BAB XIII TEKNIK MOTIVASI Tim LPTP FIA - UB
13.1 Pendahuluan Tantangan : 1. Volume kerja yang meningkat 2. Interaksi manusia yang lebih kompleks 3. Tuntutan pengembangan kemampuan sumber daya insani 4. Tuntutan kebutuhan manusia yang semakin meningkat 13.2 Masalah Bagaimana Menggerakkan : 1. Orang lain 2. Bawahan 3. Kolega 4. Pimpinan 5. Masyarakat Sehingga sadar mereka secara bersama-sama, bersedia berperilaku untuk mencapai tujuan bersama. Dibutuhkan : Pengetahuan Motivasi : Kemampuan teknik menciptakan situasi sehingga menimbulkan dorongan bagi mereka untuk berperilaku sesuai dengan apa yang kita kehendaki. 13.3
Pengertian Dalam definisi tentang motivasi, biasanya terkandung berbagai keinginan, harapan, kebutuhan, sasaran dan tujuan. Dengan demikian dapat diungkapkan bahwa suatu motif adalah keadaan psikologis yang mendorong, mengaktifkan atau menggerakkan. Motif itulah yang mengarahkan dan menyalurkan perilaku, sikap dan tindak tanduk seseorang yang selalu dikaitkan dengan pencapaian tujuan, baik tujuan organisasi maupun tujuan pribadi masing-masing anggota organisasi yang bersangkutan.
113
Berkaitan dengan uraian tersebut, maka Siagian dalam bukunya Teori Motivasi dan Aplikasinya (1989:138) mendefinisikan motivasi sebagai berikut: Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengarahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan --- tenaga dan waktunya menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya. Gibson at al., (1996:183) dalam analisisnya memberikan satu definisi yang senada tentang motivasi adalah “kekuatan yang, mendorong seseorang karyawan sehingga menimbulkan dan mengarahkan perilaku.” Motivasi karyawan akan tumbuh berdasarkan kebutuhan atau kepentingan pribadinya, sehingga ia berperilaku atau pekerja untuk memenuhi kebutuhannya yang pada akhirnya memberi kepuasan jiwa dalam pekerjaannya. Selanjutnya Davis dan Newtrom (1995:87) mengatakan “para pegawai yang termotivasi adalah mereka yang mengetahui bahwa pekerjaan yang dilakukan membantu mereka mencapai tujuan yang penting.” Hersey dan Blanchard (Dalam Dharma dan Sukotjo, 1992:11) lebih menekankan motivasi sebagai kemauan pegawai, menurutnya : Kemauan pegawai diacu dalam hubungannya sebagai kadar kematangan psikologis, yaitu kadar kemauan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan tertentu. Pegawai yang tinggi kadar kematangan psikologinya dalam bidang tanggung jawab tertentu memandang tanggung jawab itu sebagai hal yang penting serta memiliki keyakinan diri dan menyukai aspek-aspek pekerjaan dalam bidang, tanggung jawabnya itu. Pegawai dalam kategori ini tidak memerlukan banyak dorongan untuk menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan. Dengan demikian motivasi adalah proses psikoiogis yang terjadi pada diri seseorang yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan.
114
13.4
Faktor-Faktor Motivasi Pada dasarnya motivasi bersumber dari dua faktor, sebagaimana diklasifikasikan oleh Manulang (1985:119) dan Siagian (1989:139). Menurut mereka, faktor-faktor tersebut diklasifikasikan sebagai berikut: a. Motivasi Intrinsik Adalah motivasi yang berasal dari perasaan puas dalam melaksanakan pekerjaan itu sendiri. la merupakan bagian yang langsung dari kandungan kerja. Oleh sebab itu, motivasi intrinsik bersumber dari dalam diri individu. Motivasi ini menghasilkan integrasi dari tujuan-tujuan, baik tujuan organisasi maupun tujuan individu dimana keduanya terpuasi secara serentak. Hai ini tidak lain karena pegawai merasa bertanggung jawab atas hasilnya kerjanya dan merasa tertantang untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut secara lebih baik, disamping itu pegawai mempunyai kesadaran akan keberhasilan pelaksanaan dan menaruh kebanggaan dalam pekerjaan atau mendapat pengakuan atas tugas yang telah dilaksanakan dengan baik. Hal ini berarti ia telah mengalami imbalan intrinsik (intern) yang mempunyai efek terbesar terhadap tingkat kepuasan kerja yang akhirnya akan mendorong pada tercapainya keberhasilan organisasi. Pernyataan tersebut ditegaskan pula oleh Hackman at al., (Dalam Stoner, 1986:107) bahwa: Pekerjaan itu sendiri dapat menjadi imbalan intrinsik jika pekerjaan dirancang untuk memenuhi beberapa dari kebutuhan yang lebih tinggi dari karyawan (misalnya kebebasan atau kreativitas), maka ini dapat merupakan pemotivasi dengan sendirinya. Implikasi ini jelas merupakan dasar dari banyak program desain pekerjaan, diantaranya adalah pengayaan/ pemerkayaan pekerjaan (job enrichment). Tetapi, hal ini tergantung pada sejauh mana individu tersebut suka untuk melakukan pekerjaan yang dimaksud. Karena bagaimanapun tercapainya pada efektivitas kerja tergantung pada bagaimana pegawai termotivasi secara internal. b. Motivasi Ekstrinsik Adalah motivasi yang ada kaitannya dengan imbalan atau maslahat yang diterima seseorang sesudah melakukan pekerjaan. Oleh karena itu, motivasi ekstrinsik timbul dari luar diri individu. 115
Yang termasuk di dalam motivasi ini antara lain adalah kebijaksanaan dan administrasi perusahaan, kondisi pekerjaan, hubungan kerja, status, gaji, rasa aman. Menurut Manulang dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia (1985: 119) menyatakan bahwa “jika perusahaan menyediakan kondisi-kondisi kerja, upah tunjangan atau keselamatan kerja yang tidak mencukupi, maka ia akan mendapat kesulitan dalam menarik karyawankaryawan yang baik dan perputaran, kemangkiran serta keluhan-keluhan akan meningkat.” Dari kedua faktor di atas, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi intrinsik merupakan faktor-faktor mutlak bagi iklim motivasi yang sehat. Karena itu : 1. Mengamati dan memahami tingkah laku bawahan 2. Mencari dan menentukan sebab-sebab tingkah laku bawahan 3. Memperhitungkan, Mengawasi dan mengarahkan serta menggerakkan tingkah laku bawahan Rangsangan
Seseorang dengan dorongan
Intrinsik -
Kepribadian Sikap Pengalaman Pendidikan Cita-cita
Entrinsik
Alternatif Perilaku
Penentuan Perilaku
Perilaku
116
- Pengaruh pimpinan - Kolega - Pihak lain
Penampilan :
Seseorang yang didorong adanya suatu motivasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 1. Tinggi motivasi, rendah kemampuan ↓ Penampilan yang rendah 2. Kemampuan rendah Penampilan rendah Motivasi rendah
3. Penampilan tinggi = Motivasi tinggi “Motivasi” 1. Dorongan kerja yang timbul pada diri seseorang, 2. Untuk berperilaku dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan 13.5 Teori Motivasi Sebagaimana uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis mencoba menyajikan tiga buah teori yang berkaitan langsung dengan tugas pekerjaan karyawan. Teori ini merupakan pendukung dari teori kepuasan kerja yang memusatkan perhatian pada faktor-faktor dalam diri karyawan dimana mereka termotivasi secara internal dalam lingkungan kerjanya. Hal ini berdasarkan pemikiran bahwa dalam struktur organisasi yang semakin mapan dimana tuntutan kebutuhan semakin berkembang, terdapat kecenderungan bahwa dalam masyarakat industri dewasa ini, kebutuhan sebagian besar telah terpenuhi sehingga yang lebih dibutuhkan saat ini adalah kepuasan akan terpenuhinya kebutuhan akan aktualisasi diri. Sebagaimana ditulis oleh Fraser (1985:45) bahwa “Sesungguhnya hanya dalam masyarakat dimana kebutuhan akan golongan yang lebih rendah telah sebagian besar terpenuhi, orang boleh mengharapkan terpenuhinya kepuasan akan golongan yang lebih tinggi.” A. Teori Dua - Faktor F. Herzberg Teori ini dikembangkan oleh Frederick Herzberg, seorang ahli psikolog dan konsultan. Dalam usahanya mengembangkan teorinya, ia melakukan penelitian terhadap 200 akuntan dan ahli mesin, dengan mana diketemukan bahwa apabila para pekerja merasa puas dengan pekerjaannya, kepuasan itu didasarkan pada faktor--faktor yang sifatnya intrinsik seperti keberhasilan mencapai sesuatu, pengakuan yang diperoleh, sifat pekerjaan yang dilakukan, 117
rasa tanggung jawab, kemajuan dalam karir dan pertumbuhan profesional dan intelektual yang dialami seseorang. Herzberg menyebut faktor ini sebagai faktor pemuas (Satisfiers) atau motivasi (motivational factors). Sebaliknya, apabila para pekerja merasa tidak puas dengan pekerjaannya, ketidakpuasan itu pada umumnya dikaitkan dengan faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik-artinya bersumber dari luar diri pekerja yang bersangkutan, seperti kebijakan organisasi, pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan, supervisi oleh para manajer, mutu hubungan interpersonal antar sesama rekan kerja, atasan dan bawahan, sistem upah dan gaji, kondisi kerja, status, dan jaminan kerja. Herzberg menyebut faktor ini sebagai faktor pemeliharaan (maintenance factors) atau faktor iklim baik (hygiene factors). Menurut Herzberg, (dalam Siagian, 1989:164), bahwasanya : Faktor-faktor yang mengarah kepada kepuasan kerja berbeda dari faktorfaktor yang mengarah kepada ketidakpuasan. Artinya, para manajer mungkin saja berhasil mewujudkan ketenangan kerja dalam organisasi, akan tetapi ketenangan kerja itu belum tentu bersifat motivasional bagi para pekerja. Dalam hal demikian, para manajer hanya akan menyenangkan perasaan para bawahannya, tetapi tidak memberikan motivasi kepada mereka. Karena itulah Herzberg menggunakan istilah “hygiene” bagi faktor-faktor yang menyenangkan para karyawan sehingga mereka tenang bekerja namun belum merasa puas dengan pekerjaan masing-masing. Dengan demikian, faktor pemeliharaan ini terutama berhubungan dengan konteks pekerjaan (job context) karena berkaitan dengan lingkungan di sekitar pekerjaan. Herzberg (Dalam Siagian, 1989: 164-165) berpendapat pula bahwa : Apabila para manajer ingin memberi motivasi pada bawahannya, maka yang perlu ditekankan adalah faktor-faktor motivasional yang sifatnya intrinsik. Motivator ini lebih berhubungan dengan isi pekerjaan (job content) karena sebagian besar berpusat pada pekerjaan. Oleh karena itu, keterlibatan para pegawai dalam merencanakan dan mengendalikan pekerja mereka sebagai salah satu sumber motivasi intrinsik merupakan sumbangan nyata yang dapat dipetik dari penerapan teori Herzberg. Implikasinya adalah bahwa seorang pegawai pada umumnya mempunyai persepsi berkarya tidak sekedar mencari nafkah, akan tetapi sebagai wahana 118
untuk memuaskan berbagai kepentingan dan kebutuhannya bagaimanapun kebutuhan itu dikategorikan, dan semakin tinggi tingkat kebutuhan seseorang maka pekerjaan “meaningful” dipandang “paling penting” jika dibandingkan dengan “peluang” untuk meniti karir yang lebih tinggi atau penghasilan yang besar”. B. Teori Kebutuhan David McCleland Teori ini dikemukakan oleh David McGieland beserta rekan-rekarnya. Inti teori ini terletak pada pendapat yang mengatakan bahwa pemahaman tentang motivasi akan semakin mendalam apabila disadari bahwa setiap orang mempunyai tiga jenis kebutuhan, yakni kebutuhan akan pencapaian (need for achievement), kebutuhan akan kekuasaan (need for power), dan kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation). McCleland dengan teorinya (Stoner, 1986:91) mengaitkan perilaku dan prestasi kerja berdasarkan pada semangat bisnis dan manajemen. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa “kebutuhan yang kuat akan pencapaian berkaitan dengan seberapa jauh seseorang termotivasi untuk melaksanakan tugas pekerjaannya.” la juga menemukan bahwa “kebutuhan ini dapat diperkuat sampai batas tertentu melalui pelatihan.” Jadi manajer akan dapat meningkatkan motivasi dan prestasi mereka sendiri, atau bawahan mereka melalui penggunaan teknik pelatihan yang tepat. Kebutuhan akan pencapaian dapat diartikan sebagai keinginan untuk unggul atau berhasil dalam situasi kompetisi (Lawler III dalam Stoner, 1986:91). Dalam risetnya, McCleland menemukan bahwa orang, dengan kebutuhan yang tinggi akan pencapaian hasil mempunyai beberapa karakteristik yang menarik bagi para manajer, yakni : 1. Mereka menyukai tanggung jawab untuk memecahkan masalah 2. Mereka cenderung menetapkan tujuan yang, cukup sukar dan berani mengambil resiko. 3. Mereka mementingkan umpan balik yang konkrit tentang seberapa baik mereka berprestasi. Jadi, mereka yang mempunyai kebutuhan yang tinggi akan pencapaian cenderung akan sangat termotivasi dengan situasi kerja yang menantang, dan bersaing daripada dengan pekerjaan yang, rutin dan tidak bersaing. Sebaliknya, 119
orang dengan kebutuhan akan pencapaian yang rendah cenderung akan berprestasi buruk dalam situasi kerja bersaing atau penuh tantangan (Stoner, 1986:91) Oleh karena itu, bagi para manajer teori ini menyoroti pentingnya menyesuaikan seseorang dengan pekerjaannya. Dimana pegawai dengan kebutuhan akan pencapaian yang tinggi akan berkembang dengan pekerjaan yang menantang, memuaskan, merangsang dan rumit. Mereka terbuka terhadap otonomi, variasi, dan umpan balik yang sering dari para supervisor (atasan) namun disisi lain, pegawai dengan kebutuhan pencapaian atau prestasi yang rendah lebih menyukai situasi yang stabil, aman dan dapat diramalkan. Mereka memberikan tanggapan yang lebih baik terhadap pengawasan yang lunak daripada bentuk pengawasan yang bertekanan tinggi dan tidak pribadi, dan mencari tempat kerja serta rekan kerja untuk kepuasan sosial. Riset McCleland juga menunjukkan bahwa para manajer dapat sampai batas tertentu, menaikkan tingkat kebutuhan pencapaian para bawahan dengan menciptakan lingkungan kerja yang layak, memberikan kepada bawahan kebebasan, tanggung jawab dan otonomi yang meningkat serta secara berangsur-angsur membuat tugas-tugas lebih menantang, dan memuji serta menghargai prestasi kerja yang tinggi dari para pegawai tersebut. C. Teori Motivasi A. Maslow Teori motivasi yang dikembangkan oleh Maslow adalah berdasarkan kepada tingkat kebutuhan yaitu : a. Kebutuhan dasar b. Kebutuhan rasa aman c. Kebutuhan rasa memiliki d. Kebutuhan akan prestise e. Kebutuhan akan akutualisasi
120
Dari ketiga teori tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tercapai tidaknya efektivitas kerja pegawai tergantung pada bagaimana pegawai tersebut termotivasi secara internal. Dengan catatan bahwa efektif tidaknya pemberian motivasi itu tergantung dari bagaimana pimpinan mampu menyesuaikan pegawai dengan pekerjaannya, menyediakan lingkungan yang supportif serta memberikan dukungan yang luas kepada pegawai tersebut untuk mendesain pekerjaannya sehingga tercapai kepuasan kerja yang diharapkan. Oleh karena itu, Jelaslah bahwa agar seorang pemimpin organisasi atau manajer dapat memilih dan menggunakan teknik motivasi yang tepat, terdapat keharusan untuk mengenal para bawahannya secara individual. Pengenalan para bawahan ini bertolak dari kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk yang sangat kompleks dengan konfigurasi komponen kepribadian yang jauh dari sederhana. Salah satu segi konfigurasi manusia yang sangat kompleks itu ialah kebutuhannya yang sangat rumit pula yang mutlak perlu dipahami karena pemuasan berbagai kebutuhan itu memang merupakan salah satu sasaran penggunaan teknik dan metode motivasi yang tepat. Sumber : Hasil Kajian Politik dan Tata Pemerintahan FIA – UB, 2012 dalam John Robert Power. Human Resource Development. •
John Robert. Human Resource Development. 121