Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
161
BAB VII ANTESEDEN BERPERILAKU ESB
Anteseden adalah suatu kondisi yang mendahului seseorang berperilaku, termasuk perilaku spasial yang ekologis (ESB). Anteseden dilihat dari perilaku vosional (perilaku yang dilakukan atas kemauan sendiri) terhadap ESB, maka dapat diprediksikan intensi seseorang untuk berperilaku ESB. Dasar teori perilaku vosional seseorang menurut Ajzen (1988) adalah tindakan dengan dasar teori tindakan beralasan dan tindakan dengan dasar teori tindakan terencana Azjen (1988), teori tindakan beralasan (theory of reasoned action) didasarkan pada asumsi-asumsi: a) bahwa manusia umumnya melakukan sesuatu
dengan
cara-cara
yang
masuk
akal,
b)
bahwa
manusia
mempertimbangkan semua informasi yang ada, dan c) bahwa secara eksplisit maupun implisit, manusia berperilaku memperhitungkan implikasi dari tindakan mereka. Oleh karena itu intensi seseorang menurut teori tindakan beralasan adalah dipengaruhi oleh sikap individu terhadap perilaku dan norma-norma subyektif berupa persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Teori tindakan terencana (theory of planned behavior), intensi seseorang selain dipengaruhi oleh sikap individu terhadap perilaku dan persepsi seperti yang disebut dalam teori tindakan beralasan, juga dipengaruhi adanya kontrol tindakan yang dihayati (perceived behavior control), seperti seting spasial lingkungan hunian, tata aturan penghunian rumah susun, kemudahan dan adanya kesempatan melakukan. Bila merujuk pendapat Kurt Lewin (1951) yang dikutip Brigham (1991) bahwa perilaku (B) adalah fungsi karakteristik individu (P) dan lingkungan (E) atau B=f (P,E), maka anteseden dapat dikategorikan ke dalam dua kategori tersebut yaitu faktor eksternal berupa kondisi lingkungan dan faktor internal berupa karakteristik individu. Kontrol tindakan atau perilaku dan norma-norma yang ada dikategorikan sebagai faktor eksternal, sedangkan yang terkait dengan sikap baik keyakinan akan hasil perilaku maupun sikap yang spesifik individu dikategorikan sebagai faktor internal. Secara skematik dasar teori tindakan dan kategori anteseden ESB dapat ditunjukkan seperti gambar berikut:
162 Bambang Deliyanto
Gambar 7.1 Skema anteseden penghuni berperilaku ESB
Dari uraian dan skema tersebut di atas disusun atribut anteseden penghuni berperilaku ESB, dan untuk mengetahui atribut mana yang menjadi anteseden seseorang dalam berperilaku ESB dapat dilakukan melalui analisis Biplot. Secara rinci atribut anteseden berperilaku ESB dapat dilihat pada Tabel 7.1.
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
163
Tabel 7.1. Atribut dan Komponen Berperilaku ESB Atribut dan Komponen Berperilaku ESB Atribut anteseden penghuni berperilaku ESB A. Kesadaran/komitmen terhadap Lingkungan (Community Consensus) B.
Kemampuan adaptasi penghunian
Dasar Teori Teori tindakan beralasan (sikap spesifik) Teori tindakan beralasan (sikap spesifik)
C. Seting spasial lingkungan hunian yang mendukung
Teori tindakan terencana (kontrol tindakan)
D. Tata aturan penghunian
Teori tindakan terencana (kontrol tindakan)
E.
Pengalaman orang lain
Teori tindakan terencana dan Teori tindakan beralasan (keyakinan akan hasil tindakan)
F.
Manfaat hasil
Teori tindakan terencana (keyakinan akan hasil tindakan) Teori tindakan terencana (norma-norma subyektif)
G. Norma yang mewajibkan (tekanan sosial) akan pemeliharaan lingkungan H. Kemudahan melakukan
Teori tindakan terencana dan Teori tindakan beralasan (keyakinan akan hasil tindakan)
J.
Teori tindakan terencana (kontrol tindakan)
Ada/tidaknya kesempatan untuk melakukan
Komponen ESB ESB 1 = Pelestarian Lingkungan ESB 2 = Coping Lingkungan ESB 3 = Motivasi untuk sejatera ESB 4 = Aktif Berorganisasi
Data yang diperoleh dari responden berupa data persepsi penghuni terhadap atribut anteseden dan persepsi terhadap komponen ESB. Kedua data tersebut dicari nilai Mean nya kemudian ditabulasi-silangkan (cross tab) dengan program SPSS, kemudian data tersebut dianalisis Biplot. Adapun data tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 7.2. Data Anteseden Penghuni Berperilaku ESB Anteseden ESB 1 ESB 2 ESB 3 ESB 4
A 4.02 4.05 4.01 4.11
B 3.61 3.61 3.61 3.63
Catatan: A s/d J lihat atribut anteseden pada Tabel 7.1 Data diolah dengan skala 5
C 3.28 3.33 3.3 3.31
D 3.52 3.54 3.51 3.55
E 3.74 4.09 4.18 2.54
F 3.78 4.19 4.5 2.57
G 3.73 4.32 3.85 2.53
H 3.24 3.95 2.83 2.51
J 3.5 3.6 1.75 1.28
164 Bambang Deliyanto
Analisis Biplot yang terlihat pada Gambar 7.2 dapat diketahui bahwa komponen ESB dipengaruhi oleh atribut-atribut anteseden yang vektornya mempunyai sudut yang
tajam.
Semakin
runcing
sudut yang terbentuk semakin kuat
hubungan
semakin Gambar 7.2 Biplot anteseden berperilaku ESB
positifnya,
tumpul
sudut
yang
terbentuk mempunyai hubungan yang negatif, dan jika sudut yang 900
terbentuk
mengindikasikan
(siku-siku) tidak
adanya
hubungan, jadi dari Gambar 7.2 tersebut
dapat
menunjukkan
bahwa upaya coping lingkungan (ESB 2) dan perilaku melestarikan
lingkungan
mempunyai Gambar 7.3 Biplot anteseden ABCD terhadap ESB
dengan
hubungan
atribut
kesempatan
(ESB
ada
untuk
1)
positif tidaknya
melakukan
ESB 1 dan ESB 2 (atribut J), kemudahan melakukan ESB 1 dan ESB 2 (atribut H), dan adanya norma yang mewajibkan (tekanan sosial) akan pemeliharaan lingkungan (G). Temuan ini dapat diartikan bahwa atribut J, H, dan G merupakan kondisi awal (anteseden) yang menstimulus seseorang berperilaku ESB 1 dan ESB 2. Anteseden yang mendahului adanya motivasi penghuni meningkatkan kesejahteraan (ESB 3) adalah keyakinan akan keberhasilan melakukan perilaku (atribut E) seperti tindakan meningkatkan kualitas rumah, penghasilan, kesehatan, kesenangan dan pengetahuan penghunian rumah susun. ESB 3 juga distimulus oleh manfaat yang dirasakan dari hasil seseorang berperilaku ESB (atribut F) seperti manfaat dari tindakan meningkatkan kualitas rumah, penghasilan, kesehatan, kesenangan dan pengetahuan penghunian rumah susun. ESB 4 atau keaktifan dalam berorganisasi, tidak satupun atribut anteseden yang mempengaruhi, jawaban penghuni berada di kuadran yang berseberangan untuk atribut E, F, G, H, dan J. Atribut anteseden A, B, C, dan D
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
165
relatif seragam atau mempunyai keberagaman yang relatif sama terhadap seluruh komponen ESB 1, ESB 2, ESB 3, maupun ESB 4, karena atribut ABCD relatif berada mendekati titik pusat. Namun bila analis Biplot dilakukan khusus atribut ABCD terhadap keempat komponen ESB didapat hasil bahwa keaktifan berorganisasi (ESB 4) distimulus atau didahului dengan kondisi kesadaran akan lingkungan (atribut A), kemampuan adaptasi penghuni (atribut B), dan tata aturan penghunian (atribut D). Perilaku ESB 2 (coping lingkungan) sangat dipengaruhi atribut C yaitu seting spasial lingkungan hunian, untuk ESB 1 (pelestarian lingkungan) dan ESB 3 (motivasi untuk sejahtera) tidak ada satupun atribut A, B, C, dan D yang dekat, dengan kata lain bahwa penghuni rumah susun berperilaku ESB 1 dan ESB 3 tidak didahului dengan kondisi atribut A, B, C, dan D (lihat Gambar 7.3). Uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa masing-masing komponen ESB mempunyai lebih dari satu atribut anteseden yang menjadi kondisi awal yang menstimulus masing-masing komponen ESB. Secara skematis atribut anteseden yang mempunyai hubungan dengan komponen ESB dapat dilihat pada Gambar 7.4. Pelestarian Lingkungan (ESB 1)
A
B
Motivasi Sejahtera (ESB 3)
A. B. C. D. E. F. G. H. J.
Coping Lingkungan (ESB 2)
C
D
E
F
G
H
J
Berkelembagaan (ESB 4)
Kesadaran/komitmen terhadap Lingkungan (Community Consensus) Kemampuan adaptasi penghunian Seting spasial lingkungan hunian yang mendukung Tata aturan penghunian Pengalaman orang lain Manfaat hasil Norma yang mewajibkan (tekanan sosial) akan pemeliharaan lingkungan Kemudahan melakukan Ada/tidaknya kesempatan untuk melakukan
Gambar 7.4 Hubungan komponen ESB terhadap atribut anteseden
166 Bambang Deliyanto
Tindakan pelestarian lingkungan (ESB 1) lebih distimulus oleh atribut anteseden norma-norma subyektif seperti adanya norma sosial yang mewajibkan warga harus bergotong-royong memelihara lingkungan dan atribut anteseden kemudahan
melakukan
dibandingkan
dengan
kesadarannya
terhadap
lingkungan, ataupun adanya seting spasial maupun aturan hunian. Penghuni atau warga lebih takut terhadap sanksi sosial (seperti digunjingkan, didiamkan tetangga) dalam tindakan
memelihara
lingkungan
dibandingkan dengan
melakukan pemeliharaan lingkungan karena ketaatannya terhadap aturan penghunian, hal ini dapat dilihat Gambar 6.10 (Sikap dan tindakan penghuni rumah susun dalam berperilaku ESB) yang telah dibahas pada bab sebelumnya dan Tabel 7.3 dapat memberikan gambaran bahwa nilai sikap pelestarian (3.75) lebih rendah dibandingkan dengan tindakannya dalam pelestarian lingkungan (4.4). Begitu pula terhadap seting spasial, warga masih senang membuang sampah tidak pada tempatnya walaupun seting spasial telah menyediakan tempat pembuangan sampah, tetapi melalui aturan yang ada tindakan mereka tetap mau bergotong-royong membersihkan lingkungan. Perilaku coping lingkungan (ESB 2) baik dalam bentuk adjustment atau adaptasi, coping mental maupun coping fisik, perilaku ini justru tidak dikondisikan oleh kemampuan atau kesiapan individu dalam beradaptasi melainkan dikondisikan atau distimulus karena adanya seting spasial yang tidak sesuai dengan keinginan penghuni, aturan boleh tidaknya bagian bangunan yang dibongkar, pengalaman tetangga dalam menata unit hunian rumah susun, serta manfaatnya setelah ditata ulang, kemudahan penataan rumah susun dalam melaksanakan, dan kesempatan dari sisi keuangan.
Tabel 7.3. Perbandingan antara sikap dan tindakan berperilaku ESB KOMPONEN ESB Pelestarian Lingkungan Adaptasi Lingkungan Peningk. Kua. Lingk Berorganisasi
ESB Sikap 3.75 4.09 4.18 2.54
Tindakan 4.4 3.62 2.95 1.27
Gambaran kondisi ESB 2 tersebut di atas juga didukung temuan pada Gambar 6.10 (Sikap dan tindakan penghuni rumah susun dalam berperilaku ESB) dan Tabel 7.3 yang memberikan gambaran bahwa tindakan baik adaptasi
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
167
lingkungan maupun peningkatan kualitas lingkungan masih lebih rendah dari sikap adaptasi lingkungan dan sikap peningkatan kualitas lingkungan. Normanorma subyektif lebih menstimulus coping mental penghuni rumah susun, seperti kerukunan penghuni rumah susun. Motivasi sejahtera (ESB 3) penghuni lebih distimulus oleh atribut anteseden pengalaman orang lain dan manfaat yang diperoleh dalam memenuhi kesejahteraan dan norma subyektif tentang kesejahteraan dibandingkan dengan atribut anteseden lainnya seperti kepedulian lingkungan, seting spasial, dan lainnya. Perilaku dalam berkelembagaan penghuni (ESB 4) lebih distimulus oleh atribut anteseden kesadaran lingkungan, kemampuan adaptasi dan tata aturan penghunian dibandingkan dengan atribut anteseden lainnya. Tata aturan tinggal di rumah susun mewajibkan warganya berhimpun dalam perhimpunan penghuni, masing-masing Blok rumah susun (Apron, Boing, Conver dan Dakota) mempunyai perhimpunan penghuni. Untuk efisiensi kelembagaan, warga rumah susun Kemayoran sepakat bahwa Ketua RW merangkap menjadi Ketua perhimpunan penghuni, hal ini yang menghambat kinerja perhimpunan penghuni karena Ketua perhimpunan penghuni harus juga menjalankan tugas-tugas pokok administrasi kependudukan diluar tugas pokoknya sebagai pengelola property. Berdasarkan analisis Biplot tersebut di atas, maka dapat dianalisis pula keterkaitan antar komponen ESB adalah bahwa interaksi sosial yang dikoordinasi oleh kelembagaan perhimpunan penghuni seperti melakukan perawatan lingkungan hunian rumah susun maupun kegiatan lainnya dapat mendorong penghuni berperilaku melestarikan lingkungan. Adanya interaksi sosial dalam suatu kelembagaan juga dapat mendorong motivasi penghuni untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik, serta dapat mendorong penghuni lebih mudah dalam melakukan coping lingkungan. Coping lingkungan baik dalam bentuk adjustment maupun adaptasi dapat lebih mudah dilakukan (atribut anteseden H) atas dorongan motivasi dan lingkungan yang lestari akibat perilaku penghuni dalam melestarikan lingkungan. Dari analisis terdahulu dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan penghuni berperilaku melestarikan lingkungan adalah melalui interaksi sosial yang dilembagakan baik secara formal maupun non formal dengan memperhatikan atribut-atribut anteseden penghuni berperilaku ESB, seperti yang terlihat pada Gambar 7.5.
168 Bambang Deliyanto
H J Coping Lingkungan (ESB 2)
E
C
F
Interaksi sosial/ Berkelembagaan (ESB 4)
G
D
A
Pelestarian Lingkungan (ESB 1)
B Motivasi Sejahtera (ESB 3)
Gambar 7.5 Keterkaitan antar komponen ESB dan atributnya