BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan Hasil penelitian ini telah menggambarkan tentang ritual barong ider bumi yang masih bertahan dalam kehidupan masyarakat Using Desa Kemiren yang modern dan mengglobal. Dalam kondisi masyarakat seperti itu, ritual difungsikan sebagai sarana untuk mengatasi krisis dalam siklus hidupnya. Krisis tersebut disebut dengan pagebluk, yaitu: suatu keadaan patologis, penuh kebencanaan yang menyengsarakan, dan mematikan seluruh sumber penghidupan, termasuk mematikan warga masyarakat. Menurut sistem kepercayaan masyarakat, krisis tersebut dipercaya berulang (bersiklus) dalam setiap tahunnya dan ritual tersebut diselenggarakan untuk mencegah keberulangan siklus tersebut. Dalam setiap penyelenggaraan ritual tersebut, memperlihatkan sifat dan ciriciri yang spesifik. Seperti yang diperlihatkan dalam keseluruhan prosesinya, ritual tersebut dinilai bersifat sakral, diselenggarakan setiap tanggal 2 Syawal (setiap hari kedua di Hari Raya Idul Fitri) dan dilaksanakan tepat pada jam dua siang (14.00WIB). Keseluruhan prosesi diawali dengan selametan bukaan di makam Buyut Cili (roh penjaga desa), dilanjutkan dengan arak-arakan pembersihan (mengarak Topeng Barong Using bersayap keliling desa) dan diakhiri dengan selametan tutupan (tumpeng pecel pitik) yang bersifat massal. Sifat dan ciri ritual seperti ini dapat dikatakan khas dalam kehidupan masyarakat Using di Desa Kemiren.
285
Sedikit berbeda dengan prosesi ritual sakral pada umumnya, dalam ritual tersebut, antara simbol sakral dengan simbol profan dikombinasikan menjadi satu kesatuan ritual secara bersamaan. Tujuannya adalah untuk menyelaraskan simbolsimbol profan dengan simbol-simbol sakral. Simbol-simbol profan
yang
diselaraskan di antaranya adalah meliputi sebagai berikut: atraksi kesenian Using (gandrung, kuntulan, angklung), parade tokoh masyarakat (adat, desa, RT/RW, pejabat), pawai kesenian (hadrah, seni barong, macan-macanan, pitik-pitikan), pawai hiburan (pelucon, buto-butoan, busana adat, egrang), arak-arakan kuda, delman, sepeda onthel dan kelompok motor Tril. Simbol-simbol tersebut diselaraskan dengan simbol-simbol sakral yang di antaranya adalah mencakup sebagai berikut: Topeng Barong Using bersayap, makam Buyut Cili, sembur otékoték, dan tumpeng pecel pitik. Kombinasi dan penyelarasan simbol-simbol tersebut, menghasilkan tingkah laku sakral dan tingkah laku profan secara bersamaan, sehingga ritual tersebut, memberikan gambaran seperti sebuah pertunjukan kultural yang khidmat, sekaligus juga penuh kemeriahan. Bagi orang luar, gambaran ritual seperti ini terkesan ambigu, tidak konsisten, dan membingungkan, tetapi bagi mereka semua itu justru yang dikehendakinya. Ini bukan berarti masyarakat Using tidak agamis (Islamis) tetapi dalam komunitas mereka yang padat dan campuran tersebut, sebuah doktrin (dogma) yang berbahaya sengaja dihindari. Dengan kata lain, watak sinkretis masih dijalankan dengan penuh toleran di dalamnya, sehingga berbagai praktik akomodasi (berbagai simbol), kontes (pertunjukkan religius), indigenisasi (keaslian sebagai budaya Using), dan fungsi kewadahan (sarana pengusir pagebluk), dapat
286
berintegrasi ke dalam satu kesatuan ritual yang dinilai sakral sekaligus penuh kemeriahan. Dalam pandangan mereka, semua itu bisa terjadi dalam penyelenggaraan ritualnya karena mereka menganut cara berpikir lêmêsan, suatu prinsip berpikir yang terbuka, demokratis, dan fleksibel terhadap pengaruh-pengaruh yang ada di luarnya. Sebagaimana pengalaman masa lalunya yang juga terbuka terhadap pengaruh Jawa lama, Hindu-Budha, maupun Islam yang ekspansionis, maka prinsip ini (lêmêsan) akhirnya mendasari dirinya untuk memaknai ritualnya, bukan hanya sebagai tindakan religius yang sakral, tetapi juga sebagai penegas identitas dirinya sebagai kaum cêmêngan (warga Using), pedoman dari cara hidupnya, dan ruang bagi revitalisasi nilai-nilai kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêng-barêng) yang menjadi sendi-sendi dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, pandangan kaum cêmêngan tersebut sedikit berbeda dengan kaum santri yang juga menjadi identitas dari sebagian besar warga masyarakatnya. Dalam pandangan kaum santri, ritual yang khidmat penuh kemeriahan itu, dimaknai sebagai ruang toleran (toleransi) demi terwujudnya kebersamaan dan kerukunan. Kemudian, juga dijadikan sebagai media dakwah ajaran agama (Islam) melalui kesenian keislamannya (hadrah dan kuntulan), dan penegas sikap lêmêsan demi terciptanya kebersamaan dan kerukunan. Jika, kaum cêmêngan memandang ritual tersebut bersifat sakral dan keramat, maka dalam pandangan kaum santri, semua itu hanya seremonial dan tidak memiliki nilai kesakralan sama sekali. Bahkan dalam beberapa prosesi yang dilakukannya dinilai bertentangan dengan ajaran agama Islam.
287
Berbeda dengan cara pandang kaum cêmêngan dan kaum santri di atas, dalam pandangan pemerintah, keseluruhan ritual tersebut dimaknai sebagai sebuah keunggulan yang potensial. Penyelenggaraan ritual ini dimaknai sebagai kearifan budaya dari masyarakat Using, kemudian sebagai aset dan kekayaan desa, dan sebagai atraksi unggulan (ikon) bagi pengembangan pariwisata desa. Ritual ditempatkan sebagai keunggulan yang bernilai ekonomis sekaligus berdaya guna untuk mempromosikan potensi budayanya sebagai daya tarik wisata yang komersial. Meskipun belum sampai pada tahap komersialisasi ritualnya tetapi geliat untuk mewujudkan semua itu telah mampu dibaca oleh sebagian besar warga masyarakat. Namun, semua itu bukanlah sesuatu yang paling dirisaukan dalam kehidupan masyarakat Using karena prinsip berpikir lêmêsan yang dimiliki tersebut, membuat semua itu bisa diakomodasi dan ditoleransi. Satu hal yang menjadi catatan adalah asalkan keberadaanya tidak sampai merusak sendi-sendi kehidupan yang paling dasar, yaitu kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêng-barêng). Kedua sendi kehidupan tersebut merupakan simpul penyatu yang paling hakiki dalam kehidupan bermasyarakat dan bentuk-bentuk pemaknaan ritual seperti itu, di antaranya dilandasi dan bertumpu pada kedua prinsip yang menjadi sendi dalam kehidupan tersebut. Pentingnya nilai kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêng-barêng) tersebut, pada akhirnya menjadikan fungsi ritualnya tidak tunggal dan dominan untuk pemenuhan kebutuhan satu kelompok tetapi juga berfungsi beragam dan untuk pemenuhan banyak tujuan. Dari keseluruhan pemenuhan kebutuhan tersebut terdapat fungsi dominan yang menjadi tujuan pokok dari penyelenggaraan ritual tersebut, di
288
antaranya adalah ritual tersebut difungsikan sebagai perekat ikatan kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêng-barêng) antar warga sesama Using, sebagai sarana penyelesaian ketegangan sosial, dan pemberi kepastian bebas bencana (pagebluk). Selanjutnya, fungsi dominan ini telah menimbulkan efek-efek sosial dalam kehidupan masyarakat seperti ritual tersebut telah berefek sebagai wadah bagi revitalisasi integrasi sosial masyarakat, penegasan identitas diri dan sosial sebagai warga Using dan ruang perayaan massal yang bernilai wisata. Dampak lanjut dari fungsi dominan ini di antaranya adalah ritual tersebut telah mampu memberi peluang sumber pendapatan bagi warga masyarakat dan menjadi ruang promosi bagi pengembangan desa wisata (Desa Wisata Using) yang telah di tetapkan sejak tahun 1996. Seperti bentuk-bentuk sosial yang melayani banyak tujuan, fungsi ritual tersebut juga terlihat mampu melayani banyak tujuan. Ini bukan semata-mata karena watak lêmêsan dan sinkretis yang dianutinya tetapi semua itu lebih merupakan model dari kepercayaanya dan juga model bagi dirinya untuk memperlihatkan kepercayaannya tersebut. Bentuk-bentuk pemaknaan dan pemungsian di atas di antaranya untuk menegaskan tentang pentingnya hal itu dalam kehidupan bersama. Seperti diketahui, prinsip kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêng-barêng), sangat didambakan dan diperjuangkan keterwujudannya. Demi prinsip ini, sebuah sikap toleran, kompromi, dan lêmêsan di atas, harus tetap menjadi landasan bagi diri mereka, agar kondisi equilibrium (keharmonian) dan keteraturan sosial yang khas kehidupan warga Using tetap mampu terjaga dan dipelihara keberlanjutannya. Kondisi-kondisi yang memungkinkan dapat merusak keharmonian, seperti pagebluk,
289
konflik, ketegangan sosial, akan dengan cepat dipulihkan, dan penyelenggaraan ritual barong ider bumi merupakan salah satu bentuk respon kepentingan bersama dalam upaya untuk pemulihan itu. Ritual tersebut telah dipercaya mampu memenuhi dan mengembalikan kepentingan bersama dalam harmoni sosial yang diinginkan, yaitu cara hidup yang dinaungi oleh rasa dan semangat kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêng-barêng). Arus globalisasi yang berwujud industri pariwisata, gaya hidup modern dan komersialisasi ritual, telah ikut mewarnai dinamika ritual tersebut dalam konteks dunia global sekarang ini. Arus global tersebut telah membuat eksistensi ritual mengalami penyesuaian-penyesuaian bersama kehendak dan tuntutan global yang melingkupinya. Pada satu sisi, penyesuaian tersebut telah membawa dampak pada semakin menguatnya praktik ritual, tetapi di sisi yang lain semakin melemahkannya. Penguatan posisi tersebut ditunjukkan dengan semakin semarak, meriah, dan besarnya penyelenggaraan prosesi ritual, sedangkan kelemahaanya, terletak pada semakin menurunya kualitas nilai kesakralan di dalamnya. Kondisi ini telah berefek lanjut pada lahirnya keresahan-keresahan sosial, meskipun keresahan tersebut tidak sampai berakibat pada konflik horisontal yang merugikan. Eksistensi ritualnya tetap mampu bertahan bersama dinamika global yang merasukinya, walaupun daya tahan tersebut banyak melahirkan kekhawatiran-kekhawatiran. Keseluruhan fenomena yang ditunjukkan dalam ritual barong ider bumi di atas telah memperlihatkan bila ritual tersebut mampu menjaman. Pemaknaan dan pemungsian ritual yang selalu direvitalisasi mengikuti dinamika jaman, membuat ritual tersebut masih mampu bertahan sampai sekarang. Seperti terlihat dalam
290
deskripsi sebelumnya, pemertahanan ritual tersebut di antaranya disebabkan oleh beberapa alasan seperti antara lain: ritual tersebut dipandang sebagai simbol dari perwujudan nilai-nilai kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêng-barêng), nilai pentingnya silahturahmi (persaudaraan), semangat kerja keras, identitas bersama (kolektif) sebagai orang Using (laré Using), dan kepercayaan adanya tuah dalam ritual sebagai pencegah bencana dan pemberi kesejahteraan warga masyarakat. Dengan kata lain, ritual tersebut merupakan simbol dari sendi-sendi kehidupan masyarakat Using yang hidup dengan cara Using. Ritual tersebut telah merekam seluruh nilai-nilai kehidupannya, yang difungsikan sebagai kerangka acuan dalam bertindak maupun berperilaku yang seharusnya sebagai orang dan masyarakat Using. Oleh karena itu, sikap untuk terus memertahankan, melestarikan dan menyesuaikan dengan kebutuhan jaman, menjadi dapat dipahami dalam konteks kehidupan yang modern seperti sekarang ini. Apabila mengacu pada makna dan fungsi yang diberikan oleh masyarakat Using pada ritualnya, maka ritual yang diselenggarakan tersebut masih berfungsi sebagai sarana integrasi sosial dan sebagai simbol ikatan kebersamaan di antara warga masyarakatnya. Walaupun demikain, bentuk integrasi dan kebersamaan yang ditunjukkan tersebut, dalam banyak hal tidak terlepas dengan keresahan-keresahan sosial di dalamnya. Dengan kata lain, integrasi dan kebersamaan yang tercipta di dalamnya bukan bersifat utuh tanpa perselisihan, tetapi selalu diiringi dengan perselisihan-persilihan.
Untuk
menghindari
perselisihan
(keresahan
sosial)
mengerucut menjadi konflik, maka masyarakat Using di Desa Kemiren memberikan ruang yang lebar kepada semua kelompok untuk menyatukan simbol-simbol kolektif
291
ke dalam satu kesatuan ritual yang disebut ritual barong ider bumi. Apabila mengacu pada alternatif fungsional1, maka akomodasi simbol-simbol kolektif diluar simbol ritual tersebut merupakan upaya masyarakat Using Desa Kemiren untuk tetap menjaga terwujudnya integrasi dan kerukunan dalam kehidupan sosialnya. Dalam konteks globalisasi sekarang ini, cara masayarakat Using Desa Kemiren menambah item-item simbol (kesenian, parade orang, karnaval hiburan, egrang, dan lain-lain) ke dalam praktik ritual tersebut, dapat dipandang sebagai upaya dirinya untuk tetap mengadaptasikan ritualnya dengan tuntutan jaman. Apabila diperhatikan, cara-cara seperti ini memang kurang lazim dalam proses ritual, karena penambahan item dari luar kebutuhan ritual, dalam kebanyakan praktik ritual, dipandang dapat merusak nilai kesakralan. Akan tetapi dalam praktik ritual barong ider bumi, pandangan seperti itu tidak berlaku. Dalam pandangannya, seluruh item tambahan tersebut, justru akan ikut memiliki nilai sakral karena berpadu dengan simbol-simbol sakral yang digunakan dalam ritualnya. Simbol sakralnya dipandang mampu melebur simbol profan di luarnya untuk menjadi simbol sakral setelah menyatu dalam satu kesatuan prosesi ritual. Cara pandang ini, tentu merupakan cara pandang yang dapat dikatakan baru, karena dalam kebanyakan praktik ritual, apa yang sakral dengan aps yang profan dipisahkan secara tegas. Namun, dalam ritual barong ider bumi keduanya dipadukan untuk sama-sama disakralkan.
1
Alternatif fungsional (fungsional alternatives) yang dimaksud di sini adalah suatu item fungsional dapat diganti dengan unsur lain, dengan tetap menjaga terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan sistem hingga tetap bekerja secara fungsional. Penggantian ini dapat berupa tindakan penambahan atau pengurangan sehingga pilihan dari tindakan tersebut menjadikan kebutuhan fungsional secara keseluruhan tetap dapat terpenuhi.
292
Dalam konteks global sekarang ini, kenyataan ini bukan hanya dapat dilihat sebagai cara masyarakat mengadaptasikan ritual itu ke dalam tuntutan jaman, tetapi juga sebagai upaya dirinya untuk tetap memertahankan sesuatu yang jauh lebih penting dari semua itu, yaitu nilai-nilai yang menjadi sendi-sendi dalam kehidupan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, nilai-nilai itu di antaranya: prinsip kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêng-barêng), semangat kerja keras, identitas bersama (kolektif) sebagai orang Using (laré Using), dan kepercayaan adanya tuah dalam ritualnya. Dengan kata lain, pemaknaan dan pemungsian terhadap ritual selama ini, telah memiliki arti yang penting dalam kehidupan sosial, terutama dalam menjaga dan mewujudkan integrasi dan kerukunan sosial dalam kehidupan masyarakat Using. Dengan demikian dapat dipahami, kenapa pemaknaan dan pemungsian ritual barong ider bumi tersebut penting dalam kehidupan masayarakat Using? Hal ini bukan saja mampu memenuhi kebutuhan sosial masyarakatnya, tetapi juga mampu menjadi pelebur bagi berbagai kepentingan yang profan ke dalam satu kesatuan kepentingan dirinya, yaitu mewujudkan kerukunan (kêmroyok)
dan
kebersamaan
(barêng-barêng)
dalam
tatanan
kehidupan
masyarakatnya. Kemampuan inilah yang dapat menjadi salah satu alasan sekaligus jawaban terhadap ritual ini masih mampu eksis dalam era global dan modern sekarang ini. Ritual tersebut telah mampu melebur kepentingan-kepentingan profansakral ke dalam satu tujuan bersama dan bukan memisahkannya. Jika mengacu kepada kemampuan simbol dalam memadatkan arti dan makna, maka cara masyarakat Using meleburkan berbagai simbol yang berlawanan tersebut, bukan saja memiliki arti memadatkan saja, tetapi juga mentransformasi
293
(alih ubah) bentuk, sifat, fungsi, dan arti dari simbol yang bernilai profan menjadi simbol yang bernilai sakral. Praktik ritual seperti ini, dapat dikatakan masih cukup tergolong unik (bahkan tidak lazim), apabila dibandingkan dengan kebanyakan praktik ritual lain yang berlaku. Selain itu, peleburan (pentransformasian) tersebut juga bukan untuk maksud menaikkan status sosial seperti dalam ritual potlatch, ritual pemotongan kerbau di Toraja, atau ritual tajen di Bali. Seperti telah diketahui sebelumnya, semua itu ditujukan oleh masyarakat Using, untuk menjaga terwujudnya kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêng-barêng) dalam kehidupan sosialnya. Satu hal lagi, wujud kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêngbarêng) seperti itu, juga tidak harus diwujudkan dalam bentuk praktik ritual yang diam tertegun penuh dengan kekhusukan dan kekhidmatan, tetapi justru diekspresikan dengan cara yang meriah penuh kegembiraan. Ritual barong ider bumi diselenggarakan dengan penuh kemeriahan yang menjadikan bentuk ritualnya menyerupai sebuah pertujukkan kultural. Namun satu hal yang perlu diperhatikan adalah praktik ritual tersebut bukan merupakan pesta kesenian atau hiburan, tetapi semua itu harus dipandang sebagai cara masyarakat Using menunjukkan dari apa yang dipercayai dan ekspresi dari bentuk-bentuk yang dipercayainya. Apabila kembali pada arti simbol, maka praktik ritual seperti itu menunjukkan adanya polarisasi simbol, yang berarti ritual tersebut mengandung banyak makna dan banyak tujuan, sebagaimana simbol juga memiliki arti dan fungsi seperti itu. Kenyataan seperti ini memperlihatkan bila ritual sakral tidak selamanya harus terekspresi atau dipahami dalam bentuknya yang diam, khusuk, dan khidmat,
294
tetapi ekspresi ritual dalam wujudnya yang lain juga perlu untuk diperhatikan. Kajian ini, telah melihat fakta seperti itu sesuai kenyataan yang diperlihatkan dan memberikan penafsiran sesuai yang dikehendakinya. Dengan demikian kajian ini, sekurang-kurangnya telah mampu memberi gambaran lain dari bentuk praktik ritual yang lazim diekspresikan dengan cara yang diam penuh dengan kekhusukan dan kekhidmatan. Meskipun gambaran ini bukan hal yang baru, tetapi hal ini cukup mampu memberi warna dari sekian banyak praktik ritual yang diselenggarakan secara khusuk dan khidmat tersebut. Inilah barangkali salah satu sumbangan yang cukup bernilai penting dalam studi ini, terhadap bentuk-bentuk praktik ritual pada umumnya.
6.2
Saran Pentingnya aspek kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêng-barêng)
dalam kehidupan masyarakat Using di tengah-tengah arus globalisasi, membuat aspek ini wajib dipertahankan dan terus diperjuangkan keberadaannya. Oleh karena itu, cara berpikir lêmêsan yang menjadi pondasi bagi kokohnya aspek kerukunan dan kebersamaan tersebut, hendaknya tidak dilihat dan dimanfaatkan untuk tujuan dan kepentingan di luar untuk memenuhi dan memperjuangkan terciptanya kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêng-barêng). Hal ini karena dalam pengaruh global sekarang ini, belakangan banyak pihak yang mulai melihat bahwa cara berpikir lêmêsan ini dipandang sebagai satu peluang yang dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk mewujudkan kepentingan kelompoknya, sehingga keteganganketegangan sosial di dalam masyarakat Using juga semakin meninggi intensitasnya. Persoalan komersialisasi ritual barong ider bumi, kemudian semakin tergesernya
295
makna ritual oleh kepentingan komersial dan global merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan yang dirasa mulai menggoyahkan pentingnya nilai dan semangat kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêng-barêng) dalam kehidupan mereka. Tindakan revitalisasi terhadap pentingya nilai-nilai kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêng-barêng) ditengah-tengah penetrasi arus global seperti sekarang ini, hendaknya terus dilaksanakan dan dipelihara kelestariannya. Terlepas dari adanya sebuah bentuk kepercayaan religius di dalamnya, praktik ritual ini telah membuktikan diri mampu sebagai simpul perekat semua warga masyarakat Using yang beragam, dalam ideologi umum yang dimilikinya, yaitu kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêng-barêng). Selain itu, telah difungsikannya ritual ini sebagai ajang
silahturahmi,
peredam
konflik,
penguat
semangat
gotong-royong
(kebersamaan) dan pengembalian keharmonian dengan damai, maka tindakan revitalisasi ini harus dipandang sebagai tindakan yang sangat dibutuhkan untuk terjaganya kelestarian nilai kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêng-barêng) dan bukan sebagai beban yang memberatkan. Terakhir, semakin menguatnya semangat mengkomersilkan terhadap prosesi ritual melalui ruang pariwisata, sepatutnya tetap diselaraskan dengan sendi-sendi kehidupannya yang berlandaskan pada prinsip kerukunan (kêmroyok) dan kebersamaan (barêng-barêng) dan bukan menggesernya kepada pembentukan karakter-karakter individual yang semakin menjauhkan dirinya dari cara hidup yang rukun dan bersama. Pengadopsian nilai-nilai wisata bagi ritualnya, seyogyanya tetap meletakkan posisi ritual itu sebagai sesuatu yang sakral dan bersifat menuntun, dan
296
bukan menggesernya ke arah ruang yang semakin profan, penuh dengan nilai tontonan yang komersial. Inilah beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam upaya meletakkan kekuatan dan kearifan sebuah nilai budaya sebagai kekuatan pendorong terwujudnya dinamika perkembangan masyarakat yang tidak keluar dari jatidirinya dan semangat kebudayaan yang dimilikinya. Seperti yang ditunjukkan dalam kehidupan kepercayaan masyarakat Using, ritual barong ider bumi yang dipercayainya dapat dikatakan hanyalah sebuah wadah yang terlihat dari luar. Lebih jauh lagi, jika isinya tidak mampu dipahami dan dilihat secara jernih seperti melihat kerikil di dalam air yang jernih, maka akan sangat mudah bagi wadah tersebut dicampakkan atau retak karena pandangan-pandangan yang tidak diselaraskan dengan isinya. Inilah barangkali sebuah keinginan, sekaligus kekhawatiran dari masyarakat Using di Desa Kemiren terhadap eksistensi ritualnya yang berada dalam bayang-bayang komodernan gaya hidup, globalisasi, dan penetrasi-penetrasi ajaran-ajaran dogmatis di luarnya.