menyerang wilayah Bandesa Kerambitan / Blungbung sampai ke pantai selatan // Ki Pasek Buduk andalan Cokorda Dawuh Pala menyerang wilayah kekuasaan I Pungakan Ngurah di Tangguntiti // Dan I Pasek Wanagiri menyerang wilayah kekuasaan Ki Ngurah Bajra // Tak terlukiskan betapa ramai peperangan itu banyak yang gugur dan menderita luka-luka dan ada pula yang menyerah / ternyata semua desa-desa yang diserang mengalami kekalahan seperti -/- Ki Pungakan Ngurah di Tangguntiti habis terbunuh / oleh karena itu para perwira lascar baginda raja Singasana semua diberikan kedudukan // Yaitu Ken Nyarikan diangkat menjadi Sedahan Agung // Si Den Tembok didudukkan di Jlahe // I Pasek keturunan Buduk didudukkan di Tangguntiti dan I Pasek Wanagiri dihadiahi gong pusakanya Ki Ngurah Bajra // Diceritakan lagi Ki Gusti Gde Subamia punggawa dari Sri Magada Sakti beliau pernah berperang melawan I Pasek Gobleg
yang menguasai desa-desa di sebelah barat Sungai
Sapwan / ternyata perlawanan Ki Pasek Gobleg Den Bukit dapat dikalahkan / itulah sebabnya desa-desa di sebelah barat sungai sapwan dkuasai oleh Ki Gusti Gde Subamia sebagai langkah permulaan meluasnya Negara Tabanan oleh Sri Magada Sakti // Telah dikuasai daerah-daerah sebelah barat sungai Sungi sampai dengan sebelah timur sungai Pulukan terus sampai pesisir /- selatan / Dikisahkan pula entah berapa tahun berselang maka Negara Tabanan diserang oleh Ki Gusti Panji Sakti dari Den Bukit (Buleleng) / baru tiba di Wongaya / ternyata desa Wongaya itu ditaklukkan dan dirusak pura serta candhi di pura Luhur Wongaya oleh Ki Gusti Ngurah panji Sakti maka dengan segera dilaporkan kepada baginda Sri Magada Sakti tentang perbuatan sedemikian / lalu beliau agak terkejut serta menyuruh memukul kentongan bersuara disana sini gegap gempita hingga kentongan di Bale Agung yang terkenal bernama Tan Kober / sambut menyambut Bantu membantu bersuara seperti bukan karena dipalu sebab kentongan
34
itu memang keramat / dibuat dari batang pohon silaguri dari Gunung Sloka / demikian riwayatnya // Disana serempak dan bergegas rakyat Tabanan segera mereka tiba di halaman depan istana (bancingah) penuh sesak laskar rakyat bersenjata lengkap tergopoh-gopoh berangkat ke utara hendak menghadapi -/- penyerangan ki Ngurah Panji // Dan ada keluar dari alam gaib / lebah yang amat berbisa sebagai “sriti” besarnya tampak beterbangan memenuhi angkasa terbang menuju arah utara / segera direbut laskar Ki Gusti Ngurah Panji Sakti hingga banyak yang kesakitan karena sengatan lebah berbisa / sampai kebingungan laskar Den Bukit menghadapi serangan lebah itu // Karena tidak putusputusnya lebah berdatangan / maka Ki Gusti Ngurah Panji Sakti pun merasa karena salah perbuatannya merusak pura / dan menyadari pula bahwa baginda raja Singasana dilindungi oleh Tuhan / dengan segera beliau menunggangi gajahnya mundur bersana laskarnya // Adapun setelah laskar Tabanan tiba di Wongaya tidak berjumpa lagi dengan musuh karena telah habis mengundurkan diri akhirnya baginda raja Singasana pun kembali bersama para pejabat bawaannya serta laskar rakyat sama-sama kembali kerumahnya masing-masing / itulah sebabnya candi dan bangunan sungai di Pura Luhur Wongaya rusak hingga sekarang // Setelah -/- demikian / maka berundinglah Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dengan Sri Magada Sakti Singasana mengakui atas kesalahan perbuatannya dan berkaul bahwa sampai dengan dikemudian hari beliau tidak akan berani dan tidak akan menyerang Negara Singasana Tabanan // Maka amat gembira hati baginda Sri Magada Sakti / itulah sebabnya beliau menyerahkan seorang putrinya yang bernama Ki Gusti Luh Abyan Tubuh dijadikan istri oleh Ki Gusti Padang di Den Bukit putra Ki Gusti Ngurah Panji Sakti // Tidak dilanjutkan // Waktu berjalan terus / maka usia baginda raja Sri Magada Sakti telah lnjut hampir tidak mampu berjalan / semakin berkurang pula kegiatan kenegaraannya / karena telah dikuasakan kepanda raja putra (putra mahkota) // Pada saat-saat itu timbul keaiban kelainankelainan pada diri Ki Gusti Ngurah Nyoman Telabah yang bermukim di Tuwak-Ilang / benci irihati kepada orang yang melaksanakan kebenaran (dharma) sebaliknya mengasihi mereka berbudi rendah dan jahat / timbul rasa dendam kepada ibu tirinya yang bernama Gusti Luh Ktut dauh Jalan karena sangat dikasihi oleh -/- baginda raja / kemudian adalah orang dari Wanasari diutus untuk membunuh Ni Gusti Luh Ktut Dauh Jalan dengan diberikan keris
35
utusan itu lalu berangkat masuk ke istana menyamar pada pelayan-pelayan istana berkeliaran // Setelah tiba di halaman (pamengkang) ternyata penjahat itu bingung tidak tau kemana ia harus pergi / kemudian diketahui tindak tanduknya / penjahat itu kembali menuju peraduan baginda raja serta menghunus keris / baginda raja ditikam dari bawah kebetulan ketika baginda membalik badan / tetapi tidak kena / sebab dengan segera baginda raja berbalik serta menampar keris itu / sehingga tangan baginda menderita luka-luka // Disaat menjerit baginda raja bahwa dimasuki penjahat / maka terperanjat orang-orang seisi istana // Gempar kacau balau semua merebut penjahat itu ada yang menyerang seraya memukuli / memalu dengan tongkat / menikam / lain pula yang lari ke luar menyuruh memukul kentongan bertalu-talu / terperanjat dan gempar peduduk seluruhnya pada berdatangan membawa senjata / diberikan penjelasan bahwa baginda raja ditikam oleh penjahat // Segera -/- para pejabat semua masuk istana menggiring penjahat itu keluar istana / direbut dan disiksa olah rakyat hingga mati penjahat itu // Setelah diperhatikan benar-benar ternyata penjahat dari Wanasari bersenjatakan keris milik I Gusti Ngurah Nyoman Telabah // Ketika itu para pejabat hendak menghancurkan Da Gusti Ngurah Ngurah Nyoman Telabah // Banyak yang menghalangi sebab belum tepat tindakan // Sedangkan sanak keluarga penjahat itu semua disiksa dihujani batu bergulin-guling semua ditangkap dan dibunuh lain lagi yang dijarah // Dan baginda raja telah dibantu dirawat oleh para dukun dan dijaga oleh para pejabat (bahudhanda) // Tidak lama antaranya luka baginda sembuh / setelah baginda raja waras kembali mereka yang berjaga-jagapun berakhir // Entah berapa lama berselang / setelah meninggal dunia Ni Gusti Luh Nyoman Pasaren kemudian setelah mancapaib usia cukup lanjut / wafatlah Sri Raja Magada Sakti / tersebar luas sinar kemashuran / sebagai suatu tanda wafatnya seorang besar yang gagah berani menuju -/- nirwana / tak terlukiskan betapa megah upacaranya / penuh dengan kemuliaan / selesai // Segera setelah wafat Sri Magada Sakti lalu digantikan oleh putra mahkota (pamayun) memimpin Negara / beliau bergelar da Cokorda Tabaann / raja Singasana //
36
Istri baginda adalah sepupu dari ibu bernama Gusti Ayu Bun / puteri dari Gusti Ayu Rai / yang bersuamikan Ki Gusti Ngurah Bija di Bun beliau tetap dijadikan istri / tetapi tidak mengadakan hubungan kelamin karena hati mereka ibarat bersaudara // Ada lagi istri baginda juga bersepupu dari pihak ibu bernama Ni Gusti Ayu Wayahan dari Lod Rurung / puteri dari Ni Gusti Luh Kapawon yang diserahkan kepada Ki Gusti Babadan di Lod Rurung // Ada pula permaisuri (prami) dari Mal Kangin puteri dari Ki Gusti Perot bernama Ni Gusti Luh Made // Lain lagi istri baginda dari orang kebanyakan (panawing) bernama Mekel Sekar dari desa Sekartaji //Kecuali itu -/- banyak istri panawing yang lain tetapi tidak diceritakan // Tersebut bahwa selama baginda raja menikmati keindahan bersuami istri / usia baginda telah agak lanjut belum berputera / maka hati baginda berdukacita / tercetu sabda baginda bahwa bila berhasil memperolah putra laki-laki yang tertua (Pamayun) sekalipun lahir dari ibu orang kebanyakan (Sudra) pasti ia dijadikan putra mahkota (Pamarep) yang berhak menggantikan menjadi raja dikemudian hari // Demikian kaul baginda raja / dan akhirnya tidak menyimpang dari sabda baginda raja / maka hambalah istri baginda yang berasal dari oranmg kebanyakan (panawing) yang bernama Mekel Sekar // Setelah cukup umur / lahir seorang anak pria yang mat tampan wajah mukanya / sehingga amat sukacita hati baginda raja / seraya diupacarai putera baginda itu sesuai upacara raja besar sebab sangat diharap-harapkan sebagai putera yang akan melanjutkan keturunannya / diberi nama De Ki Gusti Ngurah Sekar // Setelah itu menyusul pula hamil permaisuri baginda dari Lod Rurung / bernama Ni Gusti Ayu Wayahan / kemudian melahirkan seorang putera pria -/- juga amat tampan wajah mukanya / seraya pula diupacarai selengkapnya diberi nama Da Ki Gusti Ngurah Gede // Dan ada lagi putera-puteri baginda yang lahir dari ibu orang kebanyakan (penawing) diantaranya yang peri bernama Ki Gusti Sari selanjutnya Ki Gusti Pandak / Ki Gusti Pucangan / Gusti Rejasa / Gusti Bongan / Gusti Sangian / dan Gusti Den // Yang wanita bernama Ni Gusti Luh Dalem / beribu dari Mal Kangin / Ni Gusti Luh Made diserahkan kepada seorang “Ksatria” di Sukawati / lain lagi Ni Gusti Luh Perean bersuamikan Da Gusti Lanang / dan Ni Gusti Luh Kuhum bersuami dengan Gusti Gede Lod
37
Rurung / lain pula Ni Gusti Luh Braban / diserahkan kepada beliau sang brahmana di Selamadeg / demikian jumlah putera (baginda raja) peria dan wanita // Adapun adik baginda raja yang bernama Ki Gusti Ngurah Made Dauh yang bermukim di Dauh Pala / disebut pula dengan gelar Da Cokorda Dauh pala // Adapun pula putera beliau dua orang peria bernama Da Gusti lanang -/- Gusti Kandel / wanita empat orang bernama / Ni Gusti Luh Sibang diperistri oleh Ki Gusti Ngurah Sekar / selanjuntnya Ni Gusti Slingsing dipristri oleh Ki Gusti Ngurah Gede // Dan Ni Gusti Luh Tatandan diserahkan kepada sang brahmana di Geria Pasekan / selanjutnya Ni Gusti Luh Sesandan bersuamikan Gusti Pucangan // kemudian wafat baginda Da Cokorda Dawuh Pala / digantikan oleh puteranya yang sulung (pamarep) I Gusti Lanang menetap di istana // Adik beliau Ki Gusti Kandel tidak ada keturunan // Sedangkan Da Gusti Ngurah Nyoman Talabah yang bermikum di Twak-ilang berputera laki-laki Ki Gusti Balungbang / Gusti Pande / dan wanita Ni Gusti Luh Made bersuami dengan Da Gusti Lanang / dan Ni Gusti Luh Sayang bersuamikan Gusti Pangkung// Dan Ki Gusti Jegu berputera bernama Ki Gusti Sangeh / tidak mempunyai keturunan / dan yang wanita bernama Ni Gusti Luh Sekar bersuami dengan Ki Gusti Ngurah sari // Ni Gusti Luh Penatahan bersuamikan Ki Gusti Bakadi Lod Rurung / serta Ni gusti Luh Tegal bersuamikan -/- Ki Gusti Bengkel // Lain lagi Ki Gusti Krasan berputera peria wanita dan tidak putus-putusnya bernama Krasan sampai dengan anak cucu dan puyut // Diantaranya peria Ki Gusti Subamia / Ki Gusti Bengkel // wanita Gusti Luh Sembung / diperistri oleh Ki Gusti Nyoman Rai Lod Rurung // Gusti Luh Sempidi diperisteri oleh Ki Gusti Ngurah Gede / Gusti Luh Tegal Temu diperisteri oleh Ki Gusti Ketut Jadi // Gusti Luh Wayahan Tegal temu / bersuamikan Ki Gusti Wongaya // Dan Ki Gusti Oka berputera Ki Gusti Wangaya / Ki Gusti Gede Oka / Ki Gusti Pangkung / Ki Gusti Ketut jadi / Ki Gusti Batan / semuanya tidak berketurunan // sedangkan yang wanita bernama Ni Gusti Luh Wangaya bersuamikan Gusti sangeh // Ni Gusti Luh
38
Kapal bersuamikan Ki Gusti Bengkel // Dan Ki Gusti Luh Badung menikah dengan Ki Gusti Ngurah Kedianan dari Bandana (Badung) // Diceritakan pula bahwa pada masa pemerintah Cokorda Raja Singasana / tetap belum -/tercipta kemanana Negara karena terpecah belah berkat pengaruh siasat buruk Ki Gusti Nyoman Telabah / tidak luput berbuat berang bekerja sama dengan penjahat yang tidak berperi kemanusiaan selelu berkehendak durhaka kepada baginda raja untuk merebut kekuasaan lebih – lebih pula mendapat restu dari Ki Gusti Lanang Dauh Pala / karena ia mertuanya sendiri / lalu baginda raja memperoleh laporan tentang hal itu / hati baginda tidak gentar sebab baginda seorang yang berjiwa besar dan pemberani akhirnya di hancurkan Ki Gusti Nyoman telabah sampai dengan keturunannya dihabisi // Kemudian daripada itu baginda raja maklum bahwa Ki Gusti Lanang dauh pala bekerja sama dengan Ki Gusti Ngurah Nyoman Telabah maka dipecat Ki Gusti lanang dari jabatan dan kekuasaannya sedangkan rakyat dan seluruh sumber penghidupan dijarah menjadi hak kerajaan // Itulah sebabnya Ki gusti Lanang meninggalkan istana / pergi langsung kearah barat hendak keluar daerah // setibanya di Watu Bolong di pantai Lalang Linggah -/- ia dicegat oleh seorang manusia gaib bernama ratu Gede Gedah Porong // akhirnya iapun kembali dan menetap di Desa Taman / ia menurunkan kelompok warga Paragusti Dauh // Tersebut bahwa baginda raja Singasana telah lama menduduki takhta kerajaan / kemudian bagindapun berpulang ke alam baka / diselenggarakan upacara sesuai seorang raja besar / telah sempurna seperti sedia kala / itulah makanya disebut Bhatara lepas Pamade / ternyata baginda yang wafat di istana “Saren tengah” / selesai // Lanjut diuraikan masa pemerintah putera Baginda raja Tertua yang bernama Da Gusti Ngurah Sekar yang lahir dari ibu orang kebanyakan (Sudrayoni) dari Desa Sekartaji beliau menduduki takhta kerajaan / menggantikan setelah wafat ayahnya Batara Lepas Pamade / karena menepati sabda dan kaul baginda raja almarhum dahulu sebelum berputera // Setelah dilantik maka beliau bergelar Batara Da Cokorda sekar -/- raja Singasana // Adalah seorang isteri permaisuri baginda puteri dari Da Cokorda Dauh Pala bernama Ni Gusti Luh sibang tetapi tidak mempunyai putera // ada pula isetri baginda sebagai permaisuri kedua asal dari Ki Gusti Subamia / beliau berputera empat orang peria / yang sulung Da Ki Gusti Ngurah Gede, Kedua Da Ki Gusti Ngurah Made Rai / ketiga Da Ki Gusti Ngurah Rai /
39
Bungsu Da Ki Gusti Ngurah Anom // Dan yang lahir dari Ibu lain Ni Gusti Luh Kandel / Ni Gusti Luh Kebon // Adapun beliau Sang Arya Da Ki Gusti Ngurah Gede / menikah dengan puterinya Da Cokorda dawuh Pala yang bernama Ni Gusti Luh Slingsing sebagai permaisuri / kemudian menikah lagi dengan puterinya Ki Gusti Krasan benrnama Ni Gusti Luh Sempidi // Sedangakan beliau para arya yang lain sama-sama pindah rumah / Ki Gusti sari bermukim di Wanasari / Ki Gusti Pandak di Pandak Badung / Ki Gusti Pucangan di Buahan /- Ki Gusti Rajasa di Rajasa / Ki Gusti Bingan di Bongan Kauh / Ki Gusti Sangian di banjar Ambengan / dan Ki Gusti den / selesai // Diceritakan bahwa pada masa pemerintah De Cokorda Ngurah Sekar tidak ada perubahan tentang pengaturan Negara / lalu tampak nyata durhaka nya Ki Ngakan Ngurah di Kekeran Kediri yang sebagai pejabat bawahan Baginda Raja Singasana, secara langsung menyamai tata cara seorang Raja besar, antara lain menggunakan alas duduk (Patarana) dan dibarengi denganPuan Emas (Lelancang) dan menggunakan kebiasaan Raja Besar, lalu Baginda Raja Singasana murka, di hapuskan kebesaran Ki Ngakan Ngurah menjadi Rakyat Biasa, dan keris pusaka Ki Ngakan Ngurah yang bernama Ki baru Gajah disita menjadi milik Raja. Tak disebutkan entah berapa tahun lamanya, tersebutlah sang Arya Da Ki Gusti Ngurah Gede kecewa dalam hatinya karena belum diberikan pembagian kekuasaan dan oleh Baginda Raja Da Cokorda Sekar. Akhirnya beliau pergi ke utara gunung (Buleleng) menuju rumah ki Pasek Gobleg dan selanjutnya bersembunyidi desa Banjar di Rumah keluarga Brahmana Kemenuh. Maka risau hati Baginda Raja Singasana setelah mengetahui hal itu, lalu beliau mengirim utusan untuk menjemput adik beliau agar kembali ke Istana. Sampai dua tiga kali tetap adik beliau tidak mau pulang. Akhirnya Kyayi Gede Subamya, dititahkan oleh Baginda Raja untuk memimpin utusan yang mengusahakan kembalinya adik Baginda Raja dan dipesani agar memenuhi permintaan adiknya itu, tidak menyanggah Kyayi Subamya. Tak tersebut dalam perjalanan telah tiba di Geria Banjar (Utusan itu) menghadap sang Arya Da Ki Gusti Ngurah Gede mempermaklumkan tita baginda raja / kata Ki Gusti Ngurah Gede / “Saya mau kembali pulang apabila berkat paman berkenan beliau dengan ikhlas
40
memberikan -/- sebagian wilayah dan rakyat serta kekayaan dan istana yang sama dengan Istana Singasana” // Demikian permintaan adik baginda raja (Da Ki Gusti Ngurah Gede) / semua itu dijanjikan oleh Kyayi Gede Subamia / selanjutnya Arya Da Ki Gusti Ngurah Gede diiringkan oleh Kyayi Gede Subamia pulang ke istana Singasana Tabanan yang diikuti pula oleh seorang keluarga brahmana dari Geria Banjar // Setelah tiba di istana amatlah gembira hati baginda raja Singasana selanjutnya adik baginda itu dibuat kan istana di Kurambitan meniru istana di Singasana Tabanan tidak berbeda hingga halaman luar / itulah sebabnya Sang Arya Da Ki Gusti Ngurah Gede pindah beristana di Kurambitan menguasai rakyat dan kekayaan serta sumber penghasilan antara lain “Sarang Burung” sampai dengan keuasaan mengatur daerah / setengah dari pada baginda yang berada di Singasana. // Setelah dilantik (Biniseka) beliau bergelar Da Cokorda Gde Banjar / beliau banyak isteri dan putera / itu yang menurunkan keluarga para arya di Kurambitan// Diceritakan bahwa baginda raja Singasana telah menyerahkan kekuasaan untuk mengatur Negara kepada baginda Arya yang bermukim di kurambitan/ sebab beliau didudukkan sebagai raja kedua // Baginda raja Singasana hanya sebagai lambang saja / sehingga baginda membangun istana lagi di Pakandelan sebelah selatan Puri Agung Tabanan sebagai istana Baginda Arya Kurambitan Setelah bertakhta baginda raja berdua terciptalah kesentosaan dan kesempurnaan Negara tidak terdapat hambatan dan kesusahan // Tidak lama antaranya wafatlah baginda raja Singasana Da Cokorda Sekar menuju alam baka / tak terlukislah betapa upacaranya / telah selesai dengan sempurna // Maka diceritakan setelah wafat Batara Da Cokorda Sekar / digantikan oleh putera baginda yang sulung yang bernama Da Ki Gusti Ngurah Gede / beliau bertakhta sebagai raja yang berkuasa penuh di Tabanan // setelah dilantik (bhiniseka) -/- baginda digelari Cokorda Gede / Raja Singasana // Adapun isteri dan para putera baginda sebagai berikut : Ni Sagung Ayu Marga Puteri Da Cokorda Gede Banjar di Kurambitan/ beliau sebagai permaisuri pendamping baginda raja / tetapi tidak berputera // Adapula isteri baginda dari Timpag
41
berputera laki-laki / bernama Ki Gusti Nengah Timpag / lain lagi isteri baginda dari Sambiahan berputera Ki Gusti Sambiahan // Isteri baginda yang bernama Ni Luh Made Celuk / berputera Ki Gusti Ketut Celuk / tak terkatakan para puteri baginda juga isteri panawing lain dari pada itu / Adapun beliau sang Arya yang dituakan ( maka penenggek ) bernama ki Gusti Ngurah Made Rai yang membangun istana di sebelah utara pasar disebut Puri Kaleran / beliau dianggap sebagai raja kedua ( pamadhe ) / demikian isteri baginda sebagai permaisuri adalah puteri Da Cokorda Gede Banjar di Kurambitan yang bernama Ni Sagung Alit Tegal / ber -/putera empat orang peria // sulung (pamayun) Ki Gusti Agung Gede / Ki Gusti Ngurah Nyoman Panji / wanita Ni Sagung Ayu Made / yang bungsu Ni Sagung Ayu Ketut / bersuamikan Ki Gusti Celuk / lain lagi isteri baginda dari Jero subamia bernama Ni Gusti Luh Timpag berputera seorang wanita bernama Ni Sagung Ayu Timpag menikah dengan Kyayi Ngurah Kawuh / kemungkinan Ki Gusti Dauh // Dan putera yang lahir dari ibu orang kebanyakan (panawing) Kyayi Ngurah Perean Kyayi Burwan / Kyayi Banjar / Kyayi Tegeh / dan Kyayi Beng / anak-anak ynag wanita tidak disebutkan // Adapun sang Arya yang kedua (pandada) yang bermukim di Panebel / bergelar Da Cokorda Panebel / menikah dengan seorang puteri sebagai permaisuri berasal dari jero Subamia / juga isterinya dari Kekeran / isteri yang lain dari Ubung // putera puterinya bernama Ki Gusti Made Tabanan / Ni Sagung Wayahan / Ni Sagung Made / Ni Sagung Ketut sama-sama beribu dari Ubung // Dan yang beribu dari Kekeran -/- Kyayi Kekeran / Kyayi Made / Kyayi Kandel / Kyayi Pangkung / Kyayi Dauh / dan seorang puteri yang menikah dengan Kyayi Buruan // Lain pula baginda Arya yang bungsu bernama Ki Gusti Ngurah Anom yang bermukim di sebelah barat pasar bernama Puri Emas menikah dengan puteri Cokorda Gde Banjar di Kurambitan / bernama Ni Sagung Made / berputera tiga orang wanita / yang kedua (madhe) menikah dengan Kyayi Gede Pala, diduga keluarga keturunan Cokorda Dauh Pala // Dan yang lahir dari ibu lain yang tertua Ki GustiMas / Ki Gusti Made Sekar / tidak ada keturunan // Kyayi Pasekan / Kyayi Pandak / dan Ni Sagung Alit Tegeh bersuamikan Kyayi Tegeh // Diuraikan bahwa pada masa pemerintahan DaCokorda Gede sebagai pelindung Negara Tabanan / maka Negara sangat aman tidak terdapat hal-hal yang tidak bijaksana (durniti) dan
42
ancaman serta sedikitpun tidak terdapat perlakuan berbeda-beda kepada ketiga orang aryanya / selalu bersatu padu beliau berempat / karena sama-sama berpengalaman berilmu cerdas dan bijaksana / tidak kurang pula dalam hal ilmu kesunyataan dan kerokhanian / sama-sama memahami kebenaran peraturan seolah-olah berkumpul penjelmaan Dewa Wisnu / selalu beliau menyirami member kesenangan rakyat // Lama beliau menjadi junjungan Singasana // Pada akhirnya beliau pulang kea alam nirwanan / demikian pula putera baginda yang terkemuka / telah kembali kea alam baka bersama baginda raja // Telah selesai upacara almarhum berdua maka tak terkatakan dukacita rakyat murung seluruhnya // Tinggal kedua para putera baginda namun keduanya telah bermukim keluar istana / demikian selesai / Nah / tidak diceritakan kembali setelah wafatnya baginda raja / almarhum digantikan oleh Sang Arya Da Ki Gusti Ngurah Made Rai dijadikan raja / kembali menghaki istana (Puri Agung) lalu mendua istana yaitu Puri Agung dan Puri Kaleran / beliau mengendaki pemerintahan Negara dilantik bergelar Da Cokorda Made Rai Raja Singasana // Adapun adiknya -/- Ki Gusti Ngurah Anom di Puri Mas selanjutnya juga dilantik / dihormatilah beliau sebagai raja kedua (pamadhe) / ikut mengatur politik pemerintahan // Sedangkan yang diangkat sebagai patih Singasana beliau Kyayi Made Kukuh / bijaksana dalam bidang filsafat agama dan peraturan pemerintahan juga tidak kurang dalam hal wiracarita // Kembali diceritakan tentang masa-masa pemerintahan Da Cokorda Made / kemanan dan kesentosaan Negara tetap sebagai sediakala / tidak terjadi hal-hal yang menimbulkan korban jiwa / terdorong oleh jasa-jasa luhur kedua baginda raja / tidak dengan baginda raja Penebel // Karena mereka tetap bersaudara dengan akrab selalu saling mengisi secara rukun karena semua memiliki ilmu yang tinggi juga sama-sama mempertahankan tingkah laku yang baik / luput beliau dari nafsu yang berlebih-lebihan / ditambah pula dengan kecakapan Kryan Patih Kyayi Made Kukuh yang sama-sama bijaksana membina rakyat / pandai menggembirakan rakyat pada saat-saat kesusahan // Tak terlukiskan kebesaran baginda raja / entah berapa tahun -/- usia baginda sebagai junjungan di Singasana // Terdorong oleh pengaruh jaman huru-hara (kalisanghara) kerajaan tertimpa hal tidak wajar dan menyulitkan / kala itu puteramahkota Ki Gusti Ngurah Gede
43
telah berpulang kea lam baka bersama adiknya Ki Gusti Nengah Perean menjadi korban / Tak diceritakan upacara jenazah kedua putera raja itu telah selesai // Adapun Ki Gusti Agung Gede meninggallan seorang puteri yang menikah dengan Ki Gusti Pangkung / yang wanita tidak diceriterakan // Dalam keadaan demikian amatlah dukacita baginda raja memikirkan kesukaran yang amat sangat / ternyata pula tinggal seorang putera baginda yang bungsu beribu permaisuri dari Kurambitan / baginda putera bernama Ki Gusti Ngurah Nyoman Panji yang tetap tinggal di Puri Kaleran / beliau menikah dengan puteri sebagai permaisuri bersaudara sepupu dari ibu / dan bersepupu dua kali bila dari ayah (Purusa) yaitu puteri dari Da Cokorda Gede -/Slingsing di Kurambitan / beliau melahirkan seorang putera sangat tampan dan sempurna pribadinya / diberi nama Da Ki Gusti Ngurah Agung // Ada pula putera baginda lahir dari lain ibu bernama Ki Gusti Ngurah Demung / beribu dari Demung / dan Ki Gusti Ngurah Celuk beribu dari Celuk / semua masih dibawah umur // Adapun Ki Gusti Ngurah Anom di Puri Mas / beliau wafat kembali ke alam baka / tak diceriterakan betapa upacaranya // Setelah wafat Ki Gusti Ngurah Anom digantikan oleh putera baginda yang sulung / bernama Ki Gusti Mas / beliau menggantikan sebagai pendamping (anggaraksa) baginda raja // Dan dalam bidang pengetahuan serta akal budi termasuk menegakkan-menegakkan politik yang baik sampai dengan ilmu bangunan semua dikuasainya namun beliau belum menguasai rasa cinta keadilan tugas kewajiban (dharmmika) karena diselubungi oleh nafsu yang berlebihan selalu mengusahakan kepentingan diri sendiri / maka tak terbilang cemoohan rakyat karena hanya memuaskan nafsu angkara dan iri hati / lalu duka -/- nestapalah hati rakyat karena tidak bijaksananya Ki Gusti Mas / selalu menganggap benar apa yang terlarang / itulah sebabnya rakyat dan terutama para pejabat menjauh dari baginda raja / Ki Gusti Mas menyadari prilaku sedemikian dengan segera beliau melakukan pensucian diri pada seorang guru (dumiksakramasurudayu) untuk menglabui kebusukan hatinya / maka diberi nama Ki Gusti Wirya Wala // Namun kepedetaannya sia-sia saja karena niat jahatnya tetap sebagai semula // Bahwa dalam situasi sedemikian tersebutlah baginda raja sangat sedih dan duka nestapa hati baginda melihat hancurnya peraturan tata tertib diselubungi oleh zaman huru-hara dunia dirasakan sunyi hati baginda semakin kalut / baginda menyadari bahwa saatnya telah tiba
44
untuk kembali ke alam baka lalu baginda berpesan kepada keturunan dan para pejabat bawahannya, “ Nanti apabila baginda wafat tidak lain Ki Gusti Celuk ditahtakan untuk dijadikan raja ” kemudian baginda rajapun wafat ikut pula putera baginda raja Ki Gusti Ngurah Nyoman Panji -/- yang bermukim di Puri Kaleran berpulang ke alam nirwana / meninggalkan putera-putera belum dewasa / karena khawatir akan pengaruh kehancuran zaman maka jenazah baginda telah diupacarai sesuai upacara raja besar / tak terkatakan betapa duka cita hati rakyat / selesai // Setelah wafatnya baginda raja sampai dengan kedua orang putera baginda yang laki-laki / ketiga-tiganya sampai dengan anak laki-laki yang bungsu yang semuanya lahir dari permaisuri (sadhampati) telah wafat / kemudian baginda digantikan oleh Kyayi Buruan mengendalikan pemerintahan di Negara Tabanan / Sebab beliau putera terkemuka yang masih hidup / selalu dibantu oleh warganya yaitu Kyayi Banjar dan Kyayi Beng / dan tidak ditepati segala sabda wasiat baginda raja almarhum / sehingga semakin bertambah kacau balau hati rakyatnya / yang menegakkan kebenaran dan kejujuran dikesampingkan / meluas kehendak mereka myang berbudi rendah / terpengaruh oleh ketidak selarasan budi yang memimpin Negara / Karena terlalu tipu muslihat Kyayi Burwan dengan daya -/- upaya licik untuk mencelakakan amat jahatnya / serakah pada harta benda sedikitpun tidak bersedekah / lebih – lebih pula kedua orang pembantunya (Sang Arya Kalih) sama – sama bodoh tidak menyadari kerendahan pekertinya rukun ketiga mereka itu / menyatukan pendapat berbuat tidak senonoh bersama Kyayi Wirya Wala / maka keempat mereka itu selalu menimbulkan rakyat / tidak mengerti Kyayi Burwan dengan adik – adiknya semua / bahwasanya mereka terjerat oleh tipu muslihat Kyayi Wirya Wala // kebencian Kemudian beliau pecah dengan Da Cokorda Rai Penebel / larut oleh hiri hatinya melihat kwibawaan Baginda Raja Penebel / sangat berbahagia dalam pengetahuan dharma dan bijaksana / pandai mempersenang hati rakyat / lebih-lebih pula putera baginda yang bernama Ki Gusti Made Tabanan / atau Ki Gusti Ngurah Ubung nama lainnya / amat terpuji / pemberani dan mahir pada siasat perang // Maka semakin bertambah kebencian para putera raja Singasana berkat hasutan Ki Gusti Wirya Wala / lalu mereka beniat -/- menyerang ke Penebel // Banyak yang menasehati dengan
45
petuah yang baik / karena durhaka pada orang tua perbuatan serupa itu / semua dibenci dan disanggah mereka yang bernasehat baik / hanya menuruti perbuatan yang kurang senonoh // Hingga kecewa hati mereka yang memberi nasehat baik / karena dimabuk loba angkara memancing agar timbul percekcokan / kemudian diduga baginda raja penebel meminta bantuan kepada Dalem // diberitakan bahwa beliau hendak berontak menghancurkan Negara Singasana / sehingga para putera baginda raja singasana dan tidak ketinggalan Kyayi Wirya Wala semua mempersiapkan pasukan bergerak menggempur Negara penebel // Maka terperanjat baginda raja penebel / karena tidak menduga perbuatan sedemikian / disana meluap kemurkaan Ki Gusti Made Tabanan dan para pembantunya (para Arya) / karena sama –sama gagah berani / dengan segera pula mempersiapkan pasukannya dan bergerak menghadapi pasukan Singasana / terjadi perang dahsyat / tak terkatakan yang gugur dan kesakitan // entah berapa hari lama pertempuran itu / timbul pendapat para menteri Singasana agar bersatu berkeluarga -/- kedua baginda raja Singasana dan Penebel / namun semua pendapat baik itu ditampik dan perangpun dilanjutkan / akibatnya kalah desa-desa di bagian utara Singasana // Kala itu goyahlah kedudukan Ki Gusti Wirya Wala / serta Ki Gusti Burwan / Ki Gusti Banjar / dan Ki Gusti Beng / sangat mangul hatinya merasakan kekalahan dalam hal kegagah beranian // Kemudian barulah diingatkan pesan dari Sri Maharaja almarhum dahulu yang menyuruh agar mengangkat Ki Gusti Celuk untuk menjadi raja / maka dengan segera beliau dikembalikan ke Puri Agung Tabanan dipilih sebagai penegak pemerintah antara lai Ki Gusti Sambyahan / selanjutnya tidak mempunyai keturunan // Diceritakan bahwa setelah Ki Gusti Celuk memasuki Puri Agung (Tabanan) beliau tidak mau ikut-ikutan melakukan peperangan / karena tidak ada suatu perselisihan dengan baginda raja Penebel / hanya tetap bertahan di istana // Diuraikan kembali peperangan itu entah berapa lamanya akhirnya kalah Negara Singasana / karena para pejabat balik haluan -/- sampai dengan rakyat Kyai Wirya Wala / tidak setia lagi / berhubung semua tahu kebusukan hati Ki Gusti mas / Maka Ki Gusti Mas ditipu oleh para menteri / dinyatakan bahwa baginda raja penebel akan mengampuni (tidak membunuh ) dirinya dan beliau beserta anak-anaknya disuruh menghadap // Ki Gusti Mas
46
tidak menolak karena jiwanya tidak menentu / dikala itu Ki Gusti Mas merasa akan tiba kematiannya langsung menuju utara diiringkan oleh para putera dan pelayannya (parepat) // Setiba di Banjar Hanyar Tabanan disergaplah mereka oleh pasukan para menteri Singasana / akhirnya meninggalkan Kyayi Wirya Wala tanpa meninggalkan putera sampai dengan pelayanannya (parepat). Sang Nyoman Padang dan Ki Blawa /
sedangkan yang
masih hidup semua berlari menghindar dari kematian / pada hari wage (kujya) Rabu (Mahadewa) Uku Langkir hari keempat belas bulan hidup / masa bulan ketiga (asuji) tahun saka satuan (rah) 5 / puluhan (Tenggek) 1 / tahun saka 1615 // Adapun setelah gugurnya Kyayi Wirya Wala / para pejabat kerajaan Tabanan memohon agar baginda raja Penebel berkedudukan di singasana untuk mengasuh Ki Gusti Celuk / tetapi beliau menolak karena masih ada perasaan malu di hati baginda // Diceritakan Ki Gusti Celuk belum sampai pelantikan (Bineseka) sebagai raja / telah mendahului berpulang kea lam baka tanpa meninggalkan putera / tidak terbilang upacaranya / disana sangat sedih hati Da Cokorda Penebel sampai dengan rakyatnya turut berduka citta // Dikisahkan yang telah memperoleh keunggulan beliau Da Cokorda Penebel / setelah wafatnya Ki Gusti Celuk / beliaupun kembali pulang ke Singasana / di ikuti oleh para putera beserta rakyat yang terpilih bermikum di Puri Dalem / sedangkan putera baginda ada yang berdiam di Kaderi / Disanalah baginda raja Penebel ingin menghilangkan rasa malu di hati baginda // pada kesempatan itu diusir orang – orang yang menimbulkan rasa malunya yaitu Kyayi Banjar disingkirkan dan sampai berakhir di Smarapura / tidak berketurunan // Kyayi Pandak disingkirkan di Sukasada / tidak -/- diijinkan kembali / berakhir dengan tanpa keturunan // Kyayi Pasekan berakhir di Rejasa / tanpa keturunan // Kyayai Pangkung / putera dari Ki Gusti Nengah Perean / telah berada di Antasari / meninggalkan dua orang putera peria / yang sulung bernama Ki Gusti Wayahan Kompiang / yang menurunkan keluarga di Jero Kompiang // Dan adiknya Ki Gusti Made Oka / yang menurunkan keluarga di Jero Oka // Adapun Kyayi Buruan dan Kyayi Beng tidak mau dipindahkan / karena tak hentihentinya mencari daya upaya untuk mencelakakan Cokorda Rai Penebel / Dan Ki Gusti Made Tabanan / karena amat tangguh menderita kekalahan / terlalu angkuh tidak hendak merendah /
47
itulah sebabnya tidak berkenan disingkirkan dari kota / bertekad hendak habis-habisan di istana / kemudian para pengikutnya meninggalkan kedua kyayi itu / dengan setia menghamba kepada Cokorda Rai // kemudian oleh Da Cokorda -/- Rai / disuruh para pejabat dengan pasukannya menghancurkan Kyayi Buruan dan Kyayi Beng // Segera berjejal para pasukan mengurung rumah mereka berdua / dan membongkar tembok pekarangannya // Namun kyayi Buruan belum sempat keluar karena asik mengumpulkan seisi istana / dan para wanita telah dibunuh-nya / serta membakar istana / dalam waktu singkat api menjilat-jilat memenuhi istana // Disana Kyayi Buruan keluar bersama anak dan seorang pembantunya / seraya disambut dengan senjata merekapun gugur di depan pintu lebih-lebih pula tertimpa oleh api yang berjatuhan dari gapura / Adapun Kyayi Beng setelah membakar istana / iapun keluar diikuti oleh penduduk istana peria dan wanita / Kira-kira enampuluh (sawidak) banyaknya semua bersenjata // dengan garang mengamuk lawannya tetapi tidak membahayakan / segera dikeroyok pasukan lawannya / akhirnya mereka semua gugur // sesuadah itu mundurlah pasukan dan para menteri terutama Da Cokorda rai kembali ke Puri -/- Dalem / Ki Gusti Made Tabanan pulang ke Kediri / demikian pula mayat-mayat itu telah dikebumikan di kuburan // Adapun setelah Kyayi Buruan dan Kyayi Beng pada pada hari senin (sori) Kliwon (siwa) hari ke delapan pada bulan hidup / wuku wariga / bulan cetra / satuan (rah) 5 / puluhan (murdi) 1 / tahun saka 1615 // Tinggal isteri kyayi Beng / Desa yang sedang hamil / sempat disembunyikan oleh keluarganya di suda / kemudian mempunyai anak diberi nama Ki Gusti Wayahan Beng / yang menurunkan keluarga Jero Beng / Jero Beng Kawan dan Jero Putu // Sedangkan Ki Gusti Tegeh tidak di jatuhi hukuman oleh baginda raja Penebel / hingga tetap mempunyai keturunan di Jero Tegeh // Dengan demikian keamanan negeri terjamin sebab telah lenyap rasa malu dihati (baginda raja) dan semua pengacau di Singasana habis terbunuh kecuali yang melarikan diri // Diceriterakan bahwa setelah teratasi kekacauan dalam negeri / menetap pula Da Cokorda Rai Penebel sebagai penguasa negara Tabanan / bertakhtakan sebagai raja Singasana -/- tidak lain dibantu oleh putera baginda yang bernama Ki Gusti Ngurah Ubung / disana kembali pula kesentosaan Negara seperti dimasa lampau / ketika bertakhta Cokorda Made Rai / yang didampingi oleh Ki Gusti Ngurah Anom //
48
Lama kelamaan telah sama-sama dewasa usia para cucu baginda raja sebanyak tiga orang yang berkedudukan di Puri Kaleran bernama Ki Gusti Ngurah Agung / serta kakaknya Ki Gusti Ngurah Demung dan yang bungsu Ki Gusti Ngurah Celuk // Entah berapa lama berselang / kini tiba pula saat-saat huru-hara dengan timbulnya keangkuhan hati Ki Gusti Ngurah Ubung / diselubungi oleh nafsu yang berlebihan / maka timbul angkara dan irihati kepada Ki Gusti Ngurah Agung / karena takut kalau-kalau kalah dalam kewibawaan / timbul niat untuk memasang carun agar wafat Ki Gusti Ngurah Agung // Segera ayahnya memaklumi dan menasehatinya tetapi anaknya tidak mau memperhatikan / maka ia membuat suatu yadnya sebagai suatu alas an / disana diundang -/- para menteri Singasana terutama ketiga orang pemuda cucu Baginda Raja itu // Setelah sama-sama datang di Puri Kadiri berkemas para pelayan menyiapkan santapan / namun menyasar pembagian santapan itu / yang berisi carun sedianya diperuntukkan kepada Ki Gusti Ngurah Agung / ternyata dipersembahkan kepada Baginda Raja Da Cokorda Rai / sehingga Ki GUsti Ngurah Agung santap dengan selamat termasuk para pengiringnya / yang selanjutnya pulang ke rumah masing-masing dengan selamat pula Adapun baginda raja ( Da Cokorda Rai) setelah memakan santapan itu merasa bahwa terkena racun berbahaya / Baginda menyadari ajalnya akan tiba / maka gelisah hati para putra baginda terutama Ki Gusti Ngurah Ubung // segera Baginda Raja diusung dengan tandu dibawa ke Puri Penebel // setelah tiba di Penebel tidak berapa lama antaranya Baginda raja pun wafat / disana tak terkira betapa sedih dan kesal hati para cucu Baginda serta rakyatnya / dan tak terkatakan pula betapa hebat upacaranya sesuai seorang raja besar yang berwibawa / hingga selesai // Nah, diceritakan setelah wafat Baginda Raja di Penebel / kembali Ki Gusti Ngurah Ubung memerintah Negara Tabanan bertakhta sebagai Raja Singasana bersama adik - adiknya ada yang masih tinggal di Panabel dan Kadiri. Adapun selama bertakhta Ki Gusti Ngurah Ubung seperti tidak serempak ketaatan para menteri kepada beliau sebab telah tertebak kejahatan upaya Ki Gusti Ngurah Ubung terhadap beliau Ki Gusti Ngurah Agung // Maka diceritakan ketiga orang cucu baginda raja / yang terutama beliau Ngurah Agung dan kedua orang saudaranya / semua berwajah tampan berbudi dan bertingkah laku yang baik / faham akan filsafat lahir dan batin serta taat memuja Tuhan
49
/ tidak pula melupakan
pemujaan terhadap leluhur / selalu rukun bersaudara bersatu padu beliau bertiga / selalu menegakkan kebenaran (Sanghyang Dharma) / sedih dan susah hati Ngurah Ubung / berusaha mencari jalan kematiannya / tetapi seperti tidak memperhatikan perbuatannya // Tetapi entah berapa bulan berselang pada suatu hari yang baik / kebetulan Ki Gusti Ngurah Agung berada di Pasaren Kangin / maka beliau mendengar suara gaib / menyatakan bahwa datuk beliau almarhum da Batara Cokorda Made Rai yang bersabda / menyuruh agar Ki Gusti Ngurah merebut kekuasaan karena telah masanya untuk memperoleh kemenangan // Dalam keadaan demikian beliapun sadar hatinya bagaikan berkembang / segera bangkit jiwa kesatrianya // Setelah bulat tekad beliau berundinglah denga kedua orang saudaranya beliau menerima wahyu suara gaib dan usaha untuk mendudukan lawan // setelah matang perundingannya maka secepatnya pula Ki Gusti Ngurah Agung bertimbang rasa dengan para menteri singasana untuk merebut kekuasaan Negara / disana para menteri dengan hati gembira menjunjung segala titah Ki Gusti Ngurah Agung / dengan janji membela mati-matian / hanya Kyayi Lod Rurung membantah tidak menyetujui titah Ki Gusti Ngurah Ubung / sebab beliau tetap amat sakti lagi pula mendapat pelindung para dewata / ibarat api yang sedang menyala berkobar-kobar meraja lela / bila dilanggar pasti akan hancur lebur // dalam keadaan serupa itu Ki Gusti Ngurah Agung pun terdiam dan masuk ke istana // Entah berapa hari antarnya setelah memperoleh kesempatan menyamarlah beliau Angrurah Agung dan saudara-saudaranya serta para menteri dan rakyat yang terpilih / kecuali Kyayi Lod Rurung / serempak pergi menuju rumah Bendesa Timpag / disana mereka mengatur upaya mengumpulkan rakyat yang tetap cinta setya kepadanya / setelah terkumpul pasukan rakyat dan perbekala serta alat pengangkutan / kala itu mereka mencari jalan ke timur bergerak senggempur ke Tabanan / setiap yang diserang semua takluk rakyat di pedesaan // dalam keadaan demi kian Ki Gusti Ngurah Ubung mengetahui bahwa hal itu adalah gerakan Ki Gusti Ngurah Agung // Maka dengan segera -/Beliau memerintahkan untuk memukul kentongan / sehingga rakyatpun kaget terburuburu berdatangan lengkap dengan senjata // setelah menerima perintah lalu pasukan yang bersenjata lengkap langsung menuju ke Barat menghadapi pasukan baginda Angrurah Agung dan terajadi peperangan di antara sungai empas dan sungai ngenu //
50
Tak terkatakan betapa hebat pertempuran itu serang menyerang banyak jatuh korban selain yang menderita kesakitan / entah berapa hari lamanya akhirnya pasukan Ki Gusti Ngurah Ubung mendapat kekalahan berhamburan melarikan diri / disana barulah Ki Gusti Ngurah Ubung merasakan kurang bantuan / merekapun mundur kearah utara bersama adikadik dan andalan-andalannya hendak bertahan di Penebel // Lapangan tempat pertempuran itu dinamai Pasiatan / kini disebut Pasiapan // Adapun Ki Gusti Ngurah Agung serta pemuka-pemuka pasukannya dengan selamat memasuki perkemahan singasana / dan langsung Ki Gusti Ngurah Agung memasuki Puri Agung Tabanan / -/Kedua orang saudaranya serta para mentrinya sama-sama menuju rumahnya masingmasing // Pada waktu itu rakyat pedesaan mengalami kekalahan semua takluk kepada Ki Gusti Ngurah Agung / berhasil dikuasai oleh beliau disebelah selatan desa-desa wanasari / Riang / Ngis / Rejasa tak terkatan yang disebelah barat // Bagian utaranya semua dikuasi oleh Ki Gusti Ngurah Unbung / dan membuat benteng pertahanan lubang-lubang (blungbang) yang dibiarkan beranjau di Celebuh / membujur ke barat hingga disebelah selatan desa Riang dan Ngis // Ketika itu kekuasaan negara terbagi dua Penebel dan Tabanan / pertempuran terus menerus tidak berhenti / tidak diceritakan // Dikisahkan bahwa yang memperoleh kemenangan adalah baginda Ki Gusti Ngurah Agung / Baginda selanjutnya ditetapkan sebagai raja menguasai bagian Negara Tabanan di sebelah Selatan // Amatlah termahur dalam hal kepintaran dan ilmu pengetahuan serta bijaksana teguh hati / juga berkelakuan terpuji seorang muda yang tampan pemberani dan akhli perang / semuanya segan / rakyat mencintainya -/- demikian saat-saat beliau dilantik Da Cokorda Tabanan / Raja Singasana // Disana sempat baginda menjatuhkan hukuman kepada rakyat Kyayi Lod Rurung / diturunkan kepada Kyayi Lod Rurung / diturunkan kewibawaannya (kekuasaannya) karena durhaka kepada Baginda raja / tidak taat kepada tujuan Baginda Raja dahulu / itulah suatu sebab surutnya kebesaran Kyayi Lod Rurung //
51
Nah / kembali diceritakan tentang peperangan itu / pasukan Tabanan berhadapan dengan pasukan Penebel / setiap hari terjadi peperangan / serang-menyerang / saling mengamuk / sama-sama kuat tidak ada yang kalah / karena kesigapan para menteri Tabanan tidak berbeda dengan andalan-andalan Penebel semua mengerti dengan siasat lawan // Entah berapa bulan lamanya peperangan itu / tidak diketahui berapa yang mati dan luka-luka // Kini tersebutlah Baginda Raja Singasana / tidak henti-hentinya bertukar pikiran dengan para pemuka dan para menterinya / merundingkan keadaan perang itu / karena amat kuatnya pasukan Penebel / dan tidak putus-putusnya pula -/- memikirkan kemelaratan rakyat / semua menderita akibat terputus aliran air yang disebabkan oleh pasukan penebel merusak bendungannya // setelah matang permufakatan itu / bulat tekad baginda Raja Singasana / serta telah mendapat dukungan dari pemuka-pemuka masyarakat untuk meminta bantuan-bantuan kepada baginda – baginda Raja Mengwi / yang ergelar Ki Gusti Agung Putu Agung / secepatnya baginda Raja Mengwi mengirim utusan untuk menghadap baginda Raja Mengwi / memohon bantuan untuk menyerang sang raja di penebel // tidak menolak Baginda Raja Mengwi / dengan ikhlas hendak membantu Baginda Raja Singaraja // Tersebut bahwa setelah sampai waktunya datanglah pasukan Bersenjata Ki Gusti Agung di Mengwi memasuki daerah Tabanan / disana Baginda Raja Singasana dan para menteri serta pamuka masyarakat sama-sama mengumpulkan pasukan // setelah siap pasukan itu bersenjata lengkap serempak bergerak ke utara tidak ketinggalan para prajurit Mengwi itu // Laskar Baginda Angrurah Kurambitan menyerang ke barat / dan pasukan Pucangan menyerang -/- di bagian timur berhadapan dengan Penebel // Adapun Baginda Raja Penebel / beliau sepenuhnya bertahan di batas daerah serta pasukannya serempak // dalam keadaan demikian segera perang itu terjadi / semua sama-sama tangkas menghadapi lawan /lascar Tabanan dengan Penebel / saling memangkas saling menombak / tikam menikam / tambak menembak / sama-sama saling mengintai mencari kesempatan / bercampur aduk peperangan itu / tak terkatakan jumlah korban yang dan yang takluk // entah berapa hari lama peperangan itu / disana dengan senang yang tinggi pasukan Tabanan dan Mengwi / tanpa memperhitungkan bahaya / akhirnya bubar berlarian pasukan Penebel karena musuh terlalu banyak maka desa-desa perbatasan Penebel bagian selatan dapat direbut / di selatan desa-desa Buruan / Jegu / Rejasa / disana buat pertahan lagi // sedangkan pertempuran terus berlanjut terus-menerus maka kekalahan bertimpa-timpa pada pasukan
52
Penebel / lalu memuncak kemarahan Ki Gusti Ngurah Ubung serta saudara-saudaranya semua maju ke depan -/- mengamuk bersama andalan-andalannya menerjang pasukan Tabanan / berperang di sebelah selatan Buruan / tak terlukiskan hebat pertempuran itu bergumul bercampur aduk saling pangkas dengan harubg (sabit yang besar) / hingga terlanjur amukan, Ki Gusti Ngurah Ubung bersama pengikutnya / karena hendak habis-habisan agar gugur dalam peperangan / ingin menuju Alam Bhatara Wisnu // Disana mereka dikurung oleh pasukan yang berjumlah besar disergap oleh pasukan Tabanan lalu gugurlah Ki Gusti Ngurah Ubung di Sesandan juga adik-adiknya sampai dengan andalan-andalan semua berguguran menjadi korban / akhirnya kalah seluruh daerah Penebel / semua takluk tunduk kepada Baginda Raja Singasana // Kedaan demikian berlangsung kira-kira tiga tahun lamanya sejak awal hingga peperangan itu berakhir // setelah memperoleh kemenangan sepenuhnya Baginda Raja kembali ke istana dan para menteri juga pulang kerumanhya masing-masing // Tentang harta benda di Puri Penebel diantaranya “Pangawin / Mamas “ semua diserahkan kepada andalanandalan pasukan Menguwi -/- sebagai imbalan balas jasa perang kepada baginda raja mengwi disertai dua orang gadis / seorang bernama Gusti Ayu Gede / Putri Cokorda Nyoman Pande di Puri Agung Kurambitan / yang sebagai permaisuri di Puri Kaba-kaba // yang kedua I Gusti Luh Made Layar puteri Ki Gusti Aseman di Jero Aseman / yang dijadikan isteri oleh Baginda Raja Menguwi / tidak diceritakan lagi // Bahwasanya Ki Gusti Made Kurambitan di Puri Anyar Kurambitan cucu Cokorda Rai Penebel / putera dari Ki Gusti Ngurah Kandel / beribu Ni Gusti Ayu Ketut Puri Anyar Kurambitan Putri Ki Gusti Ngurah Made Dangin / beliau itu tidak ikut menjadi korban ketika wafat ayahnya / beliau pindah bermukim di Kurambitan / yang menurunkan keluarga di Jero Kurambitan (Jero Kekeran)// Setelah berakhir percekcokan itu sentosalah seluruh Negara Tabanan hingga gunung dan lautan telah dikuasai oleh Baginda Raja Singasana / kembali pula -/- keamanan dan tata tertib Negara seperti dahulu / ketika bertakhta maharaja almarhum / adalah datuk Baginda Raja Singasana (I Gusti Ngurah Agung) //
53
Adapun Ki Gusti Ngurah Demung / beliau tetap sebagai penguasa di Puri Kaleran dijadikan raja Kedua (Pamade) dari Baginda Raja ( Ki Gusti Ngurah Agung ) / maka didalam catatan tersebut Ki Gusti Ngurah Made Kaleran // Demikian pula adik beliau yang bungsu Ki Gusti Ngurah Celuk / beliau pindah ke Kediri sebagai pejabat (Bahudanda) Puri Kaleran / dia yang menurunkan keluarga di Puri Kediri // Kembali diceritakan Baginda Raja Singasana (Ki Gusti Ngurah Agung) / entah berapa tahun berselang / maka timbul keangkuhan Baginda Raja Manguwi. Karena kemasukan sifatsifat tamak angkara sehingga merampas desa-desa wilayah Tabanan bagian barat sungai Dati dan bagian timur Panahan. Yang disebelah utara desa Adeng, diselatan desa Tegal Jadi, disiarkan sebagai imbalan jasa ketika membantu peperangan, namun Baginda Raja Singasana diam tidak berkeberatan, karena merasa berhutang budi, itulah suatu sebab ternoda persahabatan Baginda Raja Singasana dan Mengwi, menimbulkan permusuhan antara Tabanan dengan Mengwi dan Jembrana. Pada kesempatan seprti itulah ki Gusti Kukuh disuruh oleh Baginda Raja pindah dan menetap di Den Bantas untuk mempertahankan daerah perbatasan. Diceritakan pula para isteri Baginda raja, yaitu: Permaisuri Pendamping Baginda Raja (sadampati) bernama Ni Sagung Ayu Ngurah, puteri Dari Cokorda Made Panarukan di Puri Gede Kerambitan. Dan permaisuri yang kedua bernama Ni Sagung Wayan Puteri dari Agung Ketut di Jero Aseman sebelah timur (Badanginan) Kerambitan, selanjutnya NI Gusti Ayu Ktut dari Taman Keturunan Kyayi Dawuh Pala. Tidak disebutkan isteri-isteri “Panawing”. Adapun para putera Baginda Raja yang peria, tertua bernama Sirarya Ngurah beribu Ni Gusti Ayu Ketut dari Taman, beliau yang dijadikan anak angkat oleh Ki Gusti Ngurah Kaleran Demung. Sedangkan yang terkemuka (pangarap) bernama Sirarya Ngurah Tabanan, lahir dari Ni Sagung Wayan di Jero Aseman. Lain pula dengan yang lahir dari panawing, Ki Gusti Ngurah Made Penarukan, Ki Gusti Ngurah Gede Banjar. Demikian pula yang lahir dari Ni Mekel Sekar dari Tatandan bernama Ki Gusti Ngurah Nyoman, dan Ki Gusti Ngurah Rai. Sedangkan putera Baginda yang wanita bernama Sagung Ayu Gede, selanjutnya Sagung Ayu Gede Rai, lahir dari permaisuri pendamping Baginda Raja, dan lahir dari ibu yang lain bernama Ni Sagung Rai.
54
Adapula seorang anak angkat Baginda Raja bernama Ki Gusti Made Oka Putera Kyayi Pangkung, yang meninggal dunia di Antasari. Ya, kemungkinan pada masa-masa serupa itu baginda Raja menghadiahkan “Putropadana”, kepada Ken Nyarikan Dangin Peken, dengan jalan Baginda Raja melakukan hubungan kelamin (persetubuhan) dengan isteri Pan Sari yang sedang muda dan cantik, tidak dicampuri oleh suaminya (Pan Sari) / kemudian lahir seorang anak peria, ia dianugrahi kebesaran serupa dengan para pejabat di luar istana (para angrurah jabayan) diangkat menjadi manca di luar kota (jawaning kori) dan diijinkan menggunakan “wadahe maheng-aheng) usungan mayat berhias), demikian riwayatnya dahulu. Suatu keterangan bahwa baginda Rajaputra Sirarya Ngurah Tabanan tidak bermukim di Puri Agung, tetapi berdiam di tempat kelahiran ibundanya, sebab pada masa lalu ketika mula-mula ibunya hamil, entah apa alasanya beliau dipindahkan ke rumahnya semula di Jero Aseman Kurambitan. Setelah cukup umur janin di dalam kandungan sang ibu, maka lahir serorang bayi laki-laki yang cantik tampan mukanya, telah dirawat sesuai perawatan seorang bayi sampai berusia tiga bulan, namun tidak menggunakan upacara sesuai seorang anak raja besar ,hanya dilakukan upacara sederhana (pacacolong) saja . Kemudian air susu ibunya terputus, itulah sebabnya sang bayi dititip pada istri seorang “brahmana” sampai dengan isteri “ksatriyanya” tetapi sang bayi tidak mau menetek, yang disenangi adalah seorang ibu dari orang kebanyakan (sudrawangsa) isteri Pan rawuh dari dusun pakandelan bernama Men Rawuh. Kebetulan beranak laki-laki, ia dititahkan untuk menyusui bayi baginda Raja barulah mau menetek seperti biasanya, berganti-ganti dengan anak kandungnya sendiri. Entah berapa tahun sudah usia Baginda Rajaputra, setelah tidak menyusu lagi barulah beliau diajak pulang ke Puri Agung Tabanan bersama ibundanya. Sedangkan pengasuh baginda tetap tinggal di rumah bersama anaknya yang bernama I Rauh, tetapi amat bodoh, sampai umurnya meningkat dewasa. Adapun Baginda Rajaputra telah menetap di Puri Agung, itu merupakan suatu sebab keluarga “panawing” nya semua, tidak melaksanakan upacara kebesaran raja-raja pada saatsaat meniga bulan seorang anak hanya secara sederhana (binajang colong) saja, demikian diwarisi hingga sekarang, seperti halnya di Puri Anom dan di Puri Anyar Tabanan, begitu riwayatnya dahulu.
55
Begini penjelasan tentang beliau yang berkendudukan di Puri Kaleran, yaitu Ki Gusti Ngurah Kaleran Demung, beliau sangat terpuji dalam ilmu pengetahuan serta kebijaksanaan mahir ilmu kerokhanian, itulah sebabnya beliau melakukan penyucian diri (adiksa krama) hanya sayang beliau tidak berputera, maka beliau mengangkat seorang putera Baginda Raja, yang tertua beribu dari taman, dijadikan putera di Puri Kaleran. Ada pula putera Kyayi Pangkung yang meninggal dunia di Antosari, bernama Ki Gusti Wayan Kompiang, itu juga dijadikan anak angkat oleh Ki Gusti Ngurah Made Kaleran Demung. Entah berapa tahun berselang setelah cukup lanjut jusia baginda Raja Kedua (Pamadhe) Bagindapun kembali ke alam baka, tidak diceriterakan upacaranya yang sempurna. Setelah wafatnya Ki Gusti Ngurah Kaleran Demung, digantikan oleh Putera angkat Baginda bergelar Ki Gusti Ngurah Made Kaleran, hentikan penuturannya sejenak. Penuturan kembali dengan menceritakan Baginda Raja di Puri Agung, tak terlukiskan bagaimana cara Baginda mengendalikan pemerintahan, tetap sebagai pada masa-masa yang lampau, terutama pada saat berperang menghadapi pasukan Baginda Raja Menguwi, diperkirakan kebetulan pada masa menjabatnya Gusti Agung Nderet sebagai Sedehan Agung di Menguwi, demikian pula ketika Ki Gusti Agung Kompiang di Sembung Sobangan gugur disergap oleh pasukan Marga. Nah…. Tersebulah entah berapa tahun lamanya, Baginda Raja sebagai junjungan di negara Tabanan, sampai umur Baginda telah lanjut akhirnya beliau pulang ke alam baka, telah diselenggarakan upacara selengkapnya serta didudukan di atas usungan kembar (salu kembar) tidak terlukiskan kesedihan rakyat seluruhnya. Sebab putera – putera baginda belum cukup dewasa, belum mampu mengemban tugas negara. Entah berapa bulan antaranya, tampak suatu tanda dari Sang Maha Pencipta, menghendaki perubahan istana lalu ada api gaib yang tak tentu asal mulanya menghanguskan seluruh Puri Agung Tabanan, terbakar hancur tak kuasa ditolong oleh manusia, hanya kekayaan distana terutama jenazah almarhum Baginda Raja sempat dilarikan menuju Puri Kaleran. Disana sama-sama sedih dan duka hati para menteri terutama Baginda Rajaputera, sampai dengan rakyat, seraya semuanya tampil kedepan serempak memulai membangun istana, semua sampai dengan bangunan-bangunan tempat peristirahatan di desa-desa dibawa ke istana, tak diceritakan berapa lamanya bekerja, namun karena beliau seorang raja yang banyak rakyatnya , segera telah selesai dengan tempat
56
pemujaan, candrasangkala, sunia = 0, dwara = 9, rasa=6, wulan = 1, tahun saka 1690 atau 1768. Setelah istana itu selesai maka Baginda Rajaputera dibantu
oleh para pejabat (
Bahudanda) menyelenggarakan suatu yajnya yaitu “upacara Palebon” Sri Maharaja Dewata (almarhum) amatlah megah upacara “Palebon” itu dilanjutkan dengan upacara “Pitra-Yadnya” tidak menyimpang seperti adat kebiasaan pada masa lalu, selesai. Nah dikisahkan pula Baginda Raja kedua yaitu Ki Gusti Ngurah Madhe Kaleran, entah berapa tahun lamanya Baginda memegang kekuasaan datanglah panggilan sang Dewa Maut bagindapun wafat menuju Alam Buda (Budalaya) karena teserang penyakit cacar, tak terlukiskan upacara pemakaman (binasahan) jenazah Baginda, sampai dengan upacara “Pengrapuhan” telah selesai, itu sebabnya Baginda disebut Bhatara Mur Mabasah. Ketika Baginda wafat tidak meninggalkan putera pria, hanya seorang putera wanita bernama Ni Sagung Putu, oleh karena itu Baginda Rajaputera di Puri agung Tabanan yang bernama I Gusti Ngurah Rai di masukkan ke Puri Kaleran, dijadikan putera angkatnya Bhatara Mur Mabasah, selanjutnya bergelar I Gusti Ngurah Made Kaleran. Adapun sang Rajaputri kemudian diserahkan kepada I Gusti Ngurah Rai di Jero Kompiang, tak diceritakan lagi. Maka kembali dikisahkan pula, setelah wafatnya Bhatara Cokorda Angrurah Agung di Puri Agung Tabanan, digantikan oleh putra Baginda yang terkemuka, bersama Sirarya Angrurah Tabanan, dengan gelar Sirarya Angrurah Tabanan, Raja Singasana, rakyat menyebutnya Bathara Cokorda, amat cantik dan tampat diri pribadi baginda, bertingkah laku baik peramah kepada seluruh rakyat tidak lupa berkemas-kemas memperdalam pengetahuan aksara suci sampai dengan ilmu bahasa, pintar dalam hal sastra kerokhanian, namun sayang usia Baginda belum cukup tua, belum menguasai cara memerintah negara, maka tetap diasuh oleh para menteri yang terkemuka. Sirarya Ngurah Gede Pasek yang berkedudukan di Kerambitan turun pula Kyayi Putu Yuta, Kyayi Putu Balang di Marga, semua itu menjabat menteri “keamanan negara”, tidak lupa pula Kyayi Gede Subamiya lebih-lebih Sirarya Ngurah Made Kaleran karena sebagai raja kedua (pemade). Sedangkan adik-adik baginda (paraprya nira) sama-sama pindah rumah, yaitu I Gusti Ngurah Made Panarukan bermukim di Puri Anyar, I Gusti Ngurah Gede Banjar bermukim di Puri Anom Saren Kangin, I Gusti Ngurah Nyoman di Puri Anom Saren Kawuh, sedangkan yang bungsu dipilih menjadi akhli waris di Puri Kaleran, dijadikan anak angkatnya Batara Mur Mabasah, yang selanjutnya digelari
57
Sirarya Ngurah Made Kaleran, semua mereka itu mempunayi keturunan di tempat masingmasing. Begini tentang ketiga orang puteri Baginda Raja yaitu Sagung Ayu Made bertugas mengurus segala kekayaan termasuk upacara di Pura Leluhur (batur padharman), selanjutnya Ni Sagung Ayu Gede Rai bertugas mengurus konsumsi, sedangkan Ni Sagug Rai diserahkan kepada I Gusti Ngurah Made di Puri Anyar Kerambitan, yang wafatnya kemudian melalui jalan “Paramasatya” mengikuti jejak suami. Diceritakan pula pada masa bertakhta baginda raja yang masih berusia muda (Sang Natha Anom) Negara aman dan sentosa seperti pada masa almarhum ayahnya baginda bertakhta, seluruh rakyat segan dan cinta demikian pula para pejabat sebab selalu baginda Raja menegakkan kebeneran, teguh dan konsikuen, tidak melalaikan pemujaan kepada leluhur, sujud kehadapan Tuhan, dan banyak pula kegiatan peningkatan pengetahuan baginda dahulu, bagaimana umpamanya, mendalami tentang karya sasatra kerokhanian, mengetahui huruf Melayu Arabin (Latya) sampai dengan bahasa pergaulannya, mempunyai pengetahuan luas sampai dengan ke pulau Jawa, sebab pada masa-masa lalu Baginda sering menginggalkan keraton pergi diam-diam bertolak dengan jukung dari Yeh Gangga berlabuh di pantai Kuta, bergurau dengan seorang berkembangsaan Belanda bernama Tuwan Langa. Pada waktu pertama kali tidak diektahui kemana pergi baginda Raja oleh penghuni istana, maka panik hati para punggawa dan rakyat diduga bahwa Baginda Raja diculik oleh pasukan Mengwi, sehingga rakyat dan para menteri semua siap siaga hendak menggeledah, menyerang ke Mengwi. Segera dihalangi oleh Ken Nyarikan Dangin Peken karena belum tepat tindakan serupa itu. Dalam waktu singkat tiba-tiba Baginda Raja kembali dari Kuta sampai di negera Tabanan, menyebabkan kegembiraan seluruh penduduk negeri. Tentang Tuwan Langa mungkin seroang pembesar Belanda dan banyak mempunyai serdadu Belanda, dan banyak perumahan (pasanggrahan) di masing-masing negera diantarannya Tabanan di sebalah utara Jero Bang. Baginda Raja Anom konon mempunyai buah pena Kidung Nderet dan Bagus Ewer, demikian kisahnya dahulu. Diceritakan bahwa pada tahun Sa 1716 (Th. 1794 Masehi) ketika negara Klungkung diserang oleh Belanda bermarkas di desa Kusamba, disana Baginda Raja Tabanan pergi ke negara kerajaan Smarapura (Klungkung) tampil sebagai pemuka untuk mengadakan perundingan dengan kepala pasukan serdadu Belanda untuk mengusahakan keselamatan negara dan ternyata berhasil baik pihak Belanda mengurungkan rencananya maka mulai saat
58
itu negara-negara Klungkung, Tabanan, Badung, membuat suatu perjanjian persahabatan dengan Pemerintah Belanda, mungkin pula sampai negara-negara yang lain. Dikisahkan pula kejadian di negara Tabanan bahwa ada seorang gadis di Puri Marga hendak dijodohkan dengan Baginda Raja Singasana, ternyata gadis itu diambil dengan paksa (cinolong oleh Kyayi Gede Kranyah di Puri Blayu. Hal itu disampaikan oleh Baginda Raja Singasana kepada Baginda Raja Mengwi tetapi Baginda tidak berkenan mengambil dan menyerahkan oknum yang langsung berdosa, lalu Baginda Raja Singasana amat murka, itulah sebabnya semakin tegang permusuhan anatara negara Tabanan dan Mengwi, tertutup untuk seluruh penduduk tidak boleh melewati batas wilayah, sering menimbulkan percecokan antara rakyat Tabanan dengan Mengwi, sergap menyergap,serbu menyerbu hingga tak terbilang yang mati dan menderita luka-luka. Demikian sesudah Kyayi Gede Kranyah berbuat memutuskan hubungan itu, ada gadis dari Marga tiga bersaudara sama-sama cantik molek dipersembahkan kepada baginda Raja Singasana, untuk meredakan kemarahan hati Baginda Raja. Seroang menjadi istri di Puri Agung berputera seorang pria, seorang lagi menjadi isteri di Puri Kaleran berputera seorang wanita, dan yang seorang lagi di Jero Subamia, hentikan penuturannya sejenak. Tersebutlah Baginda Raja Singasana, famili sebagai pelayannya bernama Kyayi Made Ngurah di Jero Putu, Ngurah Putu Timpag nama lainnya, anak dari I Gusti Wayan Kompyang itu Jero Kompiang, ia pernah memohon restu kehadapan Dewa (Hyang) di Pura Kelong, apabila berhasil disayang oleh Baginda Raja, ia berkaul memepersembahkan sajen dengan daging guling manusia, para Dewa pun berkenan memberikan anugerah, sehingga sangat dicintai oleh Baginda Raja. Ternyata semakin bingung hati Baginda Raja, terpengaruh oleh kelancangan Kyayi Made Ngurah segala apa yang dikemukakan selalu diterima oleh Baginda Raja, maka semain muncul sifat angkara murka Kyayi Made Ngurah bececok dengan para menteri, sampai-sampai membuat daya upaya menghasut rakyat para punggawa dan seluruh rakyat dalam negeri kacau balau, karena kebusukan siasat Kyayi Made Ngurah bekerjasama dengan orang-orang berbudi rendah dan jahat, membenci orang-orang berbudi luhur. Lama kelamaan semakin besar niat Kyayi Made Ngurah, tidak menghiraukan kemampuan atau kekuasaan orang lain, maka ia berbuat mesum berhubungan gelap (anyolong) ke puri dengan Sang Rajaputri yang bernama Sagung Ayu Gede, akhirnya ia
59
mambuk asmara terpukau diam di istana, disana melonjak kemarahan para menteri. Ketika memperoleh kesempatan, mereka hendak membalas dengan antara lain Sirarya Ngurah Gede Kurambitan, Sirarya Ngurah Gede Kediri, dibantu oleh Kyayi Putu Yuta, Kyayi Putu Belalang, semua bertekad bulat hendak menyerang istana. Lalu timbul suatu taktik Tuan Langa agar tidak terjadi huru hara di istana. Atas anjuran Tuan Langa, berkenan Kyayi Made Ngurah keluar meninggalkan istana, sebab dinyatakan akan diutus pergi ke Wangaya. Setelah Kyayi Made Ngurah tiba kembali di rumahnya berkemas-kemas akan berangkat, didahului oleh para pengiring membawa perlengkapan yang patut dibawa pergi. Baru saja tiba di sebelah selatan Pasekan maka mereka yang membawa perlengkapan itu disergap oleh laskar Kediri hingga kacau-balau pengiring Kyayi Made Ngurah sehingga meninggalkan barangbarang yang dibawanya. Ada yang memberitahukan ke Jero Putu, maka Kyayi Made Ngurah mengunci pintu karena rumahnya terkurung oleh pasukan para menteri dan ia membulatkan tekad serta membunuh seisi rumahnya serta membakar rumahnya, hancur lebur tanpa sisa sampai dengan penduduk seisi rumah termasuk Kyayi Made Ngurah. Dalam keadaan demikian pasukan penyerang pun bubar, kemudian keamanan dan kesentosaan negara kembali sebagai sedia kala. Ada istri Kyayi Made Ngurah yang masih hidup karena kebetulan berada di ruamahnya sendiri juga sedang hamil kemudian melahirkan anak, yang melanjutkan keturunan, seterusnya disebut soroh Ngurah di Pasekan. Dan entah berapa lama berselang, tersebut bahwa I Gusti Agung, Putera dari Mengwi sekluarga bermukim , Gede di Tabanan, entah apa pula sebabnya. Ada anaknya wanita yang menikah dengan Ki Gusti Ngurah Made Panarukan di Puri Anyar Tabanan. Entah berapa bulan lamanya I Gusti Agung Gede Putera mengabdikan diri di Tabanan, timbul niat durhaka berbuat kurang senonoh (sanggrahakarma) di Puri Agung, menyebabkan kemarahan Baginda Raja berdua, Puri Gede dan Kaleran, hendak dihancurkan Ki Gusti Agung Gede Putera. Ketika memperoleh kesempatan Ki Gusti Agung Gede Putera pergi kembali ke Mengwi, sehingga ia luput dari bahaya, itulah sebabnya curiga hati Baginda Raja Tabanan kepada adiknya yang di Puri Anyar, karena bermertua dengan yang telah pindah (I Gusti Agung Gede Putera), diduga mungkin ia memberikan jalan hingga luput dari bahaya. Tetapi ki Gusti Ngurah Made Panarukan bersitegang tidak mengaku berbuat demikian, itulah sebabnya beliau dijatuhi keputusan untuk mengangkat sumpah.
60
Diceritakan pula tentang peperangan Tabanan melawan Mengwi ketika sedang menjabat Ki Gusti Agung Made Raka sebagai pengawal pribadi Baginda Raja Mengwi, dengan keras berusaha agar memperoleh kemenangan, sehingga menyerah seluruh wilayah Marga. Tetapi penguasa wilayah Marga sampai dengan Perean semuanya meninggalkan rumah pergi ke Tabanan. Pada saat itu Sirarya Ngurah Made yang berkuasa di Kurambitan, terdesak peperangan di marga, dengan demikian maka negara Marga dikalahkan oleh Megwi. Kemudian daripada itu kira-kira berselang satu tahun berkat wahyu Dewa (Hyang) di Tambawaras negara Marga diserang oleh laskarr Tabanan, dalam waktu singkat mundur pasukan Menguwi yang mempertahankan daerah Marga lalu tanpa perumpahan darah seluruh wilayah Marga berhasil dikuasai oleh Baginda Raja Tabanan seperti masa-masa yang telah silam laiknya. Adapun para penguasa di daerah Marga dan Perean sama-sama kembali kerumahnya masing-masing, tidak diceritakan kelanjutan perang itu. Kembali diceritakan pula, Baginda Raja Singasana, banyak istrinya, banyak pula putera Baginda. Adapun jumlah isteri Baginda Raja yang terkemuka sebagai pendamping Raja bernama Ni Sagung Made Sekar, puteri dari Sirarya Ngurah Gede Pasek di Kurambitan. Dan permaisuri selanjutnya, yaitu puteri dari Marga Lod Rurung, dari banjar Ambengan, dari Senapahan, dan isteri dari orang kebanyakan (Paniwing) kira-kira lima puluh orang jumlah isteri Baginda. Sedangkan jumlah para putera Baginda yang laki-laki, tertua bernama Sirarya Ngurah Gede Marga, beribu dari Marga, yang telah dituturkan di depan itulah yang bertempat tinggal di Puri Denpasar di sebelah utara Jero Beng. Adiknya Ki Gusti Ngurah Putu beribu Ni Mekel Karang dari Antasari, bermukim di Puri Mecutan Banjar Sakenan Kelod, dan Sirarya Ngurah Rai Perang beribu Ni Gusti Ayu dari Lod Rurung. Lain lagi yang beribu panawing Ki Gusti Ngurah Nyoman Pangkung, Ki Gusti Made Batan sama-sama bermukin di Puri Dangin berhampiran di sebelah utara Puri Mecutan. Dan yang masih berada di istana yang tekemukan Sirarya Ngurah Agung, lahir dari permaisuri pendamping Baginda Raja. Ki Gusti Ngurah Gede Mas beribu Ni Mekel Kaler saking Pohgending, yang bungsu Sirarya Ngurah Alit lahir dari Gusti Luh Senapahan.
61
Adapun anak Baginda yang wanita sembilan orang jumlahnya, namanya masingmasing, Sagung Istri Ngurah, lahir dari permaisuri, pendamping Baginda Raja (Sadhampati), Ni Sagung Ayu Gede beribu dari Lod Rurung, bungsu Ni Sagung Ayu Wah beribu dari banjar Ambengan. Yang beribu panawing namanya, yaitu : Ni Sagung Rai, atau Ni Dewa Katu nama lainnya, selanjutnya Ni Sagung Nyoman Pejaten, Ni Sagung Made Kembar, Ni Sagung Putu Galuh, dan Ni Sagung Ketut Puteri, terhenti ceritanya sejenak. Tersebutlah beliau di Puri Kaleran, Sirarya Ngurah Rai Made Kaleran, beliau berputera dua orang. Yang sulung wanita bernama Ratu Istri Ngurah lahir dari permaisuri pendamping (sadampati) dari Marge yang telah diceritakan di depan, adiknya Sirarya Ngurah Made beribu Ni Mekel Dangin dari Pejaten. Entah berapa tahun lamanya Sirarya Ngurah Rai Made Kaleran bertakhta sebagai Raja Kedua (Pamade) dirapada Raja Singasana, Bagindapun berpulang menuju alam baka, tidak diceritakan upcaranya yang telah selesai sempurna. Maka setelah wafat Baginda Raja Pamade digantikan oleh putera Baginda yang selanjutnya dilantik dnegan gelar Sirarya Ngurah Made Kaleran, Baginda buat pertama kali terkenal dalam masyarakat disebut Ida I Ratu sebagai pendamping peridadi Baginda Raja Singasana, amat termashur ketika baginda bertakhta dengan wibawanya, lahir dalam hal filsafat lahir dan batin, terkenal di masyarakat, baginda pandai terbang di udara, tak ada bandingnya dalam hal kebesran wibawa, demikian riwayatnya, tidak dilanjutkan. Dan selanjutnya diceritakan yang berkedudukan di Puri Agung Tabanan, ada seorang isteri panawing dari desa Cepik amat dikasihi oleh Baginda Raja, hampir-hampir lupa baginda kepada para isterinya yang lain, lalu amat susah hati para pejabat dan sang Rajaputera, maka diusahakan tipu muslihat mencari kematian Si Mekel Cepik, ketika berada dipondoknya, disana ditutup badanya dengan gedeg, diinjak-injak diatasnya hingga ia meninggal dunia. Tersebar di masyarakat, serta dilaporkan kepada Baginda Raja, bahwa meninggalnya akibat tertimpa gedeg, terhenyak hati Baginda Raja. Entah berapa lama berselang Baginda Raja ingin menyerahkan Puteri Baginda Ni Sagung Wayan Kandel, dijodohkan dengan Kyayi Ngurah Rai Demung putera Sirarya Ngurah Gede, cucu dari Sirarya Ngurah Celuk, yang bermukim pertamakali di Puri Kediri. Karena terdorong oleh takdir ternayata timbul keaiban hati Kyayi Ngurah Wayan Kekeran yaitu kakak
62
dari Kyayi Ngurah Rai Demung. Diselubungi oleh kekuatan indira, akhirnya ia jatuh cinta kepada Sagung Wayahan Kandel akibatnya merekapun saling jatuh cinta. Entah berapa lama berlangsung ketahuan perbuatah Kyayi Ngurah Wayahan Kekeran bersembunyi (angekep) di Puri Agung Tabanan, amat susah hari Baginda Raja serta para pejabat lainnya, maka oleh I Ratu di Puri Kaleran, Kyayi Kekeran diusir hingga berakhir di Srangan Badung. Sedangkan Sirarya Ngurah Gede di Puri Kediri, dipindahkan ke Kurambitan, selama hidupnya tidak diperkenankan kembali, agar sampai akhirnya di Kurambitan, karena ia durhaka membela kesalahan puteranya Kyayi Ngurah Wayahan Kekeran. Adapun Ni Sagung Wayahan Kandel, lanjutnya diserahkan kepada Kyayi Ngurah Rai Demung, ia berputera dua orang, yang tertua wanita bernama Sagung Gede, adiknya peria bersama Sirarya Ngurah Gede, yang kemudian mengadakan keturunan di Puri Kaleran. Diceritakan bahwa pada tahun Saka 1799, leng =9 gopura =9 giri’ 7 medini=1/ pada waktu itu saat Baginda Raja Singasana, mulai mengadakan permusawaratan dengan para pejabatnya, sebagai pimpinan terdepan Sirarya Ngurah Made Kaleran, diiktui oleh para manca dan punggawa Tabanan, yaitu : I Gusti Ngurah Made Panarukan di Puri Anyar, I Gusti Ngurah Gede Banjar, I Gusti Ngurah Wayan sama-sama di Puri Anom, I Gusti Ngurah Alit Putu Dudang di Jro Oka, I Gusti Ngurah Nyoman Karang di Jero Beng, I Gusti Gde Taman di Jero Tegeh yang terutama para pejabat tinggi negara (amancanagara) I Gusti Ngurah Gede Anom di Puri Gede, dan I Gusti Ngurah Putu di Puri Anyar sama-sama di Kurambitan, ikut pula I Gusti Ngurah Made Pangkung di Puri Kediri, tidak luput I Gusti Gede Putera di Marga, dan I Gusti Gede Nyoman di Puri Perean, tidak lain memusawarahkan tentang peraturan negeri, lanjut dibuat naskah tertulis, hingga ada “Paswara” diwarisi hingga sekarang. Diuraikan lagi tentang perilaku Baginda Rajaputra di Singasana, beliau Arya Ngurah Agung, tertarik minatnya pada kegiatan membauat alat-alat dari besi (pande besi) dan berburu. Dengan demikian amat senang hati seluruh rakyat., karena tanaman-tanaman berhasil baik, setiap yang dilalui oleh Baginda Rajaputra. Entah berapa tahun lamanya, mungkin dalam tahun saka, swara=7 akasa =0 murti=8 bhuh=1, 1807 (tahun 1885 Masehi), ajal hendak merenggut jiwa, maka wafat Sirarya Ngurah Agung menuju alam Buda, karena menderita penyakit cacar. Tidak terkatakan sedih dan duka seluruh rakyat, maka diselenggarakan upcara jenazah selengkapnya yang disebut “Ngerapuh” (khusus untuk korban penderita cacar) mulai saat itu almarhum disebut Batara Madewa. Sejak wafatnya Bagida Rajaputra, semakin lemah
63
hati Baginda untuk menanggapi persoalan yang akan datang, akhirnya Ki Gusti Ngurah Gede Mas dicalonkan karena Baginda Raja sangat cinta kepada ibu Ki Gusti Ngurah Gede Mas, yang bernama Ki Jero Kaler Pohgending terus sampai kepada puteranya, namun Ki Gusti Ngurah Gede Mas kurang berilmu hanya menekuni gambelan, tabuh dari joged dan legong tidak dilanjutkan. Kini disambung ceritanya tentang peperangan antara Tabanan dan Menguwi, sejak Ki Gusti Agung Made Raka digantikan oleh puteranya yang bernama Ki Gusti Agung Made Ngurah Krug, sebagai pengawal pribadi Baghinda Raja Mengwi, entah bagaimana awal mulanya timbul percecokan antara Badung dengan Mengwi, selanjutnya bermusuh-musuhan. Itulah suatu alasan negnara Menguwi digempur, direbut oleh Baginda Raja Tabanan dan Badung. Entah berapa tahun lamanya pertempuran itu, maka pada tahun saka, samudra = 4 Rupa = 1 gaja = 8 bhumi = 1, 1914 (tahun 1892 Masehi) negara Mengwi dapat dikalahkan oleh Badung dan Tabanan. Baginda Raja Mengwi berperang habis-habisan di sebelah barat Menguwitani, disergap oleh pasukan bersenjata Badung, dengan kepala perang Kyayi Alit Raka Debot, tak terbilang jatuh korban dan yang menderita luka-luka. Yang masih hidup, para pejabat dan para putera Raja, antara lain Ki Gusti Agung Made Ngurah Krug bersama para pembelanya semua meninggalkan medan perang, melarikan diri menuju Gianyar, memohon perlindungan di Ubud, itulah sebabnya Ki Gusti Ngurah Putu Teges di Kabakaba menyerah dan menghormat pada Puri Kaleran Tabanan sampai dengan rakyat daerah-daerah kekusaannya. Selanjutnya manca Blayu, Kukuh, sampai dengan rakyat wilayah kekuasaannya dipersembahkan sebagai imbalan kepada baginda Raja Singasana, demikian Kyayi Gede Kranyah di Belayu meninggal dunia dengan meracun diri, karena ingat akan keburukan siasatnya dahulu, ketika menggelapkan kekasih Baginda Raja Singasana, demikian akhir pertempuran itu. Setelah damai pertikaian itu, tercipta suatu perjanjian antara Baginda Raja Badung, Tabanan, Gianyar, tiga serangkai di Badung, pada saat itu pergi Sirarya Ngurah Made Kaleran bertindak sebagai diri pribadi Baginda Singasana diikuti oleh para Raja manca para pejabat yang lain serempak seluruh wilayah kekuasaan Tabanan. Setibanya di Badung, disana Baginda Raja bertiga sampai dengan para bersama dengan para manca dan pejabat-pejabat yang lain, sama-sama mengangkat sumpah (padewa-saksi) di Pura Nambagan, suatu tanda
64
bersatu tujuan dalam persahabatan Baginda Raja bertiga. Setelah itu maka bagi Raja Gianyar I Dewa Pahang pun kembali pulang. Sedangkan Baginda Pemuka kerajaan Singasana masih menginap semalam di Puri Pemecutan, keesokan harinya Baginda mampir di Puri Denpasar. Ktika Baginda sedang santap, tak terasangka-sangka baginda ditikam oleh Kyayi Ngurah Rai dari Jro Beng Kawan dengna krisnya I Ratu di Puri Kaleran anugrah Baginda Dalem dahulu, ketika sempat mempersembahkan burung perkutut berwarna hitam. Disana Sirarya Ngurah Made Kaleran wafat, maka panik semua orang di istana, suara kentongan bertalu-talu, lalu berhamburan rakyat sewilayah Badung, dengan senjata lengkap bersama-sama menuju istana. Tak terlukiskan sedu sedan para pejabat dan rakyat Tabanan, Badung, semkua merasa amat sedih, dan duka, karena sangat cinta kepada Baginda yang telah wafat. Adapun penjahat itu telah dibunuh sementara masih berada di istana oleh rakyat, terutama Si Agung Celebug di Badung. Mayatnya ditarik keluar istana melalui lubang pembuangan air (Sombah = bhs. Bali). Dan rekan-rekan Ki Gusti Ngurah Rai Jro Beng Kawan, yang masih tinggal di Tabanan seluruh keluarganya di bunuh semua tanpa kecuali (Kneng waktu gumulung). Jenazah almarhum San Ratwing Kaleran, dihusung kembali ke Tabanan, serta dikebumikan di Taman, tak terkatakan upacaranya yang telah selesai dengan sempurna, itulah sebabnya almarhum disebut I Ratu Karuwek Ring Badung (Baginda yang diamuk di Badung). Demikian setelah wafatnya Baginda Raja Kedua (pamade) Singasana, digantikan oleh putera Baginda yang masih muda serta sangat tampan, berkulit putih, badan besar semampai (nampak) bernama Sirarya Ngurah Alit Pacung, lahir dari ibu panawing berasal dari Gubug bernama Ni Mekel Sekar beliau diangkat sebagai Raja Kedua, bertindak sebagai wakil (anggabhaya), Baginda Raja Signasana, selanjutnya bergelar Sirarya Ngurah Alit Made Kaleran, I Ratu Sebutannya yang lain. Ada tiga orang adiknya wanita belum dewasa, yaitu : Ni Sagung Rai beribu Ni Mekel Dapa dari Belalang, dan yang lahir dari ibu lain Ni Sagung Oka serta Ni Sagung Nengah. Bahwasanya ketika bertakhta I Ratu Alit Ngurah Made Klaeran, amat tersohor tentang kebesaran dan kewibawaan baginda, kata-katanya penuh arti tegas dan tepat, tidak ingin dicela, labih-lebih pula tidak hendak disamai kewibhawaannya diantara para raja, maka
65
tunduklah seluru rakyat dalam wilayah negara Tabanan segan kepada Baginda, tidak diceritakan lagi. Nah ditambah pula dengan suatu keterangan, tersebut bahwa Baginda Raja Singasana, setelah wafat cucu Baginda yang terbunuh di Badung, amatlah duka cita Baginda merasakan tanda-tanda buruk yang menyedihkan itu. Kala itu awal mula Baginda mndapat ilmu pawayangan sebagai pelupur duka, sehingga konon banyak wayang milik baginda mungkin sampai sebelas peti, bahkan ada pula yang dihiasi dengan emas dan permata yang indah. Lama kelamaan, datang pula dorongan masa kehancuran (kaliyuga, Sanghyang Klantakan mencari mangsa, sebab telah tiba saatnya bahwa berganti tunggul, ternyata wafatnya putera Baginda Raja yang bernama Ki Gusti Ngurah Gede Mas yang diindamidamkan untuk menggantikan takhta kerajaan. Disana gelap hati Baginda Raja, diselubungi persaan duka nestapa bagikan Baginda tidak melihat dunia rasanya, hampir pingsan Baginda dalam waktu sejenak, tidak dikatakan pula kesedihan rakyat kemudian barulah diupacarai sesuai seorang raja besar hingga selesai sampai dengan pengiring “Satya” seekor kuda “rajeg wesi” bernama I Brengbeng ikut pula dimasukkan ke dalam unggun api. Setelah wafat Ki Gusti Ngurah Gede Mas, tidak lain putera Baginda Raja yang bungsu laki-laki bernama Sirarya Ngurah Alit Senapahan, beliau diidam-idamkan oleh rakyat untuk menggantikan takhta kerajaan kelak, sebab beliau menekuni filsafat-fisafat kerokhanian tidak senang akan perbuatan asusila, tidak dilanjutkan kisahnya. Kembali diceritakan tentang Baginda yang di Puri Kaleran, beliau Arya Alit Ngurah Made Kaleran. Setelah cukup batas waktunya (sengker) kerangka jenazah ayah Baginda yang dibunuh di Badung, dlaam kandungan ibu pertiwi, baginda menyelnggarakan “Yadnya” Patitiwan” (upacara jenazah), sungguh amat mengagumkan upacara itu, dari dulu tidak pernah seperti sekarang semaraknya, semua bagunan, pintu, tembok, tangga, sampai dengan cabangcabang pohon kayu di depan istana semua dihias dibunkus dengan kain, tak terbilang suara tabuh-tabuhan, dan barisan arak-arakan amat ramainya. Dalam keadaan demikian untuk pertama dibuka tembok batas pokok istana, sebelah utara buat jalan husungan jenazah (bada) menuju tempat perabuan. Telah selesai upacara “Pelebon” dilanjutkan dengan upacara “Ligia”. Pada saat-saat sedemikian Sirarya Ngurah Alit Senapahan meninggal dunia terserang penyakit demam panas, tak terlukiskan betapa sedih hati rakyat terutama Baginda Raja
66
Singasana. Jenazah Baginda telah dikebumikan di pemakan karena belum berselang satu tahun sejak “Palebon” Ki Gusti Ngurah Gede Mas. Lama kelamaan hingga pada tahun Saka, agni =5 (3?) locana =2 Basu = 8 Candrama = 1, yaitu 1825, atau Tahun 1901 Masehi, pada saat berjangkit wabah cacar pada waktu itu Sirarya Ngurah Alit Made Kaleran berpulang menuju alam Buda (Budalaya) maka tak terlukiskan duka cita rakyat terutama Baginda Raja, terasa dalam hati seperti mepersingkat kehidupan saja, Baginda menyadari akan hancurnya kerajan Singasana, karena semua telah tiada yang diharap-harapkan untuk menjadi pemipin negeri, oleh sebab itu Sirarya Ngurah Gede Kediri dinobatkan di Puri Kaleran, dengan gelar, Anak Agung Ngurah Gede Made Kaleran sebagai Raja Singasa Kedua (Pamadhe). Setelah itu dilangsungkan suatu “Yajna “Pangrapuhan”, upacara “Palebon” almarhum yang menuju Lam Buda (Budalaya), itulah almarhum disebut Ratu Madewa. Adapun sesudah tiada almarhum almarhum yang mangkat Madewa (Cacar) Baginda Raja Singasana ingin hendak menyerahkan puterinya, yang bernama Ni sagung Putu Galuh kepada Ki Gusti Ngurah Made Cuta di Puri Anyar Kurambitan tetapi malang pernikahan mereka, baru hanya dua belas hari sang wanita meninggal dunia karena terserang penyakit perut, tak terpikirkan sedih dan duka suaminya Jenazah diupacarai, disemayamkan di Taman Apit Yeh, karena belum dilakukan ;esjckan negeri (rinapuhan) secara sempurna, tidak dilanjutkan kisahnya. Diceritakan kembali Baginda Raja Singasana, berselang tiga tahun setelah tiada I Ratu Mur Madewa, karena usia Baginda terlalu tua, kira-kira seratus lima puluh tahun, dengan dimikian Baginda mangkat menuju nirwana, karena tidak berkenan menyaksikan, kehancuran negeri. Tak terlukiskan kesedihan para menteri pemuka-pemuka serta para putera Baginda, semua berduka cita karena tiada lagi yang bertanggung jawab sebagai kepala pemerintahan. Tidak terkatakan megah upacara yang dilakukan untuk baginda Raja almarhum. Kala itu dua orang isteri Baginda yang “Panawing” bernama Ni Luh Tegah Gandung dari Kamasan dan Ni Mekel Sanding dari desa Tegallianggah ikut serta berbelasungkawa mengakhiri hayatnya dengan jalan terjun ke dalam unggun api “Parama Satya”, upacara telah berakhir dengan sempurna sampai dengan upcara “Ligya”mulai sejak itu Baginda Raja Alamarhum disebut
67
Batara Ngluhur, Candrasangkala : samirana = 5 Dresti =2 barira = 8 (?) Rupa = 1, 1825, Tahun 1903 Masehi, selesai. Nah diceritakan setelah wafatnya Batara Ngluhur, digantikan oleh putera baginda yang bernama Sirarya Ngurah Rai Prang, I Ratu Puri Dangin nama lain beliau, kembali beliau memasuki Puri Agung Tabanan dengan sah menggantikan takhta kerajaan. Ada enam orang putera baginda yang lahir di Puri Dangin yaitu : yang sulung, Ki Gusti Ngurah Anom selanjutnya Ki Gusti Ngurah Putu Konol, wanita Ni Sagung Made Semua lahir dari ibu panawing, mereka masih tetap tinggal di Puri Dangin. Dan putera tiga orang lagi, I Gusti Ngurah Gede Pegeg Ni Sagung Ayu Oka, Ni Sagung Ayu Putu Semua lahir dari Ni Sayu Wayahan Selasih dari Grokgak Tabanan mereka itu semua ikut masuk ke Puri Agung termasuk ibunya. Bahwa sejak Ki Gusti Ngurah Rai Prang masuk kembali menempati Puri Agung, selanjutnya dilantik dan rakyat menyebutnya Da Cokorda Rai Tabanan, Raja Singasana. Ada seorang kakak Baginda bernama Ni Sagung Ayu Gede, beliau diserahkan di Geria Pasekan kepada Paranda Rai, sehingga disebut Ida Isteri Agung, namun tidak mempunyai keturunan. Bahwa selama Baginda Raja bertakhta, susana negera semakin muram terdorong oleh nasib buruk Baginda Raja, karena tidak memiliki sifat-sifat yang baik tidak berakal tidak berilmu miskin pada pengetahuan “Buanapurana” dan “Sastrasarodresta”, hanya gemar bermain sambungan serta mengisap candu. Karena terikat oleh kesenangan indria, maka tidak menghiraukan peraturan tata tertib negara, demikian pula beliau yang di Puri Kaleran Anak Agung Ngurah Gede Made Kaleran, tidak menghiraukan hakekat peraturan “Sanghyang Rajaniti” (ilmu politik), benar-benar rendah budi, demikian pula pengetahuan hal “Itihasapurana”, sedikitpun tidak ada padanya, hanya kesenangan indira diperbuatnya, terkubur akan kemewahan dan kebesaran, tidak memperhatikan kemampuan orang lain, sehingga susah bagi mereka yang berbudi luhur, kecut akan melihat kehancuran negara, demikian kenyataannya. Begitu keadaannya kira-kira selama dua tahun sejak bertakhta Cokorda Rai sebagai pelindung negara Tabanan, timbul perbuatan kurang tepat Ki Gusti Wahayan Tegeh dengan beliau yang berada di Puri Kediri, demikian sebab musababnya. Ada tiga orang bersaudara, yang sulung bernam Ki Gusti Wayahan Tegeh, Selanjutnya Ki Gusti Made Tegeh dan lahir dari ibu yang lain Ki Gusti Rai Tegeh bermukim di Jro Tegeh disebelah utara Puri Kaleran,
68
sebelah selatan Jro Beng, sebagai pejabat (bahudanda) baginda di Puri Kediri adalah putera dari Kyayi Nyoman Tegeh, cucu dari Kyayi Wayahan Tegeh, cicit (kumpi) dari Kyayi Putu Tegeh, keturunan dari Arya Ngurah Made Rai yang pertama kali (pendiri) Puri Kaleran. Tersebut bahwa Ki Gusti Wayahan Tegeh pernah hendak dijodohkan dengan puteri di Puri Kadiri saren Kelod, anak Ki Gusti Ngurah Alit. Sebelum dilangsungkan pernikahan ternyata duhaka Ki Gusti Wayahan Tegeh mengadakan hubungan gelap (anyolong) terhadap puteri itu, akhirnya perbuatan itu, dikentarakan, maka amat marah beliau yang di Kediri langsung memerintahkan untuk membunuh, lalu KI Gusti Wayahan Tegeh meninggalkan rumah hendak keluar daerah. Baru tiba di desa Riang segara terkejar oleh pasukan Kediri sehingga Ki Gusti Wayahan Tegeh terbunuh di Riang. Adiknya yaitu Ki Gusti Made Tegeh dibunuh di muara sungai bersama pengiringnya yang bernama Gurun Oka dari Bongan karena mengatakan setia kepada yang telah meinggal di Riang. Tetapi Gurun Oka tidak terus mati sebab lukanya tidak parah. Puteri Kediri yang dipertunangkan itu selanjutnya dihabisi jiwanya di Kediri. Adapun Ki Gusti Rai Tegeh sekeluarga dipindahkan ke Kediri Jro Lebah, selanjutnya tidak beketurunan, itulah sebab hancurnya Jro Tegeh, selesai. Dan kira-kira belum lewat setahun sudah rusaknya Jro Tegeh, pada masa bertakhta Cokorda Made Agung berkuasa di Denpasar Badung. Ada suatu kejadian yang amat berbahaya, Tuhan Yang Maha Kuasa menghendaki pegantian kekuasaan di dunia, beginilah dalannya. Ada perabu orang asing berlabuh di pantai Sanur, timbul ketidak puasan rakyat Badung tetapi tidak diketahui namanya masing-masing, selanjutnya merampas isi perahu itu, maka dilaporkan kepada Pembesarnya di Singaraja yang menjadi penguasa Pemerintah Belanada, menyebabkan kebingunan hatinya, akhirnya dilaporkan kepada Baginda Raja Badung atas kerugian Perahu itu, tidak bekenan Baginda Raja membayar kerugian karena tidak masuk akal perlakuan demikian, tetapi terus didesak, pendapat penguasa Den Bukit (Buleleng) menganggap negara Badung diwajibkan oleh atasan (katiban hulu). Entah berapa bulan berselang perundingan itu terus menerus didesa Baginda Raja Badung tetap tidak berkenan memenuhi, akibatnya timbul kemarahan penguasa Singaraja, maka tertutuplah rakyat negara Badung dilarang berbelanja di Buleleng, sampai dengan Raja Tabanan diperintahkan menutup hubungan dengan rakyat Badung sebab demikian kewjiban
69
dalam kontrak (perjanjian), dalam kata Baginda Raja Tabanan berkenan, tetapi tidak benar dituruti (dalam perbuatan) karena sependapat Baginda Raja Tabanan dnegan Badung, lebihlebih pula sebetulnya berkeluarga, itulah awal mula Raja Buleleng bertengkar dengan Baginda Raja Tabanan selanjutnya tertutup pula rakyat negara Tabanan dilarang berbelanja di dlam wilayah Buleleng, demikian awal mula Raja Buleleng bermusuhan dengan Raja Badung dan Tabanan. Tidak lama antaranya, maka diserang negar Badung oleh laskar Belanda, berlabuh di pantai Sanur, kla itu sedikitpun tidak gentar hati Baginda Raja Badung karena berpegangan teguh pada jiwa kesatrianya, akhirnya terjadi pertempurn serdadu Belanda melawan laskar Badung. Pada saat-saat sedemikian tampak tanda-tanda alamat yang mengherankan hati, langit cerah bagai disapukan, matahari bersinar kuning cahayanya, angin tidak bertiup, sampai dengan air laut tenang bagaikan tanpa riak, lebih-lebih pula pelangi memenuhi angkasa. Demikianlah alamat seorang ksatrinya besar (pahlawan) hendak menuju Sorga Dewa Wisnu. Namun tidak diuraikan jalan pertempuran itu, kira-kira empat belas hari lamanya, dari awal sampai akhir. Demikian ketika Baginda Raja Tabanan mengirim laskar, membantu untuk mengurung negara Mengwi sehingga tidak berbalik menyerang Badung. Kira-kira empa hari lamanya pasukan itu mengurung negara Menguwi maka ditarik mundur oleh para penguasa disuruh kembali karena negara Badung telah kalah. Tersebut bahwa setelah mundur laskar itu menuju rumahnya masing-masing, disana kelam kabut hati Baginda Raja Tabanan serta para pejabat bawahannya terutama beliau yang bermukim di Puri Kaleran, selalu mengadakan musawarah, bermaksud menyarah kepada Belanda. Dan telah dikirim utusan untuk menyatakan menyerah, tetapi mereka belum mau menerimanya, bila tidak Baginda Raja Singasana datang menyerah. Maka amat bingung hati Baginda Raja, kehilangan akal ibarat tak melihat dunia, terdiam kebingunan bagaikan patung
umpamanya, karena diselimuti oleh nafsu yang
berlebihan, tidak sayang kepada kebesaran dan kewibhawaan. Kira-kira lima hari sesudah kalahnya Badung, lalu tersiar berita bahwa serdadu Belanda telah bermarkas di Bringkit hendak menyerang Tabanan diikuti oleh dua buah kapal perang mengawal dari pantai laut selatan serta meledakkan meriyam dua kali terdengar, seperti api gaib jalannya peluru itu
70
sampai disawah-sawah Pasiapan dan Bongan, karena itu kecut hati rakyat semua merasa susah, lebih-lebih Baginda Raja dan para pejabat bawahannya semua bingung dalam hati memikirkan akan kehancurannya maka panik hati Baginda raja Karena tida tetap hati, kemudian memerintahkan mengibarkan bendera putih di batas daerah sebelah timur dan selatan suatu tanda menyerah kalah, diikuti oleh utusan untuk menghadap di Bringkit. Bahwa ketika matahari terbenam siang berganti malam, lalu Baginda Raja pergi duduk di atas usungan (dampa) diiringi oleh keluarga, putera, tidak jauh beliau di Puri Kaleran, ikut pula para manca punggawa Tabanan dan Kurambitan, tak terbilang banyak pengiringnya kirakira ribuan semua berjalan kaki tanpa senjata dengan tanda bendera putih, menyusur jalan ke selatan. Sampai di Kediri Baginda Raja mampir di Puri hendak meminta bantuan, tetapi Kyayi Ngurah Made Kediri tidak ikut pergi karena mengatakan dirinya menderita demam panas, maka perjalanan Baginda terus saja, sampai di Kekeran Nyuh Gading, menginap di bangunan umum (patani). Keesokan harinya pagi-pagi, mereka berangkat lagi menyusur jalan ke timur. Sampai di Kapal langsung ke utara menuju desa Bringkit. Setelah tiba disana, oleh para pejabat Belanda, Baginda Raja bersama keluarga dan putera-putera serta para pejabat bawahan kecuali rakyat diperintahkan agar menghadap kepada pembesar serdadu Belanda. Dalam pertemuan perundingan yang diadakan di halaman luar Pura Bringkit disana Baginda Raja Tabanan dan Baginda Raja Kaleran menyatakan takluk dan menyerahkan negara serta kekuasaan, segera dapat diterimanya, tetapi Baginda Raja diperintahkan agar langsung ke Denpasar, agar menghadap penguasa tertinggi Lipring, tetapi tidak ikut serta Ki Gusti Ngurah Rai di Jero Oka, katanya, “Saya mohon diri kembali pulang ke Puri agar dapat menjelaskan kepada para wanita di Puri, sehingga hati mereka tidak panik. Setelah selesai kala itu saya mengikutinya menuju dimanapun tuanku berada”. Baginda Raja mengangguk diam. Baginda yang di Puri Kaleran bersama dengan kelompok Ler Tangluk, diperintahkan mengantarkan serdadu Belanda kembali pulang ke Puri Tabanan. Maka terbagi dua perjalanan penguasa Singasana ada yang ke selatan ada yang kebarat. Tak terbilang dalam perjalanan, tersebut bahwa serdadu yang menuju ke Barat berhasil memasuki Puri Singasana, mengawal istana bermarkas di depan istana (bancingah).
71
Penuh sesak sampai halaman luar Puri Kaleran. Kepala pasukannya menumpang di Puri Anom, demikianlah detik-detik kalahnya negara Tabanan di kuasai oleh Belanda, pada Hari Minggu, (suryya), Pwon (Mahadewa), uku Kulantir, hari kelima bulan hidup, Sasih Karo (Agustus), Tahun Saka, Bhujanga = 8 Aksi =2 Asti = 8 suryya =1, 1828, atau Tahun 1906 Masehi. Adapun setelah tiba Ki Gusti Ngurah Rai Jro Oka di Puri Langsung menuju rumahnya di Jeguhu menghindarkan diri dari bahaya, ternyata tidak setia akan janjinya kepada Baginda Raja, waktu di Beringkit, durhaka nama perbuatan serupa itu. Nah lanjutkan kisah Baginda Raja Singasana yang berangkat ke selatan, tidak banyak rakyat mengiringkan, hanya tiga orang puteranya, I Gusti Ngurah Anom, I Gusti Ngurah Putu Konol, terutama I Gusti Ngurah Pegeg, tidak luput dua orang keluarga, I Gusti Ngurah Putu, I Gusti Ngurah Made Batan. Serta para pejabat I Gusti Ngurah Rai Puri Anyar Tabanan, I Gusti Ngurah Oka Putera Puri Kurambitan, dan pengiring kira-kira sepuluh orang. Pengiring yang banyak masih berada di belakang diselingi oleh serdadu Belanda, sebab perjalanan Baginda Raja dikurung oleh serdadu Belanda, mengawal di depan dan dibelaknag. Bahwa dalam perjalan Baginda Raja dapat mampir sebenar di Puri Wirasabha untuk menghisap candu. Pa/// gi dari sanam langsung pergi menuju negara Badung. Disana terasa sakit hati Baginda Raja sampai dengan pengiringnya semua lapar dan payah sebab satu hari tidak makan dan minum. Tidak diceritakan dalam perjalanan jauh malam baru tiba di ibukota Badung, disana mereka prihatin memandang ketika melihat dusun-dusun, sampai dnegan perumahan hanya sedikit yang masih utuh, kebanyakan yang hancur karena bom lain lagi yang dibakar, sampai dengan daun-daun kayu tidak menghijau lagi, berubah menadi merah, layu lunglai dan mengering karena pengaruh panasnya api. Tetapi lanjut pula perjalanan ke timur melewati sungai menuju Puri Denpasar kala itu semua heran melihat perilaku serdadu Belanda, penuh sesak memenuhi jalan raya, halaman luar istana sampai dengan ke pasar semua berwarna seragam hitam ibarat malam berawan, gelap seperti hari kelim belas bulan mati. Panjang bila diceritakan prilaku serdadu yang bersenang-senang menandakan keperkasaannya memperoleh kejayaan. Pada situasi demikian sampailah perjalanan Baginda Raja bersama pengiring memasuki gapura sebelah timur, tiba di “sumanggen”, langsung naik
72
ke loteng (tingkat atas) menghadap Pembesar Si Lipring menyatakan takluk. Lalu dikabulkan tetapi diperintahkan agar menunggu kesempatan untuk kembali pulang, apabila telah selesai pengaturan negara Tabanan, akhirnya malam, Baginda Rjaa disediakan penginapan di Pasaren Singaraja pada gedung di sebelah barat timkur, tak terlukiskan perihal jamuannya. Sedangkan para pengiring di belakang Baginda Raja Tidak diperkenankan melanjutkan perjalanan oleh para penjaga, sehingga kembali ke negara Singasana selain dari mereka yang telah mebolot ketika dalam perjalanan. Dikisahkan Baginda Da Cokorda Tabanan yang berada di Puri Denpasar Badung, baru berselang semalam. Pada pagi harinya datang para pejabat Belanda kira-kira dua belas dua belas orang jumlahnya melawat ke tempat kediaman Baginda-Baginda seraya berbincangbincang bersanda gurau, setelah
itu merekapun bubar. Tak terkatakan rakyat pengiring
Baginda, ada yang datang menyusul, ada pula yang kembali. Setelah larut malam datang Ida B agus Gelgel, Punggawa distrik Bubunan Singaraja bertindak sebagai utusan dari pejabat tinggi Belanda, menyiapkan bahwa Baginda Cokorda keesokan harinya pagi-pagi akan dipindahkan keluar menuju pulau Sasak (Lombok) bersama saudara-saudara sampai dnegan putera Baginda. Nanti setelah negara Tabanan baik, pada waktu itu diijinkan kembali pulang. Cokorda tidak membantah. Dan pertanyaan Ki Gusti Ngurah Rai Puri Anyar Tabanan dan Ki Gusti Ngurah Oka Puri Kurambitan kepada utusan itu, “Bagaimana halnya kami, apakah turut menyertainya?. Jawab yang ditanya, “terserah, tidak dilarang”. Setelah larut malam utusan itupun kembali. Setelah utusan itu pergi semakin panik hati mereka yang ditinggalkan, hati gelap tanpa tujuan, kacau balau perasaan para putera Baginda Raja, ada yang bermaksud mengakhiri Jiwanya dan ada pula hendak habis-habisan bertahan di pintu, lain pula mencelakakan sanak kelaurga atau pembantu karena enggan hatinya dikuasai. Adapun Baginda Cokorda telah bertekad bulat hendak mengakhiri hayatnya. Kala itu Baginda memotong rambut dan kuku, diperintahkan Kyayi Gede Dude agar membawa ke rumahnya, sebagai suatu tanda kematiannya akan kematiannya. Setelah Kyayi Gede Dude berangkat, semakin bingung hati mereka yang ditinggalkan, hilang keseimbangan hati gelap gulita, mabuk dan lupa diri. Ketika menjelang tengah malam, resah dan gelisah para pengiringnya, takut melihat tingkah lakku yang garang, maka berhamburan menginggalkan tempat Cokroda menuju tempat lain ada di
73
gedung sebelah barat dan digedung sebelah selatan lain pula yang didapur sungguh-sungguh berkat berkat rahmat Dewa (Hyang) mengahambat niat-niat jahat itu. Seketika turun hujan lebat disertai anging ribut kilat dan petir sabung menyambung tak henti-hentinya. Pada saat-saat serupa itu Da Cokorda menikam dirinya dengan senjata tajam, ikut serta putra beliau Ki Gusti Ngurah Gede Pegeg, berpuputan dengan jalan meminum “sari”, sehingga keduanya wafat, terguling di lantai gedung sebelah timur. Maka pada pagi harinya mereka berpihak pada Tabanan pada berkumpul mengerumuni mereka yang telah meninggal. Lain dari I Gusti Ngurah Oka serta pengiringnya Agung Wayan Pateng Tabanan masih berada di tempat persembunyian tertidur nyenyak, sebab bergadang semalam suntuk. Maka peristiwa itu segera diberikan oleh para petugas Belanda, dengan buru-buru, sama-sama datang beserta serdadu, memenuhi halaman, waktu itu mereka tertidur pulas dibangunkan oleh Punggawa Bubunan, seraya dengan cepat mereka menuju tempat mereka yang telah meninggal, demikian pula kedua jenazah itu diusung dinaikkan ke balai-balai. Setelah itu lalu Ki Gusti Ngurah Putu Mecutan, Ki Gusti Ngurah Made Batan serta Ki Gusti Ngurah Anom dan Ki Gusti Ngurah Putu Konol semua dipindahkan ke Sasak (Lombok) dengan perahu bertolak dari Sanur. Sedangkan jenazah itu tetap dijaga oleh Ki Gusti Ngurah Oka dengna para pengikutnya bersama-sama I Nengah Mas seorang kepercayaan (kaki tangan) Belanda diperintahkan sebagai pemimpin pegawai itu. Beliau Ki Gusti Ngurah Rai Tabanan serta para pengikutnya diperintahkan menyelenggarakan upacara mereka yang meninggal dunia. Kira-kria pada sekitar jam 9.00 (dawuh ro) keduia jenazah itu diusung oleh orang-orang Badung yang dipimpin Sawung Galing Gogotan. Setelah tiba di perkuburan Badung kedua jenzah itu dimandikan seraya dibakar di tempat perabuan (pancaka) maka ketika rakyat Tabanan dan Kurambitan hendak memapag (menjeput) semua dapat melihat tuannya itu. Setelah hangus kedua jenazah itu mataharipun terbenam, abu jenzahnya itu dihanyutkan di pantai Kuta oleh rakyat Tabanan. Ki Gusti Ngurah Rai Puri Anyar Tabanan dan Ki Gusti Ngurah Oka Puri Kerambitan ditumpangkan semalam di rumahnya Sawung Galing. Keesokan harinya pagi-pagi setelah diijinkan pulang oleh penguasa Belanda, mereka kembali dengan pengiringya mendarat ke barat banyak dijumpai mereka yang hendak menjemput dari Kurambitan sampai di Kaba-kaba, lalu Ki Gusti Ngurah Rai Puri Anyar
74
menuju ke Tabanan. Ki Gusti Ngurah Oka menuju ke Kurambitan, tak diceritakan bahwa mereka telah diba di rumahnya masing-masing. Demikian kisah Da Cokorda Rai Sang Ratu Singasana yang kalah di Badung, telah diceritakan sampai akhir, selesai. Nah kembali diceritakan ketika masuknya pejabat-pejabat Belanda ke negara Tabanan bersama serdadu-serdadunya, rakyat bungkam seribubasa termasuk par amanca tidak berani memandang kesigapan mereka yang memperoleh kemenangan. Disana segala kekayaan Raja dan semua sumber penghasilan Puri Agung Tabanan disita oleh pihak yang menang sampai dengan istana dirusaknya. Para wanita Baginda Raja ada yang pergi ke Puri Kaleran dan ada pula yang pergi ke desanya sendiri. Kedua orang puteri Baginda Raja Da Cokorda almarhum di Badung yang bernama Sagung Ayu Oka, Sagung Ayu Putu, sama-sama bersembunyi di rumah ibunya. Mulai saat itu tidak lagi para pemuda (truna diwajibkan bekerja pada kemancan dan kerajaan. Para pekerja diganti oleh desa yang disebut “irendedes” kini setiap hari memperbaiki jalan-jalan di desanya diatur oleh para “manca agung” terbatas pada wilayahnya semula. Tak diceritakan perihal mereka yang menang, terutama serdadu-serdadu itu setiap hari berkunjung ke desa-desa menimbulkan ketakutan rakyat sebab memang demikian ketakutan rakyat sebab memang demikian tabiat pihak yang menang. Dikisahkan pula setelah para keluarga Raja Tabanan dipindahkan ke Sasak (Lombok) kira-kira berselang sebulan oleh Pemerintah Belanda, maka Baginda Raja Putera di Puri Mecutan Tabanan bersama dengan isterinya, dan para wanita Puri Dangin yaitu para isteri dan putera Baginda yang telah berada di Lombok, juga semuanya dipindahkan ke Lombok. Adapun Ki Gusti Ngurah Nyoman Pangkung yang telah meninggal dulu kira-kira berselang dua bulan sebelum rusaknya negara Tabanan. Tinggal puteranya seorang laki-laki masih di bawah umur bernama Ki Gusti Ngurah Made Pucuk, tidak ikut dipindahkan ke Sasak telah diajak di Puri Anom, maka tamatlah riwayat kedua Putri itu. Dan setelah kira-kira tiga bulan lamanya masa Pemerintahan Belanda berkantor di halaman depan (sabha) Puri Kaleran maka timbul kerusuhan penduduk desa seperti Wongaya semua terbalik hatinya kemasukan setan (bhuta kapirangan) disebut kemasukan Dewa, maka mereka berontak hendak menghancurkan serdadu Belanda, ditokohkan Baginda Putri di Puri Ageng bernama Sagung Ayu Wah. Setelah memperoleh kesempatan para pembrontak itu berangkatt berduyun-duyun memenuhi jalanan kira-kira ribuan banyaknya semua bersenjata keris dan tombak serta
75
pentong kayu. Baru tiba di desa Twak Ilang, segera disambut oelh serdadu-serdadu Belanda seraya jatuh korban jiwa lain pula yang luka-luka, yang masih hidup segera bubar, berlari mundur seperti kambing tanpa menoleh seperti belalang yang dihalau (=belalang ketabin) berusaha menghindar agar tidak mati. Setelah itu peperangan terhenti, telah aman, demkiann sebab musababnya ketika Sagung Ayu Wah dipindahkan ke Sasak sampai dengan pemukapemuka desa dan para “Pemangku” sedang kepala-kepala pemberontak itu semua dibuang ke Pulau Jawa ada pula ke Pulau Sumatera, tidak diceritakan lagi. Demikian setelah selesai pemberontakan itu maka seluruh wilayah Tabanan dikuasai oleh pemerintah Belanda, tanpa kesulitan dan rintangan. Pada masa itu pula kekuasan pejabat “manca agung” di Tabanan dihentikan, tidak berhak menghukum mati dan menahan (pejah panjang), boleh menghukum mati tebatas pada mereka yang berontak kepada Pemerintah (angrajabhaya), lain dari itu tetap pada kebiasaannya hanti tiga tahun lamanya hasil pajak sawah-sawah pajak kelapa, kopi, sarang burung dan lain-lain dihasili olehnya, mulai tahun 1906 hingga tahun 1908 Masehi. Nah diuraikan pula sampai pada tahun Saka “sirna = 0 Dahana =3 Bhujaga 8 Rupa =1”, 1830 tahun Masehi 1908, para pejabat Belanda hendak mengatur pemerintahan maka negara Tabanan dibagi menadi empat belas bagian, tiap-tiap bagian disebut distrik, par amanca diberikan mandat pemerintahan distrik disebut Punggawa hingga sekarang. Demikian cara pembagiannya, 1/Anak Agung Ngurah Gede Made Kaleran yang terkemuka menjabat Puggawa distrik Tabanan. 2/ I Gusti Ngurah Putu Denpasar, Punggawa distrik Samsam. 3/ I Gusti Ngurah Made Kaler, Puri Anom. Punggawa distrik Timpag. 4/ I Gusti Ngurah Rai, Puri Anyar, Punggawa distrik Bongan. 5/ I Gusti Ngurah Nyoman Karang Jro Beng, Punggawa distrik Banjar Anyar. 6/ Gusti Ngurah Ketut Jro Kompiang, Pungawa distrik Penebel dan pindah bermukim disana. 7/ I Gusti Ngurah Rai, Jro Oka, Punggawa distrik Jegu tetap tinggal disna. 8/ I Gusti Gede Kompyang Jro Subamia Kawan, Punggawa distrik Gadungan, lalu bermukim disana. 9/ I Gede Nyoman Sraba, Dangin Peken, Punggawa distrik Selemadeg bermukim di Bajera. Selanjutnya para punggawa “Maca-nagara” (lima wilayah), 10/I Gusti Ngurah Gede Rai, Puri Gede, Punggawa distrik Kurambitan, Kediri, Pugawa distrik Kediri. 12/ I Gusti Made Putra, Marga, Punggawa distrik Marga. 13/ I Gusti Ngurah Rai, Puri Kaleran Kaba-kaba, Punggawa distrik Kaba-Kaba. 14/ I Gusti Nyoman Oka, Blayu Punggawa yang menerima penghasilan gaji setiap bulan. Tetapi semua dana bukti
76
“papajegan” dan “upeti” semua diambil oleh Pemerintah Belanda serta dihentikan pengaturannya, sehingga perbekel pun ditiadakan. Hanya sawah-sawah para punggawa dan perkebunan kelapa tiga tahun dibebaskan dari “pepajegan” sampai dengan Tahun Masehi 1910. Lain daripada itu semuanya dikenakan papajegan”, tidak ada yang dibebaskan kecuali milik Pura yang menjadi tanggung jawab desa (penyiwian desa) termasuk “Ulun-siwi”, itulah saat-saat berakhirnya kekuasaan Raja-raja Bali di Tabanan sampai para menterinya, demikian keterangan dahulu. Adapun para punggawa memegang pemerintahan di wilayah-wilayah, semua amat tunduk setia, tidak ada yang berani menentang segala perintah Kepala Pemerintahan yaitu Kontrolir di Tabanan yang terhormat Tuan Krun. Disana para punggawa sama-sama menekuni melaksanakan kewajibanya masingmasing dibantu oleh pemuka-pemuka desa, dengan tidak merasakan susah dalam panas teriknya matahari demikian pula pada malam hari, tidak terasa olehnya terdorong oleh rasa takut melihat dan wibawa pemerintah. Tetapi I Gusti Ngurah Putu Denpasar tidak lama memangku jabatan Punggawa distrik Samsam, karena beliau sekeluarga dipindahkan ke Sasak sehingga habis keturunan Puri Denpasar. Distrik Samsam itu dibagi, sebagian masuk distrik Timpag, Kerambitan Bongan. Adapun sesudah I Gusti Ngurah Wayahan Batu, I Gusti Ngurah Rai, sama-sama di Jro Kompiang sekeluarga ikut pindah ke Penebel, kemudian I Gusti Ngurah Rai pindah lagi ke desa Blulang. Dan I Gusti Ngurah Putu Dudang serta I Gusti Ngurah Nyoman Cateng di Jro Oka sekeluarga sama-sama pindah tempat. I Gusti Ngurah Putu Dudang mengikuti adiknya bermukim di Jeguhu, I Gusti Ngurah Nyoman Cateng bermukim di Biawung maka tamatlah riwayat Jero Oka. Adapun pasar yang dahulu berada di sebelah selatan Pura Puseh, dipindahkan, ketempat Pasar yang sekarang ini.
77
Diceritakan kembali tentang dua orang Putri , Sagung Ayu Oka, Sagung Ayu Putu Puteri Da Cokorda Tabanan Raja Signasana yang terakhir, yang wafat di Badung, mereka berdua pindah ke puri Anom Tabanan pada tahun 1910. Sesudahnya Sagung Ayu Putu menikah dengan Ki Gusti Ngurah Anom di Puri Anom kemudian berpindah dari Saren kangin dan membuat saren yang bernama Saren Taman, sekarang disebut sebagai Puri Anom Saren Kawuh. Dan Sagung Ayu Oka, pada tahun Masehi 1912, jatuh cinta dan menikah dengan Pegawai Belanda, bernama Tuan Kramer, Klerek Kontolir Tabanan, maka tamat pula riwayat pusat keturunan Puri Agung SingasanaTabanan. Ini Babad Ratu Ka Aryan Tabanan hingga selesai, disusun oleh saya keturunan Kesatria Ka-aryan Tabanan, yang bernama Anak Agung Ngurah Potrakasunu (Kompyang), pensiunan Kretopati Tabanan sebagai Angrurah Kurambitan kesepuluh, tujuh turunan telah pindah dari Puri Agung Tabanan yang mengatur susunan kalimat, diterima dan ditulis kedalam rontal oleh I Nengah Krana Guru Bantu Sekolah Desa di Blungbang dimulai pada Hari Senin (Candra), Umanis (Iswara) Uku Tolu, hari kesepuluh bulan hidup, pada bulan waisaka (kedasa=bulan April) selesai ditulis pada hari dan uku sama seperti di depan, hari ketiga belas bulan hidup pada bulan mamggasira (candrasangkala) “nawa rudhira = rah 9, panca Murddhaya = tenggek 5, pada tahun saka : dwara =9 Marggana = 5 murtti = 8 Nabi = 9 , yaitu tahun 1859 Saka atau 1937 Masehi .
SELESAI
78
Prati Sentana Ida Bhatara Sira Arya Kenceng (Ringkasan berdasarkan Babad Arya Tabanan) I.
Ida Bathara Sira Arya Kenceng (G.1) a. Shri Megada Prabu (melaksanakan Hidup Kepanditaan), Mengangkat Putra Upon Upon i. Ki Bendesa Beng ii. Ki Guliang di Rejasa iii. Ki Telabah di Tuak Ilang iv. Ki Bendesa di Tajen v. Ki Tegehan di Buahan b. Shri Megada Nata c. Kiyayi Tegeh Kori (menurunkan wangsaTegeh Kori) d. Nyai Tegeh kori
II.
Shri Megada Nata (Raja II) (G.2) a. Sirarya Ngurah Langwang b. Ki Gusti Made Utara (Madyotara) i. Jro Subamya 1. I Gusti Nengah Jero di Jro Bantas 2. I Gusti Nyoman Gede di Jro Tunjuk 3. Ni Gusti Luh Ketut Subamya 4. I Gusti Putu Pasekan di Jro Timpag c. Ki Gusti Nyoman Pascima (Ki Gusti Nyoman Dawuh) i. Jro Jambe Pemeregan d. Ki Gusti Ketut Wetaning Pangkung i. Jro Lod Rurung ii. Jro Kesimpar iii. Jro Serampingan e. Ki Gusti Nengah Samping Boni i. Jro Samping ii. Jro Titih iii. Jro Ersania iv. Jro Tengah v. Jro Den Ayung (putung) vi. Jro Bluran f. Ki Gusti Nyoman Batan Ancak i. Jro Ancak ii. Jro Angligan g. Ki Gusti Ketut Lebah (putung) h. Sirarya Ketut Pucangan/Sirarya Ketut Notor Wandira i. Menurunkan Raja Raja dan para agung di Badung
79
III.
Sirarya Ngurah Langwang (Sirarya Nangun Graha) (G.3) a. Sirarya Ngurah Tabanan b. Ki Gusti Lod Carik c. Ki Gusti Dangin Pasar i. Para Gusti Suna ii. Para Gusti Munang iii. Para Gusti Batur d. Ki Gusti Dangin Margi i. Ki Gusti Blambangan ii. Ki Gusti Jong iii. Ki Gusti Nang Rawos di Kesiut Kawan iv. Ki Gusti Nang Pagla di Timpag
IV.
Sirarya Ngurah Tabanan (Prabu Winalwan /Ida Bhatara Makules) (G.4) a. Ki Gusti Wayan Pamedekan (I Dewa Raka) b. Ki Gusti Made Pemedekan (I Dewa Made) c. Ki Gusti Bola i. Ki Gusti Tembuku d. Ki Gusti Made i. Para Gusti Punahan e. Ki Gusti Wongaya i. Jro Wangaya Tabanan f. Ki Gusti Kukuh i. Jro Kukuh Denbantas g. Ki Gusti Kajanan i. Para Gusti Kajanan ii. Para Gusti Ombak iii. Para Gusti Pringga h. Ki Gusti Brengos i. Ni Gusti Luh Kukuh j. Ni Gusti Luh Kukub k. Ni Gusti Tanjung l. Ni Gusti Luh Tangkas m. Ni Gusti Luh Ketut Ki Gusti Wayan Pamedekan (G.5) a. Ki Gusti Nengah Malkangin i. Ki Gusti Perot (Jro Kamasan) b. Dua orang wanita, tidak disebutkan namanya
V.
VI.
Ki Gusti Made Pamedekan (G.5) a. Putra sulung tidak disebutkan namanya bergelar Sirarya Ngurah Tabanan b. Ki Gusti Made Dalang c. Ni Gusti Luh Tabanan
80
VII.
Sirarya Ngurah Tabanan /Prabu Winalwan /Ida Bhatara Makules (G.4) (Kembali bertahta karena putra Ki Gusti Made Pemedekan Masih Kecil-kecil)
VIII.
Sirarya Ngurah Tabanan (Bhatara Nisweng Penida) (G.6) a. Ni Gusti Luh Kepaon b. Ni Gusti Ayu Rai c. I Gusti Alit Dawuh
IX.
Ki Gusti Made Dalang & Ki Gusti Nengah Malkangin (G.6)
X.
Ki Gusti Bola (G.5)
XI.
Ki Gusti Alit Dawuh (Ida Shri Magada Sakti) (G.7) a. Putra Sulung (Tidak Disebutkan Namanya) Bergelar Ratu Lepas Pemade b. I Gusti Made Dawuh i. I Gusti Lanang ii. I GUsti Kandel iii. Ni Gusti Luh Selingsing iv. Ni Gusti Luh Tatadan v. Ni Gusti Luh Sasadan c. I Gusti Ngurah Nyoman Telabah i. Ki Gusti Blumbang ii. Ki Gusti Pande iii. Ni Gusti Luh Made d. Kiyayi Jegu i. Ki Gusti Cangeh e. Kyayi Krasan i. Ki Gusti Subamya ii. Ki Gusti Bengkel iii. Ni Gusti Luh Sembung iv. Ni Gusti Luh Sempidi v. Ni Gusti Luh Wayahan Tegal Tamu f. Kyayi Oka i. Ki Gusti Wongaya ii. Ki Gusti Gede Oka iii. Ki Gusti Pangkung iv. Ki Gusti Ketut v. Ki Gusti Batan g. Ni Gusti Ayu Muter h. Ni Gusti Ayu Subamya i. Ni Gusti Luh Dangin j. Ni Luh Abian Tubuh k. Ni Gusti Luh Malkangin
81
l. Ni Gusti Luh Puseh m. Ni Gusti Luh Bakas XII.
Ratu Lepas Pemade (G.8) a. Ki Gusti Ngurah Sekar b. Ki Gusti Ngurah Gede (Angrurah Kurambitan ke I) Menurunkan Puri Puri dan Jero di Kurambitan, yang akan dijelaskan dalam lampiran I.A c. Ki Gusti Sari Jro Wanasari d. Ki Gusti Pandak di Jro Pandak Bandung e. Ki Gusti Pucangan di Jro Buahan f. Ki Gusti Rejasa di Jro Rejasa g. Ki Gusti Bongan Jro Bongan Kauh h. Ki Gusti Sangian ring Jro Banjar Ambengan i. Ki Gusti Den j. Ni Gusti Luh Dalem Indung k. Ni Gusti Luh Perean l. Ni Gusti Luh Kuwum m. Ni Gusti Luh Beraban
XIII.
Ki Gusti Ngurah Sekar (G.9) a. Ki Gusti Ngurah Gede b. Ki Gusti Ngurah Made Rai (Membangun Puri Kaleran, sbg Ratu Pemade ring Puri Kaleran) c. Ki Gusti Ngurah Rai (Membangun Puri Penebel) d. Ki Gusti Ngurah Anom, Membangun Puri Mas (Sebagai Pemade raja ke XV) i. Ki Gusti Mas / Kiyai Wirya Wala (putung) ii. Ki Gusti Made Sekar (Putung) iii. Kiyayi Pasekan iv. Kiyayi Pandak v. Ni Sagung Alit Tegeh e. Ni Gusti Luh Kandel f. Ni Gusti Luh Kebon
XIV.
Ki Gusti Ngurah Gede (G.10) a. Ki Gusti Nengah Timpag b. Ki Gusti Sambian c. Ki Gusti Ketut Celuk
XV.
Ki Gusti Ngurah Made Rai (dari Puri Kaleran kembali masuk ke Puri Agung) (G.10) a. Ki Gusti Ngurah Agung Gede, Putra Mahkota (seda sblm mebiseka Ratu , putung) b. Ki Gusti Ngurah Nyoman Panji (di puri kaleran) i. Ki Gusti Ngurah Agung ii. Ki Gusti Ngurah Demung (tetap di Puri Kaleran Menjadi Pemade Raja XIX) iii. Ki Gusti Ngurah Celuk (Membangun Puri Kediri di bekas Puri Ngurah Ubung)
82
c. Ni Sagung Ayu Made d. Ni Sagung Ayu Ketut e. Kiyayi Nengah Perean i. Kiyayi Pangkung 1. Ki Gusti Wayahan Kompyang a. Jero Gede Kompyang Tabanan b. Jero Gede Kompyang di Penebel 2. Ki Gusti Made Oka a. Jero Gede Oka di Jegu b. Jero Gede Oka di Biaung f. Kiyayi Buruan (putung) g. Kiyayi Banjar (putung) h. Kiyayi Tegeh i. Kiyayi Beng i. Ki Gusti Wayahan Beng 1. Jero Beng 2. Jero Beng Kawan (putung) 3. Jero Putu a. Soroh Ngurah di pasekan XVI.
Kiyayi Buruan (putung) (G.11)
XVII.
Ki Gusti Ngurah Rai (Cokorda Rai) (G.10) a. Ki Gusti Made Tabanan atau Ki Gusti Ngurah Ubung b. Ni Sagung Wayahan c. Ni Sagung Made d. Nisagung Ketut e. Kiyayi Kekeran f. Kiyayi Made g. Kiyayi Pangkung h. Kiyayi Dauh i. Kiyayi Kandel i. Jero Kurambitan (Jero kekeran di Kurambitan)
XVIII.
Ki Gusti Made Tabanan (Ki Gusti Ngurah Ubung) putung (G.11)
XIX.
I Gusti Ngurah Agung (Ratu Singasana) (G.12) a. Sirarya Ngurah Tabanan (Ida Bhatara Ngaluhur) b. Sirarya Ngurah atau Ida Bhatara Mur Mabasah (menjadi anak angkat Ki Gusti Ngurah Demung di Puri kaleran, seda tanpa keturunan) c. Ki Gusti Ngurah Gede Banjar (Membangun Puri Anom Saren kangin di bekas Puri Mas ) d. Ki Gusti Ngurah Nyoman (Membangun Puri Anom Saren Kawuh / sekarang disebut Saren Tengah)
83
e. Ki Gusti Ngurah Rai (Diangkat Putra oleh Ki Gusti Ngurah Demung di Puri Kaleran setelah Sirarya Ngurah Tabanan Meninggal) f. Ki Gusti Ngurah Made Penarukan (Membangun Puri Anyar) g. Ni Sagung Ayu Gede h. Ni Sagung Ayu Rai i. Ida Ratu Singasana menghadiahkan Putrapadana Kepada Ken Nyarikan di Dangin Peken dengan Jalan Mencampuri Istri Ken Nyarikan dan tidak boleh dicampuri Lagi oleh Suaminya , melahirkan seorang anak Peria, kemudian diangkat menjadi manca jawining kori (di luar istana) , dengan Gelar nama I Gede, kediamannya disebut Jero Dangin Peken. XX.
Sirarya Ngurah Agung Tabanan (Ida Bhatara Ngaluhur) (G.13) a. Sirarya Ngurah Agung (Putra Mahkota,Seda Sebelum Mebiseka Ratu) b. Ki Gusti Ngurah Gede Mas (Putra Mahkota,Seda Sebelum Mebiseka Ratu) c. Sirarya Ngurah Alit (Putra Mahkota,Seda seebelum mebiseka ratu) d. Ki Gusti Ngurah Rai Perang (Membangun Puri Dangin) e. Ki Gusti Ngurah Nyoman Pangkung (Puri Dangin) f. Ki Gusti Ngurah Made Batan (Puri Dangin) g. Ki Gusti Ngurah Gede Marga (Membangun Puri Denpasar, Tabanan) h. Ki Gusti Ngurah Putu (Membangun Puri Pemecutan, Tabanan) i. I Gusti Ngurah Wayan ii. I Gusti Ngurah Made iii. Sagung Nyoman iv. I Gusti Ngurah Ketut v. Sagung Rai vi. Sagung Ketut i. Sagung Istri Ngurah j. Ni Sagung Ayu Gede k. Ni Sagung Ayu Wah (memimpin Pebalikan Wongaya, pada tahun 1906 l. Ni Sagung Rai
XXI.
Ki Gusti Ngurah Rai Perang (G.14) (Dari Puri Dangin, kembali masuk ke Puri Singasana sebagai raja ke XXI dengan gelar Ida I Gusti Ngurah Agung) beliau Raja Singasana Tabanan yang terakhir, berputra : a. I Gusti Ngurah Gede Pegeg (Putra Mahkota , Seda meminum sari di badung 1906) b. Sagung Ayu Putu pindah ke Puri Anom Tabanan (kemudian menikah dgn I Gst Ngurah Anom, Puri Anom Saren Taman / sekarang disebut Puri Anom saren Kawuh) c. Sagung Ayu Oka Pindah ke Puri Anom Tabanan (kemudian Menikah Dengan Arthur Mauritz Cramer, clerk Kontrolir Belanda) d. I Gusti Ngurah Anom (Puri Dangin di Tabanan) e. I Gusti Ngurah Putu Konol (Puri Dangin di Jegu) f. I Gusti Ngurah Made Batan g. I Gusti Ngurah Nyoman Pangkung i. I Gusti Ngurah made Pucuk (Diajak di Puri Anom)
84
Masa Masa Penjajahan Belanda Pada Tahun 1906, Terjadi Perang Puputan Badung dimana Raja Denpasar I Gusti Ngurah Made Denpasar dan Raja Pemecutan beserta pembesar pembesar kerajaan tewas dalam perang Puputan Badung, Menyusul kemudian Ida Ratu Singasana Tabanan I Gusti Ngurah Rai Prang yang Nuek Raga di puri Denpasar Badung disertai Putra Mahkota Tabanan I Gusti Ngurah Gede Pegeg yang Tewas dengan jalan meminum Sari. Puri Singasana Tabanan kemudian dijarah, dibakar dan dihancurkan oleh serdadu Belanda. Putri putri Raja di Puri Singasana, Sagung ayu Oka dan Sagung ayu Putu, kemudian berpindah ke Puri anom , dimana tahun 1910 Sagung Ayu Putu menikah dengan I Gusti Ngurah Anom, bertempat di Puri Anom saren Taman (sekarang disebut Puri Anom saren Kawuh) dan Sagung Ayu Oka menikah dengan Arthur Maurits Cramer, seorang klerk kontrolir berkebangsaan Belanda pada tahun 1912. Putra Putra Raja di Puri Dangin dan Kerabat-kerabat dekat Raja di Puri mecutan dan Puri Denpasar kemudian di buang ke Lombok. Puri Dangin, Puri denpasar dan Puri Mecutan karena tidak berpenghuni kemudian di ratakan dengan Tanah. 10 Tahun kemudian mereka semua dikembalikan ke Tabanan. Masing masing ditampung oleh kerabat puri. Puri dangin ditampung di Puri Anyar, sedangkan Puri Mecutan dan Puri Denpasar, ditampung di Puri Anom Tabanan. Kemudian Puri Dangin membangun kembali Puri di sebelah selatan Puri Anyar dan di Jegu(Sebelah selatan Jero Oka Jegu), Puri Mecutan membangun Puri di sebelah selatan Puri Anom, dan Puri denpasar membangun Purinya kembali di Sebelah Timur Jero Kompyang. Pada Tahun 1929, Pemerintah Belanda membentuk 8 negara Bestrur berdasarkan Standblad no 226 tertanggal 8 Juli 1929, dimana kepala Negara Bestrur itu disebut Bestrurder. 8 Negara bestur itu antara lain, Tabanan, Badung, Jembrana, Buleleng, Gianyar, Karangasem, Bangli dan Klungkung. Untuk Tabanan, diangkatlah I Gusti Ngurah Ketut, Putra terkecil dari I Gusti Ngurah Putu di Puri Mecutan Tabanan. Kemudian Belanda merubah lagi Tata Pemerintahan, berdasarkan Standblad no 529, tertanggal 1 July 1938 , status Negara Bestur ditingkatkan menjadi Zelfbestuur Landschapen, dimana kepalanya tetap dijabat oleh I Gusti Ngurah Ketut. Kemudian Pemerintah meningkatkan kembali status Negara berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda, no 21 tertanggal 7 July 1938, ZelfBestuur lanschapen ditingkatkan menjadi Daerah Swa Praja, dan dipimpin oleh seorang Raja. Dimana Raja Raja ini kemudian dilantik dan diangkat sumpahnya pada tanggal 29 July 1938 di Pura Besakih, bertepatan dengan Hari Raya Galungan. Gelar Raja untuk Tabanan& Badung adalah Cokorda, untuk Gianyar, jembrana, Bangli & Buleleng adalah Anak Agung, untuk Karangasem bergelar Anak Agung Agung Anglurah, untuk Klungkung diberi gelar Dewa Agung. Untuk Tabanan kepala Swapraja ini tetap dijabat oleh I Gusti Ngurah ketut dari Puri Mecutan Tabanan, kemudian diabhiseka dengan gelar Cokorda. Jika diurut kemudian, inilah generasi yang diturunkan oleh beliau Cokorda I Gusti Ngurah Ketut, dari Puri Mecutan.
XXII.
I Gusti Ngurah Ketut (Cokorda Ngurah Ketut) (G.15) a. I Gusti Ngurah Gede b. I Gusti Ngurah Alit Putra c. I Gusti Ngurah Raka d. Sagung Mas e. Dr. I Gusti Ngurah Agung
85
XXIII. XXIV.
I Gusti Ngurah Gede ( Cokorda Ngurah Gede) (G.16) I Gusti Ngurah Rupawan ( Cokorda Anglurah Tabanan) (G.17)
86
Silah Silah Puri Kurambitan I.
II.
III. IV.
V. VI.
VII.
VIII. IX.
I Gst Ngr Gde Banjar (Anglurah Kurambitan I) (G1) a. Tjokorda Gde Slingsing b. Arya Ngurah Made Dangin (Puri Anyar) i. Jero Kawan ii. Jero Jelae iii. Jero Kerambitan iv. Jero Blungbang c. Kiai Agung Anom Sempidi (Jero Tambangan) d. Kiai Agung Marga (Jero Marga) e. Kiai Agung Aseman (Jero Aseman) f. Kiai Agung Kukuh (Jero Kukuh) g. Kiai Agung Meliling (Jero Meliling) h. Kiai Agung Kelating (Jero Kelating) i. Kiai Agung Belong (Jero Belong) j. Kiai Agung Pangkung (Jero Pangkung) k. Kiai Agung Den (Jero Den) l. Istri (Diambil Raja Tabanan ke IV) m. Istri (Diambil Raja Tabanan ke XVI) Tjokorda Gede Slingsing G2) a. Tjokorda Penarukan b. Tjokorda Nyoman Pande c. Kiai Agung Gde Banjar (Jero Banjar) d. Kiai Agung Md Tegal (Jero Tegal) e. Istri (Diambil ke Puri Kaleran) Tjokorda Penarukan (G 3) Tjokorda Nyoman Pande (G3) a. Tjokorda Made Pandak b. Arya Ngurah Gede Pasek c. Kiai Agung Nengah Pasek (Jero Kajanan) Tjokorda Made Pandak (G4) Arya Ngurah Gede Pasek (G4) a. I Gst Ngr Gd Taman b. I Gst Ngr Made Koda (ke Puri Anyar) I Gst Ngr Gd Taman (G5) a. I Gst Ngr gde Anom b. I Gst Ngr Gd Rai I Gst Ngr Gd Anom (G6) I Gst Ngr Gd Rai (G6) a. I Gst Ngr Pt Oka b. I Gst Ngr Md Putra
87
X.
XI.
XII.
i. Sg Putri c. Sg Agung d. Sg Anom I Gst Ngr PT Oka (G7) a. I Gst Ngr Gd Raka (Saren Kaja) b. I Gst Ngr Kt Sangka (Saren Kangin) c. I Gst Ngr Anom Mayun (Saren Ageng) A A Ngr Anom Mayun (G8) a. A A Ngr Agung Kiana Yudha b. A A Ngr Ketut Dharma Putra c. A A Ngr Putu Mertha Yadnya d. A A Ngr Raka Budhiyasa e. A A Ngr Anom Sutha f. A A Ngr Alit Cahyadi g. A A Ngr Rai Panji Masa h. A A Ngr Gede Putra Adnyana i. A A Ngr Bagus Prya Dharma j. A A Ngr Oka Murti Jaya k. A A Ngr Gede Puja Utama l. A A Ngr Putra Ria Angkasa m. A A Ngr Bagus Arya Wibawa n. A A Ngr Bagus Giri Semadhi o. A A Ngr Bagus Cipta Luhur p. A A Ngr Agung Indra Bangsawan q. A A Sg Agung Aryani r. A A Sg Gede Hartini s. A A Sg Putri t. A A Sg Mirah u. A A Sg Adi Adriani v. A A Sg Anom Laksmi w. A A Sg Manik Kurniawati x. A A Sg Ayu y. A A Sg Putri Cahyani z. A A Sg Sri Wahyuni aa. A A Sg Mas Sri Saraswati bb. A A Sg Inten cc. A A Sg Ratna Mahadewi A A Ngr Ketut Dharma Putra (Anglurah Kurambitan XII)
88
De nicht van de laatste Radja Waringin Te Tabanan (KITLV Leiden) van Tabanan die wegens deelname aan een opstand verbannen is naar Lombok
89