174
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Secara umum masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana surat kabar lokal dan nasional memberitakan peristiwa kekerasan di Yogyakarta dan mengapa demikian?” Masalah umum tersebut dapat dijabarkan menjadi tiga masalah khusus. Permasalahan pertama adalah: “Apa perspektif pemberitaan yang digunakan surat kabar lokal dan nasional dalam wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta dan mengapa demikian?”. Permasalahan kedua adalah: “Bagaimana strategi pemberitaan dimanfaatkan untuk membangun perspektif pemberitaan atas wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta?”. Permasalahan ketiga adalah: “Bagaimana bentuk-bentuk ekspresi kebahasaan dimanfaatkan untuk membangun perspektif pemberitaan atas wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta?”. Setelah dilakukan kajian, dipaparkan jawaban-jawaban yang menjadi kesimpulan dari permasalahan di atas. Dalam wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta dalam surat kabar lokal dan nasional, ditemukan dua perspektif pemberitaan, yaitu Perspektif A dan Perspektif B. Perspektif A adalah perspektif yang memberitakan peristiwa kekerasan di Yogyakarta tersebut dari sudut pandang Pihak Berwajib dan menyatakan bahwa peristiwa kekerasan di Yogyakarta merupakan peristiwa kriminal murni yang tidak ada kaitannya dengan masalah SARA. Perspektif B adalah perspektif dalam memberitakan peristiwa kekerasan di Yogyakarta dari
175
sudut pandang Aktivis dan menyatakan bahwa peristiwa kekerasan di Yogyakarta membuat kondisi intoleransi di Yogyakarta menjadi mengkhawatirkan. Dalam Perspektif A, hal-hal yang diberitakan berkaitan dengan penanganan yang dilakukan oleh Pihak Berwajib dan pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa kekerasan di Yogyakarta merupakan kejahatan kriminal murni serta pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa Yogyakarta tetap nyaman dan aman. Adapun tujuan pemberitaan dengan Perspektif A ini adalah supaya masyarakat Yogyakarta tetap tenang. Dalam Perspektif B, hal-hal yang diberitakan berkaitan dengan pendapat Aktivis bahwa kondisi intoleransi di Yogyakarta mengkhawatirkan karena telah terjadi aksi kekerasan bernuansa agama dan kritik dari para Aktivis yang memandang Pihak Berwajib gagal menjaga kerukunan dan sering tidak menindak tegas aksi-aksi kekerasan bernuansa agama di Yogyakarta. Adapun tujuan pemberitaan dengan Perspektif B ini adalah supaya Pihak Berwajib segera menangani kasus kekerasan tersebut sampai tuntas. Surat kabar lokal, terutama surat kabar lokal murni: Kedaulatan Rakyat dan Bernas lebih cenderung menggunakan Perspektif A. Kedekatan emosi sebagai bagian dari masyarakat Yogyakarta membuat Kedaulatan Rakyat dan Bernas menggunakan Perspektif A untuk menenangkan masyarakat Yogyakarta. Sementara itu, surat kabar lokal yang merupakan anak cabang dari surat kabar nasional: Harian Jogja dan Tribun Jogja tetap cenderung menggunakan Perspektif A, namun sesekali mencerminkan Perspektif B.
176
Surat kabar nasional: Kompas dan Koran Tempo cenderung menggunakan Perspektif B. Keduanya sama-sama menganggap kondisi intoleransi di Yogyakarta mengkhawatirkan. Sebagai surat kabar nasional Kompas dan Koran Tempo cenderung bersikap kritis dengan mengkritik Pihak Berwajib yang dipandang gagal menjaga kedamaian di Yogyakarta. Untuk membangun perspektif pemberitaan tersebut, dibutuhkan strategi tertentu yang disebut perspektif pemberitaan. Strategi pemberitaan yang digunakan dalam wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta dalam surat kabar lokal dan nasional meliputi (i) penjudulan, (ii) pengedepanan, (iii) kausalitas, (iv) penambahan, (v) amplifikasi, (vi) pengontrasan, dan (vii) perincian. Perspektif pemberitaan juga terwujud atau termanifestasi ke dalam bentukbentuk ekspresi kebahasaan. Setidaknya, perspektif pemberitaan wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta dalam surat kabar lokal dan nasional terwujud dalam (i) sistem ketransitifan, (ii) pilihan kata, dan (iii) modalitas. Sistem ketransitifan dan pilihan kata merupakan bentuk ekspresi kebahasaan yang mengemban fungsi ideasional, yaitu fungsi bahasa untuk merepresentasikan pengalaman tentang dunia terkait dengan perspektif pemberitaan. Sementara itu modalitas mengemban fungsi interpresonal, yaitu fungsi membangun hubungan sosial karena memuat sikap penutur terkait dengan perspektif pemberitaan. Sistem ketransitifan yang dimanfaatkan meliputi (i) proses material: perbuatan dan kejadian, (ii) proses mental: pemikiran, penglihatan, perasaan, dan keinginan, (iii) proses verbal: langsung dan tidak langsung, (iv) proses relasional,
177
dan (v) proses eksistensial. Setiap proses merepresentasikan pengalaman dengan caranya masing-masing. Pilihan kata yang dimanfaatkan memiliki tiga fitur, yaitu (i) fitur eksperiental, (ii) fitur relasional, dan (iii) fitur ekspresif. Modalitas dimanfaatkan untuk menyatakan sikap terkait dengan perspektif pemberitaan. Sikap-sikap tersebut terdiri atas (i) keinginan, (ii) harapan, (iii) ajakan, (iv) permintaan, (v) kemungkinan, (vi) keteramalan, (vii) keharusan, (viii) kepastian, (ix) izin, (x) perintah, dan (xi) kemampuan. Dengan demikian, wacana berita tentang peristiwa kekerasan di Yogyakarta telah memenuhi tiga fungsi bahasa menurut Halliday (1972) yang kemudian dikembangkan oleh Fairclough (1995) dan Gee (2011). Ada tiga fungsi bahasa
menurut
Halliday
yang
digunakan
Fairclough,
yaitu
fungsi
ideasional/representasi, interpersonal/relasi, dan tekstual/identitas. Wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta telah merepresentasikan sebuah fakta dari perspektif tertentu (fungsi ideasional/representasi). Melalui wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta tersebut memperlihatkan sebuah relasi antara Pihak Berwajib dengan Masyarakat dan Masyarakat yang diwakili Aktivis dengan Pihak Berwajib (fungsi interpersonal/relasi). Melalui wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta itu pula surat kabar lokal dan nasional mengidentifikasi identitas diri sebagai Pihak Berwajib atau Aktivis (fungsi tekstual/identitas) Wacana berita tentang peristiwa kekerasan di Yogyakarta juga memenuhi tiga fungsi bahasa menurut Gee (2011), yaitu sebagai sarana komunikasi (saying), sebagai sarana bertindak (doing), dan sebagai sarana menjadi (being). Melalui
178
wacana berita tentang kekerasan di Yogyakarta, surat kabar lokal dan nasional mengomunikasikan peristiwa tersebut melalui bahasa kepada pembaca (saying). Dalam kenyataannya, wacana berita tersebut juga digunakan untuk melakukan sebuah tindakan (doing) seperti mengkritik, meminta, mengimbau, memerintah, berjanji, dsb. Melalui wacana berita tentang peristiwa kekerasan di Yogyakarta itu pula, surat kabar lokal dan nasional menjadi sesuatu, yaitu Pihak Berwajib atau Aktivis.
5.2 Implikasi dan Saran Sebagaimana dijelaskan pada subbab Manfaat Penelitan (lihat 1.4), pemelitian ini membawa implikasi teoretis dengan dikukuhkannya teori yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa, terlebih di media massa, dipengaruhi oleh kekuasaan dan ideologi yang melingkupinya. Sebuah realitas yang sama dapat direpresentasikan menjadi dua atau lebih laporan yang berbeda, tergantung pada perspektif yang digunakan. Selain itu, penelitian ini juga membuktikan bahwa perspektif dalam
wacana berita dapat
dianalisis
secara kritis
dengan
memanfaatkan analisis wacana narasi. Penelitian ini juga berimplikasi secara praktis dalam hal penulisan berita. Sudah banyak literatur yang membahas teknik-teknik penulisan berita. Namun, masih jarang ditemukan referensi penulisan berita secara kritis. Dengan dikukuhkannya teori bahwa wacana berita merupakan laporan akan realitas dari perspektif tertentu, diharapkan akan muncul teknik-teknik penulisan berita secara
179
kritis dengan memanfaatkan perspektif pemberitaan, strategi pemberitaan, dan bentuk-bentuk ekspresi kebahasaan. Berkaitan dengan tema kekerasan bernuansa agama di Yogyakarta (dan di Indonesia pada umumnya), penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pihak-pihak terkait untuk para pengambil kebijakan dengan tujuan supaya peristiwa kekerasan tersebut tidak terulang kembali. Alih-alih ingin menuntaskan permasalahan yang ada, penelitian ini justru masih meninggalkan berbagai persoalan. Oleh karena itu, penelitian semacam ini masih dapat dilanjutkan dan disempurnakan. Misalnya, metode dalam penelitian ini perlu diterapkan pada jenis wacana berita lain seperti wacana berita bertema politik, ekonomi, bahkan olah raga. Dimungkinkan perbedaan tema dapat mempengaruhi metode yang digunakan.