BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh kepemimpinan melayani dan dukungan organisasi terhadap komitmen afektif berorganisasi dengan variabel pemoderasi generasi X dan Y. Dari hasil analisis data penulis membuat kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari hasil uji statistik deskriptif, diketahui bahwa rata-rata persepsi kepemimpinan melayani pada Generasi Y adalah 3,435, sedangkan pada Generasi X sebesar 3,415. Kemudian, rata-rata persepsi dukungan organisasi pada Generasi Y adalah 3,264, sedangkan Generasi X sebesar 3,144. Hal yang sama juga terjadi pada Komitmen Afektif Berorganisasi, di mana nilai ratarata Generasi Y sebesar 4,154, sedangkan Generasi X sebesar 3,492. Dengan demikian secara umum, berdasarkan uji statistik deskriptif, bisa disimpulkan bahwa Generasi Y memiliki persepsi yang lebih baik dalam hal praktik kepemimpinan melayani dan dukungan yang diberikan organisasi. Generasi Y juga memiliki komitmen secara afektif terhadap perusahaan lebih tinggi dibanding dengan Generasi X. 2. Hasil pengujian pada hipotesis 1 menunjukkan bahwa kepemimpinan melayani berkorelasi positif dengan komitmen afektif berorganisasi. Hal ini berarti apabila terjadi peningkatan pada persepsi kepemimpinan melayani,
77
maka akan berdampak pada peningkatan komitmen afektif anggota tim dalam berorganisasi. Dengan demikian, disimpulkan bahwa hipotesis 1 dalam penelitian ini terdukung. 3. Uji hipotesis 2 juga menunjukkan adanya korelasi positif antara dukungan organisasi dengan komitmen afektif berorganisasi. Dalam hal ini, disimpulkan apabila terjadi peningkatan persepsi karyawan terhadap dukungan yang diberikan organisasi terhadap mereka maka komitmen afektif karyawan terhadap organisasi juga meningkat. Dalam hal ini yang dimaksud dukungan organisasi adalah merupakan keyakinan umum mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi karyawan, memerhatikan kesejahteraan, mendengarkan keluhan, memerhatikan kehidupan, memerhatikan tujuan individu karyawan, dapat dipercaya, dan memperlakukan karyawan secara adil. Kesimpulan hasil pengujian, hipotesis 2 dalam penelitian ini terdukung. 4. Hasil pengujian hipotesis 3 menunjukkan bahwa generasi (Gen X dan Y) memoderasi korelasi antara kepemimpinan melayani terhadap komitmen afektif
berorganisasi.
Artinya,
bukan
saja
kepemimpinan
melayani
memengaruhi komitmen afektif berorganisasi, akan tetapi generasi berperan dalam hubungan keduanya. Kesimpulan hasil pengujian, hipotesis 3 dalam penelitian ini terdukung. 5. Hasil pengujian hipotesis 4 juga menunjukkan bahwa generasi (Gen X dan Y) memoderasi korelasi antara dukungan organisasi terhadap komitmen afektif berorganisasi.
Artinya,
bukan
saja
dukungan
organisasi
saja
yang
memengaruhi komitmen afektif berorganisasi, akan tetapi generasi juga
78
berperan dalam hubungan keduanya. Kesimpulan hasil pengujian, hipotesis 4 dalam penelitian ini juga terdukung. 6. Hasil uji tambahan juga menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara persepsi Generasi X dan Generasi Y terhadap persepsi kepemimpinan melayani dan dukungan organisasi. Namun demikian, perbedaan yang signifikan terjadi pada komitmen Afektif berorganisasi. Hal ini berarti Generasi X dan Generasi Y sama-sama memiliki persepsi yang hampir sama terhadap kepemimpinan melayani dan dukungan organisasi, tetapi Generasi Y memiliki komitmen afektif yang lebih kuat dibanding Generasi X.
5.2 Implikasi Hasil penelitian ini memberikan implikasi, baik teoretis maupun praktis dalam manajemen organisasi. Implikasi ini secara khusus memberikan perkembangan pada pengetahuan dan praktik terkait dengan kepemimpinan melayani, dukungan organisasi, komitmen afektif berorganisasi, serta Generasi X dan Y. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberi referensi tambahan yang digunakan sebagai acuan bagi akademisi. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan kepemimpinan melayani berpengaruh positif pada komitmen afektif berorganisasi, serta dimediasi oleh generasi X dan Y. Selain itu dukungan organisasi juga berpengaruh positif pada komitmen afektif berorganisasi, serta dimediasi oleh generasi X dan Y.
79
Hasil penelitian ini juga turut memberikan implikasi bagi pengambil kebijakan dalam organisasi. Oleh karena komitmen afektif organisasi sangat penting untuk menjaga agar tujuan organisasi bisa cepat tercapai. Pengambilan keputusan terkait komitmen afektif berorganisasi perlu mempertimbangkan gaya kepemimpinan melayani, dukungan organisasi, serta karakteristik generasi, baik Generasi X maupun Generasi Y. Dengan demikian karyawan akan semakin memiliki komitmen afektif dalam berorganisasi. Kepemimpinan melayani, yang terdiri dari dimensi panggilan altruistik (altruistic calling), kesembuhan emosional (emotional handling), kearifan (wisdom),
pemetaan
organisasional
persuasif
(organizational
mendorong anggota tim untuk
(persuasive stewardship),
mapping), perlu
dan
pelayanan
dikembangkan
untuk
mengidentifikasi dirinya secara emosional
terhadap organisasi, ikut terlibat aktif dalam aktivitas organisasi, dan bangga menjadi bagian keanggotaan organisasi. Secara spesifik kesimpulan penelitian ini juga berimplikasi terhadap praktik dan kebijakan sumber daya manusia di Agung Sedayu Group (ASG), di mana basis data responden penelitian ini berasal. Dari hasil olah data kuesioner, didapatkan
rata-rata
(mean)
persepsi
karyawan
ASG
terhadap
praktik
kepemimpinan melayani adalah sebesar 3,428 dan nilai koefisien determinasi korelasi antara kepemimpinan melayani dan komitmen afektif berorganisasi sebesar 22,6%. Ini berarti bahwa praktik kepemimpinan melayani belum sepenuhnya dirasakan oleh karyawan dan jika kepemimpinan melayani diterapkan di ASG, maka akan memberikan andil sebesar 22,6% terhadap terciptanya
80
komitmen afektif karyawan terhadap ASG. Oleh karena itu, merekomendasikan
agar
seluruh
jajaran
manajemen
segera
penulis
melakukan
transformasi gaya kepemimpinan, dengan mempraktikkan kelima dimensi kepemimpinan melayani dan menjadikannya sebagai bagian dari budaya perusahaan. Hal utama yang perlu dilakukan ASG adalah dengan menjalankan program pelatihan kepemimpinan melayani yang wajib diikuti oleh seluruh jajaran manajemen dan memasukkan dimensi kepemimpinan melayani dalam key performance indicator, dengan bobot 5–20%. Hal ini sejalan dengan salah satu target perusahaan di tahun 2016, bahwa selain peningkatan kualitas produk, ASG juga berniat untuk meningkatkan standar layanan pelanggan. Customer Satisfaction Index (CSI) 2016 diharapkan bisa meningkat 10% dari tahun 2015. Dengan menjalankan prinsip-prinsip kepemimpinan melayani, diharapkan para pemimpin ASG bisa menjadi agen perubahan dan role model yang baik bagi anggota timnya dalam meningkatkan budaya pelayanan pelanggan, sehingga target CSI bisa tercapai. Hal ini sejalan dengan gagasan Greenleaf (1977), yang mengatakan bahwa karakter utama kepemimpinan melayani adalah bersikap mendahulukan kepentingan dan kebutuhan orang lain di banding diri sendiri. Tentu saja karakter ini juga melekat pada prinsip utama praktik pelayanan pelanggan. Selain itu, organisasi juga harus memerhatikan sungguh-sungguh persepsi dukungan organisasi atau keyakinan umum karyawan mengenai sejauh mana organisasi menghargai kontribusi, memerhatikan kesejahteraan, mendengarkan
81
keluhan, memerhatikan kehidupan, mempertimbangkan tujuan individu karyawan, terpercaya, dan memperlakukan karyawan secara adil. Dengan cara ini niscaya organisasi
bisa
mempertahankan
karyawan
potensial
mereka,
sekaligus
mendapatkan komitmen afektif dari karyawan. Dari hasil olah data kuesioner, didapatkan rata-rata (mean) persepsi karyawan ASG terhadap dukungan organisasi adalah sebesar 3,224 dan nilai koefisien determinasi korelasi antara dukungan organisasi dan komitmen afektif berorganisasi sebesar 18,8%. Ini berarti bahwa dukungan organisasi belum sepenuhnya dirasakan oleh karyawan, padahal dukungan organisasi memberikan andil sebesar 18,8% terhadap terciptanya komitmen afektif karyawan terhadap ASG. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan agar segera melakukan evaluasi terhadap kebijakan manajemen sumber daya manusia yang memberikan perhatian utama pada fungsi compensation and benefit (CB), industrial relation (IR), jenjang karier, dan program pengembangan. Dari sisi CB, kebijakan upah dan bonus perlu mempertimbangkan aspek keadilan distributif, yang memastikan karyawan yang memberikan kontribusi lebih besar yang benar-benar mendapatkan upah dan bonus yang lebih baik dari yang lain. Untuk itu seluruh karyawan harus memiliki Key Performance Indicator yang jelas dan spesifik. Selain itu, disarankan pula untuk memaksimalkan program asuransi kesehatan, bantuan finansial karyawan, car ownership program (COP), dan house ownership program (HOP). Diharapkan dengan peningkatan pelayanan dari sisi CB, karyawan semakin merasakan dukungan organisasi sehingga meningkatkan komitmen afektif terhadap ASG.
82
Dari sisi IR, perlu dirancang kembali program-program yang berbasis work-life balance. Salah satu program yang bisa dijalankan adalah flexy time, di mana karyawan diberikan pilihan untuk bisa berangkat dan pulang kerja secara fleksibel, yang dibatasi pada rentang waktu tertentu, dengan memenuhi waktu kerja delapan jam. Selain itu, fasilitas karyawan juga perlu ditingkatkan, seperti perbaikan sarana gym, peremajaan bahan bacaan di perpustakaan, peremajaan fasilitas kantin ASG, program olah raga bersama, program kesenian bersama, program sosial, dan program yang bersifat rohani. Selain itu, melihat bahwa Generasi Y memiliki komitmen afektif yang lebih kuat dibanding Generasi X, maka manajemen harus serius dalam program merancang program retensi karyawan, terutama menitik beratkan pada kebutuhan dan aspirasi Generasi X, di mana sebagian besar memiliki atasan generasi Baby Boomers. Dalam hal ini Baby Boomers harus menyadari fenomena demografis ini dan bersedia beradaptasi dengan mempraktikkan kepemimpinan melayani dan dukungan organisasi yang sesuai dengan kebutuhan psikologis Generasi Y, dan terutama Generasi X. Hal lain yang perlu dipastikan dalam rangka meningkatkan dukungan organisasi adalah jenjang karier dan program pengembangan. ASG harus bisa memastikan dan meyakinkan karyawan bahwa kesempatan untuk berkarier terbuka luas. Selain itu, program pengembangan karyawan melalui program pelatihan, coaching, dan counseling harus dijalankan secara berkelanjutan dan terukur. Dengan demikian, selayaknya gaya kepemimpinan melayani dan dukungan organisasi harus terus-menerus dikembangkan dan dijadikan landasan
83
strategis perusahaan dalam mempertahankan karyawan potensialnya. Organisasi tidak bisa lagi sekadar bekerja berdasarkan SOP dan KPI karyawan, namun lebih dari itu, sisi kepemimpinan yang melayani dan dukungan emosional dibutuhkan untuk menggerakkan setiap individu dalam organisasi dengan sukarela berperan aktif dan berkomitmen afektif terhadap organisasi. Generasi baru dengan harapan baru telah memasuki dunia kerja. Mereka dikenal dengan Generasi Milenia atau Generasi Y. Gen Y saat ini bekerja bersama Gen X dan sebagian kecil Baby Boomers. Meskipun anggota Gen Y sudah memasuki dunia kerja, kebanyakan dari mereka belum memperoleh posisi manajemen di perusahaan. Dampaknya, para manajer harus menyadari terjadinya perbedaan generasi, dan memahami kebutuhan unik Gen Y. Hanya dengan cara ini konflik tak terelakkan antar generasi bisa lebih terkontrol, mengurangi kemungkinan kesalahpahaman, miskomunikasi, dan mixed signals di antara karyawan berbeda generasi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa keenam faktor kepemimpinan melayani berkorelasi positif dengan komitmen afektif berorganisasi, yang dimoderasi oleh Generasi X dan Y. Pemimpin menurut Generasi X dan Y harus memiliki kepribadian yang jujur, akuntabel, dan bisa menjadi contoh moral bagi anak buahnya. Oleh karena itu, faktor demografi, khususnya komposisi generasi dalam organisasi harus dijadikan referensi utama dalam menyusun strategi mempertahankan dan meningkatkan produktivitas karyawan. Dalam konteks Agung Sedayu Group, berbagai peningkatan pelayanan dari sisi manajemen sumber daya manusia yang telah disebutkan di atas perlu
84
segera dioptimalkan, karena hal tersebut juga menjadi harapan dari Generasi Y, yang lebih berorientasi pada work-life balance, berpikiran terbuka, menghargai perbedaan, memperhatikan kesetaraan, otentik, jujur, dan sangat tertekan. Demikian pula dengan Generasi X, yang lebih berkarakter independen, menghargai kesempatan belajar, dan menginginkan promosi secara cepat. Dengan demikian, peran pemimpin dewasa ini, tidak sekadar transaksional semata, yang biasa dilakukan dengan memberikan instruksi dan delegasi. Pemimpin ideal di mata Generasi X dan Y adalah pemimpin yang bersifat altruistic (tidak mementingkan dirinya sendiri), bisa menjadi sumber rujukan dan bantuan emosional, memiliki kearifan, persuasif, dan pelayanan bagi semua. Selain itu Generasi X dan Y juga mengharapkan adanya dukungan organisasi yang baik agar masing-masing individu mampu mengidentifikasi dirinya secara emosional dalam organisasi, ikut terlibat aktif dalam aktivitas organisasi, dan bangga menjadi bagian keanggotaan organisasi. 5.3 Keterbatasan dan Saran Penelitian ini masih memiliki keterbatasan yang penulis harapkan bisa diperbaiki dalam penelitian-penelitian selanjutnya. 1. Penelitian ini mengambil sampel dari satu organisasi saja, sehingga perlu kehati-hatian untuk melakukan generalisasi pada organisasi lain, lintas industri, maupun lintas negara. Hal ini dikarenakan setiap organisasi, industri, dan budaya dalam suatu negara memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Penulis menyarankan untuk melakukan penelitian serupa dengan sampel yang besar, agar data yang didapat bisa mewakili basis responden yang lebih luas.
85
2. Penelitian ini hanya menggunakan satu dimensi variabel terikat, yaitu komitmen afektif berorganisasi. Penelitian selanjutnya bisa menggunakan dimensi lain dari komitmen organisasi, yaitu komitmen normatif dan komitmen berkelanjutan. 3. Bagi organisasi, disarankan untuk memanfaatkan basis data demografi semaksimal mungkin untuk membuat strategi yang terkait dengan upaya peningkatan komitmen afektif berorganisasi, kepemimpinan melayani dan dukungan organisasi.
86