BAB V REPRESENTASI FEMINIS DALAM BUKU 13 PEREMPUAN KARYA YONATHAN RAHARDJO
Pada bab ini diuraikan analisis dan pembahasan penelitian. Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis Sara Mills. Titik perhatian Mills adalah wacana feminisme, yakni bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks, baik dalam cerpen, gambar, foto, maupun media. Fokus perhatian analisis ini adalah menunjukkan bagaimana teks bias gender dalam menampilkan perempuan. Sara Mills lebih melihat pada bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks, posisi tersebut pada akhirnya menentukan bentuk teks yang hadir ditengah khalayak. Dalam artian siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan akan diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Wacana media bukanlah sarana yang netral, tetapi cenderung menampilkan aktor Selain posisi aktor, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana posisi pembaca dalam teks. Menurut Mills, teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca, oleh karena itu, pembaca tidak semata sebagai pihak yang menerima teks, tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat dalam teks. Tabel 5.1. Model Analisis Sara Mills TINGKAT
YANG INGIN DILIHAT
Posisi
Subjek- Bagaimana peristiwa dilihat, dari kacamata siapa
Objek
peristiwa itu dilihat. Siapa yang diposisikan sebagai pencerita (subjek) dan siapa yang menjadi objek yang diceritakan. Apakah masing-masing aktor dan kelompok sosial mempunyai kesempatan untuk menampilkan dirinya sendiri,ataukah kehadirannya, gagasannya ditampilkan oleh orang atau kelompok lain
33
Posisi Pembaca
Penulis- Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks. Bagaimana pembaca memposisikan dirinya dalam teks yang ditampilkan. Kepada kelompok manakah pembaca mengidentifikasi dirinya.
Sumber: Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. hlm 211
Melalui analisis posisi subjek objek dan posisi pembaca berusaha dilihat bagaimana pengarang menghadirkan kembali gambaran perempuan dalam karyanya, sehingga bisa diketahui bagaimana representasi feminis
dalam 13
Perempuan karya Yonathan Rahardjo. Untuk mengetahui bagaimana representasi feminis, peneliti akan mekolaborasinya teknik analisis dari Sara Mills yaitu posisi subjek objek dan posisi pembaca dengan teori representasi dari John Fiske. Tabel 5.2. Tahap Representasi Menurut John Fiske Pertama
Realitas
Kedua
Dalam televisi seperti pakaian, make up, perilaku, gerakgerik, ucapan, suara. Dalam bahasa tulis seperti dokumen, wawancara, transkip dan sebagainya. Representasi
Ketiga
Elemen-elemen di atas ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, kalimat, proposisi, foto dan sebagainya. Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukan di antaranya bagaimana objek digambarkan: karakter, narasi, setting, dialog, dan sebagainya Ideologi
Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideologi seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriaki, ras, kelas, materialism, kapitalisme dan sebagainya Sumber: Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. hlm 115
34
5.1. CERPEN 1 5.1.1. Sinopsis Cerpen 1: Cerita Perempuan Cerita pertama dalam kumpulan cerpen ini berkisah tentang seorang perempuan yang menerima tamu lelaki di rumahnya. Tamu lelakinya aktif menanyakan cerita pribadi perempuan itu. Dan dengan terbuka tokoh perempuan ini menceritakan kisahnya kepada tamu lelaki tersebut. Pertama, perempuan bercerita kisah pribadinya yang dimuat di tabloid wanita. Setelah beritanya dipublikasi, lelaki yang diceritakan dalam tabloid tersebut mencarinya karena malu namanya dicemarkan, tetapi juga tetap menaruh iba pada perempuan ini. Melalui peristiwa ini, tokoh perempuan dalam cerpen ini mengalami perubahan sikap dan perilaku. Bila dulu ia penurut dan lemah, kini dia adalah perempuan yang mandiri dan tegar. Merasa tertarik dengan kisah hidup perempuan, lelaki menyarankan agar kisah tersebut ditulis. Dan perempuan meminta tamu lelaki ini untuk menulis kisah hidupnya. Oleh karena itu, perempuan kembali menceritakan dengan lengkap cerita kedua. Yaitu mengenai perselingkuhan perempuan ini dengan suami sahabatnya. Merasa sangat bersalah, perempuan ini bertobat hingga naik haji. Setiap kali permasalahan terjadi selalu membawa perubahan pada perempuan ini. Tamu lelaki yang diminta menuliskan cerita perempuan tersebut, di akhir cerita justru membunuh perempuan itu dan dirinya sendiri. Kisah kematian mereka berdua kemudian terpublikasi di koran-koran.
5.1.2. Interpretasi Cerpen ”Cerita Perempuan” "Supaya bila ada orang yang bertanya tentang kasusku itu, aku tidak perlu banyak bicara lagi. Langsung kutunjukan tabloid itu biar dibaca, sehingga mudah menjelaskan permasalahanku." Dalam cerpen ini, pengarang menunjukan sosok perempuan yang ingin menampilkan eksistensinya dalam lingkungan sosial. Akan tetapi ada beberapa hal yang harus dialami oleh perempuan saat ia ingin mengekspresikan dirinya. Hal pertama yang peneliti temukan adalah, soal ambiguitas dalam diri tokoh
35
perempuan. Perempuan ingin tampil, tapi juga dia ingin bersembunyi. Perempuan tersebut ingin orang lain tahu bagaimana cerita dirinya, namun dia justru menyembunyikan identitasnya untuk tidak diungkap oleh media massa. Tidak hanya identitas diri perempuan itu, tetapi juga identitas orang yang terlibat. Kedua, masalah utama ‘Cerita Perempuan’ terletak pada tabloid wanita yang mempublikasikan ceritanya. Tabloid ini menuliskan kisah perempuan secara vulgar, sehingga lelaki yang terlibat tersebut merasa bahwa itu dia. Kemudian lelaki itu menelpon wartawan dan diberitahu bahwa orang dalam cerpen itu dia, sementara tokoh utamanya adalah perempuan itu. Media massa yang seharusnya netral dalam menuliskan suatu kisah, justru melebih-lebihkannya. Tidak hanya itu, perempuan ini menghendaki agar tokoh dalam kisah tersebut disembunyikan identitasnya. Namun yang terjadi adalah media membongkar identitas narasumber kepada lelaki yang terlibat dalam cerita itu. Dalam hal ini perempuan tentu tidak mendapat haknya sebagai narasumber yang harus dijaga identitasnya oleh pihak media massa. Hal ini sesuai dengan kode etik jurnalistik pasal 7 : Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan. Penafsiran a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya. d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan. 1 Sementara itu, bukannya menyalahkan media, tamu laki-laki itu seolah menyalahkan perempuan atas perbuatannya. Bagi tamu laki-laki itu, perempuan hendaknya berhati-hati ketika dia menceritakan kisah pribadinya ke orang lain,
1
PERATURAN DEWAN PERS Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 http://mediakonservasi.org/2008/dir_upload/files/Peraturan_Dewan_Pers_No_6_tentang_ Kode_Etik_Jurnalistik,_2008.pdf diakses pada 1 Mei 2012 pukul 16.25 WIB
36
apalagi itu melibatkan orang lain, bahkan hingga dimuat di media massa. Hal tersebut dapat mencemarkan nama orang yang terlibat. Lelaki “Kok kamu begitu? Menceritakan kehidupan pribadi kalian pada orang bahkan mempublikasikannya?” Perempuan: “Itu kan kenyataan hidupku sendiri.” Lelaki: “Kisahmu melibatkan orang lain. Dengan mempublikasikan lalu membuatnya tahu dan bertanya pada penulisnya, berarti ada indikasi kamu mencemarkan nama baiknya.” Perempuan: “Tidak. Aku menyembunyikan namanya” Lelaki: “Tapi orang kan bisa menerka” Perempuan cenderung disalahkan manakala ia menceritakan kisah pribadinya kepada orang lain bahkan hingga mempublikasikannya di media massa. Meskipun perempuan telah menyembunyikan orang yang terlibat, namun tetap ditampilkan bahwa hal tersebut tidak semestinya dilakukan oleh tokoh perempuan. Meski demikian, dapat diketahui pula bahwa perempuan dalam tokoh ini diberikan kesempatan untuk mengutarakan perasaan dan pendapatnya. Cerita pendek ini mengisahkan cerita perempuan ini. Apa yang dialami dan seperti apa cerita dari perempuan tersebut, ditandakan dengan dialog antara perempuan dan tokoh laki-laki. Tokoh perempuan secara aktif menceritakan bagaimana masalah pribadinya kepada tokoh laki-laki ini. Sementara tokoh lakilaki meskipun awalnya cenderung pasif, namun dia-lah yang membuat dialog diantara keduanya kian hidup melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Tokoh lelaki juga dapat dikatakan yang menentukan alur cerita dan juga memberi penilaian atas apa yang telah dilakukan perempuan. Cerpen “Cerita Perempuan” menempatkan tokoh lelaki, sebagai subjek pencerita. Di awal cerpen, tokoh lelaki lebih banyak terdiam dan mendengarkan saat perempuan bercerita. Dalam diam tanpa ucap, lelaki ini merespon dengan ekspresi non verbalnya. "Aku di Lembaga Peduli Lingkungan paling lama hanya dua minggu. Di sana aku sangat suka memetik daun labu, sampai lima kilo, untuk ku makan hanya dengan cabai dan garam. Pulang-pulang kulitku gosong terbakar matahari.” Si lelaki tersenyum mendengar uraian si perempuan, sambil membayangkan suasana yang sama juga ia rasakan ketika ia bergabung dengan lembaga itu, bahkan lebih lama 37
Melalui responnya yang diam dan hanya tersenyum mendengar uraian si perempuan, dapat diketahui pada bagian ini ingin dikatakan bahwa pengalaman perempuan ini secara kuantitas ditampilkan masih kurang dibanding lelaki di cerita ini pun yang memiliki pengalaman sama yang lebih lama. Hanya dengan diam dan tersenyum, lelaki ini memberikan penilaian atas apa yang dilakukan perempuan, yang ternyata tidak lebih banyak dari pengalamannya. Namun pada bagian selanjutnya, teks memberikan bukti lebih kuat bagaimana lelaki yang semula lebih banyak diam ini ternyata adalah pencerita. "Kok kamu begitu? Menceritakan kehidupan pribadi kalian pada orang bahkan mempublikasikannya?" “Itu kan kenyataan hidupku sendiri.” "Kisahmu melibatkan orang lain. Dengan mempublikasikan lalu membuatnya tahu dan bertanya pada penulisnya, berarti ada indikasi kamu mencemarkan nama baiknya." "Tidak. Aku menyembunyikan namanya." “Tapi kan orang bisa menerka.” “Itu kan kisah hidupku sendiri. Dokumen pribadiku, walau menyangkut dia.” “Kamu publikasikan juga cerita yang menyangkut laki-laki itu. Kekeliruanmu, sebelumnya kamu tidak memberitahu dia.” “Setelah ia menghubungiku, ia berkata, seandainya sebelumnya aku memberitahu, tentu ada yang bisa ia lakukan untuk menolong problemaku. “Nah...”
Dari cuplikan dialog diatas dapat diketahui, lelaki, tamu dari perempuan tampil sebagai teman bercerita yang aktif bertanya dan memberi tanggapan. Tokoh perempuan digiring untuk terus menceritakan kisah hidupnya. Walaupun perempuan ini menceritakan kisah hidupnya kepada lelaki, tidak lantas perempuan ini menjadi subjek pencerita. Bagaimana cerita ini bergulir ditentukan oleh kontrol tokoh lelaki dalam bertanya dan memberikan penilaian atas apa yang dilakukan perempuan. Hal ini terwujud pada saat lelaki menunjukan ketidaksetujuannya saat perempuan mempublikasikan ceritanya ke media massa. Perempuan telah menyembunyikan orang yang terlibat, namun tetap ditampilkan bahwa hal tersebut tidak semestinya dilakukan oleh tokoh perempuan. Pengarang lebih menonjolkan pandangan tamu lelaki ini dalam penceritaan. Lelaki ini tampil sebagai subjek pencerita, yang menentukan bagaimana cerita ini bergulir dan juga memberikan penilaian atas apa yang dilakukan oleh perempuan.
38
Selain itu, melalui pembacaan dominan, pembaca digiring untuk mengidentifikasikan dirinya seperti tokoh lelaki hingga pembaca pun sepakat dengan pandangan tokoh laki-laki. Hal ini menguntungkan bagi lelaki. Jika demikian yang terjadi, pandangan tokoh laki-laki yang tampil tersebut kian melanggengkan ideologi patriakhi. Meski memang harus diakui gambaran perempuan dalam tokoh ini positif, perempuan yang dengan berani menghadapi masalah-masalah tersebut, karena kemudian dia menyadari bahwa di balik masalah tersebut menciptakan perubahan positif pada dirinya. Berbeda dengan karakter lelaki ini, sebagai lelaki dia adalah seorang yang tidak berani mengambil resiko atas apa yang menjadi keputusannya, sehingga akhirnya dia memutuskan mengakhiri hidup supaya akibat-akibat yang terjadi atas hubungannya dengan perempuan ini tidak lagi ia tanggung.
5.1.3. Ideologi Patriakhi Pemosisian aktor-aktor dalam cerita menghasilkan satu pemahaman ideologi apa yang diangkat oleh pengarang dalam cerpennya ini. Penempatan tokoh laki-laki sebagai pencerita dan juga posisi pembaca sebagai tokoh laki-laki menjadikan narasi ini menguntungkan bagi laki-laki, karena pandangannya yang tampil. Akhirnya dapat diketahui bahwa ideologi yang nampak dalam cerpen ini masih ideologi patriakhi. Gambaran perempuan yang mengalami ketidakadilan dan tekanan batin dari lingkungan sosialnya kian meneguhkan ideologi patriakhi yang hendak disampaikan pengarang. Perempuan dalam cerpen ini mengalami dua hal masalah. Pertama, sebagai perempuan dan juga manusia, dia tidak mendapatkan haknya sebagai narasumber, media menghilangkan hak ini dengan melebih-lebihkan cerita dirinya dan membongkar identitas dirinya. Kedua, ketika perempuan ini ingin menceritakan kisah hidupnya melalui media massa, ia justru disalahkan, karena dianggap mencemarkan nama baik orang lain yang terlibat. Masalah lain yang tampil dalam cerpen ini adalah mengenai perselingkuhan perempuan dengan suami temannya. Dia merasa begitu menyesal, karena dia melakukannya dengan suami orang, tidak dengan sesama lajang.
39
Mengenai perselingkuhan ini, penyesalan yang terjadi pun tidak datang dari mulut orang lain, tapi lahir dari pemikiran perempuan sendiri. Penyesalan yang dialami perempuan ini masih dipengaruhi oleh stereotipe gender yang berkembang dalam masyarakat. Dalam masyarakat patriakhi, hal ini wajar terjadi pada perempuan. Dan tidak terjadi dengan lelaki. Menurut Suryakusuma (dalam Sastriyani, 2009: 484), laki-laki dianggap dominan dorongan seksualnya, perempuan lebih pasif dan reseptif sehingga laki-laki dianggap poligam, sedang perempuan dianggap monogram. Oleh karena itu penyelewengan yang dilakukan oleh laki-laki dianggap sebagai hal yang wajar, tetapi kalau yang menyeleweng perempuan, dianggap hal yang tidak wajar dan merupakan aib. Hal ini mengakibatkan perempuan memiliki perasaan yang bersalah yang berlebihan karena melakukan penyelewengan. Selain itu, hal utama yang disesalkan oleh tokoh perempuan ini adalah soal keperawanan. Keperawaanan sangat diagungagungkan dalam masyarakat patriakhi. Menurut Kweldju (dalam Sastriyani , 2009: 480) Pandangan masyarakat tentang kesucian atau keperawanan merupakan sesuatu yang normatif. Bahkan terdapat ungkapan yang menyatakan bahwa harta yang paling berharga bagi perempuan yang belum menikah adalah keperawannan. Kehilangan
keperawanan
selanjutnya
menjadi
adalah
ideologi
kehilangan
yang
memuat
kehormatan.
Keperawanan
kepentingan
laki-laki
dan
mencerminkan dominasi laki-laki atas perempuan. Oleh karena kuatnya dominasi tersebut, ideologi ini telah disosialisasikan dan diinternalisasikan dari generasi ke generasi, bukan hanya oleh kaum laki-laki tetapi juga kaum perempuan sendiri. Keperawanan merupakan persembahan seorang perempuan kepada suami (lakilaki) yang telah disahkan oleh lembaga perkawinan. Perempuan harus menjaga keperawanannya yang cuma satu dan tidak boleh diberikan pada laki-laki sebelum menikah. Ideologi ini bahkan terinternalisasi dalam diri perempuan sendiri. Sehingga bentuk tekanan itu tidak hanya datang dari lingkungan, tapi dari perempuan sendiri. Tampilan-tampilan pandangan patriakhi memang nampak dalam cerita ini. Akan tetapi di tengah gambaran stereotipe gender, ada gambaran yang berbeda dari perempuan. Di balik masalah yang dialami perempuan dalam cerpen ini, dia
40
dianggap melakukan kesalahan, dan dia juga mengalami penyesalan, akan tetapi perempuan dalam cerpen ini bukanlah seorang perempuan yang lemah dan tidak berpendidikan. Perempuan yang bekerja di lembaga peduli lingkungan ini, ditampilkan sebagai seorang memiliki pendapatnya sendiri. Contohnya, ketika dia mempublikasikan cerita di tabloid wanita, dia tahu alasan kenapa melakukannya. "supaya bila ada orang yang bertanya tentang kasusku itu, aku tidak perlu banyak bicara lagi. Langsung kutunjukan tabloid itu biar dibaca, sehingga mudah menjelaskan permasalahanku." Selain itu, dia juga tidak takut menghadapi masalah-masalah yang menimpannya, karena dia tahu bahwa masalah yang dihadapinya akan memberikan perubahan positif bagi kehidupannya. Sehingga dia menjadi mandiri dan lebih tegar. "Semua itu justru membentuk sikapku jadi tegar saat menghadapi masa-masa sulit serupa itu. Sikap tegar ini tidak dimiliki oleh para pelaku yang banyak kutemui pada cerita lain. Mereka wanita yang suka mengalah dan kalah dalam menghadapi problem semacam." Di akhir cerita, tamu lelaki yang datang ke rumahnya tersebut memutuskan untuk membunuh perempuan dan dirinya sendiri agar bila kisah perempuan ini dimuat, tidak akan terjadi masalah antara keduanya. Nampak keegoisan tokoh lelaki, yang mengganggap bahwa kematian adalah solusi atas permasalahan yang terjadi. Meski tidak ditampilkan perlawanan perempuan atas pembunuhan dirinya, namun dapat diketahui bahwa karakter lelaki ini adalah seorang yang tidak berani mengambil resiko atas apa yang menjadi keputusannya, sehingga akhirnya dia memutuskan
mengakhiri
hidup
supaya
akibat-akibat
yang
terjadi
atas
hubungannya dengan perempuan ini tidak lagi ia tanggung. Berbeda dengan perempuan yang dengan berani menghadapi masalah-masalah tersebut, karena kemudian dia menyadari bahwa di balik masalah tersebut menciptakan perubahan positif pada dirinya. Menjadi sebuah pertanyaan kemudian adalah, apa maksud dari pengarang dengan menampilkan gambaran perempuan secara positif, namun di sisi lain
41
menjadikan tokoh laki-laki sebagai pencerita, yang muncul dengan pandangan patriakhinya dan penilaian yang cenderung menghakimi perempuan tersebut? Ideologi patriakhi muncul dipengaruhi oleh diri lelaki dari pengarang itu sendiri. Dalam wawancara dengan pengarang, dirinya mengaku untuk berusaha untuk mendalami perannya sebagai perempuan, akan tetapi diri kelelakiannya bagaimanapun tetap akan mempengaruhi bagaimana dia memilih fakta dan menuliskan fakta tersebut sehingga menghadirkan kembali realitas itu dalam wujud cerita pendek ‘Cerita Perempuan’. Karena patut digarisbawahi pemikiran dari Eriyanto (2001: 116,118) bahwa realitas yang sama dapat menciptakan ‘realitas’ yang berbeda kalau ia didefinisikan dan dipahami dengan cara yang berbeda. Dengan memilih fakta tertenu dan membuang fakta yang lain, realitas hadir dengan cara ‘bentukan’ tertentu kepada khalayak. Di tengah tampilnya ideologi patriakhi, pengarang menunjukan bahwa dirinya bukanlah seseorang yang kolot. Pengarang berusaha menjadi seorang pribadi yang lebih egaliter, memandang perempuan sebagai sesamanya yang sederejat (dapat diketahui melalui hasil wawancara dengan pengarang, yang tersaji pada Bab 4). Itulah mengapa pengarang menampilkan gambaran yang positif tentang perempuan berbeda dengan banyak narasi lain cenderung yang menampilkan perempuan penurut, pasif dan lemah.
Tabel 5.1.3. Representasi Feminis Cerpen ‘Cerita Perempuan’
Pertama
Realitas Cerita perempuan yang mempublikasikan kisahnya di koran dan identitasnya dibongkar oleh pihak media. Selain itu, perempuan ini juga bercerita mengenai penyesalannya temannya.
42
telah
berselingkuh
dengan
suami
Kedua
Representasi Melalui dialog antara perempuan dan tamu laki-laki, dapat diketahui bagaimana karakter tokoh tersebut. Hal tersebut juga menunjukan bagaimana posisi subjek objek dan posisi pembacanya. Dalam cerpen ini, tamu laki-laki adalah subjek pencerita, sementara perempuan adalah objeknya. Untuk posisi pembaca, pembaca digiring untuk mengidentifikasikan dirinya seperti tokoh lelaki hingga pembaca pun sepakat dengan pandangan tokoh laki-laki.
Ketiga
Ideologi Kisah perempuan yang ditandakan melalui penceritaan tokoh laki-laki pembaca digiring untuk menjadikan pandangan tokoh laki-laki yang tampil. Hal ini tentu kian melanggengkan ideologi patriakhi.
5.2.
CERPEN 2
5.2.1. Sinopsis Cerpen 2: Tanya Tukang Cuci Atin dan ibunya adalah tukang cuci sebuah keluarga dan anak-anak kos yang tinggal di tempat keluarga itu. Diantara semua anak kos, hanya satu anak kos, lelaki pegawai perusahaan yang tidak menyerahkan pakaian untuk dicuci dan setrika oleh Atin dan Ibunya. Hal ini membuat Atin bertanya keheranan perihal satu anak kos ini, ’kenapa untuk ongkos cuci yang tidak seberapa, murah, anak kos ini enggan berbagi dengan Atin’. Masalah
memuncak
ketika
pemilik
kos memberitahukan
bahwa
pembayaran mencuci sebenarnya belum bisa diberikan. Hal ini membuat ibu Atin tertegun. Membayangkan beratnya membayar kebutuhan pokok sehari-hari. Namun ternyata hal itu adalah kejutan dari Bapak Kos, karena pembayaran Rp.200.000 tetap bisa dibayarkan kepada Atin dan Ibunya, berkat satu anak kos tersebut, yang membayar tepat waktu. Anak kos yang semula cukup membuat Atin jengkel, kemudian tampil sebagai penyelamat bagi Atin dan Ibunya.
43
Bulan berikutnya hal itu terjadi lagi, Atin dan Ibunya sangat berterima kasih pada anak kost itu. Atin tidak lagi peduli siapa anak kos itu dan apa pekerjaannya, meski pakaian anak kos tersebut tetap kucal dan tidak disetrika.
5.2.2. Interpretasi Cerpen ”Tanya Tukang Cuci” Cerpen ini bercerita mengenai perjuangan seorang anak dan ibu yang bekerja sebagai tukang cuci demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam likaliku perjuangannya bekerja, Atin, sebagai tokoh utama tampil sebagai seorang perempuan muda yang berprasangka terhadap anak kost yang tidak menyerahkan pakaiannya. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya alasan dari anak kos, mengapa ia seperti itu. “Aneh, ada orang sepelit pegawai kos ini. Uang yang tidak seberapa, mengapa ia enggan berbagi dengan kami, mempercayakan pakaiannya untuk kami cuci. Bukankah kini adiknya tidak numpang di kamarnya lagi, sehingga uangnya bisa digunakan untuk membayar cucian? Bukankah dengan mempercayakan pakaiannya kami cuci, berarti ia menghemat waktu, menambah nilai penampilannya, sekaligus membantu meringankan kebutuhan hidup kami yang kekurangan?” Sikap ‘diam’ dari orang lain bagi perempuan dimaknai manakala seseorang tersinggung dengan perbuatannya atau tidak mempercayainya lagi. Dan jika seseorang bersikap diam, perempuan pun cenderung beranggapan buruk terhadap orang itu. Karena bagi perempuan, komunikasi adalah untuk menjalin hubungan. Lain halnya dengan laki-laki, bentukan budaya membuat mereka susah untuk berkomunikasi. Laki-laki hanya akan bicara seperlunya dan dengan terus terang (Pease, 2005:142). Atas dasar ini pula, Atin digambarkan sebagai seorang yang suka berprasangka, sementara anak kos ditampilkan sebagai sosok laki-laki yang hanya akan bicara seperlunya. Kuatnya penggambaran tokoh laki-laki ini tentu mendapat pengaruh dari kelelakian pengarang cerpen ini di tengah stereotipe gender yang berkembang di masyarakat ia tinggal, yakni di Jawa, tepatnya Jawa Timur. Cerpen “Tanya Tukang Cuci” menempatkan Atin sebagai subjek pencerita. Sebagai tokoh utama, selain mendominasi narasi cerpen, Atin jugalah
44
mendefinisi bagaimana karakter lelaki, anak kos yang tidak turut menyerahkan baju untuk dicucikan. Mulai dari prasangka Atin mengenai sosok anak kos tersebut hingga jawaban atas tanya itu, semua dipaparkan oleh Atin. “Apakah sebetulnya yang ada dalam benaknya, setiap bangun pagi melihat kami berdua bahu membahu mencuci dan menyetrika pakaian-pakaian ini? Apakah perasaannya tidak tersentuh melihat perempuan seperti ibuku menghidupi kami berdua dengan menjadi tukang cuci baju, dan jelas, aku yang masih sekolah harus membantu? Juga di sisinya, selain berbagi rezeki, ia juga mendapatkan keuntungan dengan pakaian yang bersih dan rapi. Ah dasar pelit!” Bulan berikutnya, hal itu terjadi lagi. Anak kos yang kuanggap pelit itulah kata bapak kos, yang menyelamatkan pembayaran ongkos mencuci bulanan kami. Bagi kami jelas sudah, anak kos ini tidak turut menyerahkan pakaiannya untuk kami cuci, agar ia dapat membayar uang kos kamar secara tepat waktu.”
Sementara anak kos, menjadi topik pembicaraan dari cerita pendek ini maka disebut dia adalah objek pencerita. Sebagai objek pencerita, karakter dari tokoh anak kos ini secara keseluruhan dipaparkan oleh Atin. Pada awal cerita gambaran karakternya adalah hanya dugaan dari Atin, di akhir cerita Atin juga yang memberikan penjelasan sebenarnya atas dugaan terhadap anak kos itu. Lelaki itu hanya tertawa. Pakaiannya tetap kucal tak tersetrika, sedangkan pakaian kotornya menggunung di depan kamarnya. Aku tak lagi mempersoalkan. Aku juga tak lagi mempermasalahkan siapa dia dan apa pekerjaannya. Anak kos ini sendiri tidak menjelaskan bagaimana dirinya, sekedar melalui tanda non verbal, tertawa. Yang mana tanda non verbal ini pun tidak lagi menjadi perhatian Atin karena dugaan-dugaan Atin telah terjawab melalui tindakan yang dilakukan oleh anak laki-laki ini. Sebagai pencerita, Atin tidak hanya mendefinisikan sosok anak kos yang membuatnya penasaran. Perempuan muda ini pun juga memberikan pemikiran kritisnya melalui kisahnya sebagai pencuci pakaian. Terhadap anak-anak kos yang lain aku semakin bertanya-tanya, sebetulnya apakah pekerjaan masing-masing mereka. Mereka, anakanak kos yang pembayaran uang kos dan cucian selalu terlambat, namun tetap saja pakaian mereka licin dan rapi. Kami yang mencuci dan melicinkan pakaian mereka. Berarti, anak-anak kos ini setiap hari menikmati hasil kerja keras kami membanting tulang dan memeras keringat secara semena-mena. Satu hal yang tidak dilakukan mas tadi. 45
Kasus yang diangkat penulis begitu ringan, namun menjadi menarik untuk dikritisi karena masalah cuci pakaian kemudian dikaitkan dengan citra dan status diri seseorang. Melalui pemikiran kritis tersebut, pekerjaan rumah tangga tampil sebagai pekerjaan yang bukan sembarangan. Dominasi Atin dalam narasi cerpen ini, menempatkan pembaca sebagai diri Atin. Pembaca diajak untuk menyelesaikan alur cerita melalui tanya tukang cuci. Di saat Atin dan Ibunya terancam tidak mendapatkan upah, satu anak kos yang tidak menyerahkan pakaian tersebut tampil sebagai pahlawan yang menyelamatkan upah kerja Atin dan ibunya. Perubahan karakter tokoh lelaki, anak kost ini kemudian juga mematahkan prasangka Atin akan laki-laki ini. Inilah inti yang ingin disampaikan oleh pengarang. “Lelaki itu hanya tertawa. Pakaiannya tetap kucal tak tersetrika, sedangkan pakaian kotornya menggunung di depan kamarnya. Aku tak lagi mempersoalkan. Aku juga tak lagi mempermasalahkan siapa dia dan apa pekerjaannya” “Terhadap anak-anak kos yang lain aku semakin bertanya-tanya, sebetulnya apakah pekerjaan masing-masing mereka. Mereka, anakanak kos yang pembayaran uang kos dan cucian selalu terlambat, namun tetap saja pakaian mereka licin dan rapi. Kami yang mencuci dan melicinkan pakaian merea. Berarti, anak-anak kos ini setiap hari menikmati hasil kerja keras kami membanting tulang dan memeras keringat secara semena-mena. Satu hal yang tidak dilakukan mas tadi.” Pembaca yang diposisikan sebagai Atin, akhirnya turut menjadi tokoh Atin yang mengubah pandangannya terhadap anak kost itu. Hingga di akhir cerita pesan dari cerita ini dapat ditangkap oleh pembaca, bahwa hendaknya kita tidak cepat-cepat menaruh prasangka terhadap sikap seseorang. Selain itu, pembaca juga turut dibuat mengagumi anak kos, dengan sikap pahlawannya.
5.2.3. Heroisme Laki-Laki ‘Tanya Tukang Cuci’ menampilkan perjuangan perempuan dalam bekerja, memenuhi kebutuhannya. Perempuan sebagai pencari nafkah utama bagi
46
keluarganya. Bahkan Atin, gadis ini sudah berjuang sejak mudanya demi membantu keluarganya. Apakah perasaannya tidak tersentuh melihat perempuan seperti ibuku menghidupi kami berdua dengan menjadi tukang cuci baju, dan jelas, aku yang masih sekolah harus membantu? Juga di sisinya, selain berbagi rezeki, ia juga mendapatkan keuntungan dengan pakaian yang bersih dan rapi. Tidak hanya upah yang kecil, Atin dan Ibunya harus menderita karena upahnya terlambat dibayarkan. Penderitaan yang dialami mereka ditampilkan melalui penceritaan yang dilakukan oleh Atin. Sebagai subjek cerita, Atin memaparkan apa yang dirasakan dan dialaminya sebagai tukang cuci. Persoalan yang dihadapi oleh Atin dan Ibunya memang terbilang telah banyak dialami para perempuan. Ideologi gender mempunyai pengaruh langsung atas jenis dan nilai pekerjaan yang dilakukan perempuan. Kaum perempuan diposisikan sebagai pekerja utama sektor domestik dan laki-laki di sektor publik. Sekalipun perempuan memasuki industri publik, ia cenderung untuk melakukan pekerjaan perempuan seperti merawat, memasak, mencuci atau menjahit. Alat produksi yang dimiliki oleh perempuan miskin pada umumnya hanya tenaga. (Ridjal,1993:161). Majikan mempunyai monopoli terhadap alat produksi. Karena itu, pekerja harus memilih antara diekspolitasi atau tidak mempunyai pekerjaan sama sekali. Agar perempuan terbebas dari penderitaan ini, perempuan pun harus bergerak dan berjuang untuk memiliki kapital/modal, inilah solusi yang ditawarkan. Ini adalah poin dari perjuangan feminis marxis. Di tengah pengaruh stereotipe gender masih kuat, pengarang menunjukan perjuangan seorang ibu, sebagai pencari nafkah utama bagi keluarganya. Perjuangan perempuan juga semakin nyata melalui penceritaan yang dilakukan oleh tokoh yang bersangkutan. Penyebab dari penderitaan itu sendiri adalah karena bapak kos dan anakanak kos yang terlambar membayar kost. Diskriminasi gender dilakukan oleh para laki-laki, tetapi disatu sisi penyelamatnya juga laki-laki, yaitu anak kos yang tidak menyerahkan pakaian.
47
Bulan berikutnya, hal itu terjadi lagi. Anak kos yang kuanggap pelit itulah kata bapak kos, yang menyelamatkan pembayaran ongkos mencuci bulanan kami. Bagi kami jelas sudah, anak kos ini tidak turut menyerahkan pakaiannya untuk kami cuci, agar ia dapat membayar uang kos kamar secara tepat waktu.” Diantara tokoh-tokoh laki-laki tersebut, pengarang cenderung untuk pro dengan anak laki-laki yang tidak menyerahkan pakaian. Penggambaran anak lakilaki di awal cerita sengaja dibuat penuh penasaran melalui tanya tukang cuci, Atin. Sehingga di akhir cerita, terasa kejutannya. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh Soe Tjen Marching, seorang komponis dan Doktor Studi Perempuan-Perempuan Indonesia Monash University, Australia bahwa heroisme laki-laki masih kuat dalam beberapa tulisan, termasuk cerpen kedua ini.
2
Di satu
sisi lelaki ditampilkan tidak bisa membantu bahkan yang menyebabkan penderitaan, namun ada lelaki lain yang memahami perjuangan perempuan dan membantu perjuangan perempuan itu. Pengarang ingin menunjukan bahwa ada laki-laki yang peduli terhadap perempuan sebagai sesamanya yang sederajat. Unsur heroisme yang tampil ini menyebabkan cerita pendek ini bias. Walaupun menunjukan isu-isu yang menjadi fokus feminis Marxis, buah perjuangan dari perempuan ini bukan dari dirinya sendiri, tapi atas pertolongan anak kos. Hal ini dilakukan pengarang guna memperbaiki citra laki-laki yang biasa di-cap sebagai penyebab penderitaan perempuan. Tabel 5.2.3. Representasi Feminis dalam cerpen ‘Tanya Tukang Cuci’ Pertama
Realitas Penderitaan yang dialami perempuan tukang cuci karena upah kerja yang terlambat dibayarkan.
Kedua
Representasi Penceritaan
tunggal
menjadikan
dirinya
yang
dilakukan
sebagai
subjek
oleh
Atin
pencerita.
Penempatan Atin sebagai pencerita dan pembaca sebagai Atin, menjadikan realitas teks ini hadir sebagaimana
2
Dalam endorsement buku 13 Perempuan karya Yonathan Rahardjo
48
adanya. Karena pesan dari cerpen ini disampaikan oleh tokoh yang bersangkutan, yaitu Atin. Ketiga
Ideologi Kisah perempuan yang ditandakan melalui penceritaan perempuan ini sendiri. Penderitaan dan perjuangan yang dialami keluar dari tokoh yang bersangkutan yaitu perempuan. Namun, adanya unsur heroisme di akhir cerita
yang
ditunjukan oleh tindakan anak
kos,
menjadikan teks ini bias. Meski begitu, dapat diketahui bahwa ideolog pengarang adalah memperbaiki citra lakilaki yang biasa di-cap sebagai penyebab penderitaan perempuan
5.3.
CERPEN 3
5.3.1. Sinopsis Cerpen 3: ”Masuknya Lelaki Itu” Kisah seorang TKW yang sedang melakukan perjalanan dari Cilacap menuju Jakarta dengan menggunakan bis umum. Dia bersama seorang temannya hanya mendapat tempat cadangan di belakang bangku yang wajarnya tempat itu adalah tempat barang. Perempuan TKW ini pun harus berbagi tempat dan berdesak-desakan dengan seorang teman perempuannya dan seorang penumpang lelaki. Lelaki itu mengajak berkenalan, menanyakan banyak hal pribadi tentang perempuan ini, bahkan memeluk hingga berlaku lebih dari itu. Sementara perempuan ini hanya cenderung diam dan pasif, menjawab dengan singkat ketika ditanya. Setibanya di Jakarta, perempun lalu menuju rumah kakaknya untuk meminta kunci rumah penampung TKW. Meskipun telah bebas dari rumah penampungan TKW, perempuan ini tidak tahu kenapa harus kembali ke tempat itu. Tidak seperti kehadiran lelaki yang dengan mudah masuk dalam tubuh dan hidupnya. Hingga di Jakarta pun, lelaki ini terus mengikut i perempuan menuju rumah kakak tokoh perempuan.
49
Di rumah itu, Suami kakaknya tanpa curiga--sama dengan sikap perempuan-- memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan lelaki mengenai kehidupan pribadi mereka. Lelaki ini mengorek banyak informasi kehidupan perempuan. Tidak ada ketakutan akan celaka dalam diri perempuan saat menceritakan kehidupannya pada lelaki itu. Lelaki ini pulang mendapatkan sesuatu, tanpa perempuan tahu siapakah lelaki itu sebenarnya. 5.3.2. Interpretasi Cerpen ”Masuknya Lelaki Itu” Cerpen ‘Masuknya Lelaki Itu’ mengangkat sebuah realitas perempuan TKW yang dilemma menghadapi lelaki yang dijumpainya di dalam bis. Dilemma karena ia sendiri berhasil melarikan diri dari rumah penampungan TKW, tetapi saat berhadapan dengan lelaki itu dan diperlakukan tidak senonoh, perempuan ini tidak melakukan perlawanan. Bahkan perempuan ini pun begitu percaya dengan nalurinya bahwa laki-laki adalah seorang yang baik. “Lelaki itu mulai mengajak berkenalan dengan bertanya tujuan kami. Aku merasa ia lelaki yang baik. Pada saat bis berhenti di persinggahan rumah makan, ia menawari kami untuk bersama minum, aku tidak menolak, karena percaya pada naluriku. Aku sendiri lebih banyak diam, jaga jarak hati dan lebih banyak pasif. Namun selanjutnya, di atas tempat duduk darurat yang membuat kami seperti pindang itu, kubiarkan lelaki yang berbaring bersama di antara dua perempuan (aku dan temanku), memelukku saat bis melaju melalui kota demi kota. Bahkan ku biarkan ia berlaku lebih dari itu, sambil sesekali memperhatikan sesama penumpang bis, jangan-jangan mereka memperhatikan gerak-gerik polah kami.” Pada waktu mengalami perlakuan tidak senonoh dari lelaki itu, perempuan ini justru hanya diam, dan berharap perbuatan itu tidak diketahui penumpang lain. Hal ini bisa disebabkan karena dua hal. Pertama, karena munculnya rasa ketertarikan perempuan ini pada lelaki tersebut. Sehingga dia tidak berani, dan cenderung menjaga jarak, supaya tidak terlalu jauh mencinta. Sebaliknya, bila perempuan ini tidak tertarik, merasa tidak nyaman dia akan teriak di bis dan banyak orang akan memergoki lelaki tersebut. Namun rasa ketertarikan ini tidak digambarkan cukup gamblang oleh pengarang dalam cerpen ini. Hal ini karena pengarangnya adalah laki-laki, meskipun ia adalah pengarang adalah seorang
50
penulis omniscient, penulis serba tahu dan menggunakan sudut pandang orang pertama ‘aku’, seperti dua cerpen sebelumnya, namun karena dirinya sendiri bukanlah perempuan, maka urusan romantika mengenai perempuan dalam cerpen ini pun tidak ditampilkan dengan jelas. Meskipun pengarang menjadi seolahseolah seperti tokoh perempuan, namun tidak bisa seratus persen perempuan karena dirinya adalah laki-laki. Pengarang hanya menjelaskan dengan “jaga jarak dan lebih banyak pasif. Dia tidak bisa mendeskripsikan perasan perempuan ini lebih lanjut. Hal kedua, mengapa perempuan TKW membiarkan lelaki itu menjamah tubuhnya, disebabkan atas dasar stereotipe TKW di masyarakat, yang mana adalah perempuan tidak berdaya, yang seringkali dengan mudah menjadi korban pelecehan seksual. Cerpen ketiga ini menempatkan perempuan sebagai subjek pencerita. Dia banyak mengutarakan perasaan dan pikirannya, bahkan kegalauan dan dilemma yang ia alami. Cerpen ini menampilkan curahan hati perempuan ini saat menghadapi lelaki yang masuk dalam hidupnya. Sementara, laki-laki dalam cerpen ini diposisikan sebagai objek pencerita. Sebagai objek, dirinya tidak diberikan tempat untuk menyampaikan pendapatnya mengenai perbuatannya pada perempuan TKW. Secara keseluruhan, tokoh perempuanlah yang memberikan komentar atas perbuatan lelaki ini. Hal ini dilakukan oleh pengarang karena cerita pendek ini ingin berfokus menceritakan kegalauan dan kebingungan yang dialami oleh perempuan ini. “Aku sendiri tidak tahu mengapa aku harus kembali ke tempat itu, sedangkan kunci kebebasan sudah dalam genggaman tanganku. Mengapa aku tidak mencontoh kehadiran lelaki dalam perjalanan panjangku dari Cilacap ke tempat ini? Lelaki itu dengan mudah masuk dalam tubuh dan hidup kami, mengorek informasi tentang kami tanpa takut celaka, meski pada akhir kebersamaan kami, aku tak lagi menunjukkan kedekatan terhadapnya yang pulang dengan tatapan mata lekat kepadaku.” Penggunaan kata ganti ‘aku’ membuat kesan kedekatan dengan pembaca. Ditambah pula dominasi narasi oleh tokoh perempuan, membuat pembaca fokus pada sosok perempuan ini. Pembaca pun diajak untuk kritis terhadap sikap perempuan melalui pertanyaan refleksi dari tokoh perempuan ini. Dikatakan
51
pertanyaan refleksi karena pertanyaan diatas adalah suatu hal yang menjadi pergumulan atas dilemma dan kegalauan yang dialami oleh perempuan, keberaniannya untuk kabur, tidak lantas membuatnya berani pula menghadapi lelaki itu.
5.3.3. Perempuan TKW Seperti cerpen sebelumnya, harus tetap diakui bahwa gambaran perempuan dalam cerpen ini berbeda dengan stereotipe perempuan dalam masyarakat patriakhi. Perempuan TKW ini adalah sosok yang mandiri dan berani. Karena masalah perjumpaan dengan lelaki di bis, membuat ia antara dilemma dan galau. Perempuan ini berani menghadapi hidup tapi tidak berani menghadapi cinta. Perempuan ini justru lebih banyak pasif dan jaga jarak hati. Kebungkaman merupakan kekeliruan paling besar di pihak wanita. Pembebasan wanita dari penindasan laki-laki “hanya mungkin terjadi apabila perempuan berbicara, menampilkan sudut pandang mereka sendiri mengenai kehidupan perempuan harus berjuang untuk dirinya sendiri kalau ingin lepas dari penindasan (Satriyani,2009:518-519).
Maka
seharusnya
pun,
perempuan
ini
berani
mengutarakan yang sebenarnya kepada lelaki itu secara jelas. Kisah perempuan yang diceritakan oleh perempuan langsung memberi dampak pada penceritaannya dengan lebih nyata. Penempatan pembaca sebagai tokoh perempuan juga kian membuat maksud penceritaan ini tersampaikan. Kelemahannya adalah karena pengarangnya laki-laki, dia tidak bisa sepenuhnya secara lengkap menggambarkan perasaan perempuan saat berhadapan dengan laki-laki, sehingga menyebabkan makna ganda. Dalam cerpen ketiga ini, belum ditunjukan bagaimana perjuangan perempuan menghadapi masalahnya. Dia, perempuan yang masih dirundung kebingungan. Bahkan saat kebebasan dari penampungan TKW telah diraihnya, ia justru kembali ke penampungan itu, menunggu giliran diberangkatkan ke luar negeri. “Mengapa aku tidak mencontoh kehadiran lelaki dalam perjalanan panjangku dari Cilacap ke tempat ini? Lelaki itu dengan mudah masuk dalam tubuh dan hidup kami”
52
Pengarang memaparkan sikap yang tidak jelas dari perempuan ini sebenarnya untuk menunjukan bahwa perempuan ini belum memiliki kualitas diri yang tinggi. Sebagai orang yang baru saja bertemu, perbuatan dari lelaki itu tidak seharusnya dilakukan. Karena itu adalah perbuatan tercela. Bagaimanapun perbuatan ini harus dihentikan. Di samping itu, bila dia memang berani, hal itu juga nampak pada aspek lain dalam dirinya. Kritik pengarang terhadap kualitas diri perempuan yang rendah ditandakan melalui pertanyaan refleksi dalam cuplikan dialog di atas yang disampaikan sendiri oleh perempuan. Dengan disampaikan sendiri oleh perempuan, memberikan kesan bahwa perempuan memang memiliki kesadaran akan hal itu. Selain itu, kritik pengarang juga ditunjukan melalui penekanan latarbelakang pekerjaan sebagai TKW. Pekerja TKW seringkali dilabelkan sebagai orang dengan tingkat pendidikan rendah. Rendahnya tingkat pendidikan memberikan pengaruh pada kualitas diri seseorang. Dalam hal ini nampak kepedulian pengarang terhadap kasus-kasus mengenai tenaga kerja wanita. Meskipun tidak disampaikan dalam teks, tapi secara implisit dapat diketahui bahwa menurut pengarang, solusi atas penindasan dan penderitaan yang dialami oleh pekerjaan rumah tangga ini adalah akses pendidikan. Agar tidak hanya tenaga mereka yang dimanfaatkan, tapi mereka juga memiliki kemampuan intelektual dan spiritual yang mumpuni. Tabel 5.3.3. Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Masuknya Lelaki Itu’ Pertama
Realitas Perempuan TKW yang dilemma menghadapi lelaki yang dijumpainya di dalam bis. Dilemma karena ia sendiri berhasil melarikan diri dari rumah penampungan TKW, tetapi saat berhadapan dengan lelaki itu dan diperlakukan tidak
senonoh,
perlawanan. Kedua
Representasi
53
perempuan
ini
tidak
melakukan
Perempuan menjadi pencerita langsung memberi dampak pada penceritaannya dengan lebih nyata. Penempatan pembaca sebagai tokoh perempuan juga kian membuat maksud penceritaan ini tersampaikan. Ketiga
Ideologi Pengarang memaparkan sikap yang tidak jelas dari perempuan ini sebenarnya untuk menunjukan bahwa perempuan ini belum memiliki kualitas diri yang tinggi. Bukan
mengkritik,
pengarang
justru
menunjukan
kepeduliannya terhadap kasus-kasus mengenai tenaga kerja wanita, khususnya pengembangan SDM Tenaga kerja.
5.4.
CERPEN 4
5.4.1. Sinopsis Cerpen 4: Kekuatanku ‘Kekuatanku’ bercerita mengenai perempuan, seorang single parent dengan satu anak, bekerja sebagai penjual makanan di depan sebuah kios pinjaman haji tuan tanah bersaudara. Pak Haji pertama memberikan izin kepada perempuan ini untuk berdagang lele di kios keluarga mereka. Hal berbeda terjadi pada Pak Haji yang kedua, dengan mengatasnamakan keluarganya, dia tidak membolehkan perempuan itu berdagang lele, alasannya karena kios bengkel bila digunakan perempuan berjualan pecel lele tersebut berisiko terhadap kebakaran. Tidak hanya karena itu, Pak Haji kedua ini mempersepsi bahwa perempuan ini adalah seorang lacur, didasarkan pada fakta bahwa perempuan tersebut memiliki anak tapi tidak bersuami. Dan juga ia bekerja di depan kios tepi jalan pada malam hari. Tidak kurang cara, perempuan ini mendapatkan ganti tempatnya, samasama di depan kios bengkel, tapi pemiliknya mengizinkan untuk digunakan berjualan pecel lele. Warung perempuan ini selalu laris oleh pembeli. Namun tidak berlangsung lama, tidak diketahui kenapa akhirnya pemiliknya tidak lagi mengizinkan penggunaan tempat itu. Peristiwa ini membuat perempuan kecewa.
54
Perempuan terus berjuang untuk tetap mendapatkan penghasilan. Ia pun pindah kontrakan. Atas bantuan seorang marinir, ia berhasil mendapatkan tempat berdagang yang baru. Perempuan pun menjadi puas, terlebih pula karena sejak kepindahannya rumah kontrakannya yang dulu tidak laku, lahan bekas berjualannya dulu pun kosong. Warung barunya yang kini menciptakan keramaian.
5.4.2. Interpretasi Cerpen “Kekuatanku” Pada cerpen ini, pengarang menunjukan perjuangan perempuan melawan penindasan yang terjadi pada dirinya. Penindasan yang dialami oleh perempuan dalam cerpen ini adalah dihalangi kesempatan bekerjanya. Dia dihalangi untuk membuka warungnya karena dirinya yang single parent, dianggap sebagai pelacur. Atas dasar hal tersebut, secara implisit, Pak Haji ke-2 yang ingin menjaga nama baiknya dengan tidak memberikan izin kepada perempuan untuk berjual. ”Apa lacur, pada suatu hari ia mendatangi rumah kontrakanku dan mengutarakan keberatan saudaranya kalau aku terus berjualan di situ.” Pengarang sengaja tidak menamai kedua haji dalam cerpen ini agar pembaca kritis terhadap tokoh masyarakat yang diceritakan cerita pendek ini. Pengarang memperkuat gambaran Pak Haji bersaudara ini melalui perbandingan perilaku keduanya. Haji yang pertama, memberikan izin kepada perempuan ini untuk berdagang. Dikatakan bahwa Pak Haji pertama telah mengetahui bagaimana memperlakukan manusia sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tidak demikian dengan Pak Haji kedua. “Pak Haji yang di depanku memang bijak, ia tahu nilai-nilai kemanusiaan,' perasaanku mekar bunga. Begitu berdiri kakiku terasa ringan. "Terima kasih sekali, Pak Haji," aku menyerongkan badan, wajah yang disinari sedikit rasa senang mulai berpijar.” Pengarang mengangkat realitas sosial ini, dengan maksud supaya pembaca menyoroti perihal kedua tokoh masyarakat ini, bahwa demikianlah tokoh
55
masyarakat yang ada disekitar kita yang kadang menekan orang lain, tetapi ada juga yang paham bagaimana memperlakukan orang lain. Tidak hanya dilarang oleh Pak Haji, perempuan ini pun kembali tidak diizinkan berdagang oleh pemilik bengkel. Meski putus asa, tapi perempuan ini tetap memiliki motivasi kuat untuk berusaha. Pengarang menampilkan sosok perempuan yang tidak kenal menyerah. “Aku putus asa dan tak peduli alasannya mengusirku secara halus. Sudahlah aku lebih baik pergi dari tempat itu, cari usaha di tempat lain.” Seperti cerpen sebelumnya, tokoh perempuan di cerpen ‘Kekuatanku’ mendominasi penceritaan. Perempuan berlaku sebagai subjek, yang menceritakan perjuangan hidupnya dalam mendapatkan tempat berjualan. Perempuan diberikan tempat utama oleh pengarang untuk mengutarakan perasaan serta semangatnya perjuangannya. Sehingga judul “Kekuatanku” benar-benar nyata tercermin pada dialog dan narasi yang disampaikan oleh tokoh perempuan ini sendiri. Sedangkan objek pencerita dalam cerpen ini adalah Pak Haji Kedua. Penilaian atas tindakannya Pak Haji ini dituturkan oleh tokoh perempuan. Hal ini semakin ditegaskan oleh subjek pencerita melalui perbandingan sosok Pak haji bersaudara ini. “Pak Haji yang di depanku memang bijak, ia tahu nilai-nilai kemanusiaan,' perasaanku mekar bunga. Begitu berdiri kakiku terasa ringan. "Terima kasih sekali, Pak Haji," aku menyerongkan badan, wajah yang disinari sedikit rasa senang mulai berpijar.” Penyebutan “Pak Haji yang di depanku” jelas diketahui bahwa tokoh perempuan memberikan penekanan bahwa Pak Haji pertama ini berbeda dengan yang lain, bahkan berbeda dengan saudaranya, yang juga berstatus Pak Haji. Sudahlah aku lebih baik pergi dari tempat itu, cari usaha di tempat lain. Aku dekati pemiliknya melalui seorang marinir yang kukenal dan kuberi upeti… Berhasil! Pemiliknya luluh hati menyerahkan hak guna lahan itu untuk usaha dagangku di malam hari. Terimakasih, Marinir! Peduli setan dengan kau, Haji tuan tanah!
56
Sekarang keramaian malam pindah ke seberang. Rejeki pindah ke warung tendaku yang baru. Selain memberikan komentar mengenai Pak Haji bersaudara, tokoh perempuan sebagai subjek penceritaan, berkisah sendiri mengenai perjuangan hidupnya dan keberhasilannya. Hal ini memberikan kesan kuat pada cerita pendek berjudul “Kekuatanku” karena perempuan ditampilkan oleh dirinya sendiri sebagai pribadi yang kuat dan gigih berjuang. Hambatan dan usaha perempuan yang dipaparkan satu per satu dalam cerita ini membuat pembaca turut merasakan perjuangan hidup perempuan ini. Pembaca diajak untuk memposisikan dirinya sebagai perempuan dalam tokoh ini. Aku hanya menyimpan satu denda, aku pasti bisa berdagang di seberang trotoar itu. Di seberang jalannya ada lahan kosong, aku harus mendapatkan tempat itu. Aku dekati pemiliknya melalui seorang marinir yang kukenal dan kuberi upeti… Berhasil! Pemiliknya luluh hati menyerahkan hak guna lahan itu untuk usaha dagangku di malam hari. Terimakasih, Marinir! Peduli setan dengan kau, Haji tuan tanah! Sudut pandang orang pertama ‘aku’ membantu penempatan posisi pembaca sebagai tokoh perempuan. Pengarang melakukan hal ini dalam proses kreatifnya dalam rangka penghayatan peran sebagai tokoh perempuan. Di sisi lain, hal ini pun memposisikan pembaca sebagai tokoh perempuan, dengan penindasan dan kegigihan perempuan ini.
5.4.3. Feminis Sosialis Kekuatan tak kenal menyerah yang berbalut dendam membuat perempuan ini gigih memperjuangkan haknya untuk bekerja. Hak untuk mendapatkan penghasilannya. Karena terdesak kebutuhan, kekuatan perempuan ini pun tumbuh kembali. Tidak henti-hentinya dia berjuang. Kesemuanya tersebut diceritakan sendiri dari pihak perempuan menjadikannya realitas yang tampil utuh dan apa adanya. Lebih jauh, hal tersebut menunjukan ideologi yang digunakan dalam cerpen ini.
57
Seperti pendapat feminis sosialis, bahwa tidak hanya kapitalisme yang membuat perempuan menderita, tapi juga patriakhi. Jadi baik kapitalisme dan patriakhi adalah musuh yang harus dihancurkan. Demikian juga yang terjadi pada perempuan dalam cerpen ini. Pak Haji kedua menjadi cerminan sosok patriakhi, yang menghalangi kesempatan bekerja bagi perempuan ini. Hal itu dilakukannya karena perempuan ini dianggap sebagai perempuan yang tidak baik ‘pelacur’ atau pekerja malam. “Aku putus asa dan tak peduli alasannya mengusirku secara halus. Sudahlah aku lebih baik pergi dari tempat itu, cari usaha di tempat lain.” Tampak kepasrahan muncul dalam sikap perempuan ini. Sikap pasrah perempuan ini bisa disebut kepasrahan positif (adversity quotion), yaitu kemampuan seseorang untuk menghadapi kesulitan hidup dengan tetap melakukan hal positif. Sikap pasrah menjadi negatif saat diekspresikan berlebihan dengan malas berusaha, bekerja dan berpikir. Kemalasan bukan kepasrahan (Roqib, 2007:178). Dia menunjukan buah dari perjuangannya. Hingga di akhir cerita dapat diketahui bagaimana perempuan ini berhasil mendapatkan tempat yang baru. Bila pada cerpen sebelumnya, ideologi patriakhi masih tampil, dalam cerpen keempat ini berhasil menampilkan ideologi feminisme sosialis. Kode-kode representasi yang dilakukan melalui penempatan perempuan sebagai subjek pencerita dan pembaca yang ditempatkan sebagai tokoh perempuan, berhasil menyajikan realitas yang utuh dan apa adanya mengenai penindasan dan perjuangan perempuan. Komunikator dalam hal ini berhasil merepresentasikan dirinya sebagai feminis sosialis. Tabel 5.4.3. Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Kekuatanku’ Pertama
Realitas Peristiwa dihalanginya kesempatan bekerja ditandakan melalui perbedaan pendapat Pak haji bersaudara yang diterima oleh perempuan tokoh utama dan perjuangan
58
perempuan tanpa henti demi mendapat tempat bekerja. Kedua
Representasi Realitas tersebut digambarkan melalui sudut penceritaan dari perempuan, sementara Pak Haji kedua sebagai objek yang diceritakan. Penindasan dan perjuangan yang dialami perempuan kemudian diceritakan sendiri oleh dirinya, membuat realitas ini tampil utuh dan apa adanya. Penempatan pembaca sebagai tokoh perempuan juga kian membuat maksud penceritaan ini tersampaikan.
Ketiga
Ideologi Kode-kode
representasi
yang
dilakukan
melalui
penempatan perempuan sebagai subjek pencerita dan pembaca yang ditempatkan sebagai tokoh perempuan, berhasil menyajikan realitas yang utuh dan apa adanya mengenai
penindasan
dan
perjuangan
perempuan.
Ideologi yang muncul adalah feminisme sosialis.
5.5.
CERPEN 5
5.5.1. Sinopsis Cerpen 5: “Cermin Peninggalan” Cermin Peninggalan menceritakan kisah seorang perempuan tua yang akan menutup usianya. Menjelang kematiannya, dia merindukan kehadiran dan perjumpaan dengan anak perempuan yang justru satu-satunya, bukan anak lelakinya yang banyak. Kedekatan dengan anak perempuannya membuat ibu ini sering mengingat dan merindukan anak perempuannya yang kini telah merantau dan menjadi pendeta. Selain karena kedekatan, kebanggaan akan anak perempuannya membuat kerinduan ibu ini kian bertambah. Bangga karena satu anak perempuan inilah yang tetap berpegang teguh pada iman yang diajarkan dan diwariskan suaminya. Bahkan ia satu-satunya anak perempuan yang justru menjadi pemimpin iman, tidak seperti anak –anak lelakinya.
59
Di akhir cerita, dikisahkan secara singkat bagaimana kematian perempuan ini membawanya pada pertemuan dengan suaminya. Kerinduan dan pertemuan dengan anak perempuannya tidak lagi menjadi masalah, karena ia telah bertemu dengan suaminya, sosok yang dicerminkan oleh anak perempuannya.
5.5.2. Interpretasi Cerpen “Cermin Peninggalan” Cerita pendek tersebut di atas ingin mengisahkan perempuan tua yang rindu bertemu dengan anak perempuan satu-satunya. Kedekatan yang lebih intens semenjak kecil, membuat perempuan tua ini lebih rindu dengan anak perempuannya dibanding dengan anak-anak lelakinya. Dulu ia dengan tubuhnya yang telah mendewasa masih saja tidur seranjang denganku. ‘Anakku… semenjak kulahirkan, kau tidak pernah jauh dariku. Pasti kau sangat mengenal aku.’ Sejak kanak-kanak hingga dewasa, anak perempuan ini lebih sering berinteraksi dengan ibunya, sebagai sesama perempuan. Bisa terjadi demikian karena dari masa dikandung, dilahirkan dan dirawat, semua dilakukan oleh ibu. Secara psikologi hal ini tentu mempengaruhi kedekatan dengan ibu. Bahkan sejumlah ahli pun mengatakan bahwa hubungan ibu dan anak perempuan cenderung memiliki suatu kedekatan khusus, suatu hubungan yang paling dekat dan paling penting dalam interaksi dengan keluarga. Menurut Psikolog, Lesley Miles, sang ibu terkadang memiliki kesulitan untuk membedakan apa yang harus dilakukannya untuk anak laki-laki dan perempuannya. Biasanya hubungan ibu dan anak perempuan bisa saling mengidentifikasi secara kuat dengan menjadikannya inspirasi satu sama lain, dan hubungan ini lebih sering diisi dengan ikatan emosional yang lebih dalam. Proximity dan kesamaan yang terjadi pada keduanya jelas memperkuat interaksi dan komunikasi bagi keduanya. Selain karena kedekatan yang telah terjalin lama, kebanggaan pada anak putrinya ini kian membuat perempuan tua ini begitu merindukan anak perempuan.
60
"Anehnya,suamiku,,, aku merasa dekat denganmu bukan karena teringat anak-anak lelaki kita yang begitu banyak. Akan tetapi oleh karena mengingat ia, satu-satunya anak perempuan kita. Tahukah kau, suamiku, mengapa? Mengapa demikian? "Ya betul suamiku… Sebab dialah satu-satunya anak kita yang lebih dari berpegang teguh pada keimanan yang telah kau bimbingkan kepada kami, keluargamu. Keimanan yang kamu pegang hingga kepergianmu meninggalkan kami. Dan kini ia satu-satunya anak perempuan kita, justru telah menjadi pemimpin iman bagi umat. Karena dari beberapa anaknya, hanya dialah satu-satunya yang berpegang teguh pada imannya dan bahkan menjadi pemimpin sebuah agama. Bila dirunut dari sejarah agama dunia, perempuan yang menjadi pemimpin agama terjadi dalam sejarah Kristen. Perempuan memainkan peran kepemimpinan dalam komunitas Kristiani. Suatu kemajuan yang dialami perempuan. Hal ini pula yang membuat perempuan tua begitu bangga dan rindu kepada anak perempuannya. Detail penceritaan cerpen ini disampaikan oleh perempuan tua, maka subjek pencerita dalam cerpen ini adalah perempuan tua tersebut. Dari awal penceritaan, perempuan tualah yang menceritakan bagaimana kisah hidup pribadinya. Hingga akhir cerita semua diceritakan oleh perempuan tua ini. Beberapa cuplikan berikut menjadi bukti bagaimana perempuan ini menjadi pencerita. "Aku adalah perempuan muda, yang suka berjalan kaki menyusuri jalan demi jalan, dari kampung ke kampung, desa ke desa. Dipunggungku keranjang berisi sayu-mayur, kebaya dan kain panjang menutup tubuhku serta kain panjang pengikat panjang. "Hari demi hari begitu… Hingga ia menjadi ayah anak-anakku, hingga anak paling bungsu, anak perempuan kami satu-satunya, yang mengingatkanku padanya, satu-satunya lelaki suamiku yang kini telah menjadi tanah… meninggalkanku sudah begitu lama, ketika anak perempuanku masih bersamaku di rumah peninggalannya ini. “Aku kadang merasa kosong karenanya suamiku… suamiku. Namun aku tiba-tiba merasa terisi” Sebagai subjek cerita, dia mendapat tempat leluasa untuk menceritakan kisah tentang anak perempuannya dengan ia mengenang suaminya, kebanggaan
61
pada anak perempuannya serta kerinduannya karena anak perempuannya ini cerminan. "Ya betul suamiku… Sebab dialah satu-satunya anak kita yang lebih dari berpegang teguh pada keimanan yang telah kau bimbingkan kepada kami, keluargamu. Keimanan yang kamu pegang hingga kepergianmu meninggalkan kami. Sementara objek dalam cerita ini adalah anak perempuan. Gaya bercerita monolog oleh perempuan tua, tidak memberikan tempat bagi objek untuk mengidentifikasikan dirinya. Hal-hal mengenai dirinya disampaikan oleh subjek cerita. “Dan kini ia satu-satunya anak perempuan kita, justru telah menjadi pemimpin iman bagi umat.” “Tidak seperti rata-rata anak-anak lelaki kita, anak perempuan kita memang lain.” “Ya suamiku, aku sungguh rindu padanya. Suamiku. ”Maka biarkan aku memelukmu dan kau memelukku.” Perempuan tua, yang adalah ibu anak perempuan inilah yang memberikan gambaran pada pembaca tentang anak perempuannya. Gambaran satu-satunya anak perempuan yang berbeda dengan saudara-saudaranya. Dalam pembacaan cerita pendek ini dapat diketahui bahwa Yonathan Rahardjo sebagai pengarang menempatkan pembacanya sebagai tokoh perempuan tua ini. Detail penceritaan yang disampaikan oleh perempuan tua ini mengenai kerinduan dan kebanggaan pada anak perempuannya membawa pembaca untuk turut merasakan perasaan rindu dan bungah yang dialami perempuan tua ini. Melalui hal inilah apa yang dimaksud oleh pengarang diharapkan sampai pada pemahaman pembaca. Yaitu bahwa meskipun hanya seorang anak perempuan dan satu-satunya terbukti memberikan kebanggaan pada ibunya.
5.5.3. Feminis Liberal Kebanggan perempuan tua terhadap anak perempuannya memang patut diapresiasi. Karena apa yang dicapai anak perempuan ini merupakan salah satu bukti sebuah kebangkitan bagi sejarah gereja dunia. Pada saat sebagian besar
62
tradisi agama dunia memberikan peran sekunder dan subordinat, sejarah Kristen memberikan peran kepemimpinan komunitasnya bagi perempuan. Gelombang tuntutan terhadap penahbisan perempuan Kristen yang berembus kencang sejak paro pertama abad ke-20, dan mencapai hasilnya ketika Gereja-Gereja Protestan dan Presbyterian mulai menahbiskan perempuan sejak 1970-an. Luther, sebagai pelopor hal ini menyatakan “tetapi imam-imam itu merupakan pelayan yang dipilih diantara kira, yang melakukan segala sesuatu aras nama kita” Dengan menekankan ungkapan “dipilih dari antara kira, Luther bermaksud mengatakan secara tidak langsung bahwa pandangan hierarkis tradisional tentang gereja harus ditinggalkan. Semua orang Kristen adalah imam, semua perempuan adalah imam perempuan, muda atau tua, tuan atau budak, nyonya atau pembantu, terpelajar atau tidak. Disini tidak ada perbedaan (Urban, 2006:441). Pandangan Luther pun kian kuat dipengaruh oleh Concordet, seorang humanis Prancis, menunjukan bahwa perempuan seperti laki-laki adalah makhluk dengan ketajaman perasaan, akal budi dan moral. Concordet menambahkan dengan memiliki kualitas-kualitas yang sama, tentu perempuan memiliki hak-hak yang sama. Tak satu individu pun di antara umat manusia yang mempunyai hakhak yang ia miliki sejak awal, semua orang memiliki hak yang sama ; dan barangsiapa memilih untuk melawan hak-hak orang lain, apapun agama, warna kulit atau jenis kelaminnya, mulai sekarang telah menyangkali haknya sendiri. (Urban, 2006: 488). Sepakat dengan gerakan liberal ini, kaum feminis Kristen pun meneliti kembali ayat alkitab mereka dan tiba pada kesimpulan bahwa tradisi dan sejarah telah menumbangkan potensi perempuan dan menggunakan agama untuk menekan perempuan, mereka menemukan fakta bahwa agamanya menawarkan kemungkinan pembebasan dan perbaikan dalam posisi perempuan (Mosse, 2007: 85-86). Surat Rasul Paulus menjadi landasan gerakan mereka. Paulus dan penulis surat Timotius pertama melarang perempuan untuk berbicara dalam gereja. Namun situasinya lebih kabur daripada yang ditampakkan oleh rujukan-rujukan alkitabiah ini. Awalnya dalam surat Korintus yang Pertama pasal 11:4-5 Paulus
63
mengomentari apa yang jelas merupakan praktik dari gereja di Korintus mengenai perempuan yang berdoa dan bernubuat dalam pelayanan ibadah. Ia tidak mengkritik perempuan oleh karena praktik ini, tetapi semata-mata karena tidak memakai kerudung ketika mereka melakukanya. Kemudian dalam surat Galatia, Paulus mengatakan bahwa di dalam Kristus, “tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tida ada hamba orang mereka, tidak ada laki-laki atau perempuan. Paulus muncul sebagai figur yang sangat penting dalam transisi ini. Kemajuan yang luar biasa ini memang patut menjadi kebanggaan. Terutama bagi seorang ibu terhadap anaknya sendiri. Kebanggaan dan kerinduan ibu terhadap anak perempuan satu-satunya ditandakan dengan menempatkan ibu sebagai pencerita, tentu hal ini tepat dilakukan. Sehingga realitas yang dihadirkan kembali pun apa adanya, karena penceritaan dilakukan melalui suara tokoh yang mengalami. Lebih jauh, hal tersebut memunculkan ideologi dari pengarang, yang nampakknya pengarang dalam cerpen ini kembali menampilkan gagasan feminismenya. Ia tampil sebagai seorang pengarang feminis dengan aliran liberal. Tabel 5.5.3. Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Cermin Peninggalan’ Pertama
Realitas Kebanggaan dan kerinduan ibu terhadap anak perempuan satu-satunya ditandakan melalui monolog yang dilakukan ibu. Mulai dari kehidupan masa mudanya, pernikahan dan kekosongannya, hingga dirinya kembali terisi akibat kenangannya
bersama
anak
perempuan
yang
dirindukannya—semua dipaparkan oleh tokoh ibu. Kedua
Representasi Realitas yang diceritakan secara monolog oleh ibu, menjadikan dirinya sebagai pencerita, sedang anak perempuannya sebagai objek yang diceritakan. Realitas yang dihadirkan kembali pun apa adanya, karena penceritaan
dilakukan
64
melalui
suara
tokoh
yang
mengalami Ketiga
Ideologi Hal tersebut memunculkan ideologi dari pengarang, yang nampaknya pengarang
dalam cerpen
ini kembali
menampilkan gagasan feminismenya aliran liberal.
5.6. CERPEN 6 5.6.1. Sinopsis Cerpen 6: “Rumah Warisan” Pada saat kematian ibunya, Ragil, bungsu yang merupakan anak perempuan satunya-satunya, tidak mendapatkan kesempatan melepaskan ibunya untuk terakhir kali. Kakak-kakaknya ingin segera memakamkan karena menuruti adat kebiasaan yang mereka kenal, padahal menurut keimanan, pemakaman ibunya tidak harus dilangsungkan segera. Meskipun demikian, Ragil mendapat kesempatan lain yaitu mengalami pertemuan dengan ibunya melalui mimpi, dalam keadaanya yang pingsan di pekuburan ibunya. Dalam pertemuan itu, terjadi percakapan antara Ragil dan Ibunya, terutama mengenai tindakan saudara-saudaranya yang tidak memberikan kesempatan Ragil untuk melihat ibunya terakhir kali. Puncak masalah dalam cerpen ini adalah dalam waktu tengah berduka itu, kakak-kakak Ragil memulai pembicaraan rumah warisan bapak dan ibu. Ragil yang merasa kesal, memprotes dan coba menghentikan kakaknya untuk tidak membahas itu. Tapi kakaknya justru kian berceloteh. Bentuk respon Ragil adalah diam dan dia tidak pernah datang mengunjungi rumah orang tuanya itu. Sementara kakaknya mendapat cibiran dari masyarakat.
5.6.2. Interpretasi Cerpen “Rumah Warisan” Cerpen ini nampak seperti sekuel dari cerpen sebelumnya yaitu ‘Cermin Peninggalan’. Diletakkan pada halaman setelah cerpen ‘Cermin Peninggalan’, membuat pembaca tetap terjaga pada kasus dan situasi yang hampir sama. Hanya saja, pada cerpen ‘Rumah Warisan’ ini, pengarang telah menamai anak
65
perempuan, dengan nama Ragil. ‘Rumah Warisan’ berkisah mengenai kakak beradik yang baru saja ditinggal mati ibunya memperdebatkan rumah warisan milik orang tua mereka. Masa duka dipandang sebagai waktu tidak tepat untuk membahas pembagian rumah warisan, sebuah ketidaketisan dalam cerpen ini, adalah poin yang ingin dimaksudkan oleh pengarang. Hal ini disampaikan melalui sosok Ragil yang menentang kakak-kakaknya. Dapat diketahui bahwa subjek pencerita dalam cerpen ini adalah Ragil. Sementara objeknya adalah kakak-kakak lelaki Ragil. “Rumah ini adalah rumah Emak dan Bapak, cermin kehadiran beliau berdua. Pasti beliau berdua pun membagi rumah ini bagi kita berenam,” tiba-tiba Tri, anak nomor tiga, berkata dengan suara keras. “Apa maksudmu Tri?” “Kita masih dalam suasana duka” …….. “Karena aku yang paling mampu, maka aku yang akan membeli rumah ini.” "Sudah!Sudah! Ngaco, kalian semua! Ngomong tidak berperasaan!" Isak tangis dari Ragil, adik perempuan mereka, menampar setiap mulut sehingga langsung terdiam. "Ragil, aku tahu kamu tidak memikirkan soal duniawi ini, karena kamu memang menjadi pemimpin umat bersama suamimu. Begitu juga aku. Selain berhasil menjalankan ibadah tertinggi dalam agamaku, aku tetap mengimbangi dengan sukses duniawi seperti usahaku jadi jadal sapi yang sukses bersama mbakyumu, istriku! Tapi kakak-kakakmu? Lihat, bisa apa mereka? Mencari nafkah saja dengan membesarkan betis........ "
Dalam cerpen ini, subjek dan objek diberikan porsi yang sama untuk menyatakan pandangannya mengenai rumah warisan. Yang menjadi berbeda adalah pendapat dan pandangan siapa yang menang dalam cerita ini dan siapa yang dikucilkan Sebagai subjek, kehadiran dan pendapat Ragil tidak mendapat perhatian saudara-saudaranya. Ragil dikucilkan dalam diskusi keluarga itu. Pendapat Ragil yang dikatakan lebih bijaksana, karena ia memahami nilai-nilai sosial dalam masyarakatnya, sebenarnya bukan hendak memuji Ragil, tapi justru
66
menyindir Ragil untuk tidak terlalu ketat terhadap nilai-nilai tersebut. Hal ini terbukti dari pendapat kakak-kakaknya. Tidak hanya dikucilkan, dari awal penceritaan, sebelum perdebatan mengenai rumah warisan, pengarang memperlihatkan kepada pembaca bagaimana kakak-kakak Ragil memperlakukan Ragil secara berbeda. "Catur sebentar lagi tiba." "Apa Ragil sudah dalam perjalanan?" tanya anak lelaki ketiga yang paling percaya diri menjadi pemimpin perkabungan. "Sudah. Namun, ia hanya dikabari bahwa Emak dalam kondisi kritis." Selain tidak jujur pada Ragil, mereka juga menguburkan ibunya berdasar atas adat kebiasaan yang mereka anut, bukan iman keyakinan mereka. Tampak diabaikannya posisi Ragil sebagai pemimpin agama. Dasar dari perlakuan yang dialami Ragil ini adalah karena dia anak bungsu, perempuan pula. "Itu bukan kemauanku, anakku. Saudara-saudaramu yang menginginkan jasad Emakmu ini segera dimakamkan sebelum petang." "Bukankah Emak masih bisa disemayamkan malamnya diiringi doa-doa penghiburan dan baru dimakamkan esok ahrinya, ketika aku sudah pasti tiba?" "Ragil, Emak tak kuasa menahan kakak-kakakmu. Sedang mereka bersiteguh dengan adat kebiasaan yang mereka kenal. Walaupun dikucilkan, Ragil bukanlah seorang yang kalah. Objek yang diceritakan, mereka lelaki kuat dan kakak-kakak yang penuh kuasa, namun di akhir cerita mereka mengalami kekalahan. Suatu kekalahan besar, bukan kalah karena harta, tapi kehilangan reputasi baik di mata masyarakat. Hal ini karena dalam berpikir logis, seringkali mereka mengabaikan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sejak saat itu, sekembalinya ke kota tempat tinggalnya, Ragil tidak pernah lagi berkunjung ke rumah yang baru saja ditinggalkan emaknya. Sedang kakak-kakaknya, Eko, Tri, Catur tersekat tenggorokannya. Tri yang mengumbar hasrat sebelum waktunya itu, meneguk ludah sendiri wajahnya merah, menanggung cibiran dan sorotan mata menghina dari siapapun yang terhitung keluarga dan para tetangga.
67
Hasil akhir ini ditampilkan oleh pengarang, agar pembaca menilai sendiri seperti apa sebenarnya kakak-kakaknya yang laki-laki ini memperlakukan adik bungsunya, yang adalah perempuan beserta akibat yang diterima. Pengarang menempatkan pembaca sebagai pihak yang pro dengan Ragil. Mereka merasa masih melihat kehadiran kedua orangtua terkasih di antara wajah-wajah mereka dalam cermin. Darah yang mengalir dalam tubuh mereka adalah darah orang tua yang sama. Tapi mengapa harus ada perasaan aneh itu? Selain itu, cuplikan narasi ini semakin memperkuat pemosisian pembaca sebagai Ragil. Posisi pengarang sebagai narator memperlihatkan posisinya yang cenderung mendukung Ragil. Pembaca tidak hanya diajak untuk merasakan perlakuan yang tidak adil yang dialami Ragil, tetapi pengarang sebagai narrator juga mengajak pembaca untuk tidak ragu mendukung Ragil lewat apa yang disampaikan narrator.
5.6.3. Feminis Liberal Gambaran perempuan ditampilkan kontras dalam cerpen ini. Ragil, sebagai perempuan pemimpin umat, tidak mendapat tempat dalam keluarganya. Dia tidak diberi kesempatan oleh saudara-saudaranya untuk mengantarkan pengkuburan ibunya. Tidak hanya itu, dalam perdebatan mengenai rumah warisan pun, pendapat Ragil diabaikan. Posisinya sebagai pendeta, justru dijadikan alasan oleh kakakkakaknya untuk menyangkal pendapat Ragil dalam pembicaraan rumah warisan. Menjadi bungsu dan seorang perempuan memang membuat pendapat Ragil tidak dihargai dan dikucilkan. Di Asia, perempuan umumnya dilihat sebagai pelengkap laki-laki dan dihormati sebagai ibu. Perempuan kurang berhak atas warisan dan kedudukan sangat lemah (Frommel, 2006:19). "Ragil, aku tahu kamu tidak memikirkan soal duniawi ini, karena kamu memang menjadi pemimpin umat bersama suamimu. Begitu juga aku. Selain berhasil menjalankan ibadah tertinggi dalam agamaku, aku tetap mengimbangi dengan sukses duniawi seperti usahaku jadi jadal sapi yang sukses bersama mbakyumu, istriku! Tapi kakak-kakakmu? Lihat, bisa apa mereka? Mencari nafkah saja dengan membesarkan betis........ " 68
Pengarang ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa laki-laki dalam cerpen ini adalah sosok yang ‘mau gampangnya’ yang selalu mengandalkan pikiran logis. Berkumpulnya semua keluarga adalah pilihan waktu yang masuk akal untuk membicarakan rumah warisan, faktanya kedua orang tua pun telah meninggal, siapa yang akan menempati dan memilikinya. Sementara Ragil ditampilkan sebagai anak yang sayang orang tuanya. Bagi Ragil persaudaraan harus tetap dipertahankan tanpa berebut soal warisan. Bahwa di sini kembali diungkapan bahwa perempuan lebih memakai perasan dan menghayati suatu kehidupan, menghayati mengenai bagaimana hubungan mereka dengan yang lain. "Sudah!Sudah! Ngaco, kalian semua! Ngomong tidak berperasaan!" Isak tangis dari Ragil, adik perempuan mereka, menampar setiap mulut sehingga langsung terdiam. Walaupun ditemukan stereotip gender bahwa pria cenderung berpikir logis perempuan menggunakan perasaannya. Akan tetapi dalam cerpen ini ditemukan hal yang berbeda, sejurus dengan pandangan feminis liberal, pengarang ingin menunjukan bahwa setiap manusia punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Jika perempuan mendapat pendidikan yang sama maka perempuan juga mampu bersikap seperti lak-laki. Ragil, sebagai pendeta, ia adalah seorang intelektual dan spiritualis, apa yang dilakukan perempuan sebenarnya bukan hanya karena dia menggunakan perasaan, tapi karena kesadarannya akan realita dalam masyarakat, norma yang berlaku yang harus dipatuhi sehingga tidak membuat keluarga ini dikucilkan oleh lingkungan sosial. Karena di akhir cerita, ditunjukan akibat atas ketidakpedulian kakak-kakaknya,
yang
hanya
mengandalkan
kelogisan
pikiran,
tanpa
memerhatikan norma sosial. Sedang kakak-kakaknya, Eko, Tri, Catur dan ponco tersekat tenggorokannya. Tri, yang mengumbar hasrat sebelum waktunya itu, meneguk ludah sendiri. Wajahnya merah menanggung cibiran dan sorotan mata menghinda dari siapapun yang terhitung keluarga dan para tetangga. “Kuburan orang tua masih basah, sudah ribut soal warisan…” celoteh mereka.
69
Perempuan dalam cerpen ini meskipun tidak mendapat tempat dalam keluarganya, namun ia tampil sebagai seorang perempuan yang memiliki kedudukan tinggi sebagai pendeta dan berani berpendapat. Kekesalan terhadap sikap saudara-saudaranya pun membuatnya bertindak tegas dengan tidak pernah kembali ke rumah warisan orang tuanya. Penempatan Ragil sebagai subjek mengandung muatan ideologis tertentu. Meski ditulis oleh laki-laki, tapi pengarang justru mengangkat realitas ini dengan sudut penceritaan Ragil. Kelelakian pengarang tidak lantas membuatnya sepakat atas dominasi kakak-kakak lelaki Ragil. Karena dominasi kakak-kakak itu tidak menghargai Ragil, sebagai saudara kandungnya. Dan dibalik alasan logis kakakkakak memperebutkan rumah warisan, pengarang melihat hal ini adalah ketidaketisan. Atas alasan itu, maka pengarang menampilkan dampak dari perbuatan kakak-kakak Ragil.
Tabel 5.6.3 Represetasi Feminis dalam Cerpen ‘Rumah Warisan’ Pertama
Realitas Perdebatan rumah warisan antar saudara ditandakan melalui dialog antar saudara. Realitas ini menampilkan sosok Ragil yang tidak dihargai dan dikucilkan oleh saudaranya yang semua laki-laki.
Namun kekalahan
justru terjadi di pihak kakak-kakaknya. Kedua
Representasi Realitas tersebut digambarkan melalui penempatan Ragil sebagai subjek pencerita. Dan kakak-kakak Ragil sebagai objek yang diceritakan
Ketiga
Ideologi Hal tersebut mengandung ideologis tertentu. Kelelakian pengarang tidak
lantas membuatnya sepakat
atas
dominasi kakak-kakak lelaki Ragil. Bukan karena Ragil
70
terlalu berperasaan, tapi kemampuan intelektual dan spiritual Ragil justru lebih jeli melihat norma sosial di masyarakat dibanding kakak-kakaknya. Sehingga dapat diketahui ideologi pengarang mencerminkan pandangan feminis liberal.
5.7. CERPEN 7 5.7.1. Sinopsis Cerpen 7: “Ingat Pesan Sarni” Kisah perjuangan Tiyan yang bertahan dari tekanan paman-pamannya demi memperjuangkan haknya untuk tinggal di rumah warisan kakeknya. Sepeninggalan ayahnya, Tiyan tidak lagi mendapat tempat dalam silsilah keluarga ayahnya. Sarni, Bude Tiyan lah yang banyak membantu Tiyan, memberikan semangat kepada Tiyan dan melakukan pembelaan kepada paman-paman Tiyan yang bersikap penuh kuasa kepada Tiyan. Tiyan banyak mendapat tekanan dari paman-pamannya. Paman Patmo sering membawa istri simpanannya ke rumah Tiyan. Ia menekan Tiyan untuk tidak melaporkan itu pada Ina, istri Patmo. Namun hal ini kemudian diketahui oleh Ina, dan yang disalahkan justru Tiyan, karena dituduh menyembunyikan hal ini. Tekanan yang lain juga datang dari Paman Winar, yang merusak lantai masih basah dengan memasukan drum minyak tanahnya. Merasa memiliki hak yang sama atas rumah tersebut, Tiyan yang kesal, memprotes pamannya. Tetapi ancaman agar Tiyan segera meninggalkan rumah tersebut kerap datang dari Paman Suko, yang justru sudah punya beberapa rumah besar. Tiyan tetap diam dan tidak mencipta masalah, karena saudara-saudaranya tersebut pasti memiliki banyak alasan untuk membuat Tiyan meninggalkan rumah itu. Tapi Tiyan tidak berhenti berjuang, ia tetap ingat pesan Sarni untuk memperjuangkan hak yang sama atas rumah itu.
71
5.7.2. Interpretasi Cerpen “Ingat Pesan Sarni” Bude Sarni, bagi Tiyan adalah pembela hidupnya. Tiyan yang tinggal di rumah warisan kakeknya, Mbah Karso, mendapat tekanan dari paman-pamannya sejak ayahnya meninggal. Topik yang diangkat dalam cerpen ketujuh ini tidak jauh berbeda dengan cerpen keenam, masih terkait dengan permasalahan rumah warisan. Yang menjadi berbeda adalah dalam cerpen ini, adalah tekanan yang dialami Tiyan atas rumah kakek yang ditempatinya. Kematian ayahnya, membuat posisi Tiyan lemah di hadapan paman-pamannya, padahal Tiyan pun memiliki hak atas rumah tersebut. ‘Ingat
Pesan
Sarni’
menyiratkan
perjuangan
perempuan
untuk
mendapatkan haknya atas rumah warisan keluarga besarnya. Salah satu yang membuat dia bertahan dari tekanan-tekanan pamannya adalah dukungan dan pesan dari budenya, Sarni. Tiyan yang tidak punya rumah sendiri, menempati rumah warisan kakek itu dengan duka. "Kamu harus membangun kamar mandi sebagai ganti pembayaran kontrak rumah ini," perintah saudara ayahnya lagi.. "Kamu harus membayar pajak atas rumah ini," ujar mereka. Dalam cerpen ini dapat diketahui bahwa pengarang adalah narrator the third person omniscient, pengarang hadir dalam cerita yang dibuatnya sebagai pelaku ketiga yang serba tahu. Dalam hal ini pengarang masih mungkin menyebutkan namanya sendiri, seperti saya atau aku. Tiyan bernadzar, "Aku tidak mau Bude meninggal. Bude harus hidup dan sembuh. Meski Bude sakit-sakitan memkai kursi roda, Bude harus hidup dan menjadi orang pertama yang duduk di rumah baruku jika aku punya nanti." Bude Sarni, bagi Tiyan adalah pembela hidupnya. Tiyan yang tinggal di rumah warisan kakeknya, Mbah Karso, mendapat tekanan dari paman-pamannya sejak ayahnya meninggal. Tidak hanya sebagai narrator, pengarang juga menempatkan dirinya sebagai sosok Tiyan. Kecenderungan pengarang terhadap tokoh Tiyan akhirnya menempatkan perempuan ini sebagai subjek pencerita sementara paman-paman Tiyan sebagai objek yang diceritakan. Sebagai subjek cerita, Tiyan menceritakan
72
kepada pembaca bagaimana sosok dirinya yang lemah dan tidak berdaya harus berjuang dan bertahan dari tekanan paman-pamannya. Agar perjuangan Tiyan dan penindasan yang dialaminya menyentuh afektif pembaca, di dalam narasi cerita, pengarang, sebagai narrator membawa pembaca untuk fokus pada sosok Tiyan melalui ditunjukannya gambaran pamanpamannya yang berkuasa. Pengarang ingin mengajak pembaca bersama-sama melihat dan juga bersimpati mendukung tokoh Tiyan yang mendapat tekanan dari paman-pamannya. “Rumah dan tanah ini akan kuagrariakan. Separuh akan kujual dan separuh akan kuberikan Tiyan!”kata Suko, adik Parto, almarhum ayah Tiyan. “Lha Tiyan, Eyi, Kerti dan Diman bagaimana?” “Biar mereka keluar dari rumah ini,”jawab Suko tanpa perasaan. Dengan posisi Tiyan yang lemah karena tidak ada ayah pelindungnya, terhadap Patmo ini pun Tiyan tidak berkuasa menolak kehadiran mereka …… Suami yang berselingkuh itu menekan Tiyan, "Awas kalau kamu laporkan Mbak Ina, kalian harus angkat kaki dari rumah ini!" Tiyan merasa, “Aku tidak mampu menolak kehadiran mereka karena De Patmo-lah yang merasa lebih berhak atas rumah ini daripada aku.” "Jangan macam-macam, kamu. Kulaporkan Lik Suko, nanti kamu diusir! ketus Winar. Selalu disebut-sebut untuk mengusir Tiyan adalah Suko, saudara paman-paman itu dan saudara almarhum ayah Tiyan yang paling kaya, yang punya rumah besar-besar. Pihak otoriter menekan yang lemah memang kerap tampil dalam teks-teks. Tema-tema semacam ini memang menjadi suatu hal yang menarik. Pembaca seolah diajak untuk merefleksikan bagaimana pihak yang berkuasa ini cenderung menggunakan kekuasaannya dengan semena-mena. Sementara mereka yang ditindas adalah mereka yang lemah tidak berdaya. Ini terjadi pula dalam cerpen ‘Ingat Pesan Sarni’. Pengarang ingin pembacanya tidak menutup mata terhadap mereka yang lemah dan kritis terhadap pemilik kekuasaan.
73
Walaupun gambaran perempuan dalam tokoh ini masih seperti stereotip perempuan yang lemah dan tidak berdaya, namun di akhir cerita, pengarang menunjukan kepada pembaca tentang kekuatan dari perempuan ini. Seminggu setelah kepergian Sarni ke alam baka, yang dianggap tradisi sebagai waktu lewatnya masa berkabung 7 hari, pilar-pilar warung yang dibangun Diman, suami Tiyan sudah berisi barangbarang dagangan. Dengan bersemangat Tiyan mengingat pesan almarhumah Sarni untuk menjaga hak asainya yang dalam kepungan ancaman meski oleh darah daging sendiri. Dalam menghadapi tekanan tersebut, pertahanan yang dilakukan Tiyan adalah mengingat pesan dari bude-nya dengan diam, tidak membuat masalah namun tetap menjaga apa yang menjadi hak nya. Inilah kekuatan yang pengarang tampilkan akan sosok perempuan dalam cerpen ini. Karena di tengah perjuangannya, Bude Sarni kemudian meninggal dunia, tapi Tiyan tetap bersemangat untuk memperjuangkan haknya. Akhir dari cerpen ini adalah open ended, hasil perjuangan Tiyan belum nampak. Yang hadir dalam kesimpulan adalah Tiyan yang tetap bersemangat untuk berjuang. Berbeda dengan cerpen ke-4 ‘Kekuatanku, yang mana perempuan berhasil atas perjuangannya, dan juga cerpen ke-6 yang berakhir dengan rusaknya nama baik dari kakak-kakak Ragil.
5.7.3. Feminis Sosialis Dalam cerita ini, Tiyan mengalami penindasan tidak hanya karena dominasi kekuasaan pamannya, tetapi juga karena tidak adanya sosok bapak, yang mendukungnya. Kehadiran bapaknya menandakan kekuatan patriaki, yang dalam hal ini tidak lagi dimiliki oleh Tiyan. Ini pula yang semakin membuatnya ditindas dan tidak dihargai. Tidak hanya mereka yang berkuasa yang memiliki modal, yang melakukan penindasaan kepada Tiyan. Dukungan ayahnya sebagai simbol kekuatan patriaki sebenarnya yang menjadi poin utama penyebab Tiyan ditindas. Seperti apa yang dikatakan oleh feminis
sosialis,
kapitalisme
bukanlah
satu-satunya
penyebab
utama
keterbelakangan perempuan. Karena perempuan di negara sosialis mandiri dan
74
berdaya saing. Namun di negara ini, yang tetap menimbulkan penindasan karena tetap berada dalam genggaman patriaki. Feminis sosialis melihat keadaan penindasan perempuan dibentuk dan pertahankan oleh struktur sosial dalam masyarakat. Agenda dari aliran ini adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriaki. Aliran ini menekankan bahwa feminis seharusnya juga melihat posisi perempuan dalam keluarga, di tempat kerja, peran reproduksi dan seksual perempuan serta peran produktif perempuan. Dalam cerpen ini, perjuangan yang tampak dari penindasaan yang terjadi adalah Tiyan memahami betul apa yang menjadi haknya. Meskipun ini atas dukungan dari Bude-nya Sarni. Tapi, apalah artinya dukungan eksternal, tanpa motivasi yang kuat dari dalam diri sendiri. Perjuangan dari penindasaan ini sepenuhnya bergantung pada Tiyan. Upaya yang dilakukan Tiyan adalah terus memperjuangkan haknya kala keadaan tetap menekannya. Penderitaan dan perjuangan yang dilakukan Tiyan mencerminkan perjuangan dari kaum feminis sosialis. Realitas yang dihadirkan kembali melalui penempatan Tiyan sebagai pencerita dalam cerpen ini menghasilkan realitas yang tampil apa adanya. Dengan diceritakan langsung oleh korbannya menyajikan fakta yang utuh atau tidak ada bagian
yang
dihilangkan.
Pengarang
dalam
cerpen
ingin
menunjukan
kepeduliannya terhadap mereka yang dihilangkan haknya, terutama perempuan yang kerap kali dianggap lemah tak berdaya sehingga menjadi korban kekuasaan. Dengan memaparkan perjuangan dan karakter Tiyan yang tak kenal menyerah adalah bukti apresiasi pengarang pada pejuang hak tersebut. Tabel 5.7.3 Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Ingat Pesan Sarni’ Pertama
Realitas ‘Ingat Pesan Sarni’ menyiratkan perjuangan perempuan untuk mendapatkan haknya atas rumah warisan keluarga besarnya. Realitas ini ditandakan melalui dialog dengan para tokoh dan pemaparan dari Tiyan sendiri sebagai korban dalam permasalahan rumah warisan.
75
Kedua
Representasi Realitas tersebut digambarkan melalui penempatan Tiyan sebagai subjek pencerita. Dan paman-pamannya sebagai objek yang diceritakan. Realitas memperjuangkan hak atas rumah warisan yang diceritakan langsung oleh korbannya, menjadikan realitas tersebut tampil apa adanya. Artinya, tidak ada bagian yang dihilangkan dalam proses menghadirkan kembali realitas ini kepada khalayak.
Ketiga
Ideologi Representasi perjuangan hak atas rumah warisan tersebut mencerminkan
pemikiran
feminis
sosialis
dari
pengarang. Pengarang dalam cerpen ingin menunjukan kepeduliannya
terhadap
mereka
yang
dihilangkan
haknya, terutama perempuan yang kerap kali dianggap lemah tak berdaya sehingga menjadi korban kekuasaan. Dengan memaparkan perjuangan dan karakter Tiyan yang tak kenal menyerah adalah bukti apresiasi pengarang pada pejuang hak tersebut.
5.8. CERPEN 8 5.8.1. Sinopsis Cerpen 8 “Tetangga Nenek” Cerita seorang
perempuan paruh baya
yang
digambarkan setia
mendampingi suaminya yang telah lama terbaring sakit. Merawat, melayani dan mendampingi suaminya menurut perempuan ini adalah wujud kesetiaan dan pengabdian dia pada suaminya. ”Kalau bukan istri yang setia, tak bakalan aku melakukan ini semua.” Cerita kehidupannya bersama suaminya itu, ia ceritakan kepada tamu yang datang menghantar bingkisan. Perempuan ini menceritakan kepada tamunya bagaimana dulu suaminya yang gagah perkasa bertugas sebagai tentara, dan
76
kebanggaannya sebagai istri tentara. Kini barang-barang perabotan hasil jerih payah suaminya pada masa silam, adalah kenangan yang menemani perempuan ini merawat suaminya. Karena tidak ada siapapun yang menemani ia merawat suaminya. Seorang diri perempuan ini menyalin pakaian, mencuci, mengeringkan dan memakaikan pakaian pada suaminya, menyuapi makanan, bahkan ia rela tidur di bawah pembaringan suaminya dengan kaki menggantung dan terbenam air banjir. Setelah bercerita mengenai suaminya, perempuan ini kemudian ia menceritakan kenangan tentang nenek dari tamu pengantar bingkisan itu. Nyatanya, nenek itu telah wafat hampir dua puluh tahun.
5.8.2. Interpretasi Cerpen “Tetangga Nenek” Cerpen ‘Tetangga Nenek’ menyuratkan sebuah pesan tentang pengorbanan seorang istri pada suaminya yang sakit. Perempuan ini bercerita banyak tentang bagaimana suaminya sewaktu masih sehat dan bagaimana ia merawat suaminya kini. Pengorbanan yang ia lakukan pada suaminya benar-benar membuat perempuan ini letih dan terkesan dia minta dikasihani. "Kalau bukan istri yang setia, tak bakalan aku melakukan ini semua," ucapnya pada tamu pengantar bingkisan yang telah menyebrangi halaman tergenang air tak ubahnya danau. Kesetiaannya dalam mendampingi suaminya ditampilkan sebagai suatu hal yang seharusnya patut mendapatkan apresiasi. Jika memang menjadi seorang yang setia adalah suatu keharusan, kenapa dia justru mengungkapkan hal ini dengan sebuah penekanan. Perempuan itu yang menyalin pakaian lelaki itu, mencuci, mengeringkan dan memakaikan. Ia membasahi wajah suaminya agar terasa lebih segar. Ia yang menyuapi makanan dan menegukkan ai minum. Perempuan itu juga yang rela tidur di bawah pembaringan suami, meski kadang harus berbaring dengan kaki menggantung dan terbenam air, yang menyulap ranjang mereka laksana perahu dalam rumah.
77
"Dulu Bapak gagah perkasa dan bertugas di berbagai kota sebagai tentara," kenang perempuan itu di sisi sang suami, "Aku selalu mengikuti ke manapun ia pergi. Pindah-pindah dari daerah ke daerah tempatnya bertugas." "Dua belas tahun kami hidup seperti ini. Dua belas tahun," perkataan perempuan itu meredup. "Setiap hari akulah yang melakukan semua untuknya. Seandainya aku bukan istri yang setia…," ucapnya hendak berlinang air mata. Perempuan ini memang nampak membutuhkan apresiasi atas pengorbanan yang dia lakukan pada suaminya. Banyak hal ia lakukan untuk merawat suaminya dalam waktu yang terbilang lama. Munculnya narasi kenangan kebanggaan pada suaminya selama masih sehat itu menandakan kerinduannya di tengah kepenatannya merawat suaminya seorang diri. Subjek pencerita dalam cerpen ini adalah tamu yang datang mengunjungi perempuan ini. Meskipun lebih banyak diam dan mendengarkan cerita dari tokoh istri, tetapi di akhir cerpen dapat diketahui bahwa kesimpulan atas cerita ini disampaikan melalui tokoh tamu. Aku tidak sanggup berkata apa-apa, memandang sumur belakang rumah yang kondisinya sungguh jauh berbeda dengan yang dikatakan perempuan itu. Lebih-lebih , air banjir telah menelan semua yang tumbuh dan berdiri di tanah, dihadapan kami berdiri memandang ke luar pintu. Dalam kondisi banjir seluruh wilayah kota, tempat lelaki itu tergeletak ditemani istri dan dua kucingnya, makin terpencil. Nenekku sendiri sudah wafat hampir dua puluh tahun lewat… Seperti diuraikan sebelumnya, ‘Tetangga Nenek’ dari si tamu, adalah topik penceritaan ini. Tokoh istri dalam hal ini meskipun bercerita banyak mengenai dirinya dan suaminya, justru dirinya adalah objek dari penceritaan ini. Dia bukanlah pencerita. Karena bukan dirinya yang memberikan penjelasan kepada pembaca mengenai maksud penceritaan, tetapi sang tamulah yang menjelaskan kepada pembaca perihal tokoh istri yang berusaha mengalihkan permasalahan hidupnya dengan bercerita tentang nenek dari tamu ini. Tidak hadirnya pendapat sang istri dalam kesimpulan kemudian berakibat pada tidak lengkapnya informasi yang didapat oleh pembaca. Teks cerpen ini pun tampil dengan kecenderungan mendukung pendapat dari tokoh tamu, sebagai subjek pencerita. Penilaian atas
78
objek cerita pun ditentukan oleh pencerita. Hal ini akhirnya menjadikan pembaca memposisikan diri sebagai tamu yang datang berkunjung. Aku, tamu perempuan itu, memandang dia dengan heran. Perempuan itu telah bangkit, ia berjalan membelah air, menyisakan dan meninggalkan riak da gelombang kecil dalam rumah. Suaminya ditinggal sendiri di pembaringan atas. Aku terpaksa berdiri basah kaki, berjalan mengikuti… membelah air sedalam lutut kaki. Aku menyusul sampai di belakng perempuan itu, yang sudah berdiri di pintu setengah atas terbuka, memandang keluar, melintas kebun pisang dan pagar beluntas, melihat belakang rumah sebelah, yang dulu merupakan rumah tinggal nenekku, bersama kedua orangtuaku, bersama kakakku, dan aku yang masih kecil. "Lihat Nak.. Kalian sedang main di air sumur nenekmu.." Aku tidak sanggup berkata apa-apa, memandang sumur belakang rumah yang kondisinya sungguh jauh berbeda dengan yang dikatakan perempuan itu. Lebih-lebih , air banjir telah menelan semua yang tumbuh dan berdiri di tanah, dihadapan kami berdiri memandang ke luar pintu. Dalam kondisi banjir seluruh wilayah kota, tempat lelaki itu tergeletak ditemani istri dan dua kucingnya, makin terpencil. Nenekku sendiri sudah wafat hampir dua puluh tahun lewat… Akibat bosan merawat suaminya, tokoh istri mencari penghiburan dengan mengalihkan pembicaraan. Kepada tamu yang datang berkunjung ia menceritakan kenangannya bersama nenek sang tamu. Seperti coba mengalihkan perasaan sedih dan kesepiaannya. Karena faktanya keadaan yang diceritakan oleh perempuan ini sangat jauh berbeda, nenek dari tamu pun telah lama meninggal dunia. Hal ini semakin memperjelas bahwa perempuan ini tidak ingin larut dalam kesedihan dan kebosanannya. Maksud cerita ini disampaikan bukan oleh dirinya tetapi oleh tamu yang datang berkunjung, maka pembaca pun hanya mengetahui hal ini dari sisi sang tamu. Karena pendapat dari perempuan ini tidak hadir dalam cerpen. Akhirnya hal ini pun menimbulkan kerancuan pada kognisi dalam pembacaannya. Mengapa demikian? Di awal, perempuan ini panjang lebar menceritakan kisahnya merawat suami dengan tiba-tiba ia ganti menceritakan nenek dari tamu ini. Maksud dari peralihan pembicaraan yang dia lakukan, tidak dia sampaikan oleh pembaca. Narasi yang hadir tidak cukup lengkap memberikan
79
informasi kepada pembaca. Justru sang tamu yang kemudian menyampaikan hal tersebut kepada pembaca. Akibatnya, pembaca hanya mendapat informasi dari satu sisi saja.
5.8.3.
Ideologi Familialisme Cerpen ‘Tetangga Nenek’ mengisahkan cerita perempuan yang merasa
tertekan dan bosan terus menerus merawat suaminya. Penekanan menjadi istri yang setia menunjukan bahwa perempuan ini membutuhkan apresiasi atas pekerjaan yang ia lakukan seorang diri. Hal ini wajar sekali, karena pelayanan 24 jam untuk suaminya tentu membuatnya letih dan bosan. Akan tetapi penempatan tamu sebagai pencerita akhirnya memunculkan ideologi familialisme, yang justru kian menyudutkan posisi perempuan. Ideologi
familialisme
atau
kekeluargaan
adalah
ideologi
yang
mengkonstruksi perempuan berperan di rumah tangga sebagai ibu rumah tangga, istri dan ibu yang baik. Sebagai istri yang baik perempuan harus mendampingi suami untuk mencapai cita-cita hidup. Ia harus pandai menjaga diri, baik dalam bersikap maupun bertingkah laku, sehingga akan selalu disayangi suaminya. Lebih lanjut, Abdullah (1997 dalam Sastriyani, 2009: 482) menyatakan peran perempuan sebagai istri dan ibu sangat dominan, hal ini tidak saja didefinisikan oleh laki-laki tetapi juga oleh perempuan. Ideologi familialisme yang direproduksi dalam berbagai bentuk diskursus telah menjadi kekuatan penting dalam menyadarkan peran domestik perempuan. Kesetiaan seharusnya memanglah hal yang harus dilakukan baik oleh istri maupun suami. Menurut ideologi ini menjadi setia adalah kecenderungan di pihak istri, karena sangat tabu kalau istri melanggar kesetiaan pernikahan. Istri yang baik, harus mendampingi suaminya dalam berbagai keadaan. Tidak demikian dengan lelaki. Menurut Beauvoir, laki-laki dapat menguasai perempuan dengan menciptakan mitos bahwa perempuan yang dipuja laki-laki adalah perempuan yang mau mengorbankan dirinya untuk laki-laki. Dalam konteks cerpen ini, pengarang ingin menyampaikan bahwa tak perlulah perempuan mengasihani diri
80
sendiri dan memberi penekanan pada kesetiaannya. Karena memang seperti itulah yang harusnya ia lakukan untuk suaminya. Pemikiran pengarang ini tentu dipengaruhi secara langsung dengan kelelakian pengarang. Meski pada cerpen sebelumnya, pengarang telah menampilkan kepeduliaan pada penderitaan dan perjuangan perempuan. Disadari ataupun tidak, pemikiran patriaki pengarang akhirnya melahirkan gagasan familialisme dalam cerpen ini. Tabel 5.8.3. Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Tetangga Nenek’ Pertama
Realitas Kebosanan dan kepenatan seorang istri dalam merawat suaminya. Dalam ceritanya kepada tamu, istri tersebut ingin
mendapatkan
apresiasi
atas
kesetiaan
dan
pengorbanan yang dilakukannya. Usai bercerita tentang suaminya, dia lantas beralih pada cerita tentang nenek dari tamu itu. Fakta ini diceritakan oleh tokoh istri sendiri namun yang bertindak sebagai pencerita adalah tamu, realitas dan penilaian atas apa yang diceritakan istri didefinisikan oleh tamu. Kedua
Representasi Realitas tersebut dikonstruksi melalui penempatan tokoh tamu sebagai pencerita sementara tokoh istri sebagai objek
yang
diceritakan.
Maksud
cerita
ini
pun
disampaikan bukan oleh diri istri sendiri tetapi oleh orang lain, yakni tamu yang datang berkunjung. Dalam hal ini realitas digambarkan tidak sebagaimana mestinya. Karena bukan pendapat dari istri sendiri yang muncul, tapi realitas yang diceritakan dan didefinisikan oleh orang lain.
81
Ketiga
Ideologi Ketidakhadiran suara dari istri, menjadikan cerpen ini menampilkan pemikiran yang menguntungkan bagi tamu sebagai pencerita. Penempatan tamu sebagai pencerita akhirnya memunculkan ideologi familiasme, yang justru kian menyudutkan posisi perempuan. Ideologi ini mengkontruksi perempuan sebagai istri yang baik, melayani dan setia kepada suami. Dalam konteks cerpen ini, pengarang ingin menyampaikan bahwa tak perlulah perempuan mengasihani diri sendiri dan memberi penekanan pada kesetiaannya. Karena memang seperti itulah yang harusnya ia lakukan untuk suaminya. Pemikiran pengarang ini tentu dipengaruhi secara langsung dengan kelelakian pengarang.
5.9. CERPEN 9 5.9.1. Sinopsis Cerpen 9: “Korban Banjir” Kisah suami istri yang menjadi korban banjir dan sedang mengungsi di sebuah rumah ibadat milik umat beragama lain. Di tempat peribadatan itu berkumpul semua orang dari wilayah sekitar rumah ibadat yang besar tersebut. Di sana, para istri terlibat di dapur umum, sementara para laki-laki membantu di posko bencana. Saat bantuan datang, para lelaki segera berkumpul menuju posko bencana banjir. Masalah terjadi saat seorang lelaki menanyakan kepada pemimpin rapat, apakah orang yang beragama lain harus kita bantu atau dibiarkan saja. Hal ini sontak melukai perasaan tokoh suami. Ia pun segera mendatangi istrinya, menceritakan kejadian yang terjadi. Istrinya menjadi teman curhat suami. Meski tidak turut menyaksikan kejadian tersebut, istrinya turut merasakan bagaimana mereka yang berbeda keyakinan mengalami diskrimasi di tengah bencana banjir.
82
5.9.2. Interpretasi Cerpen “Korban Banjir” Cerita pendek ini mengisahkan sepasang suami istri yang sedang menjadi korban banjir, mengalami diskriminasi agama. Suaminya adalah orang pertama yang mengalami hal ini, karena kejadian itu terjadi disaat pembagian bahan pangan di posko, dimana para lelaki berkumpul dan bertugas di tempat itu. Dapur umum telah didirikan. Posko bencana banjir berdiri di depan rumah ibadat. Segera kami berbagi tugas. Para lakilaki membantu di posko-posko itu, sedangkan kami kaum wanita terlibat di dapur umum. Sisanya duduk di alas tidur masing-masing bersama anak-anak yang masih kecil. Yang menarik dalam penceritaan ini adalah pengarang memainkan perannya sebagai sosok istri. Penyebutan kata ganti ‘kami’ untuk kaum wanita memberikan gambaran yang jelas kecenderungan cerpen ini terhadap tokoh istri. Dalam cerpen ini yang pertama terlihat bagaimana istri ditempatkan sebagai subjek. Dari awal pengarang menampilkan narasi yang mengacu pada sosok istri ini melalui gambaran pembagian tugas di pengungsian banjir. Seperti yang diuraikan di atas, pengarang menggunakan kata ganti ‘kami’ yang mengacu pada kaum wanita, menandakan bahwa pencerita dalam cerpen ini adalah perempuan. Selain itu, bukti lain dapat dilihat pada cuplikan berikut. "Bu… kepalaku pusing," keluhnya "Ini digosok dengan minyak angin, Pak. Lapar ya, Pak ? Kedinginan…?" "Lebih dari itu, bu" "Kenapa?" "Perasaanku yang terluka." "Ada apa?" "Pada saat kondisi banjir seperti ini.. Masih ada diskriminasi." Aku terdiam. Kami berharap, diskriminasi itu hanya sebatas kata tanya tanpa pikiran serius. Sebagai sesama umat manusia, kami korban banjir dari agama lain yang ikut mengungsi di rumah ibadah yang bukan rumah ibadah agama kami, pun butuh penerimaan bukan setengah hati. Tokoh suami memang yang mengetahui dan mengalami lebih dulu diskriminasi tersebut. Akan tetapi, bagaimana diskrimasi ditemukan oleh
83
suaminya dan mengena pada pasangan suami istri tersebut, diceritakan oleh tokoh istri kepada pembaca. Bagaimana pembaca mengetahui bahwa hal pembagian sembako itu ternyata melukai perasaan juga diungkapkan oleh tokoh istri sebagai pencerita. Apa akibatnya? Teks ini memberikan gambaran yang berbeda mengenai sosok perempuan. Perempuan dalam cerpen ini tidak lagi tampil sebagai kanca wingking, tapi sebagai partner suami dan penolong dalam perjuangan hidup. Dia juga perempuan yang cerdas dan kritis. Melalui suaranya, dia menyentil nurani pembaca akan diskrimasi agama, agar tidak terjadi lagi diskriminasi terhadap mereka yang minoritas. Tidak disebutkannya salah satu agama juga merupakan cara bijak untuk tidak melakukan generalisasi tindak diskriminasi pada salah satu agama atau penghakiman terhadap agama tertentu. Dalam pembacaan dominan, pembaca diposisikan sebagai tokoh istri. Dengan diposisikan sebagai tokoh istri, harapannya pembaca pun menjadi kritis saat menghadapi masalah sejenis.
5.9.3. Feminis Liberal Memang masih terdapat dikotomi pekerjaan antara laki-laki dan perempuan, hal ini digambarkan sebagai cerminan yang terjadi dalam masyarakat kita saat banjir. Laki-laki berada di posko bantuan, sementara para perempuan sibuk di dapur umum. Meski demikian, seperti diungkapkan di atas, tokoh perempuan dalam istri ini ditampilkan berbeda. Karena dia tampil sebagai teman sekaligus penolong bagi suaminya. Saat mendengar cerita dari suaminya, ia tidak kian memanas-manasi permasalahan itu. Perempuan ini justru terdiam. Ibarat minyak yang dipanasi, perempuan ini tidak memasukan bongkahan es ke dalam api, hingga tidak menyulut percikan panas. Dirinya berusaha memadamkan api itu melalui pertanyaan kritis yang diajukan. Di akhir cerita kita dapat mengetahui bagaimana perempuan ini mengatasnamakan dirinya dan suaminya menyampaikan pikiran kritisnya mengenai diskriminasi yang menimpa mereka. Hal ini menunjukan bahwa perempuan pun memiliki kapasitas untuk berpikir rasional dan kritis, seperti poin
84
perjuangan dari feminis liberal. Feminis liberal sangat menitikberatkan perjuangannya pada ide keunikan manusia yang otonom yang mampu membuat pilihan-pilihan bebas karena rasionalitasnya. Penempatan perempuan sebagai pencerita kian mencerminkan ideologi feminisme liberal. Tabel 5.9.3 Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Korban Banjir’ Pertama
Realitas Sepasang suami istri yang sedang menjadi korban banjir, mengalami diskriminasi agama di tempat pengungsian, yaitu rumah ibadat umat agama lain.
Kedua
Representasi Realitas ini ditandakan melalui penceritaan
yang
dilakukan oleh tokoh istri. Sebagai seorang yang tidak mengalami diskrimasi tersebut, hal ini menghilangkan gagasan
dari
tokoh
suami
sebagai
tokoh
yang
menyaksikan langsung bagaimana dirinya dikucilkan. Karakter perempuan yang diam dan tidak memanasmanasi masalah juga menciptakan realitas diskrimasi yang berbeda, karena didefinisikan dan ditampilkan dengan cara yang berbeda. Ketiga
Ideologi Hal tersebut mengandung ideologis tertentu. Teks ini memberikan gambaran yang berbeda mengenai sosok perempuan. Perempuan dalam cerpen ini tidak lagi tampil sebagai kanca wingking, tapi sebagai partner suami dan penolong dalam perjuangan hidup. Dia juga perempuan yang cerdas dan bijak, dengan sikapnya yang ia tidak kian memanas-manasi permasalahan itu, tetapi justru terdiam. Pemikiran tentang diskriminasi yang disampaikan
di
85
akhir
cerita
mencerminkan
poin
perjuangan feminis liberal, bahwa perempuan ternyata juga mampu berpikir rasional dan kritis.
5.10. CERPEN 10 5.10.1. Sinopsis Cerpen 10: “Banjir Bik Sarti” Cerita pendek ini dengan latar kondisi daerah banjir. Cerpen ini mengisahkan kekesalan tokoh Ibu terhadap Bik Sarti, seorang pembantu yang bekerja di rumahnya. Ibu kesal karena sejak hari pertama ia di pengungsian, Bik Sarti tidak pernah menjenguknya. Padahal sangat mudah bagi Bik Sarti untuk sekedar mampir dan menegok ibu guna bersilaturahim kala bencana. Apalagi Bik Sarti telah mendapatkan haknya, pembayaran upah kerjanya. Atas dasar itulah Ibu menuntut. Namun hal ini dianggap tidak masuk akal oleh anaknya, karena Bik Sarti pun juga terkena musibah banjir, sementara Ibunya yang terbaring sakit, tidak mengerti bagaimana kondisi banjir di daerah itu. Tokoh ibu pun acuh terhadap pernyataan anaknya. Kekesalannya memuncak, saat ibu kembali ke rumah. Sesampai di depan rumah, tampak Bik Sarti di seberang rumah Ibu, namun tidak ada sapaan dari Bik Sarti. Pada tanggal 5 Januari, Ibu pergi menuju ke rumah Bik Sarti untuk memberikan upah kerja. Terjadi dialog diantara keduanya. Dan di hari yang sama, Bik Sarti kembali datang ke rumah untuk melakukan tugasnya sebagai pembantu rumah tangga. Bik Sarti juga mengajak keluarganya berkunjung ke rumah ibu untuk mengucapkan selamat tahun baru.
5.10.2. Interpretasi Cerpen Banjir Bik Sarti Dalam cerpen ini yang menarik adalah konflik terjadi antara perempuan. Sangat berbeda dengan cerpen-cerpen sebelumnya. Bila pada sebelumnya, perempuan-perempuan harus menghadapi konflik dengan saudaranya laki-laki atau majikannya laki-laki. Pada cerpen ini ditemukan hal yang baru. Majikan perempuan berkonflik dengan pembantu perempuannya.
86
"Ibu, sekarang kan banjir. Semua orang tidak dapat menjalankan kehidupannya secara normal. Tidak ada yang dapat bekerja. Mereka juga butuh pertolongan. Untuk itulah dimana-mana didirikan posko bantuan bencana banjir," aku terus mengingatkan ibu. "Biar! Yang pasti ia tidak menjalankan kewajibannya. Padahal ia sudah mendapatkan haknya. Kubayar!" Bagiku pernyataan ibu ini tidak masuk akal. Satu-satunya tuntutannya yang bisa kuterima adalah mengapa Bik Sarti sama sekali tidak mampir di tempat pengungsian ibu. Padahal, tempat itu sangat strategis dan selalu dilewatinya bila ia dari pengungsiaan menengok rumahnya atau sebaliknya dari rumahnya yang kebanjiran kembali mengungsi di tempat penampungan korban banjir. Masih dengan latar cerita yang sama dengan dua cerpen sebelumnya ‘Tetangga Nenek’ dan ‘Korban Banjir’, yaitu suasana banjir, Banjir Bik Sarti menyoroti masalah tuntutan ibu kepada pembantu rumah tangganya yang tidak menjalankan tugasnya pada saat banjir. Ibu sudah melakukan kewajibannya, yaitu membayar upah tapi Bik Sarti tidak menjalankannya. Hal ini lah yang menjadi poin utama kekesalan ibu. Mengetahui kedatangan ibu berjaket hangat di atas dasternya dan berjalan perlahan mebenamkan kaki di genangan air yang masih ada di gang. Bik Sarti hanya memandangnya dan Cuma tertawa. Tanpa menyapa ibu! Betapa dongkol hati ibu. Perilaku Bik Sarti terus menjadi bulanbulanan omelan ibu begitu sudah di dalam rumah. "Kurang ajar. Tidak tahu adat!" Namun perlu diperhatikan pula bahwa penceritaan ini disampaikan oleh tokoh anak, sebagai pencerita. Hal ini menyebabkan realitas tampil tidak utuh, karena ada fakta yang hilang. Hanya melalui pendapat anak saja pembaca mengetahui tuntutan ibu tersebut. Kekesalan ibu terhadap Bik Sarti tidak keluar dari ibu sendiri, tetapi ditampilkan melalui tokoh anak. Bagaimana konflik ini dipaparkan adalah melalui tokoh anak. Dia-lah yang menceritakan kepada pembaca bagaimana kekesalan ibu dianggap sebagai suatu hal yang tidak masuk akal. Tidak menutup kemungkinan ada kecenderungan untuk melebih-lebihkan hal ini. Bagiku pernyataan ibu ini tidak masuk akal. Satu-satunya tuntutannya yang bisa kuterima adalah mengapa Bik Sarti sama sekali tidak mampir di tempat pengungsian ibu. Padahal, tempat itu sangat strategis dan selalu dilewatinya bila ia dari pengungsiaan menengok rumahnya atau sebaliknya dari rumahnya yang kebanjiran kembali mengungsi di tempat penampungan korban banjir. 87
Buktinya, baru saja aku bertemu Bik Sarti bersama anaknya, tepat di depan tempat pengungsian ibu. Aku pun berkata kepadanya, "Ibu mengungsi di sini." Namun yang ditonjolkan oleh Bik Sarti adalah ia sendiri yang sakit-sakitan. Dampak yang terjadi kemudian dapat ditemukan pada bagian anti klimaks, dimana ibu menemui Bik Sarti lebih dahulu, demi memperbaiki relasi. Dari cuplikan dialog di bawah, pembaca tidak mendapatkan informasi mengenai alasan dari perubahan sikap ibu ini. Apakah Ibu masih jengkel ataukah tidak terhadap Bik Sarti, tidak diketahui dalam teks. Tidak ditunjukan alasan dari perubahan sikap ibu, selain karena dia memang harus melakukan kewajibannya membayar upah Bik Sarti setiap bulan. Sehingga kesan yang muncul tentang sosok ibu adalah seorang yang memiliki kecenderungan ingin dinilai baik dan terhindari dari tuduhan tidak masuk akal yang dilontarkan si anak sebelumnya. Kulihat dari kejauhan, antara mereka berdua terjadi dialog! Dialog, yang baru pertama kali dilakukan selama banjir melanda kota kami. "Sudah kuberikan uang upah untuknya buat bulan kerja yang telah lewat!" ungkap ibu sekembali di rumah. "Bagus, Ibu. Anggap saja pembayaran penuh satu bulan dengan tujuh hari tanpa kerjanya Bik Sarti itu sebagai bantuan korban banjir!" ujarku sambil mengacungkan dua jempol tangan. Tidak mengherankan karena dalam cerpen ini yang bertindak sebagai pencerita adalah tokoh anak, dirinya melakukan penilaian atas sikap ibunya. Dominasi
tokoh
anak
kemudian
menempatkan
pembaca
seperti
memerankan tokoh anak. Pembaca diposisikan sebagai tokoh anak, mengikuti penceritaan yang dilakukan oleh tokoh anak. Sehingga pembaca turut dalam alam pikiran anak
5.10.3. Perempuan Menindas Perempuan Lain Realitas kejengkelan majikan perempuan (tokoh ibu), kepada pembantu perempuannya dikonstruksi melalui penceritaan dari tokoh anak. Hal ini menyebabkan realitas tampil timpang dan begitu menguntung tokoh anak. Karena pandangan dari anaknya yang tampil dalam cerpen ini. Penggambaran Ibu dalam
88
tokoh ini cenderung diburukkan. Bik Sarti yang tidak melakukan tugasnya di kala banjir padahal sudah dibayar upahnya oleh ibu, dinilai sebagai tuntutan tidak masuk akal adalah keluar dari mulut anak. Pembaca tidak mendapatkan kemungkinan-kemungkinan lain atas sikap ibu tersebut karena pembaca turut dalam alam pemikiran anak. Dengan kode representasi demikian, pengarang ingin menumbangkan ideologi patriakhi yang banyak muncul pada teks-teks. Melalui realitas yang dibangunnya, pengarang menampilkan kenyataan baru bahwa penderitaan yang dialami perempuan sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh sosok patriakhi tetapi juga oleh perempuan itu sendiri, dalam konteks cerpen ini adalah tokoh ibu. Tokoh ibu adalah gambaran sosok yang memiliki kekuasaan, yang dengan alat kekuasaannya tersebut kemudian melakukan tuntutan kepada pembantu rumah tangganya, Bik Sarti. Merasa telah membayar upah Bik Sarti, lantas membuat ibu ini dengan mudah menuntut pembantu rumah tangganya. Hal ini dinilai tidak masuk akal oleh anaknya. Tokoh anak tampil memberikan tanggapan atas apa yang dilakukan ibunya. Ibu memang melakukan tuntutan terhadap perempuan lain. Namun yang menarik adalah perempuan ini pula yang menyelesaikan konflik dengan perempuan lain. Menurut Jean Baker Miller, bagi banyak perempuan ancaman rusaknya hubungan-hubungan antar pribadi dianggap bukan saja sebagai hilangnya keterkaitan tapi sebagai sesuatu yang mendekati lenyap-totalnya diri. Ia menyebut bahwa hal itu bisa menyebabkan masalah-masalah misalnya depresi (Wolf, 1997: 402). Perempuan memang cenderung melihat relasi interpersonal untuk menjalin kerja sama, berbeda dengan lelaki yang memandang hubungan antar pribadi sebagai sebuah persaingan. Konsep genderis ini kemudian mempengaruhi ibu untuk menjalin hubungan kembali dengan bik Sarti. Meskipun perempuan melakukan tuntutan terhadap perempuan lain, pada akhirnya perempuan itu sendirilah yang menyelesaikan konflik. Bik Sarti pun kembali bekerja dan bersama keluarganya bersilaturahmi ke rumah majikannya.
89
Tabel 5.10.3 Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Banjir Bik Sarti’ Pertama
Realitas Tuntutan Ibu kepada pembantu rumah tangganya, yang tidak melakukan kerja saat banjir padahal sudah dibayar upahnya.
Kedua
Representasi Realitas kejengkelan majikan perempuan (tokoh ibu), kepada pembantu perempuannya dikonstruksi melalui penceritaan dari tokoh anak. Hal ini menyebabkan realitas tampil timpang dan begitu menguntung tokoh anak.
Ketiga
Ideologi Dengan kode representasi demikian, pengarang ingin menumbangkan ideologi patriakhi yang banyak muncul pada teks-teks. Melalui realitas yang dibangunnya, pengarang
menampilkan
kenyataan
baru
bahwa
penderitaan yang dialami perempuan sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh sosok patriakhi tetapi juga oleh perempuan itu sendiri, dalam konteks cerpen ini adalah tokoh ibu. Menariknya, konflik antar perempuan terselesaikan oleh perempuan itu sendiri, karena konsep genderis yang mana perempuan melihat relasi interpersonal untuk menjalin kerja sama, berbeda dengan lelaki yang memandang hubungan antar pribadi sebagai sebuah persaingan.
90
5.11. CERPEN 11 5.11.1. Sinopsis Cerpen 11: “Hubungan Abadi” Hubungan abadi adalah kisah Ragil yang mengalami pertemuan dengan arwah ibunya yang telah meninggal dunia. Ketika ia menceritakan ini kepada suaminya, suaminya menentang bahwa itu bukanlah arwah emak, tapi arwah iblis yang menyamar jadi Emak. Dalam ajaran agamanya pun hal ini telah dijelaskan. Ragil yang merasa bahwa pertemuan dengan arwahnya adalah hubungan yang tampak abadi bagi kedua, justru hal itu berbenturan dengan ajaran imannya. Ragil pun memutuskan untuk tetap menaikan doa dan menikmati pertemuan dengan emaknya. Karena hal itulah yang membuatnya sejahtera. Keputusannya ini tentu dirahasiakan dari suami dan jemaat yang dipimpinnya. 5.11.2. Interpretasi Cerpen Hubungan Abadi Masih berlatar banjir, ‘Hubungan Abadi’ adalah cerita sekuel dari kisah ‘Cermin Peninggalan’ dan ‘Rumah Warisan’. Dalam cerpen ‘Hubungan Abadi’, Ragil adalah tokoh utamanya, menceritakan pergumulan tentang pertemuan emaknya yang bentrok dengan ajaran agamanya. Hubungan Abadi, dapat dikatakan sebagai cerita ini menarik. Pertemuan dengan Emaknya, bagaimana pertemuan itu dan bagaimana Ragil harus bergumul dengan iman dan fakta yang ia alami, dituliskan oleh pengarang dari sudut pandang Ragil, cerpen ini pun menempatkan Ragil sebagai pencerita dan suaminya sebagai objek yang diceritakan. Penempatan Ragil sebagai subjek, menguatkan maksud penceritaan, yang mana memang ingin menampilkan pergumulan iman Ragil sendiri. Cerpen ini juga berbicara soal belief, fact, ajaran agama yang menggelitik. "Tidak mungkin. Emak sudah meninggal. Kamu pasti sangat kehilangan beliau dan sangat merindukannya…." "Tidak, Papi… ini betul-betul wajah Emak." "Ingat, Mi… orang yang sudah meninggal tidak bakalan bisa memunculkan diri lagi. Badannya tidur dan rohnya kembali ke Tuhan Pencipta-Nya."
91
"Tapi…" "Ya… itulah ajaran iman kita. Iblis sangat pandai meniru kita dengan pemunculannya sebagai orang yang kita cintai. Seperti hidupnya Nabi Samuel yang telah mati oleh pertolongan perempuan sihir, menampakan diri pada Raja Saul." Dalam ajaran agama Ragil, tidak ada konsep bertemu dengan orang mati, penampakan yang terjadi biasanya ulah iblis. Tapi pada kenyataannya, Ragil mengalami perjumpaan dengan sosok emaknya. Dia merasakan persekutuan dengan emaknya. Hal yang nampak dinikmatinya ini justru berbenturan dengan ajaran imannya. Kini ketika hubunganku dengan Emak itu tampak akan abadi dengan kehadiran Emak pada tempat-tempat yang aku jumpa, mengapa harus berbenturan dengan ajaran imanku tentang tidak adanya orang mati rohnya bergentayangan bahkan hanya dalam bayang-bayang? Kebenaran adalah kenyataan di pikiran kita. Kenyataan yang ada dalam pikiran Ragil, adalah dia bisa melihat Emaknya, maka dia menerima itu sebagai sebuah kebenaran. Sementara kenyataan yang lain adalah ajaran agamanya tidak berkata seperti itu, maka dia tidak menerima ini sebegai kebenaran, tapi pengalaman imannya dianggapnya sebagai kebenaran. Di sini dapat diketahui, bagaimana seorang perempuan bisa menimbulkan sebuah kebenaran dalam pikirannya sendiri. Di saat kebenaran lain yang dianggap sebagai suatu ajaran, itu tidak mendukung kebenaran yang dia pegang itu. Dalam teguran suamiku, aku tidak hendak lagi bercerita kepadanya tentang kehadiran Emak. Aku memilih diam dan menikmati persekutuanku dengan Emak pada saat-saat ia hadir. Namun, bila aku yang masih hidup ini merasa tidak sejahtera karena tidak melayangkan doa bagi Emakku ang sudah mati, apa artinya ajaran ini, lebih-lebih aku menjadi sejahtera bila aku mendoakan Emakku yang sudah mati. Cerpen Hubungan Abadi memberikan gambaran perempuan dengan kebebasan berpikir dan bertindaknya. Jelas tergambar karena diceritakan dari sudut pandang Ragil, sebagai pencerita.
92
Bagaimana pembaca diposisikan diantara pihak yang terlibat? Dalam pembacaan dominan atas teks ini pembaca diposisikan sebagai Ragil. Mengikuti kisah pergulatan iman Ragil dapat diketahui bahwa pembaca diajak untuk turut merasakannya. Bagaimana pergumulan itu benar-benar dirasakan langsung oleh pembaca dan maksud penceritaan pengarang juga dapat ditangkap sama oleh pembaca. Dalam cerpen ini, pengarang ingin menyampaikan kepada pembaca melalui sosok Ragil bahwa terkadang ajaran agama yang kita terima tidak selalu sesuai untuk semua orang. Dia menyentil agamanya sendiri. Jadi pengarang sebagai narrator secara implisit, mengatakan bahwa kita memiliki ajaran iman, tapi mungkin ini tidak bisa terjadi pada setiap orang. Karena demikian fakta yang terjadi pada Ragil. Pengarang pun di sisi lain mengatakan kadang pemimpin agama pun bisa menyembunyikan kenyataan. Seperti Ragil, menyembunyikan kenyataannya, untuk mempertahankan ajaran agamanya, supaya dia tidak dianggap menyimpang dari agamanya.
5.11.3. Pendeta Perempuan Dalam A Vindication of the Rights of Women (1972), Mary Wollstonecraft (dalam Jaggar, 1983: 36) berpendapat bahwa perempuan berpotensi secara penuh untuk menjadi pribadi yang rasional dan berkemampuan lengkap seperti laki-laki dalam tanggung jawab moral. Fakta bahwa perempuan tidak selalu menyadari kemampuannya adalah karena dicabutnya pendidikan dan dibatasi dalam ranah domestik. Seiring perkembangan zaman, tuntutan feminis liberal ini menunjukan hasilnya, kesempatan pendidikan bagi perempuan terbuka lebar. Hak atas kesempatan pendidikan ini salah satunya membuat banyak perempuan bergerak ke ranah publik. Dalam konteks agama, perjuangan feminis liberal menampakkan hasilnya. Sejarah agama Kristen mencatat bahwa perempuan
menjadi
pemimpin
agama.
Perempuan
memainkan
peran
kepemimpinan dalam komunitas Kristiani. Suatu kemajuan yang dialami perempuan.
93
Dalam cerpen ini, Ragil adalah cerminan dari sosok peremuan yang menjadi pemimpin agama. Dirinya telah mengalami kesetaraan secara profesi dengan suaminya, yang juga menjadi pemimpin agama. Kesamaan profesi tersebut, membuat keduanya dapat menciptakan diskusi yang hidup mengenai arwah Emak yang menampakkan diri kepada Ragil. Meski begitu, tampak juga gambaran perempuan yang menghindari konflik. Disamping tidak ingin bertengkar dengan suaminya, dia juga menyimpan hal itu dari jemaatnya, agar tidak dianggap menyimpang dari ajaran agama. Peran perempuan sebagai peace maker karena tidak mau timbul konflik. Namun mesti diakui bahwa Ragil adalah gambaran perempuan yang merdeka dalam pikirannya. Dia dapat menimbulkan kebenaran di dalam pikirannya, di saat kebenaran lain menyangkalinya. Apa yang dilakukan oleh Ragil mencerminkan perjuangan feminis liberal, yang mana sangat menitikberatkan perjuangannya pada ide keunikan manusia yang otonom yang mampu membuat pilihan-pilihan bebas karena rasionalitasnya (Arivia, 2006:47). Selain penggambaran Ragil sebagai perempuan yang mandiri dan berpendidikan, cerpen ini juga menampilkan suatu wacana yang berbeda. Penempatan Ragil sebagai pencerita juga mengandung ideologi tertentu. Pada banyak teks, sering kali memarjinalkan gagasan tertentu. Misalnya dalam dunia kedokteran, ekslusi (bagaimana sesorang atau gagasan dikucilkan dalam pembicaraan)
dilakukan
terhadap
pengobatan
tradisional.
Dukun
sering
direpresentasikan sebagai tidak ilmiah, tidak berdasar dan penipu. Sebaliknya dokter dipandang ilmiah, baik dan dapat
memprediksi penyakit serta
penyembuhannya. Misrepresentasi ini hasilnya mengucilkan dan memarjinalkan keberadaan pengobatan lain di luar ilmu kedokteran meskipun sama-sama bertujuan menyembuhkan penyakit. Serupa dengan cerpen ini, terdapat pergulatan wacana antara ajaran agama dan pengalaman iman seseorang. Lazimnya, wacana ajaran agama akan dimenangkan, karena merupakan gagasan mainstream. Tetapi dengan
diceritakan
sendiri
oleh
tokoh
yang
mengalami,
menghindari
misrepresentasi dan menjadikan teks ini memberikan wacana yang berbeda dan kenyataan baru bagi khalayak.
94
Akhirnya ideologi feminis liberal benar-benar terepresentasikan dalam cerpen ini melalui penggambaran Ragil dan penempatannya sebagai subjek pencerita. Tabel 5.11.3 Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Hubungan Abadi’ Pertama
Realitas Pergumulan Ragil tentang pertemuan emaknya yang bentrok dengan ajaran agamanya. Perempuan bisa menimbulkan sebuah kebenaran dalam pikirannya sendiri. Di saat kebenaran lain yang dianggap sebagai suatu ajaran, itu tidak mendukung kebenaran yang dia pegang itu.
Kedua
Representasi Realitas tersebut digambarkan sebagaimana mestinya, karena diceritakan langsung oleh Ragil, tokoh yang mengalaminya. Pembaca yang ditempatkan sebagai Ragil akhirnya pun juga memahami realitas sebagaimana yang didefinisikan oleh Ragil.
Ketiga
Ideologi Melalui
penempatan
Ragil
sebagai
subjek
dan
penggambaran Ragil yang bebas dan pribadi yang intelek menghasilkan sebuah wacana yang terhindar dari misrepresentasi.
Seluruh
elemen
tersebut
diorganisasikan, hingga dapat diketahui dalam cerpen ini pengarang menampilkan ideologi feminisnya, dengan aliran liberal.
95
5.12. CERPEN 12 5.12.1. Sinopsis Cerpen 12: “Anak Walikota” Kisah mengenai seorang perempuan belia yang bekerja sebagai penyanyi dangdut di sebuah kafe. Kelemahan finansial membuat ia memutuskan bekerja membantu meringankan beban hidup keluarganya. Suatu hari dia bersama seorang tamu kafe berbincang mengenai banyak hal. Dengan jujur dan terbuka, perempuan ini menceritakan kehidupan pribadinya, keluarganya dan teman-temannya kepada tamu lelaki tersebut. Ia pun menceritakan perjumpaannya dengan seorang anak walikota. Kepada tamu ini, dia mengatakan ketidakberaniannya untuk bercerita jujur saat bertemu anak walikota. Berbeda dengan apa yang dilakukannya pada tamu lelakinya. Panjang lebar ia berkisah kepada tamu lelakinya. Ternyata tamu lelaki tersebut adalah anak walikota yang sedang menyamar dan menyatakan kesediaannya menjadi body guard bagi perempuan itu.
5.12.2. Interpretasi Cerpen “Anak Walikota” Cerpen kedua belas ini ingin bercerita tentang rasa ketertarikan seorang perempuan muda, penyanyi dangdut terhadap anak walikota. Jumpa pertama membekaskan sebuah perasaan pada anak walikota itu. Dalam pembacaan cerita pendek ‘Anak Walikota’, dapat diketahui bahwa penceritanya adalah tokoh perempuan sendiri. Bagaimana pertemuannya dengan lelaki anak walikota itu, bagaimana anak walikota tertarik pada dirinya dan bagaimana harapan perempuan pada anak walikota ini, semua disampaikan oleh tokoh perempuan ini. "Obrolan kami tiga gadis membicarakan banyak hal, namun rupanya si anak walikota tertarik pada si gadis menor. Aku!! Hihihi… Aku ditanya kerjaku apa,, kegiatanku sehari-hari apa." Si anak walikota dengan mobil Baby Benz sampai rumah, dan masuk rumah megah. Ia istirahat di kelam malam membayangkan aku yang berpakaian seksi, bukan membayangkan dua temanku yang berpakaian sekolah.
96
Lelaki, anak walikota ini kehadirannya ditampilkan oleh suara dari tokoh perempuan. Hal ini semakin memperkuat kesan tentang ketertarikan perempuan ini pada lelaki. Sementara tidak diketahui bagaimana sebenarnya perasaan lelaki itu terhadap perempuan. Ketertarikan lelaki dan saat dia membayangkan perempuan ini tidak dilontarkan dari lelaki ini sendiri, tapi disampaikan oleh tokoh perempuan. "Mmmm… Aku tidak berani mengungkapkan kondisi yang sebenarnya. Aku mengaku datang dari keluarga kaya. Tinggal di Taman Pesona dan ayahku dokter. Ibuku juga dokter. Aku berpakaian menor, ku bilang memang karena kesukaanku mencoba mode-mode pakaian terbaru dalam keseharian selepas sekolah bersama teman-teman." Terdapat perbedaan saat perempuan ini menghadapi tamu lelaki dan anak walikota. Kepada tamu lelaki, dengan terbuka dia menceritakan hidup dan dirinya. Sementara kepada anak walikota dia tidak berani. Rasa gengsi dan sikap ‘jaga image’ membuat perempuan ini tidak berani menceritakan dirinya secara jujur. Ketertarikannya pada lelaki ini membuat ia berbohong. Karena dia tahu bahwa ada satu halangan yang mencolok ketika dia menjalin hubungan dengan lelaki ini, yaitu kesenjangan ekonomi. Maka di cuplikan berikut, pencerita memaparkan harapannya agar dirinya dan lelaki--anak walikota, ini dalam meniadakan halangan pada hubungan khusus yang mereka ingin jalinan. …… Angan anak walikota bertemu dengan anganku anak penarik becak, yang masih sebagai gadis berpakaian seksi di mattanya. Kami masing-masing tidur disaksikan cahaya rembulan yang mampu menerobos atap-atap rumah kami. Sebagaimana angan anak walikota dan anganku anak penarik becak mampu menyaput rintangan dan penghalang. …… Pada akhirnya, rasa ketertarikan perempuan ini pun berujung. Anak Walikota itu yang dinantikan ternyata telah bersama dia, menemani bercerita. Sebagai yang diceritakan, lelaki ini tidak banyak berkomentar atas apa yang dipaparkan perempuan dalam cerita ini. Dia hanya lebih banyak diam, mendengar dan menanggapi agar perempuan ini melanjutkan ceritanya.
97
"Jadi kita menikmati udara bersih, pada malam atau pagi hari?" aku bertanya lagi. "Pada malam hari." "Mengapa?" "Sebab pada mala harilah kamu bertemu anak walikota itu. Anak walikota itu, sebetulnya, aku, yang kini menjadi body guard-mu," jawab lelaki yang sejak tadi bersamaku. Ia mencopot kumis dari atas bibirnya. Lelaki, anak walikota itu ternyata memberi kejutan pada perempuan muda ini. Dia pun sengaja mencari perempuan ini. Perempuan dalam cerpen ini adalah pihak yang beruntung. Bila dalam penceritaan dia merasa bahwa rasa ketertarikan dan rindu bertemu dengan lelaki hanya untuk dikenang. Di akhir cerita, lelaki sebagai yang diceritakan memberikan jawaban atas rasa suka perempuan ini. Bahwa lelaki ini pun menyimpan rasa yang sama, hal itu ditunjukan melalui kesediaannya menjadi body guard, pelindung bagi perempuan ini. Mengingat pekerjaan perempuan itu sebagai kafe, bekerja di malam hari dengan pakaian sexy mengundang perhatian banyak lelaki. Penceritaan
yang
dilakukan
oleh
perempuan
ini,
menempatkan
pembacanya seolah memperankan tokoh perempuan muda ini. Sehingga apa yang diterima dalam pembacaan cerpen ini adalah pandangan dari sudut tokoh perempuan. Kisah ketertarikan dan harapan perempuan yang diceritakan oleh perempuan sendiri, memang tepat. Sehingga pembaca yang diposisikan sebagai tokoh perempuan benar-benar merasakan bagaimana pengalaman yang dialami perempuan ini.
5.12.3. Perempuan Membaca yang Tersirat Seperti sebelumnya, pengarang kembali menempatkan perempuan sebagai pencerita.
Dalam cerpen
ini pengarang,
melalui tokoh perempuannya,
menghadirkan realitas percintaan sesama manusia yang berbeda kelas sosial. Dalam ‘Anak Walikota’ perbedaan kelas sosial adalah hal yang menjadi kekhawatiran tokoh perempuan. Dari kekhawatiran tersebut menyebabkan sikap perempuan muda ini tidak jujur dan tidak terbuka.
98
Realitas yang ditandakan melalui cerita dari perempuan tersebut, memberikan gambaran tentang perempuan dengan kemampuan membaca hal-hal yang tersirat melalui perilaku orang lain. Penelitian terhadap otak manusia memperlihatkan bahwa perempuan lebih baik dalam menangkap pesan-pesan tersirat yang berhubungan dengan kondisi emosional dibanding pria. Kaum perempuan diyakini mampu menangkap pesan di balik bahasa tubuh dan pesan tersirat tentang rasa sedih, frustrasi, dan kecewa. Perempuan dilengkapi dengan keterampilan penginderaan yang lebih peka daripada pria. Hal ini adalah hasil dari internalisasi yang diperoleh secara turun-menurun, sebagai seseorang yang mengandung bayi, pelindung tempat tinggal, mereka harus memiliki kemampuan untuk merasakan perubahan perasaan dan perilaku yang palng lembut sekalipun dari orang
lain.
Sebagai pelindung
tempat
tinggal,
perempuan
harus
mengamankan keluarga mereka, sehingga dia harus mampu melihat perubahan sekecil apapun dalam perilaku orang-orang sekira, yang mungkin saja merupakan tanda-tanda sakit, lapar, terluka, agresi atau perasaan tertekan. Perempuan memiliki sebuah intuisi yang merupakan kemampuan halus mereka untuk melihat rinci kecil dan perubahan dari penampilan ataupun perilaku orang lain. Dalam hal ini perempuan memiliki kepekaan yang luar biasa. "Obrolan kami tiga gadis membicarakan banyak hal, namun rupanya si anak walikota tertarik pada si gadis menor. Aku!! Hihihi… Aku ditanya kerjaku apa,, kegiatanku sehari-hari apa." Si anak walikota dengan mobil Baby Benz sampai rumah, dan masuk rumah megah. Ia istirahat di kelam malam membayangkan aku yang berpakaian seksi, bukan membayangkan dua temanku yang berpakaian sekolah. Perempuan mampu membaca apa yang tersirat dari apa yang diucapkan oleh seseorang. Melalui bahasa tubuh dan intonasi suara, perempuan memiliki kemampuan membaca apa yang tersirat. (Pease,2005:58 dan 76). Kepekaan
99
perempuan lebih peka dari seribu matahari. 3 Perempuan umumnya memiliki kepekaan yang lebih tinggi, mereka mampu membaca sinyal, bahasa tubuh, vocal mau pun bahasa verbal orang lain. Sehingga mereka akan sangat mudah memahami apa yang dirasakan dan diinginkan orang lain. Demikianlah yang terjadi pada perempuan di cerpen Anak Walikota ini, dia merekam dan dapat memaknai sikap dan perlakuan anak walikota terhadap dirinya. Sehingga persepsi yang muncul adalah anak walikota itu tertarik pada dirinya. Sedangkan laki-laki, kebanyakan bukanlah pembaca pikiran yang baik. Umumnya laki-laki tidak mampu membaca segala keinginan perempuan yang memang tidak terbahasakan. Belum menemukan jawaban, membuat lelaki-anak walikota ini, mencari perempuan ini. Dengan menyamar dia mencari informasi verbal secara lengkap, sehingga tahu bagaimana perasaan perempuan ini sesungguhnya. Penggambaran perempuan yang demikian dan sajian realitas yang ditandakan melalui penceritaan perempuan dapat diketahui bahwa pengarang hanya ingin menampilkan gagasan mengenai citra perempuan yang berbeda, belum sampai ideologi perjuangan gender. Bahwa dengan tidak jujur dan terbuka, tidak berarti perempuan ini dengan kualitas diri yang buruk. Tapi kemampuan membaca yang tersirat, menjadikan perempuan berhati-hati dalam bersikap. Terlebih sikap pada orang yang menarik perhatiannya dengan kesadaran perbedaan kelas sosial yang mungkin saja menghalangi hubungan keduanya. Tabel 5.12.3 Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Anak Walikota’ Pertama
Realitas Ketertarikan seorang perempuan muda, penyanyi dangdut terhadap anak walikota. Hal tersebut diutarakan kepada tamu café. Ternyata, tamu tersebut adalah anak walikota yang menyamar untuk mencari perempuan.
Kedua
Representasi
3
Ungkapan penyair perempuan dari Aceh, Rosni Idham, dalam Hafidzoh, Siti Muyassarotul. 2012. http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/01/25/174795/Berdaya-sejak-dariPikiran diakses pada 20 Juni 2012, pukul 23.01 WIB
100
Kisah ketertarikan dan harapan perempuan pada anak walikota, yang diceritakan oleh perempuan sendiri, memang tepat. Dan pembaca yang diposisikan sebagai tokoh perempuan benar-benar merasakan bagaimana pengalaman yang dialami perempuan ini. Ketiga
Ideologi Penggambaran perempuan yang demikian dan sajian realitas yang ditandakan melalui penceritaan perempuan dapat
diketahui
bahwa
pengarang
hanya
ingin
menampilkan gagasan mengenai citra perempuan yang berbeda, belum sampai ideologi perjuangan gender
5.13. CERPEN 13 5.13.1. Sinopsis Cerpen 13: “Di Balik Gunung” Kisah yang diangkat dari cerita wayang Kerajaan Kediri. Dalam cerpen ini diceritakan mengenai kerinduan Galuh Candra Kirana pada seseorang lelaki yang dicintai, Inu Kertapati. Peperangan yang terjadi menyebabkan ia begitu sulit ia bertemu dengan Inu Kertapati. Galuh Candra Kirana menanggung akibat dari peperangan antara Kerajaan Jenggala dimana ayahnya berkuasa melawan kerajaan Panjalu, kerajaan kekuasaan ayah Inu Kertapati. Keadaan semakin sulit bagi Galuh Candra Kirana. Yang bisa ia lakukan adalah dengan banyak pergi ke budur atau biara untuk menaikan doa. Selain itu, sebagai putri kerajaan ia cukup beruntung dibanding perempuan-perempuan lain, ia bisa mengunjungi tempat-tempat penting di Jenggala meski dengan pengawalan ketat. Ia dapat mengenal para laskar kerajaan. Diantara tempat-tempat yang dikunjungi, Galuh seringkali merasakan sesuatu saat berkunjung di lokasi pertahanan sektor tengah. Perasaannya tersebut berkaitan dengan tempat paling selatan di wilayah Jenggala. Yaitu, di balik gunung Pawitra, karena di sanalah Inu Kertapati berada. Hasratnya semakin besar untuk bertemu Inu Kertapati. Ia berdoa agar dapat bertemu dengan Inu Kertapati
101
bagaimanapun caranya. Doanya semakin tekun ketika keadaan semakin menegang karena perang.
5.13.2. Interpretasi Cerpen “Di Balik Gunung” Di Balik Gunung merupakan kisah asmara dan rindu Galuh Candra Kirana kepada Inu Kertapati. Cerpen ini diceritakan oleh pencerita tunggal Galuh Candra Kirana. Semua narasi dan dialog adalah dominasi dari pencerita tunggal. Dalam cerpen ini, pengarang kembali menjadi seorang omnicienst, pengarang serba tahu. Pengarang benar-benar mendalami peran sebagai Galuh Candra Kirana. Sebagai pencerita tunggal, Galuh Candra Kirana digambarkan bersama perasaan galau akan cinta dan rindunya pada Inu Kertapati. Menjadi pencerita membuat Galuh Candra Kirana memaparkan semua perasaannya itu secara lengkap oleh dirinya sendiri, tidak diwakili oleh suara orang lain. "Kakanda Inu Kertapati… di mana, Kau, Kanda? Banyak anak sungai di Jenggala, namun ku tahu pasti hanya induk sungai Brantas yang bakal menyatukan kita. Haruskah kususuri sungai induk ini ke arah hulu untuk bertemu denganmu? Atau, kemarilah Kanda, berjalanlah mengikuti alirannya, ke sini, kepadaku," katanya dengan mata berbuah berkaca-kaca. "Ayolah berenang menyeberangi air bermerah darah pejuang. Di sini aku menanti dengan memegang bunga perdamaian. Akan ku sambut erat jemari tanganmu. Kita berjalan bersisian. Tapak kaki kita menjejak lembut, mengubah pasir bibir kali menjadi bibir lompatan rahasia kita mencipta perdamaian abadi Jenggala dan Panjalu," bisik lembut putri Galuh Candra Kirana dengan perantaraan angin. Subjek cerita memaparkan secara jelas bagaimana hasratnya untuk bertemu seorang yang dikasihinya. Inu kertapati sebagai yang diceritakan, tidak ditemukan mengungkapkan bagaimana dengan dirinya. Hal ini dilakukan oleh pengarang, karena memang ingin menonjolkan sisi Galuh Candra Kirana. Gambaran perempuan yang menaruh harapan pada cintanya bahkan di saat perang melanda.
102
"Aku harus turut menanggung akibat peperangan yang tak henti antara kerajaan Jenggala, dimana ayahanda Mapanji Garasakan yang berkuasa, berperang melawan kerajaan Panjalu di mana pamanda Sri Samarawijaya, ayahanda Kakanda Inu berkuasa, sesal Galuh Candra Kirana menundukkan kepala. Rasanya debar dada Galuh Candra Kirana ada kaitannya dengan tempat itu. Ya, rasanya ada kaitannya dengan tempat paling selatan dari wilayah kerajaan Jenggala. Ya. Karena, di balik Gunung Pawitra itu, "Pastilah Kakanda Inu Kertapati berada,"kata Galuh Candra Kirana lalu mengigit bibir, dengan dada bergetar kencang. Di balik Pawitra, salah satu sisinya adalah wilayah kerajaan Panjalu, di mana Inu Kertapati menjadi putra mahkota. ……….."Tolonglah hamba Sang Hyang Wenang…"lanjutnya, "Pertemukanlah hamba dengannya, apapun caranya, lewat jalan di Pawitra, maupun menyusuri arah berlawanan aliran Brantas menuju tempat kami berada…… Dalam pembacaan dominan, pembaca diposisikan sebagai Galuh Candra Kirana. Cara seperti ini baik dilakukan karena sesuai dengan maksud penceritaan yaitu mengisahkan kegalauan hati Galuh Candra Kirana. Disampaikan melalui dirinya sendiri, membuat pembaca akhirnya mendapatkan ungkapan rasa yang sesungguhnya yang disampaikan oleh tokoh yang mengalami langsung.
5.13.3. Perempuan yang Tekun dalam Pengharapan Penempatan Galuh Candra Kirana sebagai pencerita, menampilkan realitas tentang kerinduan dan harapan Galuh Canda Kirana pada pujaan hatinya, Inu Kertapati. 'Meski seandainya pun aku rakyat biasa, bukankah seorang gadis sepertiku juga tidak dapat bepergian ke mana suka? Bukankah hanya para lelaki yang bebas pergi ke mana pun ingin?' ' Hanya karena aku putri raja, maka aku dapat berkunjung ke tempat-tempat penting di Jenggala, meski dengan pengawalan ketat balatentara kerajaan,' renungnya dengan kepala menunduk. Galuh Candra Kirana berusaha untuk bertemu dengan Inu Kertapati. Tapi karena dirinya perempuan, dia tidak mendapatkan akses itu. Dirinya cukup beruntung atas statusnya sebagai putri raja, setidaknya dirinya bisa pergi keluar,
103
berkunjung ke tempat-tempat penting. Kekhususan yang dimiliki Galuh Candra Kirana sebagai perempuan, tidak membuat dirinya berjuang lebih keras untuk bertemu dengan Inu Kertapati. Apa yang dilakukan oleh Galuh Candra Kirana dengan senantiasa berdoa memang hal yang luar biasa. Berdoa memang menjadi kekuatan setiap umat manusia. Namun, manusia juga tetap perlu bergerak. Kekuatan doa menjadikan kita bergerak dengan tidak mengandalkan kekuatan manusia semata. Berdasarkan fakta yang dipaparkan ini, tidak menunjukan gagasan pengarang mengenai perjuangan seorang perempuan. Hanya terdapat gambaran pengharapan perempuan akan orang yang dicintainya. Bisa jadi mungkin hal ini disengaja, karena pengarang hanya ingin mengangkat realitas mengenai betapa Galuh Candra Kirana menyimpan hasrat rindu dan cintanya. Mengingat pula ciri khas cerita pendek hanya memaparkan satu pokok masalah. Tabel 5.13.3 Representasi Feminis dalam Cerpen “Di Balik Gunung” Pertama
Realitas Di Balik Gunung merupakan kisah asmara dan rindu Galuh Candra Kirana kepada Inu Kertapati. Cerpen ini diceritakan oleh pencerita tunggal Galuh Candra Kirana, dengan dominasi pada semua narasi dan dialognya.
Kedua
Representasi Sebagai pencerita, Galuh Candra Kirana memaparkan semua perasaannya itu sendiri, tidak diwakili oleh suara orang lain. Gambaran perempuan yang tampil dalam cerpen ini adalag perempuanyang menaruh harapan pada cintanya bahkan di saat perang melanda.
Ketiga
Ideologi Berdasarkan
fakta
yang
dipaparkan
ini,
tidak
menunjukan gagasan pengarang mengenai perjuangan seorang
perempuan.
Hanya
terdapat
gambaran
pengharapan perempuan akan orang yang dicintainya.
104
5.14. Ringkasan Representasi Feminis Dalam Cerpen 13 Perempuan Karya Yonathan Rahardjo
Tabel 5.14. Ringkasan Ringkasan Representasi Feminis Dalam Cerpen 13 Perempuan Karya Yonathan Rahardjo No Judul Cerpen
Ideologi Pengarang Kisah perempuan yang ditandakan melalui penceritaan tokoh laki-laki menggiring pembaca untuk menjadikan pandangan tokoh
laki-laki
melanggengkan
yang
tampil.
ideologi
Hal
patriakhi.
ini Namun
tentu
kian
pengarang
berusaha menjadi seorang pribadi yang lebih egaliter,
1
”Cerita
memandang perempuan sebagai sesamanya yang sederajat
Perempuan”
dengan menampilkan gambaran perempuan lebih positif. Kisah perempuan yang ditandakan melalui penceritaan perempuan ini sendiri. Penderitaan dan perjuangan yang dialami
keluar
dari
tokoh
yang
bersangkutan
yaitu
perempuan. Namun, adanya unsur heroisme di akhir cerita yang ditunjukan oleh tindakan anak kos, menjadikan teks ini bias. Hal ini mencerminkan ideologi pengarang yaitu gagasan ”Tanya 2
untuk memperbaiki citra laki-laki yang biasa di-cap sebagai
Tukang Cuci” penyebab penderitaan perempuan Pengarang
memaparkan
perempuan
ini
sikap
sebenarnya
yang
untuk
tidak
jelas
menunjukan
dari
bahwa
perempuan ini belum memiliki kualitas diri yang tinggi. Bukan
3
mengkritik,
pengarang
justru
menunjukan
”Masuknya
kepeduliannya terhadap kasus-kasus mengenai tenaga kerja
Lelaki Itu”
wanita, khususnya pengembangan SDM Tenaga kerja.
105
Kode-kode representasi yang dilakukan melalui penempatan perempuan sebagai subjek pencerita dan pembaca yang ditempatkan sebagai tokoh perempuan, berhasil menyajikan realitas yang utuh dan apa adanya mengenai penindasan dan perjuangan perempuan. Ideologi yang 4
muncul adalah
”Kekuatanku” feminisme sosialis. Kebanggaan ibu yang diceritakan oleh aktornya langsung, menjadikan realitas tampil apa adanya. Dan memunculkan
5
”Cermin
ideologi pengarang tetang perjuangan perempuan dengan
Peninggalan”
aliran liberal. Kelelakian pengarang tidak lantas membuatnya sepakat atas
6
”Rumah
dominasi kakak-kakak
lelaki Ragil.
Pengarang
justru
Warisan”
menampilkan gagasan kesetaran gender dengan aliran liberal. Realitas perjuangan hak atas rumah warisan tersebut menggambarkan pemikiran feminis sosialis dari pengarang. Pengarang dalam cerpen ingin menunjukan kepeduliannya terhadap
mereka
yang
dihilangkan
haknya,
terutama
”Ingat Pesan perempuan yang kerap kali dianggap lemah tak berdaya 7
Sarni”
sehingga menjadi korban kekuasaan. Penempatan tamu sebagai pencerita akhirnya memunculkan ideologi familiasme, yang justru kian menyudutkan posisi perempuan. Ideologi ini mengkontruksi perempuan sebagai istri yang baik, melayani dan setia kepada suami. Pemikiran
8
”Tetangga
pengarang ini tentu dipengaruhi secara langsung dengan
Nenek”
kelelakian pengarang. Penempatan perempuan sebagai pencerita dan gambaran perempuan yang berbeda mewakili gagasan pengarang bahwa perempuan juga dapat berpikir rasional, bahkan perempuan
9
”Korban
juga bijak. Gagasan ini merupakan cerminan dari poin
Banjir”
perjuangan kaum feminis liberal.
106
Pengarang ingin menumbangkan ideologi patriakhi yang banyak muncul pada teks-teks. Melalui realitas yang dibangunnya, pengarang menampilkan kenyataan baru bahwa penderitaan yang dialami perempuan sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh sosok patriakhi tetapi juga oleh perempuan itu sendiri, dalam konteks cerpen ini adalah tokoh ibu. ”Banjir 10
Bik Menariknya, konflik antar perempuan terselesaikan oleh
Sarti”
perempuan itu sendiri Melalui penempatan Ragil sebagai subjek dan penggambaran Ragil yang bebas dan pribadi yang intelek menghasilkan sebuah wacana yang terhindar dari misrepresentasi. Seluruh elemen tersebut diorganisasikan, hingga dapat diketahui
11
”Hubungan
dalam
cerpen
ini
pengarang
Abadi”
feminisnya, dengan aliran liberal.
menampilkan
ideologi
Penggambaran perempuan dan sajian realitas yang ditandakan melalui penceritaan perempuan dapat diketahui bahwa pengarang hanya ingin menampilkan gagasan mengenai citra
12
”Anak
perempuan yang berbeda, belum sampai ideologi perjuangan
Walikota”
gender Melalui kode representasional, tidak menunjukan gagasan pengarang mengenai perjuangan seorang perempuan. Hanya
”Di 13
Balik terdapat gambaran pengharapan perempuan akan orang yang
Gunung”
dicintainya.
107