BAB VI KESIMPULAN
Historiografi historiografi
komunitas
komunitas
yang
seniman-priyayi terhempas
dalam
Kemlayan
adalah
panggung
sejarah
kekuasaan Jawa, baik Keraton Kasunanan maupun pemerintah Republik Indonesia. Jika tugas sejarawan menulis sejarah yang lebih adil, maka sungguh tepat merekonstruksi fenomena sejarah komunitas senimanpriyayi
Kemlayan
yang
tersingkir
dalam
arus
sejarah
lokal
dan
kebudayaan Jawa di Kota Surakarta. Berdasarkan uraian pada bab-bab di atas, terdapat tujuh hal penting yang diperoleh dari kajian ini. Pertama, komunitas seniman Kemlayan terbentuk pada masa Paku Buwana IV (1788-1820) merupakan komunitas yang lahir dan berkembang bukan dilandasi spirit etnisitas (seperti China Balong, etnis Arab di Pasar Kliwon, dan etnis Eropa di Loji Wetan), nafas keagamaan (Kauman) maupun orientasi bisnis (saudagar pribumi di Laweyan dan saudagar Tionghoa di Pecinan Pasar Gedhe), melainkan bergerak di bidang kultural, lebih spesifik kesenian karawitan tradisional Jawa. Aktivitas kebudayaan dilakoni secara konsisten oleh komunitas seniman Kemlayan selama seabad lebih ternyata membentuk karakteristik ruang sosial yang mereka tinggali, kemudian menjadi elemen penting untuk mengontraskan dengan ragam kelompok sosial yang ada di Kota Surakarta kala itu.
221
Kelompok abdi dalem niyaga Keraton Kasunanan yang bermukim di Kemlayan juga satu-satunya komunitas priyayi di Kota Surakarta yang secara kolektif bergerak di sektor kebudayaan sampai pada penghujung tahun 1970-an. Kampung Kemlayan merupakan sebuah ekologi yang ditinggali entitas seniman-priyayi yang berhasil berdiri kokoh walau terjadi peralihan rezim kerajaan Jawa ke kolonial dan kemudian negara Indonesia secara frontal. Mereka memperoleh tempat hunian khusus dari raja. Lain halnya dengan abdi dalem pemain wayang orang, pesinden, serta penari Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran yang tidak memperoleh tempat hunian khusus sekalipun lapangan pekerjaan mereka sama, yakni menggeluti dunia kesenian. Kedua, komunitas seniman Kemlayan masuk kategori sosial priyayi. Bocah Kemlayan menginjak usia remaja magang di Keraton Kasunanan untuk menjadi abdi dalem. Setiap abdi dalem disebut priyayi, dan itu hak istimewa yang diterima karena mengabdi raja. Ragam simbol penegasan jati diri sebagai priyayi antara lain, gelar, rumah, busana, serta tingkah laku dan bahasa. Ini dipakai untuk memelihara perbedaan dalam kelas sosial bangsawan dan wong cilik. Ditemukan perbedaan antara seniman-priyayi Kemlayan dengan priyayi di Surakarta pada umumnya dan seniman yang bukan priyayi. Bahwa priyayi adalah semua orang yang mengabdi kepada raja atau masuk dalam birokrasi pemerintahan kolonial. Pada masa itu, orang yang berprofesi sebagai prajurit keraton, pejabat panewu, kaliwon, dan
222
penghulu
misalnya,
disebut
priyayi.
Sedangkan
seniman-priyayi
Kemlayan adalah jenis priyayi yang sebelumnya memiliki keahlian berkesenian sebagai modal melamar menjadi pegawai keraton. Kendati sama-sama berstatus priyayi seperti halnya abdi dalem prajurit keraton, panewu, dan kaliwon, satu hal yang membedakan antara mereka, yaitu seniman-priyayi Kemlayan bekerja di bawah lembaga Mandrabudaya yang khusus mengatur bidang kesenian dan abdi dalem niyaga keraton. Sementara, perbedaan antara seniman-priyayi Kemlayan dengan seniman bukan priyayi adalah walau sama-sama memiliki kemampuan berkesenian, seniman yang bukan kategori sosial priyayi ini tidak ngawula kepada pemerintah kerajaan. Untuk itu, mereka disebut “seniman di luar tembok keraton” seperti halnya Cokrodiharjo (Boyolali) dan Sunarto Cipto Suwarso (Sragen). Karena bukan abdi dalem, maka jenis seniman ini pun tidak berhak memakai simbol kepriyayian. Seniman bukan priyayi masuk dalam lapisan sosial wong cilik atau di bawah seniman-priyayi Kemlayan. Letak perbedaan lainnya dengan priyayi secara umum pada poin ketiga, yaitu karakter seniman-priyayi Kemlayan cenderung terbuka. Dalam kasus ini, berbeda dengan pemahaman umum bahwa priyayi Jawa membina hubungan sosial hanya dengan sesama golongan dan kaum bangsawan saja demi menjaga citra serta harga diri. Para seniman Kemlayan hidup di ruang kelas priyayi, namun tidak menutup diri dengan kalangan wong cilik, kaum yang setingkat berada di bawahnya.
223
Mereka bergaul dengan masyarakat luar, kelompok sosial lebih rendah dan etnis lain. Situasi ini dilatarbelakangi oleh faktor karawitan yang ditekuninya bersifat terbuka. Karawitan merupakan hiburan yang dikonsumsi secara luas. Interaksi sosial dengan publik terbangun dalam ruang kesenian, karena mayoritas seniman Kemlayan bersedia ditanggap di luar keraton untuk mencari tambahan sembari pamer kemampuan. Mereka juga bersedia menjadi guru informal bagi orang luar yang berminat mempelajari karawitan gaya Surakarta. Bermodal sikap terbuka itulah, kontak sosial terjalin dengan bagus lintas kelompok sosial. Aspek lain yang membedakan dengan seniman bukan priyayi adalah poin keempat, yaitu komunitas seniman Kemlayan ialah fondasi bagi kehidupan karawitan Jawa gaya Surakarta. Komunitas seniman Kemlayan selalu dibutuhkan Keraton Kasunanan dan negara Republik Indonesia untuk legitimasi kekuasaan dan menopang dunia karawitan. Mereka pun dianggap sebagai pilar utama karawitan Jawa gaya Surakarta meski kehilangan patron yang membesarkan mereka, yaitu Paku Buwana X. Para seniman Kemlayan berkomitmen terhadap keberlangsungan karawitan Jawa gaya Surakarta yang menjadi bagian dari
kebudayaan
nasional.
Mereka
punya
kesempatan
mengaktualisasikan diri di keraton dan instansi pemerintah Indonesia, sehingga kedudukan mereka tetap strategis di dunia kesenian. Keputusan seniman-priyayi Kemlayan memilih jalur kesenian sebagai jalan hidup dan masuk dalam instansi kesenian pemerintah ialah
224
strategi yang tepat dan cerdas. Mangkat-nya Paku Buwana X (1939) dan berakhirnya kekuasaan keraton tepatnya (1946) bukan berarti tamat pula karir mereka. Mereka tetap mampu menyemarakkan aktivitas kesenian karawitan dan menjadi magnet bagi masyarakat luar yang berminat mempelajari karawitan gaya Surakarta. Oleh sebab itu, posisi mereka sampai periode 1970-an dalam peta politik kebudayaan Jawa dan lingkungan sosial masyarakat Surakarta tidak bisa kita abaikan. Kelima, munculnya negara Republik Indonesia menggantikan kekuasaan tradisional Keraton Kasunanan tidak membuat senimanpriyayi Kemlayan kehilangan tujuan hidup dan melemahkan jati diri mereka sebagai priyayi. Besarnya spirit berkesenian komunitas senimanpriyayi Kemlayan pascaruntuhnya hegemoni Keraton Kasunanan (1946) berbanding lurus dengan upaya mereka berjuang agar bisa bertahan. Dengan keahlian menabuh gamelan, mereka memperoleh lapangan pekerjaan baru di instansi pemerintah. Selain mempertahankan jati diri dan
mencari
penghasilan,
di
lembaga
pemerintah
itu
mereka
mencurahkan tenaga, kemampuan, dan pikiran demi kepentingan negara dan masyarakat luas. Tidak kalah dengan priyayi profesional, senimanpriyayi Kemlayan dapat terus berpendar kendati zaman berubah dan kedudukan sosialnya tetap tinggi di mata masyarakat meski stratifikasi sosial bangsawan-priyayi-wong cilik lama terhapus. Dalam kasus seniman-priyayi Kemlayan, berarti tidak dapat digeneralisasi
bahwa
hancurnya
hegemoni
kerajaan
menyebabkan
225
hancurnya pula komunitas pendukungnya. Hadirnya negara Indonesia melemahkan patron-client politics Keraton Kasunanan dengan senimanpriyayi Kemlayan. Keraton sudah tidak dapat lagi mengatur abdi dalem niyaga di Kemlayan untuk mengikuti kemauan keraton sepenuhnya. Dalam titik inilah, seniman-priyayi Kemlayan memiliki posisi tawar tinggi dan bebas menentukan “majikan” baru karena mempunyai keahlian bermain gamelan dan masyarakat masih membutuhkan keahlian itu. Keenam, seniman-priyayi Kemlayan hidup di alam kemerdekaan dan masuk di instansi baru, tidak serta merta menghapus simbol kepriyayian. Aneka simbol warisan keraton ini difungsikan untuk menegaskan jati diri mereka sebagai priyayi. Gelar, rumah, tingkah laku dan bahasa nyata sekali masih dipergunakan seniman-priyayi Kemlayan sebagaimana hidup di zaman keemasan kerajaan. Di satu pihak, pemerintah menerima hal itu sebagai bukti pengakuan kehebatan seniman-priyayi Kemlayan dan menempatkannya dalam kedudukan terhormat. Bahkan, mereka dianugerahi gelar empu sebagai gelar tingkat tertinggi di ranah seni. Dengan demikian, untuk kasus seniman-priyayi di Kemlayan, terbukti terjadi kesinambungan identitas priyayi meski identitas itu adalah bagian dari unsur feodal yang mengalami penentangan lantaran dianggap sekadar simbol semu. Ketujuh, dalam konteks komunitas seniman-priyayi Kemlayan, sejarah merupakan ingatan-ingatan yang dituturulangkan. Realitas historis komunitas seniman Kemlayan nyaris tidak pernah tercatat dalam
226
lembaran sejarah lokal seperti babad, arsip kerajaan, dan catatan harian pujangga istana. Sejarah panjang mereka tergali melalui tradisi lisan dan sejarah lisan yang bersumber dari penuturan generasi penerus atau masyarakat lokal Kemlayan. Komunitas seniman-priyayi Kemlayan tidak memperoleh kesempatan untuk mengabadikan hidupnya pada album sejarah keraton yang elitis. Riwayat panjang mereka hanya terekam dalam memori kolektif masyarakat di Kemlayan. Dari keseluruhan paparan, jelaslah bahwa komunitas senimanpriyayi di Kemlayan adalah orang-orang yang berkecimpung di bidang karawitan Jawa, dan sebagian kecil mempelajari seni tari klasik. Keuntungan besar bagi mereka bahwa karawitan selain mampu berdiri sendiri sebagai sebuah hiburan kesenian (klenengan), juga termasuk unsur pokok di berbagai gelaran seni pertunjukan macam tari, wayang orang, dan wayang kulit. Karena sering tampil dan menjadi rujukan publik, maka dari periode kerajaan hingga Republik Indonesia, eksistensi seniman-priyayi Kemlayan selalu begitu menonjol baik di panggung hiburan, institusi pendidikan kesenian, maupun lingkungan masyarakat. Diketahui bahwa seniman-priyayi Kemlayan adalah para tokoh di balik perkembangan karawitan gaya Surakarta, namun riset mengenai detail karya kesenian perlu dilakukan untuk menelusuri apakah karawitan gaya Surakarta yang dikenal publik selama ini merupakan “gaya Kemlayan”.
227