Modul ke:
Fakultas
MKCU www.mercubuana.ac.id
Program Studi
Psikologi
BAB VIII PERKAWINAN AGAMA KATOLIK DAN KETIDAKTERCERAIKANNYA
Dosen : Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
PERKAWINAN AGAMA KATOLIK DAN KETIDAKTERCERAIKANNYA
A. PENDAHULUAN • Perkawinan katoik dan tantangannya • Bab ini membahas perkawinan kanonik katolik yang pelaksanaannya diatur oleh norma-norma hukum kanonik Gereja Katolik, khususnya kanon 1055-1165. • Perkawinan kanonik ini mencakup semua perkawinan yg dilangsungkan menurut tata peneguhan kanonik oleh orang-orang yang telah dibaptis secara Katolik.
B. AJARAN GEREJA KATOLIK TTG PERKAWINAN
1. Hakikat, Tujuan dan Sakramentalitas Perkawinan a. Hakikat Perkawinan Kanon 1055 ini merupakan kanon doktrinal dan mengartikan perkawinan sebagai sebuah perjanjian (foedus, consensus, covenant) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaam seluruh hidup. Definisi ini mempunyai latar belakang pada dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et spes art. 48, yang mengartikan perkawinan sebagai suatu foedus coniugi (perjanjian nikah) dan bukan lagi sebagai contractus (sebuah kontrak).
c. Sakramentalitas Perkawinan Kanon 1055 rnenyebutkan bahwa Kristus telah mengangkat perkawinan menjadi sakramen (§1) sehingga sifat perkawinan di antara orang-orang yang telah dibaptis adalah sakramen (§2). Ide tentang sakramentalitas ini didasarkan pada Ef. 5, 22-32. Kanon ini menandaskan adanya identifikasi antara perjanjian perkawinan orang-orang dibaptis dengan sakramen. Identifikasi ini membawa konsekuensi:
b. Tujuan Perkawinan ... yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak….. Kanon 1055 §1 ini dengan sederhana menunjukkan adanya 3 tujuan utama perkawinan: - kesejahteraan suami-istri - prokreasi - pendidikan anak
Semua perkawinan sah yang diselenggarakan antara orang-orang yang telah dibaptis secara sah menurut kategori kanon 849, dengan sendirinya merupakan sebuah sakramen (§2). Dalam hal ini, tidak dituntut maksud khusus dari mempelai untuk menerimanya sebagai sakramen. Sakramentalitas perkawinan tidak terletak pada pemberkatan pastor karena yang menjadi pelayan sakramen perkawinan adalah kedua mempelai yang saling mengikrarkan janji perkawinan.
Orang-orang yang dibaptis tidak dapat menikah dengan sah jika dengan maksud positif dan jelas mengecualikan sakramentalitas perkawinan. Perkawinan antar orang yang tidak baptis, dengan sendirinya akan diangkat ke dalam martabat sakramen jika keduanya dipermandikan. Dalam hal ini, tidak dituntut perjanjian nikah baru, namun mereka dapat minta berkat pastor.
2. Ciri Hakiki Perkawinan Katolik: Unitas Et Indissolubilitas • Kanon 1056 - Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-terputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.
3. Kesepakatan Nikah (Konsensus): Dasar Perkawinan • Kanon 1057 §1 — Kesepakatan pihak-pihak yang dinyatakan secara legitim antara orangorang yang menurut hukum mampu, membuat perkawinam kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi mana pun. • §2. Kesepakatan perkawinan : tindakan kehendak dgnnya seorg laki2 dan seorg perempuan saling rnenyerahkan diri dan saling menerima utk membentuk perkawinan dgn perjanjian yg tak dpt ditarik kembali.
a. Kesepakatan membuat perkawinan. • Dalam kanon 1057 §1 ini, ditegaskan bahwa kesepakatan merupakan satu-satunya unsur yang "membuat" perkawinan itu sendiri, consensus matrimonium facit. Kesepakatan merupakan satusatunya causa efficiens dari suatu perkawinan. Dalam arti ini, tidak pernah ada institusi perkawinan selain oleh karena kesepakatan nikah antara dua pribadi berbeda seksualitas. Oleh karena itu, perkawinan bersifat contractus consensualis, dan bukan contractus realis. Artinya, perkawinan terjadi sejauh telah terjadi kesepakatan nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan meskipun belum disempurnakan dengan persetubuhan. •
•
Kesepakatan itu harus muncul hanya dari pasangan suami-istri itu sendiri, dan bukan dari orang lain. Kanon 1057 §1 menandaskan bahwa "kesepalcatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi mana pun". Hal ini mengandaikan kebebasan masing-masing untuk saling meneguhkan perkawinan. Kebebasan ini tidak hanya berarti bahwa tidak ada paksaan dari luar, namun juga berarti bebas secara hukum atau mampu secara hukum. "Bebas secara hukum" berarti bahwa berdasarkan norma-norma hukum yang berlaku, masing-masing tidak mempunyai halangan dan larangan untuk menikah (lih. kanon 1073-1094).
b. Objek kesepakatan nikah • Kanon 1057 §2, selain memberikan definisi tentang kesepakatan, juga menegaskan apa yang sebenarnya menjadi objek kesepakatan tersebut. Menurut kanon 1081 §2 dari KHK 1917, objek kesepakatan adalah hak ekslusi dan tetap terhadap tubuh (ius in corpus) pasangannya dengan tujuan utama untuk mendapatkan keturunan. Rumusan "hak atas tubuh" ini untuk pertama kalinya dimunculkan oleh Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus (Ef. 5,25-31).
• Namun, perlu disadari bahwa hak atas tubuh hanyalah salah satu aspek dari kesepakatan nikah. Kanon 1057 §2 dari KHK 1983 — dipahami bersama-sama dengan kanon 1055 — tidak mau membatasi objek kesepakatan hanya pada ius in corpus, tetapi memperluasnya dengan menegaskan bahwa objek kesepakatan nikah adalah "kebersarnaan seluruh hidup" (consortium totius vitae) yang terarah pada kesejahteraan suami-istri, kelahiran, dan pendidikan anak. Di dalarn consortium totius vitae ini, sudah tercakup ius in corpus.
4. Hak Untuk Menikah • Kanon 1058 — Semua orang dapat melangsungkan perkawinan, sejauh tidak dilarang hukum. Kanon ini menegaskan hak untuk menikah (ius connubii), sebagai hak asasi dan fundamental manusia. Hak ini meliputi juga hak untuk melangsungkan pernikahan dan memilih calon pasangan hidupnya secara bebas. Setiap orang, laki-laki dan perempuan, mempunyai hak dasariah untuk menikah.
5. Pertunangan • Kanon 1062 — P. Janji untuk menikah, baik satu pihak maupun dua belaah pihak, yang disebut pertunangan, diatur menurut hukum partikular yang ditetapkan Konferensi para Uskup dengan mempertimbangkan kebiasaan serta hukum sipil jika itu ada. • §2. Dari janji untuk menikah, tidak timbul hak pengaduan untuk menuntut peneguhan perkawinan; tetapi ada hak pengaduan untuk menuntut ganti rugi jika ada.
C.
PENUTUP
• perkawinan sebagai sebuah perjanjian (foedus, consensus, covenant) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaam seluruh hidup. • Tiga tujuan utama perkawinan: • - kesejahteraan suami-istri • - prokreasi • - pendidikan anak
• Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat takdapat-terputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen. • Kesepakatan perkawinan : tindakan kehendak dgnnya seorg laki2 dan seorg perempuan saling rnenyerahkan diri dan saling menerima utk membentuk perkawinan dgn perjanjian yg tak dpt ditarik kembali.
Terima Kasih Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.