BAB VI KESIMPULAN: DAMAI YANG TIDAK SEJAHTERA
Perundingan Helsinki pada 15 Agustus 2005 menjadi cerita penutup yang mengakhiri gejolak konflik politik di Aceh yang sudah berlangsung puluhan tahun (1976-2005). Kehadiran damai di bumi serambi mekkah menjadi titik balik peradaban yang mengubah konstelasi sosial politik dan sosial kultural. Salah satunya adalah terjadi sirkulasi elit penguasa yang akhirnya menghadirkan kelompok elit baru dari kalangan mantan pejuang Gerakan Aceh Merdeka. Terbentuknya elit kuasa baru di Aceh dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, yaitu: pertama, kemampuan pihak GAM dalam membangkitkan romantisme dan mereproduksi wacana etno-nasionalisme ala Hasan Tiro. Dalam berbagai kesempatan, GAM mensosialisasikan diri sebagai penerus perjuangan Hasan Tiro, sehingga mereka dianggap sebagai “anak ideologis” Hasan Tiro oleh masyarakat Aceh pada masa awal-awal perdamaian. Dalam bahasa sederhana bisa dikatakan bahwa nama besar Hasan Tiro menjadi salah satu modal simbolik terpenting dalam mensukseskan pihak GAM untuk meraih simpati dan legitimasi dari masyarakat Aceh. Toh Hasan Tiro adalah tokoh Aceh kontemporer yang sangat mendapat tempat di hati rakyat. Kedua, konflik politik selama beberapa dekade yang mengakibatkan kekacauan (chaos) dan hancurnya tatanan sosial masyarakat Aceh menjadi bukti akan absennya negara di mata masyarakat Aceh. Kondisi tersebut menyisakan trauma kolektif, sehingga rakyat cenderung menitipkan harapan perubahan pada
176
pihak GAM yang dianggap sebagai mantan pejuang keadilan, ketika kebahagiaan dan kesejahteraan yang diharapkan dari Negara tak kunjung datang. Beranjak dari kegagalan Negara yang direpresentasi melalui berbagai ketimpangan dan anomali sosial yang terjadi, lantas terjadi perubahan cara pandang terhadap awak nanggroe. Dalam bahasa yang lain bisa disebutkan bahwa masyarakat merasa tidak puas dengan elit yang sudah pernah ada, lantas memberi kepercayaan kepada elit baru dari kalangan mantan GAM. Ketiga, MoU Helsinki dan pengesahan UU PA No. 11 tahun 2006 yang salah satu butirnya menyebutkan “keistimewaan politik” bagi Aceh ikut mempertegas dan menjadi legitimasi prosedural akan hadirnya elit dari kalangan kombatan. Keistimewaan tersebut dimanifestasikan melalui pembentukan Partai Aceh –Partai politik yang berbasis GAM- yang kemudian menjadi kendaraan politik GAM untuk menuju puncak kuasa. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa Negara juga ikut andil dalam melahirkan elit-elit baru tersebut menuju titik kuasa. Secara politik, mempertahankan kekuasaan ketika sudah berada di puncak menjadi sebuah keniscayaan. Begitu pun dengan kaum elit GAM saat ini di Aceh, mereka mempertahankan kekuasaan dengan melakukan hegemoni terhadap masyarakat. Hegemoni kekuasaan dijewantahkan dalam tiga cara, yaitu melalui: 1) instrument persuasive; dengan cara membujuk dan merayu konstituen, baik itu dengan selalu mereproduksi nama besar Hasan Tiro, maupun menyampaikan janji-janji politik; 2) instrument manipulative; dengan melakukan pembohongan publik, misalnya money politic pada saat pemilihan umum; dan 3) instrument intimidatif; dengan cara intimidasi dan menggunakan kekerasan, baik itu
177
kekerasan fisik, maupun kekerasan verbal. Pasalnya, menjaga kekuasaan dan kosntituen di level grass root adalah sebuah kewajiban politik, meskipun dalam beberapa hal harus menggunakan cara-cara yang tidak dibenarkan di dunia demokrasi. Selama Aceh di bawah kuasa kelompok awak nanggroe, tentu saja memberi implikasi tersendiri bagi perubahan sosial-budaya di Aceh. Munculnya kelas menengah baru yang diisi oleh mayoritas mantan kombatan GAM menjadi satu hal yang menarik. Ketika simpul politik sudah dikuasai, maka menggenggam simpul ekonomi bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan. Kelas menengah baru tersebut juga terlihat dari menguatnya budaya konsumtif, perubahan gaya hidup, dan kepemilikan benda-benda material. Karena kelompok tersebut memiliki akses yang lebih mudah ke pusat-pusat kekuasaan dan pusat produksi. Dalam hal religiusitas, keberadaan elit baru “membuka” ruang kontestasi antara ulama tradisional dengan ulama moderat. Kontestasi antar kedua kubu tersebut semakin terlihat ke permukaan karena pihak ulama tradisional sudah mendapat “ruang” untuk menunjukkan eksistensinya, salah satunya adalah munculnya parade aswaja (ahlus sunnah wal jama‟ah) di pusat kota Banda Aceh pada September 2015. Keberanian tersebut muncul karena secara tidak langsung mendapat dukungan dari pihak pemerintah yang berkuasa. Secara emosional, elit GAM yang hari ini berkuasa memiliki “hubungan emosional” yang lebih dekat dengan kaum dayah; basis tempat lahirnya ulama tradisional. Sisi religiusitas lainnya juga bisa dilihat dalam hal pengamalan agama masyarakat Aceh, di antaranya adalah adanya pengajian yang disponsori oleh instansi pemerintahan.
178
Implikasi lainnya dari kehadiran elit baru juga terlihat dalam dunia birokrasi. Praktek nepotisme semakin kental terjadi, misalnya pemilihan kepala dinas di lingkungan SKPA berdasarkan atas primordialisme kedaerahan. Artinya, terjadi praktek sharing kesejahteraan dan sharing kekuasaan yang tidak merata. Sehingga pola yang demikian melahirkan efek domino lainnya, yaitu terjadinya pembilahan sosial (social cleavage). Pembilahan sosial bahkan terjadi di kalangan awak nanggroe sendiri. Hal ini terlihat dengan hadirnya partai PNA sebagai pecahan dari Partai Aceh. Kedua partai tersebut memiliki kesamaan dalam hal dimotori oleh para mantan petinggi GAM. Ini yang menjadi catatan Horowitz (1993) bahwa salah satu kelemahan demokrasi formal adalah munculnya kelompok yang bisa mengakses kekuasaan (inclusion) dan yang tidak bisa mengakses kekuasaan (exclusion). Pupusnya impian yang pernah digantungkan masyarakat Aceh pada awak nanggroe melahirkan bencana kemanusian baru. Di titik inilah, lahirnya resistensi masyarakat terhadap kaum elit yang dijewantahkan dalam berbagai versi. Bagi mereka kaum lemah, resistensi hanya muncul dalam bentuk insinuasi. Rakyat memasang wajah manis di hadapan para elit, namun penuh sumpah serapah ketika di belakangnya. Relasi informal atau Scott menyebutnya sebagai hidden transcript antara kalangan akar rumput dan kaum elit seakan tercipta dari duri dan besi karatan. Sementara bagi masyarakat yang memiliki power, upaya-upaya perlawanan dilakukan secara terbuka dan terang-terangan, misalnya apa yang dilakukan oleh Helmy N Hakim dengan menciptakan baju kaos berdesain
179
“peringatan” terhadap pihak penguasa dan juga muncul gerakan sipil bersenjata di bawah komando Abu Din Minimi. Kemunculan kelompok sipil bersenjata Din Minimi yang secara terangterangan ingin melawan Pemerintahan dan kekuasaan elit GAM yang sedang berlangsung adalah bentuk nyata dari upaya perlawanan secara terbuka. Padahal, jika merujuk garis komando pada masa konflik, Minimi sedang berhadapan melawan “orang tua”nya sendiri. Geliat kelompok tersebut adalah respon atas ketidaknyamanan dan kegagalan resiprositas penguasa saat ini. Tidak hanya dalam hal kewajiban resiprositas pihak penguasa, kehadiran kelompok Din Minimi juga menjadi bukti kegagalan rekonsiliasi dan integrasi. Artinya, “kue perjuangan” hanya dinikmati oleh segelintir kaum elit GAM dan kelompok yang berhasil masuk dalam lingkaran utama. Pada titik ini, yang menjadi stressing point adalah adanya sharing kesejahteraan yang tidak merata, juga sharing kekuasaan yang hanya berpusat pada satu titik sehingga bisa menjadi api dalam sekam yang akan menghancurkan perdamaian Aceh. Jika dulu masyarakat percaya akan propaganda GAM Nyoe keun ie mandum leuhob, nyoeu keun droe teuh mandum gob, kini melahirkan antitesis baru di masyarakat; Nibak ngeun ie, mangat ngeun leuhob, nibak ngeun droeuteuh, mangat that ngeun gob (daripada air, lebih bagus lumpur; daripada berada dipimpin orang sendiri, lebih baik dipimpin oleh “orang lain”). Kondisi ini harus menjadi refleksi bagi semua kalangan di Aceh, ternyata masih ada yang keliru dalam membangun pranata sosial pasca MoU Helsinki. Tafsir perdamaian dan kesejahteraan harus ditinjau kembali. Refleksi terbesar
180
yang seharusnya muncul adalah tentang hakikat kemanusiaan. Jusuf Kalla –sang inisiator perdamaian Aceh- ketika membahas isu perdamaian di tingkat nasional dan internasional selalu berbicara di atas logika-logika kemanusiaan. Karena hakikat transformasi adalah melahirkan kaum elit yang mampu menjadi panutan, dapat mengayomi dan melindungi rakyat, bukan kaum elit yang penuh intrik traksasional
yang
hanya
mementingkan
bagaimana
menguasai
dan
mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan elitis di Aceh yang saat ini berada di tangan mantan GAM harus mampu memperhatikan hal-hal yang menjadi pemicu lahirnya konflik di masyarakat, khususnya terkait dengan “isi perut” yang secara historis juga melatarbelakangi konflik politik Aceh dengan Pemerintah Indonesia. Di samping itu, transparansi publik dalam mengelola kekayaan Aceh dan jaminan penegakan hukum adalah kunci menuju perdamaian yang hakiki dan bisa melewati tahaptahap perdamaian yang masih rentan (peace vulnerabilities). Hanya dalam negara yang aman dan kehidupan yang damai, hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya bisa dinikmati. Jika tidak demikian, posisi elit kembali akan terganggu, lantas menjadi bulan-bulanan dan sasaran kritik serta resisten masyarakat, yang pada gilirannya kembali menegaskan akan kebenaran ungkapan Vilfredo Pareto, sang teoritikus politik; sejarah merupakan suatu perkuburan aristokrasi.
181