BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Kinerja Lembaga Manajemen Kolektif dalam Perspektif Pencipta Lagu dan Pengguna Lagu (User) Ada persamaan dan perbedaan dalam praktik kegiatan LMK yang dijalankan KCI, WAMI, dan RAI: (1)hubungan LMK dengan pencipta lagu. WAMI dan RAI mengikuti pencipta lagu, sedangkan KCI mengikuti ciptaan lagu; (2)ketiga LMK mengadakan perjanjian kuasa mengelola hak ekonomi atas ciptaan lagu yang menghambat pencipta lagu bertransaksi dengan pengguna lagu (user); (3)ketiganya juga menempatkan blanket license sebagai satu-satunya penawaran kepada pengguna lagu (user); dan (4)formula pendistribusian royalti. KCI dan WAMI menggabungkan proporsional dengan pro-rata, sementara RAI menggunakan level pencipta lagu yang terbagi menjadi delapan tingkat. Praktik kegiatan LMK di atas, dalam perspektif pencipta lagu, terdapat dua masalah: (1)KCI dan WAMI tidak mempunyai infrastruktur untuk menghitung jumlah pengumuman per-lagu yang dijalankan para pengguna lagu (user); dan (2)perjanjian kuasa mengelola hak ekonomi atas ciptaan lagu yang dijalankan ketiga LMK mengakibatkan peserta atau anggota LMK tidak dapat bertransaksi dengan pengguna lagu (user).
Dalam perspektif pengguna lagu (user), masalah dalam praktik kegiatan LMK adalah keberadaan blanket license sebagai satu-satunya penawaran. Masalah ini beriringan dengan klausul dalam perjanjian kuasa mengelola hak ekonomi atas ciptaan lagu yang tidak memberikan kesempatan pengguna lagu (user) bertransaksi dengan pencipta lagu. Hubungan hukum LMK dengan pencipta lagu berkharakteristik hubungan
hukum
menggabungkan
keperantaraan
kuasa
dengan
atau
pelayanan
kemakelaran. berkala
LMK
sebagaimana
disebutkan Pasal 62 KUHD. Dalam menjalankan keperantaraan tersebut, LMK berhak atas upah dari setiap pekerjaan untuk kepentingan pencipta lagu. Upah demikian dilindungi Pasal 91 UU No. 28 Tahun 2014. Pengaturan LMK diarahkan pada sistem one stop shops. Sistem ini membutuhkan satu induk LMK, yang oleh UU No. 28 Tahun 2014 disebut sebagai LMK Nasional. Pasal 6 Permen Hukum dan HAM No. 29 Tahun 2014 jo Pasal 93 UU No. 28 Tahun 2014 memberikan tugas kepada LMK Nasional untuk mengarahkan LMK-LMK yang ada dibawahnya. Beberapa negara yang dijadikan rujukan penyusun UU Hak Cipta dalam merumuskan sistem one stop shops meliputi: Inggris, Brasil, dan China.
438
2. Bentuk-bentuk Tindakan Lembaga Manajemen Kolektif yang mengarah pada Tindakan yang dapat Dianggap Melanggar Hukum Persaingan Indonesia Hasil analisis pendekatan perilaku (behaviour) maupun structureconduct-performence (SCP) memperlihatkan bahwa praktik kegiatan LMK berada dalam jangkauan hukum persaingan. KCI dan WAMI memiliki lebih dari 10% pangsa pasar dan keduanya menyatukan izin pengumuman lagu menjadi satu kesatuan dalam blanket license kemudian menempatkannya sebagai satu-satunya tawaran kepada pengguna lagu. Tindakan kedua LMK dapat dianggap sebagai tindakan yang melanggar larangan perjanjian pengikatan sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999. Perjanjian kuasa mengelola hak ekonomi ciptaan lagu dari KCI dan WAMI seolah-olah menjadikan pencipta lagu dengan LMK sebagai kemanunggulan pada saat LMK bertransaksi dengan pengguna lagu (user), padahal pencipta lagu dan LMK merupakan dua entitas yang berbeda level kegiatan. Kedua LMK memiliki lebih dari 10% pangsa pasar. Perjanjian kuasa kedua LMK merugikan beberapa pengguna lagu (user) seperti: perusahaan radio, perusahaan hotel dan restauran, serta pengelola pusat belanja. Tindakan KCI dan WAMI demikian dapat dianggap sebagai tindakan yang melanggar larangan perjanjian integrasi vertikal sebagaimana dirumuskan Pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999.
439
KCI memiliki lebih dari 50% pangsa pasar. KCI menempatkan blanket license sebagai satu-satunya penawaran kepada pengguna lagu (user), yang dampaknya merugikan perusahaan radio, perusahaan hotel dan restauran, serta pengelola pusat belanja. Tindakan KCI demikian dapat dianggap sebagai tindakan yang melanggar larangan kegiatan monopoli sebagaimana dirumuskan Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999. Penting dipahami bahwa blanket license tidak dikecualikan dari penerapan hukum persaingan karena blanket license bukanlah lisensi sebagaimana diatur UU No. 28 Tahun 2014, dan blanket license secara terang menampakkan sifat anti persaingan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa tindakan LMK yang melanggar UU No. 5 Tahun 1999 tidak jatuh menjadi tanggung jawab pencipta lagu sebagai pemberi kuasa. Argumennya, blanket license sebagai satu-satunya penawaran justru mengakibatkan keengganan pengguna lagu (user) untuk membayar royalti, yang pada akhirnya merugikan pencipta lagu sebagai pemberi kuasa karena sedikitnya pengguna lagu (user) yang membayar royalti. Argumen ini menarik isu penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden), karena perjanjian kuasa dipersiapkan oleh masing-masing LMK terlebih dahulu sehingga pencipta lagu tinggal menyepakatinya. Perjanjian demikian, berdasarkan doktrin misbruik van omstandigheden, dapat dibatalkan karena tidak memenuhi persyaratan subyektif perjanjian.
440
Perbandingan dengan kasus hukum persaingan terkait LMK yang terjadi di UE, Polandia, dan US memperlihatkan bahwa eksistensi kekuatan pasar menjadi argumen mengapa LMK menarik perhatian hukum persaingan. Kekuatan pasar berujung dari penempatan LMK sebagai pihak yang mendapatkan kuasa pencipta lagu untuk mengelola hak ekonomi atas ciptaan lagu, dalam bentuk memberikan izin pemanfaatan lagu kepada pengguna lagu (user), menarik royaltinya serta mendistribusikan kepada pencipta lagu. Ada perbedaan cara menguji jangkauan hukum persaingan terhadap praktik kegiatan LMK: kasus di UE dan Polandia mempertimbangkan efisiensi produksi, sedangkan kasus di US mempertimbangkan efisiensi alokasi. Dalam menganalisis praktik kegiatan LMK di Indonesia, penelitian ini menempatkan efisiensi alokasi sebagai pertimbangan karena efisiensi produksi tidak dalam irisan hukum persaingan.
3. Proyeksi Kinerja Lembaga Manajemen Kolektif di Indonesia Masa Mendatang yang Selaras dengan Hukum Persaingan Indonesia Perlu adanya jasa izin pengumuman lagu selain blanket license berupa: izin pengumuman lagu individual dan izin pengumuman izin pengumuman lagu per-program. Ketiganya dijalankan melalui LMK. LMK hendaknya mengaplikasikan: (1)formula pendistribusian royalti terkumpul berdasarkan jumlah lagu per-pencipta yang didaftarkan
441
di LMK; dan (2)pola hubungan LMK dengan pencipta lagu yang mengikuti ciptaan lagu. Perlu adanya persaingan dalam praktik kegiatan LMK. Pertamatama yang perlu dipahami adalah bahwa frasa “...badan hukum nirlaba..” membuka peluang badan hukum Perkumpulan non profit-orinted, badan hukum Koperasi non profit-oriented, badan hukum PT yang non profitoriented, Ormas baik berbentuk badan hukum Perkumpulan atau Yayasan, dan badan hukum Yayasan. Frasa tersebut juga dapat dijelaskan melalui hubungan hukum kemakelaran yang memberikan hak upah atas perkerjaan LMK dalam mempertemukan pencipta lagu dengan pengguna lagu (user). Upah demikian, pada Pasal 91 UU No. 28 Tahun 2014, disebut sebagai biaya operasional. LMK sebagai badan hukum nirlaba tetap tunduk pada UU No. 5 Tahun 1999 karena Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 menekankan pelaku usaha sebagai entitas yang menjalankan kegiatan usaha, terlepas profit-oriented maupun non profitoriented. Fokusnya terhadap ada tidaknya tindakan pelaku usaha yang menciderai persaingan, karena baik badan hukum profit oriented maupun non profit-oriented, kedua-duanya mempunyai keuntungan yang sama bilamana menciderai persaingan. Berikutnya, penyeragaman pengelolaan LMK melalui LMK Nasional hendaknya memperhatikan kehadiran persaingan dalam industri LMK. Kehadiran persaingan LMK akan mendorong masing-masing LMK untuk selalu meningkatkan kinerjanya agar tetap bertahan di industri LMK, karena persaingan menyediakan
442
mekanisme koreksi bagi LMK yang kinerjanya berdampak negatif kepada pencipta lagu. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka penyeragaman hanya diarahkan pada: (1)hadirnya penawaran LMK berupa blanket license, per-program license, dan lisensi individual; (2)hubungan LMK dengan pencipta lagu yang mengikuti ciptaan lagu; dan (3)formula pendistribusian royalti mengikuti jumlah ciptaan lagu per-pencipta yang didaftarkan di LMK. Selebihnya tidak perlu penyeragaman, atau dalam kalimat lain, diserahkan mekanisme persaingan antar LMK dan tidak perlu diatur LMK Nasional. Tujuannya mereduksi peluang terjadinya kartel yang justru merugikan para pencipta lagu maupun para pengguna lagu (user).
B. Saran 1. Penetapan mengenai tata cara pendistribusian royalti dan besaran royalti sebagaimana dimaksud Pasal 6 huruf f Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 29 Tahun 2014 hendaknya mendorong pendistribusian ciptaan lagu, sebagaimana efisiensi yang menjadi tujuan hukum hak cipta. Wujudnya meliputi: (1)pola hubungan LMK dengan pencipta lagu yang mengikuti ciptaan lagu, sehingga pencipta lagu dapat secara bebas mendaftarkan lagunya di LMK mana sesuai dengan kebutuhan dan preferensinya; dan (2)formula pendistribusian royalti didasarkan jumlah lagu yang didaftarkan per-pencipta lagu di LMK, sehingga setiap
443
pencipta diberikan insentif untuk menciptakan lagu sebanyak mungkin dan mendaftarkan lagunya di LMK. 2. Penetapan sistem dan tata cara perhitungan royalti sebagaimana dimaksud Pasal 6 huruf e Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 29 Tahun 2014 hendaknya mendorong efisiensi alokasi sebagaimana tujuan hukum persaingan. Bentuknya meliputi kehadiran produk LMK berupa: blanket license, per-program license, dan lisensi satuan/individual. Ketiganya tetap dijalankan melalui LMK untuk menghindari pemungutan ulang kepada pengguna lagu (user). 3. Penyeragaman pengelolaan LMK melalui LMK Nasional hanya diarahkan pada: (1)hadirnya penawaran LMK berupa blanket license, per-program license, dan lisensi individual; (2)hubungan LMK dengan pencipta
lagu
yang
mengikuti
ciptaan
lagu;
dan
(3)formula
pendistribusian royalti mengikuti jumlah ciptaan lagu per-pencipta yang didaftarkan di LMK. Selebihnya tidak perlu penyeragaman, atau dalam kalimat lain, diserahkan mekanisme persaingan antar LMK dan tidak perlu diatur LMK Nasional. Tujuannya mereduksi peluang terjadinya kartel yang justru: (1)merugikan para pencipta lagu maupun para pengguna lagu (user); (2)mengakibatkan tidak ada atau minimnya konstribusi ekonomi pengumuman lagu terhadap industri lagu nasional; dan (3)dalam skala ekstrim menarik sikap apatisme terhadap LMK yang dampak akhirnya adalah rendahnya martabat Indonesia di dunia internasional.
444
4. Perlu penjelasan lebih lanjut frasa “....badan hukum nirlaba....” pada Pasal 1 angka 22 UU No. 28 Tahun 2014 untuk memperlihatkan bahwa rumusan tersebut membuka peluang badan hukum berbentuk badan hukum Perkumpulan non profit-orinted, badan hukum Koperasi non profit-oriented, badan hukum PT yang non profit-oriented, Ormas baik berbentuk badan hukum Perkumpulan atau Yayasan, dan badan hukum Yayasan. Fokusnya adalah larangan adanya hak atas keuntungan bersifat harta kekayaan bagi orang-orang dalam perhimpunan, larangan adanya hak dividen yang dimiliki pemegang saham PT, larangan adanya hak SHU bagi anggota Koperasi. Sepanjang AD ketiganya mencantumkan tidak adanya pembagian keuntungan (profit) bersifat harta kekayaan, maka dapat dikatakan bahwa ketiganya adalah badan hukum nirlaba. Penjelasan demikian dapat dijadikan pijakan bahwa LMK tidak wajib berbadan hukum Yayasan. Penjelasan demikian untuk menghindari terjadi kerancuan dalam praktik. 5. Konstruksi hubungan hukum kemakelaran/keperantaraan antara pencipta lagu dan LMK sebagaimana terlihat Pasal 1 angka 22, Pasal 87, dan Pasal 91 UU No. 28 Tahun 2014 perlu dipertegas untuk menguatkan dalil bahwa LMK merupakan badan hukum nirlaba.
LMK sebagai
makelar/perantara berhak atas upah dari pekerjaan yang dilakukannya. Pekerjaannya adalah mempertemukan pencipta lagu dengan pengguna lagu (user). Pekerjaannya berangkat dari pemberian kuasa mengelola hak ekonomi ciptaan lagu. Upahnya berbentuk biaya operasional. Pemberian
445
upah/biaya operasional bukanlah mencari keuntungan materi (profitoriented),
tetapi
bayaran
(honorarium)
dari
pekerjaan
LMK
mempertemukan pencipta lagu dengan pengguna lagu (user), yang pekerjaan ini berangkat dari pemberian kuasa dari pencipta lagu kepada LMK untuk mengelola hak ekonomi ciptaan lagu milik pemberi kuasa. 6. Berkaitan dengan saran nomor keempat, sejak hukum persaingan fokus terhadap perilaku atau tindakan (obyek) bukan memusatkan perhatian kepada pelaku usaha (subyek), maka Pasal 50 huruf i UU No. 5 Tahun 1999 memerlukan peraturan dari KPPU. Pengecualian keberlakuan UU No. 5 Tahun 1999 bagi Koperasi sebagaimana dirumuskan pasal tersebut tidak inheren terhadap efisiensi alokasi. Peraturan KPPU dalam lingkup ini mengarah: bahwa Pasal 50 huruf i UU No. 5 Tahun 1999 hanya berlaku sepanjang Koperasi dalam praktik kegiatannya tidak menciderai persaingan. Langkah tersebut untuk memitigasi pelaku usaha yang memilih badan hukum Koperasi yang hanya bertujuan menghindari keberlakuan UU No. 5 Tahun 1999.
446