BAB V PENUTUP
A. Pengantar Pada bab ini saya akan menyimpulkan dengan menjawab rumusan masalah dari penelitian yang dilakukan mengenai respons Etnis Tionghoa dalam menghadapi eksklusi pertanahan melalui Surat Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta No. K. 898/I/A/1975 yang masih berlaku sampai saat ini.
B. Kesimpulan Latar belakang munculnya Surat Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K. 898/I/A/1975 dari faktor historis, ekonomi dan sosial dinilai tidak relevan lagi. Secara Historis sudah terekam dengan jelas melalui produk Peraturan Daerah semasa Sultan Hamengku Buwono IX yakni dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1984 yang secara resmi mencabut Rejiksblad Kasultanan Nomor 23 Tahun 1925. Dimana Rejiksblad tersebut mengatakan bahwa orang pribumi tidak diperkenankan menjual tanah kepada orang yang bukan bangsa jawa. Dengan demikian seharusnya masyarakat diluar Etnis Jawa, ketika sudah menjadi WNI sama-sama memiliki hak untuk mnedapatkan tanah sebagai mana layaknya Pribumi. Secara sosial ekonomi, faktor kecemburuan dan kesenjangan sosial yang dikhawatirkan akan mengundang gejolak perlawanan ataupun tersingkirnya kaum yang lemah (Pribumi). Melihat pada saat itu kondisi ekonomi Etnis Tionghoa lebih tinggi dari pada masyarakat Pribumi. Hal ini juga menjadi latar belakang di berlakukannya Surat Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
tersebut. Namun seiring
berjalannya waktu, kondisi yang digambarkan diatas juga sudah tidak relevan mengingat 74
keadaan sosial ekonomi saat ini tidak sama dengan dahulu. Tidak semua Orang Etnis Tionghoa berada di kalangan ekonomi menengah keatas, bahkan tidak sedikit saat ini Etnis Tionghoa yang berada di kalangan ekonomi menengah kebawah. Begitu sebaliknya pada saat ini tidak sedikit Etnis Jawa (Pribumi) yang berada pada kalangan ekonomi menengah keatas. Jadi apabila memakai latar belakang ekonomi dan sosial tetap di berlakukannya Surat Instruksi tersebuk sangat tidak relevan. Secara yuridis, Surat Instruksi Kepala Daerah No. K. 898/I/A/1975 banyak bertentangan Peraturan perundang undangan yang berlaku di Indonesia sehingga banyak berimplikasi teradap keberjalanan peraturan yang saling bertentangan. Hal ini mengakibatkan adanya dualisme peraturan yang membingungkan para aktor harus melangkah dengan peraturan yang mana. Sedangkan pada proses respons yang dilakukan Etnis Tionghoa dalam menghadapi Eksklusi kebijakan pertanahan, upaya-upaya yang dilakukan Etnis Tionghoa banyak menggunakan ranah hukum dan birokrasi. Sedangkan secara realitas pada proses respons secara resistensi, adaptasi, dan akomodasi selalu kalah ketika dihadapkan pada ranah hukum dan birokrasi di Yogyakarta. Berikut kesimpulan respons-respons yang dilakukan Etnis Tionghoa dalam menghadapi eksklusi pertanahan di Yogyakarta : 1. Resistensi yang dilakukan Suhendra merupakan bentuk resistensi individu dalam mempertahankan ganti rugi dalam bentuk SHM akibat relokasi tanah yang dilakukan pemerintah daerah guna pelebaran jalan di daerah Prambanan. Suhendra mencoba mengurus status tenah ganti rugi dengan anggapan tanahnya akan bisa menjadi SHM, mengingat situasi sudah berada di zaman reformasi. Tetapi ketika berada di kalurahan, pihak BPN melihat kedatangan Suhendra dan memperhatikan wajah yang tergolong Etnis Tionghoa langsung menyatakan bahwa Suhendra tidak 75
bisa mendapatkan SHM. Dari situ terjadi perdebatan dasar hukum yang sangat panas dan saling bersikeras. Dan akhirnya Suhendra dengan berat hati merelakan tanahnya hanya mendapat status hak milik tanah mengingat pada saat itu tidak begitu paham dengan undang-undang yang berkaitan dengan pertanahan. Begitu pula yang dilakukan Ir. Z. Siput Lokasari yang secara individu berani memperdebatkan landasan hukum dengan pejabat BPN menjadi perlawanan yang sengit, namun terkadang berhasil untuk memproses SHM di BPN. 2. Resistensi yang dilakukan oleh Budi Setyagraha juga salah satu bentuk resistensi individu yang dilakukan Etnis Tionghoa dalam menghadapi eksklusi pertanahan di Yogyakarta. Perlawanan melalui jalur hukum dilakukan Budi Setyagraha sampai pada proses kasasi. Pada gugatan yang pertama yang dilakukan Budi Setyagraha berhasil menang di PTUN dan mendapatkan surat hak milik tanah dari BPN. Namun pihak BPN melakukan banding di Pengadilan Tinggi yang kemudian dimenangkan oleh BPN dan akhirnya SHM yang di berikan kepada Budi Setyagraha dicabut kembali. Budi Setyagraha kembali melakukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi ke Mahkamah Agung, namun kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung, karena Surat Instruksi Kepala Daerah yang diajukan untuk kasasi bukanlah subyek yang dapat dipersidangkan di Mahkamah Agung. Putusan ini akhirnya dimanfaatkan para pegawai BPN untuk menguatkan legitimasi Surat Instruksi Kepala Daerah No K.898/I/A/1975 kepada masyarakat di D.I. Yogyakarta. 3. Resistensi dengan memanfaatkan kelemahan birokrasi dilakukan Etnis Tionghoa dengan cara Pertama, memilih PPAT yang berprinsip anti diskriminasi. Ada PPAT yang tidak sepakat dengan adanya Surat Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta No K. 898/I/A/1975 dengan alasan Surat Instruksi tersebut 76
mendiskriminasi Etnis Tionghoa. Dan pada akhirnya entah dengan proses seperti apa, namun pada akhirnya para Etnis Tionghoa yang mempercayakan pengurusan surat tanah kepada PPAT tertentu tersebut pada akhirnya mendapatkan Surat Hak Milik Tanah. Kedua, mencari peluang kelalaian para pejabat akta tanah dan BPN. Cara resistensi ini dilakukan Etnis Tionghoa salah satunya memanfaatkan proses pembuatan akta tanah secara kolektif misalkan dalam mengurus kapling tanah perumahan secara bersama-sama. Pada proses ini ada banyak terjadi kelalaian karena petugas PPAT dan BPN cenderung mengabaikan kriteria orang non pribumi karena banyaknya surat yang harus segera diselesaikan. Dan pada akhirnya tidak sedikit Etnis Tionghoa yang memiliki SHM di Yogyakarta meskipun ada peraturan yang melarang. Ketiga, Melakukan pengaduan ke ombudsman terhadap pelayanan diskriminatif yang dilakukan nenerapa Kantor BPN di Yogyakarta. Hal ini juga di nilai belum berhasil karena Ombudsmen dalam memproses tidak fokus pada pelayanan BPN namun justru menyoroti kembali surat Instruksi Kepala Daerahnya. 4. Resistensi secara kelompok dilakukan Etnis Tionghoa dalam menghadapi eksklusi pertanahan di Yogyakarta dilakukan bersama dengan menggandeng lembagalembaga yang berada di ranah nasional. Pertama, Mengadukan kasus eksklusi kepada BPN RI dimana secara hierarki BPN RI menjadi atasan BPN D.I. Yogyakarta. Hal ini mendapatkan respon positif dari BPN RI. BPN RI mengingatkan kepada BPN D.I. Yogyakarta agar dalam melakukan pelayanan pertanahan tidak membeda-bedakan Warga Negara Indonesia. Namun pada realitanya sampai sekarang apa yang disampaikan BPN RI tidak mendapatkan respon apapun dari BPN D.I. Yogyakarta, dengan kata lain proses eksklusi pertanahan sampaisekarang masih berjalan. Kedua, Dua kali mengadukan kepada Komnas HAM. Proses ini membutuhkan proses panjang dan pada akhirnya mucul 77
rekomendasi yang disampaikan Komnas HAM terhadap Gubernur D.I Yogyakarta agar segera mencabut atau menyatakan tidak berlaku lagi Instruksi Wakil Gubernur D.I Yogyakarta Nomor K898/I/A/1975. Dan dengan jelas disampaikan oleh Komnas HAM bahwa pengabaian dan penolakan atas rekomendasi Komnas HAM dapat digolongkan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia. Namun sampai saat ini rekomendasi dan ancaman Komnas HAM terhadap Gubernur D.I Yogyakarta tidak dilaksanakan. Dan proses eksklusi pertanahan sampai saat ini masih dilaksanakan. 5. Adaptasi menjadi alternative cara yang dilakukan oleh Etnis Tionghoa dalam menghadapi proses eksklusi pertanahan di Yogyakarta. Ada 3 bentuk adaptasi yang dilakukan Etnis Tionghoa. Pertama, Adaptasi dengan cara membangun relasi dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Proses ini banyak dilakukan oleh Etnis Tionghoa baik secara kelompok ataupun individu. Upaya ini di tempuh untuk menjaga hubungan baik antara sultan dengan masyarakat Etnis Tionghoa dengan maksud
memperbanyak
peluang
Etnis
Tionghoa
untuk
melakukan
mengkomunikasikan tentang berbagai hal permasalahan Etnis Tionghoa termasuk dalam hal ini tentang eksklusi pertanahan. Kedua, Adaptasi Konsiliasi merupakan upaya menghadapi eksklusi dengan cara lembut, yakni dengan melakukan lobi-lobi kekeluargan dengan cara santai, membujuk Sultan untuk mencabut Surat Instruksi Kepala Daerah tersebut. Ketiga, Adaptasi Mediasi dilakukan Etnis Tionghoa dengan memanfaatkan lembaga-lembaga yang dipercaya oleh Etnis Tionghoa untuk mengadakan sebuah forum yang memediasi antara masyarakat Etnis Tionghoa dengan pihak keraton untuk melakukan pencabutan Surat instruksi yang mengeksklusi Etnis Tionghoa.
78
C. Saran Penelitian eksklusi yang saya lakukan mencoba melihat bagaimana respon Etnis Tionghoa dalam menghadapi eksklusi pertanahan di Yogyakarta melalui surat isntruksi kepala daera No. K. 898/I/A/1975. Penelitian ini berkutat pada bagaimana penduduk Yogyakarta yang beretnis Tionghoa berupaya melawan dan meniadakan surat instruksi tersebut. Namun peneliti menyarankan dalam penelitian selanjutnya lebih baiknya melihat eksklusi pertanahan di Yogyakarta tidak hanya sebatas respon Etnis Tionghoa, melainkan melihat bagaimana eksklusi pertanahan di Yogyakarta berjalan massif melalui kewenangan kepala daerah dan keistimewaan pertanahan yang dimiliki Provinsi DIY yang akan di turunkan melalui perdais pertanahan.
79