BAB V PENUTUP
A. SIMPULAN Di bagian ini penulis menyimpulkan beberapa hal. Pertama, mengacu pada teori Clifford Geertz tentang defenisi agama, maka Perjamuan Kudus adalah salah satu simbol yang berupa tindakan simbolik dan ritual populer dalam agama Kristen. Tindakan tersebut merupakan hasil rekonstruksi gereja atas nilai-nilai budaya, social, politik dan religius bangsa Israel. Peristiwa Paskah (jamuan makan Paskah) Yahudi, perkataan Yesus di jamuan makan malam terakhir, peristiwa salib (pengurbanan) Yesus, serta perkataan Paulus, menjadi alat legitimasi bagi gereja untuk memelihara dan menetapkan tindakan simbolik tersebut sebaga salh satu sakramen di dalam gereja. Perjamuan Kudus memiliki dan memberi makna bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya.
Seluruh ide dan
maknanya secara sosiologis berfungsi bagi tatanan eksistensi kehidupan orang Kristen. Kedua, Perjamuan Kudus adalah simbol yang menciptakan perasaan mistik karena tindakan ini senantiasa melibatkan perasaan, emosi, dan kenangan yang mendalam terhadap sebuah peristiwa, actor ataupun makna yang ada di balik tindakan tersebut. Perasaan itu sangat kuat dan tidak mudah yang oleh Geertz sebut dengan istilah aura factual, yaitu sebuah perasaan, suasana hati, yang seolah-olah telah bertemu, bersentuhan dan bahkan menyatu dengan kekuatan metafisik, yaitu Realitas yang lebih Tinggi dan Yang Ilahi. Perasaan biasa muncul karena manusia secara langsung terlibat secara emosional dengan konsep-konsep, ide-ide ataupun makna-makna yang ada di dalam Perjamuan Kudus. Peristiwa dan aktor yang ada dan pernah terjadi di balik simbol itu dirasakan seolah-olah sedang terjadi dan
hadir secara nyata di dalam Perjamuan Kudus. 136
Memang agak sulit menjelaskan perasaan ini, tetapi seringkali terekspresikan dalam tindakan dan sikap yang unik dan khas yang dapat diindra. Ketiga, Perjamuan Kudus merupakan simbol yang dapat “mendorong” orang percaya melakukan ataupun mengerjakan sesuatu yang unik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain dalam kaitannya untuk menata dan mempertahankan eksistensinya sebagai komunitas Kristen . Ibadah, roti dan anggur Perjamuan Kudus menggugah sikap, suasana hati dan perasaan orang Kristen. Sehingga orang yang menerima roti dan anggur merasa bertanggungjawab atas tugas (misi) Allah di dalam dunia ini untuk menjadi “tubuh dan darah” Yesus. Menjadi tubuh dan darah Kristus merupakan “pesan moral” bagi manusia yang dapat diinterpretasi ke dalam berbagai konsep. Manusia terpanggil untuk menjadi pembawa berita “kehidupan” Yesus itu bagi yang belum “mengenalnya” dan memperjuangkan hal-hal yang telah diperjuangkan oleh Yesus selama kehidupannya. Menjadi tubuh dan darah Kristus memberi makna “harapan” tidak hanya pada kehidupan di dunia ini, melainkan di kehidupan yang kekal hingga pada kedatangan Yesus yang kedua kalinya. Perjalanan menuju perjamuan kawin anak domba (bruiloftmall), bukanlah perjalanan yang mudah, tetapi perjalanan itu penuh dengan tantangan dan chaos yang di dalamnya ada
kegelisahan, ketakutan, dan penderitaan. Akan
tetapi makna
Perjamuan Kudus mengundang manusia untuk mencari dan bergantung pada kekuatan yang Ilahi, kekuatan Suprnatural dan Yang Tidak terbatas. Ketergantungan manusia pada Yang Tidak Terbatas, memungkinkan manusia mendapatkan jawaban atas kegelisahan dan ketakutan atas pengalamanpengalaman buruk kehidupannya. Semakin besar ketakutan dan kegelisahan manusia karena chaos, semakin besar rasa ketergantungan manusia pada yang sacral, yang misteri dan ilahi. Karena ide dan makna yang ada di dalam Perjamuan memberi inspirasi 137
penguatan, penghiburan dan bahkan pengharapan bagi setiap chaos yang terjadi di dalam dunia ini. B. REFLEKSI 1. Hati Manusia Yang Terus Mencari Kehidupan manusia di dalam tatanan kosmos ini tidak akan pernah luput dari “ancaman chaos”. Setidaknya ada dua ancaman chaos yang terbesar dalam kehidupan manusia, penderitan dan kematian. Penderitaan
membuat orang tersadar dari
keterlenaannya dan mempertanyakan Tuhan, sedangkan kematian mengingatkan dan menyadarkan setiap manusia bahwa kehidupan di dunia ini tidak akan pernah kekal. Kegelisahan dan ketakutan ini mengantarkan manusia pada pertanyaan, mengapa ada penderitaan dan apa tujuan akhir dari kehidupan ini. Oleh karena itulah manusia senantiasa mencari sesuatu “kekuatan” di luar dirinya mengisi ruang kosong dan kegelisahan itu. Yang dicari manusia adalah “Yang abadi dan Tidak Terbatas”. Sesuatu yang mampu menjawab segala penderitaan dan keterbatasannya. Ruang dan waktu di mana manusia berada dalam keterbatasan dan kerapuhan menimbulkan sebuah pengakuan bathin bahwa kehidupan yang sesungguhnya itu hanya ada di dalam Tuhan Sang Sumber Kehidupan sejati. Oleh karena itulah, manusia mencari dan membayangkan sesuatu yang Tidak Terbatas dan Yang Kekal untuk menikmati kebahagiaan dan kepenuhan hidup yang sejati. Hati manusia akan terus mencari yang Ilahi, Yang Tidak Terbatas, Yang Supernatural di dalam dan melalui tatanan eksistensinya. Ketika manusia mengalami kesatuan hidup bersama dengan Yang Tidak Terbatas-Allah, saat itulah manusia menemukan jawaban dirinya. Hidup bersama dan bersatu dengan Allah adalah alasan sekaligus tujuan mengapa manusia hidup.
138
Chaos menjadikan manusia untuk tetap bergantung kepada Yang Tidak Terbatas. Sekalipun peradaban manusia semakin modern, akan tetapi tidak menjadi jaminan bagi manusia terhindar dari chaos. Bahkan sebaliknya semakin berkembangnya peradaban manusia, kegelisahan dan ketakutan manusia terhadap chaos akan semakin meningkat. Manusia yang gelisah akan terus bergantung pada agama, simbol-simbol dan ritual-ritual kegamaan. Agama semakin kuat karena ia dan seperangkat sistem pola makna di dalamnya menyediakan jalan alternatif bagi manusia untuk keluar, menjalani ataupun menyelesaikan permasalahan dari chaos tersebut. Semakin besar rasa chaos yang dialami oleh manusia, semakin kuat ketergantungannya kepada Yang Ilahi, dan Yang Misteri. Frans Magnis Suseno mengatakan, ketergantungan manusia kepada pencipta, membuat ia semakin bebas. Dari kebebasan kehendak itu jugalah Allah dengan efektif melaksanakan kehendaknya di dalam dunia.1 Karena hanya dengan ketergantungan itu, manusia akan memiliki kekuatan dan harapan untuk tetap mempertahankan eksistensinya. 2. Jangan Sampai Terlupakan! Bagi setiap orang Kristen, Perjamuan Kudus merupakan suatu momen dimana seseorang akan mengalami pengalaman mistik yang mempesona sekaligus menakutkan. Manusia merasa ada sebuah “Realitas Yang Lebih Tinggi” yang datang menghampiri dan menemui dirinya secara priadi maupun secara kolektif. Realitas itu datang untuk duduk bersama, bercakap-cakap dan bahkan makan bersama dengan manusia di dalam ruang yang sama. Oleh karena perasan itu berbagai ragam tindakan dan sikap orang-orang Kristen terlihat unik dan khas.
1
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), 212
139
Indahnya pengalaman mistik itu membuat para teolog menempatkan Perjamuan Kudus sebagai pusat ibadah dan wacana teologis yang bertendensi pada pengalaman mistik (kehidupan religius dan kesalehan batiniah) secara pribadi di sepanjang perkembangan Teologia Kristen,. Makna Perjamuan Kudus cenderung direduksi hanya sebatas masalah antara manusia dengan Yang Transenden. Karya Allah yang telah berkorban untuk keselamatan manusia. Sementara konsep tentang relasi-relasi sosial yang terkandung di dalam Perjamuan Kudus terbaikan dan terlupakan oleh Gereja. Manusia cenderung lebih mengutamakan pengalaman kebatinan (mistik) saja. Manusia terlalu asyik dengan pengalaman dan kesalehan religiusnya secara individu dan mengabaikan kesalehan dan pengalaman religius sosialnya. Manusia terlalu asyik dan bahkan hampir tenggelam dengan “aura faktualnya” secara indvidu dan cenderung lupa pada aura factual sosialnya. Sementara bagi Geertz kekayaan makna symbol-simbol religius tereta pada makna social dalam arti mampu mempengaruhi seseorang melakukan sesuatu yang bermakna bagi dirinya dan orang lain. Simbol-simbol religius menjadi kuat karena mempererat ikatan-ikatan sosial di dalam masyarakat. Ia lahir dari masyarakat yang berbudaya dan akan mempengaruhi masyarakat yang berbudaya itu. Pengalaman religius itu akan semakin bermakna karena pengalaman-pengalaan tersebut akan menghubungkan manusia dengan komunitasnya yang lebih luas. Sistem makna dalam agama tidak datang dari dirinya sendiri, melainkan datang dari masyarakat pemeluknya.” 2 Ritual menjadi buruk ketika ia dilepaskan dari makna sosialnya. 3 Karena ritual yang sesungguhnya tidak hanya menyangkut trend spiritualisasi antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga trend istitusional yang menciptakan hubungan sosial di dalam masyarakat.
2
Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements A Sosiologcal Theory of Religion, (New York: Anchor Book, 1967), 14 3 Joas Adiprasetya, Raja Yang Menderita,…, 68
140
Oleh karena itu bagi penulis sendiri, makna Perjamuan Kudus sebagai simbol dan ritual sakral dalam agama (Gereja), yang hampir terabaikan dan terlupakan oleh warga gereja, di ataranya adalah: Makna Revolusi dalam Pengorbanan Yesus Peristiwa pengorbanan Yesus di salib yang selalu dikenang, dihayati dan dihidupi dalam ritual Perjamuan Kudus, sesungguhnya tidak hanya sebuah pengalaman spiritualitas saja, melainkan sebuah pelajaran sejarah yang bermakna politis. Soteriologi Salb Yesus menjadi sumber inspirasi yang memberi pengharapan, hikmat dan semangat revolusi bagi kehidupan politik Gereja di ruang publik untuk melawan berbagai bentuk ketidakadilan. Kematian Yesus merupakan representasi dari langkah terakhir (ultimate step) dari pengajaran dan aksi Yesus yang concern pada Kerajaan Allah. Dia membuat keputusan untuk membawa berita kerajaan Allah ke dalam dunia yang tertindas dan miskin meskipun para penguasa, pemilik kekuasan,
orang-orang kaya dan kelas para hakim
memiliki kekuatan untuk membawa dan mengantarkanNya pada kematian. Ketika gereja dan orang-orang Kristen membagi-bagikan roti dan cawan perjanjian, ini adalah sebuah tanda dari komitmen gereja untuk memperjuangkan sebuah keadilan yang telah dimotivasi oleh Yesus. Yesus mengekspresikan komitmennya tidak hanya melalui kata-kata, akan tetapi dengan aksiNya. Dia berkonfrontasi dengan orang-orang kaya yang menindas yang berada diantara para imam di dalam Bait Suci. Perjamuan Kudus sebagai anamneses akan peristiwa Penyaliban dan kebangkitan Yesus membawa orang Kristen pada sebuah kesadaran bahwa peristiwa itu adalah keberpihakan Allah kepada mereka
yang tersalib, dan terbuang dari
kemasyarakatan. Kisah kebangkitan Yesus, menyadarkan semua orang percaya bahwa 141
kedamaian yang ditawarkan dan dihidupi oleh Yesus bukanlah damai yang melanggengkan status quo berdamai dengan keadan seadanya. Kebangkitan Kristus
adalah bentuk
perlawanan Allah terhadap kecenderungan yang membiarkan orang membenarkan kekerasan demi kepentingan agama. Dengan menghidupkan Yesus, Allah menentang kekuasaan yang membunuh.
Dengan membangkitkan Yesus,
Allah menyingkapkan
ketersesatan pola pikir agama. Sebab Allah yang berkarya dalam peristiwa Yesu Kristus, bukanlah Allah yang menutup-nutupi kesalahan hanya demi perdamaian. Dengan menempatkan Perayaan Perjamuan Kudus sebagai sebuah tindakan religius untuk mengenang penyaliban dan kebangkitan Yesus, gereja disadarkan dan dimotivasi bahwa Yesus yang dibangkitkan itu tidak hidup dalam dunia tanpa pertentangan dan konflik. Akan tetapi Yesus hidup dalam dunia penuh dengan kedamaian semu. Oleh karena itu gereja perlu membongkar kedamaian yang semu itu. Gereja yang mampu membongkar kesemuan itu hanyalah gereja yang berani keluar dari zona aman, keluar dari kubur kedamaiannya dan menyingkapkan kebenaran. Kebenaran menimbulkan konflik dan penolakan dari mereka yang membencinya, akan tetapi hanya dengan keberanian berkonflik untuk menyataan kebenaran, Yesus menjadi Kristus yang menang atas segala ketidakadilan sehingga Ia layak untuk dipermuliakan. Perayaan Perjamuan Kudus mengingatkan manusia atas kehendak Allah yang selalu menuntut ketidakadilan. Kebangkitan yang telah dimateraikan oleh Allah sendiri di dalam pengabdian Yesus pada Kerajaan Allah adalah indikasi dari tuntutan atas ketidakadilan itu. Gereja terpanggil tidak saja hanya untuk menjual “produk-produk” yang menciptakan aura factual dan kesalehan yang memuaskan hati dan perasaan setiap individu, akan tetapi gereja terpanggil dan dipilih untuk mengahadirkan dan memproduksi aura factual secara sosial. Gereja terpanggil tidak saja hanya mempertahankan ritual-ritual 142
individual, akan tetapi terpanggil juga untuk mempertahankan ritual-ritual sosial. Orangorang Kristen telah meminum cawan “pengampunan dosa” dan telah berjanji untuk membaharui tingkah lakunya, dan oleh karena itulah Gereja perlu tahu dan peduli terhadap masalah-masalah sosial yang ada di sekelilingnya. Roti dan Anggur bagi Mereka Yang Lapar dan Haus Hasil rumusan oikumenis gereja-gereja tentang Perjamuan Kudus di sidang WCC di Geneva pada tahun 1975, sesungguhnya adalah suatu pernyataan teologis yang sangat indah, tetapi pertanyaan adalah, apakah Perjamuan Kudus seperti dipraktekkan gereja-gereja dalam sejarah dan khususnya masa kini telah mengungkapkan kepada dunia sebagaimana seharusnya dunia itu? Perjamauan Kudus telah kehilangan panutan dengan akar-akar historisnya dalam persekutuan Yesus dengan setiap orang tanpa kecuali, secara khusus terhadap orang-orang berdosa. Perjamuan Kudus tidak lagi menjadi jamuan sacramental bersama semua orang, Perjamuan Kudus hanya terbungkus dalam misteri tradisi-tradisi gereja yang terlilit dalam hukum-hukum gereja serta diskursus teologis belaka, bahkan ironisnya Perjamuan Kudus telah menjadi tempat dimana keterpecahan gereja-gereja menjadi tampak dan nyata secara menyakitkan.4 Perjamuan Kudus sebagai lembaga gerejawi
telah menjadi pusat
kehidupan liturgis Yesus yang terasing dari kekayaan dan keanekaragaman kehidupan yang ada di dalamnya. Ia tidak lebih hanya sekedar kehidupan rohani yang ditentukan oleh aturan dan petunjuk-petunjuk dari setiap gereja. Ia hanya mampu memenuhi tuntutan perdamaian, kepercayaan dan pengampunan dari para pemimpin gereja saja. Undangan perjamuan di meja Perjamaun Kudus menjadi undangan yang “bersyarat”. Persayatan itu menunjukan sebuah kehormatan dan kekudusan dari Perjamaun Kudus itu sendiri. Apakah
4
Choan Seng Song, Allah Yang Turut Menderita, (Jakarta: BPK-GM, 2008), 177
143
memang demikian saat Yesus melakukan berbagai perjamuan makan yang berpuncak pada Perjamuan malam terakhir menjelang kematiannya? Sebagai anggota komunitas Allah, seharusnya gereja tidak perlu memberi batasan bagi setiap orang orang Kristen siapa saja untuk ambil bagian di dalam perjamuan itu. Seperti kebiasaan selama ini, Gereja melayani perjamuan Kudus hanya bagi orang-orang orang-orang dewasa dan tidak sedang dalam kasus “dikenai siasat gereja.”5 Sementara anak-anak dan mereka yang “sedang dikenai siasat gereja” terabaikan dan terpinggirkan dalam jamuan ini. Sikap gereja yang seperti itu menurut penulis adalah sikap yang cenderung membatasi “undangan kasih” Allah kepada manusia. Gereja mendeskriminasi antara orang-orang yang “layak” dan tidak, antara orang kudus dan suci dengan orang yang “kotor.” Ini merupakan kritikan penulis bagi gereja. Sesungguhnya Allah telah mengundang semua orang untuk bisa ikut mkan bersama, menerima kurban tubuh dan darah Yesus, tetapi gereja memberi batasan hanya untuk “orang Kristen” tertentu saja. Oleh karena itu gereja wajib merekontruksi teologi Perjamuan Kudus yang dimulai dengan persekutuan meja antara Yesus dan orang-orang berdosa dan orang-orang tersingkir? Gereja
harus kembali ke akar-akar teologis tentang sakramen. Yesus
melakukan perjamuan makan (perjamuan Kudus) sebagai bentuk kepedulianNya kepada semua orang tanpa melihat status dan kelas setiap orang, perempuan, laki-laki, orang miskin dan kaya duduk bersama Yesus mengelilingi meja Perjamuan. Partisipan Perjamuan Kudus menerima roti dan anggur yang sama, bersama-sama mengenang peristiwa agung dan sakral peristiwa pengorbanan Yesus yang menyelamatan manusia. Lalu yang menjadi pertanyaan, mengapa gereja seringkali membuat sekat dan kelas pembedaann di antara
5
Beberapa Gereja dalam peraturannya memberlakukan bahwa mereka yang terkena “siaat gereja” dan sedang menjalani masa penggembalaan, tidak boleh ikut serta dalam perjamuan Kudus. Hal ini juga menimbulkan berbagai perdebatan di beberapa denominasi dan aliran gereja selain aturan bahwa anak-anak (yang belum disidikan) tidak boleh menerima Perjamuan Kudus.
144
anggota gerejanya? Mengapa jarak antara yang miskin dan kaya masih saja jelaas terlihat di dalam gereja? Yang kaya merasa menjadi superordinasi, dan kelas miskin menjadi objek subordinasi? Yesus memberi tubuh dan darahNya sebagai roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus mengingatkan semua orang pada sebuah langkah terakhir yang dilakukan oleh Yesus untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia ini dengan memperbaiki ketidakadilan struktur dan kekerasan di dalam tatanan sosial masyarakat yang banyak memakan korban orang-orang yang tidak berdaya. Yesus telah mengorbakan diriNya sebagai korban untuk memenangkan rivalitas masyarakat yang kacau karena mimetic desire yang tidak terkontrol. Pengorbanan Yesus merupakan langkah terakhir untuk menciptakan harmonisasi atas kekacauan dalam tatanan sosial masyarakat. Semua dilakukan Yesus untuk kepentingan dan kebaikan manusia. Lalu apa yang dilakukan oleh gereja dan para pengikutnya? Tanpa sadar para pengikutnya hanya sibuk memikirkan Yesus, para pengikut hanya sibuk dengan aura factual dalam pertemuan dengan Yesus di saat perjamuan Kudus dan lupa menghidupkan gerakan-gerakan Yesus dalam mewujudkan harmonisasi tatanan eksistensi manusia. Para pengikut Yesus lebih cenderung memikirkan bagaimana cara masuk dalam Kerajaan Allah tanpa peduli dengan tatanan masyarakat yang di dalamnya Allah sedang dan terus bekerja untuk menghadirkan Kerajaan Allah itu. Chaos terjadi di mana-mana, sejuah mana Gereja hadir dan mendatangkan harmonisasi atas situasi chaos itu? Atau tanpa sadar gereja sudah dan sedang terlibat ikut serta dalam menciptakan dan memelihara chaos itu? Semua yang dilakukan oleh Allah melalui Yesus yang puncaknya pada peristiwaa penyaliban Yesus yang senantiasa dikenang dalam perjamuan Kudus semata-mata karena kepedulian Allah kepada manusia, agar tatanan eksistensi manusia harmonis. Gereja, Pengikut Yesus apa yang sedang dan 145
akan terus diperjuangkan untuk menciptakan harmonisasi tatanan eksistensi kita sebagai manusia? Meja Perjamuan menolak Dominasi Kepemimpinan Satu issue yang menarik dari perjamuan malam terakhir yang dilakukan Yesus dalam catatan Lukas adalah isu tentang “dominating power and authority.” Setelah selesai jamuan makan, percakapan unik dan cenderung menjadi pertengkaran di antara para murid sangat menarik perhatian Yesus, “siapakah yang dianggap terbesar” di antara mereka. Ya, Tidak bisa dipungkiri, the dominating power and authority issue yang menjadi bahan perdebatan dan pertengkaran di antara para murid Yesu di meja Perjamuan Paskah malam itu telah merasuki tubuh dan sendi-sendi gereja dewasa ini. Dan perkataan Yesus kepada para murid di malam itu sesungguhnya ditujukan kepada pimpinan gereja sekarang ini. Pimpinan Gereja cenderung sibuk dengan perebutan kekuasaan dan otoritas mereka. Alih-alih perbedaan pendapat dan perbedaan pemahaman teologis, perpecahan (skisma gereja) seringkali dipicu oleh dominating power dan authority ini.6 Perkataan Yesus di malam itu sangat dalam, tajam dan mengejutkan para murid. “Yang ingin menjadi terbesar di antara mereka hendaknya menjadi lebih muda dan melayani yang lain.” Perkataan ini jelas bertolak belakang dengan kebiasaan para murid dan dunia sekuler yang ingin berkuasa, memiliki otoritas dan ingin mengontrol yang lain.
C. Rekomendasi Penulis: Gereja diharapkan untuk memikirkan adanya pembaharuan liturgi dan tata cara perayaan Sakramen Perjamuan Kudus.
6
Yosep A. Grassi, Broken Bread,…, 66
146