Bab VII Penggunaan Lakase pada Pemutihan Pulp Kimia Abstrak Warna coklat (gelap) pulp kraft setelah serpih kayu dimasak menggunakan larutan NaOH dan Na2S disebabkan karena masih adanya sisa lignin yang tetap melekat pada selulosa. Untuk memperoleh produk kertas yang berkualitas tinggi, pulp ini perlu diputihkan dan proses ini biasanya dilakukan dengan menggunakan klor atau senyawa klor. Namun, penggunaan senyawa ini menyebabkan terbentuknya senyawa toksik seperti klorofenol yang dapat mencemari dan membahayakan lingkungan. Saat ini sedang dikembangkan metode untuk mengurangi penggunaan senyawa klor, salah satu alternatifnya adalah penggunaan enzim. Pada penelitian ini, digunakan enzim kasar produksi Marasmius sp. pada bioreaktor imersi sebagai perlakuan awal sebelum pemutihan secara kimia dilakukan. Penelitian perlakuan awal penggunaan enzim kasar lakase mampu meningkatkan derajat putih pulp coklat. Penggunaan enzim kasar dengan selama 6 jam pada suhu 45 °C mampu meningkatkan derajat putih sebesar 0,7 poin sedangkan dengan kondisi perlakuan awal yang sama denganbantuan mediator ABTS dapat meningkatkan derajat putih sebesar 2,8 poin. Hal ini menunjukkan bahwa pengunaan mediator meningkatkan proses pemutihan. Sementara itu, penggunaan enzim kasar lakase selama 6 hari pada suhu ruang dapat meningkatkan derajat putih sebesar 5,3 poin. Namun demikian, peningkatan derajat putih penggunaan enzim kasar lakase masih terbatas dan perlu ditingkatkan. Penggunaan enzim kasar lakase selama 6 hari pada suhu ruang menunjukkan terjadinya pemotongan serat yang cukup banyak dan ditunjukkan dari hasil fraksionasi serat. Sedangkan pemotongan serat tidak begitu banyak terjadi pada penggunaan enzim selama 6 jam baik tanpa ataupun dengan bantuan mediator ABTS pada suhu 45 °C. Pemotongan ini diperkirakan terjadi karena adanya selulase pada enzim kasar yang digunakan. Kata kunci : lakase, pemutihan, derajat putih, fraksionasi serat VII.1 Pendahuluan Lignin merupakan polimer fenilpropan yang menyusun struktur kayu untuk stabilitas dan perlindungan. Lignin merupakan polimer tiga dimensi yang secara acak terdiri atas banyak prekursor penyusunnya. Prekursor penyusun lignin adalah
conyferyl alcohol, p-coumaryl alcohol dan synapyl alcohol. Ketiga prekursor ini dapat dilihat pada gambar VII.1. Jamur pelapuk putih merupakan mikroorganisme yang telah dikenal sebagai pendegradasi lignin. Degradasi lignin tersebut melibatkan enzim ekstraseluler
73
seperti lignin peroksidase (LiP), manganese peroksidase (MnP) dan lakase. Penggunaan secara langsung jamur untuk pemutihan pulp tidak memungkinkan dilakukan pada proses industri karena keterbatasan waktu dan juga degradasi selulosa oleh selulase yang dihasilkan oleh jamur tersebut (Riva, 2005).
a
c
b
Gambar VII.1. Prekursor penyusun lignin; a. p-coumaryl alcohol (phydroxyphenol), b. coniferyl alcohol (guaiacyl), c. sinapyl alcohol (syringyl) (Tuomela, 2002)
Lakase merupakan enzim yang telah banyak dimanfaatkan pada industri pulp, kertas dan tekstil serta makanan. Pada industri pulp dan kertas, lakase dimanfaatkan sebagai agensia biobleaching untuk mendegradasi sisa lignin pada pulp. Pemutihan pulp tanpa klor dengan lakase untuk mendapatkan pulp yang lebih cerah dan kandungan lignin yang rendah telah dipatenkan. Lakase sebagai salah satu enzim lignilolitik merupakan produk ekstraseluler namun ada literatur yang menyebutkan lakase merupakan produk intraseluler jamur pelapuk putih (Bar, 2001). Lakase dapat diisolasi dari Ascomycetes, Deuteromycetes dan
Basidiomycetes. Namun demikian penggunaan lakase difokuskan pada jamur dari kelompok Basidiomycetes memiliki kemampuan menghasilkan lakase lebih baik dibandingkan dengan Ascomycetes dan Deuteromycetes. Riva (2005) mengatakan bahwa proses pemutihan pulp dengan menggunakan lakase harus dilakukan dengan penambahan mediator karena tanpa mediator enzim ini hanya akan mendegradasi gugus fenol lignin dan memungkinkn
74
terjadinya polimerisasi lignin. Lakase mempunyai ukuran molekul yang besar sehingga menyulitkan akses enzim ini pada lignin yang tersembunyi. Mediator yang ditambahkan akan bereaksi dengan lakase menghasilkan radikal kation yang dapat mengakses lignin yang tersembunyi. Hal ini membuat veratryl alkohol pada lignin teroksidasi menjadi veratryl aldehid dan senyawa non-fenolik β-1 and β-O4 teroksidasi pada posisi Cα (Van der Merwe, 2002). Beberapa mediator yang dapat digunakan diantaranya hydroxyantrhranilic acid (HAA), 2,2’-azino-bis-(3-
etylbenzothiazoline-6-sulphonic acid) (ABTS), N-hydroxybenzotriazole (HBT), Nhydroxyphtamide (HPI), violuric acid (VA), N-hydroxyacetanilide (NHA), methyl ester of 4-hydroxy-3,5-dimethoxy-benzoic-acid (syringic acid) dan 2,2,6,6(TEMPO)
tetrametylpiperidine
(Riva,
2005).
Mekanisme
lakase
dalam
mengoksidasi substrat dengan atau tanpa bantuan mediator disajikan pada gambar VII.2, mekanisme oksidasi grup non-fenol lignin dan difusi mediator ke dalam dinding sekunder dapat dilihat pada gambar VII.3.
H2O
laccase(ox)
substrate(red)
laccase(red)
substrate(ox)
(a) O2 H2O
laccase(ox)
mediator(red)
substrate(ox)
laccase(red)
mediator(ox)
substrate(red
(b) O2
Gambar VII.2. Mekanisme oksidasi substrat oleh lakase (Riva, 2005)
75
Gambar VII.3. Mekanisme difusi mediator pada dinding sekunder serat (Bar, 2001)
Bajpai (1999) mendapatkan bahwa penggunaan lakase untuk pemutihan pulp kraft kayujarum (softwood) dan kayudaun (hardwood) dapat menurunkan bilangan kappa dan meningkatkan derajat putih pulp. Kondisi operasi pemutihan menggunakan lakase biasanya dilakukan pada temperatur 40 °C - 65 °C, tekanan 1-14 bar, pH 4-7, konsistensi 1% - 20%. Bila derajat putih yang diinginkan belum tercapai maka proses dapat dilanjutkan dengan tahapan pemutihan kimia Totally
Chlorine Free (TCF) dengan menggunakan NaOH dan hidrogen peroksida. Hasil penggunaan lakase untuk pemutihan dapat dilihat pada tabel VII.1 dan VII.2 Tabel VII.1. Pemutihan konvensional pulp kraft softwood menggunakan Laccase Mediator System (LMS) (Bajpai, 1999) Perlakuan
Bilangan Kappa
Tanpa enzim Enzim Enzim + tahapan TCF
28.7 11.5 -
76
Derajat Putih (% ISO) 24.7 31.6 84.0
Tabel VII.2. Penggunaan lakase skala pilot (Bajpai, 1999) Tahapan
Pulp
L-E-Q-P L-E-L-E-Q-P L-E-Q-(P)
A A B
Dosis enzim/ Mediator (kg/TP) 2/13 2 x 2/2 x 8 2/8
Parameter Konsistensi (%) Suhu (C) pH Waktu tinggal (menit) Tekanan (bar) Dosis
Tahap L 10 45 4.5 120
Tahap E 10 60 ~ 1.5 60
Tahap Q 5 60 5 30
Tahap P 10 75 11.2 210
2 Enzim 2 kg/t ; mediator : variabel
NaOH
0.2% DTPA
3% peroksida
Delignifikasi (%) 56.6 50.6/67.7 44.2
Derajat Putih (% ISO) 76.5 82.7
Sigoilot dkk. (2005), menggunakan lakase dan mediator N-hydroxybenzotriazole (HBT) untuk pemutihan pulp rami yang memiliki bilangan kappa 11 dan 28. Penggunaan lakase ini menurunkan bilangan kappa dan meningkatkan derajat putih seperti terlihat pada tabel II.5. Tabel VII.3. Hasil pemutihan menggunakan lakase (Sigoilot dkk., 2005) Enzim
Bilangan kappa 11 Derajat Delignifikasia
Kenaikan Derajat putihb
Rec-laccase+HBT, 12 j 88 37 Wild-laccase+HBT, 12 j 84 35 Wild-laccase+HBT, 4 j 71 26 a persentase penurunan bilangan kappa b selisih derajat putih akhir dengan derajat putih awal
Bilangan kappa 28 Derajat Delignifikasi
Kenaikan Derajat putih
48 50 36
10 14 14
Berdasarkan hal ini maka dilakukan penelitian tentang penggunaaan enzim kasar dari kultur Marasmius sp. untuk perlakuan awal pulp sebelum dilakukan proses pemutihan pulp secara kimia. Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui apakah enzim yang dihasilkan pada penelitian sebelumnya dapat efektif digunakan pada proses pemutihan pulp. Keberhasilan penggunaan enzim ini akan dapat menurunkan penggunaan bahan kimia pada proses pemutihan pulp yang mencemari lingkungan.
77
VII.2
Bahan dan Metode
VII.2.1
Enzim
Enzim yang digunakan pada perlakuan awal (pretreatment) pemutihan pulp adalah enzim kasar Marasmius sp. yang diproduksi dengan metode kultivasi rendam berkala.
VII.2.2 Pulp Pulp yang akan diputihkan adalah pulp dari kayu Acacia mangium hasil pemasakan proses kraft yang memiliki bilangan kappa 20. Sediaan pulp ini diperoleh dari Laboratorium Pemasakan Balai Besar Pulp dan Kertas, Departemen Perindustrian, Bandung.
VII.2.3
Perlakuan awal (pretreatment) Pemutihan Menggunakan Enzim
Perlakuan pemutihan menggunakan enzim kasar dilakukan dengan empat perlakuan berbeda seperti disajikan pada tabel VII.4. Tabel VII.4. Kondisi pemutihan menggunakan enzim kasar lakase Kondisi proses Waktu Temperatur Konsistensi Dosis mediator ABTS
P-1 (-) -
Perlakuan awal pemutihan P-2 P-3 P-4
P-5
(D0-E-D1)
(L-D0-E-D1)
(L-D0-E-D1)
(L-D0-E-D1)
-
6 jam 45 10
6 jam 45 10
6 hari Ruang (28) 10
-
-
500 g/ton pulp
-
L : perlakuan awal menggunakan enzim kasar lakase D0-E-D1 : pemutihan lanjutan menggunakan bahan kimia
Perlakuan P-1 adalah pulp coklat yang tidak mengalami perlakuan pemutihan baik perlakuan awal (pretreatment) menggunakan enzim kasar maupun pemutihan menggunakan bahan kimia pemutih. Perlakuan P-2 adalah pulp coklat yang hanya mengalami perlakuan pemutihan menggunakan bahan kimia pemutih. Perlakuan P-3 adalah pulp coklat yang mengalami perlakuan awal pemutihan menggunakan enzim kasar lakase selama 6 jam pada suhu 45 °C dan diikuti pemutihan menggunakan bahan kimia pemutih. Perlakuan P-4 adalah pulp coklat yang
78
mengalami perlakuan awal pemutihan menggunakan enzim kasar lakase dengan bantuan mediator 2,2’-azinobis-di-(3-ethylbenzthiazolinesulphonate) (ABTS) selama 6 jam pada suhu 45 °C dan diikuti pemutihan menggunakan bahan kimia pemutih. Perlakuan P-5 adalah pulp coklat yang mengalami perlakuan awal pemutihan menggunakan enzim kasar selama 6 hari pada suhu ruang (± 28 °C) dan diikuti pemutihan menggunakan bahan kimia pemutih Pulp coklat dengan kadar kering 32,37% ditimbang dengan neraca analitis untuk memperoleh berat kering pulp 30 gram. Pulp tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer (P-4), plastik tahan panas (P-3), dan ditambahkan enzim kasar sebanyak 207,2 ml sehingga campuran ini memiliki konsistensi pulp 10%. Kemudian pada perlakuan P-3 dan P-4 disuplai udara menggunakan aerator dan perlakuan awal pemutihan dilakukan sesuai kondisi pada tabel VII.4. Terhadap semua perlakuan dilakukan pengambilan conto untuk diukur aktivitas lakasenya. Pada akhir perlakuan awal enzim seluruh pulp dikeluarkan, dicuci dengan menggunakan air sampai bersih, diperas dan ditentukan kadar airnya untuk digunakan sebagai dasar pada proses pemutihan berikutnya.
VII.2.4
Pemutihan Lanjutan
Setelah proses perlakuan awal menggunakan enzim kasar, proses pemutihan dilanjutkan dengan menggunakan bahan kimia pemutih dengan tahapan D0-E-D1. Tahapan D0 merupakan pemutihan menggunakan klordioksida dengan kondisi proses pemutihan tahap ini dapat dilihat pada tabel VII.5. Tahap pemutihan D0 dilakukan dengan cara sebagai berikut : Pulp dengan berat kering 25 gram dimasukkan ke dalam plastik tahan panas. Selanjutnya ditambahkan larutan klor 74,3 ml (konsentrasi 1,48 g/l); 0,35 gram NaClO2 dan air sehingga konsistensi pulp 10%. Plastik tahan panas yang telah berisi semua bahan tersebut kemudian diremas-remas agar larutan homogen. Selanjutnya campuran ini dipanaskan dalam
waterbath pada suhu 60 °C selama 60 menit dan selama pemanasan setiap 10 menit kantung plastik tersebut diremas-remas. Setelah selesai, pulp dikeluarkan dari dalam plastik dan dicuci sampai bersih. Selanjutnya kadar air pulp dikurangi menggunakan bantuan pompa vakum.
79
Pulp yang dihasilkan dari proses pertama tadi kemudian diekstraksi menggunakan NaOH (Tahapan E). Kondisi ekstraksi pada tahapan ini dapat dilihat pada tabel VII.5. Tahap ekstraksi dilakukan dengan cara sebagai berikut : Pulp dengan berat kering 25 gram dimasukkan ke dalam plastik tahan panas. Selanjutnya ditambahkan larutan NaOH 1% dan air sehingga konsistensi pulp 10%. Plastik tahan panas yang telah berisi semua bahan tersebut kemudian diremas-remas agar campuran menjadi homogen. Selanjutnya campuran ini dipanaskan dalam
waterbath pada suhu 75 °C selama 60 menit dan setiap 10 menit campuran diremas-remas agar tetap homogen. Setelah selesai, pulp dikeluarkan dari dalam plastik dan dicuci sampai bersih. Selanjutnya kadar air pulp dikurangi menggunakan bantuan pompa vakum. Pulp yang dihasilkan dari proses ekstraksi ini kemudian diputihkan kembali dengan menggunakan klordioksida lagi (Tahapan D1). Kondisi proses pemutihan tahap ini dapat dilihat pada tabel VII.5. Tahap pemutihan D1 dilakukan dengan cara sebagai berikut : Pulp dengan berat kering 25 gram dimasukkan ke dalam plastik tahan panas. Selanjutnya ditambahkan larutan klor 89 ml (konsentrasi 1,48 g/l); 0,42 gram NaClO2 dan air sehingga diperoleh konsistensi pulp 10%. Plastik tahan panas yang telah berisi semua bahan tersebut kemudian diremas-remas agar larutan homogen. Kemudian campuran tersebut dipanaskan dalam waterbath pada suhu 75 °C selama 180 menit. Untuk menjaga campuran tetap homogen maka plastik yang berisi campuran pulp diremas-remas pada menit ke 10, 20, 30, 60, 120. Setelah selesai, pulp dikeluarkan dari dalam plastik, dicuci sampai bersih dan dikurangi kadar airnya dengan menggunakan pompa vakum. Tabel VII.5. Kondisi pemutihan lanjutan Kondisi Konsistensi (%) Suhu (°C) Waktu (menit) ClO2 (%) NaOH (%)
Tahapan E 10 75 60 1
D0 10 60 60 0,84 -
D1 10 75 180 1 -
Perlakuan pemutihan ini hanya diterapkan pada sediaan pulp perlakuan P-2, P-3, P-4 dan P-5
80
VII.2.5
Analisis Pulp Hasil Pemutihan
Variabel yang digunakan untuk mengukur keberhasilan perlakuan awal (pretreatment) pada proses pemutihan pulp adalah derajat putih dan distribusi panjang serat. Analisis derajat putih dilakukan berdasarkan cara uji derajat putih kertas dan karton (SNI 14-4733-1998), dan analisis distribusi panjang serat dilakukan berdasarkan cara uji fraksionasi serat pulp (Metode Mc Nett) (SNI 141552-1989). Cara uji kedua metode diatas dapat dilihat pada lampiran C dan D.
VII.3
Hasil dan Pembahasan
Hasil percobaan pemutihan pulp kimia menggunakan enzim kasar menunjukkan bahwa terjadi penurunan aktivitas lakase selama proses perlakuan awal pulp (Gambar VII.4). Pada penelitian ini enzim kasar yang digunakan diawetkan dengan menggunakan 0,5% natrium benzoat untuk menghindari degradasi enzim oleh mikroorganisme. Berdasarkan hal ini maka kecil kemungkinan penurunan aktivitas enzim disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme selama proses perlakuan awal (pretreatment). Kemungkinan terjadinya penurunan aktivitas lakase selama perlakuan awal pemutihan yaitu aktivitas enzim yang teramati adalah aktivitas enzim pada fase cair sehingga mengabaikan enzim yang berikatan dengan fase padat (pulp).
81
400
aktivitas lakase, U/l
300
200
100
0 P-3
P-4
P-5
perlakuan awal pemutihan
Gambar VII.4.
Penurunan konsentrasi lakase selama perlakuan awal pemutihan ■ : sebelum, □ : sesudah P-3 : perlakuan awal menggunakan enzim kasar selama 6 jam, suhu 45 °C P-4 : perlakuan awal menggunakan enzim kasar selama 6 jam, suhu 45 °C dan ditambah mediator ABTS P-5 : perlakuan awal menggunakan enzim kasar selama 6 hari, suhu ruang (± 28 °C)
Penggunaan lakase dalam pemutihan ini diharapkan mendegradasi lignin yang terdapat dalam pulp. Kandungan lignin yang rendah dalam pulp akan memudahkan proses pemutihan lanjutan menggunakan bahan kimia pemutih klordioksida dan natrium hidroksida sehingga pengunaan bahan kimia tersebut dan pencemaran terhadap lingkungan dapat dikurangi. Derajat putih lembaran pulp berkorelasi dengan kandungan lignin. Kandungan lignin yang rendah dalam pulp akan menghasilkan lembaran pulp yang memiliki derajat putih yang tinggi. Hasil percobaan penggunaan lakase untuk pemutihan pulp dapat dilihat pada gambar VII.5 sampai VII.7. Seperti yang terlihat pada gambar VII.5 setelah melalui proses pemutihan secara kimia derajat putih pulp yang awalnya hanya 30,3 %ISO (P-1) dapat meningkat hingga 65,3 %ISO. Proses pemutihan kimia ini meningkatkan derajat putih pulp yang tidak mendapatkan perlakuan awal (P-2) menjadi 60,0 %ISO (P-2). Derajat putih yang diperoleh pada proses pemutihan kimia terhadap pulp yang mendapatkan perlakuan awal penggunaan enzim selama
82
enam jam, suhu 45 °C dan tanpa bantuan mediator ABTS adalah 60,7% ISO (P3). Pada kondisi proses pemutihan yang sama tetapi ada penambahan mediator ABTS diperoleh derajat putih pulp sebesar 62,8 %ISO. Proses pemutihan kimia terhadap pulp yang mendapatkan perlakuan awal penggunaan enzim selama enam hari menjadi 65,3 %ISO. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan enzim selama perlakuan awal pemutihan dapat meningkatkan kinerja proses pemutihan secara kimia. Demikian pula pemutihan pulp menggunakan enzim kasar lakase dengan bantuan ABTS juga mampu meningkatkan kinerja proses pemutihan. Namun demikian peningkatan kinerja ini masih relatif rendah sehingga perlu dilakukan perbaikan. Perbaikan terhadap kinerja perlakuan awal bisa dilakukan dengan menggunakan enzim kasar yang memiliki kandungan enzim pendegradasi lignin yang lebih tinggi. Selain itu, penggunaan gabungan ekstrak kasar hasil kultivasi dari beberapa jamur pelapuk lain dapat meningkatkan kinerja proses perlakuan awal enzim karena tersedianya jenis enzim pendegradasi lignin yang lebih lengkap.
Derajat Putih, %ISO
80
60
40
20
0 P-1
P-2
P-3
P-4
P-5
perlakuan pemutihan
Gambar VII.5.
Derajat putih lembaran pulp P-1 : pulp coklat tanpa perlakuan awal enzim kasar dan pemutihan kimia P-2 : pulp coklat dengan perlakuan pemutihan bahan kimia saja P-3 : perlakuan awal menggunakan enzim kasar selama 6 jam, suhu 45 °C P-4 : perlakuan awal menggunakan enzim kasar selama 6 jam, suhu 45 °C dan ditambah mediator ABTS P-5 : perlakuan awal menggunakan enzim kasar selama 6 hari pada suhu ruang (± 28 °C)
83
Derajat putih yang diperoleh dengan perlakuan awal enzim kasar lakase selama 6 hari (P-4) dapat meningkatkan derajat putih sebesar 5,3 poin. Kenaikan ini masih relatif kecil bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Katagiri dkk., 1995. Biobleaching pada penelitian Katagiri dkk., 1995 dilakukan selama 6 hari menggunakan enzim dari spesies jamur P. chrysosporium mampu meningkatkan derajat putih pulp coklat sampai 30 poin. Hasil perlakuan awal pemutihan pulp coklat menggunakan enzim kasar yang ditambah mediator ABTS selama 6 jam pada suhu 45 °C mampu meningkatkan derajat putih sebesar 2,8 poin. Nilai ini masih relatif kecil dibandingkan dengan penelitian lain tentang penggunaan mediator pada pemutihan pulp menggunakan elakase. Penelitian pemutihan yang dilakukan oleh Bajpai (1999) menggunakan lakase dengan bantuan Laccase Mediator System dapat meningkatkan derajat putih sebesar 6,9 poin. Sedangkan penelitian pemutihan menggunakan lakase dan bantuan mediator N-hydroxybenzotriazole (HBT) yang dilakukan Sigoilot dkk. (2005) mampu meningkatkan derajat putih serat rami sebesar 10 – 14 poin. Faktor lain yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja penggunaan lakase adalah tingkat fraksi serat yang dihasilkan setelah penggunaan enzim tersebut. Distribusi panjang serat pada pulp akan mempengaruhi penggunaan pulp ini untuk pembuatan kertas. Pulp yang didominasi oleh serat yang panjang akan menghasilkan kertas dengan lembaran yang kuat dibandingkan dengan pulp yang didominasi oleh serat yang pendek. Tingkat fraksi serat ditentukan dengan melakukan pemisahan fraksi serat berdasarkan panjang serat. Metode yang digunakan untuk fraksionasi serat adalah Bauer Mc-Nett. Fraksionasi metode Bauer Mc-Nett merupakan metode pemisahan serat berdasarkan distribusi panjang serat (Ämmälä, 2001). Pemisahan serat menggunakan saringan dengan ukuran mesh yang berbeda-beda. Pada penelitian ini digunakan lima buah saringan dengan ukuran 30, 50, 100, 150 dan 200 mesh. Ukuran mesh tersebut berkorelasi dengan panjang serat seperti disajikan pada tabel VII.6.
84
Tabel VII.6. Hubungan ukuran saringan dengan panjang serat (Ämmälä, 2001) Ukuran saringan (mesh) 30 50 100 150 200
Panjang serat (µm) 595 297 147 104 74
Dari gambar VII.6 dapat dilihat bahwa proses perlakuan awal menggunakan enzim kasar lakase selama 6 jam, suhu 45 °C menunjukkan bahwa distribusi panjang seratnya relatif sama dengan perlakuan terhadap pulp yang diputihkan hanya menggunakan bahan kimia saja (P-2). Hal ini menunjukkan tidak terjadi pemotongan atau pemendekan serat yang begitu banyak oleh enzim yang digunakan. Hal yang berbeda ditunjukkan pada perlakuan awal enzim kasar pada suhu ruang (± 28°C) selama enam hari yang menunjukkan adanya pemotongan atau pemendekan panjang serat. Hal ini ditunjukkan dengan semakin menurunnya fraksi serat yang panjang dan meningkatnya fraksi serat yang lebih pendek setelah perlakuan awal menggunakan enzim. Penurunan fraksi serat panjang (tertahan pada saringan 30 mesh) pada pulp yang mendapatkan perlakuan awal enzim kasar selama 6 hari (P-5) mencapai 90,2%. Mempertahankan distribusi panjang serat selama proses pemutihan merupakan faktor yang sangat penting karena serat yang berukuran panjang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pemotongan serat pada pulp yang mendapatkan perlakuan awal enzim kasar
Marasmius sp. diperkirakan karena adanya enzim selulase yang dihasilkan jamur tersebut pada saat kultivasi. Farnet dkk. (1999) mendapatkan bahwa selain menghasilkan lakase, Marasmius sp. juga menghasilkan selulase dan pektinase. Secara umum dapat dikatakan bahwa produksi enzim pendegradasi lignin oleh
Marasmius sp. atau jamur pelapuk lain dilakukan untuk memecah lignin agar jamur tersebut dapat mengakses selulosa dan hemiselulosa yang terdapat pada kayu. Pada saat selulosa dapat diakses, maka jamur tersebut akan menghasilkan enzim pendegradasi selulosa dan hemiselulosa.
85
80 70
fraksi serat, %
60 50 40 30 20 10 0 P-1
P-2
P-3
P-4
P-5
perlakuan pemutihan 30
Gambar VII.6.
- 30 + 50
- 50 + 100
- 100 + 150
- 150 + 200
-200
Fraksionasi serat P-1 : pulp coklat tanpa perlakuan awal enzim kasar dan pemutihan kimia P-2 : pulp coklat dengan perlakuan pemutihan bahan kimia saja P-3 : perlakuan awal menggunakan enzim kasar selama 6 jam, suhu 45 °C P-4 : perlakuan awal menggunakan enzim kasar selama 6 jam, suhu 45 °C dan ditambah mediator ABTS P-5 : perlakuan awal menggunakan enzim kasar selama 6 hari pada suhu ruang (± 28 °C)
Terdapatnya enzim pendegradasi selulosa dan hemiselulosa pada enzim kasar kultur Marasmius sp. menyebabkan serat pada pulp yang mendapat pretreatment menjadi terpotong-potong. Ada beberapa cara yang dapat diterapkan untuk menghilangkan enzim pendegradasi selulosa dan hemiselulosa dari sediaan yang akan digunakan pada pretreatment pulp. Cara yang pertama adalah dengan memurnikan lakase atau enzim pendegradasi lignin lainnya dari sediaan tersebut. Keuntungan cara ini adalah enzim yang diperoleh menjadi lebih murni dan konsentrasi sediaannya dapat diatur sesuai keinginan. Namun demikian cara ini memiliki beberapa kerugian diantaranya biaya yang mahal dan kehilangan enzim selama proses pemurnian. Cara lain yang dapat digunakan untuk menghilangkan enzim pendegradasi selulosa dan hemiselulosa adalah penggunaan media imobilisasi yang tidak
86
mengandung selulosa pada kultivasi jamur pelapuk putih untuk memproduksi lakase atau enzim pendegradasi lignin lainnya. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Marasmius sp. yang digunakan pada penelitian ini dapat menggunakan media imobilisasi sintetis (sabut penggosok dan bioball) walaupun pertumbuhan jamur tersebut kurang baik jika dibandingkan dengan pertumbuhan menggunakan media imobilisasi alami (bulustru). Penelitian lanjutan untuk meningkatkan pertumbuhan jamur pelapuk putih pada media sintetis tersebut perlu dilakukan agar tingkat produksi enzim lakase mencapai tingkat yang tinggi dan produksi enzim pendegradasi selulosa dan hemiselulosa yang rendah.
VII.4
Kesimpulan
Penelitian perlakuan awal penggunaan enzim kasar lakase mampu meningkatkan derajat putih pulp coklat. Penggunaan enzim kasar selama 6 hari pada suhu ruang dapat meningkatkan derajat putih sebesar 5,3 poin. Penggunaan mediator ABTS juga dapat meningkatkan kinerja proses pemutihan. Penggunaan enzim kasar dengan bantuan mediator ABTS selama 6 jam pada suhu 45 °C mampu meningkatkan derajat putih sebesar 2,8 poin sedangkan tanpa bantuan mediator ABTS hanya dapat meningkatkan derajat putih sebesar 0,7 poin. Penggunaan enzim kasar lakase selama 6 hari pada suhu ruang menunjukkan terjadinya pemotongan serat yang cukup banyak dan ditunjukkan dari hasil fraksionasi serat. Sedangkan pemotongan serat tidak begitu banyak terjadi pada penggunaan enzim selama 6 jam, suhu 45 °C baik dengan maupun tanpa bantuan mediator ABTS. Pemotongan ini diperkirakan terjadi karena adanya selulase pada enzim kasar yang digunakan.
87