BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan Hubungan antara risiko kesulitan keuangan dengan tiga anomali pasar
modal yaitu size effect, value effect, dan momentum effect dilakukan untuk menguji dua teori terkait risiko kesulitan keuangan dan return saham yaitu distress factor hypothesis dan market underreaction hypothesis. Pengujian terhadap distress factor hypothesis dilakukan dengan pengujian terhadap hubungan antara risiko kesulitan keuangan dan size effect serta value effect. Hasil-hasil pengujian berdasarkan faktor size mengindikasikan bahwa risiko kesulitan keuangan bukan merupakan risiko sistematis dan size atau kapitalisasi pasar bukan merupakan proksi bagi kesulitan keuangan. Risiko kesulitan keuangan bukan merupakan risiko sistematis karena risiko yang dimiliki oleh distress stock tidak dihargai dengan return yang lebih tinggi dibandingkan non-distress stock. Size bukan merupakan proksi bagi kesulitan keuangan karena pada saat analisis dilakukan pada basis penyesuaian risiko, anomali size atau size effect masih muncul, lebih spesifik lagi size effect muncul pada distress stock. Hasil-hasil pengujian berdasarkan faktor B/M mengindikasikan bahwa risiko kesulitan keuangan bukan merupakan risiko sistematis dan B/M bukan merupakan proksi bagi risiko kesulitan keuangan. Risiko kesulitan keuangan bukan merupakan risiko sistematis karena risiko yang dimiliki oleh distress stock tidak dihargai dengan return yang lebih tinggi
109
dibandingkan non-distress stock. Hasil pengujian terkait faktor size dan B/M tersebut tidak konsisten dengan distress factor hypothesis, tetapi konsisten dengan market underreaction hypothesis yang dikemukakan oleh Dichev (1998), Campbell, Hilscher, dan Szilagyi (2006), serta Agarwal dan Taffler (2008). Hasil-hasil pengujian berdasarkan faktor momentum mengindikasikan bahwa risiko kesulitan keuangan bukan merupakan risiko sistematis dan momentum memiliki indikasi sebagai proksi bagi kesulitan keuangan. Risiko kesulitan keuangan bukan merupakan risiko sistematis karena risiko yang dimiliki oleh distress stock dihargai dengan return yang lebih rendah dibandingkan non-distress stock. Hasil pengujian terkait faktor momentum tersebut konsisten dengan market underreaction hypothesis yang dikemukakan oleh Dichev (1998), Campbell, Hilscher, dan Szilagyi (2006), serta Agarwal dan Taffler (2008) karena distress stock menghasilkan return lebih rendah daripada non-distress stock serta momentum negatif terjadi pada quintile terendah (Loser) untuk distress stock. Hal tersebut membuktikan bahwa untuk distress stock, saham loser tetap menjadi loser. Pengujian menggunakan regresi cross-section menghasilkan temuan yang konsisten dengan temuan awal, yaitu pertama, distress stock dihargai dengan return yang lebih rendah daripada non-distress stock. Hal tersebut membuktikan bahwa risiko kesulitan keuangan bukan merupakan risiko sistematis karena risiko yang dimiliki oleh distress stock tidak dikompensasi dengan return yang lebih tinggi. Kedua, size effect masih muncul meskipun
110
basis penyesuaian risiko telah digunakan. Keberadaan size effect tersebut dapat dimanfaatkan investor untuk mendapatkan keuntungan arbitrase dengan membentuk portofolio yang didasarkan pada nilai kapitalisasi perusahaan. Ketiga, B/M atau value effect tidak ditemukan dalam sampel pengamatan. Kedua hal tersebut membuktikan bahwa size dan B/M bukan merupakan proksi bagi risiko kesulitan keuangan. Keempat, momentum effect tidak ditemukan pada sampel pengamatan sehingga tidak terdapat kesempatan arbitrase dengan mengeksploitasi momentum sehingga investor tidak dapat memperoleh profit melalui strategi momentum. Hal tersebut bertentangan dengan argumen Jegadeesh dan Titman (1995) terkait profitabilitas dari strategi momentum. Kelima, temuan Agarwal dan Taffler (2008) terkait fenomena risiko kesulitan keuangan mendorong terjadinya anomali momentum tidak terbukti. Secara keseluruhan, temuan-temuan dalam penelitian ini konsisten dengan market underreaction hypothesis yang dikemukakan oleh Dichev (1998), Campbell, Hilscher, dan Szilagyi (2006), serta Agarwal dan Taffler (2008). Market underreaction terutama terjadi pada saham dengan kapitalisasi pasar besar, rasio B/M rendah, serta saham loser. Temuan tersebut mengarah kepada beberapa alternatif penjelasan. Pertama, adanya kesalahan dalam penilaian harga saham (mispricing) seperti yang dijelaskan oleh Dichev (1998) dan Agarwal dan Taffler (2008). Mispricing tersebut menyebabkan return saham tidak mencerminkan risiko yang ditanggung sehingga ditemukan premi risiko negatif.
111
Kedua, terdapat indikasi masih tingginya asimetri informasi pada pasar modal Indonesia. Hong, Lim, dan Stein (2000) menjelaskan bahwa salah satu penyebab munculnya market underreaction adalah karena adanya asimetri informasi terkait informasi publik yang tersedia. Argumen tersebut cukup logis untuk pasar modal Indonesia terutama karena masih terdapat inkonsistensi pada informasi publik terkait dengan laporan keuangan perusahaan. Hal tersebut dapat dimungkinkan karena terdapat perbedaan dalam metode pencatatan akuntansi yang dapat mengelabui investor. Ketiga, temuan lapangan juga menunjukan bahwa beberapa sumber informasi publik seperti Indonesian Capital Market Directory maupun datadata emiten yang tersedia dalam Bursa Efek Indonesia tidak konsisten dengan laporan keuangan perusahaan. Hal tersebut dapat mengarahkan investor untuk menghasilkan analisis yang bias, terlebih apabila dikaitkan dengan prediksi kesulitan keuangan maupun kebangkrutan yang sangat sensitif pada data-data keuangan perusahaan. Keempat,
teori
keuangan
keperilakukan
(behavioral
finance)
menjelaskan adanya market disposition effect. Market disposition effect menjelaskan perilaku investor untuk segera menjual saham dengan performa baik untuk memperoleh capital gains, dan menahan saham dengan performa buruk dengan harapan terjadinya rebound atau kembalinya performa saham ke posisi yang positif (Shefrin dan Statman, 1985). Argumen tersebut cukup logis untuk
menjelaskan
temuan
dalam
penelitian
ini
mengingat
market
underreaction ditemukan juga pada saham dengan kapitalisasi pasar besar dan
112
rasio B/M rendah, dimana secara konseptual, perusahaan-perusahaan tersebut dikategorikan sebagai perusahaan yang memiliki performa yang baik. Penurunan performa perusahaan-perusahaan tersebut tidak direspon oleh pasar dengan segera karena pasar memiliki harapan akan terjadinya rebound sehingga performa saham tersebut akan kembali ke posisi yang baik atau positif.
5.2
Keterbatasan Beberapa keterbatasan ditemukan sepanjang penelitian ini. Pertama,
adanya inkonsistensi pada data-data keuangan perusahaan baik bersumber dari Indonesian Capital Market Directory (ICMD), data-data emiten yang tersedia dalam Bursa Efek Indonesia, maupun laporan keungan perusahaan itu sendiri. Inkonsistensi tersebut dapat menyebabkan bias dalam analisis laporan keuangan yang digunakan sebagai dasar klasifikasi kesehatan perusahaan. Kedua, belum tersedianya data perusahaan yang mengalami kebangkrutan sehingga klasifikasi perusahaan ke dalam kondisi kesulitan keuangan tidak dapat dilakukan seperti metode Altman (1968) yang menggunakan perusahaan bangkrut dan tidak bangkrut.
5.3
Saran Beberapa saran yang dapat digunakan sebagai masukan bagi peneliti
selanjutnya antara lain, pertama, menganalisis faktor momentum pada momentum jangka pendek yaitu momentum 3 dan 6 bulan sebelum
113
pembentukan portofolio sehingga pola momentum effect untuk jangka pendek dapat diamati. Kedua, membentuk portofolio dengan prosedur lain untuk melihat sensitifitas pembentukan portofolio terhadap hasil analisis. Ketiga, menggunakan model empat faktor Carhart (1997) sebagai alat untuk menganalisis momentum effect. Analisis tersebut juga dapat membuktikan lebih lanjut apakah momentum merupakan proksi bagi risiko kesulitan keuangan. Keempat, menggunakan model prediksi kesulitan keuangan yang lain seperti Ohlson O-score yang digunakan oleh Dichev (1998), maupun model logit. Kelima, sebagai kontribusi kepada ilmu keuangan keperilakuan (behavioral finance), perlu diteliti lebih lanjut terkait dengan tendensi investor untuk segera menjual saham dengan performa baik dan menahan saham dengan performa buruk, yang diistilahkan dengan market disposition effect, di pasar modal Indonesia.
114