MINGGU KE 12 & 13 Diskripsi singkat Manfaat
Relevansi
Learning Outcome
: materi minggu ini berisi tentang penentuan volume tubh tanah pada pekerjaan rute survey. : apabila mahasiswa menguasai pengetahuan ini maka akan dapat menentukan volume galian maupun timbunan tanah umumnya terjadi pada perencanaan rute. : penentuan volume galian dan timbunan akan erat sekali kaitannya dengan biaya pembangunan sarana transportasi. : setelah mengikuti kuliah minggu ini mahasiswa dapat menghitung luas dan volume galian dan timbunan tanah pada suatu rencana pembangunan sarana transportasi.
BAB VIII PEKERJAAN TANAH Dalam perencanaan rekayasa, pekerjaan tanah dalam artian penentuan volume tanah adalah suatu hal yang sangat lazim, seperti halnya pada perencanaan pondasi, galian dan timbunan pada rencana irigasi, jalan raya, jalan kereta api, penanggulan sepanjang aliran sungai, penghitungan volume tubuh bendung dan lain-lain, dimana tanah tersebut harus digali dan dibuang ke tempat lain atau sebaliknya harus diambil dari tempat lain untuk menimbun di lokasi proyek. Semua itu membutuhkan biaya yang cukup besar untuk menggali, mengangkut dan menimbun serta memadatkannya. Biaya tersebut dapat dirancang apabila perencana dapat menghitung lebih dulu berapa volume tubuh tanah yang dibutuhkan atau yang harus dipindahkan secara tepat. Pada dasarnya penentuan volume tubuh tanah dapat dilakukan dengan salah satu dari 3 cara atau metode di bawah ini : 1. dengan tampang melintang (cross-section) 2. dengan garis kontur 3. dengan sipatdatar dan penggalian (spot level)
VIII.1. Penentuan Volume Dengan Tampang Melintang (cross-sections) Dalam metode ini, tampang melintang diambil tegak lurus terhadap sumbu proyek dengan interval jarak tertentu. Metode ini cocok digunakan untuk pekerjaan tanah yang 1
bersifat memanjang seperti perencanaan jalan raya, jalan kereta api, saluran irigasi, penanggulan sungai, penggalian pipa dan lain-lain.
400 m 100 m
200 m
300 m
0m
A5 A4 A2
A3
A1
Gambar VIII.1. Bangun dengan tampang-tampang melintang.
. Volume tubuh tanah antara dua buah tampang yang berurutan dapat dihitung apabila dapat dihitung luas dari tampang-tampang tersebut. Adapun perhitunganperhitungan luas, antara lain dengan cara numeris, grafis dan grafis mekanis dengan alat planimeter. Dalam konstruksi yang bersifat memanjang dengan bentuk tampang yang seragam dan lebar formasi serta kemiringan sisi galian atau timbunan (talud) yang konstan, penentuan luasnya dapat digunakan rumus-rumus yang telah disederhanakan sehingga perhitungannya dapat lebih mudah dan cepat. Rumus-rumus perhitungan luas tersebut di bawah ini telah disesuaikan dengan kemungkinan-kemungkinan bentuk tampang yang terjadi, antara lain : a. tampang dengan permukaan tanah asli mendatar (one level section) b. tampang dengan permukaan tanah asli miring (two level section) c. tampang dengan permukaan tanah asli mempunyai dua kemiringan (three level section) d. tampang dengan permukaan tanah asli dalam galian dan timbunan (side hill two level section) Notasi-notasi yang digunakan dalam rumus-rumus tersebut adalah : b : lebar formasi h : tinggi timbunan/dalamnya penggalian h1, h2 : jarak vertikal dari permukaan formasi sampai perpotongan sisi talud dengan permukaan tanah asli w : jarak mendatar dari sumbu tampang sampai perpotongan sisi talud dengan permukaan tanah asli 1 : m : kemiringan sisi talud (1 = unit tinggi, m = unit jarak mendatar) 2
1:k 1:l A
: kemiringan permukaan tanah asli : kemiringan permukaan tanah asli kedua : luas tampang
VIII.1.1. Tampang dengan permukaan tanah asli mendatar (one level section) W
A
W
C
b/2
b/2
B
1 :m
1 :m
1 :m
1 :m
h
h
B
b/2
b/2 A
a
W
W
C
b
Gambar VIII.2. Tampang dengan satu permukaan
Lebar formasi = b w = lebar sisi dari sumbu sampai perpotongan tanah asli dengan sisi timbunan/galian =
b + mh . ………….. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(VIII.1) 2
AC = 2w = b + 2 mh Luas tampang =
A
b b
2mh 2
= h (b + mh) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (VIII.2)
Contoh : Suatu tampang timbunan pada permukaan tanah asli yang mendatar, tinggi timbunan 3,10 m. apabila lebar formasi 12,50 m, hitung (a) lebar sisi , dan (b) luas tampang apabila kemiringan talud 1:2,5 (maksudnya 1 untuk verikal dan 2,5 untuk horisontal). Hitungan : b = 12,50 m m = 2,5 h = 3,10 m Luas tampang = h (b + mh) 3
= 3,10 (12,50 + 2,5 x 3,10) = 62,78 m2
h + mh 2
Lebar sisi kedua-arahnya sama =
= 6,25 + 2,5 x 3,10 = 14,0 m Pemasangan patok di lapangan (setting out) untuk batas tepi timbunan/galian, dengan pemasangan patok di A dan C pada jarak 14,0 m dari titik sumbu B normal atau tegak lurus terhadap sumbu proyek.
VIII.1.2. Tampang dengan permukaan tanah asli miring (two level section) Pada kasus ini permukaan tanah asli miring terhadap arah sumbu proyek sehingga lebar sisi dari titik sumbu menjadi tidak sama.
w1
C1
F
b/2 b/2 E
Tim bun an
E
n
A1
D
G
1:k
B A
C
Ga lia
w2
F
A1
1:k C
G
w1
D
A B C1
w2
Gambar VIII.3. Tampang dengan dua permukaan.
Di sini : C1B =
w1 k
merupakan beda tinggi antara titik B dan C karena kemiringan
tanah asli 1 : k sepanjang jarak w1, demikian pula : A1B =
w2 k
Demikian pula apabila sisi miring berpotongan di G, maka GE akan menjadi beda tinggi untuk jarak horisontal sepanjang Karena
b b , sehingga GE = 2m 2
C1CG sebangun dengan EFG maka :
4
CC1 EF
GC1 GE
b 2m
w1 b 2 w1 1-
b
m k
b 2
2m
mh
b 2
w1
w1 k
h
mh
k k m
. . . . . . . . . . . . . . . .. . . . (VIII.3)
Demikian pula : AA 1 DE
GC1 GE
b 2m
w2 b 2
h b
w2 k
2m
Sehingga : b 2
w2
mh
k
. . . .. . . . . . . . . . . . . . . (VIII.4)
k m
Luas tampang galian atau timbunan adalah ACFDA : = luas BCG + luas ABG – luas DFG = ½ w1
= ½
=
b 2m
b 2m b 2
1 2m
h + ½ w2
b 2m
h (w1 + w2) –
b2 4m
mh w 1 w 2 -
h -½b.
b2 2
b 2m
. . . . . . . . . . . . . . . . (VIII.5)
Beda tinggi antara C dan F : = h+
w1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (VIII.6) k
Beda tinggi antara A dan D : = h–
w2 k
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (VIII.7)
5
Dalam pemasangan patok A dan C, lebar sisi dapat diskala dari gambar tampang dengan hari-hati dan seteliti mungkin atau dengan alat penyipatdatar, rambu dan pita ukur (gambar VIII.4) Pembacaan pada rambu di A dan B masing-masing H2 dan H. apabila h kedalaman formasi di bawah B, maka dalam hal tersebut : h2 + H2 = H + h
atau
h2 = H – H2 + h tetapi h2 =
x m
Oleh sebab itu :
Demikian pula :
x = m (H – H2 + h) w2 =
b +x 2
w2 =
b + m (H – H2 + h) . . . . . . . . . . . .(VIII.8) 2
w1 =
b + m (H – H1 + h).. . . . . . . . . . . . .(VIII.9) 2
Setelah pengambilan pembacaan rambu di B sebesar H, pemegang rambu kemudian mengambil beberapa kemungkinan posisi (coba-coba) untuk mendapatkan posisi titik A, setelah didapat kemudian diukur dan dicatat jaraknya dengan pita ukur dari B. Pembacaan rambu H2 sekarang diamati dan besaran : m (H – H2 + h) dihitung. Harga w2 sekarang dapat dicari seperti dalam persamaan (VIII.8) dengan menambahkan
b , dan apabila harga ini sama dengan panjang ukuran dengan pita ukur, 2
berarti posisi A sudah betul. Apabila belum cocok, maka dicoba lagi atau diulangi lagi oleh si pemegang rambu, sedemikian hingga besaran ukuran jarak pita dari B ke A sama dengan hitungan. Metode ini akan lebih cepat dan praktis dibanding cara dengan skala, terlebihlebih apabila surveyor sudah berpengalaman. Hal ini dapat lebih disederhanakan dengan pemasangan harga tinggi akhir dari formasi dan tinggi garis bidik dari instrumen. Perbedaan tinggi di antara harga tersebut sama dengan (H + h) misalnya = Y, maka : w2 =
b + m (Y – H2) . . . . . . . . . . . . . ..................... . . . . . . . . . . . . . . . .(VIII.10) 2
6
H1 C
H
H2
B A
Papan profil
1:m
h2
1:m
h1 h
b/2
b/2
Gambar VIII.4. Pemasangan patok batas galian/timbunan
Papan profil (bouw-plank) kemudian dipasang untuk kemiringan 1 : m sedemikian hingga kemiringan yang sebenarnya dapat direalisasi selama konstruksi (pembangunan). Untuk penggalian papan ini dipasang sedikit di luar dari lebar sisinya, sedangkan untuk penimbunan dipasang tepat pada pertemuan antara batas penimbunan dengan permukaan tanah asli.
Contoh : Hitung lebar sisi dan luas tampang suatu timbunan untuk jalan raya apabila diketahui lebar formasi 12,50 m, kemiringan talud 1:2, tinggi timbunan di sumbu proyek 3,10 m dan kemiringan tanah asli 1:2 tegak lurus arah sumbu proyek.
Hitungan : Berdasarkan gambar 13.25.b : w1
b 2
Di sini : b = 12,50 w1
k
mh
k m
k = 12
12,50 2
m=2
2 x 3,10
h = 3,10
12 10
= 14,94 meter w2
b 2
w2
12,50 2
k
mh
k m 2 x 3,10
12 14
= 10,67 meter 7
Dari persamaan (13.25): Luas
=
b 2
1 2m
mh w 1 w 2 -
b2 2
1 12,50 2 12,45 14,94 10,67 = 4 2
= 60,18 m2
Contoh : Pada contoh sebelumnya, apabila pemasangan patok A (gambar 13.26.b) dengan penyipat datar, pembacaan rambu di B adalah 3,636 m dan pembacaan rambu di titik A (coba-coba) adalah 2,768 m serta pengukuran jarak dengan pita ukur 10,67 m. apakah posisi tersebut benar ? Hitungan : Pembacaan rambu di B = H = 3,636
Pembacaan rambu di titik
coba-coba = H2 = 2,68 Atas dasar geometri bentuk timbunan, pada persamaan (VIII.8) dan (VIII.9) perlu kita modifikasi sehingga menjadi : w1 =
b + m (H1 + h – H) . . . . . . . . . . (a) 2
w2 =
b + m (H2 + h – H)) . . . . . . . . . . (b) 2
Subtitusi pada harga coba-coba pada persamaan (b) : w2 = 6,625 + 2 (2,746 + 3,10 – 3,636) = 10,67 m ternyata harganya sama dengan panjang bentangan dengan pita ukur sebelumnya, berarti penempatan patok A dari batas timbunan sudah benar.
VIII.1.3. Tampang dengan permukaan tanah asli mempunyai dua kemiringan (three level section/variabel level) Pada tampang yang demikian maka kemiringan tanah asli adalah 1:k dan 1:l. Rumus untuk lebar sisi di sini menjadi : w1
b 2
mh
k k m
. . . … . . . . . . . . . . . . ..................... . . . (VIII.11) 8
w2
b 2
l
mh
. . . . . . . . . . . ..................... . . . . . . . . . . . .(VII.12)
l m
Apabila BA menurun dari garis sumbu maka : w2
b 2
l
mh
l m
. . . ………. . . ......... . . . . . . . . . . .(VIII.13)
b/2
b/2
h 1:l
A
B
1:m
H2
C
H1 W2 W1
Gambar VIII.5. Tampang dengan tiga permukaan Luas tampang A = = ½ w1
= ½
=
1 2m
b 2m
h + ½ w2
b 2m
h -½b.
b 2m
b2 h (w1 + w2) – 2m
b 2m b 2
mh w 1 w 2 -
b2 2
.. . . . . . . . . . . . . . ..(VIII.14)
VIII.1.4.Tampang dengan tanah asli dalam galian dan timbunan (side hill two level section) Biasanya kemiringan talud dari penimbunan tidak sama dengan penggalian sehingga di sini dimisalkan kemiringan talud penimbunan 1:m dan kemiringan talud penggalian 1:n. demikian pula perpotongan antara bidang formasi dan tanah asli tidak harus berada pada garis sumbu proyek. Dari gambar 13.30,
GBA sebangun dengan
EBJ.
Dengan demikian : GB BE
h2 h 9
GB BE BE
Akan tetapi
h h2 h
GB + BE = w2
dan
BE = k . h b/2
1:n
b/2
1:k h E
1: m
B
h1
J
W1
W2
A
Gambar VIII.6. Tampang dalam galian dan timbunan
Sehingga :
w2 = k (h + h2)
Demikian pula
GD = mh2 = GE – DE = w2 –
b 2
Dengan demikian : h2
Dan
w2
b
w2
2w 2 b 2m
2
m
2w 2 b 2m
k h
2mw2 = 2mkh + 2w2k – bk 2w2 (k – m) = bk – 2mkh Dengan demikian : w2
k k m
b - mh . . . .. . .. . . . . . . . . . . . . . . . .(VIII.15) 2
Dengan cara yang sama, lebar sisi yang lain direduksi dari gambar di atas : BL BE
EL BE BE
EL BE
h1
h1 h
Dengan demikian :
h h
BE = kh
10
Sehingga :
EL = w1 = k (h1 – h)
Akan tetapi
FL = nh1 = w1 -
b 2
Sehingga :
Jadi
h1
2w 1 b 2n
w1
k
w1
2w 1 b 2n k
k n
h
b 2
nh
. ... . . . . . . . . .. . . . . . . . .. . (VIII.16)
Luas timbunan : b 2
½ h2 . DB = ½ h2
kh
2w 2 b 2m
= ½
b = ½
b 2
kh
kh
2
2 k m
... . . . . . . . . . . . . . . . . . ..(VIII.17)
Luas galian : ½ h1 . BF = ½ h1
= ½
kh
2w 1 b 2n
b = ½
b 2
kh
2 k n
b 2
kh
2
. . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . (VIII.18)
Apabila tampang timbunan berada pada garis sumbu tidak seperti pada gambar 13.29, maka perlu modifikasi rumus di atas menjadi :
b Luas timbunan = ½
b Luas galian
= ½
kh
2
2 k m
kh
2 k n
. . . . . . . . . . . . . . . . . .. (13.19) 2
. . . . . . . . . . . . . . . . . .. (VIII.20)
11
Dalam pemasangan patok (setting out) pada tampang yang demikian, dengan alat penyipatdatar yang disetel di atas titik C seperti pada gambar 13.28, patok harus b 2
dipasang di A sejauh w2 dari sumbu =
mh2 .
Apabila Y adalah tinggi garis bidik di atas bidang formasi, maka h2 harus sama dengan pembacaan rambu yang didirikan di A, misal H2, minus Y. h2 = H2 –Y
Dengan demikian :
Besaran w2 untuk harga pembacaan rambu H2 pada titik atau patok yang akan dipasang dihitung dengan persamaan : w2 =
b 2
mh2 =
b 2
m H2 Y
Dan bandingkan dengan jarak dari pita ukur. Apabila tidak sama maka rambu dipindah-pindah naik atau turun pada garis profil/tampang sedemikian hingga harga pembacaan rambu untuk perhitungan w akan sesuai dengan jarak dari pita ukur. Apabila garis bidik penyipatdatar berada di bawah level bidang formasi, maka Y harus ditambahkan pada pembacaan rambu di posisi titik coba-coba.
Contoh : Sebuah rencana jalan dengan lebar formasi 9,50 meter, dengan kemiringan talud di daerah penggalian 1:1 dan 1:3 pada daerah penimbunan. Permukaan tanah asli mempunyai kemiringan 1:5. Apabila kedalaman penggalian di garis sumbu proyek 0,50 meter, hitung lebar sisi dan luas tampang galian dan timbunannya. Hitungan : Dari rumus (VIII.34), (VIII.35), (VIII.36), (VIII.37) kita dapatkan : w2
k k m
b - mh 2
=
5
(4,75 – 3 x 0,5)
5 3
= 7,88 meter w1
k k n
b 2
nh
=
=
5 5 1
(4,75 + 1 x 0,5)
6,56 meter
b Luas timbunan = ½
kh
2 k m
2
=
4,75 5x 0,5 ½ 5 3
=
1,27 m2
2
12
b Luas galian
= ½
2
kh
2 k n
=
4,75 5x 0,5 ½ 5 1
=
6,57 m2
2
Permukaan tanah asli dapat diperoleh dari pengukuran profil melintang dari peta topografi (kontur). Untuk lebar formasi tergantung dari macam proyek dan kelaskelasnya (jalan raya, saluran irigasi, tanggul dll), sedangkan kemiringan talud ditentukan oleh faktor kekompakan dari material tanahnya.
Untuk perhitungan volume tubuh tanahnya dapat digunakan beberapa rumus, antara lain : 1. Rumus tampang rata-rata (mean areas) Dalam rumus ini volume didapat dengan mengalikan luas rata-rata dari tampang yang ada dengan jarak antara tampang awal dan akhir. Apabila tampang-tampang tersebut A1, A2, A3, . . . . . . .An-1, An, dan jarak antara tampang A1 ke An = L, maka : Volume = V =
A1
A2
A3
. . . . . . . . .A n -1 n
An
. L …………… (VIII.21)
2. Rumus dua tampang (end areas) Apabila A1 dan A2 adalah luas tampang yang berjarak D, maka volume antara dua tampang tersebut adalah : V = D.
A1
A2 2
.. . . . . ……………. . . . . . . . . . . . . . . . .(VIII.22)
Rumus ini benar sepanjang tampang tengah antara A1 dan A2 merupakan rata-rata dari keduanya. Seandainya tidak, maka penggunaan rumus tersebut harus diberikan koreksi (koreksi prismoida). Apabila tampang-tampang di sini banyak dan jarak-jarak antar tampang bervariasi misal D1, D2, D3, dst, maka : Volume
=
V
=
D1 A 1 A 2 2
+
D2 A2 A3 2
+
D3 A3 A 4 +........... 2
Apabila D1 = D2 = D3 dan seterusnya = D, V = D
A1
An 2
A2
A3
. . . . . . . A n -1
. . ........... .(VIII.23) 13
Rumus ini didasarkan pada rumus trapesium untuk volume.
Contoh : Sebuah pekerjaan penimbunan dengan kemiringan 1:20 ke arah memanjang (longitudinal). Tubuh tanah tersebut dibatasi oleh tiga buah tampang yang masingmasing berjarak 20 meter dan tinggi timbunan pada masing-masing tampang adalah 6,00; 7,60 dan 9,20 meter di atas permukaan tanah asli dan permukaan tanah asli mendatar. Apabila kemiringan talud 1:1 lebar formasi 6,00 meter , hitung volume timbunan tersebut dengan rumus trapesoid. Hitungan : Dengan rumus (13.2) : A = h (b + mh) A1 = 6,00 (6,00 + 6,00) = 72,00 m2 A2 = 7,60 (6,00 + 7,60) = 103,36 m2 A3 = 9,20 (6,00 + 9,20) = 139,84 m2 Catatan : tampang tengah (A2) tidak sama dengan rata-rata dari kedua tampang luar A1 dan A3. V =
20,00 (72,00 + 2x103,36 + 139,84) 2
= 4185,60 m3 Apabila digunakan rumus dua tampang terluar : V =
40 (72,00 + 139,84) 2
= 4236,80 m3 ternyata terlalu banyak, lebih dari 1% dibanding dengan perhitungan pertama.
3. Rumus prismoida Rumus ini adalah rumus yang paling baik diantara rumus-rumus yang lain. Prisma adalah sebuah bangun yang bidang sisi-sisinya berupa bidang datar, sedang bidang alas dan atasnya sejajar. Bentuk rumus prismoida adalah : V=
D (A1+ 4M + A2) . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . .. . . . (VIII.24) 6
Di sini A1 dan A2 : penampang luar (atas dan bawah) 14
D
: jarak antara A1 dan A2
M
: luas penampang tengah
Apabila M adalah rata-rata dari A1 dan A2 , maka : V=
D A1 6
= D x
A1
4
A1
A2 2
A2
A2
sama dengan rumus volume dengan
2
dua permukaan (end area) Rumus ini dapat dikembangkan untuk volume piramida, yaitu prisma di mana luas alas berupa bujur sangkar dan luas atasnya = 0, sehingga apabila sisi alas = x, maka : Luas alas : A = x2 Luas penampang tengah : M =
A x2 = 4 4
Luas penampang atas = 0 V= =
D A A 4. 6 4
0
D .A 3
Dengan cara yang sama untuk prisma segitiga dengan panjang dan lebar sisi a dan b dan tinggi D, maka : V= =
D ab 6
4ab 2
0
Dab 2
D
D b a
15
Gambar VIII.7. Piramida dan prisma segitiga
Rumus Simpson : Apabila tampang-tampang tersebut banyak, misal A1, A2, A3, A4, . . . . An, maka dapat dihitung volume untuk setiap bangun yang dibatasi tiga tampang (sisi) : V1 =
2D (A1 + 4A2 + A3) 6
V2 =
2D (A3 + 4A4 + A5), dan seterusnya 6
Sehingga : V=
D (A1 + 4A2 + 2A3 + 4A4 + . . . + 2 An-2 + 4An-1 + An) 3
.(VIII.25)
Di sini : n = nomor-nomor ganjil D = jarak antar dua tampang
Koreksi prismoida : Perhitungan volume dengan rumus prisma (prismoida) lebih baik bila dibandingkan dengan rumus end area. Oleh karenanya, apabila hitungan dilakukan dengan metode atau rumus end area sebaiknya dikoreksi dengan Koreksi Prismoida atau Prismoida Corection untuk mendapatkan hasil yang baik. Misal D : jarak antara dua tampang, A1 dan A2 : dua tampang ujung-ujungnya, M : tampang tengah, h1 dan h2 masing-masing adalah beda tinggi antara bidang formasi dan permukaan tanah asli, dan b adalah lebar formasi. Kemudian dari persamaan (13.21) : A1 = h1 (b + mh1) A2 = h2 (b + mh2) Sehingga
D (bh1 + mh12 + bh2 + mh22) 2
Vend area =
Dengan anggapan hm =
h1
h2
(beda tinggi antara bidang formasi
2
tampang tengah dengan permukaan tanah asli), maka : M =
h1
h2 2
b m
h1
h2 2
16
bh1 2
=
bh2 2
mh1 4
2
mh2 4
2
Sehingga Vprismoida = D bh1 6
mh1
2
bh1 2
4
Vp =
Jadi : VEA – Vp
bh2 2
mh1 4
2
mh2 4
2
mh1h2 2
bh2
mh2
2
D (3bh1 + 2mh12 + 3bh2 + 2mh22 + 2mh1h2) 6 2 2 mh1 3
D bh1 6
=
D mh1 2 3
=
D . m(h1 – h2)2 .. . . . . . . . . . . . . .. (VIII.26) 6
2
2 2 mh2 3
2mh1 h2 3
=
bh2
2mh1 h2 3
mh2 3
2
= koreksi prismoida untuk tampang satu permukaan Karena besaran (h1 – h2)2 selalu positif, maka koreksi selalu dikurangkan terhadap volume yang dihitung dengan rumus volume dengan dua tampang atau end area formula. Dengan cara yang sama dapat diperoleh koreksi prismoida untuk tampang dengan dua permukaan atau two level sections : VEA – Vp =
D D (A1 + A2) (A1 + 4M + A2) 2 6
=
D (A1 – 2M + A2) 3
=
D k2 . 2 . m h1 6 k m2
. . . . . ....
(VIII.27)
h2 . . . . . . (VIII.28)
Seperti halnya pada tampang dengan satu permukaan, maka di sini koreksi prismoida selalu positif, sehingga k>m. Pada tampang dua permukaan di mana sebagian dalam timbunan dan sebagian lagi dalam galian : Timbunan KP =
D k 2 h1 12 k m
h2
2
. . . . . . . . . . . . (VIII.29)
Galian KP
D k 2 h1 12 k n
h2
2
. . . . . . .
=
(VIII.30)
Contoh : 17
Dari contoh yang sebelumnya yang diselesaikan dengan metode end area, hitung kembali volumenya dengan rumus prismoida. Hitungan : a. Dengan mengambil D = 40 meter 40 (72,00 + 4.103,36 + 139,84) 6
V =
= 4168,50 m3
b. Dengan D untuk setiap 20 meter, menggunakan koreksi prismoida V1 =
20 (72,00 + 103,36) 2
= 1753,60 m3 KP = =
Dm (h1 – h2)2 6 20 x 1 (6,00 – 7,60)2 6
= 8,53 m3 V2 =
20 (103,36 + 139,84) 2
= 2432 m3 KP =
20 ((7,60 – 9,20)2 6
= 8,53 m3 Jumlah volume = 4168,5 m3
Ternyata hasil hitungan volume dengan metode end area dan koreksi prismoida adalah sama, hal ini dikarenakan luas penampang tengah sama besar dengan rata-rata antara dua penampang luarnya.
Contoh : Sebuah galian tanah dilakukan pada tanah asli yang mempunyai kemiringan 1:5. Lebar formasi 8,00 meter, kemiringan talud 1:2. Apabila kedalaman penggalian pada sumbu proyek di tampang 1, 2, 3 yang masing-masing berjarak 20 meter adalah 2,50
18
meter; 3,10 meter dan 4,30 meter, hitung volume tubuh tanah yang dibatasi oleh ketiga tampang tersebut.
Hitungan : Dengan rumus (VIII 33) A =
b 2
1 2m
mh w 1 w 2 -
b2 2
Dan dari rumus (13.30) dan (13.31) : w1
b 2
w2
b 2
k
mh
k m k
mh
k
Sehingga didapat :
m
k k
m
5 k , 3 k m
5 7
untuk m = 2 dan k = 5
A1 = 40,24 m2
Dari hitungan didapat
A2 = 53,94 m2 A3 = 86,50 m2 a. V =
Apabila dihitung dengan rumus prismoida : 40 (40,24 + 4 x 53,94 + 86,50) 6
= 2283,30 m3 b. VEA =
Dihitung dengan rumus end area dengan koreksi prismoida : 20 (40,24 + 2 x 53,94 + 86,50) 2
= 2346,20 m3 Dari rumus (13.45) : KP = Sehingga jumlah KP =
D k2 . 2 . m h1 6 k m2
2
h2
20 25 . . 2 2,50 3,10 6 21
2
3,10 4,30
2
= 14,30 m3 Sehingga
Vp = 2346,20 – 14,30 = 2331,90 m3 19
Contoh : Sebuah rencana jalan dengan lebar formasi 9,00 meter dan kemiringan talud 1:1 dalam penggalian dan 1:3 dalam timbunan. Permukaan tanah asli mempunyai kemiringan 1:5. Apabila kedalaman penggalian dari dua tampang dalam sumbu proyek yang 20 masing-maisng adalah 0,40 meter dan 0,60 meter, hitung volume galian dan timbunan dalam sektor ini. Hitungan : Dari rumus (VIII.17) dan (VIII.18)
b Luas tampang timbunan = ½
b Luas tampang galian
= ½
2
kh
2 k m
kh
2
2 k n
Pada tampang 1 : Luas tampang timbunan = Luas tampang galian =
1 4,5 5 x 0,4 . 2 5 3
1 4,5 5 x 0,4 . 2 5 1
2
= 1,56
2
= 5,28
Pada tampang 2 : Luas tampang timbunan = Luas tampang galian =
1 4,5 5 x 0,6 . 2 5 3
1 4,5 5 x 0,6 . 2 5 1
2
= 0,56
2
= 7,03
Timbunan : VEA =
20 (1,56 + 0,56) = 21,20 m3 2
Dari rumus (XI.46) : KP = = Jadi
D k 2 h1 12 k m
h2
2
20 x 25 x 0,202 = 0,80 m3 12 x 2
Vp = 20,40 m3
Galian : 20
20 . (5,28 + 7,07) = 123,10 m3 2
VEA =
Dari rumus (13.49) : KP = =
D k 2 h1 12 k n
h2
2
20 x 25 x 0,202 = 0,4 m3 12 x 4
Jadi Vp = 122,70 m3 Dengan demikian, di sini penggalian lebih besar 102,3 m3 dari timbunan.
4. Rumus Frustum. Rumus ini berlaku untuk bangun-bangun yang mendekati bentuk kerucut terpancung dimana luas penampang atas ≤ 0,5 dari luas penampang bawah. A2
t
A1
Gambar VIII.8. Frustum.
Adapun bentuk dari rumus Frustum adalah : V = 1/3.t.(A1 + A2 +
A1 . A2 ) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(VIII.31)
Dalam hal ini : t : tinggi / jarak antara penampang atas dan bawah A1 : luas penampang atas A2 : luas penampang bawah.
VIII.1.5. Pengaruh dari kelengkungan Sejauh ini kita beranggapan bahwa sumbu proyek lurus dan tampang-tampang melintang yang ada tegaklurus terhadap garis sumbu. Apabila garis sumbu proyek 21
melengkung, maka tampang-tampang tersebut tidak lagi saling sejajar satu sama lain, melainkan akan berbentuk radial, sehingga volumenya akan menjadi lebih kecil dari yang bergaris sumbu lurus, sehingga disini perlu diberikan koreksi kelengkungan seperti yang dijelaskan dalam teori Pappus. Teori Pappus menyatakan bahwa : volume dari suatu tampang yang berputar, sama dengan luas tampang tersebut dikalikan dengan jarak yang ditempuh oleh titik berat dari tampang yang berputar. Apabila luas tampang-tampang tidak seragam, maka untuk perhitungan volumenya dapat dihitung dengan cara sebagaimana yang digambarkan berikut ini:
R
R
E1
E2 b/2 b/2
TB
TB
R
locus dari titik berat
R b/2
b/2
Gambar VIII.9.Tampang dengan jarak titik berat yang tidak sama.
Apabila tubuh tanah berbentuk melingkar dan tampang awal dan akhir tidak sama, maka jarak masing-masing titik beratnya terhadap sumbu = rata-rata pusat gaya berat dari garis sumbu : =
1
2
2
1
dan
2
maka jarak
, maka radius atau jari-jari dari
lingkaran yang dijalani oleh titik berat menjadi (R±ε). Tanda minus dikenakan apabila rata-rata pusat gaya berat berada diantara garis sumbu proyek dan pusat lingkaran, dan plus apabila berada diluar dari sumbu proyek. Apabila jarak antar tampang = D, maka sudut pusat yang mengapit = θ = XY =
D .(R R
D , sehingga jarak yang ditempuh oleh titik berat = R
).
Sehingga volume (pendekatan) menjadi : V=
1 ( A1 + A2 ).D 1 2
R
.. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . .(VIII.32)
22
Posisi dari pada titik berat mungkin berpindah-pindah terhadap garis sumbu, apabila kemiringan permukaan tanah berubah, maka untuk mencari harga ε dihitung secara aljabar dari harga ε1 dan ε2 . Sebagai alternatif yang lain, yang dikoreksi luas tampangnya sehingga misalnya A1 menjadi A1 1 dikoreksi menjadi :
A1 R
1
,
A2 R
2
1
R
, sehingga setiap tampang setelah
, . . . . .dst, dan luas tampang terkoreksi tersebut
digunakan dalam rumus prismoida.
Contoh : Suatu penggalian dengan sumbu proyek melengkung dengan jari-jari 120 m. Permukaan tanah asli mendatar, miring talud 1:1,5 , lebar formasi dari 6 m melebar menjadi 9 m secara kontinyu pada jarak 90 m dari awal penggalian. Apabila kedalaman penggalian di sumbu proyek bertambah secara kontinyu dari 2,40 m sampai 5,10 m, hitung volume tanah yang harus digali.. Penyelesaian: Berdasarkan gambar 13.34 maka luas tampang galian A = 3h. Untuk sembarang kedalaman yang diberikan pada sumbu proyek (h) X=
3 h 3 x = h meter. 2 2 4
Oleh karenanya eksentrisitas dari titik berat menjadi 4,5 +
3h dari sumbu sebelumnya, 4
sehingga dapat dibuat tabel sebagai berikut :
galian baru
h
1:1
h/2
6m
1/2
3m 4.5 m 23
Gambar VIII.10. Tabel : Jarak rerata dari Jarak (m)
H (m)
A (m)
titik berat dari
(m)
sumbu 0 30 60 90
2,40 3,30 4,20 5,10
7,20 9,90 12,60 15,30
4,50 + 1,80 = 6,30 4,50 + 2,48 = 6,98 4,50 + 3,15 = 7,65 4,50 + 3,82 = 8,32
6,64 7,32 7,98
Volume penggalian antara 0 dan 30 m : =
7,2 9,9 30 (120 6,64) 2 120
= 242,31 m3 Volume penggalian antara 30 dan 60 m : =
9,9 12,6 30 (120 7,32) 2 120
= 316,91 m3 Volume penggaliam antara 60 dan 90 m : =
12,6 15,3 30 (120 7,98) 2 120
= 390,67 m3 Jumlah volume = 949,89 m3
dibulatkan menjadi 950 m3
Alternatif hitungan lain yaitu dengan rumus prismoida : Jarak 0 15 30 45 60
h (m)
A (m)
ε (m)
2,40 2,85 3,30 3,75 4,20
7,20 8,55 9,90 11,25 12,60
6,30 6.64 6,98 7,31 7,65
A.
R
(m2)
0,38 0,47 0,57 0,68 0,80
A 1
R
(m2)
6,82 8,08 9,33 10,57 11,80 24
75 90
4,65 5,10
13,95 15,30
7,99 8,32
0,93 1,06
Volume =
30 (6,82 + 4 x 8,08 + 4 x 13,02 + 14,24) 6
13,02 14,24
= 950 m3 Catatan : Bangun di atas apabila tidak dikoreksi dengan koreksi kelengkungan akan mendapatkan volume = 1012,5 m3 sehingga akan kelebihan sebesar 6,5%.
VIII.2. Penentuan Volume Dengan Garis Kontur Seperti kita ketahui dari paragraf di muka bahwa garis kontur atau tranches pada peta adalah garis-garis yang menghubungkan tempat-tempat yang sama tinggi sehingga bidang yang terbentuk oleh sebuah garis kontur akan berupa bidang datar. Apabila kita mempunyai peta dengan garis kontur maka perhitungan volume sama dengan menghitung volume dengan penampang-penampang melintang. Luas setiap penampang di sini adalah luasan yang dibatasi
oleh suatu garis
kontur, sedangkan tinggi atau jarak antar penampang adalah besarnya interval garis kontur, yaitu beda harga antara dua garis kontur yang berurutan. Karena bangun atau bidang yang dibatasi oleh sebuah garis kontur bentuknya tidak teratur, maka penentuan luas di sini dikerjakan dengan planimeter. Volumenya dapat dihitung dengan rumus end area untuk setiap dua buah tampang yang berurutan, rumus prismoida untuk setiap tiga buah tampang, atau rumus Simpson untuk tampang yang banyak. Karena garis kontur digambar dengan interval yang tertentu tergantung dari skala peta yang dipakai, misal 1 meter, 5 meter, 10 meter, 25 meter, dll, maka apabila kita memerlukan harga kontur yang lain dapat diinterpolasi dari harga kontur yang ada.
25
Gambar VIII.11.Garis kontur pada bukit.
Perhitungan volume dengan garis kontur umumnya dilakukan untuk perhitungan volume yang tidak membutuhkan ketelitian yang tinggi, seperti perkiraan volume air yang dapat ditampung dalam suatu waduk atau bendungan, volume tubuh bendung, volume bahan tambang dalam suatu bukit, dll. Ketelitian perhitunagn volume tergantung pada ketelitian peta yang digunakan.
Contoh : Pada gambar peta di bawah ini (gambar VIII.12) denganinterval kontur 1 meter, akan didirikan bangunan dengan tinggi dasar lantai (level) 32,0 meter. hitung volume material yang digali apabila miring talud 1:2.
Hitungan : 1. Karena miring talud 1:2 maka untuk interval kontur 1 meter jarak horisontal 2 meter. 2. Garis potong antara permukaan tanah asli dan galian seperti yang digambarkan dengan garis patah-patah. Catatan : teknik penggambaran isometrik lihat paragraf 11.6.di muka.
36 35
34 5
33
4 3
32
5
26 4 3
2
Gambar VIII.12. Perhitungan volume dengan kontur.
3. Garis potong antara permukaan tanah asli dan galian seperti yang digambarkan dengan garis patah-patah. Catatan : teknik penggambaran isometrik lihat pada literature yang lain. Luas untuk setiap garis kontur yang tertutup dihitung dengan planimeter. Luas kontur 32 meter adalah bangun A1CD; luas kontur 33 adalah bangun yang dibatasi oleh titik-titik bernomor 2; luas kontur 34 adalah bangun yang dibatasi oleh titik yang bernomor 3; dan luas kontur 35 adalah bangun yang dibatasi titik bernomor 4, sedang luas kontur 36 = 0. 4. Misal dengan planimeter luasan-luasan tersebut didapat : Kontur Luas(m2)
32
33
34
35
36
315,0
294,5
125,0
30,0
0
5. Volume dihitung dengan rumus Simpson : V =
1 {315,0 + 0,0 + (2 x 125,0) + 4(294,5 + 30,0)} 3
= 621,0 m3
VIII.3. Penentuan Volume Dengan Sipatdatar dan Penggalian (borrow pit/spot level) Metode ini banyak dipakai pada pekerjaan penggalian yang besar dan luas. Pelaksanaan di lapangan yang akan diukur volumenya meliputi pembuatan jaring-jaring grid yang berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang dengan panjang sisi yang tertentu, misal tiap 10 meter, 15 meter atau yang lain. Titik-titik grid di lapangan 27
ditandai dengan patok kayu, kemudian diadakan pengukuran sipatdatar untuk mengetahui ketinggian setiap patok. Apabila pengalian yang akan dikerjakan sampai pada level yang tertentu, maka selisih tinggi untuk setiap patok dapat dihitung. Atau apabila penggalian dilakukan terlebih dahulu baru dihitung volume tanah yang telah tergali, maka sesudah penggalian pada patok-patok tersebut diadakan pengukuran sipat dapat kembali untuk mengetahui kedalaman penggalian di setiap patok. Dari selisih-selisih ketinggian tersebut kemudian dihitung volumenya dengan rumus prisma terpancung, dengan alas prisma berupa empat persegi panjang atau segi tiga, sedang tinggi prisma diambil dari rata-rata dalamnya penggalian di titik-titik grid (patok).
Contoh : A
B
C
dengan titik-titik grid seperti gambar di
12.5
Pada suatu daerah yang dibatasi
samping setelah penggalian diadakan
seperti dalam contoh di bawah, hitung volume tanah yang tergali tersebut.
F
12.5
pengukuran tinggi ulang, beda tinggi
E F
H
I
G 15
15
Gambar VIII.13
Hitungan : a. Dengan anggapan bangun tersebut dibagi dalam empat buah empat perssegi panjang yang terpisah dengan luas alas yang sama dan tinggi setiap prisma diambil rata-rata dari ketinggian keempat sudutnya. Karena ketinggian titik sudut ada yang digunakan lebih dari satu kali, sehingga hitungan dibuat dalam tabel sbb :
Titik
A B
Dalamnya penggalian (hn) (m) 3,15 3,70
Banyaknya pemakaian (n) 1 2
Hasil kali Hn x n 3,15 7,40 28
C D E F G H I
4,33 3,94 4,80 4,97 5,17 6,10 4,67
1 2 4 2 1 2 1
Volume = 15 x 12,5 x
73,94 4
4,33 7,88 19,20 9,94 5,17 12,20 4,67 hn x n = 73,94
= 3466 m3
b. Dengan menganggap prisma segitiga, sehingga tinggi prisma adalah rata-rata dari ketiga tinggi sisinya, maka dapat ditabulasikan sbb :
Titik A B C D E F G H I
Dalamnya penggalian (hn) (m) 3,15 3,70 4,33 3,94 4,80 4,97 5,17 6,10 4,67
Volume =
Banyaknya pemakaian (n) 1 3 2 3 6 3 2 3 1
Hasil kali hn x n 3,15 11,10 8,66 11,82 28,80 14,91 10,34 18,30 4,67 hn x n = 111,75
15,0 x 12,5 111,75 x 2 3
= 3492 m3
VIII.4. Diagram Mass-Haul Pada pekerjaan tanah yang besar dan memanjang seperti halnya perencanaan jalan kereta api, jalan arteri, saluran irigasi primer, dan lain-lain, diagram Mass-Haul adalah sangat penting perannya dalam perencanaan dan konstruksi. Diagram Mass adalah suatu lengkungan yang menunjukkan penjumlahan aljabar dari volume galian dan timbunan, dari stasiun yang tertentu sampai stasiun berikutnya. Pada diagram ini stasiun ditempatkan pada sumbu absis dan jumlah volume pada ordinat. Skala pada absis sama dengan skala horisontal pada gambar profil memanjang, 29
skala ordinat disesuaikan dengan volume dalam meter kubik, misal 1 cm untuk 100 m3. Sebelum menggambar diagram ini sebaiknya disusun dahulu dalam tabel dari volume galian (+) dan timbunan (-).
Jarak dari awal 0 40 100 200 300 400 500 600 700 780 820 900 1000 1035 1100 1200 1300 1400 1500 1530 1600 1700 1800 1900 2000
Kedalaman dari sumbu (m) T 1,22 0,0 G 1,52 C 3,96 C 4,12 C 2,74 0,0 T 3,05 T 4,27 T 4,72 T 4,72 T 3,51 T 1,22 0,0 G 1,98 G 3,96 G 3,66 G 2,44 G 0,61 0,0 T 1,07 T 1,52 0,0 G 1,68 G 3,66
Volume galian
timbunan
Faktor susulan
Volume terkoreksi
230 480 2560 4560 3940 950
0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 1350 4010 4600 jembatan 4130 2370 60
510 3180 4055 3860 1320 100
0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 350 1230 420
1080 3730
0,89 0,89
+ 430 + 2300 + 4100 + 3550 + 850 - 1350 - 4010 - 4600 - 4130 - 2370 - 60 + 460 + 2860 + 3650 + 3470 + 1190 + 90 - 350 - 1230 - 420 + 960 + 3320
Volume akumulasi 0 - 230 + 200 + 2500 + 6600 + 10150 + 11000 + 9650 + 5640 + 1040 + 1040 - 3090 - 5460 - 5520 - 5060 - 2200 + 1450 + 4920 + 6110 + 6200 + 5850 + 4620 + 4200 + 5160 + 8480
Sebagian besar material (tanah/batuan) volumenya akan bertambah dari aslinya setelah digali, tetapi setelah digunakan untuk menimbun dan dipadatkan akan mengalami penyusutan. Apabila faktor penyusutan ini diketahui maka ada baiknya hal ini dikenakan pada perhitungan volume dalam menyusun diagram Mass ini. Haul Biaya penggalian dan angkutan material ditentukan oleh beberapa faktor antara lain jarak angkut. Besarnya biaya unit price dari penggalian dan angkutan yang telah dihitung dalam jarak angkut yang telah tertentu, misal 500 meter. jarak ini dinamakan 30
dengan Free Haul. Apabila material harus diangkut melebihi jarak tersebut, maka kelebihan jarak tersebut dinamakan dengan overhaul. Dengan demikian Haul adalah volume x jarak yang ditempuh untuk mengangkut untuk ditimbun. Hal ini akan sama dengan jumlah volume dari galian x jarak dari pusat galian ke pusat timbunan. Diagram di bawah adalah contoh pengeplotan dari data di halaman sebelumnya untuk jarak 1000 meter. dalam diagram ada beberapa hal yang perlu dikemukakan di sini, antara lain : a. Apabila kurva naik menunjukkan galian, sehingga volume akumulasi bertambah terus (yaitu J ke B) dan titik maksimum adalah akhir dari galian (yaitu b,e). b. Apabila kurve menurun menunjukkan timbunan (yaitu B ke M dan N ke D) dan titik minimun adalah akhir dari timbunan (yaitu d). c Sembarang garis horisontal atau mendatar memotong kurve seperti garis lm, maka volume galian akan sama dengan timbunan dan dinamakan garis keseimbangan. Apabila kurve berada di atas garis keseimbangan, material harus dipindahkan ke kanan, seperti pada LBM dan apabila di bawah garis keseimbangan, material harus dipindahkan ke sebelah kiri, seperti pada RGS.
Gambar 13.14. Diagram Mass-Haul a. Apabila kurve menurun menunjukkan timbunan (yaitu B ke M dan N ke D) dan titik minimun adalah akhir dari timbunan (yaitu d). d. Sembarang garis horisontal atau mendatar memotong kurve seperti garis lm, maka volume galian akan sama dengan timbunan dan dinamakan garis keseimbangan. Apabila kurve berada di atas garis keseimbangan, material harus dipindahkan ke kanan, seperti pada LBM dan apabila di bawah garis keseimbangan, material harus dipindahkan ke sebelah kiri, seperti pada RGS. 31
Garis basis juga bisa berlaku sebagai garis keseimbangan, namun tidak selalu dipakai untuk itu. Garis keseimbangan dapat dipilih yang sesuai dan tidak harus bersambungan untuk seluruh diagram, seperti lm dan np yang terpotong oleh jembatan dan antara np dan qrs yang sama sekali terpisah. Titik yang berada di antara dua garis keseimbangan yang berbeda berarti dalam profil tersebut tidak termasuk dalam keseimbangan, seperti antara K dan L dan antara P dan Q pada kurva yang naik. Dalam hal ini maka berarti kelebihan material dan harus diambil dan dibuang (waste) sedang apabila menurun berarti kekurangan material yang harus diambilkan dari tempat lain untuk penimbunannya. Hal ini mungkin malah lebih ekonomis daripada membuat garis keseimbangan yang lebih panjang, namun menjadi tidak ekonomis karena angkutannya terlalu jauh. Dengan pertimbangan di atas, maka apabila harga free haul telah ditentukan dapat diplot pada beberapa tempat dalam kurva dan jarak ekstra untuk overhaul dapat diperhitungkan. Misal jarak free haul 500 m, maka antara KBM yang ditandai dengan xy pada kurva Mass-Haul dan yang lain np,qr menjadi garis keseimbangan yang cukup baik. Bagian luasan kurva yang dipotong oleh garis keseimbangan yaitu lbm dinamakan haul di tempat itu sehingga haul adalah hasil kali volume dan jarak. Luasan free haul adalah uxbyvu dan over haul adalah luasan (lbml – uxbyvu). Jarak over haul adalah jarak dari titik berat luasan lxu ke titik berat luasan vym (misal = f) maka over haul volume station = (lbml – uxbyvu) . f meter4 Volume lux dapat dilihat dalam ordinat ux pada kurva, demikian pula untuk volume vym besarnya dinyatakan dalam ordinat vm. Besarnya over haul inilah yang memerlukan biaya ekstra.
Tugas : Mahasiswa diberikan tugas untuk menghitung luas tampang dengan rumusrumus khusus dari : one level section, two level section, tree level section, side hill two level section. 32
Latihan : Mahasiswa diminta membuat diagram Mass-Haul dari data simulasi yang diberikan dosen untuk selanjutnya mendiskusikan hasilnya dalam kelompoknya masingmasing.
Rangkuman : Bahwa perhitungan volume tubuh tanah baik galian atau timbunan dalam perencanaan rute transportasi adalah sesuatu hal yang mesti akan dijumpai. Perhitungan volume tubuh tanah dapat dilakukan dengan berbagai metode diantaranya dengan tampang melintang, borrowpit, maupun dengan garis kontur. Demikian pula rumus-rumusnya bisa dengan End Area, Prismoida, Simpson, Mean Area dll.Penentuan luas tampang dalam pekerjaan tanah yang bersifat memanjang dapat berupa One Level Section, Two Level Section, Three Level Section dan Side Hill Tro Level Section. Agar volume galian dan timbunan bisa direncana agar seimbang bisa dibantu dengan Diagram Mass-Haul.
Referensi 1. Hickerson, T.F., 1964, Route Location and Design, Fifth Edition, Mc. Graw-Hill Book Company, New York. 2. Irvine,., 1995, Penyigian untuk Konstruksi, Edisi kedua, Penerbit ITB Bandung. 3. Kavanagh,B.F.,1997. Surveying with Construction Application, Prentice Hall Inc, New Jersey. 4. Meyer, C.F., 1970, Route Surveying, Mc Graw-Hill Book Company, New York. 5. Tumewu, L,1977, Route Survey, Departemen Geodesi FTSP-ITB, Bandung.
33
34