BAB V PENGARUH MOTORISASI TERHADAP SISTEM SOSIOKULTUR DI LAMALERA Masyarakat Lamalera mengalami perubahan, sebagaimana juga pernah dikatakan oleh Barnes (1996). Apa penyebab perubahan tersebut? Bagaimana perubahan yang terjadi dan bagaimana implikasi perubahan tersebut terhadap sistem sosiokultur di Lamalera? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas selanjutnya. Ada dua penjelasan yang dikemukakan untuk menjawab pertanyaan mengenai penyebab perubahan. Pertama perspektif materialisme menganggap bahwa faktor-faktor material merupakan penyebab utama pada perubahan sosial dan budaya. Faktor-faktor material yang dimaksud adalah hal-hal yang berhubungan dengan faktor ekonomi atau teknologi yang terkait dengan ekonomi produksi (Harper 1989: 55). Pemikiran yang berkembang dalam perspektif ini melihat teknologi dan moda produksi (mode of production) menciptakan perubahan dalam interaksi sosial, organisasi sosial, budaya, nilai-nilai serta norma-norma. Kedua, perspektif yang melihat perubahan sosial disebabkan oleh faktor-faktor seperti nilai-nilai, ideologi dan keyakinan. Pemikiran yang memiliki pandangan seperti ini dikelompokkan pada perspektif idealistik. Yang dimaksud dengan ide pada perspektif ini meliputi pengetahuan dan kepercayaan. Sedangkan nilai-nilai diasumsikan sebagai hal-hal yang diinginkan dan tidak diinginkan. Ideologi diartikan sebagai penataan gabungan kepercayaan dan nilai-nilai yang diciptakan untuk melegitimasi bentuk-bentuk aksi manusia30. Perubahan menurut teori ekologi budaya berawal dari perubahan dalam budaya material. Penekanannya diletakkan pada teknologi subsistensi, yaitu teknologi dasar yang menopang kebutuhan manusia dalam bertahan hidup. Teknologi ini terdiri atas peralatan, instrumen, teknik dan pengetahuan yang digunakan untuk beradaptasi dengan alam. Teori ekologi budaya memiliki pandangan yang relatif sama dengan pendekatan materialisme dalam melihat perubahan. Dalam evolusi materialisme yang dikembangkan oleh Marx, sistem 30
Harper dalam Exploring Social Change (1989: 58) mengkategorikan demokrasi, kapitalisme dan sosialisme sebagai bentuk ideologi.
76
sosiokultur terdiri atas tiga komponen dengan titik awal pada infrastruktur material, struktur sosial hingga superstruktur ideologis. Para penganut pemikiran Marxian menganggap cara ini yang memungkinkan kita untuk melihat sistem sosiokultur masyarakat secara keseluruhan. Steward melihat hubungan lingkungan dan teknologi sebagai proses adaptasi, sedangkan pendekatan materialisme membagi infrastruktur material atas empat sub-unit dasar yaitu teknologi, ekonomi, ekologi dan demografi. Perubahan bisa bermula dari salah satunya. Sama halnya dengan perspektif materialisme, bagi Steward perubahan lingkungan akan menyebabkan perubahan pada teknologi eksploitasi. Teknologi juga bisa berkembang seiring dengan bertambahnya kemampuan manusia dalam memperbaiki teknik adaptasinya. Bentuk perubahan ini terjadi di Lamalera, dimana telah dikenal teknologi baru yang membantu dan merubah cara nelayan Lamalera memanfaatkan sumberdaya alam mereka. Sistem ekonomi produksi modern telah menggeser sistem ekonomi produksi tradisional yang dalam perspektif ekologi budaya merupakan basis bagi sistem sosiokultur komunitas nelayan Lamalera. Nelayan tradisional Lamalera memiliki teknologi eksploitasi substansial yaitu tena laja atau peledang. Fungsi dasar tena laja adalah untuk menikam mamalia laut dan ikan besar. Tena laja dimiliki oleh suku dan menjadi penopang perekonomian suku atau beberapa keluarga dalam satu suku. Pola Produksi yang dilakukan dengan tena laja adalah sistem tikam dengan buruan utama pari manta, paus, hiu, lumba-lumba dan ikan berukuran besar lainnya. Perubahan yang signifikan terjadi ketika masuk mesin johnson. Mesin yang pada awalnya bagi nelayan Lamalera hanya digunakan untuk membantu transportasi. Perubahan terus terjadi dengan masuknya alat tangkap jaring pukat yang memunculkan inisiatif bagi nelayan Lamalera untuk membuat sampan besar yang sedikit lebih kecil dari tena laja sebagai pasangan jaring pukat ini. Mesin dengan bahan bakar minyak tanah dan bensin ini dipasangkan pada sampan besar berisi jaring pukat sehingga melahirkan sistem produksi yang berbeda dengan sistem tradisional tikam, yaitu sistem pukat. Penggunaan sistem pukat terus diminati oleh sebagian besar nelayan. Walaupun tidak meninggalkan sistem penangkapan tradisional tikam, akan tetapi rendahnya antusias masyarakat untuk
77
menghidupkan lefa umumnya dipengaruhi oleh banyak tenaga meing yang keluar malam untuk berpukat. Jauh sebelum pengoperasian pukat-mesin dan sampan besar, mesin juga telah digunakan untuk membantu tenaga meing untuk menggerak tena laja dan menggunakannya di sampan besar untuk menikam ikan dan mamalia laut selain koteklema.
5.1
Sistem Tikam Sistem tikam adalah pola produksi yang dikaitkan pada penggunaan tena
laja sebagai teknologi dasar. Karakteristik utama sistem tikam adalah pengelolaan ekonomi komunal berbasis suku. Uma sebagai kelembagaan ekonomi di dalam suku merupakan representasi komunalitas tersebut. Tangkapan dengan tikam adalah mamalia laut dan ikan-ikan besar yang bisa dibagi kepada banyak kelompok yang terlibat dalam aktivitas produksi dan berkontribusi terhadap alat produksi. Tangkapan yang besar ini juga adalah jenis ikan yang bisa dikeringkan serta dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang. Leluhur masyarakat Lamalera tidak hanya meninggalkan keahlian atau teknik berburu dan menikam mamalia laut dan ikan besar, tetapi teknologi eksploitasi ini dilengkapi dengan sistem pengelolaan yang mengedepankan kebersamaan serta kesetaraan antar orang dalam suku dan dalam komunitas. Dengan sistem tikam, maka tidak ada individu dalam setiap suku yang tidak memiliki alat produksi. Karena, apabila satu tena laja tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang di suku, maka sebuah tena laja baru yang disebut sapang dibuat. Menjadi bagian dari uma tidak sulit tetapi selalu ada ketentuan yang harus dikuti. Salah satu yang utama kesamaan suku. Selanjutnya ditentukan oleh kemampuan setiap orang berkontribusi dalam pembuatan tena laja suku mereka. Bagi laki-laki yang berbadan sehat dan kuat dapat berkontribusi dalam hal pengadaan kayu untuk lunas atau badan perahu, para perempuan termasuk perempuan janda dari keluarga tidak mampu dapat berkontribusi untuk membuat tali dari kapas yang dipintal, atau bahkan sekedar menyediakan makanan dan minuman pada saat atamola, kelepe, dan anggota uma mengerjakan pembuatan
78
perahu. Bentuk-bentuk kontribusi tersebut untuk selanjutnya dapat menjadi pegangan hidup bagi setiap anggota uma.
5.1.1 Tena laja sebagai Alat Produksi Utama Pada Sistem Tikam Sistem tikam yang dinyatakan dalam penelitian ini adalah sistem produksi yang dilakukan dengan menggunakan tena laja yaitu perahu tradisional masyarakat Lamalera. Tena laja adalah perahu yang terdiri dari badan perahu, tali leo, bambu dan tempuling, dayung serta layar. Pembuatan perahu ini dipimpin oleh seorang atomola, yaitu tukang perahu yang memiliki keahlian dan kewenangan dari leluhurnya dan dibantu oleh orang-orang yang juga dari keluarga pembuat perahu. Ketentuan-ketentuan dalam membuat tena laja, tidak dapat dilanggar. Upacara-upacara adat harus diikuti. Begitu pun dengan jenis bahan pembuat perahu serta konstruksinya harus sesuai dengan apa yang dulu dikerjakan oleh leluhur mereka. Semua komponen, baik komponen materiil maupun komponen idiil di tena laja telah baku mengacu pada apa yang mereka dapatkan dari nenek moyangnya. Setiap bentuk pelanggaran atau penyimpangan akan selalu mendapatkan konsekuensi yaitu berupa teguran langsung dari alam atau laut beserta isinya. Pada sistem tikam dengan tena laja, kelembagaan likatelo mendapatkan tempat yang paling kuat, yaitu dalam hal pengaturan serta keleluasaannya untuk terlibat dalam segala bentuk pertikaian yang terjadi dalam suku ataupun dalam komunitas yang berkaitan dengan aktivitas melaut. Karena tena laja bukan milik perorangan melainkan adalah perahu yang menjadi gantungan hidup bagi banyak orang. Sebagai alat produksi, tena laja tidak bisa dilihat dari sisi material saja. Ada aspek ideal yang dilekatkan pada tena laja yang mana hal tersebut mempertegas perbedaan antara tena laja dengan perahu sampan lainnya. Di belakang fungsi utamanya sebagai alat produksi komunal, tena laja diikuti dengan peran organisasi ekonomi uma, nilai-nilai spiritual serta pengukuhan bagi status dan kewenangan lembaga adat likatelo. Sebagaimana dibahas dalam bab sebelumnya, tena laja merupakan alat produksi yang paling dekat dengan inti budaya di Lamalera.
79
5.1.2 Pergeseran pada Sistem Tikam Kegiatan menikam mengalami beberapa perubahan sebagai bentuk penyesuaian dengan teknologi mesin johnson yang mulai dikenal oleh para nelayan. Keberadaan mesin juga mempengaruhi pola adaptasi dengan lingkungan yaitu dalam hal pemanfaatan hasil laut. Bagi nelayan Lamalera, kehadiran mesin johnson telah memberikan kemudahan-kemudahan dalam mengoperasikan alat tangkap.
Selain
meringankan nelayan dalam
mendayung
perahu,
juga
memungkinkan berkurangnya jumlah orang yang mengoperasikan perahu, dari yang biasanya 13-15 orang, sekarang tena laja bisa dijalankan oleh 7-10 orang meing saja. Pertama kali masyarakat Lamalera mengenal mesin melalui program kerja FAO pada tahun 1973. FAO datang untuk program penguatan pangan masyarakat. Pada saat itu kepada nelayan Lamalera mesin dikenalkan dalam satu paket dengan pengenalan penangkapan paus menggunaan teknik tembak. Dari program FAO tersebut nelayan Lamalera berhasil menembak banyak ikan. Akan tetapi teknik tersebut ditolak oleh masyarakat. Kelimpahan paus yang dihasilkan dengan teknologi baru yang dibawa FAO, melebihi kebutuhan masyarakat biasanya sehingga tidak dapat dimanfaatkan secara baik. Masyarakat yang peneliti temui menggambarkan begitu banyaknya hasil tangkapan ketika itu, sehingga nelayan tidak bisa menyelesaikan membaginya dan banyak daging yang tidak dimanfaatkan secara patut. Sebagaimana etika masyarakat pesisir tersebut yang tidak diperkenankan untuk membuang atau menyia-nyiakan hasil laut, maka teknologi tersebut akhirnya tidak dilanjutkan. Beberapa masyarakat bahkan dengan tegas mengatakan bahwa teknik menembak tersebut ditolak karena tidak sesuai dengan adat yang diyakini orang Lamalera. Bagi masyarakat Lamalera yang memaknai koteklema dengan sangat kompleks, banyaknya jumlah daging yang tidak terolah dengan baik berbalik mendera nilai-nilai ola nua yang mereka miliki. Pada akhirnya teknologi tersebut ditolak oleh masyarakat. Selain alasan di atas, dengan teknologi ini banyak pesan moral, permohonan pada alam serta ikatan terhadap leluhur terhapus. Masyarakat Lamalera ketika itu tidak mengehendaki perubahan-perubahan seperti itu.
80
Dalam salah satu programnya, FAO merekrut sembilan orang nelayan untuk dilatih menggunakan serta memperbaiki jaring pukat. Nelayan juga diajarkan untuk membuat perahu sampan, dengan konstruksi yang berbeda dengan tena laja. Pada saat itu nelayan Lamalera juga dikenalkan pada koperasi, lembaga yang dibentuk untuk melanjutkan kegiatan yang telah dikenalkan kepada nelayan setelah program selesai dilakukan. Keberadaan koperasi tidak berlangsung lama karena timbul banyak kecurigaan dan rasa tidak percaya dalam masyarakat terhadap pengelola koperasi. Selepas program
FAO,
tiga
mesin
johnson
ditinggalkan untuk
dimanfaatkan oleh para nelayan yang dilatih mengoperasikan pukat. Mesin tersebut kemudian rusak. Nelayan tidak memiliki kemampuan untuk memperbaiki sehingga akhirnya tidak bisa digunakan lagi. Sekitar dua tahun selepas kegiatan FAO, pada tahun 1975, pemerintah daerah Kabupaten Flores Timur memberikan bantuan mesin kepada nelayan Lamalera. Masing-masing desa mendapatkan dua mesin. Ketika itu mesin yang dibagikan digunakan untuk membawa turis yang datang untuk meyaksikan perburuan atau untuk membantu kru televisi yang datang untuk mengambil gambar perburuan paus. Setelah itu penggunaan mesin untuk musim lefa mulai dilakukan oleh beberapa nelayan. Setelah bantuan dari Pemda Flores Timur, kembali nelayan Lamalera mendapatkan mesin dari pengelola TamanWisata Ancol. Mesin didatangkan dari Jakarta untuk menangkap hidup-hidup paus pembunuh (killer whale) yang dikenal orang Lamalera dengan seguni. Ancol ketika itu tidak berhasil mendapatkan paus pembunuh tetapi mesin johnson serta peralatan seperti tali yang digunakan untuk menangkap paus pembunuh ditinggalkan kepada nelayan Lamalera. Setelah mengenal mesin melalui pihak luar, nelayan Lamalera mulai berusaha untuk mengusahakannya sendiri. GDK adalah orang Lamalera yang pertama kali membeli mesin johnson di Maumere diikuti oleh YPB, orang Lamalera yang merantau ke Surabaya dan membelikan mesin johnson untuk keluarganya di Lamalera. Dengan menggunaan mesin dari YPB, maka Java Tena merupakan tena laja pertama yang memiliki dan menggunakan mesin johnson untuk lefa.
81
Bantuan johnson sering diikuti dengan bantuan pukat. Salah satu bantuan pukat yang diterima datang dari PK, orang Lamalera yang menjadi perwakilan masyarakat Lembata di Kab. Flores Timur. Bantuan itu diberikan pada saat Lembata mulai merintis otonomi untuk lepas dari kabupaten Flores Timur. Pemerintahan Bupati pertama Lembata juga memberikan bantuan delapan mesin johnson kepada delapan kelompok yang dibentuk untuk menerima bantuan tersebut. Selanjutnya juga diberikan mesin johnson kepada para janda dan orang jompo dari pemerintah di Kupang. Bantuan terakhir berbeda dengan bantuan mesin sebelumnya adalah dua kapal penangkapan bermesin TS dari Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata31. Pilihan penggunaan johnson selain karena mesin inilah yang pertama kali mereka kenal, juga karena mesin ini sesuai dengan karakter laut dan pesisir pantai di Lamalera. Dengan kondisi arus yang kuat, ombak yang keras dan karakter lingkungan lainnya, mesin yang dibutuhkan oleh nelayan adalah mesin yang bisa disimpan setiap kali mesin tidak digunakan. Atau dengan kata lain mesin yang tidak sulit untuk disimpan, bisa dipasangkan ke dan dilepas dari tena laja atau sampan dengan mudah sehingga mudah pula mendorong kembali tena laja dan sampan ke dalam naje. Saat ini selain mesin johnson, beberapa nelayan juga menggunakan mesin ketingting. Tapi pada dasarnya kedua mesin itu dipilih karena sama-sama mudah dipindahkan, dibawa dan disimpan setelah melaut.
a. Penggunaan Mesin Johnson di Tena laja Tidak sulit bagi nelayan Lamalera untuk mengenal dan mengasah kemampuan mengoperasikan mesin johnson karena dari awal mereka telah didampingi oleh orang-orang yang ahli dalam menjalankan mesin tersebut. FAO datang dengan tenaga ahli dari Norwegia. Sementara itu, meskipun teknik tembak dengan menggunakan harpoon dan koperasi nelayan tidak bertahan lama dalam masyarakat, tetapi kedatangan FAO yang mengenalkan mesin dan pukat meninggalkan pengaruh yang berarti hingga kini. Nelayan 31
Bantuan diberikan masing-masing satu untuk Desa A dan Desa B. Kedua Kapal tidak pernah digunakan disebabkan karena nelayan tidak memiliki kemampuan untuk mengoperasikan, pemberian bantuan yang mengundang pertikaian serta bentuk kapal yang tidak sesuai dengan kondisi laut selatan Lembata. Kapal milik desa A pada akhirnya rusak, sedangkan kapal milik Desa B setelah gagal dioperasikan, diserahkan kembali kepada DKP Lembata.
82
beradaptasi dengan mesin secara bertahap hingga akhirnya menemukan formulasi yang lebih optimal. Setelah FAO meninggalkan Lamalera, mesin johnson digunakan untuk keperluan transportasi terutama oleh gereja. Pater Dupont menggunakan mesin johnson untuk menjalankan misi dan berkoordinasi dengan stasi di desa-desa sekitar.
Selangkah di depan, mesin johnson mulai digunakan untuk
menjalankan tena laja pada musim lefa. Mesin mengantikan fungsi layar sekaligus menggantikan tenaga meing mendayung perahu. Selama memutari lautan untuk mencari ikan di permukaan hingga mengejarnya hampir mutlak mesin digunakan, dan meing cukup duduk, membuang air yang merembes dalam perahu sambil memutar pandangan mencari ikan. Meing hanya sesekali saja mendayung pada saat target tikaman sudah dekat dan lamafa bersiap untuk menikam. Pada saat itu, meing tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga dan itu adalah salah satu keringanan bagi meing. Dalam menggunakan mesin johnson di tena laja, meskipun keberadaannya menjadi sangat membantu, tetapi porsi yang diberikan terhitung sama dengan tenaga satu orang meing. Oleh karena itu, ketika mesin johnson yang digunakan adalah milik perseorangan, maka pembagian hasil yang diperoleh atas mesin johnson yang digunakan sama dengan bagian yang diterima oleh seorang meing. Hitungan ini tidak termasuk pemakaian bahan bakar. Disini bahan bakar terhitung mendapatkan bagian satu orang meing. Apabila mesin johnson adalah milik kelompok maka tena alep memiliki tanggung jawab untuk mengelola, menyisihkan hasil tikaman untuk bahan bakar, perbaikan atau penyusutan mesin dan perbaikan tena laja. Secara teknis, mesin johnson dipasangkan di bagian belakang tena laja, tepatnya sebelah kiri atau kanan madi. Juru mudi atau orang yang bertugas mengemudikan mesin adalah pemimpin perjalanan lefa (lamahuri). Meskipun nelayan menggunakan mesin pada saat lefa, tetapi mereka tidak berani mengambil resiko untuk menggunakan mesin di tena laja untuk mengejar koteklema dan jenis paus besar dan liar lainnya, karena dikhawatirkan bila paus berontak dan memukul perahu, mesin akan rusak atau lebih buruk lagi bisa membuat mesin tenggelam di laut. Kerugian yang cukup
83
besar untuk ditanggung oleh nelayan ini membuat mereka mengambil cara lain yaitu dengan menonda tena laja dengan sampan besar yang dipasangkan mesin johnson.
b. Perahu Sampan dan Mesin Johnson untuk Menonda Tena laja Setelah nelayan Lamalera terbiasa mengoperasikan mesin johnson, mereka secara perlahan-lahan memperbaharui teknik melautnya. Fungsi mesin semakin dimaksimalkan. Pada tahapan ini, mesin dipasangkan dengan sampan besar dan digunakan untuk menarik tena laja selama baleo. Tena laja disambungkan dengan tali tambang plastik ke sampan besar. Dengan demikian laju tena laja bisa mencapai kawanan koteklema lebih cepat. Dengan demikian dapat menghemat banyak waktu dan juga memudahkan para meing mengejar koteklema. Menyadari besarnya resiko dengan membawa mesin johnson pada saat mengejar koteklema, maka tepat pada saat-saat tena laja sudah dekat dengan koteklema, tali yang tersambung ke tena laja dilepaskan. Sampan besar menjauh dari tena laja dan koteklema. Pada waktu yang bersamaan, para meing di tena laja mulai mendayung mendekati koteklema dan mencari posisi yang pas bagi lamafa untuk menikam. Setiap kali koteklema bergerak menjauh dari tena laja, sampan besar akan menghampiri dan melempar tali untuk menarik tena laja menuju koteklema yang mereka incar kembali. Hal seperti ini bisa terjadi berkali-kali selama perburuan dilakukan. Sampan besar tidak boleh mendekati tena laja disaat ia mencoba mencari posisi yang tepat untuk menikam koteklema. Pada saat meing di tena laja berusaha sekuat tenaga untuk menikam koteklema, meing yang ada di sampan besar hanya bisa melihat dari kejauhan. Apabila sebuah tena laja berhasil menikam koteklema. Sampan besar masih belum diperkenankan mendekat sampai koteklema benar-benar menyerah dan tali untuk menarik koteklema ke pantai telah dipasangkan. Setelah mendapat aba-aba dan panggilan dari meing di tena laja, sampan besar baru datang mendekat untuk memberikan tali tonda dan menarik tena laja dan koteklema ke daratan.
84
Tabel 5.
Tena laja dan Mesin Johnson
Tena laja Suku/Rumah Besar Horo Tena Bataona Kifalangu Holo Sapang Bataona Kifalangu Sili Tena Bataona Kifalangu Kebake Puke Bataona Olalangu Tenaona Bataona Klake langu Nara Tena Lamakera Menula Blolo Lamakera Tetiheri Batafor Buipuka Blikololo Demo Sapang Blikololo Bokololo Blikololo Sika Tena Sulaona Dolu Tena Sulaona Boli Sapang Hariona Praso Sapang Lelaona Olemao/Sinu Sapang Lelaona Lela Sapang Lelaona Baka Tena Tufaona Muko Tena Ata Kei Kebala Tena Lefotukan Dato Tena Lamanudek Noto Tena Lamanudek Koppo Pakar Oleona Soge Tena Tapoona Gleko Tena Tapoona Kena Puka Bediona Kelulus Bediona Java Tena Bataona Javalangu Sia Apu/ Tena Tapoona Lamanifak Sumber : Data Primer 2009.
Mesin Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Ada Tidak Tidak Ada Tidak Tidak Tidak Ada Ada Tidak Tidak Tidak Ada Tidak Tidak Tidak Tidak Ada Tidak Ada Ada Tidak Tidak
Keterangan Dibongkar/meing kurang Meing kurang Dibongkar/meing kurang Tidak aktif Tidak aktif Tidak aktif Dibongkar/meing kurang Dibongkar/meing kurang Dibongkar/meing kurang Dibongkar/meing kurang Dibongkar/meing kurang Dibongkar/meing kurang
Tena laja yang berpasangan dengan satu sampan besar akan tetap bersama sampai kembali ke darat. Kebanyakan tena laja dan sampan yang digunakan untuk menonda pada saat baleo adalah milik kerabat dekat tena alep atau milik salah satu anggota kelompok pemilik tena laja. Sedangkan bagi tena laja yang tidak memiliki sampan atau mesin johnson dari kerabat anggota tena laja, tena alep bisa meminta kepada pemilik sampan atau pemilik mesin dari suku lain untuk menonda tena lajanya. Akan tetapi hal ini jarang terjadi, sehingga bisa dipahami ketika pada masa-masa awal dimana tena laja ditonda dengan sampan bermesin johnson, banyak tena laja yang tidak memiliki mesin, sampan atau keduanya memilih untuk tidak ikut baleo, karena mereka akan tertinggal dari tena laja lain yang melaju cepat ditonda oleh sampan bermesin.
85
Karena berburu dan menikam adalah aktifitas yang kompetitif antar tena laja dalam memperebutkan koteklema ataupun ikan lainnya, maka ini menjadi alasan bagi setiap pemilik tena laja untuk berusaha memiliki mesin johnson. Akan tetapi karena harga mesin yang cukup mahal bagi masyarakat Lamalera maka tidak mudah untuk memiliki mesin. Bila tidak karena bantuan dari pemerintah atau dari keluarga yang merantau ke luar daerah, akan sulit bagi mereka untuk mendapatkan masin johnson. Hal ini pula yang menjadi salah satu jawaban mengapa di kemudian hari banyak tena laja yang tidak dioperasikan sehingga lapuk karena lama tersimpan di bangsal sampai akhirnya dibongkar. Tabel 5 menunjukkan beberapa tena laja yang tidak aktif dan dibongkar karena lama tidak dioperasikan karena tidak ada mesin dan beberapa diantaranya tidak aktif lagi karena kekurangan meing.
c. Menikam Dengan Sampan Besar Variasi lain penggunaan mesin johnson yaitu dengan memasangkannya pada sampan besar untuk mencari ikan-ikan berukuran sedang di musim lefa. Untuk berangkat lefa dengan cara seperti ini, jumlah meing dalam sampan tidak terlalu banyak. Lefa bisa dilakukan dengan 4 (empat) atau 5 (lima) orang meing saja. Biasanya sampan besar bisa berangkat lefa tergantung pada ada tidaknya juru tikam dan juru mudi. Orang yang terlibat sebagai meing juga tidak didasari oleh hubungan kekerabatan, tetapi lebih didasari karena relasi dan kerjasama antar meing dan tuan sampan yang baik.
Oleh karena teknik
penangkapan ini yang menggunakan tempuling bambu dan menikam ikan, maka cara yang diikuti untuk mengelola hasil tangkapan dilakukan sebagaimana pada sistem tikam pada umumnya, yaitu dengan membedakan antara bagian meing, kelompok yang memiliki sampan besar atau uma (biasanya berasal dari satu keluarga kecil), atamola dan bagian khusus untuk lamafa.
86
5.2
Sistem Pukat Sistem pukat merupakan sistem produksi baru yang berkembang akhir-
akhir ini di Lamalera. Sistem ini telah menggeser sistem tikam yang dilakukan secara tradisional. Ke depan dengan berkembangnya sistem pukat ini akan banyak terdapat perubahan dari pengelolaan ekonomi secara luas dan berakibat cukup banyak mempengaruhi kehidupan di Lamalera.
5.2.1 Alat Produksi pada Sistem Pukat Sistem pukat ditandai dengan tiga alat produksi yang digunakan bersamaan yaitu mesin (johnson dan ketinting), sampan berukuran sedang hingga besar dan jaring pukat. Mesin johnson telah membuka pintu terhadap munculnya perubahan moda produksi. Mesin memainkan peranan penting baik dalam sistem tradisional tikam maupun pada sistem pukat. Sebagaimana telah diulas sebelumnya, penggunaan mesin johnson di Lamalera didukung oleh karakteristik lingkungan pesisirnya, demikian juga dengan penggunaan mesin ketinting. Johnson dipasangkan pada sampan besar sedangkan ketinting dipasangkan pada sampan berukuran sedang. Berbeda dengan mesin johnson yang bisa digunakan untuk tikam dan pukat, ketinting sampai pada saat penelitian dilakukan hanya digunakan untuk berpukat. Perahu sampan merupakan salah satu alat produksi yang membentuk sistem pukat. Terdapat tiga kategori perahu sampan di Lamalera yaitu sampan besar berukuran lebar 2 meter dengan panjang 8 meter, sampan berukuran sedang dengan lebar 1,5 meter dengan panjang sekitar 6 meter, dan sampan kecil atau bero dengan kapasitas 1 atau 2 orang. Keahlian membuat sampan diajarkan oleh seorang ahli dari FAO. Sebelumnya, selain membuat tena laja, nelayan Lamalaera hanya mengenal sampan kecil yang dibuat dari belahan kayu yang dilobangi bagian isinya. FAO mengenalkan kepada mereka cara membuat kapal dengan menyusun papan, sehingga tidak menghabiskan banyak kayu, teknik yang sebenarnya telah mereka lakukan untuk membuat tena laja. Alat produksi lain yaitu jaring pukat. Alat tangkap ini dikenalkan FAO bersamaan dengan pengenalan terhadap mesin johnson dan teknik menembak koteklema. Sembilan orang nelayan Lamalera dilatih untuk menggunakan dan
87
memperbaiki jaring pukat. Pengenalan jaring pukat pada nelayan tikam Lamalera berhasil, sehingga hampir setiap rumah tangga memiliki jaring nilon untuk menangkap ikan terbang dan ikan-ikan karang. 5.2.2 Variasi Penerapan Teknologi Jaring Pukat Seperti beberapa variasi dalam penerapan teknik tikam atas adaptasi terhadap masuknya mesin johnson, pelaksanaan pukat berlangsung dengan beberapa cara yang terus berkembang seiring kemampuan nelayan untuk mengoperasikannya serta untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
a. Berpukat dengan sampan kecil Melaut dengan menggunakan sampan kecil atau bero adalah teknik pertama yang dilakukan. Bero menampung satu sampai maksimal tiga orang meing. Bero tidak menggunakan mesin tetapi digerakkan dengan dayung menggunakan tenaga meing. Daerah tangkapan bero tidak jauh dari pesisir pantai, dan biasanya nelayan keluar sejalan dengan arah arus, sehingga tidak banyak menyita tenaga nelayan untuk mendayung. Jaring pukat yang dipakai dengan bero berukuran kecil sehingga bisa dikelola oleh 2 orang meing. Bero pada waktu-waktu tertentu juga biasa digunakan untuk membawa jaring nilon ikan terbang. Berpukat dengan bero telah dilakukan cukup lama dan biasanya hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga saja. Hasil tangkapan dengan bero jarang dipertukarkan, sekalipun ada biasanya dilakukan dengan tetangga dekat saja. Hasil tangkapan dari berpukat dengan bero biasanya ikan-ikan kecil seperti tongkol, cakalang dan tuna serta ikan-ikan karang lainnya. Apabila bernasip baik, nelayan bisa mendapat pari. Berangkat pukat dengan bero tidak dilakukan sepanjang malam. Meing biasanya keluar sore hari dan kembali pulang sebelum tengah malam. Apabila hasil yang didapatkan cukup baik, meing akan mebawa pulang hasil dan berangkat melaut lagi.
b. Berpukat dengan johnson dan mesin ketinting Kategorisasi sistem pukat ditandai dengan teknologi ekploitasi jaring pukat yang melembaga dalam pola produksi, distribusi dan pertukaran yang
88
berbeda dengan pengelolaan ekonomi sebelumnya. Pelembagaan ini menguat ketika penggunaan alat produksi digabung jadi satu. Berpukat dengan sampan besar yang dijalankan dengan mesin johnson baru dilakukan selama tiga tahun terakhir tepatnya pada bulan april 2008 atau dalam masa lefa tahun 2008. Pukat yang digunakan ketika itu adalah pukat kecil yang biasa dibawa dengan bero. Kegiatan berpukat ini menggabungkan tiga alat jenis produksi yang telah dimiliki oleh masyarakat. Nelayan yang mencoba pertama kali mengatakan bahwa membawa pukat dengan mesin johnson dilakukan hanya sekedar mencoba saja. Karena hasil yang didapatkan dengan berpukat malam dalam jarak yang lebih jauh dari jangkauan bero sangat baik, beberapa nelayan lain akhirnya mengikuti hal yang sama. Di Lamalera ada dua tipe kegiatan berpukat yang dilakukan berdasarkan peralatannya. Yang banyak dilakukan adalah berpukat dengan mesin johnson berkekuatan 25 atau 40 PK menggunakan sampan besar dan jaring pukat ukuran kecil atau besar. Tipe lainnya yaitu dengan sampan ukuran menengah yang dipasangkan mesin ketinting, biasanya memuat jaring pukat kecil. Ketika penelitian dilakukan, baru ada dua mesin ketinting dan hanya satu mesin yang aktif digunakan untuk berpukat. Pukat sendiri terdiri atas beberapa ukuran, yaitu pukat kecil yang dimiliki oleh kebanyakan nelayan dan pukat besar. Pukat kecil sudah dikenal oleh nelayan. Inilah yang mereka gunakan dengan bero untuk mencari ikan kecil untuk keperluan dapur sendiri. Pukat besar masuk ke Lamalera sebagai bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan kepada beberapa kelompok nelayan yang dibentuk untuk menerima bantuan pukat tersebut. Banyak nelayan yang berusaha untuk memiliki pukat besar ini karena seringkali hasil tangkapan lebih banyak dibandingkan pukat kecil. Jumlah meing yang dibutuhkan untuk berpukat tidak sebanyak jumlah yang dibutuhkan untuk keluar dengan tena laja. Untuk mengoperasikan jaring pukat kecil, tiga orang meing cukup untuk berangkat melaut. Apabila ada jaring pukat besar yang dibawa, maka setidaknya dibutuhkan 4 – 5 orang meing. Setiap berangkat melaut, jumlah pukat yang dibawa berkisar antara 3
89
sampai 6 unit/pis dengan ukuran yang beragam antara pukat kecil dan pukat besar. Pada ketinting meing yang berangkat biasanya 3 atau 4 orang saja. Berpukat dilakukan pada malam hari. Sampan bertolak sore hari sebelum gelap dan kembali pulang pagi hari. Selama di laut, setiap perahu sampan akan menjaga jarak masing-masing agar pukat yang ditebar tidak ditabrak oleh perahu sampan lain. Sebelum ada nelayan yang berinisiatif membawa senter untuk memberi tanda bagi perahu lain yang sedang berpindah, arah perjalanan setiap perahu yang berangkat ke laut lebih dulu biasanya akan diperhatikan untuk menjadi patokan agar perahu lain berpukat di daerah lainnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari jaring pukat tersangkut perahu sampan yang sedang melintas. Setelah mengalami beberapa kecelakaan karena jaring pukat tersangkut sampan lain, beberapa nelayan mulai berinisiatif untuk membawa senter selama melaut, dan terus berkembang dengan membawa lampu batrey yang bisa menyala sepanjang malam. Apabila di satu area nelayan tidak mendapatkan hasil, mereka akan berpindah ke tempat lain dan ini dilakukan hingga menjelang pagi.
Bahan bakar yang digunakan untuk menjalankan mesin johnson yaitu campuran antara minyak tanah dan bensin. Sekali perjalanan berangkat pukat, bahan bakar yang dibutuhkan antara 7-10 liter bahan bakar. Volume bahan bakar untuk ketinting lebih sedikit dibandingkan mesin johnson. Untuk mendapatkan bahan bakar khususnya bensin, nelayan biasanya membeli ke Larantuka atau Weiwerang. Di Lamalera sendiri ada toko yang menjual minyak tanah tetapi dengan harga yang lebih tinggi. Untuk mendapatkan bahan bakar yang lebih murah, nelayan akan meyediakan waktu satu atau dua bulan sekali untuk membeli bahan bakar. Perawatan mesin johnson tergolong rumit dan mahal, dan hanya ada satu orang yang terlatih memperbaiki mesin ini di Lamalera. Oleh karena itu, ketika melaut, yang dipercaya untuk memegang mesin bukanlah sembarang orang, melainkan orang-orang yang dipercaya oleh pemilik mesin atau pemilik mesin itu sendiri. Seringkali karena kerusakan-kerusakan tertentu yang tidak bisa diperbaiki oleh teknisi lokal, mesin harus disimpan dalam waktu yang lama. Pilihan lain
90
untuk memperbaiki mesin adalah dengan membawa ke Loweleba, Larantuka atau Maumere. Ketiga jenis alat produksi memiliki peran yang sama untuk semakin memperkuat terbangunnya sistem produksi pukat. Mesin johnson yang diperbantukan ke tena laja tidak merubah pengelolaan ekonomi kecuali membantu mobilitas nelayan yang dikompensasi secara biasa. Sampan besar sendiri tanpa digerakkan johnson mungkin tidak akan berarti dalam sistem produksi di Lamalera. Sedangkan pukat, ketika digandengkan dengan bero, sampan dengan kapasitas 2 orang, hanya menjadi ekonomi sampingan dan tidak cukup bermakna secara komunal. Dalam tiga tahun terakhir ini, ketika ide untuk menggunakan sampan besar bersama johnson dan membawa alat tangkap jaring pukat muncul, nelayan pun mencoba mencari bentuk-bentuk pengelolaan ekonomi seperti apa yang akan dikembangkan untuk mengelola hasil tangkapan. Perubahan teknologi membawa perubahan pada banyak aspek kehidupan di Lamalera. Cara pandang ekologi budaya dan materialisme tampak dalam pergeseran-pergeseran tersebut, bahwa perubahan tidak akan berhenti pada perubahan alat produksi semata, tetapi akan menjalar pada bagian pengelolaan ekonomi selanjutnya. Teori ekologi budaya mengatakan bahwa perubahan pengelolaan ekonomi akan merubah sistem sosiokultur lainnya, dalam bahasa lain perspektif materialisme menegaskan bahwa perubahan pada infrastruktur material akan berdampak pada struktur sosial dan suprastruktur di atasnya.
5.3. Perubahan Pengelolaan Ekonomi Setiap masyarakat mempunyai sistem ekonomi yang terjalin sangat dekat dengan pola teknologi subsistensinya. Ekonomi berisi hubungan-hubungan sosial yang mengorganisasikan produksi, distribusi dan pertukaran barang dan jasa dalam satu masyarakat. Produksi adalah proses yang diorganisasikan secara sosial di mana barang dan jasa diciptakan. Distribusi adalah proses alokasi barang dan jasa yang diproduksi oleh masyarakat. Pertukaran barang dan jasa adalah proses perpindahan sesuatu yang berharga dengan memperoleh pengembalian sesuatu yang lain, misalnya, pertukaran hadiah atau barang jualan di sebuah pasar (Sanderson, 2000: 111).
91
Sistem ekonomi tradisional di Lamalera disusun atas tiga elemen yaitu tena laja, sistem pembagian hasil tikaman dan penetang. Tena laja adalah penopang utama sistem produksi. Teknologi subsistensi ini memiliki asosiasi dengan suku dan rumah besar. Pada sub-bab sebelumnya telah diuraikan secara ringkas mengenai tena laja sebagai sebuah teknologi. Berikut ini adalah uraian mengenai pola kepemilikan tena laja sebagai alat produksi komunal. Distribusi dikelola dalam bentuk pembagian hasil tikaman per jenis ikan yang ditikam. Sedangkan pertukaran dilakukan dengan penetang dan barter. Di sisi lain, sistem pukat juga memiliki elemen-elemen ekonomi yang berbeda dengan pola tradisional yang telah terbangun. Alat produksi pada sistem pukat tidak berasosiasi dengan rumah besar, tetapi lebih kepada keluarga kecil saja. Sedangkan pola distribusi baru dikembangkan dengan mengadopsi metode dan cara lama. Sementara pada pola pertukaran, kontribusi ekonomi uang semakin kuat mendominasi meskipun penetang dan barter tetap berjalan. Dibalik semua pergeseran tersebut, sistem dasar hidup masyarakat tradisional Lamalera masih bergantung pada ikan-ikan besar.
5.3.1 Ekonomi Komunal a. Kelompok Pemilik Tena laja (Uma) Masing-masing suku memiliki paling tidak satu tena laja. Setiap tena laja dimiliki oleh sekelompok orang dalam satu suku dan mereka disebut uma alep. Dalam membuat perahu, uma alep merupakan kelompok orang yang berkontribusi dengan menyumbangkan bahan-bahan serta ikut terlibat dalam pembuatan perahu. Kontribusi tersebut dapat berupa papan, bambu, layar, tombak tempuling atau kapas untuk tali leo. Pada umumnya yang menjadi anggota sebuah tena laja adalah laki-laki di dalam suku. Tetapi tidak tertutup kemungkinan perempuan ikut menjadi anggota uma, dengan menyumbangkan kapas untuk tali leo atau menyediakan makanan dan tuak sebagai santapan selama pembuatan perahu. Sebagai kelompok inti pemilik perahu, uma alep diketuai oleh salah seorang anggotanya yang disebut tena alep. Tuan perahu ini bertanggung jawab serta memimpin pengelolaan perahu. Mulai dari pemeliharaan, memimpin persiapan perahu sebelum berangkat ke laut, ketika perahu berlayar sampai perahu
92
pulang kembali ke najenya serta memimpin pengelolaan hasil tikaman perahu yang menjadi hak uma alep. Hak uma alep terhadap ikan hasil tikaman selain koteklema tidak langsung dibagi kepada setiap anggota yang memakan uma, tetapi di kelola bersama di belappa lolo dari tena laja yang bersangkutan. Pengolahan di belappa lolo dan penyimpanan ikan yang telah selesai dikeringkan dilakukan oleh perempuan penghuni lango bela. Pada akhir musim lefa anggota uma akan berkumpul di lango bela dan membagi secara adil hasil tikaman pada satu musim lefa itu. Selain
membagi kepada semua anggota uma, bagian-bagian tertentu juga
disisihkan untuk tena laja. Bagian itu seperti bagian usus koteklema disimpan atau ditukar untuk keperluan perbaikan tena laja. Menjadi bagian uma alep atau menjadi anggota sebuah tena laja merupakan cara masyarakat Lamalera untuk menjamin keamanan pangan masyarakatnya. Hak uma berlangsung seumur hidup, seumur tena laja. Apabila seorang anggota uma mulai tua dan tidak bisa berangkat ke laut, maka ia akan tetap menerima bagian atau haknya. Ataupun ditemukan beberapa nelayan yang cacat karena melaut, maka mereka masih tetap bisa mengandalkan haknya pada uma untuk meyambung kehidupan. Hak memakan uma juga akan berlanjut pada keluarga anggota tena laja. Ketika masyarakat Lamalera senantiasa bersenandung dengan pengharapan bisa menikam ikan atau koteklema untuk janda dan anak yatim maka, yang dimaksud adalah uma yang menjadi hak suami atau orang tua para yatim yang telah tiada akan diturunkan dan menjadi penjamin kehidupan bagi janda dan anak yatim tersebut. Beberapa pendapat melihat uma alep sebagai sebentuk koperasi atau unit usaha sebagaimana yang banyak berkembang saat ini. Anggota uma juga seringkali diibaratkan sebagai sekelompok orang yang menanamkan sahamnya pada alat produksi itu. Tena laja dan uma alep
tentunya lebih dari sekedar
instumen ekonomi semata, keduanya disatukan dalam ikatan sosial kekerabatan. Fungsi-fungsi sosial mengikat kedua elemen itu dalam satu bangunan sosial masyarakat nelayan Lamalera. Apabila modal kapital adalah alat utama pada sistem ekonomi uang, di Lamalera kontribusi untuk menjadi anggota uma alep tidak bisa digantikan dengan uang, atau sekedar memberi modal untuk membiayai
93
pembuatan sebuah tena laja. Kontribusi berupa barang dasar pembuatan perahu serta ikut terlibat selama pembuatan perahu adalah satu syarat mutlak. Prinsip ekonomi utama pada tena laja dan uma adalah subsistensi. Menyediakan kebutuhan dasar konsumsi sampai pada saat-saat tersulit. Menyimpan bekal untuk melewati musim barat yang menghalangi laki-laki berangkat ke laut dan perempuan berangkat penetang (melakukan tukar-menukar) dengan masyarakat gunung adalah utama. Paling tidak, dengan melewati satu musim lefa, setiap rumah tangga telah menyimpan sedikitnya dua koli (karung) jagung untuk bekal di musim barat yang ditandai dengan hujan angin selama dua sampai tiga bulan. Prinsip subsistensi dan ketahanan pangan (food security) adalah salah satu jawaban atas pilihan jenis-jenis ikan yang ditikam. Jenis ikan seperti paus (koteklema, seguni dan kelaru), pari, dan lumba-lumba adalah tiga jenis ikan dan mamalia laut yang dagingnya bisa bertahan lama ketika disimpan. Dengan cara mengeringkannya dan membuat dendeng (dengan dibaluri air garam dan cuka terlebih dahulu) ketiga daging ikan ini akan bisa disimpan sampai setahun bahkan lebih32. Jenis ikan lain yang cukup bertahan lama untuk disimpan adalah hiu dan marlin. Daging hiu lebih tahan lama dibandingkan dengan ikan marlin. Tapi bila hanya untuk melewati satu musim barat, kedua ikan ini masih bisa diandalkan.
b. Pembagian Hasil Ada tata cara yang khusus dalam membagi ikan hasil tikaman. Pertama, ikan belum boleh dipotong dan dibagi sebelum atamola memberi tanda pada ikan tersebut. Tanda yang digoretkan atamola pada ikan merupakan batasan bagianbagian yang menjadi hak beberapa kelompok orang. Kedua, cara membagi ikan juga berbeda antara jenis paus, lumba-lumba dengan pari, hiu dan ikan marlin. Dua jenis ikan yang dipaparkan sistem pembagiannya pada tulisan ini adalah pembagian koteklema dan pari (belelang, bou dan moku). Pembagian koteklema dengan jenis lumba-lumba lain seperti temu bella, seguni atau lumba-lumba kecil tidak banyak perbedaan. Untuk hasil tikaman koteklema, pembagiannya dibedakan atas tiga kelompok besar yaitu bagian uma 32
Untuk membuat dendeng atau daging ikan kering awet, pada saat di jemur, ikan-ikan tersebut harus dihindari terkena air hujan meskipun sedikit.
94
alep, awak perahu (matros atau meing) dan bagian tuan tanah (tana alep). Ketiga bagian besar kemudian dipecah lagi ke bagian yang lebih kecil yang akan menjadi hak masing-masing orang. Ada nama-nama tradisional untuk masing-masing pembagian. Bagian uma alep dibagi menjadi beberapa bagian yaitu: a. Laba ketilo adalah bagian yang menjadi hak atamola, yaitu orang yang mengawasi pembuatan perahu serta perbaikan-perbaikan besar dalam perahu. Biasanya atamola sekaligus berperan sebagai tena alep. b. Mima yaitu bagian yang diberikan kepada keluarga anggota suku pemilik perahu. c. Tenarap diserahkan bagi keluarga anggota suku. d. Kila adalah bagian keluarga anggota suku. e. Kefoko seba bagian untuk keluarga anggota suku yang bertugas dalam proses pengadaan kayu dan papan untuk pembuatan perahu. f. Laja adalah hak bagi orang yang membuat layar perahu. g. Nupa adalah hak bagi penempa harpun. h. Befana bela yaitu hak orang yang ikut membantu membuat perahu. Bagian meng alep atau meing dibedakan antara hak khusus untuk juru tikam atau lamafa, meing dengan tugas-tugas tertentu dan meing pada umumnya. Bagian untuk lamafa disebut dengan nofek dan separuh bagian kelik untuk ibu lamafa. Bagi meing yang juga merupakan anggota kelompok perahu, maka akan mendapatkan dua bagian sebagai meing dan bagaian sebagai uma alep. Bagian yang menjadi hak tuan tanah adalah bagian kepala koteklema. Dalam hal ini ada ketentuan yang membagi bagian atau hak tuan tana Tufaona dan Lango Fujjo. Setiap kepala koteklema tikaman tena laja dari sebelah barat Kapela St. Pertrus menjadi hak suku Tofaona dan tikaman tena laja dari sebelah timur kapela merupakan hak suku tuan tanah Lango Fujjo. Gambar pembagian koteklema ditamilkan pada bab sebelumnya. Pari merupakan jenis ikan yang hasil tangkapannya di musim lefa dikelola bersama di belappa lolo suku dan dibagi secara adil di akhir musim . Ikan ini lebih tepat dikatakan sebagai andalan untuk perekonomian komunal, karena daging ikan pari yang dikeringkan termasuk tinggi nilai tukarnya. Ikan pari dibagi menjadi lima lima bagian:
95
1. lajja yaitu bagian sayap ikan pari, dibagi kepada semua meing dalam tena laja, 2. uk dan korok yaitu bagian badan (punggung dan dada) ikan pari, menjadi hak uma alep, 3. ang atau ingsang dibari kepada para meing, 4. atte atau hati dibagi dua untuk meing dan uma alep, 5. tai kebotti atau bagian isi perut menjadi hak uma alep yang dibagi pada akhir musim lefa. Sistem pembagian ikan ini (termasuk pembagian koteklema) mengalami perubahan dengan tetap mengacu sistem tradisional yang telah ditetapkan.
c. Penetang dan Barter Pertukaran barang di Lamalera dilakukan dengan penetang. Pada pembagian kerja, penetang adalah pekerjaan pokok yang dilakukan oleh perempuan. Kegiatan ini berlangsung antara masyarakat pesisir Lamalera dengan masyarakat pegunungan sekitar. Proses interaksi antara beberapa desa yaitu desa pesisir dan desa pegunungan yang kehidupannya ditopang oleh dua lingkungan yang relatif berbeda, telah menciptakan sistem perekonomian bersama yang saling melengkapi. Komuditas yang dipertukarkan adalah hasil laut dari pesisir dan hasil pertanian di daerah pegunungan. Sistem pertukaran barang, memenuhi kebutuhan dasar kedua masyarakat. Kebutuhan protein masyarakat gunung dipenuhi dengan potongan ikan kering yang dibawa oleh perempuan Lamalera sedangkan kebutuhan karbohidrat masyarakat pesisir dicukupi oleh hasil panen dari pegunungan. Penetang dilakukan dengan cara membarter potongan ikan kering dengan jagung, padi, umbi-umbian, kacang serta sayuran. Kegiatan penetang dilakukan mulai dari dini hari, dimana biasanya kaum perempuan keluar sekitar pukul 03.00 atau 04.00 subuh dengan berjalan kaki ke desa-desa sekitar. Kegiatan tukar menukar dilakukan dari rumah ke rumah. Biasanya setelah mereka sampai di desa tetangga, mereka menunggu terang dulu baru berjalan ke rumah-rumah menawarkan ikan bawaannya.
96
Penetang telah dilakukan sejak lama. Oleh karena itu, hampir semua perempuan yang melakukan penetang mengenal dengan baik masyarakat desa sekitar mereka. Apa bila dalam satu hari ikan telah tertukar semua, maka biasanya mereka akan kembali pulang ke lefo. Tetapi bila masih banyak barang bawaan yang tersisa, tidak jarang mereka menginap di desa tetangga untuk beberapa malam. Ada kalanya kegiatan penetang juga dilakukan dalam waktu yang lama. Sekitar seminggu atau lebih. Hal ini biasanya dilakukan karena desa tujuan penetang terletak jauh dari Lamalera. Setelah sarana transportasi tersedia, kegiatan penetang dengan berjalan kaki mulai berkurang. Sekaligus memudahkan mereka untuk kembali pulang setelah sehari selesai berpenetang. Berbeda dengan penentang yang dilakukan langsung di desa-desa tetangga dan berjalan dari rumah ke rumah. Pertukaran barang melalui barter secara rutin juga difasilitasi. Dalam satu minggu, diselenggarakan dua kali pasar barter. Pertama pasar barter pada setiap Sabtu di Wulandoni dan kedua pasar barter setiap Rabu di desa Posiwatu. Pasar barter Wulandoni lebih besar dan aktif dibandingkan pasar barter Posiwatu. Pada saat inilah, semua komuditi yang mungkin dipertukarkan bertemu. Terdapat ikan, garam dan kapur kepunyaan masyarakat nelayan, bahan makanan pokok hasil kebun masyarakat pegunungan, sayuran, tuak, buah sirih dan pinang, pisang dan banyak lainnya. Sejarah terjadinya pasar barter Wulandoni pada mulanya untuk memfasilitasi pertukaran barang antara masyarakat desa satu desa dengan masyarakat nelayan Lamalera. Tetapi perkembangannya, pasar ini kemudian menjadi sarana bagi hampir semua desa di kecamatan Wulandoni untuk melakukan transaksi tukar-menukar barang dan jual beli. Saat ini pasar barter Wulandoni dikelola oleh pemerintah kecamatan Wulandoni. Alam Lembata secara umum memang berbeda dengan pulau-pulau di bagian barat Indonesia. Kontur lahan, iklim serta cuaca menuntut masyarakat terutama di daerah pedesaan yang masih sulit kondisi infrastruktur selalu memiliki persediaan cadangan makanan pada musim-musim barat yang ditandai dengan hujan berangin. Dalam kondisi ini, keberadaan pasar barter dan penetang menjadi penting. Bagi orang Lamalera, jauh sebelum datang musim barat perempuan para ibu rumah tangga telah menyicil menyimpan jagung dan beras ladang hasil
97
penetang dan barter untuk bekal di musim barat. Begitupun dilkukan oleh masyarakat pegunungan.
5.3.2. Ekonomi Kepentingan a. Kepemilikan Alat Produksi Tiga alat produksi utama dalam sistem pukat tidak memiliki asosiasi dengan rumah besar. Beberapa alat produksi dimiliki secara perseorangan, ada juga yang dimiliki oleh satu keluarga besar. Kepemilikan oleh keluarga besar memang merunjuk pada hubungan kekerabatan, akan tetapi tidak seluas relasi kepemilikan komunal pada tena laja. Terlepas dari itu, hubungan antara alat-alat produksi dalam sistem pukat dengan rumah besar bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Dari tiga alat produksi yaitu pukat, sampan besar dan mesin, maka pukat merupakan alat produksi yang jumlah kepemilikan perseorangannya relatif besar. Untuk jenis pukat kecil, sebagian nelayan memilikinya dari bantuan-bantuan yang pernah ada, sebagian lainnya didapat dengan membeli sendiri dan atau bantuan dari sanak saudara di perantauan. Sedangkan untuk jenis pukat besar, untuk periode pertama datang dari bantuan pemerintah daerah33. Kepemilikan jaring pukat bantuan merupakan milik kelompok. Akan tetapi kelompok-kelompok yang dibentuk untuk mendapatkan bantuan nyaris merupakan kelompok-kelompok fiktif yang tidak memiliki pemahaman yang sama terhadap bantuan yang diberikan, maka hampir semua bantuan digunakan (baca: dimiliki) oleh perseorangan saja. Dari delapan bantuan pukat besar yang diberikan oleh DKP Lembata, hanya satu pukat saja yang dikelola bersama-sama, yaitu oleh kelompok dari desa Lamalera Atas. Hasil yang memuaskan mengundang keinginan nelayan untuk dapat memiliki pukat besar. Menjelang meninggalkan lokasi penelitian, dua orang nelayan membeli sendiri pukat besar ini ke Jakarta. Sementara itu sampan besar kebanyakan dimiliki oleh keluarga inti dan sebagian kecil lainnya milik keluarga besar. Istilah uma juga dilekatkan pada orang-orang yang memiliki perahu sampan. Namun istilah ini secara tegas 33
Bantuan-bantuan alat tangkap yang diterima nelayan Lamalera kebanyakan adalah bantuan atas kepentingan-kepentingan politik. Hal ini dijelaskan dengan datangnya bantuan dari bakal calon dalam pemiliha=n kepala daerah ataupun anggota legislatif.
98
berbeda dengan uma pada tena laja yang merupakan kelembagaan ekonomi yang mengurus pengelolaan hasil produksi secara bersama-sama. Pada perahu sampan, uma hanya menyangkut masalah kepemilikan dan bagian atas milik tersebut, akan tetapi tidak dalam mengelola hasil untuk dibagi secara merata kepada anggota uma lainnya. Hal yang mendasar dalam hak pembagian pada uma di perahu sampan ialah, hasil yang dibagi atau yang menjadi hak uma sebuah perahu sampan yaitu hasil yang diperoleh dari tikam, tidak untuk hasil yang didapat dari pukat. Bagian untuk uma pada sistem pukat tidak terlembaga. Hanya dari kemurahan hati pengelola perahu sampan kadang kala hasil pukat dibagi kepada anggota uma lainnya. Beberapa mesin johnson didapat dari bantuan pemerintah. Sama halnya dengan pukat, bantuan mesin tidak diberikan kepada perorangan melainkan kepada kelompok yang dibentuk tidak dengan basis kekeluargaan. Dalam pengoperasiannya, mesin kelompok dikelola oleh satu orang anggota kelompok saja. Penggunaan yang dalam waktu lama yang nyaris membuat orang lupa bahwa mesin tersebut bukan milik individu yang bersangkutan. Pemanfaaatan individual terhadap bantuan yangdiberikan semakin kuat karena tidak ada pantauan terhadap bantuan yang digunakan. Mesin juga di dapat dari bantuan oleh keluarga di perantauan. Status kepemilikan mesin seperti ini biasanya menjadi milik keluarga besar, tetapi pengelolaannya diserahkan kepada satu orang anggota keluarga. Hasil dari mesin ini diberikan kepada orang tua yang membelikan mesin, dan sebagian dibagi kepada keluarga lainnya. Hampir semua pemilik mesin memiliki perahu sampan, sekaligus memiliki beberapa jaring pukat. Akan tetapi tidak semua pemilik pukat memiliki mesin dan perahu. Oleh karena itu, bagi pemilik pukat yang ingin jaring pukatnya dibawa melaut oleh satu perahu sampan, perlu meminta kesediaan dari tuan perahu. Ada kalanya, agar pukatnya dibawa serta melaut pada satu perahu sampan, pemilik pukat juga ikut menjadi meing di sampan yang bersangkutan. Relasi kerja dalam sistem pukat berbeda dengan relasi kerja yang ada pada sistem tikam (terutama ketika berlangsung musim lefa dan rai Lewotobi dan rai Duli). Di tena laja, meing adalah stakeholder. Meing bukan tenaga kerja melainkan pemilik sekaligus orang yang menjalankan alat produksi. Istilah meing
99
pada asalnya tidak yang merujuk pada tenaga kerja yang dipisahkan dengan pemilik moda produksi. Relasi kerja pada sistem ekonomi tradisional orang Lamalera tidak mengenal tenaga kerja atau dengan kata lain, orang yang bekerja dengan orang lain. Melainkan bahwa setiap meing bekerja pada alat produksi milik sukunya. Relasi ini berbeda dengan pukat. Pemilik alat produksi di satu sisi berbeda dengan meing. Setiap alat produksi, baik perahu sampan, mesin atau jaring pukat ada pemiliknya masing-masing. Meing yang tidak memiliki alat produksi dan semata mengandalkan tenaga saja juga ada. Singkat kata pergeseran alat produksi telah menggeser relasi kerja di Lamalera yaitu dengan terbentuknya kelompok pemilik alat produksi dan kelompok pekerja (owners-workers). Terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat berbasis ekonomi ini sedikit demi sedikit merubah pola perilaku setiap individu dalam hubungan sosial di masyarakat. Hubungan kerja antara meing dengan pemilik perahu sampan bukanlah relasi yang kuat mengikat kedua belah pihak. Meing bisa leluasa untuk berangkat atau tidak berangkat pada waktu-waktu yang diinginkannya. Meing juga bisa berpindah dari satu perahu ke perahu yang lain, apa bila memungkinkan. Keputusan untuk berangkat dengan sebuah perahu sampan cenderung karena ada kecocokan dan rasa nyaman untuk bekerja bersama dengan tuan perahu yang bersangkutan. Antara meing dengan pemilik perahu saling membutuhkan satu sama lainnya. Rasa saling membutuhkan ini mempengaruhi etika perilaku antara keduanya. Keikutsertaan ke laut berpukat tidak selalu dilakukan setiap hari. Pada musim-musim yang baik, setidaknya sehari dalam seminggu meing memilih untuk beristirahat dan tidak melaut. Absen ke laut juga disebabkan karena adanya kegiatan adat yang harus diikuti. Dengan kondisi-kondisi tersebut, maka jumlah meing yang aktif dalam satu masa bisa sangat berfluktuatif. Ada masanya jumlah meing banyak, melebihi jumlah yang dibutuhkan dari setiap perahu. Adakalanya juga jumlah meing sedikit, sehingga tuan perahu harus berusaha mencari dan meminta orang untuk ikut berpukat dalam perahunya. Untuk mempertahankan meing yang memiliki kinerja baik, pemilik perahu harus bisa memperlakukan para meing dengan baik pula sehingga mereka betah
100
untuk berpukat bersama dan tidak pindah ke perahu sampan lain. Meing pun harus bisa menjaga perilaku dan kinerjanya agar ketika jumlah meing yang berangkat ke laut sedang banyak, tuan perahu tetap mengajaknya untuk ikut serta. Ketika jumlah meing banyak, maka pemilik alat tangkap seperti pukat ataupun perahu sampan dan mesin johnson tidak ikut serta ke laut tetapi memberikan kesempatan kepada meing yang tidak memiliki alat tangkap. Sikap ini didasarkan karena ada etika untuk berbagi hasil kepada orang lain.
b. Perubahan Pembagian Hasil Sampai saat ini dalam pola produksi di Lamalera tidak berlaku sistem upah. Mereka masih mengadopsi sistem lama yaitu bagi hasil tangkapan. Cara bagi hasil diadopsi dari sistem yang ada sebelumnya. Hasil dibagi kepada jumlah meing yang ikut berangkat pukat dan mesin johnson, bahan bakar, perahu sampan dan bagian pukat yang berhasil menjaring ikan. Jaring pukat yang tidak mendapatkan ikan tidak mendapatkan bagian kecuali apabila pemilik pukat ikut sebagai meing, maka bagian yang diterimanya adalah bagian sebagai meing. Jenis hasil tangkapan dari pukat beraneka macam, tetapi kebanyakkan ikan yang didapat yaitu tuna, tongkol, cakalang, pari, marlin hiu, dan lumba-lumba. Untuk ikan-ikan kecil seperti tuna tongkol dan cakalang, hasil pukat dibagi sama rata antara semua komponen yaitu meing, perahu, mesin dan pukat. Sedangkan pembagian ikan pari, hiu, marlin dan lumba-lumba dibagi dengan beberapa aturan. Untuk pari, bagian ûk yang merupakan bagian uma pada sistem tikam, disini menjadi hak pukat. Dua sayap, bagian kepala dan ingsang dibagi kepada meing, mesin, minyak dan perahu. Bagi hasil untuk hasil ikan hiu, marlin dan lumbalumba, bagian badan dari sirip bagian atas sampai ke ekor merupakan milik pukat. Pukat juga mendapat bagian kelik, nopo, novok dan bagian mimo. Yang lainnya dibagi rata kepada meing, mesin, bahan bakar dan perahu sampan.
101
Gambar 7. Pembagian Ikan Pari (sumber: data diolah, 2009)
Nama bagian Uk Futu Topo Lei nake Bekat Madda Ang Tukang gayung
Tikam Uma Meing Lamafa Meing Tempuling Tena alep Meing Tukang gayung
Pukat Pemilik Pukat Meing, minyak, mesin, perahu, pukat Minyak Pukat Meing, perahu, minyak, mesin, pukat Minyak Meing, perahu, minyak, mesin, pukat Meing, perahu, minyak, mesin, pukat
Cara bagi hasil yang diterapkan kepada hasil pukat sangat menguntungkan bagi pemilik jaring pukat. Tanpa ikut melaut, pemilik pukat bisa mendapatkan bagian yang banyak, apalagi bila ikut serta kelaut maka hasil yang didapat ditambah dengan bagian sebagai meing. Atas pertimbangan bagi hasil yang didapatkan oleh setiap meing pula, maka jumlah meing yang ikut berpukat malam dibatasi. Jumlah meing dipertimbangkan antara efektifitas kerja setiap meing selama berpukat, jumlah pukat yang dibawa dan jumlah bagian yang akan dibawa oleh setiap meing nantinya.
102
c. Jual Beli dan Tukar Menukar Dengan berkembangnya sistem pukat, masyarakat Lamalera dan sekitarnya semakin terbiasa dengan pereonomian uang. Pertukaran barang dengan sistem barter masih dilakukan. Tetapi perekonomian uang juga banyak ditemukan. Menguatnya perekonomian uang selain dipacu karena munculnya kebutuhankebutuhan yang hanya bisa dipenuhi dengan membeli atau membayar juga karena sistem produksi pukat sendiri membutuhkan uang. Kebutuhan bahan bakar tidak bisa didapatkan dengan pertukaran. Pemilik mesin harus memiliki perhitungan yang baik agar kegiatan berpukat tetap bisa dilanjutkan yaitu dengan mengelola pertukaran hasil melalui barter dan diperjualbelikan. Jual beli ikan dengan pedagang dari pegunungan juga mulai terjadi. Pedagang bersepeda motor datang ke Lamalera untuk membeli ikan-ikan segar dan dijual di pegunungan. Pedagang datang dari Desa Boto dan Posiwatu, yaitu desa-desa yang terletak di daratan. Ikan yang dibeli yaitu tuna ekor kuning, tongkol atau cakalang. Jual beli berlangsung pagi hari di pantai, pedagang langsung datang langsung kepada nelayan yang baru datang dan menawar ikan yang dihendaki. Dari Lamalera sendiri juga mulai ada inisiatif untuk menjual ikan-ikan kecil ini ke luar kampung. Saat penelitian, keluarga AB salah seorang pemilik perahu sampan, mesin dan pukat telah menjual sendiri ikan-ikan kecil hasil berpukat perahunya ke desa-desa sekitar Lamalera. RB anak dari AB hampir setiap pagi mengambil ikan-ikan kecil yang merupakan bagian keluarganya dan dengan motor menjual ke pedalaman. AB pun pernah melakukan beberapa terobosan dalam pemasaran, yaitu ketika ikan tuna yang didapat berukuran besar dan banyak, AB menjual langsung ikan tersebut kepada kapal penampung di Larantuka dan Weiwerang. Pada saat penjualan tersebut itulah diketahui bahwa untuk ikan tuna ekor kuning yang tidak rusak dengan berat 35 kg bisa dijual ke kapal penampungan dengan harga 75.000/kg. Ketika hasil cukup baik dengan mendapat ikan tuna sirip kuning yang besar dan tidak rusak, perahu sampan lain juga mulai melakukan hal tersebut. Nilai uang dari hasil pukat berupa ikan-ikan kecil telah memancing pikiran-pikiran untuk menjual ikan-ikan kecil tersebut. Ide untuk menjual ikan ke Loweleba terkendala oleh infrastruktur jalan dan sarana transportasi yang tidak
103
mendukung. Disamping dibutuhkan beberapa perlengkapan seperti cool box dan es untuk membuat ikan tetap awet. Sementara itu, di desa pedalaman daya beli masyarakatnya masih rendah. Situasi-situasi seperti ini memerlihatkan hasil tangkapan dengan pukat adakalanya menguntungkan bila ikan-ikan kecil yang banyak di dapat bisa dijual langsung, tetapi menjadi beban juga apabila tidak bisa dijual. Beban ini kerap peneliti temukan di pantai, ketika hasil yang didapat pukat kebanyakan adalah ikan kecil, pekerjaan ibu-ibu rumah tangga akan bertambah berat yaitu membakar ikan dan berangkat penetang malam atau esok harinya. Tidak jarang karena banyaknya ikan kecil yang didapatkan, para meing akhirnya membagi secara cuma-cuma ikan tersebut kepada orang-orang di pantai dan kepada tetangga mereka. Dilematika dalam mengolah dan mempertukarkan ikan-ikan kecil menjadikannya nilai ikan kecil dipandangan masyarakat pesisir ini rendah. Sepulang dari pukat, maka dikatakan ‘hasil’ apabila ada pari, hiu atau lumbalumba yang didapatkan. Nilai ikan tertinggi oleh keseluruhan meing ada pada pari, sedangkan nilai tangkapan ikan bernilai tinggi oleh pemilik jaring pukat adalah ikan hiu, karena satu set sirip hiu menjadi milik pukat. Sirip hiu yang bisa dijual dengan harga 175.000/set. Sedangkan dengan hasil tangkapan berupa tuna, tongkol, cakalang yang banyak sekalipun sering disebut dengan kosong karena nilai ikan rendah. Rendah atau tingginya nilai ikan dalam masyarakat Lamalera ditentukan oleh bisa atau tidaknya daging ikan tersebut diawetkan. Daging ikanikan kecil sendiri tidak bisa disimpan lama, harus segera diolah, dijual atau dikonsumsi.
5.4. Dampak Perubahan Pengelolaan Ekonomi Terhadap Aspek Sosiokultur Lainnya Kehidupan masyarakat Lamalera, hampir di segala aspek tidak bisa lepas atau selalu berhubungan dengan laut. Peneliti akan untuk memaparkan kaitankaitan ini dalam metode yang dikembangkan Steward. Ketika proses adaptasi dengan lingkungan melahirkan teknologi pemamfaatan dan menciptakan sistem perekonomian
masyarakat,
kemudian
pengelolaan
ekonomi
tersebut
104
mempengaruhi aspek lain dalam sistem sosiokultur, maka disana ranah studi ekologi budaya bisa dikembangkan. Pengaruh pengelolaan ekonomi tersebut akan terlihat terutama pada elemen-elemen dasar struktur masyarakat seperti sistem sosial, politik dan agama.
Tabel 6. Perubahan Moda Produksi Di Lamalera dan Pengaruhnya pada Aspek Sistem Sosiokultur Lain. Aspek-aspek Sistem Sosiokultur Teknologi eksploitasi Pengelolaan Ekonomi Pola Produksi - Kepemilikan alat produksi - Organisasi Ekonomi - Relasi kerja Pola distribusi
Pola Pertukaran
Lembaga adat Lika telo
Aspek lain
kelembagaan
Sistem Religi
Sistem Norma
Sistem Kekerabatan
Sistem Tikam
Sistem Pukat
Tena laja
Sampan besar, mesin jhonson, jaring pukat
Komunal/suku atau sub-suku
Personal atau keluarga besar
Uma / kelompok pemilik tenalaja) Pemilik sebagai penggerak usaha
Usaha perorangan/keluarga
Pembagian hasil tikaman berdasarkan baku yang ada, ditandai oleh atamola Penetang dan barter dan jual beli
Lika telo mengatur dan memiliki wewenang menjaga kelancaran kegiatan menikam dan segala urusan kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan laut. Tobu nama fatte, yaitu musyawarah umum di pantai sebelum memulai leffa, mengevaluasi dan membuat aturan untuk leffa yang akan berlangsung. Selalu disertai dengan upacara adat dan ritual agama (gereja dan keyakinan animisme) - Banyak aturan sakral yang mengikat nelayan di laut dan keluarga yang menetap di darat. - Sistem regulasi non formal untuk menjaga stabilitas sosial ada seiring berlangsungnya kegiatan di laut (menikam) Asosiasi yang kuat dengan suku dan rumah besar
Sumber: Data Primer (2009)
Pemilik alat produksi dan matros sebagai tenaga kerja. Pembagian hasil dengan mengadopsi sistem tikam. Penetang, barter, semakin menguatnya jual beli (ekonomi uang) Lika telo tidak memiliki wewenang mengatur kegiatan berpukat karena pukat merupakan alat tangkap milik perorangan bukan milik bersama. Tidak ada kelembagaan yang mengatur.
Relasi antara kegiatan ekonomi pukat dengan agama semakin longgar. Ibadah dilakukan secara perseorangan saja. Terjadi pelonggaran normanorma sosial.
Lingkup kekerabatan menyempit dalam keluarga kecil dan keluarga besar.
105
Perubahan pada teknologi pemamfaatan sumberdaya berimbas pada pengelolaan ekonomi. Pergeseran ini sedikit banyaknya juga berpengaruh ada sistem sosiokultur lainnya. Berikut dipaparkan bagaimana pola teknologi eksploitasi, dan pengelolaan ekonomi mempengaruhi elemen-elemen sistem sosial lainnya.
a. Dampak Perubahan Pengelolaan Ekonomi Terhadap Lembaga Adat Likatelo Satu hal penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah adanya kelembagaan lokal yang kuat. Umumnya, kelembagaan sering diartikan sebagai organisasi, yang dalam banyak hal dapat merancukan pengertian yang sebenarnya dari kelembagaan tersebut. Schmid (1987) mengartikan kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan/atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemamfaatan sumberdaya alam tertentu (Nasdian, 2004: 5). Dalam perspektif sosiologis, kelembagaan dipandang sebagai kompleks peraturan dan peranan sosial secara abstrak. Wujud kongkrit dari kelembagaan adalah kelompok-kelompok dan organisasi sosial dan pola hubungan antarkelompok atau antar organisasi. Di Lamalera wujud kongkrit kelembagaaan diejawantah dalam sebuah lembaga adat Lika telo. Lembaga ini digerakkan oleh tiga suku yaitu Belikololo, Bataona dan Lefotukan. Tiga suku yang merupakan keturunan dari Korohama. Dalam kelembagaan Lika telo, Belikololo berperan sebagai pengatur urusan adat seperti menyangkut kematian, perkawinan urusan adat antar suku dan urusan adat dengan masyarakat di luar Lamalera. Bataona sebagai putra tengah berperan sebagai pihak yang mengurus masalah penghidupan ola nua (pencarian di laut). Perannya dikukuhkan terhadap segala urusan yang berhubungan dengan laut dimulai dengan pengadaan upacara membuka musim lefa, melakukan segala ritual yang berkaitan dengan dengan laut pada saat ada
106
masalah dan bencana yang menimpa masyarakatnya. Sedangkan Lefotukan berperan dalam urusan pemerintahan. Peran ini dikukuhkan pada masa kolonial Belanda dengan mengangkat ketua suku Lefotukan sebagai Kakang (pemimpin pemerintahan sebuah distrik). Kelembagaan lika lelo merupakan institusi lokal yang lahir dari sebuah hubungan kekerabatan. Kelembagaan ini juga mempengaruhi pola pemukiman di Lamalera pada masa awal-awal kedatangan mereka di pesisir Lembata yaitu dengan menempatkan rumah besar anak sulung dan anak bungsu di dataran tinggi. Rumah besar kedua dibangun didekat pesisir pantai karena ditugaskan untuk menjaga pantai. Sekarang rumah besar Belikololo dan Lefotukan masuk dalam wilayah administratif Desa Atas sedangkan rumah besar Bataona terletak di Desa Bawah. Urusan bersama, yang melibatkan masyarakat satu lefo pertemuanpertemuan seperti musyawarah bahkan ritual-ritual magis banyak diselenggarakan di dua rumah rakyat ini, yaitu rumah besar Belikololo dan rumah besar Kelake Langu Bataona (PHB 14 Juli). Dalam stratifikasi masyarakat, keturunan tiga suku ini tergolong ke dalam kelompok bangsawan. Dalam kehidupan demokrasi di Lamalera, maka anak keturunan dari tiga suku ini memiliki hak utama untuk memberikan suara pada urusan-urusan bersama. Lika telo adalah tempat kemana masyarakat mengadukan persoalan kampungnya. Dalam banyak hal, ketika lefo dihadapkan pada masalah maka, Lika telo menjadi pintu untuk memulai berbagai usaha dalam menyelesaikannya. Salah satu urusan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Lamalera adalah mengenai ola nua. Ketika lefo dihadapkan pada kondisi paceklik dengan hasil tangkapan yang sangat sedikit, maka pada situasi seperti ini koteklema akan diundang untuk datang ke lefo dan memberi makan kepada para janda dan anak yatim dan seluruh kampung. Masyarakat yang mulai merasa cemas, akan mungadukan persolan ini ke Lika telo. Pada kebiasaan masyarakat yang menyelesaikan beberapa masalah dengan ritual magis, maka satu tindakan dari Lika telo untuk membicarakannya dan menemui tuan tanah yang juga dipercaya memiliki keistimewaan untuk berinteraksi dengan para leluhur menjadi jalan untuk menyelesaikan masa-masa sulit seperti ini.
107
b. Animisme dan Agama Gereja Masyarakat Lamalera seluruhnya beragama Katolik. Misionaris pertama dikirim ke Lamalera pada tahun 1627, namun tidak ada catatan yang memadai mengenai misi ketika itu. Pertumbuhan misi Katolik di Lamalera ditandai dengan beberapa peristiwa penting yaitu pertama membaurnya misi Katolik dalam kehidupan masyarakat Lamalera ketika dilakukan pemandian (pembabtisan) terhadap masyarakat dan anak-anak pada pada 8 – 9 Juni 1886 di Lamalera Bawah dan pada Lamalera Atas. Kedua dikirimnya Pater Bernhard Bode SVD sebagai pastor pertama di Lamalera pada 25 September 1920, yang mana pada masa kepemimpinan pastor Bode didirikan gereja di Lamalera. Dan dibukanya sekolah Katolik pertama di Lamalera (sekaligus pertama di Lembata) pada tahun 1913 di bawah pimpinan Pastor Hoeberechts SY (Beding SVD, 1986). Sebelum Katolik masuk, masyarakat Lamalera adalah penganut animisme yang mengagungkan para leluhur mereka. Wujud tertinggi dalam keyakinan animisme Lamalera adalah ”Ama Lera Wulan” (Bapak Matahari dan Bulan) dan ”Ina Tanah Ekan” (Ibu Tanah dan Bumi) yang diyakini sebagai pengatur, pemberi dan penata hidup manusia (Helan 2006: 16). Arwah para leluhur mereka dipandang sebagai perantara antara manusia dengan wujud tertinggi. Meski mengakui eksistensi Tuhan sebagai wujud tertinggi, tetapi manifestasi kepecayaan terhadap kekuatan-kekuatan para leluhur lebih terasa di Lamalera. Arwah leluhur hadir dalam setiap permohonan, dalam menghadapi bencana dan kemalangan, terutama dalam hal penghidupan (ola nua). Keberhasilan dan keselamatan atas pekerjaan mereka di laut diserahkan kepada penjagaan oleh nenek moyang. Agama Katolik merombak kepercayaan animisme di Lamalera secara perlahan-perlahan dengan menggantikan ritual-ritual animisme yang biasa dilakukan sebelum berangkat ke laut dengan misa kudus. Hal ini sebagai mana tuliskan Pastor Alex Beding SVD, menurut kebiasaan orang yang mati dikuburkan di antara rumah-rumah. Sesudah beberapa lamanya keluarga keluarga mengangkat tengkorak si mati itu dan meletakkan bersama tengkorak-tengkorak para leluhur dalam rumah kecil yang disediakan oleh tiap suku/keluarga. Pada waktu tertentu tengkorak-tengkorak itu dicuci atau dimandikan dalam suatu upacara, misalnya bila tiba musim bagi peledang-peledang untuk keluar ke laut menangkap ikan,
108
atau ketika mereka mengalami musim paceklik. Perlahan-lahan ritual animisme itu digantikan dengan misa kudus yang dirayakan di pantai untuk memohon berkat atas pekerjaan para pelaut dan dihadiri oleh seluruh umat. Peledang-peledang diberkati dan dihiasi dengan nama-nama orang kudus atau slogan kristiani di haluannya (1986: 46-47). Begitu pula yang dilakukan terhadap batu-batu berhala, dikumpulkan dan dikubur menjadi pondasi bangunan gereja. Pada kenyataannya agama Katolik tidak bisa menggeser keyakinan animisme tersebut. Semua tersisa dalam berbagai praktek sinkretisme. Banyaknya pensakralan, pantangan dan etika-etika dalam berinteraksi dengan alam. Setiap yang terjadi di daratan dan lautan selalu ditafsirkan sebagai reaksi para leluhur atas tindakan-tindakan manusia. Kegagalan dan bencana di laut diyakini sebagai kesalahan yang terjadi di daratan dan sikap-sikap meing yang salah di laut. Sebagaimana para leluhur mengingin satu lefo berada dalam keharmonisan, maka berbagai bentuk ketidakharmonisan dalam rumah besar, antara keluarga, dan dalam masyarakat akan berdampak pada kegagalan di laut. Nilai spiritualitas ini sangat terasa bahkan sampai lebih seabad agama Katolik masuk ke Lamalera. Pemaknaan terhadap laut dan kekayaannya juga mendasar dalam keyakinan orang Lamalera. Salah satu etika adalah haram untuk membuang bagian sisa-sisa potongan ikan yang tidak dimamfaatkan, menjatuhkan ikan (termasuk tidak sengaja menjatuhkan). Dalam kasus-kasus seperti ini, bagi kelalaian-kelalaian dalam menghargai hasil ola nua maka mereka harus mengakuinya dihadapan para meing, memohon pengampunan dan memerciki perahu dengan air berkah sebelum bertolak lagi ke laut. Ajaran Katolik hanya bisa menggantikan ritual-ritual animisme dengan peribadatan-peribadatan gereja. Tetapi tidak bisa menyisihkan ketergantungan keyakinan masyarakat nelayan Lamalera terhadap leluhur serta tidak bisa menghilangkan pengharapan dan permohonan masyarakat kepada leluhur untuk penghidupan mereka.
c. Sistem Kekerabatan Bagi keberlangsungan perekonomian di Lamalera selain tena laja, tenaga manusia menjadi salah satu modal. Untuk menggunakan tena laja, paling sedikit
109
diperlukan 15 orang tenaga laki-laki kuat untuk mendayung dan seorang juru tikam (lamafa). Pada masyarakat nelayan pada umumnya, tenaga laki-laki menjadi penting karena pekerjaan di laut merupakan wilayah kerja laki-laki. Begitu pula bagi nelayan Lamalera, sebelum mengenal mesin paling tidak setiap suku memiliki lima belas orang tenaga produktif yaitu sejumlah tenaga meing yang akan mengoperasikan tena laja. Keberadaan mesin bisa mengurangi kebutuhan tenaga kerja ini. Tetapi tidak cukup banyak tenaga kerja yang bisa dikurangi, untuk berangkat lefa misalkan, dibutuhkan sekurangnya tujuh orang meing dan seorang lamafa. Tidak demikian dengan baleo, karena jumlah meing minimal di tena laja berkisar sepuluh hingga dua belas orang. Di banyak daerah di Indonesia, suku merupakan hal prinsip dalam kekerabatan patrilineal34 (Barnes, 1996: 62). Pentingnya laki-laki dalam suku menjadi salah satu indikator dalam sistem kekerabatan patrilineal. Di Lamalera, faktor produksi dijalankan oleh laki-laki. Sistem kekerabatan, aturan perkawinan serta bentuk pranata reproduksi lain dikembangkan untuk mempertahankan keberadaan laki-laki di dalam suku. Tanpa mengesampingkan posisi perempuan, eksistensi suku pada masyarakat nelayan ini berada di tangan laki-laki. Suku dan keluarga besar adalah unit kekerabatan dominan pada masyarakat tradisional. Pranata ini memegang fungsi-fungsi penting dalam pengorganisasian sosial. Pada masyarakat Lamalera banyak kegiatan-kegiatan
ekonomi, politik, dan agama
dilakukan dalam konteks kekerabatan. Untuk mempertahankan eksistensis suku dan menjalankan aktifitas produksi komunal maka sistem kekerabatan patrilineal dibatasi dengan aturan eksogami suku dan patrilokalitas35. Berbeda dengan beberapa masyarakat patrilineal dimana wanita setelah menikah masih tetap menjadi orang luar bagi kelompok patrilineal suaminya karena ia adalah anggota seumur hidup bagi kelompok patrilineal ayahnya, maka di Lamalera wanita menikah menjadi anggota kelompok patrilineal suaminya. Walau tidak sepenuhnya keluar dari
34
Keturunan ditelusuri hanya melalui laki-laki (yakni, melalui ayah seseorang, ayah dari ayah, ayah dari kakek, dan seterusnya) 35 Eksogami suku yaitu larangan menikah dengan orang di dalam suku atau menikah sesuku. Patrilokalitas yaitu aturan tempat tinggal setelah kawin dimana nikah tinggal dalam rumah tangga si suami.
110
kelompok patrilineal ayah, tetapi ia telah diserahi untuk mengampu tugas-tugas komunal di kelompok patrilineal suaminya. Pada ikatan patrilineal, kontinuitas suku diserahkan pada laki-laki. Oleh karena itu, pewarisan berlangsung dari ayah ke anak laki-laki. Pada masyarakat Lamalera, hal ini bisa diruntut dari awal dimana sebuah rumah besar diwariskan kepada salah seorang anak laki-laki (biasanya anak tertua). Hak kepemilikan alatalat produksi seperti tena laja dan tanah juga diwariskan kepada anak laki-laki.
d. Sistem Nilai dan Norma Turner (dalam Simandjuntak, 2002: 140) menuliskan bahwa celah kehidupan pada hakikatnya, menurut dialektika Simmel, berpotensi menciptakan keteraturan, kekacauan, maupun kestatisan dan perubahan. Dalam kehidupan bermasyarakat
biasanya
terdapat
lembaga
atau
norma
untuk
menjaga
keharmonisan dan stabilitas sosial. Di Lamalera keharmonisan dijaga dengan seperangkat nilai dan etika yang yang membatasi pola perilaku mereka di darat dan di laut terhadap lingkungan alam terutama lingkungan laut dan sesama manusia untuk penghidulan ola nua yang baik. Etika tersebut adalah norma yang dibutuhkan untuk menopang stabilitas kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Lamalera percaya bahwa norma yang dijaga di daratan merupakan sumber keberhasilan dan keselamatan di lautan. Urusan pemenuhan kebutuhan dasar ini menjadi salah satu pilar yang membangun norma. Agar bisa berhasil dan menghindari masalah di laut, maka beberapa norma selalu berupaya dipertahankan. Pertama, kerukunan di dalam kampung harus dijaga. Setiap konflik akan manampakkan wujudnya di laut. Setiap kecurangan dan tindakan asusila akan mendapatkan balasannya. Di laut, semua bentuk ketidakharmonisan akan ditunjukkan. Salah satu contoh, pertikaian antar meing dalam perahu akan diketahui melalui tidak jinaknya ikan ketika ditikam. Perahu tidak akan berhasil menikam ikan selagi pertikaian itu belum diselesaikan. Biasanya, perahu akan didaratkan dahulu, dan meing yang bertikai diminta menyelesaikan pertikaiannya. Setelah konflik antar meing selesai, dengan berdoa dan memercikkan air berkat, tena laja baru bertolak ke laut lagi.
111
Norma ini tidak hanya dijatuhkan pada orang yang berangkat ke laut. Segala pertikaian antara anggota kelompok dalam uma juga akan mendapat resiko serupa. Oleh karena itu, untuk menolak tena laja ke laut, semua masyarakat sadar bahwa tanpa membangun hubungan yang baik dengan sesama orang, tidak melakukan kecurangan, perbuatan asusila atau mengambil hak orang lain, maka perjalanan tena laja hanya akan menghasilkan kesiasiaan atau malah akan menimbulkan malapetaka. Sebagaimana mereka mengibaratkan melaut dan berburu ikan seperti berangkat berperang, maka segala bentuk hiruk pikuk di kampung harus dihindari. Pada masa lefa, dimana banyak perahu bertolak ke laut, maka tidak dibolehkan bagi anak-anak untuk bermain di pantai dan bangsal perahu. Begitu pula tidak diperkenankan suara gaduh di dalam rumah besar. Suasana hikmah, tenang dan tidak ada huru-hara dijaga selama tena laja masih berada di laut.