BAB VII PENUTUP
A. Kesimpulan Di dalam tesis ini, penulis berusaha untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan bagaimana Gerakan Desa Membangun (GDM) sebagai Gerakan
Kolektif
Masyarakat
Desa
Menginisiasi
Pengembangan
Kemandirian Desa. Penelitian dilakukan dalam bentuk studi kasus yaitu inisiasi GDM di Desa Melung Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas. Namun, dikarenakan hampir seluruh kegiatan GDM dari awal dicetuskan, proses konsolidasi sampai dengan keberlanjutannya saat ini tidak dapat dipisahkan dari Desa Melung, maka menjadi penting untuk membahas Gerakan Desa Membangun (GDM) secara menyeluruh dari sisi histori atau sejarah pembentukan, termasuk apa trigger (faktor pemicu)-nya, bagaimana dinamika pencetusan dan penyebaran gagasan, bagaimana konsolidasi internal dan eksternal GDM, maupun bagaimana proses keberlanjutannya (sustainability) pada masa sekarang dalam rangka mengembangkan kemandirian desa dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi, tata kelola pemerintahan desa dan pengelolaan sumber daya desa. GDM sebagai gerakan kolektif masyarakat desa di wilayah Banyumas untuk
menginisiasi
kemandirian
desa
mengusung
pendekatan
“desa
membangun” sebagai antithesis dari pendekatan “membangun desa” oleh pemerintah, meskipun keduanya tidak dikenal dalam wacana dan teori pembangunan. Gerakan ini ingin mewujudkan dan menunjukkan bahwa desa
179
mampu menjadi subyek pembangunan, bukan hanya sebagai obyek pembangunan seperti selama ini, agar lebih mandiri dan bermartabat sehingga memiliki posisi tawar serta menghilangkan stigma desa sebagai segala sesuatu yang tidak menyenangkan, keterbelakangan, kemiskinan, dan ketidakberdayaan. Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) didukung oleh dorongan keterbukaan informasi publik semakin menguatkan pendekatan baru ini sebagai antithesis dari pendekatan program pembangunan pemerintah. Tujuan yang ingin dicapai dari Gerakan Desa Membangun (GDM) adalah membangkitkkan kesadaran bahwa untuk mewujudkan kemajuan desa, masyarakat desa tidak selayaknya hanya menunggu belas kasihan orang lain atau pihak lain dari luar desa saja. Tetapi masyarakat desa sendirilah yang harus bergerak untuk merubah desanya agar menjadi lebih baik. Mental kemandirian muncul dibangun dengan pengertian bahwa desa bukan berarti tidak butuh orang atau pihak lain, namun agar desa maju, desa harus menjalin hubungan yang sejajar dan sederajat dengan berbagai pihak. Hasil
penelitian
ini
menunjukkan
bahwa
sebagai gerakan
kolektif masyarakat desa, tidak serta merta membuat GDM sama persis dengan gerakan sosial pada umumnya yang berorientasi konfliktual, dikarenakan perbedaan pendekatan “desa membangun” yang berbeda dalam perjalanannya tetap merangkul supra desa (Negara) dalam bentuk kolaborasi kerja-kerja desa. Ide atau gagasan pembentukan Gerakan Desa Membangun (GDM) benar-benar berasal dari bawah, dalam hal ini berawal dari keprihatinan Agung Budi Satrio, Kepala Desa Melung periode 2003-2008 dan 2008-2013 beserta perangkat dan
180
warga Desa Melung akan keterisolasian dan keterbelakangan desa dalam bentuk penyematan status desa IDT (Inpres Desa Tertinggal). Keberhasilan Yana Noviandi, Kepala Desa Mandalamekar Tasikmalaya yang menarik Budi Satrio untuk belajar kemudian difasilitasi oleh Yossy Suparyo, seorang pegiat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang getol mengangkat isu-isu pedesaan. Kolaborasi 3 (tiga) tokoh inilah yang kemudian mencetuskan ide penyelenggaraan Lokakarya Desa Membangun (LDM) yang akhirnya mencetuskan Gerakan Desa Membangun (GDM) sebagaimana dibahas dalam bab terdahulu. Dinamika gagasan GDM menyebar dan diterima banyak desa secara cepat karena membawa daya tarik bagi desa melalui 3 (tiga) cara, yaitu 1) Pengembangan Teknologi Open Source; 2) Pemanfaatan Media Baru (Website Desa); dan 3) Mainstreaming Informasi Pedesaan : Gerakan Blogger nDeso. Di samping itu, hasil dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam proses konsolidasi penguatan dan penyebaran gagasan GDM secara internal, GDM menyelenggarakan berbagai kegiatan secara kontinu dan bergilir di desa-desa dalam jejaring GDM agar terjadi penguatan kapasitas kelembagaan desa maupun perangkatnya dalam menyelenggarakan tata kelola pemerintahan desa, pengelolaan sumber daya desa maupun penguasaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pedesaan. Kegiatan-kegiatan tersebut antara
lain
penyelenggaraan
Lokakarya
Desa
Membangun
(LDM),
Penyelenggaraan Festival Teknologi Informasi dan Komunikasi (FesTIK), Penyelenggaraan Harlah Pertama GDM, dan Penyelenggaraan Rembug Desa di Bogor yang melahirkan 10 (sepuluh) poin kesepakatan desa dan disampaikan pada
181
Tim Penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Desa melalui Budiman Sudjatmiko. Dalam rangka konsolidasi eksternal, GDM juga menyelenggarakan kegiatan yang mencakup dimensi luas mencakup lebih dari 1.060-an desa-desa anggota GDM di seluruh wilayah Indonesia. Kegiatan-kegiatan tersebut juga telah mendapatkan apresiasi maupun dukungan dari Pemerintah Pusat melalui beberapa kementerian dan lembaga negara, dan beberapa Pemerintah Daerah baik provinsi maupun kabupaten di Indonesia. Hasil penelitian selanjutnya terhadap keberlanjutan (sustainability) GDM, terutama di Desa Melung di dalam menginisiasi pengembangan kemandirian desa menunjukkan bahwa GDM telah berhasil mengangkat Desa Melung menjadi subyek pembangunan desa yang mandiri, dimana ide-ide dan gagasan pembangunan dari perangkat dan warga Desa Melung diterima dan mendapat dukungan banyak pihak (bottom up), termasuk pihak supra desa (Negara/pemerintah)
dibandingkan
sebelumnya
yang
masih
top
down.
Kemandirian Desa Melung sebagai bagian tak tepisahkan dari GDM tersebut setidaknya dapat dilihat dari 3 hal, yaitu 1) Kemandirian tata kelola pemerintahan desa dengan memanfaatkan Sistem Mitra Desa (SMD); 2) Kemandirian TIK Melalui Jaringan Internet Gratis dan Portal Desa Melung; dan 3) Kemandirian Pengelolaan Sumber Daya Desa Melalui Paguyuban Pager Gunung dan CAP Pager Gunung. Sebagai bukti bahwa DesaMelung dan GDM secara umum tidak hanya melihat dirinya sendiri, dapat dilihat bagaimana penerimaan Negara (supra desa) dan lembaga-lembaga Negara dalam sinergi kerja-kerja desa dalam bentuk kegiatan 1) Sosialisasi GDM dan adopsi Sistem
182
Mitra Desa di BKKBN Pusat Jakarta; 2) Workshop "Semua Siap Beraksi" Mendukung Pemberantasan Korupsi bersama KPK; 3) Festival Desa Teknologi Informasi dan Komunikasi (Destika) 2014; dan 4) Sosialisasi transparansi transaksi keuangan menjelang pelaksanaan UU Desa di Desa Melung bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) RI. Dari keseluruhan hasil penelitian ini dapat dilihat bagaimana Gerakan Desa Membangun (GDM) sebagai gerakan kolektif masyarakat terus menyebar dan dapat diterima desa-desa maupun supra desa, sehingga terjadi kolaborasi kerja-kerja bersama untuk mencapai kemandirian desa. Desa Melung yang mulanya tidak dikenal kemudian menjelma menjadi pusat lingkaran belajar desa-desa Gerakan Desa Membangun (GDM) maupun desa-desa lain yang tertarik dan belum bergabung dikarenakan berbagai hal. Jauh diatas itu semua, yang terpenting adalah keberhasilan membangun dan mengembangkan kemandirian desa dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK), tata kelola pemerintahan desa dan pengelolaan sumber daya desa sebagaimana menjadi tujuan dan cita-cita GDM. Kegiatan Gerakan Desa Membangun (GDM) diatas merupakan kerja-kerja yang mengembangkan pemberdayaan masyarakat desa, dengan ciri-ciri pertama, akses dimana setiap anggota masyarakat dijamin, kedua partisipasi masyarakat desa untuk menyuarakan pendapatnya, ketiga adanya kontrol yang merujuk pada kuasa untuk menentukan nasib sendiri ataupun kuasa untuk mengkritisi berbagai proses pembangunan, dan keempat kesetaraan bagi seluruh individu masyarakat. Proses kegiatan GDM mewujudkan konsep
183
masyarakat belajar atau Concept of Societal Learning dengan mempertemukan top down approach dengan bottom-up approach yang pada dasarnya adalah “kontradiktif”. Sudah selayaknya pemerintah supra desa memberikan kewenangan lebih kepada desa untuk membangun dirinya sendiri, terlebih dengan pemberlakuan UU Desa dan Peraturan Pelaksanaan (PP)-nya yang mendorong desa semakin mandiri dalam bingkai otonomi desa.
B. Refleksi Sebagaimana kesimpulan tersebut di atas, sejauh ini Gerakan Desa Membangun (GDM) telah berhasil mencapai beberapa tujuannya dalam menginisiasi kemandirian desa-desa dalam jejaring GDM, khususnya di Desa Melung yang menjadi lokus penelitian ini. Namun ada beberapa hal
yang
di
balik
kesuksesan itu,
perlu dipelajari, dikritisi, bahkan diwaspadai demi
pencapaian kemandirian desa yang lebih luas di masa yang akan datang. Penulis berusaha menyusun beberapa refleksi kritis transformatif demi kelangsungan GDM sebagai berikut : Pertama, kehadiran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) perdesaan sebagai alat GDM dalam menyuarakan potensi-potensi dan isu-isu perdesaan menembus media arus utama menciptakan kebebasan dan kesetaraan informasi. Apabila pemerintah Desa menghasilkan website “informatif” tentang data-data desa dan terekspos ke internet secara luas, harus diwaspadai kemungkinan mempermudah pihak asing untuk mendapatkan data-data desa mulai demografi, geografi maupun aspek-aspek lain yang bisa digunakan untuk
184
kepentingan
yang merugikan (kedaulatan dan perekonomian) desa. Sebagai
antisipasi hal tersebut, diperlukan adanya
aturan
yang ketat dalam memuat
informasi, jangan sampai alasan transparansi menjadikan “keterlanjangan” informasi dan menutup peluang pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab diluar desa untuk memenuhi kepentingannya dengan memanfaatkan lalu lintas informasi perdesaan. Selain itu, juga dalam rangka mengantisipasi dampak TIK yang beriringan dengan globalisasi dan kemungkinan masyarakat desa menggunakan teknologi namun secara tidak tepat sehingga menimbulkan banyak permasalahan yang kompleks mulai dari aspek budaya dan moralitas (misalnya tergerusnya budaya-budaya lokal menjadi budaya "asyik dengan HP" serta kasus-kasus pornografi yang dibuat dan atau menyebar lewat alat komunikasi handphone) hingga etika ber-TIK yang dapat berurusan dengan hukum (misalnya cyber bullying, cyber crime, atau fitnah yang dilarang dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik). Untuk itu, bimbingan teknis untuk mengantisipasi dampak negatif TIK perdesaan bagi elemen masyarakat desa secara luas sangat diperlukan, disertai pendampingan yang kontinu. Tidak cukup dengan menunggu model pendampingan yang disusun oleh pemerintah, gerakan desa melek IT oleh GDM secara nyata diperlukan untuk memastikan bahwa TIK ini bermanfaat positif dan bisa menjadi alat untuk mencapai kemakmuran masyarakat desa. Kedua, pemanfaatan TIK perdesaan berupa internet gratis, Sistem Mitra Desa dan website desa tentu saja memerlukan infrastruktur dan peralatan TIK modern dalam pemanfaatannya. Desa-desa dalam jejaring Gerakan Desa
185
Membangun (GDM) yang terus berkembang jumlahnya menjadi ribuan desa di Indonesia jangan sampai hanya dijadikan pasar besar (big market) yang sangat potensial bagi perusahaan-perusahaan telekomunikasi. Pengembangan kapasitas perangkat dan warga desa mutlak terus dilakukan agar mampu menguasai dan memanfaatkan TIK secara luas demi membangkitkan perekonomian masyarakat desa, meningkatkan kesejahteraan, dan penguasaan terhadap IPTEK. TIK berbasis open source yang dikembangkan GDM perlu upaya yang masif dan terus-menerus demi memberikan hasil yang maksimal bagi kemajuan desa. Ketiga, GDM yang dari waktu ke waktu terus berkembang ke seluruh desa-desa di wilayah Indonesia dan mulai mendapat pengakuan serta perhatian berbagai pihak termasuk supra desa (Negara). Hal ini memang sejalan dengan salah satu tujuan GDM untuk bisa mempengaruhi pembuat kebijakan agar menghasilkan kebijakan publik yang bermanfaat bagi masyarakat desa. Implikasi lain adalah semakin dikenalnya para Kepala Desa atau perangkat desa pegiat GDM oleh Pemerintah, baik pusat maupun daerah. Suara para elit desa ini mulai didengar dan diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan programprogram pembangunan. Manfaat sebesar ini tentu saja diharapkan bisa dirasakan dalam bentuk kemajuan dan kesejahteraan seluruh masyarakat desa, bukan dinikmati oleh sebagian kecil para elit desa saja (elite capture). Tantangan gerakan ini berikutnya yang perlu diperhatikan adalah meningkatkan kapasitas SDM. Sebagai implikasi UU Desa, diperlukan adanya pengembangan kapasitas (capacity building) dari perangkat dan masyarakat desa. Hal ini penting, sebab amanat dana bergulir yang jumlahnya hingga milyaran memerlukan konsekuensi
186
pengelolaaan keuangan yang akuntabel dan transparan. Artinya keahlian akuntansi-ekonomi-sistem informasi dalam pengelolaan keuangan niscaya perlu dimiliki oleh aparat yang bertugas maupun masyarakat desa yang terlibat dalam aksi-aksi pembangunan desa. Amanat sistem informasi desa mengisyaratkan adanya infrastruktur TIK yang tertanam dan menjadi bagian pelayanan rural egovernance juga hendaknya melibatkan masyarakat desa yang terlatih dan terlibat aktif dalam website desa. Gerakan-gerakan Desa TIK mesti mempersiapkan konsep dan program untuk memperkuat kapasitas dan kapabilitas SDM Desa khususnya pekerjaan yang terkait TIK, seperti kemampuan jurnalisme warga, kemampuan menyerap informasi dari internet untuk pengelolaan sumber daya desa demi pengembangan ekonomi perdesaan dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang maju.
C. Rekomendasi Gerakan Desa Membangun (GDM) yang dicetuskan di Desa Melung 3 (tiga) tahun lalu kini terus berkembang mencakup lebih dari 1.060 desa di Indonesia. Sebagai gerakan kolektif masyarakat dengan dukungan multipihak baik internal Kepala Desa, perangkat dan warga desa maupun aktor-aktor eksternal menunjukkan besarnya cakupan dan kompleksitas dari gerakan ini, sehingga membuat penelitian ini tidak mampu menjangkau semuanya. Dengan pendekatan studi kasus GDM di Desa Melung memang mengarahkan kepada potret menyeluruh secara garis besar mulai dari sejarah/histori pembentukan GDM, proses konsolidasi maupun keberlanjutannya secara detil di Desa Melung, namun
187
tentu saja belum memiliki kedalaman yang cukup untuk menggambarkan GDM secara keseluruhan di Indonesia. Berkaca dari hal ini, penulis berusaha memberikan beberapa rekomendasi bagi pembaca yang memiliki kepedulian terhadap gerakan masyarakat desa ini untuk meng-elaborasi lebih dalam mengenai GDM, antara lain : Pertama, perlu penelitian mendalam sejauh mana upaya-upaya pengembangan kemandirian oleh GDM di Desa Melung dan desa-desa dalam jejaring GDM memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan masyarakat desa melalui pengelolaan seumber daya desa, perbaikan pelayanan publik dalam tata kelola pemerintahan desa, dan pengembangan kapasitas masyarakat desa dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang telah dijalankan. Detail masing-masing aktivitas dengan segala kendala yang dihadapi dan upaya perbaikannya sekiranya lebih bisa digali untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar. Termasuk didalamnya upaya mengembangkan Paguyuban Pager Gunung menjadi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang masih terkendala banyak hal menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut. Kedua, GDM sebagai sebuah gerakan kolektif masyarakat yang menuntut kolektivitas kuat banyak pihak harus mendorong pengembangan kapasitas seluruh aktor di dalamnya. Bagaimana penguatan dan pembagian kerja yang jelas masing-masing aktor, pola hubungan yang lebih rinci agar lebih tertata dalam pengembangan dan penyebarluasn gerakan serta kreatifitas gagasan kemandirian yang nyata juga menarik. Di samping itu, perbedaan pola-pola penyebaran GDM masing-masing daerah di Indonesia dengan karakteristik
188
masyarakat desa/kampong/gampong/nagari yang sangat beragam perlu pemetaan yang mendalam agar bisa menjadi lebih baku dalam duplikasi kegiatan secara luas tanpa adanya upaya penyeragaman (uniformity) yang kaku. Ketiga, perlunya pengembangan pola hubungan dengan pihak supra desa (Negara) sebagai bentuk elaborasi pendekatan bottom-up dan top down untuk bersama-sama mengembangakn GDM di seluruh wilayah Indonesia dalam pengembangan kemandirian desa. Perbedaan respon dan dukungan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang beragam, dan masih adanya sinisme beberapa pihak serta meminimalisir upaya disintegrasi antar desa yang tergabung dalam GDM dan organisasi perangkat desa lainnya perlu mendapat perhatian lebih. Demikian rekomendasi yang dapat diberikan oleh penelitian ini. Penulis berharap perhatian terhadap upaya-upaya masyarakat desa baik dalam pemberdayaan maupun pengembangan kemandirian desa akan semakin besar di masa datang, apalagi dalam mengawal implementasi UU Desa yang tentu membutuhkan kerja sama banyak piha untuk bisa mewujudkan desa-desa yang maju di Indonesia dalam bingkai otonomi desa namun tetap dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai harga mati. Perhatian civitas akademika dalam bentuk kajian-kajian ilmiah lebih mendalam tentang Gerakan Desa Membangun (GDM) diperlukan untuk memperkaya kajian mengenai gerakan sosial, pembaharuan desa, dan pemberdayaan serta kemandirian masyarakat desa di Indonesia.
189