BAB V DISONANSI KOGNITIF DALAM PEMAKAIAN BAJU SISA IMPOR ‘AWUL-AWUL’
Dalam bab ini dipaparkan hasil penelitian mengenai alasan terjadinya disonansi kognitif, faktor-faktor apa saja yang menyebakan terjadinya disonansi kognitif, dan proses perseptual disonansi kognitif oleh pemakai Baju Sisa Impor ‘Awul-awul’. 5.1 Pemahaman Baju Sisa Import ‘Awul-Awul’ Baju sisa impor tercatat ikut membentuk gaya subkultur anak muda yang khusus dan unik. Selain merefleksikan posisi keuangan anak-anak muda yang terbatas, ia juga menggambarkan gairah akan gaya pakaian-pakaian retro yang otentik dan tidak ada kembarannya. Jenis baju yang dijual di toko-toko baju bekas biasanya berjumlah terbatas atau malah hanya tersedia sebanyak satu buah saja sehingga terkesan lebih personal. Efek personalitas ini yang tidak bisa didapat jika kita membeli baju di mall atau supermarket karena baju-baju yang dijual di sana rata-rata dibuat secara massal. Pengguna pakaian sisa import ini mengaku tidak ada masalah dalam memakainya. Hal ini diungkapkan oleh Ovie (19 tahun) berikut : “Saya dan teman-teman, sering kalo liburan kuliah datang sih ke Salatiga buat hunting pakaian bekas, dipakainya enak, fashionable banget deh.. kadang kalau ada temen tanya, taunya saya dapet beli dari
distro dan harganya mahal, padahal ini saya dapet dari awul-awul sini, dari harga 5rb - 50rb an hehehe... “1 Sejauh ini, kebanyakan anak-anak muda yang menggunakan pakaian bekas kadang bersikap malu-malu jika ketahuan membeli pakaian bekas tersebut. Sikap malu-malu dari konsumen baju bekas di Indonesia ini juga didorong oleh respon sebagian besar masyarakat yang menganggap baju-baju sisa import adalah sesuatu yang menjijikkan karena tidak jelas asal-usul sejarahnya, juga berkesan kumuh karena dibeli di tempat-tempat yang sempit penuh sesak dengan karung-karung isi baju bekas bertumpuk-tumpuk. Namun, lain halnya dengan Putri Riski (24 tahun), remaja perempuan ini tidak segan-segan mengaku kepada teman-temannya jika ia merupakan salah satu konsumen pemakai baju bekas. ‘’Saya ngaku saja kalo saya suka beli dan pakai baju sisa impor ‘awulawul’, kadang malahan saya bangga, ngapain mesti malu, seharusnya bangga bisa make barang luar. Saya bangga karena saya bisa membeli suatu barang tertentu dengan harga murah sedangkan orang lain membeli dengan harga mahal padahal kualitasnya sama. Saya juga pernah nemuin baju merk lho mbak, kaya Zara, Forever 21 jadi itu yang bikin seneng & sering pamer sama teman saya. Kebetulan kakak saya bekerja di bidang fotografi dan sering diminta tolong, jadi juga mendukung untuk bagian wardrobe, bisa mengikuti mode tanpa harus merogoh kantong dalam, hehee… ” 2
5.1 Gambaran harga dan suasana tempat penjualan baju sisa impor.
13 24
Hasil wawancara Ovie, 19 Tahun, Mahasiswa, 24 April 2012 Hasil wawancara Putri Riski, 24 Tahun, Mahasiswa, 10Mei 2012
Sumber : Data Primer, 2012
Tidak semua orang mampu untuk membeli baju atau pakaian yang memiliki brand terkenal dengan harga mahal. Usaha baju import menjadi salah satu solusi bagi semua orang yang ingin tetap fashionable dengan barang bekas import yang rata – rata dijual dengan harga yang relatif murah. Produk baju sisa import memang identik dengan image baju bekas, tapi jangan beranggapan buruk dulu. Karena baju sisa import yang biasa diperjual belikan tersebut kualitasnya juga masih bagus dan layak pakai. Maka tak heran jika terkadang banyak konsumen yang sengaja hunting di toko baju sisa import yang biasa juga disebut toko awul – awul ini. Toko baju sisa import disebut juga butik awul – awul karena display baju yang dijual disana hanya diletakan dalam keranjang besar yang berisi banyak baju, sehingga untuk berburu baju disana kita harus mengobrak – abrik ( red : Bahasa Jawa nya ngawul – awul ) keranjang besar yang penuh dengan baju – baju. Jika kita pintar berburu, kita bisa menemukan baju dengan merk luar negeri yang masih bagus. Namun jika kita kurang jeli dalam memilihnya, kadang kita juga bisa salah ambil produk yang kurang bagus kualitasnya. 5.2 Faktor Penyebab Disonansi Kognitif Dari hasil penelitian yang dilakukan, peneliti akan memaparkan 3 faktor penyebab munculnya disonansi kognitif yang dialami oleh informan yang telah diwawancarai, dari 4 penyebab munculnya disonansi kognitif yang disebutkan oleh Leon Festinger. a.Nilai Budaya, yaitu bahwa kognisi yang dimiliki seseorang di suatu budaya, kemungkinan akan berbeda di budaya lainnya.
Koko merupakan seorang yang memiliki hobi bermusik yang beraliran rapper, di mana seorang rapper identik dengan baju berukuran besar seperti celana sketer (model pipa berukuran besar/ gombrong), kaos atau jaket big size. Selain itu diikuti dengan berbagai merk yang menggambarkan style rapper / hiphop, misalkan Tribal, Roca Wear, Freaky, SouthPole,Eco dll. Dengan demikian, Koko berusaha mengadopsi budaya barat, karena hiphop/rapper memang berasal dari budaya barat. Setidaknya ia berusaha meniru style berpakaian dari idolanya seperti Eminem, 50 Cent, 2 pac, DMX, yang mereka merupakan rapper terkenal di Amerika. ‘Kalau beli barang ber-merk gitu mahal mbak, paling ga untuk sebuah kaos, jaket, celana, jumper antara 250rb – 700rb itu barang baru lho mbak. Sedangkan aku di sini (awul-awul) bisa dapat dengan harga lebih murah antara 20rb – 150rb, walaupun kondisi barang tidak sebagus aslinya (ada cacat, warna pudar)’. ‘Aku punya hobi ng-rapp jadi setidaknya gaya berpakaianku pun menyesuaikan dengan hobiku, di mana aku mengadopsi budaya luar, gaya berpakaian rapper yang identik dengan serba gombrong (big size). Meniru bukan berarti sama, setidaknya mewakili dari gaya pada umumnya’.3 Koko mengadopsi budaya luar untuk aktualisasi dalam kehidupan sehariharinya, ia mencoba mengikuti style berpakaian artis idolanya tanpa harus berkorban secara besar-besaran membeli barang asli yang sering dikenakan artis idolanya. b.
Opini umum, yaitu disonansi mungkin muncul karena sebuah pendapat yang berbeda dengan yang menjadi pendapat umum. Seringkali kita terpengaruh oleh omongan orang lain padahal belum tentu apa
yang orang lain itu sampaikan benar adanya. Opini umum terbentuk dari kumpulankumpulan pendapat yang beredar di lingkungan sekitar yang mengkerucut sehingga
35
Hasil wawancara Koko, 26 Tahun, Musisi (rapper), 26 April 2012
itulah yang terus tertanam dalam pandangan orang. Seperti halnya baju sisa import yang lekat dengan image bau, sampah, sarang penyakit, bahkan bekas pakai. ‘Aku tau dari teman mbak waktu jaman SMA. Awalnya percaya sama info-info yang beredar kalo baju beginian tu kotor, sampah, tapi setelah aku coba buat dateng&beli ternyata gak seperti yang aku bayangin & kebanyakan orang bilang. Temen-temenku banyak yang bilang “ngapain beli begituan, jorok!”4 Bagi sebagian orang lebih mudah mendengarkan opini negatif daripada opini positif tentang baju sisa impor ‘awul-awul’, bisa dibilang hanya melihat bagian luar saja. Disonansi yang muncul yaitu berupa fakta tentang baju sisa impor, tidak berpengaruh bagi Ovie walaupun pada awalnya ia sempat ragu dan terpengaruh opini yang beredar.
c.
Inkonsistensi Logika, yaitu logika berpikir yang mengingkari logika berpikir yang lain. Awal mula Riski tertarik dengan baju sisa impor ‘awul-awul’ ketika ia kuliah.
Sebelumnya ia hanya sekedar tau kemudian ia diajak temannya ke tempat penjualan baju sisa impor ‘awul-awul’ di Pujasera (tahun 2006). Sebelumnya, ia sama sekali tidak tahu bahkan tertarik untuk membeli baju sisa impor. ‘awal aku tau beginian itu diajak temenku, kebetulan dia seorang breaker dan dia udah sering pergi ke tempat penjualan baju sisa impor. Awalnya pun aku jijik karena tempatnya bau, pengap, berdebu. Beberapa kali aku diajak lagi untuk datang ke tempat penjualan baju sisa impor di Pujasera dan Mrican, dari situ aku mulai tertarik karena aku menemukan baju yang aku anggap bagus dan menarik dari segi model dan motif, selain itu harganya yang terhitung murah mbak, hehee…’5 Dari pernyataan di atas terlihat adanya inkonsistensi logika yang dialami oleh Riski, ia mengingkari pemikirannya yang pada awalnya ia tidak tahu bahkan tidak 46
Hasil wawancara Ovie, 19 Tahun, Mahasiswa, 24 April 2012
57
Hasil wawancara Putri Riski, 24 Tahun, Mahasiswa, 10Mei
2012
mau membeli baju sisa impor. Seringnya ia melihat dan mengalami sendiri, pada akhirnya ia menjadi tertarik dan berkelanjutan sampai sekarang. Dari penjabaran di atas, rasio disonansi merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat disonansi, walaupun awalnya mereka mengalami disonansi tetapi jumlah kognisi yang konsonan lebih besar daripada jumlah kognisi disonan. Peneliti menjabarkan asumsi dari teori disonansi kogitif seperti yang telah dituliskan pada landasan teori di atas sebagai berikut : Asumsi pertama menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia yang mementingkan adanya stabilitas dan konsistensi. Sewajarnya orang merasa lebih nyaman membeli dan memakai baju baru yang dibeli di toko pada umumnya jika dibandingkan dengan membeli baju sisa import ‘awul-awul’. Pada dasarnya pemakai mencari konsistensi, tetapi di sisi lain muncul persepsi lain mengenai baju sisa impor ‘awul-awul’ yang memberikan inkonsistensi pada pemakai. Contohnya, mendapatkan sesuatu/barang yang berbeda/tidak pasaran akan menimbulkan kepuasan tersendiri bagi pemakai. Asumsi kedua berbicara mengenai jenis konsistensi yang penting bagi orang. Teori ini merujuk pada fakta bahwa kognisi-kognisi harus tidak konsisten secara psikologis (dibandingkan tidak konsistensi secara logis) satu dengan lainnya untuk menimbulkan disonansi kognitif. Fakta mengenai baju sisa import ‘awul-awul’ adalah sarang penyakit/penyebar virus, ‘bekas’ pakai, kotor dan inilah yang bisa menjadi inkonsistensi psikologis pemakai. Disonansi di sini terjadi di mana seseorang/pemakai sudah mengetahui tentang fakta tersebut tetapi tetap membeli dan memakai baju sisa import ‘awul-awul’, berbeda ketika seseorang membeli baju baru di toko pada umumnya. Banyak faktor yang dapat menimbulkan inkonsistensi psikologis, misalkan dari sisi ekonomi, kualitas, model, gaya hidup.
Asumsi ketiga dari teori ini menyatakan bahwa ketika orang mengalami inkonsistensi psikologis, disonansi yang tercipta menimbulkan perasaan tidak suka. Gaya hidup setiap orang berbeda dan itu berpengaruh pada pola konsumsi seseorang. Semakin tinggi gaya hidup yang ditampilkan maka semakin tinggi pola konsumsinya. Maka akan timbul disonansi yang berujung pada pemilihan menggunakan baju sisa import ‘awul-awul’ atau memilih membeli baju baru di toko pada umumnya dengan melihat inkonsistensi psikologi (perbandingan barang). 5.3 Proses Perseptual Disonansi Kognitif Dalam Pemakaian Baju Sisa Impor ‘Awul-Awul’. Secara spesifik, Teori Disonansi Kognitif berkaitan dengan proses pemilihan terpaan (selective exposure), pemilihan perhatian (selective attention), pemilihan interpretasi (selective interpretation), , pemilihan retensi (selective retention) karena teori ini memprediksi bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi. Proses perseptual ini merupakan dasar dari penghindaran ini. 5.3.1 Terpaan selektif (selective exposure) Mencari informasi konsisten yang belum ada, membantu untuk mengurangi disonansi. Teori ini memprediksikan bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi dan mencari informasi yang konsisten dengan sikap dan perilaku mereka. Dalam kasus konsumsi pakaian sisa import ini konsumen dihadapkan pada bagaimana mencari informasi-informasi mengenai pakaian sisa impor atau awul-awul. Pakaian bekas ini sendiri memang memiliki citra negatif, ada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa pakaian ini menyimpan potensi virus atau bakteri penyakit menular karena bekas dipakai oleh orang-orang luar negeri yang kita tidak tahu asal-usulnya. Namun dengan beberapa pertimbangan disonansi, seorang
remaja penggemar pakaian bekas yang menjadi informan dalam penelitian ini menyatakan bahwa dia tidak peduli dengan berita-berita tersebut karena baginya, pakaian bekas import ini memiliki kelebihan-kelebihan seperti harganya yang murah serta fashionable. ‘Awal aku tau beginian itu diajak temenku, kebetulan dia seorang breaker dan dia udah sering pergi ke tempat penjualan baju sisa impor. Awalnya pun aku jijik karena tempatnya bau, pengap, berdebu. Apalagi mamaku yang sempat marah gara-gara aku beli begituan (baju sisa import) yang menurutnya tidak jelas asal usulnya. Beruntungnnya lagi aku ketemu teman kuliah yang juga punya hobi ngawul, jadi ya tambah temen buat berburu & tukar info. Hehee…6 “Aku tau dari teman mbak waktu jaman SMA. Awalnya percaya sama info-info yang beredar kalo baju beginian tu kotor, sampah. Apalagi pernah aku nonton berita di televisi tentang baju sisa impor yang dianggap illegal dan mengandung banyak virus. Tapi setelah aku coba buat dateng & beli ternyata gak seperti yang aku bayangin & kebanyakan orang bilang “7 Mulanya Ovie sendiri tidak mengetahui info negatif tentang baju sisa import ‘awul-awul’ karena di tempat asalnya, Makasar, barang seperti itu sudah marak dijual karena dekat dengan pelabuhan yang merupakan tempat lalu lalang pengiriman melalui jasa laut. Jadi membeli barang seperti itu merupakan hal yang biasa bagi dia. Komunikasi antar personal terlihat pada pencarian informasi dan pertukaran informasi tentang baju sisa impor ‘awul-awul’ yang dilakukan informan dengan temannya yang sudah lama memakai barang seperti itu. Bermula dari sebuah ketidaksengajaan bercerita tentang pengalaman memakai baju sisa impor dan berkumpul kemudian berkembang menjadi rasa ingin tahu.
5.3.2 Perhatian selektif (selective attention) 68 79
Hasil wawancara Putri Riski, 24 Tahun, Mahasiswa, 10Mei 2012 Hasil wawancara Ovie, 19 Tahun, Mahasiswa, 24 April 2012
Merujuk pada melihat informasi secara konsiten begitu inkonsistensi itu ada. Orang memperhatikan informasi dalam lingkungannya yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya sementara tidak menghiraukan informasi yang tidak konsisten. Dalam kasus penelitian ini, beberapa konsumen menganggap bahwa berbagai pernyataan maupun anggapan terhadap adanya bahaya penggunaan pakaian sisa import tidak mereka hiraukan karena ternyata yang mereka alami tidak seperti yang diberitakan, faktor kenyamanan serta murahnya produk pakaian bekas import yang fashionable sangat menentukan keputusan pembelian terhadap pakaian awul-awul tersebut, setidaknya hal ini dapat diwakili oleh pernyataan seorang narasumber yang penulis temui di saat membeli pakaian awul-awul ini, “Dulu sih pernah pertama-tama pake sih tanggapannya menjijikkan, bau (debu, asap kendaraan). Walaupun sebenarnya setelah dicuci barangnya bisa terlihat bagus dan tampak seperti baru kembali. Kadang mereka terkejut kalau mereka tahu bajunya itu dapat/belinya di awul-awul. Jadi terkejutnya itu terkejut gak nyangka dan aku tergolong cuek aja sih, justru meyakinkan mereka kalau sebenarnya itu tidak masalah, gak menjijikkan seperti bayangan mereka. Bayangin aja ya mbak, aku bisa belanja di sini bisa sampai 200rb dan itu aku bisa dapat baju hampir 10 buah dan kalau lagi beruntung aku bisa dapat baju ber-merk. Lagipula barangnya pun tidak kalah jauh dengan baju baru seperti kebanyakan dijual di toko-toko8
Dalam hal ini, perhatian informan lebih tertuju pada informasi positif tentang baju sisa import ‘awul-awul’ yang memang murah, kualitas tidak kalah jauh dengan baju baru pada umumya. Bukan karena murahnya aja tetapi ada keunikan dan kepuasan tersendiri, seperti udah ng-soul jadi panggilan jiwaku. Hahahahha. Selain murah, bisa dibilang limited barangnya alias gak pasaran mbak dan secara tidak langsung menunjang penampilanku sehari-hari yang terinspirasi sama Gun n Roses. Hehee…9 810 9
Hasil wawancara Putri Riski, 24 Tahun, Mahasiswa, 10Mei 2012 Hasil wawancara Putut Setyoko, 22 tahun, Mahasiswa, 28 Agustus 2012
5.3.3 Interpretasi selektif (selective interpretation) Melibatkan penginterpretasian informasi yang ambigu sehingga menjadi konsisten.
Dengan
menggunakan
interpretasi
selektif,
kebanyakan
orang
menginterpretasikan sikap teman dekatnya lebih sesuai dengan sikap mereka sendiri daripada yang sebenarnya terjadi. Hal ini juga terjadi dalam kasus penelitian ini peneliti menemukan fakta bahwa seorang yang mengkonsumsi pakaian sisa import ini melakukan kompromi diri terhadap sikap orang lain yang cenderung tidak sesuai dengan harapan yang ia inginkan, dalam pembelian pakaian sisa import ini beberapa konsumen mengalami penolakan sinisme terhadap pembelian tersebut yang dilakukan oleh lingkungan sekitarnya, penolakan-penolakan tersebut dapat berupa bujukan terhadap efek negatif atas penggunaan pakaian bekas import. Penolakan-penolakan semacam ini kemudian diintepretasi oleh diri si pengguna pakaian import untuk mendapatkan pembenaran atas sikap dirinya tanpa menghiraukan penolakan dari lingkungan sekitar. “Pertama kali memakai sempat ada penolakan, mama saya marah dan berpendapat sama seperti pendapat umum lainnya. Tapi karena saya ngeyel, lama kelamaan mama saya malah juga ikutan melirik (mulai suka). Hahaa..10 Karena pada dasarnya aku tipe orang yang cuek banget. Jadi tidak ambil pusing sama omongan orang, ya ini aku.. Selain itu keluargaku juga suka beli dan pakai mbak. Jadi kita sekeluarga punya kebiasaan berbelanja baju sisa impor ‘awul-awul’ sebelum Natal / Lebaran, biasanya H-3 gitu mbak dan kita itu belanja gak cuma di satu tempat penjualan aja mbak, kita tu pasti menjelajahi ‘awulan’ dari Tingkir sampai Ungaran. 11
1011 11
Hasil wawancara Putri Riski, 24 Tahun, Mahasiswa, 10Mei 2012 Hasil wawancara Putut Setyoko, 22 tahun, Mahasiswa, 28 Agustus 2012
Dalam beberapa kasus salah satunya adalah usaha untuk meminimalisasi adanya gangguan-gangguan, dengan menangkal informasi negatif yang ada. Salah seorang informan bercerita bahwa ketika ia mendapatkan info mengenai bahaya pakaian bekas terkait dengan potensi penyakit virus yang bisa ditularkan dari pakaian bekas tersebut. Informan tersebut mengungkapkan bahwa ia menerima informasi negatif namun kemudian berusaha menepis hal itu dengan asumsi dari dirinya sendiri dengan merendam pakaian bekas tersebut, dicuci serta kemudian dibersihkan sedemikian rupa sehingga mampu menghilangkan potensi-potensi penyakit tersebut. Yang pasti setelah membeli, saya langsung merendamnnya dengan air panas dan lebih lama dari pakaian biasa bahkan bisa dua kali pencucian. Dikasih pewangi juga kan kadang walaupun udah dicuci dua kali, bau asap atau debu karena tertimbun lama masih melekat”. Jadi memang harus ekstra pencucian biar benar-benar bersih dan terlihat seperti baru. 12
5.3.4 Retensi selektif (selective retention) Merujuk pada mengingat dan mempelajari informasi yang konsisten dengan kemampuan yang lebih besar dibandingkan yang kita lakukan terhadap informasi yang tidak konsisten. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, retensi selektif merupakan usaha di mana para konsumen pakaian sisa import ini berusaha untuk mencari informasi dari para pengguna yang sudah lama menggunakan produk pakaian bekas ini. Seorang informan yang peneliti wawancarai mengatakan bahwa ia pada akhirnya berusaha mencari referensi dari para pengguna pakaian sisa import ini yang sudah lama menggunakan. Dari mereka, informasi tentang kelebihan pakaian sisa import ini bisa memperkuat anggapan terhadap keunggulan positif pakaian bekas tersebut. 1214
Hasil wawancara Putri Riski, 24 Tahun, Mahasiswa, 10Mei 2012
‘aku sama sekali tidak terpengaruh terhadap info negatif itu, karena pada dasarnya aku tipe orang yang cuek banget. Jadi tidak ambil pusing sama omongan orang, ya ini aku, tetap pada persepsi diriku sendiri. Selain itu aku juga melihat dari ibuku yang lebih dulu senang membeli dan memakai baju sisa impor ‘awul-awul’ tidak mengalami penyakit atau seperti anggapan orang pada umumnya. Apalagi ada sebuah segmen film Realita Cinta dan Rock n Roll yang bikin aku semakin menggilai ‘awul-awul’. Ada satu segmen yang menyebutkan bahwa ‘ketika barang itu semakin rombeng itu lebih oke dan lebih keren’. 13
Terdapat proses penyimpanan informasi, pemahaman, dan penerimaan akan informasi yang menghasilkan sebuah pengendapan informasi yang diyakini dan mengarah pada suatu tindakan, dalam retensi. “Banyak informasi positif atau negatif tentang kaya gini mbak, tapi saya cuek dan bodo amat, cuma lebih menjelaskan kalo asumsi mereka belum tentu benar dan cenderung untuk mempengaruhi mereka, lamalama bisa saja mereka tertarik karena sudah melihat dari orang lain yang memakai. Selama saya nyaman dan enjoy, kenapa tidak?”14
Perubahan sikap yang terjadi adalah cenderung tidak peduli dengan informasi dari luar lingkungan mereka yang memiliki penolakan terhadap Baju Sisa Import ‘Awul-awul’. Meski awalnya merasa tidak yakin, tetapi setelah mereka mengalami sendiri dan mampu mengatasi informasi negatif dari luar, mereka tetap konsisten dan tidak sependapat dengan orang yang beranggapan negatif. Informan melakukan kompromi pada dirinya sendiri dengan mengamati, berpikir kemudian memaknai akan apa yang dialami sehingga membentuk persepsi tersendiri akan baju sisa impor ‘awulawul’ dan di sinilah komunikasi Intrapersonal terjadi.
13 14
Hasil wawancara Putut Setyoko, 22 tahun, Mahasiswa, 28 Agustus 2012 Hasil wawancara Putri Riski, 24 Tahun, Mahasiswa, 10Mei 2012
Dari apa yang telah disampaikan pada pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada awalnya informan mengalami disonansi kognitif. Baik dari opini umum, adanaya perbedaan budaya yang dialami tiap individu, maupu inkonsistensi logika. Kemudian informan mengatasi disonansi kognitif tersebut dengan, Trivilizatuonmengabaikan atau menganggap ketidaksesuaian antara sikap atau perilaku yang menimbulkan disonansi sebagai suatu yang tidak penting. Informan mampu meretensi faktor-faktor yang menyebabkan disonan, tetap yakin dengan persepsi yang ada pada diri mereka. Terdapat kepuasan tersendiri ketika membeli baju sisa impor ‘awul-awul’, selain faktor ekonomi (harga murah) tenyata faktor personalitas (limited dan kualitas) juga menjadi salah satu alasan utama mengapa baju sisa impor ‘awulawul’ banyak diminati.