BAB VI KESIMPULAN
6.1. Kesimpulan Muhammadiyah adalah Gerakan Islam
dan merupakan organisasi sosial
kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan organisasi
politik
namun
sepanjang
sejarah
keberadaannya
di
Indonesia,
Muhammadiyah sedikit banyak memasuki wilayah pergerakan politik baik pada masa sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Muhammadiyah dengan konsepkonsep sosial muslim progresif yang berusaha diajukannya ke tengah masyarakat sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari semangat politik, yaitu mengembangkan kesadaran politik di kalangan anggota dan masyarakat. Sehingga dapat dipahami bahwa Muhammadiyah relatif dinamis dalam merespon perkembangan zaman sampai saat ini. Tahap-tahap historis respon Muhammadiyah terhadap politik, yang menandai dinamika persentuhan Muhammadiyah dengan politik, menunjukkan corak orientasi yang beragam. Namun dasar daripada respon tersebut adalah pemahaman bahwa kehidupan sosial termasuk politik adalah jalan untuk beribadah. Karya sosial, tanggung jawab sosial terhadap sesama manusia termasuk pada alam adalah bagian tidak terpisahkan dari iman dan ibadah dalam Islam. Dan inti daripada ibadah itu adalah pelaksanaan dan penegakan nilai-nilai yang bersifat etis. Sedangkan corak orientasinya yang beragam dipengaruhi oleh faktor-faktor struktural, budaya dan lingkungan sosial dan sumber daya manusianya.
152
Mengenai perilaku politik elite Muhammadiyah pasca Orde Baru (tahun 1999-2004), khususnya elite Muhammadiyah Makassar, ada beberapa bentuk orientasi yaitu: pertama, corak idealis yaitu perilaku elite yang cenderung bersikap mempertahankan dan menjaga agar Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan dipertahankan posisinya sesuai dengan Khittah Muhammadiyah tahun 1971, yaitu Muhammadiyah menjaga jarak, tidak berafiliasi dengan partai politik dan organisasi mana pun, serta memberikan kebebasan kepada warga Muhammadiyah untuk menggunakan hak politiknya sesuai dengan hati nuraninya. Sementara dalam memilih partai politik kalangan ini cenderung memilih partai berasas Islam, oleh karena itu kelompok ini meskipun menerima langkah-langkah dan pemikiran Amien Rais namun tidak mendukung Partai Amanat Nasional (PAN) karena tidak berasas Islam. Ada beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi sikap elite idealis ini, antara lain: bahwa Muhammadiyah pada hakekatnya adalah Gerakan Islam yang melaksanakan dakwah amar maruf nahi munkar adalah menyangkut seluruh aspek kehidupan. Dengan mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mengaktualisasikan Agama Islam secara lebih luas melalui kegiatan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat, sedangkan perjuangan melalui kegiatan-kegiatan politik praktis bersifat terbatas dengan orientasi pada perjuangan kekuasaan. Kelompok ini menginginkan agar terjadi pemisahan antara kegiatan kultural keagamaan dengan kegiatan politik praktis agar tidak membawa Muhammadiyah ke wilayah perebutan pengaruh politik, yang akan dapat mempersempit gerak Muhammadiyah dalam aspek lainnya. 153
Pengalaman historis Muhammadiyah ketika menjdi anggota Istimewa masyumi dan kekalahan Parmusi, dimana Muhammadiyah turut menbidani kalahirannya, menjadi bahan pertimbangan bagi pendukung pemikiran ini, ketika Muhammadiyah kemudian kembali bersentuhan dengan dunia politik praktis. Kekhawatiran ini muncul karena adanya kecenderungan sebagian besar elite Muhammadiyah di Makassar terlibat langsung menjadi inisiator, juga menjadi pengurus dan pimpinan Partai politik. Sehingga pemilahan itu penting agar bisa dibedakan antara pimpinan partai politik/politisi dan pimpinan organisasi Muhammadiyah. sehingga jika ada dampak dari kompetisi dari kegiatan perjuangan meraih kekuasaan, tidak berimbas masuk ke Muhammadiyah. Kedua, perilaku politik elite yang yang akomodatif, netral sesuai khittah Muhammadiyah. Kategori ini memandang bahwa substansi dan simbol itu keduanya punya nilai masing-masing dan perbedaan pendapat itu adalah wajar, yang terpenting adalah bagaimana mendukung dan melakukan tindakan-tindakan itu dalam bingkai yang tetap mempertimbangkan nilai-nilai etis dalam perjuangan di bidang politik. Karena perjuangan dari kekuasaan itu sendiri adalah penegakan nilai-nilai etis. Menurut kelompok ini, dalam persentuhan dengan politik, Muhammadiyah dalam pandangan filosofinya memiliki kepercayaan bahwa Islam tidak memisahkan agama dan politik, oleh karena itu Muhammadiyah tidak dapat benar-benar memisahkan diri dari politik. Oleh karena itu sumber daya manusia yang telah banyak lahir dari pengkaderan Muhammadiyah, harus mengambil peran konstruktif sesuai dengan keahlian dan lingkup kerjanya masing-masing, khususnya dalam peran serta mengawal reformasi dan proses demokratisasi politik nasional dan lokal.
154
Ketiga, perilaku elite Muhammadiyah yang mengedepankan keterlibatan langsung dalam politik praktis dengan memilih partai yang berazas Islam (pragmatisIdeologis). Kelompok yang memilih partai berasas Islam dengan berpandangan bahwa simbol Islam perlu ditampilkan baik sebagai ideologi gerakan maupun sebagai simbol pemersatu ummat Islam. Politik menurut pandangan sementara kelompok elite Muhammadiyah ini dipahami bukan sekedar seni dan taktik untuk mendapatkan kekuasaan. Pun politik bukan pula sebagai tipuan atas tipuan. Tetapi hakekat politik adalah upaya untuk memperbaiki ummat dengan cara-cara yang bisa menyelamatkan dari kesengsaraan dunia dan akhirat. Pada dasarnya kelompok ini menerima pemikiran dan langkah politik M. Amien Rais dalam membangun kesadaran politik dengan formulasi yang dikenal dngan high politik dan Tauhid sosial akan tetapi tidak dapat menerim PAN yang berazas plural. Oleha karena mereka berpandangan bahwa politik juga adalah bagian dari dakwah Islam, oleh karena itu kekuatan ummat Islam ingin disatukan dalam wadah partai politik yang berazas Islam sehingga tidak menimbulkan pertentangan di kalangan ummat Islam sendiri. Keempat, perilaku elite Muhammadiyah yang mengedepankan keterlibatan langsung dalam politik praktis dengan memilih partai partai berasas plural (inklusif) dalam hal ini PAN. Kelompok ini berpandangn bahwa substansi Islam tidak perlu ditampilkan secara formil, tetapi melalui penanaman dan penekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah, partisipasi, dimana nilai-nilai ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Pandangan ini juga dilihat lebih menghubungkan Islam dengan sistem politik modern di mana kita berada. Pandangan 155
inilah sebenarnya yang mendasari dukungan elite terhadap langkah-langkah politik M. Amien Rais. Selain itu kelompok ini berpandangan bahwa kader-kader Muhammadiyah sudah saatnya tampil dalam mengawal reformasi, oleh karena tuntutan situasi politik yang menuntut perjuangan struktural melalui jalur partai politik. Kader Muhammadiyah dengan kapasitas keahlian dan jaringan aktivitas dan oganisasinya yang meluas merupakan potensi yang dapat dikonsolidasikan untuk membangun perjuangan demokratisasi. Secara garis besar keempat pandangan inilah yang mempengaruhi corak orientasi dan perilaku politik elite Muhammadiyah Makassar, di samping faktorfaktor kekuasaan dan kedudukan dalam Muhammadiyah dan masyarakat, status pekerjaan dan sumber daya yang dimiliki. Sedangkan lingkungan sosial seperti tidak adanya lagi kekuatan kekuasaan yang hegemonik dan represif menjadikan ruang gerak dan ekspresi bagi kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat lebih dinamis mencari dan membangun pengaruhnya masing-masing. Dari paparan di atas tergambar bahwa setelah era reformasi 1998 dan kehadiran sistem multipartai dalam perpolitikan di Indonesia, maka tumbuh dinamika baru dalam Muhammadiyah, bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan sosial politik lainnya di Indonesia. Fenomena baru itu dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, tumbuhnya kepekaan baru di kalangan banyak elite dan warga untuk mengambil peran politik demi kepentingan reformasi sebagaimana ditunjukkan oleh semangat mendukung dan aktif dalam PAN selain melalui jalur partai politik lain seperti PK, PBB, yang mencairkan kebekuan dan mungkin sikap 156
naif yang selama orde Baru terkesan sangat kaku dalam menjaga jarak politik yang cenderung anti-politik atau alergi politik. Hal itu ditandai dengan terjadinya pergeseran sikap dan perilaku politik pada sebagian elite Muhammadiyah, yaitu pada masa sebelum reformasi elite dan warga Muhammadiyah cenderung tidak terlibat langsung dalam politik praktis. Lebih banyak beraktivitas dalam lingkup kegiatan dan amal usaha Muhammdiyah. Namun pada era reformasi
mengambil peran
mendukung langsung dan berafiliasi dengan partai politik seperti PAN, PBB, PK, dengan dukungan lebih besar cenderung ke PAN. Namun demikian kondisi ini juga menimbulkan ketegangan dengan kelompok elite yang menekankan Muhammadiyah dengan pendekatan kulturalnya, apalagi warga Muhammadiyah memiliki pilihan politik yang tersebar ke beberapa partai. Kedua, fenomena PAN yang terbuka pada pluralisme menimbulkan wacana teologis antara elite dan warga Muhammadiyah yang setuju dan tidak setuju, yang menggambarkan sedang berlangsungnya tarik-menarik dan adaptasi antara sikap politik dan keagamaan di tengah pluralitas politik baru. Hal ini juga menandakan terjadinya persaingan politik di kalangan intern Muhammadiyah. Ketiga, masih berfungsinya budaya politik moderat dan kekuatan-kekuatan mediator di tubuh Muhammdiyah dalam menghadapi dinamika dan tarik-menarik kepentingan politik yang mengimbas dalam organisasi, yang menggambarkan konsistensi gerakan Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan yang nonpolitik. 6.2. Saran Mencermati orientasi sikap dan kecenderungan perilaku politik elite Muhammadiyah tersebut di atas, terdapat beberapa permasalahan yang menimbulkan 157
dilema dan tantangan bagi Muhammadiyah dan elite Muhammadiyah ke depan yang memerlukan perhatian untuk ditangani yaitu: Pertama, persoalan adanya elite pimpinan Muhammadiyah sekaligus merupakan pengurus atau pimpinan di partai politik di PAN. Dualisme kepemimpinan perlu dicari jalan keluarnya secara bijak dengan mempertimbangkan resiko-resiko yang berdampak kembali ke organisasi Muhammadiyah, misalnya konflik dalam tubuh dan warga Muhammadiyah. Kedua,
konsistensi Muhammadiyah sebagai gerakan kultural perlu
dipertegas dengan mempertajam peran politiknya sebagai kelompok kepentingan, sehingga ketika menghadapi tantangan politik Muhammadiyah tidak nampak lemah dan harus terseret dalam perjuangan melalui strategi struktural. Ketiga, pada masa yang akan datang peran politik elite Muhammadiyah makin menghadapi tantangan yang tidak ringan baik dalam lingkup pensyarikatan maupun di arena pentas politik nasional. Pilihan-pilihan yang mengandung dilema yang sudah tergambar dalam perilaku politik elite Muhammadiyah di atas sudah harus dipikirkan dan dicarikan solusi yang rasional dan relevan dengan kebutuhan perjuangan jangka panjang Muhammadiyah dalam membentuk masyarakat utama yang dicita-citakannya.
158