37
Bab VI Perbandingan Model Simulasi menggunakan Metode Monte Carlo dan Metode Functional Statistics Algorithm (FSA) VI.1 Probabilitas Integral (Integral Kumulatif) Ketika menganalisis distribusi probabilitas, kita mengetahui bahwa dalam pengukuran akan terjadi penyimpangan dari nilai rata-rata dalam nilai tertentu, ∆x. untuk mengatasi permasalahan ini, kita lakukan evaluasi secara numerik terhadap integral kumulatif distribusi Gausssian Persamaan integral kumulatif distribusi Gaussian memberikan probabilitas setiap nilai random x akan menyimpang dari nilai rata-rata distribusinya lebih kecil dibandingkan ± ∆x. karena fungsi probabilitas
PG(x; µ, σ) adalah harus ternormalisasi, probabilitas
pengukuran akan menyimpang dari rata-rata nilai distribusi lebih dari ∆x, yaitu 1-AG(∆x ; µ, σ). Hal yang menarik untuk ditinjau adalah probabilitas yang berhubungan dengan deviasi σ, 2σ, 3σ dan seterusnya, dari nilai rata-rata yang berkorespondensi kepada 1, 2 dan deviasi standar lainnya. Kita juga akan meninjau kemungkinan kesalahan (probable error) ,σpe, yang didfinisikan sebagai nilai mutlak deviasi | x – µ |, maka probabilitas untuk deviasi yang berasal dari percobaan random | xi – µ | memiliki nilai kurang dari ½. Dengan demikian, setengah dari percobaan, diharapkan berada pada batas yang dinotasikan dengan µ ± σpe. Persamaan integral kumulatif distribusi Gaussian tidak dapat dievaluasi secara keseluruhan secara analitik. Secara analitik, kita dapat melakukan integrasi secara partisi (term by term). Akan tetapi kita akan menyelesaikan persamaan integral di atas secara numerik. Dengan metode integrasi numerik, persamaan integrasi di atas diselesaikan dengan cepat dan akurat, serta hasil yang didapatkan lebih realistis (Bevington & Robinson 1990) VI.2 Pemodelan Fungsi Gaussian 2-D Fungsi Gaussian 2-D merupakan fungsi yang kontinu yang diselesaikan dengan metode numerik. Fungsi Gaussian 2-D, adalah fungsi yang menarik dipelajari, dan digunakan sebagai distribusi yang standar.
38
Untuk lebih memahami metode yang digunakan dalam menyelesaikan distribusi frekuensi, yaitu metode Monte Carlo dan Metode Functional Statistics Algorithm, maka diperlukan suatu simulasi. Dalam bab ini akan digambarkan simulasi model fungsi Gaussian 2-D dengan menggunakan metode Monte Carlo dan FSA. Pemodelan ini menunjukkan bagaimana Monte Carlo dan FSA mengatasi masalah distribusi, dalam hal ini, distribusi Gaussian 2-D. Metode manakah yang lebih efektif dan efisien dalam masalah distribusi Gaussian 2-D, apakah metode Monte Carlo atau metode FSA. Dalam pemodelan ini dilakukan juga proses smoothing menggunakan metode pixel sharing. kita akan melihat perbedaan hasil distribusi Gaussian 2-D dengan menggunakan Monte Carlo tanpa pixel sharing dan Monte Carlo dengan pixel sharing, serta FSA tanpa pixel sharing dan FSA dengan pixel sharing, juga akan dibandingkan Monte Carlo tanpa pixel sharing dengan FSA tanpa pixel sharing, dan Monte Carlo dengan pixel sharing dan FSA dengan pixel sharing. VI.3 Algoritma Pemodelan Fungsi Gaussian 2-D menggunakan metode Monte Carlo Pemodelan fungsi Gaussian 2-D dengan menggunakan metode Monte Carlo, dilakukan untuk menunjukkan bagaimana metode Monte Carlo efektif dalam menyelesaikan masalah distribusi, sehingga distribusi yang dihasilkan dapat mendekati kebenaran, sesuai dengan syarat distribusi dalam statistik. Seperti yang telah dipahami, bahwa metode Monte Carlo merupakan suatu metode untuk menyelesaikan masalah distribusi dengan menggunakan angka random. Angka random yang akan kita gunakan dalam pemodelan ini diperoleh dengan menggunakan metode transformasi, seperti yang telah dijelaskan dalam bab IV. . Kita juga akan menggunakan konsep areal density dan smoothing dengan pixel sharing. angka random yang dihasilkan diplot ke dalam diagram yang sudah dibentuk piksel-piksel. Dalam pemodelan ini kita lakukan metode Monte Carlo dengan menggunakan percobaan random 100 kali, 1000 kali dan 10.000 kali terhadap fungsi Gaussian 2-D. Pemodelan ini dibuat dalam bentuk program menggunakan bantuan perangkat lunak freepascal. Adapun algoritma yang digunakan untuk pemodelan fungsi Gaussian 2-D adalah sebagai berikut :
39 a. Buat diagram yang terdiri dari piksel-piksel (rectangulars array), tentukan jumlah array inisial (n x n) dan array final (m x m), serta batas rectangular arraynya b. Tentukan nilai Cumulative Integral distribusi Gaussian (untuk plot sumbu-y) dengan batas angka real 0 s.d. 1, disesuaikan dengan jumlah angka random yang diinginkan c. cari angka random berpasangan (antara 0 s.d. 1) sebanyak jumlah angka sampel random yang akan kita tentukan (100, 1000 dan 10.000), jadikan angka random yang satu sebagai sumbu x dan yang lainnya sebagai sumbu y. d. Cari nilai pada sumbu y angka random bersesuaian dengan nilai integral kumulatif, kemudian sesuaikan lagi dengan nilai sumbu x angka random e. Plot nilai x angka random dengan nilai integral kumulatif yang sudah bersesuaian dengan sumbu y angka random f. Lakukan metode Pixel Sharing untuk membuat hasil lebih smooth. VI.4 Hasil Pemodelan Fungsi Gaussian 2-D dengan Monte Carlo beserta proses smoothing menggunakan Pixel Sharing Pemodelan fungsi Gaussian 2-D a. Pemodelan dengan 100 percobaan random dengan Array inisial 8 dan Array final 64, Array inisial 8 dan Array final 128 dan Array inisial 8 dan Array final 256
40 b. Pemodelan dengan 100 percobaan random dengan Array inisial 16 dan Array final 64, Array inisial 16 dan Array final 128 dan Array inisial 16 dan Array final 256
c. Pemodelan dengan 1000 percobaan random dengan Array inisial 8 dan Array final 64, Array inisial 8 dan Array final 128 dan Array inisial 8 dan Array final 256
d. Pemodelan dengan 1000 percobaan random dengan Array inisial 16 dan Array final 64, Array inisial 16 dan Array final 128 dan Array inisial 16 dan Array final 256
41 e. Pemodelan dengan 10000 percobaan random dengan Array inisial 8 dan Array final 64, Array inisial 8 dan Array final 128 dan Array inisial 8 dan Array final 256
f. Pemodelan dengan 10000 percobaan random dengan Array inisial 16 dan Array final 64, Array inisial 16 dan Array final 128 dan Array inisial 16 dan Array final 256
VI.5 Algoritma Pemodelan Fungsi Gaussian 2-D menggunakan metode FSA Metode Functional Statistics Algorithm (FSA) merupakan metode yang dikembangkan untuk masalah distribusi. Metode ini merupakan metode alternatif dalam menyelesaikan masalah distribusi yang biasanya dilakukan dengan metode Monte Carlo. Metode FSA cukup menggunakan beberapa titik distribusi saja, atau bahkan hanya menghitung fungsinya saja, sehingga semua nilai dalam fungsinya dapat diketahui. Dalam pemodelan FSA ini juga menggunakan konsep areal density dan smoothing menggunakan pixel sharing. Dalam pemodelan ini FSA dibuat dalam bentuk program, yang dikerjakan dengan bantuan perangkat lunak freepascal. Adapun algoritma program FSA adalah sebagai berikut : a. Tentukan jumlah array inisial dan array final b. Tentukan koordinat titik pusat array final
42 c. pindahkan koordinat titik pusat array final ke array inisial d. Masukkan koordinat pusat array final ke dalam fungsi distribusi tertentu e.
Lakukan proses smoothing dengan menggunakan metode pixel sharing
VI.6 Hasil Pemodelan Fungsi Gaussian 2-D dengan FSA dan smoothing menggunakan Pixel Sharing a. Pemodelan FSA dengan Array inisial 8 dan Array final 64, Array inisial 8 dan Array final 128 dan Array inisial 8 dan Array final 256
b. Pemodelan FSA dengan Array inisial 16 dan Array final 64, Array inisial 16 dan Array final 128 dan Array inisial 16 dan Array final 256
VI.7 Analisis Perbandingan Metode Monte Carlo dan FSA dalam Model Simulasi Gaussian 2-D Berdasarkan hasil pemodelan fungsi Gaussian 2-D yang diselesaikan dengan menggunakan metode Monte Carlo dan FSA, terlihat bahwa untuk metode Monte Carlo, semakin banyak percobaan random yang dilakukan, maka hasil yang diperoleh semakin smooth. Sedangkan untuk metode FSA hanya melakukan perhitungan fungsi distribusinya, sehingga hasil yang diperoleh lebih baik daripada dilakukan dengan metode Monte Carlo dalam hal running time program. Karena yang dihitung adalah fungsinya, maka dengan menggunakan metode FSA didapatkan hasil yang lebih smooth,
43 sedangkan jika dilakukan dengan metode Monte Carlo, untuk memperoleh hasil yang sama dengan apa yang dihasilkan metode FSA, maka metode Monte Carlo membutuhkan lebih banyak lagi percobaan randomnya. Dalam pemodelan Gaussian 2-D, metode FSA lebih unggul dalam hal running time dibandingkan dengan metode Monte Carlo. VI.8 Model Simulasi Implementasi Fungsi Pendekatan Diagram HR Aplikasi metode statistik yang tepat dalam menganalisi diagram HR sangat diperlukan. Setidaknya terdapat tiga masalah yang harus dipecahkan / diselesaikan oleh metode statistik tersebut. Ketiga masalah tersebut adalah sebagai berikut : a. input teoritis dan observasi untuk diagram HR adalah titiktitik data diskrit, sehingga tidak dapat dibandingkan (fitting) b. titik-titik observasi diagram HR merepresetasikan campuran / gabungan antara bintang tunggal, bintang ganda, bintang triple dan seterusnya, merupakan masalah sistem bintang yang belum terpecahkan, karena yang biasa dilakukan adalah proses fitting untuk bintang tunggal. Masalah multiple system dapat menyebabkan error sistematis dalam menentukan umur gugus, komposisi dan juga parameter lainnya. Maka dari itu kita sangat membutuhkan metode analisis yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini c. Sejumlah
besar
bintang
model
yang
harus
dievolusikan,
sehingga
membutuhkan penurunan numerik yang cukup rumit untuk algoritma solusinya Dalam sub-bab ini kita akan membandingkan metode Monte Carlo dan metode FSA terhadap suatu fungsi yang merupakan pendekatan diagram HR. parameter yang akan digunakan dalam model pendekatan diagram HR ini adalah IMF dan nilai q. IMF adalah fungsi massa inisial, yang digunakan untuk distribusi massa inisial. Model simulasi yang akan kita buat adalah model simulasi bintang ganda dengan m1 adalah massa inisialnya, yang diperoleh dari IMF, dan massa m2 diperoleh dari hubungan nilai q, dalam hal ini nilai q bervariasi. Kita akan mendapatkan distribusi massa bintang ganda dengan nilai q yang bervariasi menggunakan metode Monte Carlo dan metode FSA. Dalam model simulasi ini fungsi IMF yang akan kita gunakan adalah P(M1) ∞ cM1-3/2 , dan nilai q =
44 (M2 / M1) ∞ cq1/4 untuk metode Monte Carlo, sedangkan untuk FSA akan digunakan fungsi IMF dan nilai q sesuai dengan yang dipaparkan dalam paper Wilson (2003). VI.9 Model Simulasi Implementasi Pendekatan Diagram HR dengan Menggunakan Metode Monte Carlo Model simulasi implementasi diagram HR sederhana yang akan kita buat dengan fungsi linear yang bersesuaian dengan persamaan garis lurus y = -4/3 x + 4. Kita akan membuat diagram dengan batas sumbu x dan sumbu y masing-masing sampai dengan 4. Persamaan garis lurus ini merupakan deret utamanya. Karena diagram HR bersifat logaritmik, maka sesuai dengan persamaan garis tersebut massa terbesarnya adalah 104/3 dan massa terkecilnya 1 Kita mendapatkan massa bintang tunggal dari persamaan IMF P(m1) = c1m-3/2. nilai c1 didapatkan dari persamaan integral P(m1) = c1m-3/2 setelah dinormalisasi. Nilainya adalah 1/ 2(1 – 104/3) m1. kemudian dievolusikan. Kita mengevolusikan bintang dengan memberikan kecepatan dalam arah sumbu x sebesar vx = 4 x 10-8 m3. kita tidak hanya mengevolusikan diagram HR untuk bintang tunggal saja, akan tetapi akan kita evolusikan juga bintang ganda. Tujuan dari pemodelan ini adalah mengetahui posisi bintang ketika berevolusi, baik itu bintang tunggal, maupun bintang ganda. Untuk bintang tunggal, kita dapat langsung mengetahui posisi bintang setelah berevolusi dengan memasukkan
fungsi massa IMF yang sebanding dengan fungsi
luminositasnya. Fungsi vx yang merupakan fungsi massa inisial dikalikan dengan waktu evolusinya ditambahkan dengan nilai x dari persamaan garis lurus, yang merupakan fungsi dari massa inisial. Adapun untuk bintang ganda kita akan menggunakan nilai q untuk mencari massa bintang pasangannya. Sumbu x adalah warna, B-V, dan sumbu y adalah fungsi luminositas Lv. Setelah kita dapatkan massa inisial dari fungsi IMF, kemudian kita hitung massa kedua dengan nilai P(q) = 5/4 q1/4 dan q = m2/m1. masingmasing massa dievolusikan seperti cara mengevolusikan bintang tunggal. Untuk mendapatkan posisi bintang ganda, kita membutuhkan nilai (B-V) kombinasi dan log Lv kombinasi. (B-V) kombinasi didapatkan dengan : (B – V)kombinasi = (B – V)massa1 – 2.5 (log (LB1 + LB2)/LB1 - log (Lv1 + Lv2)/Lv1) dan log lvkombinasi = log (Lmassa1 + Lmassa2).
45 Fungsi massa inisial dan fungsi probabilitas q didapatkan dengan percobaan random, kemudian dikumulatifkan. Dalam program model diagram HR sederhana, yang diselesaikan dengan metode Monte Carlo, terdapat beberapa parameter yang dapat mengubah bentuk diagram HR tersebut, yaitu : jumlah percobaan random yang dijalankan, besarnya waktu evolusi serta komposisi bintang ganda dengan bintang tunggal. Hasil program diagram HR sederhana : a. Diagram HR sederhana dengan komposisi bintang tunggal dan bintang ganda yang bervariasi (100 % bintang tunggal, 50 % bintang tunggal, 10 % bintang tunggal, pada waktu evolusi 10.000 dan percobaan random 10.000
b. Diagram HR sederhana dengan waktu evolusi 10, 1000 dan 10.000 dengan 10 % bintang tunggal dan 10.000 percobaan random
c. Diagram HR sederhana dengan percobaan random 100, 10.000 dan 1.000.000 dengan 10 % bintang tunggal dan waktu evolusi 10.000
46 VI.10 Model Simulasi Implementasi Menggunakan Metode FSA
Pendekatan
Diagram
HR
dengan
Untuk model simulasi fungsi pendekatan diagram HR, yang diselesaikan dengan metode FSA, kita akan menggunakan beberapa parameter yaitu: fungsi massa inisial (IMF) dan nilai q, yaitu nilai perbandingan massa bintang 1 (M1) dengan massa bintang 2 (M2) dalam kaitannya dengan bintang ganda. Sebenarnya FSA dapat diterapkan pada semua kategori bintang (bintang tunggal, close companion, wide companion, triple), hanya saja pembobotannya yang rumit. FSA juga akan semakin rumit ketika semakin banyaknya including parameter. Simulasi model pendekatan diagram HR dengan menggunakan metode FSA adalah sesuai dengan yang dikerjakan oleh R.E Wilson dan J. Hurley, (Wilson dan Hurley, 2003) dipaparkan dalam sebuah paper yang berjudul Impersonal Parameter Hertzprung Russel Diagram. Sebuah sistem bintang dimulai dengan sejumlah khusus primary stars yang berumur nol, berada antara limit massa yang lebih rendah dan limit massa yang lebih tinggi. Limit massa yang lebih rendah ditempatkan secara lurus di bawah massa cut-off yang lebih rendah dalam diagram observasi gugus, dan dapat berubah karena proses fitting jika diperlukan. Limit massa yang lebih tinggi dapat berupa massa yang lebih tinggi daripada sebagian besar bintang masif yang terobservasi. IMF merupakan fungsi yang menyatakan massa inisial. IMF untuk metode FSA ditentukan oleh sebuah formulasi fungsi yang dikemukakan oleh Kroupa, Tout dan Gilmore (1993, dapat disingkat dengan istilah KTG). KTG terbagi menjadi tiga daerah yang proporsional terhadap pangkat massa tertentu. KTG menempatkan titik awal massa pada 0.08, 0.50 dan 1.00 MO dengan eksponen yang direkomendasikan -1.3, -2.2 dan -2.7 untuk masingmasing daerah massa. Setiap daerah dari tiga daerah massa terbagi menjadi sejumlah kecil interval massa atau bin (biasanya berjumlah antara 20 s.d 50 buah bin), yang memenuhi hukum KTG. Cara untuk mencari jumlah bintang nbin dalam suatu bin dengan asumsi jumlah bintang dalam sebuah daerah massa, nregime, diketahui jumlahnya adalah sebagai berikut : nbin = nregime (mtopp+1 – mbottomp+1) m2p+1 – m1p+1
47
dimana nregime adalah jumlah bintang dalam daerah massa (mass regime) , m1 dan m2 adalah batas daerah massa (regime boundaries), contohnya 0.05 dan 1.00 M0, sedangkan mtop dan mbottom menunjukkan limit massa bin, dan p adalah eksponen dalam sebuah daerah massa (regime). Nilai q, didapatkan dari hasil eksperimen memiliki empat buah siklus untuk masingmasing jumlah primary stars. Siklus pertama q = 0.9675, 0.8375, 0.7075, 0.5755, dan 0.4475. siklus kedua memiliki nilai q = 0.9350, 0.8050, 0.6750, 0.5450, dan 0.4150. siklus ketiga memiliki nilai q = 0.9025, 0.7725, 0.6425, 0.5125, dan 0.3825. sikluss keempat memiliki nilai q = 0.8700, 0.740, 0.6100, 0.4800, dan 0.3500. Siklus dimulai lagi pada bintang kelima, yang memiliki nilai q yang sama dengan awal. Nilai q dalam satu siklus memiliki perbedaan sebesar 0.13, sedangkan perbedaan antar siklus sebesar 0.0325. Dengan perbedaan antar siklus sebesar 0.0325, maka setiap titik dalam IMF memiliki distribusi penuh nilai q. VI.11 Analisis Perbandingan Metode Monte Carlo dan Metode FSA dalam pendekatan diagram HR Dalam model simulasi pendekatan diagram HR, kita hanya menggunakan dua fungsi distribusi saja yaitu fungsi massa inisial (IMF) dan perbandingan massa antara massa companion
dengan massa inisialnya (IMF). Dalam metode Monte Carlo, kita
menggunakan fungsi massa inisial (IMF) yang sesuai dengan persamaan P(M1) ∞ M1-3/2 dan fungsi q sesuai dengan persamaan P(M2 / M1) = 5/4 q1/4 untuk bintang ganda. Kita menggunakan nilai fungsi IMF dengan M-3/2 dan fungsi q adalah q1/4 agar lebih mudah digambarkan dan lebih mudah dipahami. Sedangkan untuk metode FSA, nilai IMF didapatkan menggunakan KTG dan nilai q yang sudah dikerjakan oleh Wilson. Dalam pendekatan diagram HR ini metode Monte Carlo ternyata jauh lebih efektif dan lebih mudah dibandingkan dengan metode FSA. Monte Carlo hanya membutuhkan fungsi saja sedangkan FSA menggunakan pembobotan pada masing-masing bintang. FSA akan semakin rumit jika including parameter dan sistem bintang yang semakin banyak, karena pembobotan yang semakin banyak, dan juga track evolusi yang harus dihitung juga
48 semakin banyak, sedangkan untuk metode Monte Carlo hanya tinggal menunggu komputer untuk mengerjakan, baik untuk satu bintang , dua bintang maupun tiga bintang, hanya tinggal menambah iterasi saja (Wilson & Hurley 2003).