54
BAB V HASIL 1. Deskripsi Lokasi Penelitian a. Profil RSUD Dr. Harjono S Ponorogo RSUD Dr. Harjono S Ponorogo berdiri pada saat pemerintahan Belanda pada tahun 1917, pada saat itu masih berupa pos kesehatan dengan keadaan yang sangat sederhana yang dipimpin oleh seorang dokter dan dibantu oleh 2 orang pembantu yang masing masing bertugas membantu pelayanan kesehatan dan membantu dokter apabila sewaktu waktu tugas lapangan. Kemudian sejalan dengan usaha peningkatan segi pelayanan kesehatan terhadap masyarakat berdasarkan Kepmenkes RI Nomor : 51/ Menkes/SK / II/ 1979, RSUD Dr. Harjono S Ponorogo ditetapkan menjadi Rumah Sakit pemerintah kelas D dan pada tahun 1988 berubah status menjadi Rumah Sakit tipe C sesuai Kepmenkes RI Nomor 105/Menkes/SK/II/1988 tentang penetapan Peningkatan Kelas Beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah Kelas D menjadi Rumah Sakit Umum Pemerintah kelas C. Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Dati II Ponorogo ditetapkan menjadi Unit Swadana Daerah berdasarkan Surat mendagri Nomor : 445/3952/PUOD tanggal 6 Desember 1994 dan perkembangan selanjutnya Mendagri
mengeluarkan
Keputusan
Nomor
445.35.540
tentang
Pengesahan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Ponorogo Nomor 11 tahun 1992 tentang Penetapan Rumah Sakit Umum Daerah
55
Kabupaten Daerah Tingkat II Ponorogo Nomor 1739 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Ponorogo Nomor 11 tahun 1992 tentang Penetapan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Daerah tingkat II Ponorogo menjadi Unit Swadana Daerah. Sesuai dengan keputusan DPRD Kabupaten Ponorogo Nomor 06/PIMP. DPRD/2002 tentang nama Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ponorogo dan dikuatkan oleh Keputusan Bupati Nomor 176 tahun 2002 tentang penetapan Prof. Dr. Harjono Soedigdomarto, Sp.OG sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ponorogo, mengingat pada saat itu rumah sakit belum mempunyai nama khusus. Pada tahun 2003 Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Harjono S Ponorogo terakreditasi dalam 5 pelayanan, dan pada tanggal 28 Juli 2004 terjadi perubahan peningkatan kelas dari kelas C menjadi Kelas B non pendidikan melalui Penetapan RSUD Dr. Harjono S Ponorogo menjadi RSUD kelas B Non pendidikan yang diikuti dengan penyempurnaa organisasi dan tata kerja oleh Bupati Ponorogo No 11 tahun 2008 pada tanggal 19 Nopember 2008 yang dilaksanakan pada tanggal 9 Januari 2009. Berdasarkan UU no 44 tahun 2009 pasal ayat 3 menjelaskan bahwa rumah sakit yang didirikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah harus berbentuk unit pelaksana teknis daerah dengan pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pemberlakuan PPK BLUD (Penerapan Pola Pengelolaan
56
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah) RSUD Dr. Harjono S Ponorogo mulai tanggal 1 Januari 2012 berdasarkan Peraturan Bupati per 25 April 2011 nomor 545 tahun 2011 tentang penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum penuh pada
Daerah (PPK-BLUD) atau secara
Rumah Sakit Daerah (RSUD) Dr. Harjono S Ponorogo
dengan status sebagai PPK-BLUD. Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Harjono S Ponorogo pada tanggal 15 Desember 2015 telah meraih Akreditasi Rumah Sakit versi 2012 dari KARS dengan predikat paripurna setelah melewati proses persiapan, proses pembimbingan, survey simulasi dan yang terakhir penilaian dari tim KARS dalam survey akreditasi selama 3 hari. b. Visi : Terwujudnya RSUD Dr. Harjono S Ponorogo sebagai pilihan utama pelayanan kesehatan bagi masyarakat kabupaten Ponorogo dan sekitarnya. c. Misi : 1. Meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. 2. Meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan sumber daya rumah sakit baik medis paramedis maupun tenaga yang lain. 3. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana rumah sakit baik medis maupun non medis.
57
4. Memberikan kontibusi nyata untuk pendidikan dan pelatihan yang terintegrasi dengan pelayanan dalam rangka meningkatkan SDM dan IPTEK. 5. Meningkatkan koordinasi karyawan, pemerintah dan lembaga masyarakat untuk mencapai kepentingan bersama. d. Tujuan dan Sasaran 1.
Memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat dengan mengoptimalkan pelayanan spesialistik.
2.
Menjadi rumah sakit rujukan di Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya.
3.
Sasaran adalah masyarakat Ponorogo khususnya dan masyarakat sekitar Kabupaten Ponorogo pada umumnya.
e. Tugas Pokok 1. Melaksanakan upaya kesehatan secara berdayaguna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilaksanakan secara serasi, terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan, dan 2. Melaksanakan pelayanan yang bermutu sesuai standar pelayanan rumah sakit kelas B Non Pendidikan.
58
f. Struktur organisasi
Gambar 4.1 Struktur Organisasi RSUD Dr. Harjono S Ponorogo
59
g. Kedudukan RSUD Dr. Harjono S Ponorogo di peta Kabupaten Ponorogo
Gambar 4. 2 Peta Kabupaten Ponorogo
h. Fasilitas Gedung Konsep yang digunakan dalam penataan gedung dan lahan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo menggunakan konsep garden hospital yaitu rumah sakit yang memadukan kesehatan dan lingkungan di antaranya adalah rumah sakit yang memiliki lahan terbuka hijau, penataan
taman,
menggunakan
sistem
pencahayaan
alami,
60
menggunakan pendingin ruang alami melalui sirkulasi udara yang memadai. Ruang terbuka hijau di rumah sakit ini selain difungsikan sebagai ruang publik juga difungsikan sebagai area kesehatan alami seperti jogging track yang secara tidak langsung menjadi akan menjadi sarana yang menyehatkan. RSUD Dr. Harjono S Kabupaten Ponorogo memiliki luas tanah 6,3 HA, dan luas bangunan 16.702,7625 meter persegi. Tabel di bawah ini akan menjelaskan tentang gedung-gedung yang ada di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. Tabel 4.1 Fasilitas gedung RSUD Dr.Harjono S Ponorogo. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Nama gedung Gedung Poliklinik Gedung Manajemen Gedung IGD Gedung Radiologi Gedung Laboratorium Gedung ICU Bedah Gedung Instalasi Bedah Sentral Gedung Diklat Gedung IRNA lantai I Gedung IRNA lantai II Gedung IRNA lantai III Gedung Instalasi Rawat Intensif Gedung Delima Gedung Aster Gedung Flamboyan Gedung Mawar Gedung Melati Gedung Eria Gedung Hemodialisa Gedung Gudang Farmasi Gedung Gudang Non Medis Gedung Pemulasaraan Jenazah Gedung Instalasi Gizi Gedung Laundry Gedung CSSD Gedung IPS Gedung Genset
Jumlah gedung 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
61
28. 29. 30. 31. 32.
Pos Jaga Utara Pos Jaga Selatan Pos Jaga Belakang Gedung PONEK Gedung Perawatan Paru
1 1 1 1 1
Gambar 4.3 Denah RSUD Dr. Harjono S Ponorogo Sumber : Humas RSUD Dr. Harjono S Ponorogo i. Pelayanan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo RSUD Dr.Harjono S Ponorogo adalah salah satu rumah sakit rujukan bagi sektor pelayanan kesehatan baik dari pemerintah maupun swasta di lingkungan Kabupaten Ponorogo yang memberikan pelayanan kepada masyarakat yang terdiri dari : 1. Pelayanan gawat darurat 2. Pelayanan rawat jalan 3. Pelayanan rawat inap 4. Pelayanan bedah sentral
62
5. Pelayanan persalinan dan perinatologi 6. Pelayanan intensif 7. Pelayanan radiologi 8. Pelayanan laboratorium patologi klinik 9. Pelayanan rehabilitasi medik 10. Pelayanan farmasi 11. Pelayanan gizi 12. Pelayanan transfusi darah 13. Pelayanan rekam medis 14. Pengelolaan limbah 15. Pelayanan administrasi manajemen 16. Pelayanan ambulans/kereta jenazah 17. Pelayanan pemulasaraan jenazah 18. Pelayanan laundry 19. Pelayanan pemeliharaan sarana rumah sakit 20. Pelayanan Diklat 21. Pelayanan Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) 22. Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi 23. Pelayanan Hemodialisa 24. Pelayanan Endoscopy RSUD Dr. Harjono S Ponorogo juga memiliki 20 SMF (Staf Medis Fungsional), 16 Instalasi, dan 18 poliklinik rawat jalan. Staf Medis Fungsional yang ada meliputi :
63
1. Penyakit Dalam (Interna) 2. Kardiologi, 3. Paru 4. Bedah Umum 5. Bedah Syaraf 6. Orthopaedi dan Traumatologi 7. Obstetri dan Gynekologi 8. Anak 9. Anasthesi dan Reanimasi 10. Neurologi 11. Dokter Umum 12. Mata 13. THT 14. Kulit dan Kelamin 15. Patologi Klinik 16. Patologi Anatomi 17. Radiologi 18. Rehabilitasi Medis 19. Psikiatri 20. Gigi dan Mulut. Instalasi yang ada di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo meliputi: 1. Instalasi Rawat Jalan 2. Instalasi Gawat Darurat
64
3. Instalasi Rawat Inap 4. Instalasi Rawat Inap Intensif 5. Instalasi Bedah Sentral 6. Instalasi Sterilisasi Sentral 7. Instalasi Pemeliharaan Sarana 8. Instalasi Laboratorium 9. Instalasi Farmasi 10. Instalasi Hemodialisa 11. Instalasi Rehabilitasi Medis 12. Instalasi Radiologi 13. Instalasi Gizi 14. Instalasi Penyehatan Lingkungan 15. Instalasi Promosi Kesehatan. 16. Instalasi Jenazah. Poliklinik rawat jalan yang ada di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo meliputi: 1. Penyakit Dalam (Interna) 2. Kardiologi 3. Paru 4. Bedah Umum 5. Bedah Syaraf 6. Orthopaedi dan Traumatologi 7. THT 8. Obstetri dan Gynekologi
65
9. Anak 10. Tumbuh Kembang 11. Umum 12. Neurologi 13. Mata 14. Kulit dan Kelamin 15. Psikiatri 16. Psikologi 17. VCT 18. Gigi dan Mulut. RSUD Dr. Harjono S Ponorogo memiliki 387 tempat tidur yang meliputi ruang rawat inap kelas I, II, dan III, sampai ruang rawat inap utama dan VIP. Sedangkan untuk Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUD Dr. Harjono S Ponorogo memiliki 8 ruang operasi untuk operasi elektif dan 3 kamar operasi di Gedung PONEK. Untuk Instalasi Rawat Intensif terdiri dari Ruang Perawatan Intensive Care Unit (ICU) memiliki 10 tempat tidur, Ruang Perawatan Intensive Cardiac Care Unit (ICCU) memiliki 10 tempat tidur, Neonatal Intensif Care Unit (NICU) memiliki 6 tempat tidur, Pediatric Intensive Care Unit memiliki 8 tempat tidur, ruang perawatan Intermediate (IMC) memiliki 14 tempat tidur dan HCU Bedah memiliki 16 tempat tidur. Sumber daya manusia di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo berjumlah total 636 orang terdiri dari 427 tenaga kesehatan dan 209 tenaga non kesehatan. Tenaga dokter spesialis sebanyak 28 orang, tenaga dokter umum sebanyak 15
66
orang dan dokter gigi sebanyak 2 orang. Tenaga keperawatan sebanyak 288 orang yang terdiri dari tenaga perawat sebanyak 253 orang dan tenaga bidan 35 orang. Tenaga penunjang medik terdiri dari tenaga farmasi, gizi, laboratorium, rehabilitasi medik dan radiografer. Tenaga farmasi terdiri dari 3 apoteker, 3 sarjana farmasi dan 28 asisten apoteker. Tenaga laboratorium 16 orang, sedangkan tenaga radiografer sebanyak 9 orang. Di bawah ini disajikan tabel tentang karakteristik sumber daya manusia di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo
Tabel 4.2 Karakteristik Sumber Daya Manusia di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo No Jenis tenaga Jumlah 1. Medis 28 a. Dokter Spesialis 15 b. Dokter Umum 2 c. Dokter Gigi 2. Tenaga Keperawatan a. Perawat 253 b. Bidan 35 3.
4.
Tenaga Non Keperawatan a. Farmasi / Apoteker b. Psikologi c. Kesehatan Masyarakat d. Analis e. Gizi f. Radiologi g. Sanitarian h. Fisioterapi
3 2 9 16 13 9 8 9
Tenaga Non Medis a. Manajemen b. Staf Administrasi c. Keamanan / Satpam d. Sopir e. Pendorong pasien f. Admisi pasien g. Laundry h. Instalasi Sterilisasi Sentral i. Operator
22 64 15 6 10 30 10 4 6
67
3 18 20
j. PDE k. Rekam Medik l. IPS Jumlah Sumber : Profil RSUD Dr. Harjono S Ponorogo 2016
636
Peningkatan kualitas, efektifitas dan efesiensi tidak hanya tergantung pada teknologi mesin-mesin modern, modal yang cukup dan adanya bahan baku yang bermutu saja. Namun semua faktor tersebut tidak akan terjadi apaapa tanpa adanya dukungan dari sumber daya manusia yang baik dan bisa mengembangkan
kemampuan
dan
keahlian
mereka
serta
dapat
menunjukkannya dalam peningkatan grafik produktivitas kerja. Menguraikan sumber daya manusia, tidak lepas dari manajemen sumber daya manusia itu sendiri. Manajemen sumber daya manusia merupakan aktivitas-aktivitas atau kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan agar sumber daya manusia di dalam suatu organisasi dapat digunakan untuk mencapai tujuan. Salah satu hal yang kongkrit untuk mendorong peningkatan produktivitas sumber daya manusia adalah pendidikan dan pelatihan agar mampu mengemban tugas dan pekerjaan dengan sebaik mungkin. Pendidikan ini dimaksudkan untuk membina kemampuan atau mengembangkan
kemampuan
berpikir
para
pegawai,
meningkatkan
kemampuan mengeluarkan gagasan-gagasan pada pegawai sehingga mereka dapat menunaikan tugas kewajiban dengan sebaik-baiknya. Waktu yang diperlukan untuk pendidikan bersifat lebih formal. Sedangkan latihan lebih mengembangkan ketrampilan teknis sehinga pegawai dapat menjalankan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Latihan berhubungan dengan pengajaran
68
tugas pekerjaan dan waktunya lebih singkat serta kurang formal.proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan pegawai. Berikut beberapa pelatihan yang telah diselenggarakan oleh RSUD Dr. Harjono S Ponorogo: i. PPI (Pengendalian Penyakit Infeksi) Pemahaman pengetahuan dan aplikasi PPI bagi seluruh karyawan rumah sakit menjadi suatu keharusan dalam rangka memberikan pelayanan yang bermutu (Patient Safety). Hal ini diperlukan salah satunya untuk mencegah kejadian HAIs (Healthcare Associated Infections) yaitu infeksi yang terjadi selama proses perawatan di rumah sakit atau di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, saat masuk pasien tidak ada infeksi atau tidak dalam masa inkubasi, infeksi didapat di rumah sakit tapi muncul setelah pulang, juga infeksi pada petugas kesehatan yang terjadi karena pekerjaan. (Kem.Kes.RI 2007) Oleh karena itu penting untuk dilaksanakan In House Training PPI yang bertujuan untuk : (1) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman PPI bagi karyawan, khususnya yang bekerja di Zona Resiko infeksi tingkat tinggi dan Zona Resiko sangat tinggi. (2) Meningkatkan upaya pencegahan penularan infeksi rumah sakit bagi pasien, keluarga, pengunjung dan petugas/karyawan rumah sakit. (3) Meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Sub Komite PPI bekerjasama dengan Bagian Pengembangan RSUD Dr. Harjono S Ponorogo mengadakan In House Training PPI Dasar kepada
69
100 orang karyawan rumah sakit yang terutama bekerja di : (1) Zona Resiko Tinggi : yaitu ruang perawatan penyakit infeksi, ruang perawatan penyakit kronis, ruang tindakan, antara lain IGD, Instalasi Farmasi, Ruang perawatan penyakit infeksi, Laboratorium klinik, patologi anatomi, kamar jenazah, laundry. (2) Zona Risiko Sangat Tinggi : yaitu ruang isolasi airborne dan MDR TB, ruang laboratorium infeksi, ruang ICU, kamar operasi, Teratai : PICU, NICU, Poliklinik Paru. (3) ruang – ruang lain : seperti gizi, petugas ambulance, dll. ii. Manajemen Risiko Manajemen
risiko
adalah
proses
untuk
menciptakan
dan
mengimplementasikan strategi, untuk meminimalkan kerugian akibat kecelakaan pada manusia, sarana prasarana fasilitas dan keuangan rumah sakit melalui identifikasi dan penilaian potensi kehilangan asset rumah sakit, dan melakukan seleksi sesuai asumsi kerugian, transfer, mekanisme pengendalian dan pencegahan. Manajemen risiko adalah proses strategis untuk
mengkreasikan
dan
menerapkan
secara
langsung
untuk
meminimalisasi kejadian tidak diharapkan. Manajemen risiko adalah pendekatan proaktif untuk mengidentifikasi, menilai dan menyusun prioritas risiko, dengan tujuan untuk menghilangkan atau meminimalkan dampaknya. Pendekatan manajemen risiko difokuskan pada kejadian yang telah terjadi (reaktif) dan potensial terjadi (proaktif) dengan menerapkan manajemen risiko terintegrasi yang memprioritaskan keselamatan pasien, melalui revisi pengembangan proses, fungsi dan layanan.
70
iii. Pelatihan Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien Salah satu usaha peningkatan penampilan dari masing masing sarana pelayanan seperti rumah sakit adalah dengan meningkatkan mutu pelayanan di semua unit pelayanan, baik pada unit pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, ataupun pada unit pelayanan administrasi dan manajemen melalui program jaminan mutu. Seperti diketahui Mutu Pelayanan Rumah Sakit merupakan derajat kesempurnaan pelayanan Rumah Sakit untuk memenuhi kebutuhan masyarakat/konsumen akan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan profesi dengan menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di rumah sakit secara wajar, efisien dan efektif serta diberikan secara aman dan memuaskan sesuai norma, etika, hukum dan sosio budaya, dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan pemerintah dan masyarakat sebagai konsumen. Peningkatan mutu adalah keseluruhan fungsi atau kegiatan yang harus dilakukan untuk menjamin tercapainya tujuan dalam hal kualitas produk dan jasa pelayanan yang diproduksi. Peningkatan mutu kualitas pelayanan pada dasarnya adalah peningkatan mutu kualitas kerja dan proses kegiatan untuk menciptakan kepuasan pelanggan yang dilakukan oleh setiap orang dari setiap bagian di RS. Sehubungan itu perlu diingat bahwa Undang – Undang No: 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, mengamanatkan tentang fungsi sosial Rumah
71
Sakit dan menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus berlandaskan pada etika dan moral. Rumah Sakit harus selalu meningkatkan pelayanannya,
menerapkan
prinsip
keselamatan
pasien,
bersikap
profesional, menjaga mutu pelayanan, dan terbuka kepada masyarakat. Mutu dan keselamatan pasien sebenarnya tertanam dalam kegiatan pekerjaan sehari – hari dari tenaga kesehatan professional dan staf lainnya. Pada waktu dokter dan perawat menilai kebutuhan pasien dan memberikan asuhan diharapkan memahami bagaimana benar- benar dapat membantu pasien dan mengurangi resiko. Demikian juga para manajer, staf pendukung dan lainnya kiranya dapat menerapkan standar dalam pekerjaan sehari-hari memahami bagaimana proses bisa lebih efisien, penggunaan sumber daya lebih arif dan resiko fisik dikurangi, serta perencanaan, perancangan, pengukuran serta analisa dan perbaikan proses klinis serta proses manajerial harus secara terus menerus dikelola dengan baik dengan kepeimpinan jelas agar tercapai hasil maksimal. Pendekatan ini
juga memperhitungkan
keterkaitan antara mutu klinis dan manajemen. Sehingga upaya untuk memperbaiki proses
harus merujuk pada pengelolaan keseluruhan
manajemen mutu Rumah Sakit dengan pengawasan dari komite peningkatan mutu dan keselamatan pasien. Pelaksanaan kegiatan pelatihan Pokja PMKP dan Pokja SKP bekerja sama dengan tim Diklat RSUP Dr. Sardjito Jogjakarta yang diikuti oleh peserta pelatihan sebanyak 60 orang yang terdiri dari anggota Pokja dan Komite PMKP dan Pokja SKP. Pelatihan Pokja PMKP dan SKP
72
dilaksanakan sesuai jadwal yaitu selama 3 (dua) hari yaitu hari Senin s/d Rabu 7 - 9 September 2015. iv. Bantuan Hidup Dasar Insiden akibat kerja, kematian mendadak, kecelakaan sering terjadi di sekitar rumah sakit tidak pernah tahu kapan akan terjadinya. Oleh karenanya diperlukan suatu pengetahuan dan ketrampilan apabila mendapati kejadian tersebut. Seluruh karyawan rumah sakit hendaknya mampu serta dituntut harus menguasai ketrampilan pada pertolongan pertama jika menjumpai kejadian–kejadian yang bersifat emergensi terutama di lingkungan rumah sakit. Angka keberhasilan terhadap kondisi tersebut sangat ditentukan oleh keberhasilan pada pertolongan pertama, semakin cepat dan tepat dalam memberikan pertolongan maka akan semakin baik prognosa penyakit tersebut. Untuk itu maka dalam memberikan pelayanan kesehatan baik oleh tenaga medis maupun non medis, haruslah mengutamakan keselamatan pasien dengan didasari akan pengetahuan serta ketrampilan pertolongan hidup dasar. Tugas dan tanggung jawab karyawan RSUD Dr. Harjono
S
Ponorogo adalah meningkatkan pelayanan dalam bidang kesehatan, untuk itu tim critical care RSUD dr. Harjono bermaksud mengadakan In House Training, antara lain bantuan hidup dasar ( basic life support ) bagi karyawan rumah sakit non medis. Bantuan hidup dasar juga harus dikuasai oleh tenaga non medis di rumah sakit, karena setiap saat mereka mungkin mendapati kejadian
73
mendadak emergensi saat mereka sedang bekerja di tempat kerja masingmasing. Saat ini RSUD Dr. Harjono S mengisyaratkan semua karyawan semua yang bekerja di rumah sakit baik medis, perawat dan non medis harus mampu untuk melakukan pertolongan pertama bila menjumpai keadaan mendadak baik oleh karena penyakit cardiovaskuler ataupun akibat kecelakaan. In house training dilaksanakan pada tanggal 27 April s/d 5 Mei 2015 dengan jumlah peserta sebanyak 90 orang yang terdiri dari: 15 orang satpam, 3 orang staf keuangan, 2 orang sataf tata usaha, 2 orang ahli gizi, 3 orang instalasi perbaikan sarana dan prasarana rumah sakit, 6 orang resepsionis/operator, 2 orang staf hubungan masyarakat, 5 orang TPP rawat inap, 6 orang Sopir, 8 orang staf administrasi rawat jalan, 9 orang staf administrasi rawat inap, 2 orang gudang non medis, 9 orang tenaga pendorong. v. Pelatihan ACLS ( Advance Cardivascular Life Support) Tenaga medis dan keperawatan yang mempunyai kemampuan dan ketrampilan tertentu yang disahkan oleh badan berwenang merupakan asset bagi institusi dimana dia bekerja, karena akan menambah nilai bagi akreditasi institusi. tak terkecuali tenaga medis dan paramedis yang bertugas pada pelayanan yang sama, perlu mempunyai ketrampilan yang diakui secara formal. Petugas pelayanan gawat darurat harus tetap dapat berpikir cepat dan tepat dan sistimatis dalam menentukan tindakan pertolongan terhadap penderita dalam kondisi antara hidup dan mati, terutama dalam 10 menit pertama dengan cara menentukan jenis tindakan, memilih prioritas,
74
bertindak sesuai prosedur, bekerja dan bertindak sebagai koordinator, mampu berkomunikasi dalam sebuah tim kerja yang kompak. Mengingat di Indonesia sebagian besar tenaga medis dan keperawatan belum pernah mengikuti pelatihan dan belum memiliki sertifikat di bidang pertolongan tingkat lanjut gawat jantung (Advance Cardiavascular Life Support ). Pelaksanaan kegiatan pelatihan ACLS untuk tenaga Dokter umum dan Keperawatan bekerja sama dengan tim PERKI Cabang Surabaya yang diikuti oleh peserta pelatihan sebanyak 35 orang yang terdiri dari dokter umum dan pelaksana keperawatan. Peserta yang mengikuti pelatihan terdiri dari 3 orang Dokter Umum, 31 orang Tenaga Perawat dan 1 orang tenaga bidan. Waktu pelatihan selama 3 (dua) hari, hari Rabu sampai dengan Jumat tanggal 20 s/d 22 Mei 2015. vi. Pelatihan Motivasi dan Budaya Kerja Budaya kerja merupakan sistem nilai, persepsi, perilaku dan keyakinan yang dianut oleh tiap individu karyawan dan kelompok karyawan tentang makna kerja dan refleksinya dalam kegiatan mencapai tujuan organisasi dan individual. Budaya kerja penting dikembangkan karena dampak positifnya terhadap pencapaian perubahan berkelanjutan di tempat kerja termasuk peningkatan produktivitas ( kinerja ). Budaya kerja diturunkan dari budaya organisasi. Budaya Organisasi itu sendiri merupakan sistem nilai yang mengandung cita-cita organisasi sebagai sistem internal dan sistem eksternal sosial. Hal itu tercermin dari isi visi, misi, dan tujuan organisasi. Dengan
75
kata lain, seharusnya setiap organisasi memiliki identitas budaya tertentu dalam organisasinya. Dalam perusahaan dikenal sebagai budaya korporat dimana di dalamnya terdapat budaya kerja. Motivasi kerja dari setiap individu akan memberikan manfaat untuk menjaga daya saing organisasi, juga untuk menjaga keberlanjutan usaha dengan berkualitas. Artinya, kualitas merupakan jaminan untuk tetap eksis selama-lamanya di dalam pasar yang penuh dinamika, perubahan, dan kreativitas. Selama setiap orang fokus dan terbiasa bekerja dengan kualitas, maka organisasi selalu akan berada pada posisi terdepan sebagai yang terbaik. Motivasi kerja dari setiap individu akan memberikan manfaat akumulasi dalam soliditas kualitas organisasi. Apalagi, bila setiap individu mampu membuang jauh-jauh ego pribadi, dan mampu bekerja dalam kolaborasi, untuk menciptakan soliditas dalam setiap proses kerja; maka, organisasi akan tumbuh dan berkembang dengan kecepatan dan kekuatan yang selalu mengungguli para pesaing. Sejalan dengan itu, agar dapat terlaksana dengan baik, harus ada langkah-langkah yang harus diambil dari pihak manajemen dan proses sosialisasi, sehingga budaya kerja yang ada dapat terinternalisasi dalam setiap kegiatan pekerjaan sehari-hari. Dalam rangka mengaktualisasikan budaya kerja sebagai ukuran sistem nilai dalam bekerja yang pertama kali harus diupayakan adalah penanaman dalam sikap mental karyawan yang meliputi pemahaman dan pelaksanaan dalam sikap dan pelaksanaan
76
pekerjaannya sehari-hari. Salah satu langkah yang diambil oleh manajemen RSUD dr Harjono S Ponorogo adalah
dengan Pelatihan Peningkatan
Budaya dan Motivasi Kerja. Kegiatan pelatihan ini bekerja sama dengan Pusat Pengembangan Kebijakan Daerah Indonesia (PPKDI) yang diikuti oleh peserta pelatihan sebanyak 200 orang yang terdiri dari seluruh bagian yang ada di RSUD dr. Harjono S Ponorogo yang terbagi menjadi 2 sesi dengan peserta sebanyak 180 orang pada sesi I, sedangkan pada sesi II sebanyak 20 orang. vi. Pelatihan Penggunaan APAR Bagi Karyawan RSUD dr Harjono
S
Ponorogo. Kejadian kebakaran adalah pengalaman pahit, dan pastinya semua tidak ingin kejadian tersebut terjadi kembali, paling tidak bila terpaksa terjadi bisa diantisipasi dan ditanggulangi sedini mungkin sehingga kerugian seminimal mungkin atau tidak adanya jatuh kurban luka atau meninggal. Karena kebakaran bisa terjadi kapan saja dan dimana saja, untuk hal tersebut beberapa waktu yang lalu RSUD dr Harjono S Ponorogo mengadakan pelatihan, pelatihan tersebut berupa kejutan dimana tidak diumumkan atau diberitahukan lebih dahulu, dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan serta kemampuan para pemberi pelayanan (pegawai) mengenali APAR ( alat pemadam api sederhana), sehingga bila sewaktu-waktu ada kejadian sudah siap, dan APAR bukan sekedar hiasan yang menempel pada dinding-dinding ruangan.
77
vii. Pelatihan Effective Communication & Managing Service RSUD dr Harjono S Ponorogo Bertempat di Hotel Amaris Ponorogo diadakan Pelatihan Effective Communication & Managing Service, acara dibuka oleh bapak direktur RSUD dr Harjono Ponorogo drg. Prijo Langgeng T, MM. Dalam sambutannya bapak direktur menyatakan pelatihan ini sudah mendesak, dalam artian sangat dibutuhkan untuk menunjang serta meningkatkan mutu pelayanan dalam sehari-hari di RSUD dr Harjono S Ponorogo, cara komunikasi antar pelayan dengan yang dilayani, komunikasi antar sesama pelayan, komunikasi antar pelayan dengan atasan sangat perlu diperbaharui, bukannya selama ini kurang baik namun dirasa mengalami penurunan, menurut bapak direktur ibarat bateri ponsel perlu diisi ulang agar kuat dan semangat lagi, sekali lagi direktur menyatakan waktunya mendesak karena masyarakat perlu mendapakan pelayanan yang prima yang manusiawi tanpa terkecuali, meski suasana bulan Ramadhan diminta para pegawai yang mengikuti pelatihan untuk tetap bersemangat dan tidak mengeluh, yakinlan perjuangan ini bila dilaksanakan dengan ikhlas akan menambah nilai puasa yang sedang dijalan para peserta. Dan mengharap penuh supaya mengikuti sampai acara selesai dan berharap bisa menimba ilmu dari narasumber sebanyak-banyaknya. viii. Pelatihan konseling testing atas inisiatif petugas /PITC (Provider Initiated HIV Testing And Counseling) bagi dokter, perawat dan bidan di RSUD Dr.
78
Harjono S Ponorogo Bagi tenaga dokter dan perawat RSUD. Dr. Harjono S. Ponorogo Tahun 2016. Salah satu bentuk layanan tersebut adalah konseling dan testing HIV sukarela (KTS/VCT) yang bertujuan selain untuk menegakkan diagnosis untuk mendapatkan layanan, perawatan, pengobatan dan dukungan lain. Namun, jumlah cakupan KTS/ VCT sampai saat ini masih tergolong rendah untuk menjangkau populasi yang berisiko dan mengetahui status HIV mereka. Peran tenaga kesehatan menjadi sangat penting dalam mendeteksi status HIV karena banyak ODHA yang membutuhkan layanan kesehatan namun belum diketahui status HIVnya. Kegiatan KTIP (Konseling Testing atas Insiatif Petugas Kesehatan) memudahkan dan mempercepat diagnosis HIV serta penatalaksanaannya dan sudah berkembang luas di sejumlah negara dengan prevalensi HIV tinggi. Dalam hal ini tentu saja pasien datang awalnya karena keluhan dasar mereka tanpa tujuan untuk tes HIV. Ketika petugas kesehatan menemukan indikasi klinis atau faktor risiko perilaku sudah seyogyanya didorong untuk tes HIV. TB dengan risiko merupakan salah satu kasus yang harus didorong dilakukan tes HIV karena TB merupakan Infeksi Opportunistik terbanyak dari HIV/ AIDS. Kegiatan pelatihan ini bekerja sama dengan
Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur dengan jumlah peserta sebanyak 35 peserta meliputi dokter, perawat, bidan. Waktu penyelenggaraan pelatihan selama 2( dua )
79
hari yaitu tanggal 18 dan 19 Mei 2016 bertempat di Aula Sidomukti RSUD dr. Harjono S Ponorogo. ix.
Pelatihan program tuberkulosis strategi DOTS Bagi tenaga dokter dan perawat RSUD. Dr. Harjono S. Ponorogo Tahun 2016 Pelatihan program tuberkulosis strategi DOTS Bagi tenaga dokter dan perawat RSUD Dr. Harjono S Ponorogo ini dengan alasan pemberantasan Tb sebenarnya telah dimulai sejak lama tetapi hasilnya belum menggembirakan. Sebelum ada strategi DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse)
cakupan program sebesar 56% dengan angka
kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%. Karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup di masa lalu, kemungkinan telah timbul kekebalan kuman TB atau multi drug resistance (MDR) terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara meluas. Setelah dilakukan
Pelatihan Program Tuberkulosis Strategi DOTS bagi tenaga
dokter dan perawat RSUD Dr. Harjono S. Ponorogo tahun 2016 diharapkan peserta pelatihan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada pasien Tb di Rumah Sakit. Kegiatan pelatihan ini bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dengan jumlah peserta sebanyak 35 peserta meliputi : Dokter, Perawat, Bidan, Tenaga Laboratorium. Waktu penyelenggaraan pelatihan selama 5( lima ) hari yaitu tanggal 23 s/d 27 Mei 2016 bertempat di Aula Sidomukti RSUD dr. Harjono S Ponorogo. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) menyebutkan bahwa Badan Layanan
80
Umum (disingkat BLU) adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktifitas. BLU terdapat di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. BLUD di daerah disebut Badan Layanan Umum Daerah disingkat BLUD. Status BLUD akan memberikan keleluasaan untuk merencanakan, mengelola, dan mengendalikan semua urusan internal sehingga pengambilan keputusan lebih fleksibilitas. Status BLUD juga memberikan kebebasan dalam menyusun kegiatan atau program yang ada dalam renstra. Dengan status BLUD, standar atau akreditasi organisasi akan mengacu pada kriteria kelayakan, misalnya dalam hal keuangan mengacu pada Pola Pengelolaan Keuangan BLUD. Prinsip-prinsip pokok yang tertuang dalam kedua undang-undang tersebut menjadi dasar instansi pemerintah untuk menerapkan pengelolaan keuangan BLU. BLU diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Penganggaran berbasis kinerja dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 68 dan Pasal 69 memberikan arahan baru bahwa instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang
81
fleksibel dengan mengutamakan reformasi keuangan negara mengamanatkan pergeseran sistem penganggaran dari tradisional menjadi pengganggaran berbasis kinerja, agar penggunaan dana pemerintah menjadi berorientasi pada output. Perubahan ini sangat penting karena kebutuhan dana yang makin tinggi tetapi sumber daya pemerintah terbatas. Penganggaran ini dilaksanakan oleh pemerintahan modern di berbagai negara. Mewirausahakan pemerintah (enterprising the government) adalah paradigma untuk mendorong peningkatan pelayanan oleh pemerintah produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. BLUD mempunyai tujuan untuk meningkatkan
kualitas pelayanan
kepada
masyarakat untuk mewujudkan tugas-tugas pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa (pasal 3 Permendagri No 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah). Karakteristik khusus yang membedakan antara Badan Layanan Umum dengan unit organisasi atau institusi pemerintah lainnya yakni Badan Layanan Umum merupakan instansi pemerintah yang menyediakan barang dan jasa yang
bersentuhan
langsung
dengan
masyarakat.
Oleh
karena
BLU
menyediakan barang dan jasa kepada masyarakat maka ada pendapatan yang diperoleh oleh BLU dari biaya yang dibebankan kepada konsumennya. Pendapatan BLU ini merupakan Penerimaan Bukan Pajak/PNBP sedangkan pendapatan BLUD merupakan lain-lain Pendapatan Asli Daerah/PAD yang sah bagi suatu daerah. Dalam birokrasi pemerintah ada begitu banyak organisasi yang bertindak bukan sebagai penyedia barang dan jasa misalnya organisasi
82
pemerintah yang membuat regulasi, penegakan hukum/peradilan, pertahanan dan sebagainya, sehingga organisasi ini tidak akan menerima pendapatan langsung dari masyarakat atas layanan yang diberikan. BLU harus menjalankan praktek bisnis yang sehat tanpa mengutamakan pencarian keuntungan. Ini karakteristik yang sangat spesial sekali karena instansi pemerintah diperkenankan untuk menerapkan praktek bisnis seperti dalam yang umum dilakukan oleh dunia bisnis/swasta. Akan tetapi walaupun diselenggarakan sebagaimana institusi bisnis, BLU tidak diperkenankan mencari keuntungan (not-for-profit). BLU dijalankan dengan prinsip efisien dan produktivitas. Karakteristik ini jauh berbeda dari instansi pemerintah biasa yang dalam penyelenggaraan layanannya mengedepankan kepada penyerapan anggaran yang sangat tinggi, terlepas kegiatan tersebut mencapai sasaran dengan tepat atau tidak. Pada BLU penyerapan anggaran bukanlah target karena surplus/kelebihan anggaran dapat digunakan kembali pada tahun berikutnya untuk peningkatan kualitas layanannya. Adanya fleksibilitas dan otonomi dalam menjalankan operasional BLU, yakni: fleksibilitas dalam hal pengelolaan keuangan, fleksibilitas dalam pengelolaan sumber daya manusia dan fleksibilitas dalam hal pengelolaan dan pengadaan aset/barang. BLU dikecualikan dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. Ketentuan ini merupakan semangat otonomi yang diberikan kepada BLU untuk bisa melanggar ketentuan dalam keuangan negara. Contohnya adalah
BLU
diperkenankan
untuk
menggunakan
secara
langsung
83
penerimaannya BLU dan beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan. BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah dan karenanya
status
hukum
BLU
tidak
terpisah
dari
kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk. Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota
bertanggung
jawab
atas
pelaksanaan
kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan. Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota. BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan. Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja dari BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah. BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktik bisnis yang sehat.
2. Deskripsi SMART Service Admission Proses admisi di rumah sakit itu bisa bersifat elektif dan gawat darurat tergantung dari kasus yang ditemukan oleh dokter. Admisi yang bersifat elektif
84
biasanya pada pasien yang tidak mengalami sakit yang mendadak dan tidak mengancam nyawa, sedangkan admisi yang bersifat gawat darurat itu bersifat mendadak, mengalami trauma berat, penyakit dalam tahap lanjutan dan penyakit yang mengancam nyawa pasien. Pelayanan Rumah Sakit yang bermutu, yaitu yang berfokus pada keselamatan pasien dengan SMART (senyum, menyambut, atensi, responsif dan terpadu) Service Admission di mana pasien dan keluarga disambut dengan sikap tersenyum, diperhatikan kebutuhan sesuai kondisi, diinformasikan dan dilayani sesuai dengan kebutuhan secara terpadu, baik kebutuhan medis maupun non medis. Pelayanan ini dimulai dari penyambutan pasien oleh petugas satpam, identifikasi kebutuhan dan risiko jatuh di poliklinik rawat jalan, serta triase kegawatan di instalasi gawat darurat sampai penyampaian informasi di tempat pendaftaran pasien rawat inap yang merupakan upaya pelayanan inovasi yang mengutamankan keselamatan pasien. a. Satpam Satpam merupakan singkatan dari Satuan Pengamanan, adalah satuan kelompok petugas yang dibentuk oleh instansi/proyek/badan usaha untuk melakukan keamanan fisik (phycical security) dalam rangka penyelenggaraan keamanan swakarsa di lingkungan kerjanya. Satpam di RSUD dr. Harjono S Ponorogo dalam struktur organisasi berada di bawah koordinasi dari Kepala Sub Bagian Umum dan Perbekalan yang dikepalai oleh seorang Koordinator. Satpam di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo sebanyak 15 orang, dengan rata-rata pendidikan SLTA dengan umur rata-rata 30 tahun. Dari keseluruhan satpam di
85
RSUD Dr. Harjono S Ponorogo berjenis kelamin laki-laki, sudah pelatihan pendidikan satpam dan SMART Service Admission. Satpam merupakan petugas keamanan yang ada di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. Di dalam struktur organisasi Rumah Sakit, ketenagaan satpam di bawah koordinasi Bidang Tata Usaha, Sub Bagian Umum dan Perbekalan. RSUD Dr. Harjono S Ponorogo mempunyai satpam sejumlah 15 orang, dengan area pengamanan seluas 6,3 HA. Satpam dalam SMART Service Admission mempunyai peranan yang penting dalam menyambut dan melakukan skrining visual pada saat ada pasien atau keluaga pasien atau tamu yang berkunjung di RSUD Dr. Harjono S Ponororgo selain mempunyai Tugas pokok dan fungsi yang telah ditetapkan.
Peranan ini menjadi penting oleh karena satpam
merupakan orang yang pertama kali menyambut dan mengarahkan pasien dan keluarga. Dan akan memberikan kesan pertama bagi pengunjung. Satpam di RSUD Dr. Harjono Ponorogo mempunyai tugas pokok antara lain : 1. Mentaati peraturan : dengan maksud menegakkan tata tertib yang berlaku di lingkungan rumah sakit, khususnya menyangkut keamanan dan ketertiban atau tugas-tugas yang lain yang diberikan oleh pimpinan, meliputi : c. berpakaian lengkap. d. Pengaturan penerimaan tamu. e. Pengaturan parkir roda 2 dan roda 4 f. Mengatur penunggu pasien pada saat jam bezuk terutama pada malam hari, maksimal satu orang pasien ditunggui oleh dua orang penunggu.
86
g. Menyalakan dan mematikan lampu selasar. h. Disiplin waktu setiap pergantian shift/ jam jaga. 2. Melaksanakan penjagaan dengan maksud mengawasi keluar masuknya orang atau barang atau keadaan yang merugikan dengan cara mengatur buka tutupnya pintu gerbang rumah sakit serta mengatur kelancaran lalu lintas di luar/ sekitar Rumah Sakit. 3. Mengadakan pengawalan uang atau barang jika diperlukan 4. Melakukan ronda/patroli di lingkungan rumah sakit menurut rute dan waktu tertentu, dua kali setiap shift jaga dengan maksud mengadakan penelitian dan pemeriksaan terhadap segala sesuatu yang tidak wajar pada tempatnya. 5. Mengambil langkah-langkah dan tindakan sementara bila terjadi suatu tindak pidana antara lain: a. mengamankan tempat kejadian perkara b. menangkap/memborgol pelaku ( hanya dalam hal tertangkap tangan) c. menolong korban d. melapor/meminta bantuan polisi 6. Memberikan tanda-tanda bahaya atau keadaan darurat bila terjadi kebakaran, bencana alam atau kejadian-kejadian lain yang membahayakan jiwa atau harta benda orang banyak di sekitar rumah sakit. 7. Menertibkan pedagang yang berjualan di luar pagar area rumah sakit pada pagi hari mulai jam 04.00 s/d 06.00 WIB. 8. Membantu anggota polisi lalu lintas mengatur kendaran keluar masuk area rumah sakit pada pagi hari mulai jam 06.30 s/d 07.30 WIB.
87
9. Mengkoordinasikan tugas dan kegiatan satpam RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. 10. Melaksanakan tugas-tugas lain yang berhubungan dengan ketertiban dan keamanan lingkungan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Harjono S Ponorogo. Selain tugas pokok yang diuraikan di atas, terkait dengan peran Satpam dalam SMART Service Admission, ada beberapa penambahan tugas satpam meliputi : 1.
Penyambutan di pintu gerbang terdepan oleh tenaga satpam yang memilah dan mengarahkan pengunjung atau pasien dengan tujuan ke Instalasi Gawat Darurat, ke gedung PONEK ke Poli Rawat Jalan atau ke Rawat Inap.
2. Di Instalasi Rawat Jalan atau Poliklinik pasien disambut oleh petugas satpam kemudian dilakukan skrining keadaan umum dan risiko jatuh, kemudian ditindaklanjuti oleh petugas Admisi di rawat jalan untuk mendapat prioritas antrian didahulukan apabila beresiko jatuh atau lemah. Di bawah ini disajikan gambar salah satu pos jaga satpam di pintu masuk RSUD Dr. Harjono S Ponorogo di pintu masuk sebelah selatan.
88
Gambar 4.4 Pos jaga satpam RSUD Dr. Harjono S Ponorogo di gerbang masuk. b. Admisi Unit admisi ini merupakan salah satu unit yang dapat membantu meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan kesehatan di rumah sakit. Untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan berbagai proses palayanan di ruang perawatan, pasien dapat mengetahuinya melalui admisi rawat inap. Pada bagian ini pasien dapat melihat bagaimana suatu tindakan dilakukan melalui dokumentasi yang tersedia sehingga pasien mendapatkan gambaran prosedur yang akan dilakukan terhadap dirinya. Seluruh unit di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo telah terhubung dalam SIM ( Sistem Informasi Manajemen) sehingga memudahkan untuk memperoleh data tentang riwayat pasien melakukan kunjungan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo, begitu pula untuk pendaftaran pasien ataupun transaksi pembayaran atau keuangan. Admisi di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo dahulu lebih dikenal dengan istilah TPP (Tempat pendaftaran Pasien). Berjalannya waktu istilah TPP diubah menjadi
89
unit admisi semenjak persiapan Akreditasi RS versi 2012 versi KARS. Unit admisi berada di bawah koordinasi Kepala Bagian Perencanaan dan Program dan Kepala Sub Rekam Medis dan Informasi Medis. Unit admisi ini bekerjasama dengan BPJS dalam memberikan pelayanan yang berkaitan dengan penggunaan asuransi sesuai hak dan kewajibannya berdasarkan datadata yang diperoleh secara online. Pelayanan admisi terdiri dari admisi rawat jalan dan admisi rawat inap. Petugas admisi bertugas melayani pasien dan atau pengantar pasien untuk melakukan pendaftaran atau memberikan general consent pada keluarga atau pengantar pasien saat akan dilakukan rawat inap. Petugas admisi bertanggung jawab menerangkan tentang hak dan kewajiban pasien saat berada di Rumah Sakit. Petugas admisi rawat inap juga bertugas untuk mencarikan ruangan yang telah disepakati untuk dilakukan rawat inap sesuai dengan informasi yang telah tersedia tentang kamar pasien rawat inap. Tugas dan kewajiban ini telah tercantum dalam daftar tugas pokok dan fungsi bagi tenaga admisi sesuai dengan Kebijakan Direktur RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. 1. Admisi rawat inap Admisi rawat inap atau sebelumnya disebut dengan TPP ( Tempat Pendaftaran Pasien), terdiri dari 9 petugas dengan 1 orang koordinator terbagi menjadi 3 shift jaga meliputi pagi, siang dan malam. Petugas admisi bertugas melayani pasien dan atau pengantar pasien untuk melakukan pendaftaran dan memberikan general consent pada keluarga atau pengantar pasien saat akan dilakukan rawat inap. Petugas admisi bertanggung jawab
90
menerangkan tentang hak dan kewajiban pasien saat berada di Rumah Sakit, menerangkan atau menyampaikan dokter siapa sebagai dokter penanggung jawab saat pasien dirawat atau dokter yang diinginkan sebagai dokter penanggung jawab pasien sesuai dengan peraturan yang berlaku di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo, menyampaikan tentang bantuan bahasa, penitipan barang berharga, pelayanan yang bisa diberikan dan yang tidak bisa diberikan. Petugas admisi rawat inap juga bertugas untuk memberikan informasi ruangan dan mencarikan sesuai pilihan pasien atau penanggung jawab pasien juga sesuai peraturan yang berlaku. Gedung admisi rawat inap berada di depan sebelah kiri dari pintu masuk Instalasi Rawat Darurat. Luas gedung admisi rawat inap sebesar 32 meter persegi. Fasilitas yang ada meliputi meja kursi kantor,
3 set
komputer, 2 buah printer hitam putih, 1 pencetak kartu kunjungan rumah sakit dan almari. Ruangan ini belum dilengkapi dengan pendingin ruangan, hanya dilengkapi dengan 2 kipas angin dinding. Untuk petugas jaga telah disiapkan 1 kamar mandi dalam, tetapi belum ada tempat istirahat petugas. Untuk menerangkan kepada keluarga pasien yang akan dilakukan rawat inap disiapkan 1 set meja dan kursi tetapi masih menjadi satu dengan petugas administrasi admisi yang lain. Untuk memudahkan akses pasien atau keluarga yang ingin mendapatkan informasi atau pelayanan admisi, separuh dinding atas terbuat dari kaca dan dipasang papan nama yang cukup besar sehingga bisa memberikan informasi yang memadai tentang lokasi admisi
91
rawat inap. Gambar di bawah ini menunjukkan tentang lokasi admisi rawat inap.
Gambar. 4.5 Admisi Rawat Inap RSUD Dr. Harjono S Ponorogo 2. Admisi rawat jalan Admisi rawat jalan atau sebelumnya disebut dengan TPP rawat jalan (Tempat Pendaftaran Pasien), terdiri dari 22 petugas dengan 1 orang koordinator yang memberikan pelayanan pagi saja mulai jam 07.00 samapi dengan jam 14.00 mulai hari Senin sampai dengan hari Sabtu. Admisi Rawat Jalan hanya memberikan pelayanan di pagi hari saja oleh karena poliklinik di RSUD hanya memberikan pelayanan saat pagi hari mulai jam 18.00 sampai dengan jam 14.00 setiap hari kerja, sedangkan hari Minggu dan hari libur tutup. Petugas admisi terbagi menjadi petugas administrasi dan petugas bagian informasi yang merangkap admisi yang melakukan skrining pasien di rawat jalan. Petugas administrasi admisi bertugas
92
melayani pasien dan atau pengantar pasien untuk melakukan pendaftaran dan memverifikasi keabsahan kepemilikan kartu peserta asuransi terutama asuransi BPJS untuk penerbitan kartu bukti pemberian pelayanan. Selain itu juga melakukan pendaftaran secara komputerisasi kunjungan pasien ke poliklinik dan koordinasi dengan petugas rekam medis untuk menyiapkan status rekam medis penderita di poliklinik yang dituju.
Gambar 4.6 Tempat informasi merangkap admisi rawat jalan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. Gambar di atas merupakan tempat informasi pasien rawat jalan, posisinya tepat berada di tengah-tengah gedung Poliklinik menghadap pintu masuk utama dan menghadap ke ruang tunggu antrian pasien poliklinik. Petugas informasi ini berada di tempat ini hanya saat jam dinas pagi. Sedangkan jam jaga siang dan malam tutup, oleh karena pelayanan poliklinik juga tutup.
93
Petugas informasi ini terdiri dari 2 orang petugas, yang melayani sambungan telefon, melayani informasi bagi pasien dan pengunjung poliklinik serta ada penugasan tambahan yaitu skrining pasien yang periksa di Poliklinik. Meliputi pasien dengan kondisi sesak, risiko jatuh, gawat darurat atau pasien yang perlu didahulukan antrian periksanya. Petugas informasi ini sudah dibekali dengan teknik skrining visual, bantuan hidup dasar bagi orang awam dan SMART Service Admission serta tata cara berkomunikasi yang efektif. Di bawah ini disajikan data kunjungan pasien ke Poliklinik rawat jalan tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo, adalah sebagai berikut : 140000
kunjungan pasien lama kunjungan pasien baru total kunjungan
120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 2011
2012
2013
2014
2015
Diagram : 4.1 Angka kunjungan pasien ke Poliklinik RSUD Dr. Harjono S Ponorogo tahun 2011-2015 Sumber : Data Rekam Medik RSUD Dr. Harjono S Ponorogo tahun 2015
94
c. Pelayanan Gawat Darurat Pelayanan gawat darurat merupakan pelayanan yang dapat memberikan tindakan yang cepat dan tepat pada seorang atau kelompok orang agar dapat meminimalkan angka kematian dan mencegah terjadinya kecacatan yang tidak perlu. Tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal pada pasien dalam penanganan tingkat kegawatdaruratan sehingga mampu mencegah resiko kecacatan dan kematian (to save life and limb). IGD adalah suatu unit integral dalam satu rumah sakit dimana semua pengalaman pasien yang pernah datang ke IGD tersebut akan dapat menjadi pengaruh yang besar bagi masyarakat tentang bagaimana gambaran Rumah Sakit itu sebenarnya. Fungsinya adalah untuk menerima, menstabilkan dan mengatur pasien yang menunjukkan gejala yang bervariasi dan gawat serta juga kondisi-kondisi yang sifatnya tidak gawat. IGD juga menyediakan sarana penerimaan untuk penatalaksanaan pasien dalam keadaan bencana, hal ini merupakan bagian dari perannya di dalam membantu keadaan bencana yang terjadi . Instalasi Gawat Darurat buka 24 jam, merupakan salah satu unit terdepan dari bagian pelayanan rumah sakit yang memberikan pelayanan pada pasien gawat darurat/emergency dan false emergency bekerja sama dengan unit terkait lainnya. Telah tersertifikasi ISO 9001: 2000 dan Akreditasi RS versi 2012 dari KARS dengan peringkat Paripurna. Selain menangani gawat darurat umum juga menangani gawat darurat kebidanan dan kandungan. Data
95
kunjungan pasien di Instalasi Gawat darurat mulai dari tahun 2011 sampai dengan 2015 disajikan dalam tabel di bawah ini:
kunjungan 18500 18000 17500 17000 2011
16500
2012
16000
2013 2014
15500
2015
15000 14500 14000 13500 2011
2012
2013
2014
2015
Diagram 4.2 Angka kunjungan pelayanan Gawat Darurat di Instalasi Rawat Darurat RSUD Dr. Harjono S Ponorogo tahun 2011-2015. Sumber : Data Rekam Medik RSUD Dr. Harjono S Ponorogo.
Kemampuan pelayanan Instalasi Gawat Darurat meliputi : mampu menangani pasien gawat darurat, tidak darurat, darurat tidak gawat, dan pasien tidak gawat, tidak darurat oleh karena penyakit tertentu seperti : gangguan pernafasan, gangguan susunan saraf pusat, gangguan sistem kardiovaskuler, trauma, berbagai luka, patah tulang, infeksi, gangguan metabolisme, keracunan, kerusakan organ dll. Di bawah ini disajikan gambar mengenai triase atau
96
pemilahan pasien yang dilakukan saat penerimaan pasien yang berkunjung di Instalasi Gawat Darurat.
Gambar 4.7 Pelaksanaan triase di Instalasi Rawat Darurat RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. Fasilitas Instalasi Rawat Darurat dengan Akses masuk 2-3 mobil, Ruang Tunggu, Pendaftaran RM, dan administrasi IGD dengan computerized system, Ruang Triase, ruang Resusitasi, Ruang jaga Petugas IGD, Farmasi, Unit Transfusi Darah, Laboratorium, Ruang Radiologi, Ruang Gips dan Observasi untuk monitoring dan stabilisasi. Alat penunjang yang tersedia di Instalasi Gawat Darurat meliputi : ECG Record dan Monitor, Defibrilator, Nebulizer and Suction Pump, Syring Pump, serta sarana penunjang lain yang siap pakai. Gambar di bawah ini menyajikan tentang penerimaan pasien baru di Instalasi Gawat Darurat melalui akses masuk yang mudah dilewati oleh mobil penghantar pasien.
97
Gambar 4.8 Penerimaan pasien baru yang dilakukan oleh tenaga pendorong pasien melalui akses masuk Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Harjono S Ponorogo
3.
Sajian Data Admisi dengan SMART Service Admission a. Karakteristik Informan Dalam penelitian di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo ini
peneliti
melibatkan beberapa informan yaitu orang-orang yang dipandang mengetahui tentang permasalahan yang dihadapi dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan dalam proses
penelitian. Informan penelitian ini adalah
98
pemangku kepentingan atau orang yang terlibat langsung dalam kegiatan SMART Service Admission di mana peran mereka langsung berpengaruh pada pelaksanaan SMART Service Admission yaitu :
Kepala Bidang
Pelayanan Penunjang sekaligus Sekretaris Akreditasi, Kepala Bagian Tata Usaha Usaha, Kepala Sub Bagian Humas Dan Publikasi, Kepala Sub bagian Umum dan Perbekalan, Kepala Instalasi Gawat Darurat, Satpam, Koordinator TPP, perawat di Instalasi Rawat Darurat, Dokter Jaga di Instalasi Rawat darurat staf admisi rawat jalan dan rawat inap, dan pasien atau pengantar pasien sejumlah 21 orang. 1. S1 adalah seorang satpam berjenis kelamin laki laki berumur 34 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama 3 tahun, berstatus kepegawaian tenaga kontrak Badan Layanan Umum Daerah ( BLUD) pendidikan terakhir SLTA, sudah pernah mengikuti pelatihan Basic Life Support untuk orang awam dan pelatihan SMART Service Admission. 2. S2 adalah seorang satpam berjenis kelamin laki laki berumur 30 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama 3 tahun, berstatus kepegawaian tenaga kontrak Badan Layanan Umum Daerah ( BLUD) pendidikan terakhir SLTA sudah pernah mengikuti pelatihan Basic Life Support untuk orang awam, pelatihan SMART Servcse Admission. 3. S3 adalah seorang satpam berjenis kelamin laki laki berumur 40 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama 3 tahun, status kepegawaian tenaga kontrak Badan Layanan Umum Daerah ( BLUD) pendidikan
99
terakhir SLTA, sudah pernah mengikuti pelatihan Basic Life Support untuk orang awam, pelatihan SMART Servise Admission. 4. Ad1 adalah seorang koordinator tenaga admisi berjenis kelamin perempuan berumur 56 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih dari 33 tahun berpendidikan SLTA, berstatus Pegawai Negeri Sipil, sudah pernah pelatihan SMART Servcse Admission. 5. Ad2 adalah seorang tenaga admisi rawat inap berjenis kelamin laki laki berumur 25 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama 3 tahun berpendidikan DIII Keperawatan, berstatus karyawan kontrak kegiatan, sudah pernah pelatihan BCLS, SMART Service Admission. 6. Ad3 adalah seorang tenaga admisi rawat inap berjenis kelamin perempuan berumur 50 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih dari 5 tahun berstatus Pegawai negeri Sipil, berpendidikan SLTA belum pernah pelatihan SMART Service Admission. 7. Ad4 adalah seorang tenaga informasi yang merangkap sebagai tenaga admisi rawat jalan, berjenis kelamin perempuan berumur 27 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih kurang 3 tahun, berpendidikan SLTA, berstatus kepegawaian tenaga kontrak Badan Layanan Umum Daerah ( BLUD) dan sudah pernah pelatihan SMART Service Admission. 8. P1 adalah seorang perawat jaga IRD, berjenis kelamin laki laki berumur 46 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih kurang 25 tahun, berpendidikan Sarjana Keperawatan, berstatus kepegawaian Pegawai negeri Sipil dan sudah pernah Pelatihan Basic Cardiac Life Support,
100
Basic Trauma Laife Support, Pembacaan Elekrokardiogram, Advance Cardiac Life Support dan SMART Service Admission. 9. P2 adalah seorang Kepala Instalasi Rawat Darurat berjenis kelamin laki laki berumur 47 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih kurang 24 tahun, berpendidikan terakhir Sarjana Keperawatan, berstatus kepegawaian Pegawai negeri Sipil dan sudah pernah Pelatihan Basic Cardiac Life Support, Basic Trauma Life Support, Pembacaan Elekrokardiogram, Advance Cardiac Life Support, Pelatihan Emergency Nursing, Pelatihan Kegawatdaruratan dan SMART Service Admission. 10. D1 adalah seorang dokter jaga IRD berjenis kelamin perempuan berumur 53 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih kurang 4 tahun, berpendidikan terakhir Magister Manajemen, berstatus kepegawaian Pegawai negeri Sipil dan sudah pernah Pelatihan Basic Cardiac Life Support, Advance Cardiac Life Support, 11. K1 adalah seorang pasien penyakit Diabetes Mellitus, berjenis kelamin perempuan yang sedang kontrol di klinik Penyakit Dalam dan merupakan pasien lama sejak 2011 yang berumur 57 tahun. 12. K2 adalah seorang keluarga pasien penderita gagal ginjal kronis berjenis kelamin perempuan yang sering dirawat di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo maupun rawat jalan sejak tahun 2010, berumur 50 tahun. 13. K3 seorang pasien penyakit Thalassemia, berjenis kelamin laki laki yang sedang dirawat di ruang Rawat Intermediate dan merupakan pasien lama sejak 2015 yang berumur 24 tahun, berpendidikan SLTA.
101
14. K4 seorang keluarga pasien penyakit penderita Gagal Ginjal Kronis yang dirawat di Ruang Perawatan Intensif, berjenis kelamin perempuan merupakan pasien lama sejak 2014 yang berumur 37 tahun, pendidikan terakhir SLTA. 15. K5 seorang pasien hipertensi , berjenis kelamin laki laki yang sedang dirawat di ruang perawatan Intermediate dan merupakan pasien lama sejak 2011 yang berumur 55 tahun, pendidikan terakhir SLTA. 16. PP adalah seorang pendorong pasien berjenis laki laki berumur 42 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih kurang 2 tahun, berpendidikan terakhir SLTA berstatus kepegawaian tenaga kontrak kegiatan dan belum pernah Pelatihan SMART Service Admission. Berdasarkan data dan informasi di atas disajikan dalam bentuk matriks berikut ini : Matriks 4.1 Karakteristik Informan Penelitian No Inisial 1. 2. 3. 4. 5.
S1 S2 S3 Ad1 Ad2
Umur (tahun) 34 30 40 56 25
Jenis kelamin Laki laki Laki laki Laki laki Perempuan Laki laki
6. 7.
Ad3 Ad4
50 27
Perempuan Perempuan
8.
P1
46
Laki laki
9.
P2
45
Laki laki
Tingkat pendidikan SLTA SLTA SLTA SLTA DIII Keperawatan SLTA SLTA
Sarjana Keperawatan Sarjana Keperawatan
Pekerjaan Satpam Satpam Satpam Admisi Admisi Admisi Admisi merangkap petugas informasi Perawat jaga IRD Kepala Instalasi Rawat Darurat
102
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
D1 K1 K2 K3 K4 K5 PP1
53 57 50 24 37 55 42
Perempuan Perempuan Perempuan Laki laki Perempuan Laki Laki Laki laki
S2 SD SLTA SLTA SLTA SLTA SLTA
Dokter jaga IRD Pasien Keluarga Pasien Pasien Keluarga Pasien Pasien Pendorong Pasien
Sumber : Data Primer, diolah bulan April 2016
Sebagian informan merupakan karyawan RSUD Dr. Harjono S Ponorogo yang terlibat dalam dalam program SMART Service Admission, dengan tingkat pendidikan informan bervariasi, sebagian besar berpendidikan SLTA, dan sebagian kecil berpendidikan DIII dan sarjana, juga melibatkan pasien yang sedang kontrol di poliklinik atau keluarga yang mengantar, dan juga pasien yang sedang dirawat. Informan yang terlibat dalam penelitian berjumlah 9 orang berjenis kelamin laki - laki dan 7 orang informan berjenis kelamin perempuan. Aspek psikologis dan biologis perlu diperhatikan dalam mengelola sumber daya menusia khususnya karyawan perempuan. Informan yang dipilih dalam penelitian ini tidak disengaja untuk memilih informan laki laki lebih banyak daripada perempuan, sehingga secara kebetulan jumlah informan laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Rentang usia informan antara usia 24 tahun hingga 57 tahun. 60% karyawan yang menjadi informan dalam penelitian berusia lebih dari 40 tahun. Karyawan dengan usia lebih tua akan semakin mampu menunjukkan kematangan jiwa, dalam arti semakin bijaksana, semakin mampu berfikir rasional, semakin mampu mengendalikan emosi, semakin toleran terhadap pandangan dan perilaku yang berbeda
103
darinya dan semakin dapat menunjukkan kematangan intelektual dan psikologis. Lamanya bekerja para informan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo bervariasi mulai dari yang paling sedikit selama 3 tahun dan yang paling lama selama 33 tahun. Asumsi yang sering berlaku dan diyakini adalah pegawai yang cukup senior dipandang memiliki kinerja dan kualitas pelayanan yang lebih tinggi dibandingkan pegawai junior yang masih perlu dikembangkan dan dibina lagi. Tidak menutup kemungkinan yang terjadi adalah seseorang yang berstatus sebagai pegawai baru lebih dapat bekerja dengan menunjukkan kinerja yang baik daripada pegawai yang telah lama bekerja. Karakteristik informan yang berasal dari pasien rawat jalan, rawat inap dan penunggu pasien dilihat berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan yang terdapat pada tabel 5.2. Berdasarkan data di atas didapatkan 4 informan berasal dari pasien dan 1 orang penunggu pasien Rawat inap. Informan kunci adalah orang-orang yang sangat memahami permasalahan yang diteliti. dalam penelitian ini antara lain: 1.
T1 adalah seorang Kasubbid Umum dan Perbekalan berjenis perempuan berumur 57 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih kurang 30 tahun, berpendidikan terakhir Sarjana Ilmu Sosial Politik berstatus kepegawaian Pegawai Negeri Sipil dan sudah pernah
Pelatihan
ADUM, Master Of Training, Perencanaan
kebutuhan Tenaga Kesehatan dan SMART Service Admission.
104
2.
T2 adalah seorang Kepala Bagian Tata Usaha berjenis laki laki berumur 55 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih kurang 7 tahun,
berpendidikan terakhir Sarjana Hukum berstatus
kepegawaian Pegawai Negeri Sipil dan sudah pernah
Pelatihan
SMART Service Admission. 3.
PM adalah seorang Kepala Bidang Penunjang Medik berjenis perempuan berumur 48 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih kurang 7 tahun, berpendidikan terakhir Magister Kesehatan berstatus kepegawaian Pegawai Negeri Sipil, sekretaris Akreditasi Rumah Sakit dan
merupakan motor penggerak dan
penggagas dalam SMART Service Admission. 4.
WM adalah seorang Wakil Direktur Pelayanan Medik berjenis laki laki berumur 55 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih kurang 5 tahun, berpendidikan terakhir Magister Of Science berstatus kepegawaian Pegawai Negeri Sipil.
Berdasarkan data dan informasi di atas disajikan dalam bentuk matriks berikut ini : Matriks 4.2 Karakteristik Informan Kunci dalam Penelitian No Inisial
Umur
Tingkat pendidikan
Pekerjaan
Kepala Bagian Tata Usaha Kepala Sub Bagian Umum dan Perbekalan Kepala Bidang
(tahun) 1.
T1
55
Sarjana
2.
T2
57
Sarjana
3.
PM
48
S2
105
4.
WM
55
S2
Penunjang Medik Wakil Direktur Pelayanan Medik
Sumber : Data Primer, diolah bulan April 2016.
b. Sajian Data Tentang Admisi Dengan SMART Service Admission secara Fisik. Pelaksanaan SMART Service Admission sangat didukung adanya fasilitas-fasilitas fisik yang ada di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. Sesuai dengan alur dari SMART Service Admission, fasilitas fisik ini meliputi : 1.
Pos Jaga Satpam Dari hasil wawancara dengan subyek penelitian yang berprofesi sebagai satpam, diperoleh data bahwa keadaan fisik bangunan satpam sangat tidak menunjang untuk mendukung pelaksanaan SMART Service Admission terutama pos jaga satpam yang berada di pintu masuk utama rumah sakit. Pos satpam ini menyulitkan satpam untuk keluar dari gedung, karena pintu membelakangi pintu masuk utama rumah sakit, sehingga harus memutar. Selain posisi pintu yang tidak mendukung, apabila satpam tidak keluar dari pos, komunikasi dengan pasien atau pengantar pasien bisa dilakukan melalui jendela kaca. Jendela kaca ini bersifat permanen sehingga tidak bisa dibuka, sedangkan bagian yang terbuka ada di bagian atas sehingga menyulitkan saat berkomunikasi, karena sebagian besar tidak mendengar apa yang disampaikan oleh satpam. Apabila ada pasien atau tamu yang datang, respon menyambut terhadap kedatangan menjadi lama, karena satpam harus keluar dari gedung, memutar keluar baru bisa menemui pasien tersebut. Pada saat menyambut dan melakukan skrining
106
visual akan menyebabkan antrian mobil yang ada di belakangnya karena harus memberhentikan mobil tersebut untuk melihat pasien dari dekat dan memerlukan waktu dalam beberapa menit. Masalah ini akan memicu kemacetan, oleh karena di depan pintu masuk RSUD Dr. Harjono S Ponorogo merupakan jalan raya utama yang menghubungkan Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Pacitan. Saat satpam (S2, 30 tahun) diajukan pertanyaan tentang bagaimana pemurut informan tentang keadaan pos satpam in dan Adakah kesulitan-kesulitan saat menjalankan tugas. Seperti yang terdapat dalam hasil wawancara berikut ini : “Posnya ndak terbuka dari pintu masuk Bu, pintunya ada di belakang, kalo mau lihat pasien yang baru datang susah Bu, harus keluar dulu, seharusnya pos satpam menghadap ke utara atau ke barat”(S2, 30 tahun). Saat diajukan pertanyaan : “Kalau menurut anda, pos satpam itu harusnya seperti apa?”. Maka jawaban yang diberikan oleh satpam adalah : “Pos satpam seharusnya terbuka seperti teras tidak seperti pos yang sekarang ini. Atau seperti pos jaga yang ada di Kodim itu lho…. Lha pos satpam kita seperti ini. Apalagi pintunya ada di bagian belakang bangunan. Pos seperti ini menyulitkan, terus lubang kacanya juga di atas, untuk berbicara dengan pasien atau pengunjung tidak bisa”. (S1, 34 tahun). Salah satu tugas satpam dalam SMART Service Admission adalah memilah pasien secara visual, saat pasien baru datang melewati gerbang depan rumah sakit. Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh satpam saat melakukan tugasnya seperti yang terungkap dengan pertanyaan : “Dengan kondisi pos satpam yang seperti ini apa kendala-kendala yang dialami?”. Berikut tanggapannya : “Agak sulit memilah pasien Bu, pintu posnya ada
107
di belakang, kalau melihat pasien harus muter. Kalo mobil pasien dihentikan terlalu lama nanti jalanan depan rumah sakit macet. Terutama pas jam-jam sibuk”.( S3, 40 tahun) Selain akses keluar masuk pos satpam yang sulit, pos satpam ini mempunyai ukuran yang relatif
kecil dibandingkan dengan bangunan
yang lain. Ukuran pos satpam di pintu utama ini sebesar 6 meter persegi. Dilengkapi dengan meja dan kursi untuk berjaga, tetapi terlihat berjejal dan penuh. Untuk membantu pergantian sirkulasi udara tersedia 1 kipas angin yang terpasang di dinding. Di dalam pos satpam ini tersedia televisi 14 inchi, sarana komunikasi berupa telepon dengan akses telepon antar ruangan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo saja, handy talky dan senter. Pos satpam ini belum dilengkapi dengan CCTV dan belum ada sarana kamar kecil. Sehingga apabila ada keperluan buang air kecil atau buang air besar harus keluar area pos satpam ke tempat yang terdekat yaitu di IRD. Hal ini didukung oleh data hasil wawancara sebagai berikut, saat diajukan pertanyaan: “Menurut bapak, bagaimana kesan pos satpam ini, apakah sudah cukup nyaman saat bekerja.”. Jawaban yang disampaikan adalah : “Ruangan pos satpam ini sempit Bu, dan terasa sumpek”. Ruangannya sudah kecil terus kamar mandinya ngga ada Bu….. Kalo mau pipis saja harus ke IRD. Ya lumayan, meskipun tidak terlalu jauh tetapi mengganggu. Dibanding dengan pos satpam yang pernah saya lihat, ini termasuk kecil Bu….. Panas lagi Bu terutama siang hari.” ( S3, 40 tahun) Salah satu sarana alternatif untuk memudahkan pada saat penyambutan pasien dan untuk mendukung pelaksanaan SMART Service Admission adalah dengan menyiapkan tempat duduk untuk jaga satpam di
108
depan pos satpam. Tetapi alternatif ini banyak dikeluhkan oleh satpam, karena di depan pos satpam
ini tidak ada sarana pelindung. Apabila
menjelang siang hari, tempat jaga terkena sinar matahari langsung sehingga terasa panas dan tidak nyaman apalagi kalau turun hujan, petugas akan kehujanan. Alternatif ini tidak disepakati dan
ditinggalkan oleh
satpam dengan alasan kendala di atas. Saat diajukan pertanyaan: “Menurut pendapat bapak, bagaimana kalau untuk alternatif lain juga untuk memudahkan pada saat penyambutan pasien
dan untuk mendukung
pelaksanaan SMART Service Admission adalah dengan menyiapkan tempat duduk untuk jaga satpam di depan pos satpam?”. Jawaban yang disampaikan adalah : “Kalo duduk di depan pos jaga ya panas Bu…. Mulai jam 10 aja sudah mulai panas. Gak ada iyup-iyupnya. Apalagi kalo hujan, sudah pasti kehujanan”. (S1, 34 tahun). Pernyataan ini didukung juga pernyataan informan lain yang terkait, sebagai berikut :“Yang jelas kalo siang ya kepanasan Bu, kalo hujan ya kehujanan. Ya males jaga di depan Bu”. (S2, 30 tahun). Pernyataan
informan lain yang terkait adalah :
“Teman-teman pada ngga mau Bu, karena di depan pos satpam ini kan ngga ada payonnya. Yang jelas ya panas kalo siang, kalo hujan ya kehujanan. (S3, 40 tahun).
2.
Admisi Unit Admisi atau yang sebelumnya disebut dengan Tempat Pendaftaran Pasien adalah satu unit yang yang bertugas menerima pasien
109
rawat inap atau pasien rawat jalan berdasarkan kebutuhan pelayanan kesehatannya yang disesuaikan dengan misi dan sumber daya rumah sakit tergantung pada asesmen kebutuhan pasien dan skrining pada kontak pertama. Unit admisi terdiri dari admisi rawat jalan dan admisi rawat inap. Unit admisi rawat inap berada di depan sebelah kiri dari Instalasi Rawat Darurat. Gedung admisi rawat inap berada di depan sebelah kiri dari pintu masuk Instalasi Rawat Darurat. Luas gedung admisi rawat inap sebesar 32 meter persegi. Fasilitas yang ada meliputi meja kursi kantor,
3 set
komputer, 2 buah printer hitam putih, 1 pencetak kartu kunjungan rumah sakit dan almari. Ruangan ini belum dilengkapi dengan pendingin ruangan, hanya dilengkapi dengan 2 kipas angin dinding. Menurut petugas admisi rawat inap, fasilitas yang tersedia di unit admisi rawat inap ini kurang memadai. Salah satunya adalah belum adanya pendingin ruangan. Suasana ruangan terasa panas apalagi hanya dikurangi dengan 2 kipas angin dinding. Sesuai pernyataan informan saat ditanyakan bagaimana pendapat informan saat ditanyakan tentang kenyamaan ruang admisi, seperti hasil wawancara berikut ini : “Ruangannya kurang nyaman Bu…. Terasa panas. Dua kipas angin dinding ini ndak cukup mengurangi rasa panas.” (Ad1, 56 tahun). Didukung oleh pernyataan informan lain, seperti hasil wawancara di berikut ini : “Kalo siang rasanya panas Bu. Apalagi kalo menghadapi keluarga pasien yang kritis…. Sudah hawanya panas terus keluarganya spanneng. Rasanya ngga nyaman” (Ad3, 50 tahun).
110
Pernyataan di atas didukung oleh pernyataan informan lain , seperti hasil wawancara di bawah ini : “Kalo hawanya panas, menerangkan ke keluarga pasien rasanya ndak nyaman. Apalagi isiannya banyak. Keluarga pasien juga males berlama-lama. Paling njawabnya iya-iya gitu, atau wis maut aku mas sing penting ndang sehat;”. ( Ad2, 25 tahun). Selain kenyamanan ruangan, fasilitas dasar yang tersedia di unit admisi rawat inap sudah cukup memadai. Luas ruangan yang ada dianggap petugas sudah memadai dengan jumlah petugas yang berjaga. Selain itu juga sudah disiapkan fasilitas kamar mandi di dalam unit.
Berikut
pernyataan yang disampaikan informan saat dikonfirmasi tentang kelengkapan fasilitas ruang admisi, seperti hasil wawancara berikut ini : “Lumayan luas ruangannya, sudah cukup kok. Kamar mandi dalam juga ada. Kalo perlu buang air kecil tidak perlu keluar ( Ad1, 56 tahun). Didukung juga oleh pernyataan dari informan yang lain, seperti yang tertulis berikut ini : “Cukup luas kok Bu….. yang penting cukup untuk tempat komputer, printer, dan formulir-formulir yang diperlukan dan meja kursi. Kamar mandi dalam sudah ada.”( Ad3, 50 tahun). Didukung juga oleh pernyataan dari informan yang lain, seperti yang tertulis berikut ini : “Sampun cekap Bu….. dibanding dengan jumlah petugasnya sudah lumayan luas. (Ad2, 25 tahun). Menurut subyek penelitian, fasilitas yang mendukung pelayanan yang dirasakan kurang adalah perangkat komputer dan printer. Perangkat komputer yang ada di unit admisi sejumlah 3 buah, 2 buah perangkatnya masih berfungsi dengan baik meskipun usianya sudah tua, sedangkan
111
masih ada 1 perangkat komputer yang rusak dan belum diperbaiki atau diganti. Printer yang tersedia di unit admisi ada 2 buah, berupa printer hitam putih. Kekurangan printer yang dimaksud adalah printer dengan scanner, apabila sore atau malam hari digunakan untuk memperbuat salinan dokumen pasien yang diperlukan saat rawat inap untuk persyaratan asuransi kesehatan terutama BPJS. Berikut pernyataan yang disampaikan informan saat dikonfirmasi tentang kelengkapan fasilitas administrasi di ruang admisi terutama fasilitas komputer, seperti hasil wawancara di bawah ini : “Di sini kami sangat memerlukan komputer baru karena yang ada cuman 2 saja. Itu saja komputer yang dibawa dari rumah sakit lama saat pindahan dulu. Dan itu sangat mempengaruhi pelayanan saat jam-jam sibuk. Selain itu juga perlu printer yang bisa fotokopi itu lho Bu. Kalo pasiennya datang sore atau malam hari dan perlu fotokopi untuk persyaratan BPJS seperti KTP, KK, Kartu BPJS jadi repot, karena tempat fotokopinya sudah tutup, dan adanya lumayan jauh. Kan kasihan.” (Ad1, 56 tahun). Diungkapkan juga oleh informan yang lain, seperti yang disampaikan dalam pernyataan di bawah ini : “Komputernya sudah lemot Bu….. perlu yang baru. Kalo bisa ditambahi lagi, karena yang sekarang ini masih kurang kalo pas jam-jam sibuk. Komputernya dipake bareng-bareng apalagi kalo lagi error. Printernya juga perlu ditambah lagi bu, yang bisa fotocopi.” (Ad.3, 50 tahun) Hal yang sama diungkapkan juga oleh informan yang lain dengan pertanyaan yang sama, seperti yang disampaikan dalam pernyataan di berikut ini : “Komputernya cuma dua Bu……. Kalo lagi pasien rame, pelayanannya lama, belum lagi kalo komputernya ngadat. Jadi repot.” (Ad2, 25 tahun).
112
Di unit admisi ini sudah ada tempat tersendiri untuk menerangkan dan pengisian formulir-formulir persyaratan rawat inap. Permasalahan sarana prasarana yang ada adalah tempat pelayanan admisi terutama untuk memberikan penjelasan General Consent, hak dan kewajiban pasien serta pengisian formulir-formulir untuk kelengkapan rawat inap dirasakan kurang memadai. Pendapat petugas admisi saat ditanyakan tentang fasilitas ruangan yang tersedia yang digunakan untuk tempat wawancara dengan keluarga pasien, seperti wawancara berikut ini : “Tempat untuk wawancara dengan keluarga pasien sudah ada Bu… cuman kurang luas dan kurang nyaman, karena apabila siang hari terasa panas” (Ad1, 56 tahun). Hal yang sama diungkapkan juga oleh informan yang lain dengan pertanyaan yang sama, seperti yang disampaikan dalam pernyataan di bawah ini : “Menerangkan hak dan kewajiban pasien terasa ndak nyaman karena selain panjang kalo suasananya sedang panas, sebenarnya ya ndak papa sih cuman mengurangi kenyamanan Bu….”. (Ad2, 25 tahun) Admisi rawat jalan adalah bagian dari unit admisi yang mengelola pasien yang ingin mendapatkan pelayanan rawat jalan, baik itu poliklinik atau pemeriksaan penunjang. Untuk bagian pendaftaran pasien dan skrining pasien berada di gedung yang terpisah. Di kebijakan yang telah dikeluarkan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo tempat menurunkan pasien dan pengantar, mempunyai lokasi yang berbeda. Pasien diturunkan di pintu masuk utama gedung Poliklinik dan dilakukan skrining visual oleh petugas admisi. Sedangkan keluarga pasien bisa langsung menuju ke
113
tempat pendaftaran pasien. Kebijakan ini dibuat untuk mencegah antrian yang panjang di tempat pendaftaran pasien yang akan menyebabkan ketidaknyamanan pasien. Petugas admisi rawat jalan ini hanya ada satu orang, berada di Bagian Informasi dan juga merupakan petugas informasi. Sehingga mempunyai tugas ganda sebagai tenaga admisi dan juga sebagai tenaga yang memberikan informasi kepada pasien dan pengunjung. Tugas ganda ini dirasakan tidak terlalu memberatkan. Tetapi kadang-kadang agak merepotkan apabila ada dua tugas yang berbarengan. Di bawah ini disajikan hasil wawancara dengan subyek penelitian saat diajukan pertanyaan tentang kendala-kendala yang dialami saat menjalankan tugas sebagai petugas informasi merangkap petugas admisi rawat jalan, seperti yang disajikan di bawah ini : “Sebagai petugas informasi saya tidak merasa kesulitan melakukan skrining pasien yang datang. Karena saya hanya menilai secara visual dan sedikit mencatat, pasien mana yang perlu didahulukan, atau pasien mana yang harus dianjurkan ke IGD. Permasalahannya muncul apabila saya sedang menerima telepon sedangkan ada pasien yang perlu bantuan, sehingga saya harus bisa memprioritaskan mana yang harus saya lakukan.” (Ad4, 27 tahun) Fasilitas yang tersedia untuk admisi rawat jalan menurut subyek penelitian dianggap sudah memadai. Karena saat melakukan skrining visual pasien, petugas tidak memerlukan sarana dan prasarana yang kompleks. Seperti formulir untuk skrining visual, formulir risiko jatuh, pita kuning untuk disematkan di lengan pasien apabila dinilai berisiko untuk jatuh dan kartu untuk pasien yang didahulukan hanya saja memerlukan kursi roda yang lebih banyak yang terpusat di bagian
114
informasi, sehingga apabila ada pasien atau pengantar pasien yang memerlukan bisa segera dilayani. Pendapat petugas admisi rawat jalan saat ditanyakan tentang fasilitas yang mendukung dalam pelaksanaan tugas admisi rawat jalan, seperti yang tercantum dalam hasil wawancara berikut ini : “Kalo fasilitas apa ya yang kurang? Kayaknya sudah memadai. Seperti formulir-formulir yang digunakan bisa ngebon di gudang. Apa ya yang kurang? Oh iya kursi roda Bu….. kursi rodanya sebenarnya sudah banyak tetapi sepertinya perlu ditambah lagi. Karena kadang-kadang pas pasiennya banyak, kekurangan kursi roda.” (Ad4, 27 tahun) 3. Instalasi Gawat Darurat Fasilitas yang tersedia untuk Instalasi Gawat Darurat menurut subyek penelitian ada yang menganggap sudah memadai, ada yang menganggap kurang memadai jika dilihat dari jumlah, jenis dan kualitasnya. Di bawah ini disajikan hasil wawancara dengan subyek penelitian, saat diajukan pertanyaan tentang bagaimana pendapat informan tentang kelengkapan fasilitas atau sarana prasarana yang ada di Instalasi Gawat Darurat, seperti yang tertulis di bawah ini: “Fasilitas atau sarana dan prasarana yang ada di IGD saya rasa sudah cukup memadai untuk melayani pasien baik kualitas maupun jumlahnya. Setting ruangan juga sudah memadai, apalagi dengan perombakan yang terakhir ini. Cuman ada satu hal yang dirasa kurang yaitu depo farmasi. Depo farmasi sebelum perombakan sudah ada di dekat IGD, sekarang tidak ada. Apalagi di IGD juga tidak ada floorstock sekarang. Sehingga kalo mau meresepkan harus ke apotik 24 jam, yang ada di sebelah IGD. Itu perlu waktu yang relatif lama. Dan akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan.” (D1, 53 tahun)
115
Fasilitas yang kurang
memadai menurut subyek penelitian
meliputi triase pasien. Ruang triase pasien ini ada di depan pintu masuk IGD dan ada di ruang yang terbuka, tidak ada penghalangnya sama sekali saat memeriksa pasien. Di bawah ini disajikan hasil wawancara dengan subyek penelitian saat diajukan pertanyaan sarana prasarana yang kurang memadai di IGD, seperti yang tertulis di bawah ini: “Sarana prasarana di IGD sudah cukup memadai untuk pelayanan terhadap pasien. Ada satu yang kurang yaitu tempat triase pasien. Tampilan ruang triase ini saya rasa kurang etis, karena melakukan triase di tempat yang terbuka. Seharusnya ada di tempat yang khusus dan tertutup. Selain ruang triase, untuk penataan ruangan kurang memadai dan kurang sesuai standar.” (P1, 46 tahun) Sarana dan prasarana yang terkait kualitas pelayanan IGD
dalam mendukung terhadap
meliputi farmasi, radiologi dan laboratorium.
Selain itu juga penataan ruang IGD yang dirasa kurang sesuai standar yang ada. Baik itu menurut standar akreditasi rumah sakit maupun pedoman penyelenggaraan Instalasi Gawat Darurat. Saat diajukan pertanyaan kepada informan tentang kendala-kendala saat memberikan pelayanan di IGD terutama tentang fasilitas pendukung pelayanan yaitu farmasi seperti salah satunya adalah ketidaktersediaan depo farmasi yang berada di area IGD sangat mempengaruhi penanganan pasien emergensi, seperti yang tertulis di bawah ini: “Kualitas pelayanan IGD juga sangat dipengaruhi oleh sarana dan prasarana penunjang yang mendukung seperti farmasi, radiologi dan laboratorium. Dulu depo apotik ada di area IGD sehingga apabila memerlukan obat yang sifatnya emergensi sangat memudahkan pelayanan. Karena di IGD tidak ada persediaan obat. Tetapi sekarang ini depo apotik ditiadakan, digabung dengan apotik 24 jam. Meskipun lokasinya tidak begitu jauh tetapi akan memakan
116
waktu. Belum lagi kalau ada tambahan obat. Jadi keluarga pasien bolak balik. Hal seperti ini akan menyebabkan response time IGD memanjang.” (P2, 47 tahun) Tidak kalah pentingnya adalah persiapan branchart dan kursi roda yang diperlukan untuk menerima pasien. penempatan alat-alat transportasi ini belum tersimpan di area tersendiri masih bergabung dengan area triase. “Jumlah branchart yang ada sudah cukup untuk pelayanan selama ini. Meskipun pasiennya rame tapi masih cukup kok Bu. Cuman kalo untuk persiapan pasien yang overload ya ngga cukup. Karena dipinjam di ruangan. Kita kan ndak boleh nolak pasien”. (PP, 42 tahun). Mekanisme perencanaan ruangan atau instalasi sudah dilakukan tiap tahunnya di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. Bahkan ahir-akhir ini dilakukan 1-2 tahun sebelum tahun berjalan. Meskipun perencanaan sudah dilakukan dalam perumusan RKU (Rencana Kerja Unit) tetapi realisasi tetap mengacu pada skala prioritas, dan pemenuhannya memerlukan waktu yang lama, walaupun RSUD Dr. Harjono S Ponorogo sudah berbentuk BLUD dan ada keleluasaan dalam pengelolaan keuangan/barang BLUD pada batasbatas tertentu yang dapat dikecualikan dari ketentuan yang berlaku umum.
c. Sajian Data Tentang Pelayanan Admisi dengan SMART Service Admission Hampir seluruh informan menyatakan bahwa RSUD Dr. Harjono S Ponorogo pelayanan kesehatan yang diberikan sudah baik.. Keberlangsungan pelayanan kesehatan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo telah menekankan pada aspek kesatuan dan keutuhan bekerjasama.
dari bagian-bagian keseluruhan yang
117
Pelayanan Admisi dengan SMART Service Admission sangat didukung oleh beberapa unit-unit yang terkait dalamnya. Hal ini sesuai dengan alur dari SMART Service Admission dan unit unit yang terlibat di dalamnya meliputi : 1. Satpam Pelaksanaan SMART Service Admission selain berasal dari hasil pengamatan juga hasil wawancara dengan subyek penelitian yang berprofesi sebagai satpam, diperoleh data bahwa pelayanan satpam kurang menunjang dalam pelaksanaan SMART Service Admission. Selain terkait dengan keberadaan pos jaga satpam yang menyulitkan satpam untuk keluar dari pos jaga juga kurangnya koordinasi dalam pelaksanaannya. Apabila ada pasien yang datang, respon menyambut terhadap kedatangan menjadi lama, karena satpam harus keluar dari gedung, memutar keluar baru bisa menemui pasien tersebut. Berikut sajian hasil wawancara dengan informan saat diajukan pertanyaan tentang bagaimana cara melakukan pemilahan pasien/ triase visual pada pasien yang baru datang di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo, seperti yang tertulis di bawah ini : “Agak sulit memilah pasien Bu, pintu posnya ada di belakang, kalau melihat pasien harus muter. Kalo mobil pasien dihentikan terlalu lama nanti jalanan depan rumah sakit macet. Terutama pas jam-jam sibuk”. ( S3, 40 tahun) Salah satu informan menyampaikan tentang kurang sesuainya desain pos satpam saat diajukan pertanyaan tentang pendapatnya yang berkaitan dengan bentuk desain bangunan pos satpam dikaitkan dengan tugas satpam saat memilah pasien, seperti hasil wawancara di berikut ini : “Desain pos satpam ini memang kurang mendukung terhadap pelaksanaan SMART
118
Service Admission, sudah dilakukan perencanaan untuk perombakan tetapi menunggu anggaran.” (T2, 55 tahun). Pengusulan terhadap perubahan bentuk pos satpam sudah pernah diusulkan oleh koordinator satpam, tetapi belum ada tindak lanjut dari pihak manajemen. Sesuai dengan pernyataan subyek penelitian
saat diajukan
pertanyaan bagaimana mekanisme yang dilakukan saat mengetahui desain bangunan satpam tidak sesuai dengan harapan pengguna, sesuai hasil wawancara sebagai berikut :“Bangunan yang ada ini sebenarnya tidak sesuai dengan bentuk pos jaga satpam pada umumnya. Pengusulan sudah pernah dilakukan tetapi sampai sekarang belum ada perubahan.” (S3, 40 tahun). Pelaksanaan penyambutan pasien dan keluarga bisa dimodifikasi dengan penempatan satpam di beberapa titik penurunan pasien atau di IGD untuk pasien gawat darurat dan di bagian informasi untuk pasien rawat jalan, dengan jumlah satpam 15 orang dirasakan masih memadai. Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah : “Karena ada kendala dengan desain pos satpam, apakah ada solusi atau pemecahan masalah yang dilakukan, mengingat jumalah satpam cukup memadai?” berikut ini pernyataan subyek penelitian terkait dengan pertanyaan tersebut di atas : “Tenaga satpam yang jaga pagi sebenarnya cukup apabila salah satu orang jaga di IRD dan satunya lagi jaga di bagian informasi. Jadwal keliling kan hanya 2 kali Bu... Jadi tidak terlalu mengganggu.” (S3, 40 tahun) Pernyataan yang senada juga disampaikan informan yang lain saat ditanyakan masalah tersebut di atas. Berikut pernyataannya :
119
“Satpam sebenarnya juga bisa duduk di IGD di dekat pintu masuk untuk membantu pelayanan pasien. Daripada ada di dalam pos satpam saja dan ndak bisa melakukan skrining visual pasien yang baru datang. Kan kurang efektif” ( P2, 47 tahun) Saat diajukan pertanyaan mengenai koordinasi dengan bagian terkait tentang usulan di atas, apakah sudah dilakukan koordinasi, berikut pernyataannya : “Kami sebenarnya mau kalau jaga di informasi atau di IGD, tetapi sampai sekarang tidak ada instruksi kepada kami untuk jaga di sana.” (S1, 34 tahun). Pernyataan yang senada juga disampaikan kepada informan yang lain saat ditanyakan masalah tersebut di atas. Berikut pernyataannya : “Selama ini setelah program SMART Service Admission ini tidak pernah lagi ada rapat yang melibatkan satpam Bu…. Sehingga kita juga tidak tahu bagaimana yang kurang atau yang perlu diperbaiki atau kalo ada aturan yang baru.” (S3, 40 tahun). Keterbatasan pos jaga satpam di pintu masuk
dan kesulitan-
kesulitan yang dialami satpam saat mengarahkan pasien dan keluarga tetapi kesan keluarga pasien terhadap keramahan satpam cukup baik. Pertanyaan yang diajukan kepada pelanggan atau keluarga pasien tentang pelayanan yang diberikan satpam, diberikan jawaban oleh informan sebagai berikut : “Satpamnya ramah kok Bu, pas saya ketemu dan waktu saya tanya-tanya ya sabar kok” (K2, 50 tahun). Pada saat observasi yang dilakukan oleh peneliti, peneliti tidak berhasil menemui koordinator satpam yang tercatat sebagai penanggung jawab. Saat ditanyakan kepada anggota satpam yang lain, berikut penjelasannya :“Koordinator satpam jaganya selalu jaga pagi Bu, tapi datangnya hanya sesekali apabila ada undangan rapat atau ada panggilan
120
saja. Itu aja kalau kita butuh harus telefon dulu.” ( S1, 34 tahun). Peneliti juga melakukan konfirmasi kepada petugas satpam yang lain mengenai hal tersebut di atas, berikut penjelasannya : “ Kalau ibu ingin menemui koordinatornya, ibu tunggu aja di sini, kira-kira agak siangan. Kalau jam segini biasanya belum datang.” Kemudian
peneliti
melakukan
observasi
selama
5
hari.
Pengamatan ini dilakukan pada saat shift jaga pagi sesuai shift koordinator. Hasil yang didapatkan saat pengamatan, koordinator satpam tidak berada di tempat selama dinas berlangsung. Saat dikonfirmasi tentang adanya surat teguran secara tertulis, anggota satpam lain tidak mengetahuinya. Langkah selanjutnya peneliti menemui atasan langsung untuk melakukan konfirmasi mengenai hal ini kepada informan T1 dan T2. Berikut uraian yang disampaikan saat konfirmasi kepada atasan langsung satpam: “Petugas satpam selalu siap di tempat terutama pos jaga depan, sebagai pos utama, sesuai jadwal masing-masing.” (T2, 57 tahun). Berikut ini pernyataan yang lain dari atasan langsung satpam mengenai hal tersebut di atas: “ “Jadwal jaga satpam dibuat oleh Kasubbag Umum dan Perbekalan dikoordinasikan dengan koordinator satpam. Jadwalnya tidak tetap tetapi berubah ubah pasangannya, biar tidak jenuh dan berganti-ganti pasangannya. Selama ini juga sudah dilakukan evaluasi kegiatan satpam setiap saat. Bahkan setiap 3-4 bulan selalu kita kumpulkan untuk koordinasi.” ( T1, 55 tahun) Saat ditanyakan tentang kecukupan tenaga satpam berkaitan dengan tugas pokok dan peran serta satpam dalam SMART Service Admission, informan kunci menyampaikan :
121
“Sebenarnya memang sangat diperlukan peran satpam dalam SMART Service Admission dan menyambut kedatangan pasien, tetapi tenaga satpam di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo ini sangat kurang dibandingkan dengan luas rumah sakit, baik luas bangunan maupun luas areanya.” (T1, 55 tahun) Berkaitan dengan pertanyaan di atas, berikut pernyataan dari informan kunci yang lain : “Tenaga satpam ini kesemuanya tenaga kontrak baik tenaga kontrak BLUD maupun kontrak kegiatan. Sebenarnya kalo tenaga yang di depan harusnya banyak, tetapi yang di dalam area rumah sakit harus lebih banyak lagi tidaka hanya 3-4 seperti sekarang ini. Gedung RSUD ini kan banyak sekali dan luas, sehingga perlu pengawasan masing-masing unit atau masing-masing gedung.” Kalau dengan 15 orang ya…. Tenaganya sangat kurang dengan kondisi RS yang seperti ini.” (T2, 57 tahun) Berkaitan dengan motivasi kerja dan perilaku satpam, peneliti menanyakan kepada informan kunci tentang permasalahan tersebut di atas, berikut pernyataannya : “Ada. Tetapi sifatnya subyektifitas dari mereka masing-masing. Selama ini kami melihat itu…. Ya… semacam gap di dalam satpam itu sendiri. Karena ada perbedaan ada yang tua dan ada yang muda-muda. Ya itu tadi. Apa ada meri atau apa. Kok enak? Begitu juga dengan kehadiran. Mungkin yang banyak berperan yang muda-muda. Waduh gimana ya…. Termasuk koordinator, itu yang sulit, kalau dibilangi ya cuma enggih-enggih gitu, tapi nggih ra kepanggih. Sepertinya dia kurang bisa mengkoordinir. Kalo status, status tenaga satpam tidak ada yang berstatus pegawai negeri, kesemuanya adalah tenaga kontrak, baik pegawai kontrak BLUD maupun kontrak kegiatan. Kalau untuk pendapatan selain gaji, satpam juga mendapatkan pooling. Tetapi selain itu tidak mendapatkan workload atau penghasilan yang lain. Lha mungkin karena itu, banyak yang mempunyai problem, banyak yang mempunyai pekerjaan sambilan. Ya seperti itu permasalahannya. Permasalahan yang kompleks. (T2, 57 tahun).
122
2. Admisi Unit admisi terdiri dari admisi rawat inap dan admisi rawat jalan. Admisi rawat jalan melayani pasien yang ingin mendapatkan pelayanan di poliklinik rawat jalan ataupun instalasi penunjang. Pada unit ini pasien dan keluarga dijelaskan bagaimana proses pasien melakukan suatu pendaftaran sampai dengan menerima pelayanan yang dituju sampai dengan pasien mendapatkan informasi tentang rawat inap atau rawat jalan. Di rawat jalan selain dilakukan pendaftaran tetapi juga bisa dilakukan penerbitan SEP (Surat Elegalibilitas Pelayanan) pelayanan rawat jalan bagi pemegang asuransi kesehatan BPJS. Tetapi
tempatnya terpisah dengan tempat
pendaftaran pasien dan penerimaan pasien. Berikut disampaikan pernyataan informan saat diajukan pertanyaan tentang bagaimana pendapat informan terhadap proses pendaftaran rawat jalan, seperti yang hasil wawancara di bawah ini: “ Pendaftaran pasien sama pendaftaran BPJS ngga sama tempatnya. Antrinya lama saat di BPJS. Kalo pasiennya ngga ikut antri. Soalnya pasiennya diturunkan dulu di ruang tunggu Poliklinik ngga ngikut antri” (K2, 50 tahun) Berikut pernyataan informan yang lain saat diajukan pertanyaan tentang bagaimana pendapat informan terhadap proses pendaftaran rawat jalan, seperti yang hasil wawancara di bawah ini: “Untuk pendaftaran.. untuk bagian pendaftaran bagus.. lancar, nggak ada hambatan apa-apa..... Kalau untuk bagian pendaftaran lancar-lancar saja, nggak ada hambatan. Apalagi sekarang pasien langsung ngantri di depan poli, hanya keluarga yang antri di loket. Jadi pasiennya ndak ikut capek. Yang lama ngantri itu di BPJS
123
untuk pembuatan surat jaminannya yang agak lama. Karena pasiennya banyak.” (K4, 37 tahun) Admisi rawat inap melayani pasien yang akan dilakukan rawat inap. Pada unit ini pasien dan keluarga dijelaskan
bagaimana proses pasien
melakukan suatu pendaftaran sampai dengan menerima pelayanan yang dituju sampai dengan pasien mendapatkan informasi tentang rawat inap. Berikut pernyataan informan saat diajukan pertanyaan tentang bagaimana kesan yang diterima informan saat melakukan pendaftaran rawat jalan, seperti hasil pernyataan di bawah ini: “Waktu mendaftar pasien rawat inap, saya ditanya punya kartu BPJS atau umum, juga dijelaskan tentang persyaratan-persyaratan yang harus dilengkapi mbak. Petugasnya nerangkan satu-satu.” (K3, 24 tahun) Sesuai standar pelayanan admisi, admisi rumah sakit selain melakukan pendaftaran pasien juga mengidentifikasi penggunaan asuransi kesehatan, salah satunya adalah penerbitan jaminan rawat inap atau disebut dengan SEP (Surat Elegalibilitas Peserta). Penerbitan SEP belum bisa dilakukan di Admisi rawat inap. Pelayanan yang dilakukan masih bersifat pendaftaran pasien. Berikut pernyataan informan saat diajukan pertanyaan tentang bagaimana proses administrasi pasien rawat inap yang berstatus peserta BPJS seperti hasil wawancara berikut ini : “Pembuatan SEP belum bisa di admisi rawat inap. Hanya bisa dilakukan di admisi rawat jalan. Jam kerjanya hanya jaga pagi. Jadi kalo datangnya sore, ya besok paginya. Kalo pasiennya rawat inap ya nanti hanya diberikan jaminan pelayanan sementara. Setelah sampai di ruangan dibuatkan pengantar rawat inap dari ruangan yang ditempati ke admisi rawat jalan untuk pembuatan SEP
124
terutama pasien BPJS. Kendala yang sering ditemui, petugas admisi rawat inap tidak bisa langsung memverifikasi kepesertaan BPJS dari pasien yang dilayani. Sehingga sulit saat pemberian layanan apakah sesuai hak peserta BPJS atau umum.” (Ad3, 50 tahun) Seluruh unit di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo telah terhubung dalam SIM (Sistem Informasi Manajemen) sehingga memudahkan untuk memperoleh data tentang riwayat pasien melakukan kunjungan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo, begitu pula untuk pendaftaran pasien ataupun transaksi pembayaran atau keuangan atau disebut juga dengan Billing System. Untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan berbagai proses palayanan di ruang perawatan, pasien dapat mengetahuinya melalui admisi rawat inap. RSUD Dr. Harjono S Ponorogo tersedia billing system untuk mempercepat tahapan pelayanan kepada masyarakat. Billing system merupakan suatu bentuk program aplikasi komputer yang digunakan untuk melakukan transaksi baik rawat inap maupun rawat jalan serta penunjang medis lainnya secara online. Dengan adanya sistem ini data hanya perlu dimasukkan dari satu bagian layanan saja dan secara otomatis bagian layanan yang lain akan mencatatnya. Hal ini tentu akan memberikan kemudahan dan menambah kecepatan dalam prosedur pelayanan kepada pasien terutama pada bagian admisi. Berikut pernyataan informan saat diajukan
pertanyaan
tentang
peran
sistem
komputerisasi
dalam
meningkatkan kelancaran pemberian layanan admisi, seperti pernyataan di bawah ini: “Dengan sistem komputerisasi sangat membantu untuk mendapatkan informasi tentang kunjungan pasien dan data data dasar lain yang diperlukan. Selain itu bagian lain yang melakukan
125
input data, langsung bisa kita terima, terutama yang berkaitan dengan pembayaran. Untuk input data yang berkaitan dengan data hasil pemeriksaan penunjang belum bisa. Cuman data di komputer ini kadang-kadang tidak sama karena ada yang kurang teliti memasukkannya. Terutama tentang keadaan pasien. kadang pasien sudah pulang tetapi di komputer masih ada. Belum dilogin pulang.” (Ad2, 25 tahun) Sesuai dengan standar APK ( Aksesibilitas dan Kontinuitas Pelayanan) di standar akreditasi rumah Sakit versi KARS tahun 2012, sistem pelayanan admisi di RSUD Dr.Harjono S Ponorogo diakui cukup baik ditandai dengan RSUD Dr. Harjono Ponorogo terakreditasi dengan peringkat paripurna. Berikut pernyataan informan saat diajukan pertanyaan tentang kualitas pelayanan yang diberikan unit admisi, sesuai dengan pernyataan informan penelitian di bawah ini : “Untuk pelayanannya menurut saya itu sudah bagus, karena kita sudah lulus paripurna, sudah terstandar akreditasi, berarti kualitas pelayanan sudah bagus, sudah sesuai dengan SPO yang ada”. ( Ad1, 56 tahun) Meskipun diakui bahwa pelayanan sudah cukup baik tetapi ada beberapa keluhan-keluhan dari pelanggan terhadap pelayanan di admisi rawat inap terutama tentang cara berkomunikasi dan penyampaian terhadap pasien ataupun keluarga pasien. Sesuai dengan pernyataan subyek penelitian di bawah ini : “ ….. itu tergantung masing-masing orangnya, ada yang galak ada juga yang baik tapi untuk sekarang ini pelayanan terhadap pasien sudah bagus, misal saja ada yang kurang baik itu maklum namanya juga melayani orang banyak mungkin maksud dia baik tapi ternyata kita yang menerimanya kurang baik kan bisa saja..” (K5, 55 tahun)
126
Kendala-kendala yang dihadapi saat melayani pasien di admisi adalah persediaan formulir-formulir yang diperlukan saat pasien rawat jalan ataupun pasien rawat inap. Ketersediaan formulir di gudang non medis sangat terbatas. Hal ini akan mempengaruhi respon petugas saat melayani pasien atau keluarga di bagian admisi. Perencanaan permintaan barang cetakan selalu terencana tetapi tetap ada kendala dalam penyediaan di unit. Berikut pernyataan informan saat diajukan pertanyaan tentang kendalakendala yang dialami dalam administrasi admisi, seperti pernyataan subyek penelitian di bawah ini: “Formulir-formulir ini sering kehabisan stok, padahal kita selalu memerlukannya setiap saat. Kita sebenarnya selalu menyiapkan permintaan 1 bulan sebelumnya. Mungkin karena formulirnya sering gonta ganti dengan yang baru ya…. Sehingga cepet habis stok di gudang. Ya kalo habis terpaksa kita fotokopi. Itu kita lakukan kalo bener-bener habis.” (Ad1, 56 tahun) Selain kendala dalam penyediaan barang cetakan, kendala lain di admisi rawat inap ataupun rawat jalan adalah ketersediaan rekam medik sesuai dengan pasien yang akan menerima pelayanan rawat inap atau rawat jalan. Hal ini disebabkan karena lokasi penyimpanan berkas rekam medis berada di gedung yang berbeda dan lokasinya cukup jauh. Permasalahan muncul apabila berkas rekam medis belum ada sedangkan pasien sudah menunggu cukup lama. Selain itu berkas rekam medis belum kembali ke tempat penyimpanan atau bagian Filling karena masih terkendala pengisian berkas yang belum lengkap atau masih dilakukan verifikasi oleh tim verifikator BPJS. Berikut pernyataan subyek penelitian yang terkait tentang
127
ketersediaan berkas rekam medis, pada saat pasien lama melakukan kunjungan di rawat jalan ataupun kunjungan IGD untuk rawat inap : “……. Kalo pasien sudah waktunya kontrol, tapi Rekam medis masih belum kembali, nah itu repotnya. Kita harus nelpon satu satu dimana nyantolnya. dan itu perlu waktu. Itu kalo rawat jalan. Kalo rawat inap, penyimpanan rekam medis kan di gedung Filling. Lha itu kan jauh. Kadang-kadang kita kumpulin dulu, kalo udah dapet beberapa baru diambil. Kalo ngambilnya satu satu…. Waduh capek mbak… belum lagi kalo malem hari. Belum lagi kalo pasiennya her opname trus baru pulang…. Itu juga repot.” (Ad1, 56 tahun) Selain yang diuraikan di atas kendala-kendala yang dihadapi saat melayani pasien di admisi adalah kekurangan tenaga yang ada di admisi saat malam hari, seperti yang disampaikan informan di bawah ini : “ Kalo kerjasama dalam tim tidak ada masalah Bu. Permasalahannya mungkin yang jaga malem yang sering mengeluh. Karena yang jaga cuma 1 orang, kalo 2 orang kan bisa bergantian, yang 1 melayani yang satu istirahat, selain itu juga lebih cepat nanti melayaninya.” (Ad2, 25 tahun) Saat ditanyakan tentang permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pembagian jasa pelayanan dalam remunerasi, salah satu informan menyampaikan : “ Keluhannya JM sama yang lama sama yang baru kok berbeda. Itu katanya temen-temen. Wah ini baru masuk kok sudah segini-segini. Saya yang sudah lama di sini kok cuma segini, jauh di bawahnya. Ada temen-temen yang punya pendapat seperti itu. Takutnya nanti akan mempengaruhi pelayanan. Kalo saya sendiri sih tidak masalah, yang penting disyukuri saja. (Ad2, 25 tahun) Hal yang senada juga disampaikan oleh informan yang lain di Admisi rawat jalan, saat ditanyakan tentang permasalahan pembagian jasa pelayanan.
128
3. IRD Pelayanan
gawat darurat merupakan pelayanan yang dapat
memberikan tindakan yang cepat dan tepat pada seorang atau kelompok orang agar dapat meminimalkan angka kematian dan mencegah terjadinya kecacatan yang tidak perlu. Tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal pada pasien dalam penanganan tingkat kegawatdaruratan sehingga mampu mencegah resiko kecacatan dan kematian. Pendapat yang disampaikan oleh informan tentang respon petugas di IGD saat memberikan pelayanan disampaikan oleh K2 seperti pernyataan berikut ini : “Ibu saya sudah lama menjadi pelanggan RSUD karena sering cuci darah. Kadang-kadang langsung ke HD (hemodialisa), tapi kalo tiba-tiba sesak… yo tak bawa ke IGD aja biar cepet ditangani. Ibu saya yo langsung ditangani kok”. (K2, 50 tahun). Saat diajukan pertanyaan “Bagaimana sambutan dan pelayanan di IGD saat jam-jam dinas yang rawan?”, jawaban yang dikemukakan subyek penelitian seperti yang tertulis berikut ini : “Pelayanan penerimaan pasien sudah baik dan cepat tanggap. Meskipun saya datangnya malam menjelang pagi tapi petugasnya juga sudah siap di tempat. Ngga ada juga petugasnya yang tidak ramah, semuanya ramah ramah dan ditangani dengan cepat.“ (K1, 57 tahun) Fokus asuhan dasar diberikan oleh pemberi asuhan yang berpusat kepada pasien dilakukan mulai pasien datang dengan pemberian informasi kepada pasien atau keluarga tetap diberikan kepada pasien mulai dilakukan saat pemilahan pasien di IGD. Pernyataan yang disampaikan informan saat ditanyakan tentang bagaimana proses pemilahan pasien yang ada di IGD seperti yang dikemukakan berikut ini :“Pasien yang datang di IGD selalu
129
dilakukan triase sesuai kategori. Dan dilakukan tindakan sesuai dengan kegawatannya. Semuanya ini selalu diberitahukan kepada keluarga pasien.” (P1, 46 tahun). Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan informan yang lain, berikut pernyataannya : “Pemberian pelayanan admisi di IGD saya kira sudah sesuai dengan standar, karena kita selalu berpegang pada SPO, baik itu SPO Triase, SPO Transfer bahkan kalo ada penundaan pelayanan, semuanya selalu diinformasikan kepada pasien atau keluarganya.” (P2, 47 tahun).
Tentang pelayanan yang diberikan di IGD ada beberapa keluhankeluhan dari pelanggan terhadap pelayanan di IGD terutama tentang pelayanan
administrasi
dan
pelayanan
farmasi.
Pernyataan
yang
disampaikan informan saat ditanyakan tentang bagaimana pendapat informan terhadap proses peresepan obat yang dilakukan di IGD, seperti yang ditulis di bawah ini : “…… mbolak mbalik mbak kalo beli obat. Waktu mau diinfus, mau disuntik kan dikasih resep sama dokternya. Beli obatnya keluar stelah itu mbalik ke IGD, setelah dari IGD mbalik lagi ke kasir. Pokoknya mbolak mbaliklah mbak. Dulu ngga begitu lho, barubaru ini saja. Harusnya kan ngga begitu.” (K2, 50 tahun). Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan informan lain tentang pelayanan yang seharusnya bisa dilakukan di IGD tetapi harus dirujuk ke rumah sakit lain. Berikut pernyataan yang disampaikan oleh informan saat ditanyakan tentang bagaimana pelayanan IGD terutama penanganan kasus-kasus emergensi bedah dan bedah orthopedi : “Pelayanan di IGD masih ada kendala, kasus emergensi yang seharusnya bisa dilakukan di sini, dan masuk IGD, ternyata tidak bisa dilakukan. Contohnya kasus bedah dan kasus Orthopaedi.
130
Tidak bisa dilakukan cyto di sini. Salah satunya karena belum ada OK cyto di IGD. Ada OK di IGD tapi miliknya Bedah Saraf. Masyarakat Ponorogo pengennya ditangani, hal ini menimbulkan image bahwa RSUD belum bisa menangani dengan cepat” (P2, 47 tahun) Pernyataan yang disampaikan informan tentang kendala-kendala saat menjalankan SMART Service Admission di IGD saat ditanyakan tentang selain keterbatasan tenaga perawat yang melayani terutama saat proses pemilahan pasien tetapi juga pelatihan-pelatihan yang diperlukan petugas di triase belum pernah ada, seperti yang disampaikan oleh subyek penelitian berikut ini : “Di IGD petugas yang khusus menangani triase belum ada. Selain itu juga belum ada tempat khusus yang memadai untuk triase. Karena keterbatasan tenaga ini, jadi proses triase dilakukan di saat pasien sudah masuk ke IGD. Yang seharusnya dilakukan di depan, di triase maksudnya, langsung masuk ke dalam. Sampai di dalam kasusnya non kegawatandaruratan. Nah stelah ditangani ternyata tidak masuk dalam penjaminan BPJS. Karena begitu datang langsung dilabelling dan didokumentasikan. Selain itu khusus di triase kemampuan dalam klasifikasi penyakit dari segi SDM belum menguasai. ” (P2, 47 tahun) Berikut adalah pernyataan informan saat dikonfirmasi tentang bagaimana respon keluarga saat pemilahan pasien gawat dan tidak gawat menurut pengalaman informan di IGD : “Saya kira pasien dan keluarga menerima kalau yang tidak gawat darurat ditangani di ruang non urgent, tapi kalo dari awal sudah disampaikan, adanya miss komunikasi bisa diperkecil bila dilakukan skrining awal.” (P1, 46 tahun) Salah satu pernyataan dari
informan saat
ditanyakan
bagaimana
perencanaan yang dilakukan IGD tentang usulan pelatihan-pelatihan yang
131
diperlukan untuk tenaga IGD. Berikut pernyataannya : “Perencanaan dalam RKU sudah ada tentang usulan pelatihan, terutama pelatihan triase sesuai anjura surveyor KARS kemarin saat akreditasi tetapi masih menunggu realisasi.” ( P2, 47 tahun). Kekurangan tenaga di IRD saat transfer pasien intra hospital dapat dipenuhi dengan adanya tenaga pendorong. Sedangkan pengelolaan tenaga pendorong ini tidak di bawah koordinasi dari Instalasi Rawat Darurat sehingga mempersulit dalam pengelolaan dan pelaksanaan. Berikut adalah pernyataan informan saat diajukan pertanyaan tentang peran serta tenaga pendorong dalam pelaksanaan pelayanan di IRD, seperti yang disampaikan berikut ini : “Sesungguhnya tenaga pendorong sangat membantu untuk pelayanan IGD karena bisa mengcover tenaga IGD untuk mengurusi persediaan dan prasarana di IRD juga untuk persiapan transfer pasien. tetapi status pengelolaan tenaga pendorong ini belum jelas, maksudnya belum masuk ke bagian IGD.” Hal seperti ini sangat mempengaruhi dalam pengelolaan jasa. Karena masalah remunerasi seperti ini juga menjadi kendala dan mempengaruhi semangat kerja. Kalo dengan score index yang sama harusnya sama dapatnya, tidak seperti sekarang.” (P2, 47 tahun) Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja pemberi pelayanan yang terkait dalam pelaksanaan SMART Service Admission yang berkaitan dengan pengetahuan, kemampuan dalam memberikan pelayanan, kedisplinan, jenjang karir dan punishment serta evaluasi kinerja di Instalasi Gawat Darurat. Berikut pernyataan dari informan saat diajukan pertanyaan tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kinerja
petugas
dalam
melaksanakan SMART Service Admission adalah sebagai berikut : “Belum tertata dengan baik dari bagian ke bagian. Mulai satpam saja dalam penyambutan pasien belum menjiwai. Kenapa kok
132
belum menjiwai? Karena kurangnya pengetahuan, kemampuan dan rewardnya. Karena yang berprestasi dengan yang tidak berprestasi, rewardnya sama. Jenjang karirnya sama. Yang disiplin dengan yang tidak disiplin semuanya sama. Karena punishment juga belum ada. Harusnya ada ketentuan atau alat ukur untuk evaluasi kinerja dengan obyektif dan terbuka, sehingga semua orang bisa mengetahuinya.” (P2, 47 tahun) Pernyataan yang senada juga disampaikan oleh informan sebagai tenaga pendorong pasien, berikut pernyataannya : “ Saat pasien ada yang datang, ini petugasnya ngga ada. Lho kok ngga ada? Lha itu petugasnya lagi istirahat ngopi. Lha tapi itu kesadaran masing-masing Bu, kalo istirahat ya gentian, jangan semuanya ngga ada. Kalo masalah kesejahteraan, ya dibilang cukup ya cukup, dibilang kurang ya kurang, sulit mengatakannya Bu. Ya mohonlah kesejahteraan kami ini diperhatikan biar sebandinglah.” (PP, 42 tahun) 4. Pasien dan Keluarga Dari hasil wawancara dengan informan penelitian baik pasien atau penunggu pasien didapatkan data bahwa hampir keseluruhan subyek penelitian menyatakan bahwa pemberian pelayanan pada saat awal masuk rumah sakit atau admisi sudah mempunyai sistem yang cukup baik. Keberlangsungan sistem pemberian
pelayanan admisi
di RSUD Dr.
Harjono S Ponorogo telah menekankan pada aspek kesinambungan dan keutuhan dari bagian-bagian yang terkait dalam
pemberian pelayanan
admisi baik pasien rawat jalan maupun rawat inap. Berikut kutipan pernyataan informan mengenai sistem pelayanan admisi di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo adalah sebagai berikut: “Pelayanan yang dulu dengan sekarang sebenarnya mampir sama Bu, tapi sekarang ini pelayanannya
133
lebih baik dan cepet langsung ditangani. Pemberitahuan masuk ke kamar pasien juga cepet kok.” (K5, 55 tahun). Menurut subyek penelitian, pelayanan yang diberikan mulai dari tempat pendaftaran sudah lebih baik dibandingkan dengan yang sebelumnya. Respon terhadap pasien dalam memberikan pelayanan juga dirasakan lebih cepat. Keramahan petugas terhadap pasien atau keluarga yang datang berkunjung juga lebih baik. Berikut pernyataan yang disampaikan oleh subyek penelitian saat ditanyakan tentang kualitas pelayanan di admisi : “Pelayanan Meskipun petugasnya yang tidak cepat.“
penerimaan pasien sudah baik dan cepat tanggap. ibu saya datangnya malam menjelang pagi tapi juga sudah siap di tempat. Ngga ada juga petugasnya ramah, semuanya ramah ramah dan ditangani dengan (K2, 57 tahun)
Berikut ini adalah pernyataan pelanggan RSUD Dr. Harjono S Ponorogo tentang pemberian penjelasan oleh petugas tentang pelayanan yang harus diterima di IGD : “Setiap akan dilakukan tindakan di IGD saya juga diberitahu, kalo masih nunggupun saya juga dikasih tau kok. Kalo yang kemarin itu waktu kamar masih penuh saya diberitahu harus menunggu dulu. Kalo itu saya ya maklum wong pasiennya juga banyak.” (K1, 57 tahun) Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan informan yang lain, berikut pernyataannya : “Saya kira pelayanannya sudah bagus semua, Contohnya kalo pas kamarnya penuh ya mesti dikasih tau kok, kita mau menunggu sampe kamarnya tersedia atau gimana. Dan kalo nerangkan juga sabar sabar kok petugasnya. Saya kan sudah langganan dari dulu. Ibu saya kan rutin HD.” (K2, 50 tahun)
134
Berikut ini adalah pernyataan pelanggan RSUD Dr. Harjono S Ponorogo tentang kesan terhadap pelayanan diterima saat dilakukan pendaftaran rawat inap : “Kalo sekarang ini ndaftar pasien rawat inap jadi agak lama mbak… lembaran yang harus ditandatangani lebih banyak mbak. Juga banyak yang dijelaskan ke kami, seperti peraturan-peraturan, trus kalo nitip barang juga ada aturannya. Tapi ya ngga papa, wong demi kebaikan kok.” (K4, 37 tahun) Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan informan yang lain, berikut pernyataannya : “Sekarang petugasnya muda-muda, ya dokternya ya perawatnya, ya yang petugas di depan muda-muda semua, gek semuanya sabarsabar ndak ada yang galak kaya dulu. Kalau menurut saya sih bagus ya, kalau kekurangannya kayaknya nggak, dokternya semua bagus, perawatnya juga enak, gitu aja. Hehehehe.” (K3, 24 tahun) Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan informan yang lain di bawah ini, berikut pernyataannya : “Pelayanannya lebih bagus yang sekarang mbak… Sekarang ada jam kunjungnya, trus setiap berapa menit sekali ada pemberitahuan lewat speaker, trus kamar mandinya juga bersih, pokoknya semuanya jadi lebih baik kok mbak… cuman kalo pas pulang, administrasinya agak lama, jadi harus lebih sabar.” (K1, 57 tahun)
135
BAB V PEMBAHASAN
Dalam pembahasan hasil penelitian Kualitas Pelayanan Admisi Dengan SMART Service Admission Di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo meliputi deskripsi karakteristik pelayanan Admisi dengan SMART Service Admission di RSUD dr Harjono S Ponorogo, deskripsi masalah-masalah yang berhubungan dengan admisi pasien rawat inap dan rawat jalan di RSUD dr. Harjono S Ponorogo dan faktor pendukung dan penghambat kualitas pelayanan admisi dengan SMART Service Admission dalam memberikan kepuasan masyarakat di RSUD dr Harjono S Ponorogo. Saat pengambilan data yang melibatkan informan kunci, beberapa informan kunci justru kurang bisa memberikan jawaban yang terkait dengan SMART Service Admission. Ini berarti pemangku kebijakan yang terkait belum memahami secara baik terutama segi filosofi SMART Service Admission. Berikut uraian pembahasannya : 1. Admisi dengan SMART Service Admission SMART Service Admission berawal dari perubahan paradigma pelayanan kesehatan yang berkembang dengan pesat, yang dulunya berfokus pada pemberi pelayanan telah beralih menjadi berfokus pada keselamatan pasien, di mana rumah sakit wajib menjaga keselamatan pasien secara konsisten dan terus menerus. Kegiatan SMART Service Admission merupakan proyek baru yang sebelumnya belum dilaksanakan di RSUD dr Harjono S Kabupaten Ponorogo, perubahan paradigma pasien Centered Care yang
136
menuntut pelayanan kesehatan memfokuskan semua pelayanan berfokus pada keselamatan pasien. Perubahan tersebut membuat proyek SMART Service Admission yang intinya menyambut, mengidentifikasi kebutuhan pasien, mengedukasi dan membuat kesepakatan dengan pasien dan keluarga, serta harus memprioritaskan pelayanan mendahulukan pasien dengan tingkat kegawatdaruratan tinggi, memerlukan kemampuan koordinasi, konsolidasi, dan staffing untuk mewujudkanya. Konsep SMART Service Admission ini merupakan salah satu konsep pelayanan berfokus pada pasien, di mana kebutuhan pasien merupakan pusat yang akan dilakukan asuhan secara terpadu mulai pasien dan keluarga memasuki kawasan Rumah Sakit. SMART Service Admission adalah pengelolaan pasien yang akan rawat jalan dan rawat inap, sehingga sesuai dengan tujuan yang diharapkan yaitu pasien dan keluarga mendapat sambutan yang ramah dengan senyum, disambut
dengan
menskrining risiko serta memberikan pelayanan sesuai kebutuhan dan prioritas kegawatdaruratan, menginformasikan tentang kondisi pasien tindakan dan pengobatan yang akan diberikan. Permasalahan-permasalahan yang muncul dalam SMART Service Admission meliputi pemenuhan sumber daya manusia, pemenuhan sarana prasarana dan alur pemberian pelayanan SMART Service Admission. a. Satpam Satpam dalam SMART Service Admission mempunyai peran ganda yakni sebagai tenaga keamanan dan juga sebagai tenaga yang pertama kali menyambut pasien dan keluarga di pintu gerbang RSUD Dr. Harjono S
137
Ponorogo sekaligus melakukan skrining visual untuk memilah pasien yang berkunjung ke rawat jalan, gawat darurat ataupun ke pelayanan PONEK. Tugas satpam juga mengarahkan pasien dan atau keluarga ke tempat pelayanan yang dituju, tugas ini merupakan tugas tambahan yang diberikan kepada satpam selain tugas pokok dan fungsi sebagai tenaga pengamanan. Permasalahan yang muncul dengan peran ganda ini adalah kekurangan tenaga satpam, apabila ditinjau dari jumlah satpam yang ada dibandingkan dengan luas bangunan dan luas area pengamanan. Keadaan fisik bangunan satpam sangat tidak menunjang untuk mendukung pelaksanaan SMART Service Admission terutama pos jaga satpam yang berada di pintu masuk utama rumah sakit. Pos satpam ini menyulitkan satpam untuk keluar dari gedung, karena pintu membelakangi pintu masuk utama rumah sakit, sehingga harus memutar. Selain posisi pintu yang tidak mendukung, apabila satpam tidak keluar dari pos, komunikasi dengan pasien atau pengantar pasien bisa dilakukan melalui jendela kaca. Jendela kaca ini bersifat permanen sehingga tidak bisa dibuka, sedangkan bagian yang terbuka ada di bagian atas sehingga menyulitkan saat berkomunikasi, karena sebagian besar tidak mendengar apa yang disampaikan oleh satpam. Apabila ada pasien atau tamu yang datang, respon menyambut terhadap kedatangan menjadi lama, karena satpam harus keluar dari gedung, memutar keluar baru bisa menemui pasien tersebut. Pada saat menyambut dan melakukan skrining visual akan menyebabkan antrian mobil yang ada di belakangnya karena harus memberhentikan mobil tersebut untuk
138
melihat pasien dari dekat dan memerlukan waktu dalam beberapa menit. Masalah ini akan memicu kemacetan, oleh karena di depan pintu masuk RSUD Dr. Harjono S Ponorogo merupakan jalan
raya utama yang
menghubungkan Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Pacitan. Pengusulan terhadap perubahan bentuk pos satpam sudah diusulkan oleh koordinator satpam, tetapi belum ada tindak lanjut dari pihak manajemen. Sesuai dengan pernyataan subyek penelitian
saat diajukan
pertanyaan bagaimana mekanisme yang dilakukan saat mengetahui desain bangunan satpam tidak sesuai dengan harapan pengguna. Pengusulan perubahan ini salah satunya disesuaikan dengan Pedoman Bangunan Dan Prasarana Rumah Sakit Kelas B dari Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik Dan Sarana Kesehatan Sub Direktorat Bina Sarana Dan Prasarana Kesehatan Tahun 2012. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Badan Layanan Umum Daerah, dijelaskan bahwa Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pola Pengelolaan Keuangan BLUD, yang selanjutnya disingkat PPK-BLUD adalah pola pengelolaan keuangan yang
139
memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktekpraktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. Pada BAB II pasal 2 ayat 7 disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan dan meningkatkan layanan kepada masyarakat, BLUD diberikan fleksibilltas dalam pengelolaan keuangannya. Sehingga apabila menganut aturan di atas,
perencanaan dan realisasi
perubahan pos satpam bisa segera dilakukan mengingat RSUD Dr. Harjono S Ponorogo sudah berbentuk PPK BLUD (Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah) RSUD Dr. Harjono S Ponorogo mulai tanggal 1 Januari 2012 berdasarkan Peraturan Bupati per 25 April 2011 nomor 545 tahun 2011 tentang penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) atau secara penuh pada Rumah Sakit Daerah (RSUD) Dr. Harjono S Ponorogo dengan status sebagai PPK-BLUD dan perpindahan RSUD Dr. Harjono S Ponorogo dari lokasi lama ke lokasi baru sudah dijalani selama hampir 5 tahun ( terhitung sejak 11 November 2011). Sesuai dengan keleluasaan dan fleksibilitas keuangan yang dimiliki oleh perangkat kerja pemerintah daerah yang berbentuk BLUD, seharusnya bisa segera terealisasi untuk menunjang peningkatan kualitas admisi. Perilaku satpam dalam memberikan pelayanan SMART Service Admission, ada beberapa hal yang menjadi permasalahan yaitu :
140
ketidakdispinan,
ketidakhadiran
dan
keenganan
dalam
memberikan
pelayanan terkait dengan SMART Service Admission serta kurangnya pengawasan dan evaluasi dari pihak yang berwenang. Selain permasalahan di atas juga adanya ketidakpuasan yang dialami oleh satpam dalam penerimaan reward
berupa jasa pelayanan. Hal ini disebabkan adanya
pemahaman yang kurang sehingga menyebabkan perbedaan persepsi di tataran pemberi pelayanan langsung. Ketidakpuasan ini muncul karena adanya “gap” antara kelompok junior dan kelompok senior. Dan adanya perbedaan dalam pelaksanaan beban kerja dari masing-masing individu. Menurut Lawrence W Green (1988), perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia, sedang dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia. Perilaku manusia (human behavior) merupakan reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks. Pada manusia khususnya terdapat bentuk-bentuk perilaku instinktif (species-specific behavior) yang didasari oleh kodrat untuk mempertahankan kehidupan. Perilaku manusia merupakan hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Secara lebih terinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya.
141
Perilaku manusia yang muncul dari kelompok satpam sangat dipengaruhi oleh faktor perilaku dan faktor di luar perilaku. Determinan kesehatan dalam hal ini yang sangat berkaitan adalah faktor predisposisi yang
merupakan
penyebab
perubahan
perilaku.
Ketidakhadiran,
ketidakdisiplinan dan keenganan ini berawal dari predisposing factor yaitu adanya ketidakpuasan akan reward yang mereka terima sebagai bentuk pengakuan. Selain itu disebabkan motivasi kinerja yang kurang pada kelompok satpam kerena pengawasan dan evaluasi yang rendah. b. Unit admisi Unit Admisi atau yang sebelumnya disebut dengan Tempat Pendaftaran Pasien adalah satu unit yang yang bertugas menerima pasien rawat inap atau pasien rawat jalan berdasarkan kebutuhan pelayanan kesehatannya yang disesuaikan dengan misi dan sumber daya rumah sakit tergantung pada asesmen kebutuhan pasien dan skrining pada kontak pertama. Unit admisi terdiri dari admisi rawat jalan dan admisi rawat inap. Unit admisi rawat inap berada di depan sebelah kiri dari Instalasi Rawat Darurat. Gedung admisi rawat inap berada di depan sebelah kiri dari pintu masuk Instalasi Rawat Darurat. Luas gedung admisi rawat inap sebesar 32 meter persegi. Fasilitas yang ada meliputi meja kursi kantor,
3 set
komputer, 2 buah printer hitam putih, 1 pencetak kartu kunjungan rumah sakit dan almari. Ruangan ini belum dilengkapi dengan pendingin ruangan, hanya dilengkapi dengan 2 kipas angin dinding. Menurut petugas admisi rawat inap, fasilitas yang tersedia di unit admisi rawat inap ini kurang
142
memadai. Salah satunya adalah belum adanya pendingin ruangan. Suasana ruangan terasa panas apalagi hanya difasilitasi dengan 2 kipas angin dinding. Kekurangan fasilitas yang dimiliki oleh unit admisi rawat inap dan rawat
jalan
sifatnya
hampir
sama
dengan
bagian
satpam.
Kekuranglengkapan sarana dan prasarana sudah melewati pengusulan dan belum dilakukan perubahan atau penambahan, sedangkan hal tersebut bersifat sangat penting dalam peningkatan kualitas pelayanan di admisi. Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Badan Layanan Umum Daerah BAB II pasal 3 yang berbunyi PPK-BLUD bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain sarana dan prasarana yang kurang memadai, dari hasil wawancara juga didapatkan permasalahan tentang SIMRS (Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit) yang belum bisa memberikan informasi yang terintegrasi akuntabel dan transparan secara lebih lengkap, yang bisa meningkatkan pelayanan admisi. Sistem informasi Manajemen sudah berjalan baik di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo, tetapi hanya memberikan informasi dasar tentang data pasien baik rawat jalan maupun rawat inap, belum mampu mengintegrasikan keseluruhan informasi yang diperlukan di rumah sakit. Selain itu pelayanan administrasi pasien BPJS yang akan rawat inap tidak bisa dilakukan saat itu juga terutama tentang penerbitan SEP dan
143
verifikasi keanggotaan, hanya bisa dilakukan di admisi rawat jalan, yang hanya memberikan pelayanan di shift pagi. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2013 Pasal 3 Tentang Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit bahwa Setiap Rumah Sakit harus melaksanakan pengelolaan dan pengembangan SIMRS. Dijelaskan juga di ayat 4 bahwa Pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan SIMRS harus mampu meningkatkan dan mendukung proses pelayanan kesehatan di Rumah Sakit yang meliputi: 1. kecepatan, akurasi, integrasi, peningkatan pelayanan, peningkatan efisiensi, kemudahan pelaporan dalam pelaksanaan operasional; 2. kecepatan mengambil keputusan, akurasi dan kecepatan identifikasi masalah dan kemudahan dalam penyusunan strategi dalam pelaksanaan manajerial; 3. budaya kerja, transparansi, koordinasi antar unit, pemahaman sistem dan pengurangan biaya administrasi dalam pelaksanaan organisasi. Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit yang selanjutnya disingkat SIMRS adalah suatu sistem teknologi informasi komunikasi yang memproses dan mengintegrasikan seluruh alur proses pelayanan Rumah Sakit dalam bentuk jaringan koordinasi, pelaporan dan prosedur administrasi untuk memperoleh informasi secara tepat dan akurat, dan merupakan bagian dari Sistem Informasi Kesehatan. Sistem Informasi dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pelayanan data dan informasi dengan lebih produktif, transparan, tertib, cepat, mudah, akurat, terpadu, aman dan efisien,
144
khususnya
membantu
dalam
memperlancar
dan
mempermudah
pembentukan kebijakan dalam meningkatkan sistem pelayanan kesehatan khususnya dalam bidang penyelenggaraan Rumah Sakit. Pernyataan di atas juga didukung dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Badan Layanan Umum Daerah BAB XIII pasal 115 yang tentang Akuntansi, Pelaporan Dan Pertanggungjawaban menjelaskan bahwa BLUD menerapkan Sistem Informasi Manajemen keuangan sesuai dengan kebutuhan praktek bisnis yang sehat. Setiap transaksi keuangan BLUD dicatat dalam dokumen pendukung yang dikelola secara tertib. b. Instalasi Gawat Darurat Pada proses pre admission yang sifatnya elektif belum bisa dilakukan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. Penerimaan pesanan dari pasien atau keluarga yang ingin membuat perjanjian pertemuan dengan dokter di rawat jalan juga belum bisa dilakukan, karena meskipun sudah ada SIMRS (Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit) tetapi belum bisa menghasilkan data online. Salah satu penyebabnya adalah belum tertatanya sistem informasi dan tenaga di Instalasi Gawat Darurat yang belum memadai. Selain itu sistem antrian yang diberlakukan di rawat jalan masih bersifat manual belum komputerisasi. Kelemahan dari sistem admisi ini adalah belum bisa dilakukan penjadwalan dan perencanaan pada penerimaan pelayanan.
145
Sesuai dengan Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi 2012 Komisi Akreditasi Rumah Sakit tentang Akses Ke Pelayanan & Kontinuitas Pelayanan Admisi Ke Rumah Sakit standar APK 1 menyebutkan bahwa pasien diterima sebagai pasien rawat inap atau didaftar untuk pelayanan rawat jalan berdasarkan pada kebutuhan pelayanan kesehatan mereka yang telah diidentifikasi dan pada misi serta sumber daya rumah sakit yang ada. Skrining dapat terjadi di sumber rujukan, pada saat pasien ditransportasi emergensi atau apabila pasien tiba di rumah sakit. Hal ini sangat penting bahwa keputusan untuk mengobati, mengirim atau merujuk hanya dibuat setelah ada hasil skrining dan evaluasi. Hanya rumah sakit yang mempunyai kemampuan menyediakan pelayanan yang dibutuhkan dan konsisten dengan misinya dapat dipertimbangkan untuk menerima pasien rawat inap atau pasien rawat jalan. Apabila rumah sakit memerlukan data tes skrining atau evaluasi sebelum penerimaan dan pendaftaran ditetapkan dalam kebijakan tertulis. Prinsip Admisi gawat darurat ini adalah melayani pasien gawat darurat yang sifatnya cedera atau penyakit akut yang tidak bisa ditangani di rawat jalan. Pada penanganan gawat darurat yang pertama adalah proses triase. Triase bisa dilakukan secara visual dan dilakukan di ruang triase. (Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan IGD 2014). Triase dilakukan di ruang terbuka di depan IGD dan dilakukan oleh perawat jaga triase yang merangkap perawat jaga di IGD.
Sesuai dengan
146
Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi 2012 Komisi Akreditasi Rumah Sakit
tentang Akses Ke Pelayanan &
Kontinuitas Pelayanan Admisi Ke Rumah Sakit,
Standar APK.1.1.1
dijelaskan bahwa pasien dengan kebutuhan darurat, mendesak, atau segera diberikan prioritas untuk asesmen dan pengobatan. Pasien dengan dengan
kebutuhan
darurat,
mendesak,
atau
segera
emergensi,
diidentifikasi dengan proses triase berbasis bukti. Bila telah diidentifikasi sebagai keadaan dengan kebutuhan darurat, mendesak, atau segera (seperti infeksi melalui udara/airborne), pasien ini sesegera mungkin diperiksa dan mendapat asuhan. Pasien-pasien tersebut didahulukan diperiksa dokter sebelum pasien yang lain, mendapat pelayanan diagnostik sesegera mungkin dan diberikan pengobatan sesuai dengan kebutuhan. Proses triase dapat termasuk kriteria berbasis fisiologik, bila mungkin dan tepat. Rumah sakit melatih staf untuk menentukan pasien yang membutuhkan asuhan segera dan bagaimana memberikan prioritas asuhan. Dari uraian di atas, dijelaskan bahwa triase dilakukan oleh perawat atau dokter yang sudah terlatih. Sedangkan petugas yang jaga di triase belum pernah dilatih triase, hanya memiliki sertifikat PPGD saja atau ATLS dan ACLS. Mekanisme perencanaan pelatihan bagi tenaga baik perawat ataupun dokter di Instalasi Gawat Darurat sudah dilakukan oleh kepala Instalasi Gawat Darurat sebelum 1 tahun berjalan. Realisasi dari perencanaan yang diajukan unit sangat terkait dari perencanaan program.
147
Keseluruhan dari perencanaan ini dirangkum dan dianalisa kemudian dimasukkan dalam DPA ( Daftar Pengusulan Anggaran). Keleluasaan penatausahaan keuangan di Badan Layanan Umum Daerah sangat membantu dalam realisasi perencanaan dan program. Tetapi dalam kenyataannya keleluasaan ini masih terbatas oleh aturan-aturan lain yang tumpang tindih sehingga menyebabkan kelambanan dalam pengambilan keputusan. Penatausahaan keuangan dapat diketahui pada RBA (Rencana Bisnis Anggaran) pada BLUD yang
berlandaskan pada pelaksanaan
Bisnis yang sehat tanpa mengejar keuntungan atau nirlaba. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Badan Layanan Umum Daerah pasal 67 dijelaskan bahwa pengeluaran biaya BLUD diberikan fleksibilitas dengan mempertimbangkan volume kegiatan pelayanan. Fleksibilitas pengeluaran biaya BLUD merupakan pengeluaran biaya yang disesuaikan dan signifikan dengan perubahan pendapatan dalam ambang batas RBA yang telah ditetapkan secara definitif. RBA merupakan penjabaran lebih lanjut dari
program dan kegiatan
BLUD dengan berpedoman pada pengelolaan keuangan BLUD. Sesuai dengan Standar Akreditasi RS versi KARS tahun 2012 di standar APK 1 bahwa pasien rawat inap dan rawat jalan diterima berdasarkan kebutuhan pelayanan kesehatan yang telah diidentifikasi melewati skrining pada kontak pertama. Tata cara penerimaan ataupun skrining pasien rawat jalan atau skrining pasien gawat darurat tercantum
148
dalam kebijakan RS, pedoman atau panduan atau SPO (Standar prosedur Operasional) yang disyahkan oleh Direktur RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. Penerbitan kebijakan ini selain merupakan salah satu syarat dalam akreditasi RS tetapi juga merupakan perubahan paradigma Patient Centered Care dan juga utuk meningkatkan kualitas pelayanan yang merupakan salah satu syarat sebagai BLUD yang harus selalu meningkatkan kinerja. Perencanaan pasien pulang (discharge planning) belum dilakukan secara optimal meskipun sudah ada formulir Clinical Pathway yang didalamnya sudah tercantum perencanaan pengobatan sampai dengan perencanaan pulang. Banyak permasalahan yang muncul dalam ini. Salah satunya adalah keengganan dalam melengkapi dokumen rekam medik dengan alasan terlalu banyak yang ditulis. Juga banyak sekali perubahan-perubahan dokumen rekam medik yang dilakukan, baik dari segi jumlah ataupun jenis formulir. Perubahan formulir yang sering ini sesuai dengan kebutuhan akreditasi, kadang-kadang menimbulkan keengganan dalam melengkapinya. Sesuai dengan Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi 2012 Komisi Akreditasi Rumah Sakit tentang Akses Ke Pelayanan & Kontinuitas Pelayanan Admisi Ke Rumah Sakit, Standar APK.3 tentang Pemulangan Pasien, Rujukan Dan Tindak Lanjut menjelaskan tentang ketentuan merujuk atau memulangkan pasien berdasarkan atas status kesehatan dan kebutuhan pelayanan selanjutnya.
149
Ada ketentuan atau kriteria bagi pasien untuk siap untuk dipulangkan dan apabila diperlukan, perencanaan untuk merujuk dan memulangkan pasien dapat diproses lebih awal dan apabila perlu mengikutsertakan keluarga.
b. Masalah-masalah yang berhubungan dengan admisi pasien rawat inap dan rawat jalan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. Unit admisi terdiri dari admisi rawat inap dan admisi rawat jalan. Admisi rawat jalan melayani pasien yang ingin mendapatkan pelayanan di poliklinik
rawat
jalan
ataupun
instalasi
penunjang.
Sedangkan
permasalahan yang muncul di admisi rawat jalan dan rawat inap adalah sebagai berikut : 1. Admisi Rawat Jalan Masalah-masalah yang muncul di admisi rawat jalan salah satunya adalah ketersediaan rekam medik sesuai dengan pasien yang akan menerima pelayanan rawat inap atau rawat jalan.
Hal ini
disebabkan karena lokasi penyimpanan berkas rekam medis berada di gedung yang berbeda dan lokasinya cukup jauh. Permasalahan muncul apabila berkas rekam medis belum ada sedangkan pasien sudah menunggu cukup lama. Selain itu sebagian berkas rekam medis belum kembali ke tempat penyimpanan atau bagian Filling karena masih terkendala pengisian berkas yang belum lengkap atau masih dilakukan verifikasi oleh tim verifikator BPJS. Hal ini tidak sesuai dengan standar kualitas mutu pelayanan RSUD Dr. Harjono S Ponorogo adalah
150
pengembalian status rekam medis adalah 2 x 24 jam sehingga belum terlaksana dengan sempurna. Ketenagaan admisi rawat jalan merangkap petugas informasi. Petugas admisi rawat jalan ini hanya ada satu orang, berada di Bagian Informasi dan juga merupakan petugas informasi. Sehingga mempunyai tugas ganda sebagai tenaga admisi dan juga sebagai tenaga yang memberikan informasi kepada pasien dan pengunjung. Tugas ganda ini dirasakan tidak terlalu memberatkan. Tetapi kadang-kadang agak merepotkan apabila ada dua tugas yang berbarengan. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah pasal 67 BAB IV tentang Prinsip Tata Kelola, Pasal 31 menjelaskan bahwa BLUD beroperasi berdasarkan pola tata kelola atau peraturan internal, yang memuat antara lain: struktur organisasi, prosedur kerja, pengelompokan fungsi yang logis, pengelolaan sumber daya manusia. Pada pasal 32 dijelaskan tentang pengelolaan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf d, merupakan pengaturan dan kebijakan yang jelas mengenai sumber daya manusia yang
berorientasi
pada
pemenuhan
secara
kuantitatif
dan
kualitatif/kompeten untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi secara efisien, efektif, dan produktif. 2. Admisi Rawat Inap
151
Masalah-masalah yang muncul di admisi rawat inap salah satunya adalah Penerbitan SEP (Surat Elegalibilitas Peserta) belum bisa dilakukan di Admisi rawat inap.
Penerbitannya ini hanya bisa
dilakukan di admisi rawat inap. Masalah yang muncul penyebabnya antara lain karena belum adanya jaringan yang bisa dipergunakan. Tetapi yang lebih penting adalah kekurangmampuan petugas yang ada di admisi rawat inap, berdasarkan pengamatan peneliti saat penelitian. Di admisi rawat inap belum sepenuhnya paham tentang tugas yang harus dilakukan sebagai tenaga admisi, karena masih merupakan hal yang baru saat persiapan akreditasi rumah sakit. Pola pikir bahwa unit admisi adalah unit yang tugasnya hanya mendaftar pasien, baik pasien yang perlu rawat inap ataupun pasien yang melakukan kunjungan di IGD. Sesuai dengan Standar Akreditasi RS versi KARS tahun 2012 di standar APK 1 tentang Admisi ke Rumah Sakit dijelaskan Pasien diterima sebagai pasien rawat inap atau didaftar untuk pelayanan rawat jalan berdasarkan pada kebutuhan pelayanan kesehatan mereka yang telah di identifikasi dan pada misi serta sumber daya rumah sakit yang ada. Maksud dan Tujuan APK.1 ini adalah menyesuaikan kebutuhan pasien dengan misi dan sumber daya rumah sakit tergantung pada keterangan yang didapat tentang kebutuhan pasien dan kondisinya lewat skrining pada kontak pertama. Skrining dilaksanakan melalui kriteria triase, evaluasi visual atau pengamatan, pemeriksaan fisik atau hasil dari pemeriksaan fisik, psikologik, laboratorium klinik atau diagnostik
152
imajing sebelumnya. Skrining dapat terjadi disumber rujukan, pada saat pasien ditransportasi emergensi atau apabila pasien tiba di rumah sakit. Hal ini sangat penting bahwa keputusan untuk mengobati, mengirim atau merujuk hanya dibuat setelah ada hasil skrining dan evaluasi. Hanya rumah sakit yang mempunyai kemampuan menyediakan pelayanan yang dibutuhkan dan konsisten dengan misinya dapat dipertimbangkan untuk menerima pasien rawat inap atau pasien rawat jalan. Apabila rumah sakit memerlukan data tes skrining atau evaluasi sebelum penerimaan dan pendaftaran ditetapkan dalam kebijakan tertulis.
Proses
admisi pasien rawat inap ke rumah sakit untuk
pelayanan dan untuk pendaftaran pelayanan rawat jalan distandarisir lewat kebijakan dan prosedur tertulis, hal ini sudah tercantum dalam kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Direktur RSUD Dr. Harjono S Ponorogo berupa kebijakan, Pedoman/Panduan dan SPO tentang admisi rawat inap. Staf yang bertanggungjawab untuk proses admisi seharusnya mengenal dan sudah biasa melaksanakan prosedur tersebut. Kebijakan dan standar prosedur operasional ini mengatur tentang Pendaftaran
rawat
jalan
atau
proses
admisi
rawat
inap,
admisi langsung dari pelayanan gawat darurat ke unit rawat inap dan proses dalam menahan pasien untuk keperluan observasi. Peningkatan pengetahuan staf admisi rawat inap belum secara optimal dengan dilakukan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan admisi, sedangkan kebutuhan terhadap hal ini sangat mendesak,
153
berkaitan dengan peningkatan mutu pelayanan admisi rumah sakit. Sesuai dengan Standar Akreditasi RS versi KARS tahun 2012 di standar KPS1 (Kualifikasi Dan Pendidikan Staf ) menjelaskan tentang kewajiban rumah sakit dalam menetapkan pendidikan, ketrampilan, pengetahuan dan persyaratan lain bagi seluruh staf. Pimpinan rumah sakit menetapkan persyaratan khusus bagi posisi staf. Mereka menetapkan
tingkat
pendidikan,
ketrampilan,
persyaratan lain yang diperlukan sebagai
pengetahuan
bagian dari
dan upaya
memproyeksikan susunan staf untuk memenuhi kebutuhan pasien. Pimpinan
mempertimbangkan
faktor
berikut
ini
dalam
memproyeksikan/mengestimasi kebutuhan staf sesuai misi rumah sakit, perpaduan antara pasien yang dilayani oleh rumah sakit dengan kompleksitas serta kepelikan kebutuhan mereka, jenis pelayanan yang disediakan oleh rumah sakit, teknologi yang digunakan oleh rumah sakit dalam asuhan pasien. Rumah sakit mematuhi peraturan perundangan yang berlaku yang menetapkan tingkat pendidikan, ketrampilan, atau persyaratan lainnya bagi staf atau dalam menetapkan jumlah staf atau perpaduan staf bagi rumah sakit. Pimpinan menggunakan misi rumah sakit dan kebutuhan pasien sebagai persyaratan tambahan terhadap peraturan perundangan yang berlaku. Kemampuan dalam melakukan standar di atas didukung oleh status rumah sakit yang telah berbentuk BLUD, Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
154
Pengelolaan Keuangan Badan Badan Layanan Umum Daerah BAB X Pendapatan Dan Biaya BLUD pasal 60 dijelaskan bahwa Pendapatan BLUD dapat bersumber dari:
jasa layanan, hibah, hasil kerjasama
dengan pihak lain, APBD, APBN dan lain-lain pendapatan BLUD yang sah. Hal ini masih didukung dengan pasal 67 yang menjelaskan bahwa pengeluaran
biaya
BLUD
diberikan
fleksibilitas
dengan
mempertimbangkan volume kegiatan pelayanan dan fleksibilitas pengeluaran biaya BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan pengeluaran biaya yang disesuaikan dan signifikan dengan perubahan pendapatan dalam ambang batas RBA yang telah ditetapkan secara definitif.
c. Faktor pendukung dan penghambat kualitas pelayanan admisi dengan SMART Service Admission dalam memberikan kepuasan masyarakat di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo adalah : i. Faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor predisposisi yang juga sebagai faktor penghambat dalam pelaksanaan SMART Service Admission yang berkaitan dengan satpam salah satunya adalah sikap satpam dalam memberikan pelayanan SMART Service Admission. Ada
beberapa hal yang terkait dengan organisasi
terutama rendahnya evaluasi kebijakan yang diberlakukan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo yang dalam hal ini adalah evaluasi pemberlakuan SMART
Service
Admission.
Permasalahan
yang
muncul
yaitu:
155
ketidakdisiplinan, ketidakhadiran dan keenganan dalam memberikan pelayanan terkait dengan SMART Service Admission. Selain permasalahan di atas juga adanya ketidakpuasan yang dialami oleh satpam dalam penerimaan reward berupa jasa pelayanan. Hal ini disebabkan adanya pemahaman yang kurang sehingga menyebabkan perbedaan persepsi di tataran pemberi pelayanan langsung. Ketidakpuasan ini muncul juga karena adanya “gap” antara kelompok junior dan kelompok senior. Dan adanya perbedaan dalam pelaksanaan beban kerja dari masing-masing individu. Faktor individual yang mempengaruhi sikap satpam dalam pelaksanaan SMART Service Admission adalah faktor status dan senioritas. Faktor status kerja dalam hal ini banyak mendorong untuk mencari pekerjaan sampingan. Dalam pengamatan peneliti, ada beberapa satpam yang mempunyai pekerjaan sampingan yaitu sebagai pedagang air mineral, tukang ojek, pedagang pulsa dan tukang becak motor. Seorang koordinator satpam mempunyai pekerjaan sambilan sebagai pedagang air mineral sehingga banyak menyita waktu. Hal ini mempengaruhi kinerja dengan kehadirannya yang rendah, selain pengawasan yang rendah pula. Ghiselli dan Brown menjelaskan tentang faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan dalam bekerja, salah satunya adalah mutu pengawasan, berkaitan dengan hubungan antara karyawan dan pihak pimpinan angat penting dalam meningkatkan produktifitas kerja. Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan salah satunya dengan perhatian dari pimpinan ke bawahan, sehingga karyawan merasa dirinya merupakan bagian penting dari
156
organisasi kerja. Sedangkan menurut Gilmer (1966) menjelaskan tentang faktor yang mendukung kepuasan kerja antara lain kesempatan untuk maju dan gaji. Faktor pendapatan lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya. Di Instalasi Gawat Darurat yang merupakan salah satu rangkaian dalam pelayanan SMART Service Admission juga ada permasalahan yang terkait dengan pengelolaan jasa pelayanan. Mereka menganggap masalah remunerasi merupakan salah satu kendala dan mempengaruhi semangat dalam bekerja. Adanya ketidaktahuan dan kekurangtransparan dalam pembagian jasa menyebabkan menurunnya kualitas kinerja. Dalam Sutrisno (2012) menjelaskan bahwa kepuasan kerja karyawan
merupakan
masalah penting
yang diperhatikan
dalam
hubungannya dengan produktivitas kerja. Selain itu ketidakpuasan sering dikaitkan dengan tingkat tuntutan dan keluhan pekerjaan yang tinggi. Pekerja dengan tingkat ketidakpuasan yang tinggi lebih mungkin untuk melakukan sabotase atau tindakan yang merugikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa ada kehadiran satpam yang rendah dan keengganan satpam untuk melakukan tugas-tugas yang telah dibebankan terutama tugas tambahan selain sebagai tenaga keamanan. Penurunan motivasi kerja terjadi juga pada petugas yang jaga di IGD dan tenaga pendorong, dengan pergi ke warung kopi di saat-saat jam dinas dengan alasan karyawan yang rajin dan tidak rajin memperoleh reward yang sama. Meskipun perilaku
157
ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil karyawan saja. Karyawan yang tidak rajin atau sering tidak masuk dengan alasan yang tidak jelaspun tidak mendapatkan peringatan atau punishment. Terkait dengan hal di atas, permasalahan ini tidak terjadi pada pada petugas admisi. Hanya berupa keluhan ketidakpuasan dalam pembagian jaga terutama antara junior dan senior. Tetapi tidak menyebabkan masalah pada pelayanan. Petugas admisi sebagian besar adalah wanita. Peran wanita dalam pemenuhan kebutuhan keuangan keluarga hanya bersifat membantu, tidak seperti seorang laki-laki yang bertugas sebagai pencari nafkah, sehingga permasalahan yang terkait dengan pendapatan tidak terlalu kentara dirasakan. ii. Faktor pendukung (enabling factors) Faktor pendukung (enabling factors) dalam hal ini adalah ketersediaan fasilitas atau sarana dan prasarana yang diperlukan kualitas pelayanan admisi dengan SMART Service Admission. Konsep yang digunakan dalam penataan gedung dan lahan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo menggunakan konsep garden hospital yaitu rumah sakit yang memadukan kesehatan dan lingkungan di antaranya adalah rumah sakit yang memiliki lahan terbuka hijau, penataan taman, menggunakan sistem pencahayaan alami, menggunakan pendingin ruang alami melalui sirkulasi udara yang memadai. Ruang terbuka hijau di rumah sakit ini selain difungsikan sebagai ruang publik juga difungsikan sebagai area kesehatan alami seperti jogging track yang secara tidak langsung menjadi akan
158
menjadi sarana yang menyehatkan. RSUD Dr. Harjono S Kabupaten Ponorogo memiliki luas tanah 6,3 HA, dan luas bangunan 16.702,7625 meter persegi. Fasilitas jaga satpam ada 3 tempat pos jaga meliputi pos jaga utara, pos jaga selatan (pintu masuk utama) dan pos jaga belakang. Bangunan pos satpam ini termasuk bangunan dengan kualitas bagus dan kokoh, karena termasuk bangunan yang baru. Umur bangunan kira-kira 5 tahun, semenjak didirikan. Sedangkan keadaan bentuk fisik bangunan satpam sangat tidak menunjang untuk mendukung pelaksanaan SMART Service Admission terutama pos jaga satpam yang berada di pintu masuk utama rumah sakit. Pos satpam ini menyulitkan satpam untuk keluar dari gedung, karena pintu membelakangi pintu masuk utama rumah sakit, sehingga harus memutar. Selain posisi pintu yang tidak mendukung, apabila satpam tidak keluar dari pos, komunikasi dengan pasien atau pengantar pasien bisa dilakukan melalui jendela kaca. Jendela kaca ini bersifat permanen sehingga tidak bisa dibuka, sedangkan bagian yang terbuka ada di bagian atas sehingga menyulitkan saat berkomunikasi, karena sebagian besar tidak mendengar apa yang disampaikan oleh satpam. Selain akses keluar masuk pos satpam yang sulit, pos satpam ini mempunyai ukuran yang relatif
kecil dibandingkan dengan bangunan
yang lain. Ukuran pos satpam di pintu utama ini sebesar 6 meter persegi. Dilengkapi dengan meja dan kursi untuk berjaga, tetapi terlihat berjejal dan penuh. Untuk membantu pergantian sirkulasi udara tersedia 1 kipas
159
angin yang terpasang di dinding. Di dalam pos satpam ini tersedia televisi 14 inchi, sarana komunikasi berupa telepon dengan akses telepon antar ruangan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo saja, handy talky dan senter. Pos satpam ini belum dilengkapi dengan CCTV dan belum ada sarana kamar kecil. Gedung admisi rawat inap berada di depan sebelah kiri dari pintu masuk Instalasi Rawat Darurat. Luas gedung admisi rawat inap sebesar 32 meter persegi. Fasilitas yang ada meliputi meja kursi kantor,
3 set
komputer, 2 buah printer hitam putih, 1 pencetak kartu kunjungan rumah sakit dan almari. Ruangan ini belum dilengkapi dengan pendingin ruangan, hanya dilengkapi dengan 2 kipas angin dinding. Untuk petugas jaga telah disiapkan 1 kamar mandi dalam, tetapi belum ada tempat istirahat petugas. Untuk menerangkan kepada keluarga pasien yang akan dilakukan rawat inap disiapkan 1 set meja dan kursi tetapi masih menjadi satu dengan petugas administrasi admisi yang lain. Untuk memudahkan akses pasien atau keluarga yang ingin mendapatkan informasi atau pelayanan admisi, separuh dinding atas terbuat dari kaca dan dipasang papan nama yang cukup besar sehingga bisa memberikan informasi yang memadai tentang lokasi admisi rawat inap. Selain kenyamanan ruangan, fasilitas dasar yang tersedia di unit admisi rawat inap sudah cukup memadai. Luas ruangan yang ada dianggap petugas sudah memadai dengan jumlah petugas yang berjaga. Selain itu juga sudah disiapkan fasilitas kamar mandi di dalam unit. fasilitas yang mendukung pelayanan
160
yang dirasakan kurang adalah perangkat komputer dan printer. Perangkat komputer yang ada di unit admisi sejumlah 3 buah, 2 buah perangkatnya masih berfungsi dengan baik meskipun usianya sudah tua, sedangkan masih ada 1 perangkat komputer yang rusak dan belum diperbaiki atau diganti. Printer yang tersedia di unit admisi ada 2 buah, berupa printer hitam putih. Kekurangan printer yang dimaksud adalah printer dengan scanner, apabila sore atau malam hari digunakan untuk memperbuat salinan dokumen pasien yang diperlukan saat rawat inap untuk persyaratan asuransi kesehatan terutama BPJS. Tempat informasi pasien rawat jalan yang merangkap sebagai tempat skrining awal pasien di Poliklinik pada admisi rawat jalan, posisinya tepat berada di tengah-tengah gedung Poliklinik menghadap pintu masuk utama dan menghadap ke ruang tunggu antrian pasien poliklinik. Petugas informasi ini berada di tempat ini hanya saat jam dinas pagi. Sedangkan jam jaga siang dan malam tutup, oleh karena pelayanan poliklinik juga tutup. Petugas informasi ini terdiri dari 2 orang petugas, yang melayani sambungan telefon, melayani informasi bagi pasien dan pengunjung poliklinik serta ada penugasan tambahan yaitu skrining pasien yang periksa di Poliklinik. Sedangkan untuk gedung administrasi admisi rawat jalan ada di 2 tempat, yaitu tempat untuk pendaftaran pasien dan 1 tempat lagi untuk pendaftaran dan penerbitan SEP bagi pemegang kartu BPJS. Kedua gedung ini letaknya berdekatan dan ada ruang tunggu pasien yang sudah memakai pendingin ruangan demi kenyamanan pelanggan.
161
Fasilitas yang tersedia untuk admisi rawat jalan menurut subyek penelitian dianggap sudah memadai. Karena saat melakukan skrining visual pasien, petugas tidak memerlukan sarana dan prasarana yang kompleks. Seperti formulir untuk skrining visual, formulir risiko jatuh, pita kuning untuk disematkan di lengan pasien apabila dinilai berisiko untuk jatuh dan kartu untuk pasien yang didahulukan Hanya saja memerlukan kursi roda yang lebih banyak yang terpusat di bagian informasi, sehingga apabila ada pasien atau pengantar pasien yang memerlukan bisa segera dilayani. Fasilitas Instalasi Rawat Darurat dengan Akses masuk 2-3 mobil, Ruang Tunggu, Pendaftaran RM, dan administrasi IGD dengan computerized system, Ruang Triase, ruang Resusitasi, Ruang jaga Petugas IGD, Farmasi, Unit Transfusi Darah, Laboratorium, Ruang Radiologi, Ruang Gips dan Observasi untuk monitoring dan stabilisasi. Alat penunjang yang tersedia di Instalasi Gawat Darurat
meliputi : ECG
Record dan Monitor, Defibrilator, Nebulizer and Suction Pump, Syring Pump, serta sarana penunjang lain yang siap pakai. Fasilitas yang kurang memadai menurut subyek penelitian meliputi triase pasien. Ruang triase pasien ini ada di depan pintu masuk IGD dan ada di ruang yang terbuka, tidak ada penghalangnya sama sekali saat memeriksa pasien. Penataan ruang IGD yang dirasa kurang sesuai standar yang ada, baik itu menurut standar akreditasi rumah sakit maupun pedoman penyelenggaraan Instalasi gawat Darurat. Salah satunya adalah
162
ketidaktersediaan depo farmasi yang berada di area IGD sangat mempengaruhi penanganan pasien emergensi.
iii.
Faktor pendorong (reinforcing factors) Sebagai faktor penguat (reinforcement factor) meliputi kebijakankebijakan yang dikeluarkan oleh Direktur yang berbentuk Surat keputusan, panduan atau pedoman yang memberikan arahan terhadap suatu permasalahan. Selain itu juga penerbitan SPO-SPO yang berguna untuk memudahkan
penyamaan
persepsi
terhadap
pelaksanaan
atau
implementasi suatu kegiatan. Hal ini untuk meningkatkan kualitas pelayanan khususnya admisi di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. Penerbitan SK Direktur tentang pelaksanaan SMART Service Admission untuk menjawab permasalahan yang timbul yaitu penurunan kepuasan pelanggan. Penyebab utamanya adalah kurang baiknya sikap petugas dan kurang jelasnya informasi yang didapatkan dalam menerima pelayanan, salah satu contohnya adalah SPO tentang triase, SPO Penerimaan pasien di rawat jalan. Banyak hal yang mempengaruhi kepuasan pasien, antara lain: kelancaran saat pendaftaran, waktu tunggu yang relatif pendek, pelayanan cepat, ramah, disambut dengan sapaan yang sopan, ketrampilan dan perawatan petugas medis bagus, profesional, ruangan bersih, fasilitas lengkap. Sebaliknya hal-hal yang mempengaruhi ketidakpuasan pasien, antara lain: karyawan pendaftaran datang terlambat, pelayanan lambat,
163
tidak disambut dengan sapaan yang sopan, mengobrol sendiri, waktu tunggu lama, nada suara petugas medis tinggi, keramahan kurang, ruangan kurang luas, belum ada sekat, ruang tunggu kurang, jarak dari ruangan admisi rawat inap ke ruang filling terlalu jauh. Menurut Tjiptono (dalam Harcahyani G, 2010) Pengukuran kualitas jasa model service quality didasarkan pada skala multi item yang dirancang untuk mengukur harapan dan persepsi pelanggan serta kesenjangan di antara keduanya pada 5 dimensi kualitas jasa (keandalan, daya tanggap, kepastian, empati, berwujud). dimana kepuasan pasien meliputi: reliability atau kehandalan, assurance atau jaminan, tangibles atau wujud nyata, empathy atau perhatian, dan responsiveness atau kepedulian.
164
BAB VI KESIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tentang Kualitas Pelayanan Admisi dengan SMART Service Admission di RSUD dr Harjono S Ponorogo dapat disimpulkan : a. Karakteristik Pelayanan Admisi dengan SMART Service Admission di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. 1.
Satpam Peran Satpam dalam pelaksanaan SMART Service Admission kurang efektif. Satpam dalam SMART Service Admission mempunyai peran ganda yakni sebagai tenaga keamanan dan juga sebagai tenaga yang pertama kali menyambut pasien dan keluarga di pintu gerbang RSUD Dr. Harjono S Ponorogo sekaligus melakukan skrining visual untuk memilah pasien yang berkunjung ke rawat jalan, gawat darurat ataupun ke pelayanan PONEK. Tugas satpam juga mengarahkan pasien dan atau keluarga ke tempat pelayanan yang dituju. Keadaan fisik bangunan satpam sangat tidak menunjang untuk mendukung pelaksanaan SMART Service Admission terutama pos jaga satpam yang berada di pintu masuk utama rumah sakit. Pos satpam ini menyulitkan satpam untuk keluar dari gedung, karena pintu
165
membelakangi pintu masuk utama rumah sakit, sehingga harus memutar. 2.
Admisi rawat inap dan rawat jalan Unit admisi terdiri dari admisi rawat jalan dan admisi rawat inap. Unit admisi rawat inap berada di depan sebelah kiri dari Instalasi Rawat Darurat. Gedung admisi rawat inap berada di depan sebelah kiri dari pintu masuk Instalasi Rawat Darurat. Ruangan ini belum dilengkapi dengan pendingin ruangan, hanya dilengkapi dengan 2 kipas angin dinding. Menurut petugas admisi rawat inap, fasilitas yang tersedia di unit admisi rawat inap ini kurang memadai. Salah satunya adalah belum adanya pendingin ruangan. Suasana ruangan terasa panas apalagi hanya dikurangi dengan 2 kipas angin dinding. Masalah-masalah yang muncul di admisi rawat inap salah satunya adalah Penerbitan SEP (Surat Elegalibilitas Peserta) belum bisa dilakukan di Admisi rawat inap.
Penerbitannya ini hanya bisa
dilakukan di admisi rawat inap. Masalah yang muncul penyebabnya antara lain karena belum adanya jaringan yang bisa dipergunakan. Tetapi yang lebih penting adalah kekurangmampuan petugas yang ada di admisi rawat inap, berdasarkan pengamatan peneliti saat penelitian. Sistem informasi Manajemen sudah berjalan baik di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo, tetapi hanya memberikan informasi dasar tentang data pasien baik rawat jalan maupun rawat inap, belum mampu mengintegrasikan keseluruhan informasi yang diperlukan di
166
rumah sakit. Selain itu pelayanan administrasi pasien BPJS yang akan rawat inap tidak bisa dilakukan saat itu juga terutama tentang penerbitan SEP dan verifikasi keanggotaan, hanya bisa dilakukan di admisi rawat jalan, yang hanya memberikan pelayanan di shift pagi. 3.
Instalasi Gawat Darurat Proses admisi dengan SMART Service Admission di Instalasi Gawat Darurat cukup efektif, meskipun proses triase kurang memadai. Pada proses pre admission yang sifatnya elektif belum bisa dilakukan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. Penerimaan pesanan dari pasien atau keluarga yang ingin membuat perjanjian pertemuan dengan dokter di rawat jalan juga belum bisa dilakukan, karena meskipun sudah ada SIMRS (Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit) tetapi belum bisa menghasilkan data online. Proses triase dapat termasuk kriteria berbasis fisiologik, bila mungkin dan tepat. Rumah sakit melatih staf untuk menentukan pasien yang membutuhkan asuhan segera dan bagaimana memberikan prioritas asuhan. Dari uraian di atas, dijelaskan bahwa triase dilakukan oleh perawat atau dokter yang sudah terlatih. Sedangkan petugas yang jaga di triase belum pernah dilatih triase, hanya memiliki sertifikat PPGD saja atau ATLS dan ACLS. Perencanaan pasien pulang (discharge planning) belum dilakukan secara optimal meskipun sudah ada formulir Clinical
167
Pathway yang didalamnya sudah tercantum perencanaan pengobatan sampai dengan perencanaan pulang
b. Masalah-masalah yang berhubungan dengan admisi pasien rawat inap dan rawat jalan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. 1. Fasilitas gedung di admisi rawat inap kurang nyaman dan kurang memadai. 2. Fasilitas pendukung pelaksanaan administrasi masih kurang, seperti komputer dan printer. 3. Ruangan untuk memberikan penjelasan kepada keluarga pasien kurang luas dan kurang nyaman. 4. Petugas informasi merangkap petugas admisi rawat jalan. 5. Unit filling berjauhan dengan unit admisi rawat inap. 6. Verifikasi kepesertaan asuransi kesehatan BPJS belum bisa dilakukan di admisi rawat inap. 7. Pelatihan tentang admisi belum dilakukan terhadap petugas admisi. 8. Sistem Informasi Manajemen belum sesuai 9. Sistem antrian terutama di Rawat jalan masih manual. 10. Jumlah tenaga admisi kurang memadai
d. Faktor pendukung dan penghambat kualitas pelayanan admisi dengan SMART Service Admission dalam memberikan kepuasan masyarakat di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo.
168
1. Faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor predisposisi yang juga sebagai faktor penghambat dalam pelaksanaan SMART Service Admission yang berkaitan dengan satpam salah satunya adalah sikap satpam dalam memberikan pelayanan SMART Service Admission. Ada
beberapa hal yang terkait dengan organisasi
terutama rendahnya evaluasi kebijakan yang diberlakukan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo yang dalam hal ini adalah evaluasi pemberlakuan SMART
Service
Admission.
Permasalahan
yang
muncul
yaitu:
ketidakdisiplinan, ketidakhadiran dan keenganan dalam memberikan pelayanan terkait dengan SMART Service Admission. Selain permasalahan di atas juga adanya ketidakpuasan yang dialami oleh satpam dalam penerimaan reward berupa jasa pelayanan, sedangkan faktor individual yang mempengaruhi sikap satpam dalam pelaksanaan SMART Service Admission adalah faktor status dan senioritas. Di Instalasi Gawat Darurat yang merupakan salah satu rangkaian dalam pelayanan SMART Service Admission juga ada permasalahan yang terkait dengan pengelolaan jasa pelayanan. Mereka menganggap masalah remunerasi merupakan salah satu kendala dan mempengaruhi semangat dalam bekerja. Adanya ketidaktahuan dan kekurangtransparan dalam pembagian jasa menyebabkan menurunnya kualitas kinerja. 2. Faktor pendukung (enabling factors) Faktor pendukung (enabling factors) dalam hal ini adalah ketersediaan fasilitas atau sarana dan prasarana yang diperlukan kualitas
169
pelayanan admisi dengan SMART Service Admission. Fasilitas jaga satpam ada 3 tempat pos jaga meliputi pos jaga utara, pos jaga selatan (pintu masuk utama) dan pos jaga belakang. Bangunan pos satpam ini termasuk bangunan dengan kualitas bagus dan kokoh, karena termasuk bangunan yang baru. Sedangkan keadaan bentuk fisik bangunan satpam sangat tidak menunjang untuk mendukung pelaksanaan SMART Service Admission, juga pos satpam ini belum dilengkapi dengan CCTV dan belum ada sarana kamar kecil. Gedung admisi rawat belum dilengkapi dengan pendingin ruangan, hanya dilengkapi dengan 2 kipas angin dinding. Untuk petugas jaga telah disiapkan 1 kamar mandi dalam, tetapi belum ada tempat istirahat petugas. Selain kenyamanan ruangan, fasilitas dasar yang tersedia di unit admisi rawat inap sudah cukup memadai. Luas ruangan yang ada dianggap petugas sudah memadai dengan jumlah petugas yang berjaga. Selain itu juga sudah disiapkan fasilitas kamar mandi di dalam unit. Tempat informasi pasien rawat jalan yang merangkap sebagai tempat skrining awal pasien di Poliklinik pada admisi rawat jalan. Fasilitas yang tersedia untuk admisi rawat jalan sudah memadai. Fasilitas Instalasi gawat darurat sudah mempunyai sarana pelayanan yang memadai, tetapi untuk pelayanan triase dirasakan kurang karena ruangan triase berada di area terbuka, tidak ada penghalang sama sekali sehingga akan mengganggu privasi pasien. Penataan ruang IGD yang dirasa kurang sesuai standar yang ada, baik itu menurut standar
170
akreditasi rumah sakit maupun pedoman penyelenggaraan Instalasi gawat Darurat. Salah satunya adalah ketidaktersediaan depo farmasi yang berada di area IGD sangat mempengaruhi penanganan pasien emergensi. 3. Faktor pendorong (reinforcing factors) Sebagai faktor penguat (reinforcement factor) meliputi kebijakankebijakan yang dikeluarkan oleh Direktur yang berbentuk Surat keputusan, panduan atau pedoman yang memberikan arahan terhadap suatu permasalahan. Selain itu juga penerbitan SPO-SPO yang berguna untuk memudahkan
penyamaan
persepsi
terhadap
pelaksanaan
atau
implementasi suatu kegiatan. Banyak hal yang mempengaruhi kepuasan pasien, antara lain: kelancaran saat pendaftaran, waktu tunggu yang relatif pendek, pelayanan cepat, ramah, disambut dengan sapaan yang sopan, ketrampilan dan perawatan petugas medis bagus, profesional, ruangan bersih, fasilitas lengkap. Sebaliknya hal-hal yang mempengaruhi ketidakpuasan pasien, antara lain: karyawan pendaftaran datang terlambat, pelayanan lambat, tidak disambut dengan sapaan yang sopan, mengobrol sendiri, waktu tunggu lama, nada suara petugas medis tinggi, keramahan kurang, ruangan kurang luas, belum ada sekat, ruang tunggu kurang, jarak dari ruangan admisi rawat inap ke ruang filling terlalu jauh. Kualitas pelayanan admisi dengan SMART Service Admission di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo dengan menggunakan lima dimensi kualitas pelayanan, yaitu dimensi kehandalan (reliability), dimensi daya
171
tanggap (responsiveness), dimensi jaminan (assurance), dimensi perhatian (empathy) dan dimensi bukti langsung (tangibles) diperoleh kesimpulan bahwa kualitas pelayanan admisi RSUD Dr. Harjono S Ponorogo termasuk dalam kategori kualitas pelayanan yang baik.
Pada dimensi bukti
langsung (tangibles) adanya peningkatan kualitas fisik dan kelengkapan fasilitas, jaminan bila terjadi kesalahan, ruang tunggu dan ruang pelayanan yang nyaman serta pelayanan yang tepat waktu di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo B. Implikasi 1. Implikasi Teoritis Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah teori perubahan perilaku Lawrence Green yaitu menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor. Berangkat dari analisis penyebab masalah kesehatan, Green membedakan adanya determinan masalah kesehatan tersebut, yakni faktor Predisposisi (predisposing factors), faktor-faktor Pemungkin (enabling factors), faktor-faktor Penguat (reinforcing factors). Faktor predisposisi (predisposing factors), yang mencakup pengetahuan, sikap dan sebagainya. Faktor pemungkin (enabling factor), yang mencakup lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana keselamatan kerja,
172
misalnya ketersedianya alat alat kesehatan, alat alat kantor, pelatihan dan sebagainya. Faktor penguat (reinforcement factor), faktor-faktor ini meliputi undang- undang, peraturan-peraturan, keputusan Direktur, SPO, Panduan dan Pedoman dan lain sebagainya. Begitu pula dalam pelaksanaan SMART Service Admission di RSUD dr Harjono S Ponorogo ini sangat dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut yaitu : a. faktor Predisposisi (predisposing factors) Faktor predisposisi yang juga sebagai faktor penghambat dalam pelaksanaan SMART Service Admission yang berkaitan dengan sikap sebagian petugas dalam memberikan pelayanan SMART Service Admission. Ada beberapa hal yang terkait dengan organisasi terutama rendahnya evaluasi kebijakan yang diberlakukan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo yang dalam hal ini adalah evaluasi pemberlakuan SMART Service Admission, ketidakpuasan dalam penerimaan reward berupa jasa pelayanan, sedangkan faktor individual yang mempengaruhi dalam pelaksanaan SMART Service Admission adalah faktor status dan senioritas. b. faktor Pemungkin (enabling factors) Faktor pendukung (enabling factors) dalam hal ini adalah ketersediaan fasilitas atau sarana dan prasarana yang diperlukan kualitas pelayanan admisi dengan SMART Service Admission. Bangunan pos satpam ini termasuk bangunan dengan kualitas bagus dan kokoh, karena
173
termasuk bangunan yang baru. Sedangkan keadaan bentuk fisik bangunan
satpam
sangat
tidak
menunjang
untuk
mendukung
pelaksanaan SMART Service Admission, juga pos satpam ini belum dilengkapi dengan CCTV dan belum ada sarana kamar kecil. Gedung admisi rawat
belum dilengkapi dengan pendingin
ruangan, hanya dilengkapi dengan 2 kipas angin dinding. Untuk petugas jaga telah disiapkan 1 kamar mandi dalam, tetapi belum ada tempat istirahat petugas. Selain kenyamanan ruangan, fasilitas dasar yang tersedia di unit admisi rawat inap sudah cukup memadai. Luas ruangan yang ada dianggap petugas sudah memadai dengan jumlah petugas yang berjaga. Fasilitas Instalasi gawat darurat sudah mempunyai sarana pelayanan yang memadai, tetapi untuk pelayanan triase dirasakan kurang karena ruangan triase berada di area terbuka, tidak ada penghalang sama sekali sehingga akan mengganggu privasi pasien. Penataan ruang IGD yang dirasa kurang sesuai standar yang ada, baik itu menurut standar akreditasi rumah sakit maupun pedoman penyelenggaraan Instalasi gawat Darurat. Salah satunya adalah ketidaktersediaan depo farmasi yang berada di area IGD sangat mempengaruhi penanganan pasien emergensi. c. faktor Penguat (reinforcing factors). Sebagai faktor penguat (reinforcement factor) meliputi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktur yang berbentuk
174
Surat keputusan, panduan atau pedoman yang memberikan arahan terhadap suatu permasalahan. Selain itu juga penerbitan SPO-SPO yang berguna untuk memudahkan penyamaan persepsi terhadap pelaksanaan atau implementasi suatu kegiatan. 2. Implikasi Metodologis Penelitian ini berjudul tentang Kualitas pelayanan Admisi dengan SMART Service Admission di RSUD dr Harjono S Ponorogo. Permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah Kualitas Pelayanan Admisi dengan SMART Service Admission di RSUD dr. Harjono S Ponorogo, Bagaimana admisi pasien rawat inap dan rawat jalan di RSUD dr. Harjono S Ponorogo dan apa faktor pendukung dan penghambat kualitas pelayanan admisi dengan SMART Service Admission dalam memberikan kepuasan masyarakat di RSUD dr. Harjono S Ponorogo. Perlu dilakukan penelitian lain berupa kombinasi antara penelitian kualitatif dan kuantitatif dan lebih diperluas lagi penelitian tentang kualitas pelayanan rumah sakit secara keseluruhan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam sehingga dapat dilihat dengan lebih jelas kualitas pelayanan rumah sakit dengan SMART Service Admission untuk mendukung status rumah sakit yang berbentuk BLUD.
3. Implikasi Empiris
175
Pemahaman
tentang
penyelenggaraan
Pola
Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah masih belum memadai. Salah satunya penyelenggaraan PPK BLUD di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo ini adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat Ponorogo dan sekitarnya sebagai pelanggan melalui fleksibilitas pengelolaan keuangan. Berdasarkan hasil penelitian maka perlu dilakukan penelitian selanjutnya yang cakupannya lebih luas yaitu tentang pengaruh motivasi kerja dan kepuasan kerja terhadap kualitas pelayanan di RSUD Dr Harjono S Ponorogo dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. C. Saran 1.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi, bahan masukan, sebagai dasar dan langkah awal evaluasi berkala dalam pemantauan kualitas pelayanan dan bahan pertimbangan dalam penyusunan rencana peningkatan kualitas pelayanan kesehatan terhadap pasien terutama admisi di RSUD dr. Harjono S Ponorogo.
2.
Sebagai bahan pertimbangan evaluasi pelaksanaan kebijakan SMART Service Admission, mencatat kekurangan atau hambatan pelaksanaan SMART Service Admission agar kualitas pelayanan RSUD dr. Harjono Ponorogo terutama bagian admisi menjadi lebih baik lagi.
3.
Sebagai sumber informasi dan bahan evaluasi dalam rancangan evaluasi pelaksanan PPK BLUD di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo.
176
DAFTAR PUSTAKA Anwika, Y. 2013. Peran Pelatih Program Pelatihan Keterampilan Bermusik Dalam Meningkatkan Motivasi Dan Kemandirian Musisi Jalanan (Kasus Di Rumah Musik Harry Roesli (RMHR) Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia. http//repository.upi.edu. ( diakses 14 Pebruari 2016). Azam, M. 2007. Sistem Informasi Admisi Pasien Rawat Inap Untuk Membantu Pengambilan Keputusan Klinis Dan Administrasi Di Badan Rumah Sakit Umum Daerah ( RSUD ) Dr. H . Soewondo Kabupaten Kendal. Tesis. Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Sistem Informasi Manajemen Kesehatan. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang ( diakses tanggal 28 Januari 2016). Astrini, S.2009 . Usulan Pembakuan Secara Administratif Standard Operating Procedure (SOP) Kegiatan Perawatan Non Bedah Instalasi Gawat Darurat RSUD. dr. Moewardi Surakarta Dengan Metode Time Study. Skripsi. Surakarta. : Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Juli 2007. (Diakses 28 Januari 2016). Azwar, A. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan, edisi III Jakarta: PT Bina Rupa Aksara. Bagyono. 2006. Teori dan Praktek Hotel Front Office. Solo : CV Alfabeta. Banerjee, A.T et al. 2015. Factor Facilitating the Implementation of ChurchBased Health Promotion Programs for Older Adults : A Qualitative Study Guided by the Precede-Proceed Model. American Journal of Health Promotion. Women’s College Reasearch Institute. University of Toronto. Canada. ( Diakses tanggal 15 Maret 2016) Darsono, A. 2001. Kantor Depan Hotel (Hotel Front Office). Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Harcahyani, G. 2010. Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Yang Dimoderasi Oleh Variabel Nilai. Tesis. Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Manajemen Universitas Pembangunan “Veteran” Nasional Yogyakarta. (diakses 28 Januari 2015). Hendrayani, L. 2000. Pelaksanaan Sistem Admisi Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah Koja Jakarta-Utara. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. (diakses 18 Februari 2015). Green, LW. 1988. Policies For Decentralization And Development Of Health Education. Center For Health Promotion Research And Development.
177
Houston. Texas (diakses 20 Februari 2015). Green, LW. 2006. A Framework For Planning And Evaluatipn : PRECEDEPROCEED Evolution and Application of the Model.10esans journees de santé publique. Montreal, Quebec.( Diakses tanggal 18 Februari 2016). Ilyas, Y. 2004. Perencanaan SDM Rumah Sakit. cetakan kedua. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI Depok, Jakarta. Indonesia. 2009. Undang Undang Nomor 44 tentang Rumah Sakit. Indrawati, F.L. 2015. Penggunaan pelayanan Skrining Infeksi Menular Seksual (IMS) Pada Waria di Kota Yogyakarta. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Jacobalis, S. 1993. Beberapa Teknis dalam Manajemen Mutu, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Jane, P. 2012. Developing Targeted Health Service Interventions Using the PRECEDE-PROCEED Model : Two Australian Case Studies. Nursing Reasearch & Practice. Universitas Fullerton. California State. Joint Commission International Accreditation Standards for Hospital. 2013. JCI Acrreditation Manual 5th Edition. Oakbrook Terrace Illinois. USA Komisi Akreditasi Rumah Sakit. 2012. Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi 2012 Edisi 1. Jakarta. Kurniawati. N. 2014. Upaya Peningkatan Kelangsungan Pemakaian Kontrasepsi IUD Pasca Plasenta Berdasarkan Analisis Faktor Perilaku Pada Pasangan Usia Subur Di Wilayah Kabupaten Mojokerto. Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Surabaya Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Magister.. Universitas Airlangga (diakses 18 Pebruari 2015). Mulyadi, I. Jan Carlzon Sang Pencetus Moments of http://www.marketing.co.id/Common/File.ashx?Id=5301 (13 2015).
Truth. Januari
Octovina, P. 2015. Meningkatkan Kepuasan Masyarakat Terhadap Mutu Pelayanan Rumah Sakit Yang Mengutamakan Keselamatan Pasien Melalui SMART Service Admission. Proyek Perubahan Instansional. Badan Pendidikan dan Pelatihan. Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Pahlevi, W. 2009, Analisis Pelayanan Pasien Rawat Inap di Bagian Admisi RSUD Budhi Asih. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,
178
Depok (13 Januari 2015). Pratiwi, F. 2003. Analisis Kebutuhan Pelayanan Informasi Pendaftaran Rawat Inap Pasien Umum di Rumkital Mintoharjo-Jakarta Pusat. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok (13 Januari 2015). Robbin SP dan Judge . 2007. Perilaku Organisasi, Jakarta : Salemba Empat Rumah Sakit Umum Daerah RSUD dr. Harjono S Ponorogo. 2015. Keputusan Direktur RSUD dr Harjono S Kabupaten Ponorogo Nomor 445/9/I.1/I/2015 Tentang SMART (Senyum, Menyambut, Atensi, Responsif, Terpadu) Service Admission di RSUD dr. Harjono S Ponorogo. Rumah Sakit Umum Daerah RSUD dr. Harjono S Ponorogo. 2015. Keputusan Direktur RSUD dr Harjono S Kabupaten Ponorogo Nomor 445/9/I.2/I/2015 Tentang Pemberlakukan SMART Service Admission di RSUD dr. Harjono S Ponorogo. Rumah Sakit Umum Daerah RSUD dr. Harjono S Ponorogo. 2015. Panduan Triage di RSUD dr. Harjono S Ponorogo. Stewart, LM. 2015. Hospital Mental Health Admissions in Women after Unsuccessful Infertility Treatment and In Vitro Fertilization: An Australian Population-Based Cohort Study. Hospital Mental Health Admissions in Women after Unsuccessful Infertility Treatment and In Vitro Fertilization: An Australian Population-Based Cohort Study. PLoS ONE 10(3): e0120076. ( Diakses 20 Pebruari 2016). Sulaeman, ES. 2015. Metode Penelitian Kualitatif dan campuran dalam Kesehatan Masyarakat. Cetakan pertama. Surakarta : UNS Press Suryanti, N. 2002. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Lamanya Waktu Proses Pendaftaran Pasien Rawat Inap Di Rumah Sakit Pondok Indah. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok ( Diakses 13 Januari 2015). Sutrisno,E, 2012 , Sumber daya manusia, Surabaya; Gramedia Syamsi, I. 2007. Efisiensi, Sistem dan Prosedur Kerja. Edisi Revisi. cetakan 2. Jakarta: Bumi Aksara. Tarmoezi, T& Manurung, H. 1999. Professional Hotel Front Liner (Hotel Front Office). Jakarta : Kesaint Blanc.
179
Tjandra, Y 2004. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Edisi ke 2 Jakarta : Universitas Indonesia, Depok. Wasisto, B. 1994. Peningkatan Mutu Pelayanan RS. Cermin Dunia Kedokteran. White, KM et al. 2015. Using A Theory Of Planned Behaviour Framework To Explore Hand Hygiene Beliefs At The 5 Critical Moment Among Australian Hospital Based Nurses. BMC Haelth Services Research. Australia (Diakses tanggal 2 Maret 2016). Wibowo, 2013, Perilaku dalam Organisasi, Jakarta PT.Raja Grafido Persada. Wijono, D. 1997. Manajenen Kepemimpinan dan Organisasi Kesehatan. Airlangga University Press. Wijono, D. 1999. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan vol 2. Airlangga University Press. Wikipedia, Pengertian Pelayanan Rawat Inap, diakses tanggal 12 Januari 2016 Tania,Anastasia,2013, Pengaruh Motivasi Kerja dan Kepuasan kerja terhadap komitmen organisasional karyawan PT DAI KNIFE di Surabaya,Agora Vol.1 No.3 ( Diakses tanggal 19 Juni 2016). Yudha, Putu. 2013, Pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan sektor publik dengan in-rde performance dan innovative performance sebagai variabel mediasi. E jurnal akuntansi ,Univ.Udayana, diakses tanggal 15 Juni 2016. .