151
BAB VI PENUTUP A.
Kesimpulan Setelah peneliti melakukan analisis pada film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” dengan menggunakan metode semiotika Pierce. Peneliti mendapatkan hal-hal atau makna di balik adegan-adegan yang terdapat di dalam film. Dan hasil analisis terhadap simbol-simbol yang menjadi data penelitian sesuai dengan rumusan masalah, yaitu mengungkap bagaimana representasi anak jalanan pada konteks kemiskinan di Indonesia dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”. Peneliti membagi 3 (tiga) bagian karakteristik untuk merepresentasikan anak jalanan, yaitu karakteristik fisik, karakteristik psikis dan situasi konflik yang dihadapi anak jalanan. Pertama, karakteristik fisik. Scene yang membicarakan fisik anak jalanan dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” dapat dipaparkan berdasarkan: a) kondisi tubuh dan orientasi tempat tinggal anak jalanan meliputi tubuh kotor, kumal (jarang mandi), kehidupan yang tidak terurus, serta tempat tinggal yang tidak layak huni, kotor, semeraut dan hanya dengan alat-alat yang seadanya, seperti tidur hanya memakai kain, koran, anyaman yang terbuat dari tali dan jaring bekas sebagai alas. Tetapi, ada pula anak jalanan yang mengenakan pakaian rapi namun, sejatinya hal itu hanya dilakukan pada situasi tertentu untuk mendukung dan melancarkan aktivitas mereka di jalan. Artinya, dalam kondisi ini dari sisi pemenuhan kebutuhan akan kesehataan dan materi dasar seperti papan pada anak jalanan
151
152
kurang terpenuhi, b) kondisi pendidikan anak jalanan meliputi kurangnya pengetahuan dan keteramapilan hitung menghitung, pengetahuan membaca dan menulis yang sama sekali tidak dimiliki oleh anak jalanan, minimnya pengetahuan agama, bahkan tidak mengenal apa status agama. Dari semua aspek yang terungkap berkaitan dengan kondisi fisik anak jalanan dapat dikatakan bahwa kemiskinan yang dialami anak jalanan disebabkan kurang terpenuhinya kebutuhan mendasar seperti sandang, pangan dan papan. Kedua, karakteristik psikis. Scene yang membicarakan psikis anak jalanan dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” dipaparkan berdasarkan: a) perilaku anak jalanan dalam interaksi sosial, perilaku yang terlihat dari aspek ini terdiri dari 2 (dua) sudut pandang, yakni interaksi dengan pihak lain dan interaksi dengan sesama anak jalanan. Hubungan dengan pihak lain anak jalanan menjadi sosok yang tertutup dan tidak ingin bersahabat, sedangkan perilaku pada hubungan sesama anak jalanan juga cenderung kasar, baik verbal maupun non verbal. Kekerasan verbal dapat berupa kata-kata kasar, meledek, meremehkan bahkan mencaci, sedangkan kekerasana non verbal memukul dan menunjuk dengan maksud menantang untuk berkelahi, b) Kecenderungan sikap anak jalanan secara individu, meliputi anak jalanan berprasangka buruk, sangat sulit diarahkan, anak jalanan ingin hidup bebas dalam mengatur kegiatannya sehari-hari tanpa harus diatur atau dipengaruhi oleh pihak lain, mulai dari makan, tidur, mandi, bermain, bekerja, pergaulan bahkan untuk belajar. Penjelasan keseluruhan dari aspek yang berkaitan dengan psikis anak jalanan dapat
153
dikatakan bahwa kemiskinan yang dialami oleh anak jalan dikarenakan rendahnya tingkat kognisi, afeksi dan psikomotorik8 yang mendorong berbagai perilaku negatif dalam interaksi dengan lingkungannya. Ketiga, Scene yang membicarakan situasi konflik yang dihadapi anak jalanan Dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” dipaparkan berdasarkan: a) pelaku kriminalitas, yaitu berkaitan dengan kondisi anak jalanan yang terjerat tindakan kriminalitas, berdasarkan uraian scene dan tahap semiotika Pierce bahwa anak jalanan beraktivitas sebagai pencopet, b) korban kekerasan. Anak jalanan mengalami kekerasan dalam kehidupan kesehariannya, baik itu kekerasan fisik dan mental yang mengarah kepada suatu konteks kekerasan verbal dan non verbal yang dihadapi anak jalanan. Kekerasan verbal berupa kata-kata atau segala sesuatu yang berbentuk suara yang dilontarkan kepada anak jalanan, yang memberikan efek negatif, seperti malu, tersinggung, takut, cemas dan sebagainya. Sedangkan, kekerasan non verbal adalah kekerasan dalam bentuk fisik atau gerakan tertentu yang juga memberi efek negatif, seperti takut, kesakitan dan sebagainya. Kekerasan verbal identik dengan mental sesorang, seperti yang dialami oleh anak jalanan, yaitu berupa bentakan, ancaman, kalimat yang meremehkan dan kalimat yang tidak menghargai. Sedangkan, non verbal identik pada fisik, yaitu berupa pukulan, tendangan dan jeweran. Kekerasan yang dialami anak jalanan tersebut dilakukan oleh bos dan masyarakat
8
Kognisi, afeksi dan psikomotorik adalah kemampuan seseorang mulai dari tahap berpikir hingga ke tahap tindakan. ketiganya merupakan proses yang berkesinambungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan psikologi.
154
dengan tindakan yang semena-menanya, c) eksploitasi, yaitu kondisi anak jalanan yang mengalami tindak eksploitasi pekerjaan. Dalam film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” berdasarkan scene dan tahap semiotika Pierce adanya kecenderungan anak jalanan yang patuh kepada setiap instruksi yang diberikan. Di posisi itu anak jalanan yang patuh dengan segala bentuk instruksi tersebut dijadikan pekerja dan sumber mata pencaharian bagi sang bos. Penggambaran kemiskinan dalam film di Indonesia yang dulunya tidak cukup berani untuk ditampilkan mewakili realitas yang ada. Namun, saat ini dalam film ini kemiskinan ditampilkan dengan sangat jelas. Gambaran anak jalanan pada scene-scene yang membicarakan karakteristik fisik, psikis dan situasi konflik yang dihadapi anak jalanan menunjukkan bahwa anak jalanan berada pada kondisi kemiskinan yang cukup kompleks. B.
Saran Kesimpulan yang telah diuraikan berkaitan dengan representasi anak jalanan dalam konteks kemiskinan pada film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” terkait manfaat dari kajian yang dilakukan mendorong peneliti untuk memberikan saran, yaitu saran akademik dan saran praktis. Pertama, saran akademik berdasarkan analisis semiotik yang telah dilakukan pada film: 1. Terkait dengan hasil temuan, terdapat banyak dialog maupun adegan yang kasar, bahkan mendemonstrasikan tindakan tertentu yang tidak
155
selayaknya menjadi tontonan untuk pihak tertentu yang rentan dan memiliki kecenderungan akan melakukan tindakan meniru. Untuk itu pihak sineas diharapkan dapat meminimalisir dialog maupun adeganadegan yang demikian. 2. Analisis tentang anak jalanan direpresentasikan dengan kondisi yang cukup
kompleks
dan
mengandung
kritik
terhadap
pemerintah.
Representasi suatu fenomena akan menjadi tontonan yang lebih bermuatan positif dan bermuatan pendidikan jika memuat berbagai saran dan masukan secara langsung untuk penyelesaian fenomena tertentu khususnya persoalan anak jalanan, bukan hanya sekedar memuat kritik. 3. Keanekaragaman interpretasi dalam membaca sebuah tanda sangatlah dimungkinkan, tergantung dari latar belakang pengalaman, pengetahuan, budaya dan keyakinan seseorang. Berbagai interpretasi tersebut tentu saja rentan akan subyektivitas. oleh karena itu, peneliti mengharpakan lebih banyak penelitian akan analisis yang senada dengan penelitian ini untuk mereduksi subyektivitas yang mungkin saja terjadi. Kedua, saran praktis berdasarkan penggambaran anak jalanan dalam konteks kemiskinan: 1. Penelitian mengenai anak jalanan dalam film masih sangat jarang ditemui. Diharapkan penelitian lain dapat lebih menggali dan dari sudut pandang yang berbeda agar melahirkan penelitian-penelitian baru
156
menyangkut anak jalanan dalam film guna untuk merumuskan strategi yang tepat bagi penyelesaikan permasalahan anak jalanan. 2. Melihat persoalan kemiskinan khususnya anak jalanan dengan kondisi yang serba kekurangan merupakan permasalahan sosial yang seharusnya lebih diperhatikan oleh pemerintah baik melalui kebijakan dan tindakan yang berkaitan dengan pengentasan, sebagai wujud perhatian terhadap kesehjahteraan masyarakat dan penerus bangsa.