135
BAB V BENTUK KOMODIFIKASI WARISAN BUDAYA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI PURA PENATARAN SASIH
Pada bab ini disajikan pembahasan tentang bentuk-bentuk komodifikasi warisan budaya di Pura Penataran Sasih. Aspek-aspek yang dikaji meliputi tiga hal pokok, yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi. Bentuk-bentuk produksi yang dimaksud terdiri atas nekara “Bulan Pejeng” dengan keunikan bentuk, ukuran, dan pola hiasnya didukung oleh tradisi lisan; Pura Penataran Sasih dilengkapi dengan uraian
tentang
sejarah,
struktur,
status,
dan
fungsinya;
dan
upacara
maplengkungan dengan berbagai prosesinya. Selanjutnya berkaitan dengan distribusi, peran four helix, yaitu pemerintah, akademisi, lembaga bisnis, dan lembaga desa adat sangat penting dalam mengantarkan semua produk sehingga sampai pada konsumen. Sasaran yang hendak dicapai adalah tidak terbatas pada konsumen lokal dan Nusantara, tetapi juga konsumen dunia internasional. Terakhir pencapaian target, yaitu mampu menghadirkan wisatawan semaksimal mungkin ke Pura Penataran Sasih dengan perimbangan sajian informasi yang memadai berkenaan dengan eksistensi warisan budaya yang dikomodifikasi sebagai daya tarik wisata. Komodifikasi sebagai salah satu ciri era posmodern menjadikan hampir seluruh sisi kehidupan sebagai komoditas untuk diperjualbelikan. Komoditas yang pada mulanya terbatas pada tenaga kerja, tanah, dan uang, kemudian merambah ke segala hal seperti organ tubuh, rasa aman, kebahagiaan, dan lambang keagamaan (Mulyanto, 2012: 25). Bahkan, Piliang (2005: 191) menyebutkan bahwa komodifikasi meluas kepada bidang pendidikan, kebudayaan, hasrat, 135
,
136
keagamaan, tubuh, kematian, bahkan ke bidang politik. Komodifikasi mereduksi makna kehidupan menjadi sekadar makna ekonomi dan pertukaran. Namun, Barker (2004: 14) memandang bahwa komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalis, artinya objek, tanda, dan kualitas berubah menjadi komoditas. Sesuai
dengan
habitatnya
kapitalis
merupakan
upaya
untuk
mengumpulkan keuntungan atau nilai surplus dalam bentuk uang yang diperoleh dengan menjual produk, baik yang mengandung nilai guna maupun nilai tukar sebagai komoditas. Seperti dipaparkan Barker bahwa komoditas yang dimaksudkan adalah objek, tanda, dan kualitas. Ketiga elemen inilah diisyaratkan memiliki nilai guna dan nilai tukar untuk dapat dipertukarkan dengan komoditas lainnya atau dengan uang, kemudian kembali dipertukarkan dengan komoditas dan seterusnya dilakukan berulang-ulang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Berbicara tentang produk-produk komoditas dewasa ini yang dijadikan komoditas tidak terbatas pada barang, tanah, dan tenaga kerja, tetapi juga pendidikan, kebudayaan, tubuh, hasrat, politik, dan simbol-simbol keagamaan. Munculnya aspek-aspek tersebut sebagai komoditas bertolak pada kebutuhan pasar yang beraneka ragam dan berubah begitu cepat. Hal tersebut berdampak kepada tingginya tuntutan terhadap penyediaan produk-produk komoditas yang sifatnya beragam pula. Sebagai konsekuensinya, semua potensi yang mulanya bukan produk komoditas berubah menjadi komoditas. Pasar menurut Hart dan Hahn (2009) dalam Mulyanto (2012: 24) adalah pranata yang menata jejaring sosial pertukaran dengan berbasiskan penawaran dan permintaan. Simpul
,
137
penghubung satu-satunya ketika berhubungan di dalam pasar adalah uang. Seperti dikatakan Barker bahwa komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalis (uang), artinya tanda, simbol, dan kualitas berubah menjadi komoditas. Pada kenyataannya saat sekarang ini produk-produk yang dijadikan komoditas meluas ke berbagai bidang kehidupan tanpa adanya sekat, sehingga sesuatu yang sebelumnya bukan komoditas berubah menjadi komoditas. Pura Penataran Sasih dipilih sebagai objek penelitian disertasi dengan salah satu fokus kajian bentuk-bentuk warisan budaya, meliputi nekara, tinggalan seni arca, upacara keagamaan, tradisi lisan, dan sebagainya. Semua warisan budaya memiliki keterkaitan sangat erat dengan simbol-simbol keagamaan. Indikasi ke arah itu adalah ditempatkannya semua warisan budaya di dalam palinggih khusus, dikeramatkan, dipuja, dan diberikan persembahan (yadnya). Berkaitan dengan persembahan (yadnya), pamangku Pura Penataran Sasih (Desak Made Ayu) menuturkan sebagai berikut: “Sebagai pemangku pura saya setiap hari-hari suci keagamaan, seperti Purnama, Tilem, Kajeng Keliwon, Galungan, Kuningan, Nyepi, dan sebagainya mempersembahkan pasucian dan sodaan (ajuman). Warga masyarakat juga banyak yang datang ke pura menghaturkan banten dan sembahyang. Khusus pada hari Umanis Tumpek Kuningan adalah upacara sesepen, untuk itu semua upakara dipersiapkan oleh dusun yang dapat ngempon upacara, yaitu Dusun Guliang. Ketika itu saya hanya menyiapkan dan mempersembahkan pesucian. Demikian pula, pada harihari Umanis Tumpek lainnya adalah rerahinan Ida Betara Pura Penataran Sasih, saya juga menghaturkan pesucian dan sodaan (ajuman). Upacara piodalan (pujawali) jatuh pada Purnama Kesanga, sekitar bulan Maret. Semua upakara dipersiapkan oleh warga masyarakat Desa Jero Kuta, dan upacara diantarkan oleh Ida Pedanda (Wiku) Yajamana yang mendapat giliran di kala itu. Sebagaimana diketahui bahwa di Desa Jero Kuta Pejeng terdapat lebih dari Sembilan geria, empat di antaranya memiliki pendeta. Semua pendeta dapat giliran sebagai wiku yajamana bilamana upacara piodalan (pujawali) di Pura Penataran Sasih. Untuk hari-hari biasa, saya tidak mempersembahkan banten (canang). Hal yang sama juga berlaku untuk di pura-pura lainnya di lingkungan Desa Jero Kuta (Wawancara
,
138
Senin, 13 Oktober 2014, pukul 13.50--14.00 Wita, di rumah Jero Mangku Pura Penataran Sasih).
Gambar 5.1 Pemangku Pura Penataran Sasih Sumber : dokumentasi A.A. Gde Raka, 2014
Dalam kapasitasnya sebagai benda warisan budaya yang dikonstruksi sebagai komoditas daya tarik wisata, komodifikasi meliputi tiga aspek, yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi. Sebagai bagian dari komodifikasi, ketiga aspek dimaksud memiliki hubungan timbal balik dan saling memengaruhi satu dengan yang lainnya.
Seperti diketahui bahwa produk-produk budaya yang
dijadikan komoditas juga beragam, tentu dalam mengonstruksinya sebagai bendabenda produksi adalah berbeda. Komodifikasi adalah sebuah upaya yang tidak hanya menyajikan produk secara kuantitas, tetapi juga mengedepankan kualitas. Artinya, bahwa komodifikasi adalah sebuah bentuk bisnis, tentunya tidak sama dengan pekerjaan memproduksi atau menjual. Bisnis adalah kegiatan yang bersistem dan berorientasi profit dan kepuasan stakeholder. Bisnis merupakan pekerjaan yang bisa ditiru, dikembangkan, didelegasikan, dilimpahkan, dan dijual
,
139
kepada pihak lain sehingga bisnis bisa berjalan tanpa pemiliknya (Moelyono, 2010: 64). Itu berarti dibutuhkan pengetahuan tersendiri dalam mengemas dan mengelola warisan budaya sehingga menjadi suatu komoditas yang memiliki daya tarik bagi siapa pun yang membutuhkan dan/atau menikmatinya. Untuk mewujudkannya diperlukan inovasi-inovasi cerdas dan mampu mengelola arus dinamika perubahan serta menghargai peranan modal intelektual. Modal intelektual yang dimaksudkan tidak selalu ditentukan oleh tingkat pendidikan formal tinggi, tetapi ditentukan oleh kekayaan ide yang cemerlang dan mampu menghasilkan kreasi dan inovasi yang berkualitas (Moelyono, 2010: 137). Ide cemerlang dan kaya inovasi berkualitas sangat dibutuhkan dalam pengelolaan objek atau daya tarik wisata mengingat begitu banyaknya objek wisata menarik di Bali khususnya di Kabupaten Gianyar sehingga daya saing menjadi lebih tinggi. Walaupun disadari bahwa nekara “Bulan Pejeng” memiliki keunikan tersendiri sehingga menarik, akan lebih baik bilamana pengelola objek mampu memberikan tambahan informasi tentang keberadaan nekara “Bulan Pejeng” dengan dukungan mitosnya. Hal itu penting mengingat pariwisata Bali berbasis budaya dengan mengangkat nilai-nilai kearifan lokal, unsur-unsur budaya asli yang melekat pada masyarakat lokal serta belum tersentuh budaya luar. Menurut Jeremy Boissevain (1996), keberadaan seperti itu merupakan salah satu ciri pariwisata budaya (Pitana dan Gayatri, 2005: 35). Dalam pengamatan yang dilakukan di objek, kerap kali terlihat bahwa penunggu objek hanya mengikatkan selendang dan mengantar tamu sampai di palinggih nekara tanpa memberikan keterangan apa pun, padahal, yang diperlukan
,
140
adalah memberikan informasi tentang objek tersebut. Sikap seperti itu sesungguhnya sangat merugikan pihak wisatawan karena kehadirannya hanya dapat melihat warisan budaya tanpa keterangan. Pihak desa adat tampaknya tidak menyiapkan petugas kontrol (supervisor) karena sudah menyerahkan sepenuhnya kepada pengelola objek. Kembali kepada permasalahan bentuk komodifikasi, yaitu menjadikan warisan budaya sebagai daya tarik wisata, terutama yang berupa artefak, seperti nekara “Bulan Pejeng”, batu bintang (batu silindris), warisan seni arca, prasasti, dan Pura Penataran Sasih itu sendiri. Warisan budaya tersebut tidak mungkin direproduksi, tetapi dapat direproduksi dalam bentuk karya tulis, berupa bukubuku, artikel, jurnal, purana, dan sebagainya. Dipihak lain tradisi lisan (mitos) dan berbagai upacara keagamaan yang dilaksanakan dapat diproduksi kembali melalui teknik dokumentasi.
5.1 Produksi Menurut Khaldun (dalam Mulyanto, 2012: 12) produksi adalah proses mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan manusia dengan memanfaatkan daya yang ada. Tanpa curahan kerja, segala daya yang ada di alam tidak akan bisa menghasilkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan. Tanpa upaya, daya sekadar potensi. Begitu pula tanpa daya, upaya menjadi sia-sia. Sesuai dengan batasan yang diberikan oleh Khaldun bahwa inti produksi adalah mengubah sesuatu merujuk kepada perubahan bentuk. Bila dikaitkan dengan produk-produk komoditas di Pura Penataran Sasih adalah berupa warisan budaya, maka pengertian mengubah yang dimaksudkan dalam produksi tidak mengubah
,
141
bentuk, tetapi mengubah penampilannya. Artinya, bentuk benda-benda warisan budaya yang dijadikan komoditas daya tarik wisata tetap utuh, tetapi dikemas agar tampilannya menarik sehingga dapat memberikan kepuasan kepada yang melihatnya. Terkait dengan pengemasan warisan budaya dibutuhkan upaya untuk memberdayakan berbagai potensi yang ada. Bagiamana mengemas warisan budaya sehingga menjadi sebuah produk budaya yang menarik tanpa merusak bentuk dan wajah aslinya. Selain mengemas produk-produk budaya dimaksud, tidak kalah menariknya, yaitu keunikan upacara “maplengkungan” dengan ikon “siat sampian” yang dipentaskan setiap pujawali oleh para sutri dengan nilai kearifan lokalnya. Nilai kearifan lokal berhubungan erat dengan pariwisata Bali yang berbasis budaya dicirikan oleh produk-produk budaya asli penduduk lokal penghasil budaya. Upacara maplengkungan merupakan salah satu produk komoditas dengan segala keunikan tampak pada setiap bagian prosesi upacaranya, sehingga menjadi sebuah tontonan menarik bagi para wisatawan. Dengan mengizinkan wisatawan memasuki pura dan melihat warisan budaya, upacara, dan tradisi yang dipraktikkan di Pura Penataran Sasih dapat dikatakan sebagai komodifikasi.
5.1.1 Nekara “Bulan Pejeng” Nekara “Bulan Pejeng” yang dijadikan ikon daya tarik wisata dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu dari masa pembuatannya, ukuran, tipe, bentuk dan hiasannya, fungsi, dan maknanya. Dari periode pembuatannya, nekara “Bulan Pejeng” merupakan hasil karya budaya zaman perunggu atau disebut juga zaman
,
142
perundagian. Disebut masa perundagian karena pada saat itu telah tampil para undagi atau mereka yang memiliki kemahiran khusus sebagai undagi pembuatan berbagai benda dari perunggu yang teristimewa adalah nekara. Sebagai salah satu produk budaya unggulan yang dijadikan primadona daya tarik wisata memiliki keunikan-keunikan, yaitu memiliki ukuran besar, termasuk salah satu nekara terbesar di Asia Tenggara (Kempers, 1960: 64); tipe lokal (tipe Pejeng), yaitu tipe yang tidak dimiliki oleh nekara-nekara lainnya di Nusantara (Bintarti, 1985: 86). Dari segi bentuknya, nekara Pejeng memiliki tinggi 1, 98 m lebih besar jika dibandingkan dengan lebarnya. Bidang pukul yang bergaris tengah 1.60 menjorong 25 cm ke luar dari bagian bahu lurus ke bawah dan melengkung ke dalam di bagian pinggang yang berbentuk silinder. Bagian kaki berbentuk genta yang melebar di bagian bawah. Berbagai motif hiasan yang dimiliki oleh nekara Pejeng dapat diterangkan sebagai berikut 1. Bagian atas terdiri atas dua bagian, yaitu bidang pukul dan bagian bahu. (a) Bidang pukul: di tengah terdapat pola bintang bersudut delapan; di sela-sela sudut bintang dihias dengan pola bulu burung merak, sedangkan bintang dihias dengan garis-garis patah. Satu pita lebar mengelilingi bintang dihias dengan jalur-jalur berombak yang membentuk lingkaran-lingkaran atau pilin-pilin dengan pusat yang menonjol. Di atas bidang pukul tidak didapatkan patung katak sebagaimana umumnya kita kenal pada tipe-tipe nekara lain. (b) Bagian bahu: bagian ini dapat dibagi dalam empat ruang horizontal yang berturut-turut dari atas ke bawah memperlihatkan bidang berisi hiasan susunan gigir, bidang tanpa hias, bidang berisi pola tumpal tersusun dalam pita-pita horizontal, di antara pola tumpal itu terdapat sederet pilin yang dipotong oleh garis pendek (pola huruf F), dan akhirnya bidang yang berisi pola hias topeng di antara pegangan nekara yang seluruhnya berjumlah empat atau delapan buah. Topeng digambarkan dengan mata lebar dan bulat, hidung menyerupai kerucut memanjang, dan telinga yang panjang dengan anting-anting dari mata uang. Di bawah pola topeng ini terlihat pita dengan pola tumpal. Pegangan dihias dengan pola jaring yang diukir dengan cara kerawang.
,
143
2. Bagian tengah (pinggang). Bagian ini terbagi dalam dua ruang, yaitu seperti berikut. (a) Bidang-bidang persegi yang tidak dihias dibatasi oleh bidang vertikal berisi pola tumpal bertolak belakang dan pola huruf F. (c) Bidang yang berisi pola tumpal dalam susunan pita-pita horizontal diselingi oleh pita berisi pola huruf F. 3. Bagian bawah (kaki). Sebagian besar kaki yang berbentuk genta ini tidak dihias, kecuali pada bagian di bawah sekali terdapat hiasan pita-pita pola tumpal diselingi oleh pita pola huruf F (Pusponegoro dan Notosusanto, 1984: 247).
Gambar 5.2 Tampak depan Palinggih Ratu Sasih Sumber : http://mitos budayabali.blogspot.com/2011
,
144
Gambar 5.3 Tampak Depan Nekara “Bulan Pejeng” Sumber : http://mitos budayabali.blogspot.com/2011
Gambar 5.4 Tampak Samping Nekara “Bulan Pejeng” Sumber : http://mitos budayabali.blogspot.com/2011
Untuk memenuhi kualifikasi sebagai produk yang layak dijadikan komoditas daya tarik wisata mesti dikonstruksi sesuai dengan kebutuhan barang-
,
145
barang komoditas. Bagaimana nekara “Bulan Pejeng” dikemas agar tidak hanya sebagai benda pujaan bagi warga masyarakat, tetapi juga memiliki nilai tukar untuk dapat dipertukarkan dengan benda-benda lainnya terutama uang. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwa nekara “Bulan Pejeng” adalah sebuah bentuk komoditi yang dapat direproduksi dalam bentuk duplikat yang oleh Baudrillard disebut simulakrum (Kellner, 2010: 403), dijual atau dipertukarkan seperti bendabenda lainnya. Sebagaimana diungkapkan Mulyanto (2012: 63) bahwa nilai tukar suatu barang bisa secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung apabila barang tersebut bisa dipertukarkan dengan barang lain dan secara tidak langsung apabila barang dipertukarkan dengan alat tukar atau uang sebelum dipertukarkan dengan barang lain. Namun, nekara “Bulan Pejeng” terlepas, baik dari pertukaran langsung maupun tidak langsung dalam bentuk produk komoditas, dalam hal ini terjadi pertukaran uang dengan nilai kepuasan. Marx (1990: 125) dalam Mulyanto (2012: 62) menyebutnya dengan nilai guna, yaitu kapasitas suatu barang (produk) yang dapat memuaskan kebutuhan individual entah kebutuhan yang datang dari dorongan fisiologis, sosiopsikologis, ekonomi, atau kultural. Dengan demikian, seperti apa yang dikatakan oleh Theodor Adorno (dalam Lecthe, 2001: 271) bahwa dalam wacana ini kepalsuan dan komoditas dalam dunia kapitalis hampir identik. Artinya, kepuasan yang diperoleh dengan menikmati keindahan dan melihat keunikan sesuatu, dalam hal ini warisan budaya nekara “Bulan Pejeng”, sama halnya dengan memiliki komoditas yang dapat dipertukarkan dengan komoditas lainnya. Komodifikasi, sebagaimana dikatakan oleh Barker (2004: 14) identik dengan kapitalis. Namun, di Pura Penataran Sasih, komodifikasi tidak sepenuhnya
,
146
termotivasi oleh materialisme. Indikasi ke arah tersebut tampak pada besarnya jumlah uang yang disumbangkan wisatawan tidak ditentukan dalam bentuk tiket sebagaimana telah berlaku di objek, seperti Goa Gajah, Gunung, Kawi, Pura Tirta Empul dan yang lainnya, melainkan bervariasi sesuai dengan keikhlasan masingmasing. Walaupun demikian, bahwa dengan mengizinkan wisatawan melihat nekara yang disakralkan oleh masyarakat Pejeng dapat dikatakan sebagai bentuk komodifikasi. Nekara “Bulan Pejeng” sebagai ikon daya tarik wisata, semakin kuat dan menarik karena ditopang oleh beberapa elemen lainnya yang mengusung nama “Bulan Pejeng”, yaitu tradisi lisan tentang “Bulan Pejeng”, nama puri yaitu “Puri Soma Negara”, nama sekolah Taman Kanak-Kanak “Taman Kanak-Kanak Soma Negara”, nama Lembaga Perkreditan Desa (LPD), yaitu “LPD Soma Negara” dan simbol (lambang) Kabupaten Gianyar yang juga menggunakan palinggih Ratu Sasih dengan “Bulan Pejeng” sebagai salah satu elemen simbol Kabupaten. Semua lembaga penopang dimaksud dibangun sebagai bentuk kebanggaan atas pencitraan kekuatan (spirit) Ida Ratu Sasih kepada warga masyarakat pangemong pura. Sebagian besar warga masyarakat Desa Pejeng mengungkapkan bahwa ketika akan bersembahyang ke Pura Penataran Sasih, niscaya Ida Ratu Sasih yang tampak di bayangan mereka. Dalam konteksnya dengan produksi, sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa nekara “Bulan Pejeng” dan warisan budaya yang berupa artifak lainnya ada kemungkinan untuk direproduksi. Namun, berdasarkan pengamatan di lapangan dan hasil wawancara dengan para informan serta dibantu dengan telaah pustaka, diketahui bahwa suatu hal yang dapat dilakukan dalam rangka memenuhi tujuan
,
147
reproduksi adalah upaya pemberdayaan elemen-elemen lain yang menunjang, melengkapi dan menguatkan eksistensi nekara tersebut, seperti tradisi lisan (mitos) Bulan Pejeng, mitos Ratu Bintang, dan berbagai bentuk karya tulis, baik yang menguraikan nekara “Bulan Pejeng” secara spesifik maupun Pura Penataran Sasih secara keseluruhan.
5.1.1.1 Tradisi Lisan Tradisi lisan yang berkembang di masyarakat tentang “Bulan Pejeng” adalah mitos bulan jatuh dari langit. Mitos sebagaimana dikatakan oleh Barthes (2010: 295) adalah sebuah pembicaraan. Tentu saja bukan pembicaraan atau wicara sembarangan; bahasa membutuhkan kondisi-kondisi khusus untuk menjadi mitos. Menurutnya, yang perlu ditegaskan adalah bahwa mitos adalah sebuah sistem komunikasi, mitos adalah suatu pesan. Terkait dengan fungsinya, melalui mitos, Barthes (dalam Storey, 2007: 110) memaksudkan ideologi yang dipahami sebagai sekumpulan gagasan dan praktik yang mempertahankan dan secara aktif mempromosikan pelbagai nilai dan kepentingan kelompok dominan dalam masyarakat. Di pihak lain C.A. van Peursen (1985: 37) mengungkapkan bahwa mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita tidak hanya dapat dituturkan, tetapi juga dapat diungkapkan lewat tari-tarian atau pementasan wayang. Inti dari cerita itu ialah lambang-lambang kebaikan dan kejahatan, hidup dan kematian, dosa dan penyucian, perkawinan dan kesuburan, firdaus dan akhirat. Sebagimana dikatakan Barthes bahwa mitos adalah sistem komunikasi yang mengandung sebuah pesan. Di dalam pesan inilah termuat ideologi. Barthes
,
148
dalam penjelasan fungsinya lebih menekankan pada ideologi politik, sedangkan van Peursen lebih menekankan pada ideologi agama. Seperti itulah yang tampak terjadi di Pura Penataran Sasih, bahwa nekara “Bulan Pejeng” yang dimitoskan sebagai bulan jatuh dari langit, dilihat dari aspek konotatif sarat dengan muatan (pesan) ideologi agama dan ideologi politik. Mitos “Bulan Pejeng” selain dapat menguatkan keyakinan warga masyarakat untuk memuja Ida Ratu Sasih sebagai istadewata utama, sekaligus menjadi media pemersatu seluruh warga masyarakat Desa Pejeng. Berdasar fungsi mitos tersebut, yaitu mitos (tradisi lisan) tentang bulan jatuh dari langit terkait dengan Ida Ratu Sasih yang masih hidup di Desa Pejeng ada beberapa versi cerita. Mereka yang mengetahui keberadaan mitos tersebut berjumlah sangat terbatas, terutama dari golongan usia empat puluhan tahun ke atas, sedangkan usia di bawah umur yang dimaksud jarang yang mengenalnya. Berikut petikan salah satu versi cerita hasil wawancara dengan A. A. Gde Agung, salah seorang tokoh masyarakat Desa Pejeng Kelod. “Menurut penuturan A.A. Gde Agung, dahulu kala ada tiga belas bulan di atas bumi. Pada suatu hari salah satu bulan tersebut jatuh ke bumi dan tersangkut di ranting pohon. Sinar yang dipancarkan bulan tersebut sangatlah terang sehingga tidak ada pencuri di malam hari. Namun, pada suatu ketika para pencuri itu berunding dan mereka bersepakat untuk memadamkan sinar bulan tersebut dan salah satu dari mereka memanjat pohon tersebut dan dengan berbagai upaya ia berusaha memadamkan cahaya bulan yang diliputi lidah-lidah api. Seketika itu juga bulan meledak dan salah satu pecahannya menjadi nekara Bulan Pejeng. Kerusakan yang ada di balik nekara tersebut diceritakan berasal dari ledakan tersebut” (wawancara, Sabtu 19 April 2014, pukul 17.11--17.23 Wita, di Balai Budaya Gianyar).
Versi cerita lainnya yang sedikit berbeda dipetik dari hasil wawancara dengan Ida Pedanda Gede Buruan, Geria Sanding Pejeng, yaitu sebagai berikut.
,
149
“Konon dahulu kala ada tujuh bulan di langit, kemudian jatuh satu tersangkut di pohon teep. Para pencuri marah dan salah satu yang paling sakti naik pohon dan mengencingi bulan tersebut. Namun, masih juga tetap bersinar. Tidak hanya pencuri yang marah, Dewa Surya pun marah karena sinarnya dihalangi oleh terangnya sinar bulan. Dewa Surya kemudian mengutuk agar sinar bulan tidak terus memancar dan merabas sisa bulan yang enam di atas sampai hancur menjadi bintang-bintang, dan yang satu lagi sampai saat ini masih tersimpan di Pura Penataran Sasih” (wawancara: Rabu, 5 November 2014, pukul 10.00--10.30 Wita, di Geria Sanding, Pejeng). Perbedaan dari dua versi cerita yang masih hidup di Desa Pejeng sebagaimana teruari di atas terletak pada jumlah bulan yang ada di langit. Versi cerita yang satu menyebutkan bahwa dahulu kala di langit ada tiga belas buah bulan. Karena salah satu di antaranya jatuh ke bumi, tinggal dua belas buah bulan. Jumlah dua belas bulan yang dimaksudkan tersisa di langit menurut versi pertama dikaitkan dengan tahun kalender masehi yang terdiri atas dua belas bulan. Versi yang lain menyebutnya ada tujuh buah bulan di langit dan jatuh salah satu ke bumi, yaitu di Pejeng. Maka yang tersisa di langit adalah enam buah bulan. Menurut versi cerita kedua bahwa enam bulan yang dimaksudkan dalam cerita tersebut dikaitkan dengan jumlah wuku dalam enam bulan yaitu tiga puluh wuku (enam bulan Bali). Kemudian jumlah enam buah bulan berdasarkan wuku tersebut dihubungkan dengan jatuhnya hari suci Galungan setiap enam bulan sekali, konon sebelumnya dirayakan setiap tujuh bulan sekali. Di luar Desa Pejeng, yaitu di Desa Sawan, Kecamatan Sawan, Buleleng juga ada tradisi lisan tentang “Bulan Pejeng” dengan versi berbeda. Berikut petikan wawancara dengan Cening Carmaya. “Ipidan ada bulan dadua baduwur. Ada lutung menek kayu lawut ancuka bulane tur ulung abesik di Pejeng. Ane abesik enu baduwur”.
,
150
Terjemahannya: “Dahulu ada dua bulan di atas (langit). Ada kera naik pohon kayu dan menonjok bulan tersebut dan jatuh di Pejeng dan yang satu lagi masih di atas”. (wawancara, Senin 8 Desember 2014, pukul 15.00 Wita--selesai, bertempat di Jl. Batuyang, Gang Pinguin 9 x, Batubulan, Gianyar). Di tempat lain, yaitu di Desa Kesiman, Denpasar Timur, Kota Denpasar juga ada mitos tentang bulan tersebut, yaitu sebagai berikut. “Konon, dahulu ada dua bulan di langit. Ditonjok satu oleh seorang pencuri sakti dan jatuh di Pejeng, kemudian yang satu lagi masih di langit” (Informan, I Ketut Kania: Wawancara, Kamis, 11 Desember 2014, Pukul 15.00 Wita-selesai, di Ruang Komite SMA Negeri 6, Denpasar). Perbedaan antara versi cerita di Desa Sawan dan di Desa Kesiman terletak pada tokoh yang menjatuhkan bulan tersebut. Menurut versi cerita Desa Sawan yang menjatuhkan bulan dari langit adalah kera, sedangkan menurut versi Desa Kesiman yang menjatuhkan bulan dari langit adalah pencuri. Dan keduanya menyebutkan bahwa di langit mulanya ada dua buah bulan. Karena yang satu telah jatuh ke Bumi, yaitu di Pejeng. Konon tinggal satu lagi di langit sebagaimana keadaannya saat ini. Namun, di Klungkung, mitos yang berkembang mirip dengan di Pejeng, hanya tidak disebutkan, berapa jumlah bulan yang ada di langit. Berikut petikan hasil wawancara dengan Dewa Putu Windia: “Konon dahulu ada bulan jatuh dari langit, yaitu di Pejeng. Para pencuri merasa dirugikan oleh karena sinar bulan yang memancar terus-menerus membuat mereka tidak dapat beraksi (mencuri). Mereka marah, lalu dikencingi bulannya dan sinarnya menjadi hilang. Selanjutnya mereka dapat beraksi kembali” (Wawancara Sabtu, 13 Desember 2014, pukul 09.30 Wita, di Ruang Komite SMA Negeri 6 Denpasar). Keberadaan mitos (tradisi lisan) tentang nekara “Bulan Pejeng” sebagaimana terurai di atas merupakan penguat nilai-nilai kearifan nekara “Bulan Pejeng”. Suatu hal yang patut diketahui bahwa pada era kekinian yang menjadi
,
151
idola para wisatawan adalah budaya lokal yang belum tersentuh unsur-unsur budaya luar (asing) atau unsur budaya yang masih asli (orisinal). Untuk itu unsurunsur penopang penguatan eksistensi kearifan budaya lokal mesti diperhatikan. Nekara “Bulan Pejeng” tidaklah berdiri sendiri, tetapi perlu dapat penguatan dari unsur-unsur lainnya, baik dalam bentuk material (pratima Ida Ratu Bintang), aktivitas sosial keagamaan (aktivitas upacara maplengkungan), maupun yang lainnya. Hal yang lebih penting di antaranya adalah mitos “Bulan Pejeng” itu sendiri. Berdasarkan konsep yang ditawarkan oleh Valence Smith diketahui bahwa tradisi lisan merupakan salah satu unsur penopang pariwisata berkelanjutan (dalam Cheong, 2008: 15). Pura Penataran Sasih memiliki bentuk cerita (tradisi lisan) menarik mengisahkan keberadaan nekara “Bulan Pejeng”. Rumphius datang berkunjung pertama kali ke Pura Penataran Sasih pada tahun 1705. Ia menulis tentang nekara dan ceritanya didapatkan dari orang lain. Menurut pengamatannya betapa penduduk memuja benda ini yang menurut cerita rakyat bersinar sehingga menerangi malam. Nieuwenkamp juga bercerita tentang Bulan Pejeng terutama tentang keunikan yang tidak dimiliki oleh nekara-nekara lainnya yang pernah ditemukan di Indonesia (Poesponegoro dan Notosusanto, 1984: 246). Bernet Kempers (1956: 67) menguraikan bahwa menurut cerita turun-temurun di Bali benda itu adalah (roda) bulan yang jatuh dari langit. Karena itu, puranya dinamakan Pura Penataran Sasih (Bulan). Kadang-kadang nekara itu dianggap sebagai subang Kebo Yuwo, sedangkan topengnya dijumpai dalam pura di Blahbatuh.
,
152
Pada era pariwisata global ini mitos “Bulan Pejeng” sering kali diceritakan oleh para pemandu wisata, baik yang mengajak tamu berkunjung langsung ke Pura Penataran Sasih maupun dipakai perbendaharaan cerita ketika memandu di lapangan bilamana berbicara tentang Bali. A.A.Gde Rai Karyasa, seorang pemandu wisata menuturkan sebagai berikut. “Waktu luang yang dimiliki selama perjalanan panjang dari satu objek wisata ke objek wisata lainnya, seperti Goa Gajah-Pura-Tirta EmpulKintamani; Pasar Seni Sukawati – Bedugul; Alas Kedaton- Pura Tanah Lot; dan yang lainnya adalah kesempatan untuk bercerita tentang legenda, mitologi, dan nilai-nilai kearifan lokal Bali lainnya. Salah satu di antaranya adalah kisah “Bulan Pejeng” yang jatuh dari langit. Cerita tersebut diangkat setelah meninggalkan Goa Gajah menuju Pura Tirta Empul dan Kintamani. Bila wisatawan yang dipandunya adalah wisatawan asing, sambil lalu biasanya mereka minta untuk melihat langsung keberadaan nekara “Bulan Pejeng” tersebut”.
Ketika ditanya tentang kesan para wisatawan setelah dapat melihat langsung keberadaan nekara tersebut, Ia (Agung Rai Karyasa) mengatakan sebagai berikut. “Bahwa kebanyakan di antara mereka mengungkapkan rasa kekagumannya dapat melihat benda tersebut karena unik, indah, berukuran raksasa (sangat besar), dan tidak pernah dilihat di tempat lainnya” (wawancara Sabtu, 15 November 2014, pukul 07.30--08.30 Wita), di Puri Tatiapi, Pejeng Kawan). Dalam kapasitasnya sebagai produk budaya, cerita “Bulan Pejeng” merupakan sebuah tradisi lisan yang sesungguhnya sebagai penopang keberadaan nekara “Bulan Pejeng”. Dapat dikatakan bahwa mitos “Bulan Pejeng” merupakan dokumentasi sistem keyakinan (religi) masyarakat panyungsung pura terhadap Ida Ratu Sasih yang telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya sampai dengan saat sekarang ini. Bila tidak ditopang oleh mitos
,
153
tersebut, nekara “Bulan Pejeng” dengan segala keunikannya hanya tinggal sebagai warisan tanpa roh atau spirit (power).
5.1.1.2 Ida Ratu Bintang Unsur-unsur lainnya yang berpotensi mengangkat derajat dan prestise keagungan “Dewi Bulan” adalah bentuk kepercayaan atas keberadaan Ida Ratu Bintang. Warisan budaya dalam bentuk batu silindris yang diposisikan di palinggih berbentuk tpas berukuran cukup besar memanjang di sebelah utara Palinggih Ratu Sasih dan di sebelah selatan Palinggih Gedong Kemoning dan jumlahnya lebih dari 90-an diyakini oleh masyarakat setempat sebagai pratima Ida Ratu Bintang sebagai pengiring Ratu Sasih. Namun, sewaktu dikonfirmasi dengan salah seorang tokoh masyarakat, yaitu Cokorde Gde Wintanaya, Puri Kandelan Pejeng, tentang hubungan Ratu Sasih dengan Ratu Bintang, ia mengungkapkan sebagai berikut: “Sangat disayangkan bahwa tradisi lisan (mitos) tentang Bulan Pejeng serta Ratu Bintang yang ada di sekelilingnya sangat jarang, bahkan sama sekali tidak terdengar dalam percakapan anak-anak, baik di sekolah maupun di rumah atau di desa. Rupanya para orang tua enggan bercerita tentang mitos tersebut kepada anak-cucunya sehingga nyaris tidak pernah terdengar dalam percakapan anak-anak di Desa Pejeng saat sekarang ini. Namun, yang terdengar hanya ungkapan singkat, yaitu bulan jatuh dari langit dan itu pun hanya diketahui oleh sebagian kecil anak-anak” (wawancara Rabu, 5 November 2014, pukul 11.30-12.00 Wita, di jaba Puri Kandelan, Pejeng). Hal tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari modernitas yang membawa pengaruh budaya internasional masuk ke desa-desa, yang dapat mengubah tradisi kehidupan masyarakat pedesaan dengan budaya agrarisnya (Hoed, 2011: 213). Salah satu penyebab di antaranya adalah televisi masuk desa, yang dapat membawa orang tua dan anak-anaknya larut dalam acara menonton televisi yang
,
154
sarat dengan hiburan. Selain itu, yang lebih parah lagi adalah kepemilikan hand phone yang dapat membuat anak-anak sibuk dengan sms-an dan pengaruhpengaruh lainnya. Semuanya itu lambat laun dapat membuat tradisi mesatwa hilang.
Gambar 5.5 Palinggih Ratu Bintang Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
5.1.1.3 Buku, Artikel, Jurnal, Purana, dan Naskah Media Sosial Selain dalam bentuk tradisi lisan (mitos) Ratu Sasih dan Ratu Bintang, bentuk-bentuk produksi lainnya yang menguatkan keberadaan warisan budaya nekara “Bulan Pejeng” di Pura Penataran Sasih adalah hasil penelitian dalam bentuk buku-buku, artikel, purana, dan naskah media sosial. Semua bentuk komoditas produksi tersebut di atas terutama yang dalam bentuk buku sudah terbit dan dipublikasikan sejak abad ke-18 dan seterusnya. Hal itu diawali dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti asing, seperti G. E. Rumphius, D’ Amboinsche Rariteitenkamer (Amsterdam 1705); F. Heger, Alte Metalltrommeln
,
155
aus Sudos Asien, (Leipzig, 1902); dan W. O. J. Nieuwenkamp, “Mokko’s”, TAG, 36, 1919, hal. 220--227; lihat buku Sejarah Nasional Indonesia I (Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho, 1984: 244--246). Peneliti lainnya adalah Stutterheim, Oudheiden van Bali, (1929) dan Indian Influences in Old Balinese Art, (1935); Goris, Sejarah Bali Kuno, (Singaraja, 1948); Kempers, Bali Purbakala, (Djakarta, 1956) dan Monumental Bali: Introduction to Balinese Archaeology and Guide to the Monuments, (1989); Ambra Calo, The Distribution of Bronze Drums in Early Southeast Asia: Trade Routes and Cultural Spheres, BAR International Series (1913, 2009), dan yang lainnya. Selanjutnya penulisan juga dilakukan oleh para peneliti pribumi, seperti D. D. Bintarti, “Analisis Fungsional Nekara Perunggu dari Lamongan, Jawa Timur” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) III, Ciloto, 23--28 Mei 1983; I Wayan Ardika, “Bronze Artifacts and the Rise of Complex Society in Bali” , A Thesis submitted for the degree of Master of Arts at the Asutralian National University (1987); Komang Aniek Purniti dkk., Laporan Hasil Pelaksanaan Inventarisasi Benda Cagar Budaya/Situs di Dearah Aliran Sungai (DAS) Pekerisan, Tahap II 24--29 Maret 2003; I Wayan Srijaya, “The Spread of Archaeological Sites along Pakerisan and Petanu Rivers” dalam Recent Studies in Indonesian Archaeology, Editor: Edi Sedyawati dan I Wayan Ardika; I Gusti Ngurah Tara Wiguna dkk. “Purana Pura Penataran Sasih” Alih Aksara dan Terjemahan, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Denpasar, 2013; dan ada pula naskah dalam bentuk sosial media yang dibuat oleh panitia Desa Adat/Pakraman, Jero Kuta Pejeng, tahun 2011. Inti tulisan tulisan tersebut, yaitu hampir semua peneliti menaruh perhatian pada nekara “Bulan Pejeng”.
,
156
5.1.2 Seni Arca dan Warisan Budaya Lainnya Selain warisan budaya berupa nekara “Bulan Pejeng”, di Pura Penataran Sasih cukup banyak disimpan warisan budaya dalam bentuk seni arca, prasasti, dan bentuk-bentuk lainnya. Semua itu menjadi penguat keberadaan nekara “Bulan Pejeng” sebagai ikon daya tarik wisata. Yang berwujud seni arca di antaranya Arca Dewa-Dewi, Arca Catur Kaya, Arca Ganesa, Arca Lingga, Arca Bhatara Guru, Arca Perwujudan Dewa Indra menunggang gajah, dan fragmen arca lainnya. Semua arca tersebut disimpan dalam tiga buah palinggih gedong terbuka, bertempat di utama mandala, yaitu Palinggih Gedong Batur (Utara), Palinggih Gedong Sakenan (Selatan), Palinggih Gedong Batukaru (Barat), dan Palinggih Gedong Kemoning (Timur). Salah satu tokoh arca di antaranya berwujud Arca Dewi (princes statue) pada bagian belakangnya termuat angka tahun candra sangkala berbunyi “kerta rasa tingaling wong” (1264 S/1342 M).
Gambar 5.6 Palinggih Gedong Batur (Utara) Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014 ,
157
Gambar 5.7 Palinggih Gedong Sakenan (Selatan) Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
Gambar 5.8 Palinggih Gedong Batukaru (Barat) Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
,
158
Gambar 5.9 Palinggih Gedong Kemoning (Timur) Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
Dua buah prasasti lainnya adalah satu dipahatkan pada batu berbentuk segi tiga terdiri atas 27 baris, berbahasa Sanskerta. Prasasti itu merupakan sebuah warisan budaya dari Agama Budha (Goris, 1951/1952: 109) tersimpan dalam palinggih di Gedong Sakenan/ Selatan (utama mandala). Bentuk hurufnya lebih tua daripada bentuk huruf yang dipahatkan pada Arca Dewi di Gedong Kemoning (Gusti Ngurah Tara Wiguna: wawancara Kamis, 23 Oktober 2014). Sebuah prasati lainnya adalah prasasti singkat dipahatkan pada balok paras berukuran cukup besar berbentuk segi empat dan menggunakan huruf Kediri Kuadrat berbunyi “parad sang hya (ng) (w) arama” (Stutterheim, 1929: 24). Prasasti ini tersimpan di dalam palinggih Ratu Pengrajan di Jaba Tengah (madya mandala) Pura Penataran Sasih. Berdasarkan bentuk hurufnya, kemungkinan sezaman dengan di Candi Gunung Kawi. Bentuk warisan budaya lainnya yang jumlahnya cukup banyak adalah berupa batu-batu alam berbentuk silindris yang oleh disebut batu bintang oleh masyarakat setempat.
,
159
Gambar 5.10 Prasasti Batu di Palinggih Gedong Sakenan Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
Gambar 5.11 Prasasti Batu parad sang hya (ng) (w) arama Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
Warisan budaya yang berwujud seni arca juga menarik karena keberagamannya, bahkan ada di antaranya berangka tahun sehingga dapat menunjukkan periode zamannya. Keberadaannya selain sebagai daya tarik wisata sekaligus sebagai penopang dan penguat nekara “Bulan Pejeng” sebagai ikonnya. Bahkan, di antara kedua elemen tersebut satu dengan yang lainnya saling mendukung. Sebagai produk komoditas daya tarik wisata, niscaya menjadi menarik juga bila dikemas dengan baik. Nekara “Bulan Pejeng” yang selama ini
,
160
dijadikan ikon semakin terangkat posisinya. Di samping itu, keberadaan warisan budaya yang lainnya juga ikut mendapat perhatian dari para wisatawan karena ada di dalam satu tempat.
5.1.3 Pura Penataran Sasih Pura Penataran Sasih termasuk salah satu pura dari sekian banyak tempat suci yang ada di Desa Pejeng. Sebagai pura yang tergolong tua dengan kepemilikan nilai sejarah, budaya, ilmu pengetahuan, agama, dan sebagainya, sekaligus menjadikan Pura Penataran Sasih menyandang status sebagai warisan budaya. Artinya, sama halnya dengan Pura Pagulingan, Pura Tirta Empul, Pura Mengening, dan Situs Gunung kawi, yang saat ini telah berstatus sebagai warisan budaya dunia (Govermnent of Gianyar, 2012: 13). Terkait dengan komodifikasi warisan budaya, Pura Penataran Sasih merupakan salah satu bentuk dari produk komoditasnya. Keberadaannya saling berkaitan dan terintegrasi menjadi satu kesatuan utuh dengan warisan budaya yang ada di dalamnya.
Gambar 5.12 Pura Penataran Sasih Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
,
161
Gambar 5.13 DENAH PURA PENATARAN SASIH, PURA PUSEH DESA, PURA RATU PASEK, DAN PURA AMERTA SARI
,
162
KETERANGAN : A. PURA PENATARAN SASIH I. Utama Mandala (Jeroan) 1. Palinggih Ida Ratu Bintang 2. Padmasana Sthana Hyang Widhi 3. Palinggih Ratu Sasih 4. Pangaruman 5. Palinggih Gedong Kemoning (Timur) Sthana Bhatara Iswara 6. Palinggih Ida Ratu Bintang 7. Palinggih Gedong Alit Sthana Ratu Mas 8. Palinggih Gedong Sakenan (Selatan) Sthana Ida Ratu Sakenan 9. Bale Paselang 10. Bale Gong 11. Bale Pegat 12. Pawiyosan 13. Palinggih Gedong Batukaru (Barat) Sthana Bhatara Batukaru 14. Bale Angklung 15. Palinggih Gedong Stana Ida Ratu Mas 16. Palinggih Gedong Ida Ratu Manca 17. Palinggih Gedong Batur (Utara) Sthana Ida Bhatara Gunung Batur 18. Gedong Pasimpenan 19. Bale Gajah (Bale Gede) 20. Bale Pasanekan Pamangku 21. Padma Kurung Sthana Dyah Dasar/Ibu Pertiwi 22. Bale Pesantian 23. Bale Pesanekan 24. Bale Dana Punia 25. Bale Pasanekan Pamangku II.
Madya Mandala (Jaba Tengah) 26. Bale Paebatan 27. Palinggih Arca 28. Panggungan 29. Bale Wantilan 30. Bale Kulkul
III.
Nista Mandala 31. Apit Lawang 32. Apit Lawang
B. PURA PUSEH-DESA 1. Padmasana Sthana Hyang Widhi 2. Palinggih Ratu Ketut Petungan 3. Gedong Pasimpenan 4. Palinggih Sedahan Pangrurah
,
163
5. Bale Paselang 6. Bale Pawedaan 7. Bale Panggungan 8. Bale Agung 9. Palinggih Ratu Mas 10. Palinggih Ratu Ibu Pertiwi 11. Meru Tumpang Tujuh Sthana Ida Ratu Pasek 12. Palinggih Ratu Made Jelewarang 13. Pangaruman C. PURA RATU PASEK 1. Palinggih Arca 2. Padmasana 3. Meru Tumpang Tiga 4. Sedahan Ngerurah 5. Piyasan 6. Bale Pasanekan 7. Panggungan 8. Bale Papelik 9. Bale Pesamuan 10. Panegtegan 11. Bale Pasucian 12. Parantenan D. PURA AMERTA SARI 1. Palinggih Bhatara Iswara 2. Gedong 3. Piyasan 4. Panggungan 5. Piyasan 6. Palinggih Arca 7. Pasam
,
164
ambar 5.14 DENAH PURA TAMAN
Gambar 5.15 DENAH PUR
,
165
Gambar 5.15 DENAH PURA IBU
,
166
Selanjutnya bentuk-bentuk produk komoditas yang ditawarkan di Pura Penataran Sasih secara fisik adalah bangunan pura dengan struktur mandala dan struktur palinggih di tiap-tiap
mandala. Selain itu, juga produk komoditas
nonfisik termasuk di dalamnya adalah sejarah pura, status pura, fungsi pura, fungsi mandala dan palinggih-palinggih-nya, dan upacara piodalan secara umum. Semua deskripsi dan interpretasi berkaitan dengan bentuk-bentuk produk komoditas yang dimaksud, secara detail sudah dipaparkan pada Bab IV, subbab 4.2 di depan. Demikian pula uraian tentang upacara keagamaan (piodalan) sudah dijelaskan secara umum pada salah satu bagian dari subbab 4.2 dimaksud. Khususnya upacara maplengkungan karena bersifat spesifik dan unik, disiapkan ruang khusus untuk pembahasannya pada bagian berikut.
5.1.4 Tradisi Upacara Maplengkungan Maplengkungan merupakan upacara inti yang dilaksanakan pada hari ketiga (nutug ketelun) ketika upacara piodalan (mapadudusan alit atau mapadudusan ageng) di Pura Penataran Sasih. Rangkaian acaranya cukup banyak sehingga memakan waktu yang cukup panjang. Berdasarkan pengamatan pada puncak upacara maplengkungan (Selasa, 18 Maret 2014), upacara sudah dimulai pada pukul 08.30 pagi dan berakhir secara keseluruhan pukul 15.30 sore. Selama kegiatan maplengkungan, yang berperan dominan adalah sutri dan tabuh iringan. Berkenaan dengan tabuh iringan, di satu pihak I Made Sue mengungkapkan sebagai berikut: “Upacara maplengkungan membutuhkan konsentrasi para penabuh pengiring selama kurang lebih tujuh jam (08.30 s.d 15.30 Wita), terdiri atas sepuluh tahapan upacara, diiringi tabuh yang berbeda, seperti tabuh telu tangis, tabuh pisan pisang Bali, pendet, baris, baleganjur, dan lain
,
167
sebagainya. Untuk itu, para penabuh dituntut menguasai semua tabuhtabuh iringan dari setiap tahapan upacara dan dilakukan dengan penuh konsentrasi”. Oleh karena tari dan tabuh iringan adalah sudah merupakan pakem upacara maplengkungan, hendaknya setiap penabuh yang ada di Jero Kuta wajib menguasai tabuh-tabuh iringan tersebut sebab suatu ketika dapat giliran menabuh di utama mandala, sekaligus mengiringi upacara tersebut” (Wawancara, Selasa 18 Maret 2014, pukul 08.20, di Balai Gong Pura Penataran Sasih).
Gambar 5.16 Penabuh pengiring Sutri Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
Di pihak lain, tidak kalah menarik untuk diamati ketekunan para sutri yang rata-rata telah berusia lanjut tampak tidak mengenal lelah menari selama tujuh jam. Mereka tidak hanya menari, tetapi juga secara rutin sejak sebelas hari sebelum puncak upacara sudah mulai ngayah membuat upakara (banten) dan berakhir sampai upacara Ida Batara Masineb. Seperti apa perasaan mereka (para sutri) setiap menyambut kedatangan upacara piodalan (pujawali) di Pura Penataran Sasih? Berikut petikan wawancara dengan salah seorang Sutri “Desak Putu Rusmiati”: “Kami merasa senang dan bercita-cita agar upacara berjalan dengan baik. Tidak merasa beban, malahan menunggu kapan diberi kesempatan ngayah oleh para pengurus, seperti menyiapkan dan mempersembahkan upakara
,
168
(banten) dan lain sebagainya. Semua itu dilakukan dengan tulus dan lkhlas. Singkat kata, asal setiap dapat ke pura (ngayah) pasti sehat dan tidak merasa sudah berusia. Namun, sampai di rumah baru merasa payah dan lanjut tidur…………” (Wawancara: Sabtu, 15 Maret 2014, pk. 18.15 Wita, di Pintu Masuk Jaba Sisi Pura Penataran Sasih, Pejeng).
Gambar 5.17 Sutri Pura Penataran Sasih Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
Gambar 5.18 Sutri Pura Samuan Tiga Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
Selanjutnya, sejauh mana peran para sutri dan para penabuh pengiring selama kegiatan upacara maplengkungan, dan keterlibatan Sutri Pura Samuan Tiga, Bedulu dapat disimak sajian rangkaian acara (eedan acara) di bawah ini.
,
169
(1) Ngeluaran Upacara ngeluaran merupakan rangkaian upacara mapelengkungan. Kegiatan ini menjadi prosesi pembukaan dari upacara maplengkungan dan dimulai sejak pukul 08.30 pagi. Upacara ini diawali dengan sembahyang bersama (matur piuning) secara berturut-turut mulai dari depan (ajeng) Ida Ratu Mas, kemudian di depan Ida Betara Pengrajeg Karya, dan terakhir di depan Ida Ratu Sang Hyang (Palinggih Padma Kurung). Selanjutnya para sutri mengambil persiapan berupa canang rebong, cecepan, arak dan berem untuk melaksanakan upacara ngeluaran. Para sutri berbaris di ajeng pangaruman menghadap ke arah candi bentar (arah barat), di barisan paling depan Pemangku Pura Penataran Sasih memegang canang rebong, disusul salah seorang pamangku memegang cecepan, seorang sutri memegang Arak, dan terakhir seorang sutri memegang berem, kemudian diikuti oleh para sutri lainnya. Setelah para Sutri berbaris, para penabuh mulai menabuh untuk iringan sutri, yaitu tabuh telu tangis.
Gambar 5.19 Prosesi Ngeluaran Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
,
170
Upacara ngeluaran dengan sarana arak dan berem dipimpin oleh Jero Mangku Pura Penataran Sasih dan diakhiri sembahyang bersama. Kemudian dilanjutkan kembali kajeroan “nampyog” mengelilingi palinggih Ratu Sanghyang (Padma Kurung) dan Bale Gede (Bale Gajah) sebanyak tiga kali dan pada hitungan terakhir langsung ke Pura Taman Sari.
(2) Nunas Amerta Tahapan kedua adalah upacara nunas amerta. Upacara ini diawali dengan sembahyang di Pura Taman Sari, dilajutkan “nampyog” mengelilingi palinggih Ratu Sanghyang dan Bale Gede sebanyak tiga kali. Setiap sampai di depan palinggih kedua tapak tangan menghadap ke atas, sebagai simbol “nunas amerta”. Perbedan bentuk tari dengan menari pada upacara ngeluaran terletak pada sikap tangan “nunas amerta” dan yang lainnya sama ”nampyog”. Setelah berkeliling sebanyak tiga kali, kembali lagi ke Pura Taman Sari. Iringan tabuh, yaitu tabuh pisan pisang Bali.
Gambar 5.20 Prosesi Nunas Amerta Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
,
171
(3) Ngeber Tahap ketiga, yaitu ngeber. Kali ini para sutri mengenakan selendang putih. Ketika menari para sutri saling memegang selendang dengan bentuk tari “nampyog” dengan satu tangan. Bentuk tarinya tampak berbeda, baik dengan ngeluaran maupun nunas amerta, sebab kali ini tangannya memegang selendang sehingga bentuk “nampyog” hanya dapat dilakukan dengan satu tangan.
Iringan tabuh, yaitu tabuh pisan “Pisang Bali”.
Gambar 5.21 Prosesi Ngeber Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
(4) Maombak-ombakan/Mabente-bentean Tahap keempat adalah maombak-ombakan/mabente-bentean. Memasuki tahapan ini, para sutri diikuti oleh kurang lebih 60-an orang pemuda ikut maombak-ombakan/mabente-bentean. Tempo gerak tari sudah mulai naik, demikian pula penampilan tari sudah didominasi oleh gerak yang dinamis, sehingga ada kesan gerak dan struktur yang berbeda antara sutri dan pemuda. Sutri tetap bertahan dengan gerak nampyog dengan satu tangan dan tangan yang
,
172
satu memegang tangan temannya, sedangkan pemuda merujuk ke gerak yang agak cepat. Namun, dikendalikan oleh sutri, sehingga antar pemuda sering saling merangsek. Iringan tabuh dengan tempo agak naik pula. Setelah mengelilingi Padma Kurung dan Bale Gede tiga kali, kembali lagi ke Pura Taman Sari.
Gambar 5.22 Maombak-ombakan Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
(5) Baris Pada tahap kelima, yaitu menampilkan tari baris diawali oleh sutri dan dikuti oleh para pemuda dengan gerak tari agem kanan/kiri secara bebas mengelilingi Palinggih Padma Kurung dan Bale Gede sebanyak tiga kali dengan iringan tabuh baleganjur. Iringan yang bernuansa dinamis membuat para penari baris seperti kasurupan. Setelah berlangsung tiga kali, pada hitungan ke-tiga para sutri kembali ke Pura Taman Sari.
,
173
(6) Siat Sampian Pada tahap ini, baik sutri maupun pemuda, sejak muncul dari Pura Taman Sari sudah menampakkan gerak yang bebas (bentuk tarinya bebas). Para sutri, dari Pura Taman Sari langsung ke depan sebelah barat Bale Gede/Ratu Sang Hyang dan tidak lagi mengelilingi palinggih seperti prosesi sebelumnya. Namun, para pemuda berteriak-teriak sambil memegang sampian berlari-lari mengelilingi seluruh palinggih Pura Penataran Sasih secara pradaksina sebanyak tiga kali. Kemudian para pemuda pecah menjadi dua, masing-masing saling berhadaphadapan (utara dan selatan) langsung berperang (masiat) bersenjatakan sampian sambil teriak-teriak diiringi tabuh baleganjur dengan tempo yang tinggi. Keadaan seperti itu menjadikan suasana riuh dan ramai. Siat sampian mengakhiri tahapan pertama menuju upacara maplengkungan.
Gambar 5.23 Siat sampian Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
(7) Makiis Setelah siat sampian, ada tenggang waktu sekitar satu jam (60 menit) yang disediakan untuk persiapan makiis. Ida batara sami tedun dari palinggih masingmasing dan sebelum diusung menuju tempat makiis diawali dengan upacara
,
174
pradaksina. Bermula dari Ida Betara Manca se- Desa Pejeng yang berasal dari empat belas desa adat/pakraman, kemudian disusul oleh Ida Betara /Ratu Mas Singapadu, Ida Betara/Ratu Mas Pejeng, Ida Ratu Pura Penataran Sasih, dan terakhir Ida Betara Samuan Tiga. Seusai makiis, Ida Betara Manca tidak lagi kembali ke Pura Penataran Sasih dan langsung diusung ke kahyangan tiga masing-masing, kecuali Ida Betara Pura Agung, Ida Ratu Mas Singapadu, Ida Betara Samuan Tiga kembali diusung ke Pura Penataran Sasih bersama-sama dengan Ida Betara Pura Penataran Sasih. Kali ini tari sutri seperti biasanya menampilkan bentuk tari “nampyog” dengan diiringi tabuh baleganjur.
Gambar 5.24 Makiis Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
(8) Segeh Agung Tiba di jeroan, tepatnya di depan Bale Gede/Padma Kurung, Ida Betara Pura Penataran Sasih mengambil posisi di bagian utara menghadap ke selatan; Ida Betara Samuan Tiga di bagian selatan menghadap ke utara; Ida Betara Pura Agung di arah timur bagian selatan menghadap ke barat; Ida Betara Singapadu di arah timur bagian utara juga menghadap ke barat; dan di antara Ida Betara Pura
,
175
Agung dan Ida Betara Singapadu dipersiapkan upakara segeh agung untuk upacara nyambleh. Ketika nyambleh dilaksanakan, peran sutri juga tampak membantu pamangku dalam proses upacara sampai selesai.
Gambar 5.25 Segeh Agung Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
(9) Rejang Setelah upacara persembahan nyambleh, sutri masing-masing atau permas Ida Betara Pura Samuan Tiga dan permas Ida Betara Pura Penataran Sasih menari berlawanan arah. Bentuk penampilan tarinya mirip seperti tari rejang dan diulang sebanyak tiga kali dengan iringan tabuh pisan, tiap-tiap putaran satu gong.
Gambar 5.26 Rejang Sumber: Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
,
176
(10) Maplengkungan Mapelengkungan merupakan puncak upacara dan sekaligus mengakhiri prosesi upacara nutug katelun Ida Betara Manca. Inti upacara ini adalah dua orang sutri dari masing-masing abdi Ida Betara Pura Penataran Sasih dan abdi Ida Betara Pura Samuan Tiga menari membawa pajeng, diiringi tabuh gilak seperti bale ganjur. Tarian dengan membawa pajeng inilah yang disebut dengan maplengkungan. Setelah beberapa gong berjalan, para penari saling menunjukkan kepiawaiannya memainkan katik pajeng, sekali-sekali dibenturkan (makotek). Di sini tampak siapa yang lebih pintar memainkan katik pajeng, mereka berhasil memukul katik pajeng lawannya. Ketika permainan tersebut sedang asyikasyiknya ditonton, tanpa disadari secara refleks warga yang menyaksikan jalan upacara bersorak-sorak menertawakan mereka yang tidak berhasil memukul katik pajeng lawannya. Setelah diulang dua atau tiga kali tarian makotek katik pajeng tersebut, maka berakhirlah semua rangkaian upacara maplengkungan.
Gambar 5.27 Mekotek Katik Pajeng (Maplengkungan) Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
,
177
Berdasarkan paparan di atas, diketahui bahwa yang menjadi daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih tidak hanya terbatas pada warisan budaya, tetapi juga keunikan upacaranya. Antara produk-produk komoditas yang berupa nekara “Bulan Pejeng”, seni arca dan yang lainnya, dan upacara
“maplengkungan”
dengan ikon siat sampian, masing-masing memiliki keunikan dan dapat menarik puluhan
wisatawan.
Selain
keunikan,
yang
membuat
menarik
adalah
keberagamannya. Dilihat dari warisan budayanya, terutama dari masa pembuatan dan pembentukannya adalah berbeda, yaitu ada dari masa pra-Hindu dan ada dari masa Hindu dengan wujud dan ukuran yang berbeda. Selain itu, dari latar belakang keyakinannya juga berbeda, yaitu tampak adanya perpaduan sistem keyakinan antara pra-Hindu yang diindikasikan dengan pemujaan terhadap dewadewa alam (Dewi Bulan dan Bintang), sistem pemujaan roh leluhur (arca perwujudan dewa-dewi), dan sistem keyakinan Hindu seperti pemujaan kepada Siwa, Ganesa, Lingga Bhatara Guru, dan sebagainya. Kedua bentuk sistem keyakinan tersebut telah terintegrasi menjadi satu dan sulit dipisahkannya. Selanjutnya dilihat dari upacaranya, yaitu keunikan upacara maplengkungan dengan berbagai prosesi upacara terdapat pada siat sampian dan sekaligus sebagai ikonnya. Artinya, baik warisan budaya maupun upacara maplengkungan, samasama memiliki keunikan serta keduanya saling mendukung dan melengkapinya.
5.2 Distribusi Berbicara tentang masalah distribusi, sebagai bahan pembanding sebaiknya kembali menengok ke masa lalu ketika terjadinya revolusi industri di Inggris tahun 1780--1840 yang dapat membuat perubahan sangat signifikan. Ada
,
178
suatu peralihan dari produksi domestik untuk kebutuhan mendesak menuju produksi barang konsumsi massa untuk pertukaran; dari produksi sederhana berbasis keluarga menuju kepada pembagian kerja yang sangat impersonal yang memakai perlengkapan modal (Hobsbawn, 1969 dalam Barker, 2004: 134). Namun, yang dikhawatirkan ketika itu adalah terjadinya over produksi, sebagai akibat dari hasil produksi yang melimpah melampaui kebutuhan domestik sehingga dibutuhkan daerah tempat pemasaran barang-barang hasil produksi. Berdasarkan paparan di atas, diketahui bahwa peran distribusi dan pemasaran sangat vital. Distribusi adalah upaya yang dilakukan untuk menyebarkan produk-produk hasil produksi. Distribusi tidak akan sempurna bila tidak dilengkapi dengan pemasaran agar produk-produk yang didistribusikan sampai kepada para konsumen. Menurut Daum (2003) dalam Moelyono (2010: 135), distribusi dan pemasaran termasuk modal jaringan. Artinya, dalam mendistribusikan dan memasarkan produk-produk komoditas perlu dibangun jaringan kerja atau mitra kerja. Moelyono (2010: 248) mengungkapkan bahwa peran triple helix, seperti cendekiawan (intellectuals), bisnis (business), dan pemerintah (government) sangat menentukan dalam distribusi. Selain ketiga elemen di atas, terkait dengan distribusi dan sekaligus mempromosikan warisan budaya di Pura Penataran Sasih, tidak kalah pentingnya peran warga masyarakat setempat di bawah kendali bendesa adat. Dengan demikian, ada empat elemen (four helix) yang berperan dalam distribusi dan sekaligus mempromosikan warisan budaya di Pura Penataran Sasih, yaitu pemerintah, lembaga bisnis, intelektual, dan masyarakat.
,
179
5.2.1 Pemerintah Pemerintah merupakan sebuah organisasi yang memiliki otoritas untuk mengelola suatu negara. Dengan otoritas itu pemerintah memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu. Pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Moelyono, 2011: 252). Dalam konteksnya dengan pariwisata, lembaga pemerintah yang memiliki tanggung jawab terdepan di bidang urusan pariwisata dari tingkatan tertinggi sampai dengan terendah, yaitu Kementerian Pariwisata di tingkat pusat, selanjutnya Dinas Pariwisata di tingkat Provinsi, dan terakhir Dinas Pariwisata Kabupaten/Kota. Secara formal ketiga lembaga dimaksud memiliki tanggung jawab untuk mendistribusikan sekaligus mempromosikan produk-produk komoditas yang dijadikan objek dan daya tarik wisata, baik ke luar daerah maupun ke luar negeri sehingga sampai ke tangan konsumen. Di Kabupaten Gianyar penyebaran informasi warisan budaya dilakukan oleh Dinas Kebudayaan berkerja sama dengan dinas-dinas terkait, dan yang paling dekat adalah Dinas Pariwisata. Di Gianyar dikenal adanya simbiosis lintas bidang dan lintas SKPD. Artinya, hubungan kerja sama yang saling menguntungkan antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Hubungan lintas bidang bersifat langsung, seperti dilakukan Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata, dan lintas SKPD lebih bersifat koordinasi (Geria dkk,, 2013: 128). Sebagai contoh adalah distribusi informasi dan promosi warisan budaya di daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan yang dilakukan pada tahun 2010 di Prancis. Dari aspek keberadaan warisan budaya yang bertanggung jawab adalah Dinas Kebudayaan dan dinas terdekat yang digandeng adalah Dinas
,
180
Pariwisata untuk mendampingi bupati sebagai penguasa wilayah Kabupaten Gianyar. Selanjutnya ketika sidang penetapan status sebagai Warisan Budaya Dunia di Petersburg, Moskow pada Juni 2012, Bupati Gianyar didampingi oleh Dinas Kebudayaan dan salah seorang perwakilan dari masyarakat (Cok Rai Widiarsa, wawancara 10 Oktober 2014). Perlu dicatat bahwa pada pertengahan tahun 2014 lalu Bupati Gianyar telah menugaskan tim khusus yang diketuai oleh I Wayan Geriya, bekerja sama dengan Pusat Kajian Bali (PKB) Universitas Udayana berlandaskan MoU yang telah dibangun di antara kedua lembaga tersebut (Pemkab Gianyar dengan Unud) untuk merancang pengusulan Gianyar sebagai Kota Pusaka Budaya dengan bermodal warisan budaya. Kemudian dilanjutkan dengan melaksanakan seminar nasional yang bertema “Jelajah Pusaka Budaya Kabupaten Gianyar” pada 22 Oktober 2014 bertempat di Balai Budaya Gianyar. Sebelumnya Pemerintah Kabupaten Gianyar telah menetapkan Desa Pejeng dan Bedulu sebagai zona konservasi dan warisan budaya. Bila rencana ini terwujud, maka daya dukung lingkungan budaya untuk menopang praktik komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih menjadi semakin kuat. Kemudian didukung oleh penyediaan tempat parkir yang cukup luas dilengkapi pertokoan untuk ruang belanja dengan merevitalisasi jaba sisi pura dapat membuat penyediaan fasilitas pengunjung semakin lengkap. Tentu saja bahwa segala upaya yang dilakukan terkait dengan penataan Pura Penataran Sasih dapat berpengaruh positif terhadap kunjungan wisata ke daya tarik wisata Pura Kebo Edan dan Pura Pusering Jagat yang posisinya tidak jauh dari Pura Penataran Sasih.
,
181
5.2.2 Lembaga Bisnis Dari perspektif ekonomi, bisnis adalah suatu entitas organisasi yang dikenali secara legal dan sengaja diciptakan untuk menyediakan barang-barang kepada konsumen baik berupa produk maupun jasa (Moelyono, 2011: 250). Lembaga bisnis yang dimaksudkan di sini adalah lembaga nonpemerintah (swasta) yang bergerak di bidang jasa pelayanan, baik kepada pemerintah maupun publik. Tujuan pembentukan lembaga ini adalah untuk menghasilkan profit dan meningkatkan kemakmuran para pemiliknya. Untuk merealisasikannya niscaya tidak dapat berbuat sendiri, tetapi harus bekerja sama dengan lembaga atau rekanan lainnya yang saling membutuhkan dan menguntungan di antara kedua belah pihak (simbiosis mutualistis). Berkaitan dengan kegiatan distribusi dan promosi warisan budaya di Pura Penataran Sasih, lembaga bisnis yang dimaksud akan diklasifikasi menjadi dua, yaitu lembaga nonmedia dan media.
5.2.2.1 Nonmedia Lembaga non media yang memiliki keterkaitan dengan pariwisata di antaranya Association of the Indonesian Tours &Travel Agencies (ASITA), Biro Perjalanan Wisata (BPW), dan Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI). Keberadaan ketiga lembaga ini saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. ASITA Bali merupakan lembaga yang menaungi Biro Perjalanan Wisata (BPW) di Bali. Untuk dapat menjadi anggota ASITA, pengelola BPW harus mendaftarkan lembaganya di ASITA sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Bahkan lembaga pendidikan tinggi, menengah, atau lembaga lainnya yang mengelola program studi atau jurusan pariwisata dibolehkan ikut sebagai anggota
,
182
ASITA (ASITA, 1993--1994: 97). Selanjutnya himpunan pramuwisata yang keanggotaannya terdiri atas para pramuwisata (guide) secara kelembagaan bernaung dan bekerja di BPW-BPW tersebut. Secara
kelembagaan
yang
bertugas
mendistribusikan
sekaligus
mempromosikan objek dan warisan budaya adalah ASITA. Namun, dalam praktiknya BPW-BPW juga melakukan kegiatan tersebut, bahkan dilakukan lebih sempurna, yaitu dilengkapi dengan paket wisata (paket tur) bironya masingmasing. Distribusi dan promosi juga dilakukan lembaga-lembaga lain, seperti hotel, restauran, jasa transportasi sehingga pendistribusian dan promosi objek dan daya tarik wisata secara serempak terutama oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan dengan berbagai cara dan argumentasi untuk menarik minat wisatawan berkunjung ke Bali. Selanjutnya dalam menerima kunjungan wisatawan di objek, peran pramuwisata sangat penting dalam memberikan penjelasan tentang eksistensi objek atau daya tarik wisata. Salazar (2006: 188) menguraikan bahwa dalam hal memberikan penjelasan tentang daya tarik wisata, peranan pemandu wisata sangat potensial. Mereka adalah pemberi informasi objek dan secara tidak langsung dapat memperkenalkan kekayaan warisan budaya lokal ke tingkat nasional, regional, dan global. Dalam konteksnya dengan objek wisata, Kabupaten Gianyar tercatat sebagai salah satu kabupaten yang memiliki warisan budaya terbanyak di Bali, khususnya Desa Pejeng dan Bedulu. Di desa-desa pemilik warisan budaya inilah peranan pemandu wisata (guide) sangat diperlukan sebagai corong informasi tentang objek. Seperti dikatakan oleh Wiendu Nuryati dalam makalahnya berjudul ”Kebijakan Pemerintah tentang Warisan Budaya Dunia (2013)” bahwa peran
,
183
guide tidak hanya sebatas memberikan informasi daya tarik wisata, tetapi juga dapat memberikan pengayaan terhadap tamu atau totalitas pemahaman dengan audio-visual.
5.2.2.2 Media Perkembangan media massa, baik elektronik maupun cetak mengalami pertumbuhan luar biasa. Indikasinya bisa dilihat dari pertumbuhan jumlah media massa yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Wazis, 2012: 1). Media dibangun di berbagai bangsa di dunia untuk memenuhi kebutuhan informatif, transfer of knowledge, agen perubahan, investigasi sosial, dan tidak kalah pentingnya sebagai media hiburan (Keith, 2003: vi). Peran media sangat luas dan kompleks terlebih pada era global yang dicirikan oleh begitu pesatnya perkembangan informasi sebagai dampak daripada kemajuan teknologi modern. Menurut Kellner (2010: 47), media merupakan kendaraan utama distribusi dan penyebarluasan budaya; media massa komunikasi telah menggantikan modusmodus budaya sebelumnya seperti buku atau lisan; kita tinggal di dunia dengan media mendominasi waktu luang dan budaya. Hal seperti itu dapat membuat keberadaan media memiliki posisi semakin penting. Media adalah partner penting dalam kapasitasnya sebagai pengelola jasa informasi dalam mendokumentasikan dan sekaligus memublikasikan objek dan daya tarik wisata menuju ke wilayah konsumen. Bilamana ada yang membutuhkan bantuan distribusi dan promosi tersebut, merupakan tugas dan kewajiban media untuk membantunya. Melalui media dapat diperoleh isu-isu tentang perkembangan berbagai aspek kehidupan masyarakat di daerah-daerah lain di Nusantara dan di negara-
,
184
negara lainnya di dunia. Sebaliknya, melalui media dapat disebarkan informasi apa pun bentuknya untuk sampai di negara-negara lain di dunia. Tanpa dibantu media, seperti dikatakan oleh Tester (2003) bahwa budaya unggulan yang dimiliki akan mandek atau jalan di tempat dan tetap dalam kesederhanaan. Demikian pula dalam distribusi dan promosi warisan budaya di Pura Penataran Sasih untuk sampai kepada tangan konsumen di mana pun mereka berada, niscaya kehadiran (peran) media sangat penting. Pada era global ini keberadaan berbagai media semakin mempermudah penyebaran informasi-informasi penting, baik melalui website maupun sosial media, seperti facebook, twitter, dan sejenisnya. Hampir semua kalangan, tidak mengenal umur, ikut memanfaatkan media-media elektronik tersebut. Saat sekarang ini informasi merupakan satu hal yang sangat menentukan bagi setiap gerak kehidupan warga masyarakat di dunia. Keberadaan dan kemajuan teknologi, terutama bidang informasi dan komunikasi sangat besar membantu masyarakat untuk mengakses berbagai informasi yang diinginkan dengan cepat. Semakin
terbukanya
hubungan
antarmanusia,
antarlembaga,
dan
antarnegara, yang didukung oleh peralatan canggih (telekomunikasi dan informasi), membuat manusia dapat berinteraksi tanpa harus berpindah tempat. Surat-menyurat, telepon, telekonferensi, faksimile, dan e-mail (surat elektronik)/ internet sudah menggantikan komunikasi tatap muka yang terikat oleh ruang (Hoed, 2011: 212). Jelaslah bahwa peranan internet belakangan ini semakin lengkap, efektif, dan efisien untuk dijadikan media mendistribusikan dan sekaligus mempromosikan objek dan daya tarik wisata. Untuk itulah Bendesa Adat Jero Kuta Pejeng (A. A. Gde Putra/ alm.) memilih mendistribusikan dan
,
185
sekaligus memromosikan warisan budaya melalui media internet. Ketika dikonfirmasi kepada pemandu objek, dijelaskan bahwa banyak di antara mereka yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih mendapatkan informasi tentang keberadaan nekara “Bulan Pejeng” dari sumber internet (Wayan Budiana, wawancara Minggu, 16 Maret 2014, pukul 13.15 Wita di Balai Wantilan Pura Penataran Sasih).
5.2.3 Intelektual Peran intelektual (akademisi), baik dari negeri asing maupun pribumi, sangat penting dalam mendistribusikan informasi. Cukup banyak di antara mereka memiliki atensi untuk melakukan penelitian terhadap situs-situs dan warisan budaya di Bali selanjutnya mengadakan penerbitan. Khususnya karya tulis yang berupa buku-buku, artikel, dan bentuk lainnya yang menyinggung tentang nekara “Bulan Pejeng” diawali oleh para peneliti asing, seperti Rumphius (1705), Heger (1902), Nieuwenkamp (1919), Stutterheim (1929), Goris (1930), van der Hoop (1941), Kempers (1956), Ambra Calo (2009), dan yang lainnya sudah dipublikasikan. Distribusinya pun sudah memasuki jaringan internasional, setidaknya di negara asal peneliti tersebut. Untuk di Indonesia, semua buku karya penulis asing tersebut telah masuk melalui jaringan perguruan tinggi negeri, terutama yang ada Program Studi Arkeologi, seperti Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Hasannudin (Unhas) Makasar, Universitas Udayana (Unud) Bali. Di samping itu, juga di lembaga-lembaga pemerintahan, seperti di Kantor Pusat Arkeologi Nasional (Kapusarnas) Jakarta, Balai Arkeologi (Balar) Denpasar, Balai Pelestarian Cagar
,
186
Budaya (BPCB) Bali-NTB-NTT, Bedulu, Gianyar, Museum Bali (Denpasar), Museum Arma (Ubud), dan di tempat lainnya. Demikian pula karya tulis para peneliti pribumi, seperti karya Bintarti, “Analisis Fungsional Nekara Perunggu dari Lamongan, Jawa Timur”, yang disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) III, Ciloto, 23--28 Mei 1983 dan diterbitkan 1985, distribusinya memasuki jaringan perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia, terutama yang memiliki Program Studi Arkeologi. Selai itu, karya I Wayan Ardika “Bronze Artifacts and the Rise of Complex Society in Bali, A Thesis Submitted for the Degree of Master of Arts at the Australian National University, 1987” distribusinya selain di perguruan tinggi tempatnya menyelesaikan studi (Australian National University) dan di perguruan tinggi asal karya siswa (Unud), tetapi juga memasuki wilayah Asia Tenggara. Tulisan lainnya adalah karya Komang Aniek Purniti dkk. “Laporan Hasil Pelaksanaan Inventarisasi Benda Cagar Budaya/Situs di Dearah Aliran Sungai (DAS) Pekerisan, Tahap II 24--29 Maret 2003” distribusinya masuk melalui Kantor Pusat Arkeologi Nasional Jakarta, Balai Arkeokogi Denpasar, Dinas Pariwisata Pemerintah Kabupaten Gianyar, dan lembaga lainnya
yang
membutuhkan. Satu lagi adalah karya I Wayan Srijaya “The Spread of Archaeological Sites along Pakerisan and Petanu Rivers” dalam Recent Studies in Indonesian Archaeology (Editor Edi Sedyawati dan I Wayan Ardika) distribusinya masuk melalui jaringan perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia, terutama yang memiliki Program Studi Arkeologi dan melalui lembaga-lembaga lain yang ada relevansinya.
,
187
Semua hasil karya tulis yang telah dipublikasikan tersebut cukup berperan dalam menyebarkan informasi tentang warisan budaya, khususnya nekara “Bulan Pejeng”, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, sebelum pariwisata mengalami perkembangan sebagaimana keberadaannya dewasa ini. Kemudian sejak pariwisata Indonesia berkembang pariwisata Indonesia dan memosisikan Bali sebagai daerah tujuan wisata utama, warisan budaya dijadikan sebagai salah satu daya tarik. Akhirnya, warisan budaya nekara “Bulan Pejeng” menjadi sangat penting karena selain diburu oleh mereka yang memiliki kepentingan pengembangan dan pengayaan disiplin ilmunya, juga dibidik oleh Biro Perjalanan Wisata (BPW), Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), dan lembaga-lembaga kepariwisataan lainnya yang memiliki kepentingan untuk mempromosikan lembaganya. Selain itu, tidak sedikit di antaranya yang menawarkan nekara sebagai salah satu daya tarik dalam promosinya.
5.2.4 Masyarakat Dalam pendistribusian dan promosi daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih, selain dilakukan oleh ketiga elemen di atas juga dilakukan langsung oleh bendesa adat dan stafnya, yaitu dengan memilih lembaga atau media (mitra kerja) yang tepat sehingga sampai kepada para konsumen. Namun, tidak kalah pentingnya peran pemandu objek yang kebetulan juga berprofesi sebagai pemandu wisata di salah satu travel agent. Ia memiliki kemampuan memandu cukup mumpuni tentang komoditas produk yang dijadikan daya tarik wisata. Sikap dan perilaku profesional yang ditampilkan dan kecakapan dalam mengemas informasi tentang warisan budaya terkait dengan nekara “Bulan Pejeng” dapat membuat
,
188
wisatawan tertarik. Kepuasan atas pelayanan yang diberikan kepada wisatawan tentu tidak hanya untuk dirinya sendiri, bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwa pengalaman positif yang dialami disampaikan kepada teman-teman senegaranya. Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui bahwa kontrol Bendesa Ageng Jero Kuta atau stafnya sangat kurang atas kinerja pengelola daya tarik wisata. Dengan demikian, pemandu yang memiliki pengetahuan cukup tentang keberadaan objek sering meninggalkan tempat karena harus menunaikan kewajiban di travel agent tempatnya bekerja. Untuk mengisi kekosongannya, sekaligus sang istri sendiri menggantikannya melayani para wisatawan untuk mengikatkan selendang sebagai tanda bebas masuk ke ruang suci. Hal seperti itu perlu mendapat perhatian Bendesa Ageng dalam konteks peningkatan kualitas pelayanan informasi di objek dan daya tarik wisata. Hal itu penting mengingat wisatawan yang berkunjung ke objek berperan sangat penting dalam memproduksi informasi kepada teman-teman senegaranya. Artinya, para wisatawan yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih, selain sebagai konsumen (penikmat) daya tarik wisata juga berperan sebagai distributor dan sekaligus promotor objek dan daya tarik wisata tersebut.
5.3 Konsumsi Berdasarkan konsepnya konsumsi mengandung arti barang-barang yang langsung memenuhi keperluan hidup manusia (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 728). Hakikat semua benda konsumsi tidak terdapat pada fungsi, nilai ekonomi atau tampilan fisik, serta tampilan estetis. Selain itu, juga tidak terletak pada cara dijual atau dikontekstualisasikannya benda-benda konsumsi tersebut
,
189
dalam iklan, pemasaran, atau bentuk promosi lain. Akan tetapi hakikat semua benda konsumsi dapat ditemukan pada fakta, yaitu sebagai komoditas. Artinya komodifikasi produk atau fakta bahwa benda konsumsi pertama kali diproduksi agar dapat dipertukarkan demi keuntungan, yang memberikan karakter khas pada mereka atau jiwa mereka (Lee, 2006: ix). Sebagaimana diuraikan di atas bahwa hakikat benda komsumsi ada pada komoditas. Berbicara tentang konsumsi tentu tidak dapat terlepas dari keberadaan konsumen yang mengonsumsi barang-barang, jasa, dan bentuk-bentuk komoditas lainnya. Seperti apa persepsi (perilaku) konsumen terhadap produk-produk komoditas yang ditawarkan tersebut. Menurut Suprapti (2010: 61), tergantung pada motivasi konsumen, yang membagi pasar menjadi tiga segmen, yaitu kualitas, pelayanan, dan aspek ekonomi. Di mata konsumen suatu benda dikatakan memiliki nilai komoditas, selain memiliki nilai tukar untuk dapat dipertukarkan dengan benda lainnya terutama uang dengan harapan dapat dibelikan benda-benda produk lainnya dan selanjutnya dipertukarkan lagi, tidak kalah pentingnya adalah kualitas, pelayanan, dan aspek ekonomi produk-produk tersebut. Bila dicermati dengan saksama pernyataan Suprapti, persepsi konsumen terhadap produk-produk komoditas tidak hanya terfokus pada kualitas dan aspek ekonomi produk-produk komoditi tersebut. Akan tetapi, tidak kalah pentingnya adalah pelayanan yang diberikan kepada mereka. Pelayanan merupakan salah satu aspek dalam membangun citra positif kepada konsumen. Pitana (2005: 64) mengatakan bahwa citra dapat terbentuk sebagai hasil kombinasi antara berbagai faktor yang ada pada destinasi yang bersangkutan (seperti cuaca, pemandangan alam, keamanan, kesehatan dan
,
190
sanitasi, keramahhtamahan, dan lain-lain). Keramahtamahan merupakan salah satu aspek pelayanan. Pelayanan yang baik dapat membangun citra dan persepsi positif terhadap konsumen. Selain itu, tidak tertutup kemungkinan untuk dilanjutkan (diteruskan) kepada teman-teman senegaranya atau teman-teman dekat mereka. Tanpa disadari bahwa konsumen tersebut langsung menjadi distributor sekaligus mempromosikan barang, jasa, dan berbagai produk komoditas lainnya sehingga dapat melahirkan calon konsumen yang lain (baru). Berbeda halnya dengan produk-produk komoditas yang dimaksudkan di atas yang langsung memenuhi kebutuhan konsumen, sedangkan di Pura Penataran Sasih, selain produk komoditas berbentuk warisan budaya juga dalam bentuk upacara keagamaan, yang tidak mungkin dipertukarkan dengan benda lainnya atau ditukar dengan uang. Atau produk komoditi yang hanya dapat memberikan rasa kepuasan kepada para wisatawan lewat pertukaran dengan donasi (sumbangan masuk) serta tetap berpegang pada moral dan etika tanpa bermaksud materialistik atau mengejar keuntungan melimpah. Materialisme merupakan salah satu nilai budaya yang berdampak negatif pada masyarakat karena cenderung membuat masyarakat bersifat individualistik dan anti sosial (Suprapti, 2010: 217). Hal itu niscaya bertolak belakang dengan perilaku masyarakat lokal yang cenderung bersifat gotong royong dan kerohanian. Kembali perlu ditegaskan bahwa produk-produk komoditas yang ditawarkan di Pura Penataran Sasih adalah dalam bentuk warisan budaya dan upacara keagamaan. Hal tersebut sesungguhnya merupakan sangat spesifik bagi wisatawan oleh karena mereka mendapatkan sesuatu yang lain daripada biasanya. Kehadirannya di Pura Penataran Sasih niscaya mendapatkan rasa kepuasan lebih
,
191
dari membeli berbagai produk komoditas lainnya yang dapat dibeli langsung untuk dibawa ke daerah atau negaranya. Selain keunikan nekara dengan ukuran terbesar di Asia Tenggara bahkan di dunia juga keunikan upacara keagamaan maplengkugan yang masih bertahan pada sifat orisinalitas (keasliannya). Walaupun banyak wisatawan yang hadir menyaksikan upacara tersebut, tampak tidak ada kepentingan penguasa untuk membuat upacara tersebut melebihi kenyataan (hiper reality) sehingga berakibat tidak lagi mengacu kepada realitas di dunia nyata, yang oleh Amir Piliang (2010: 51) realitas yang didasari simulasi (simulacrum reality). Bahkan, sebelumnya Baudrillard mengatakan bahwa dalam postmodernitas atau yang disebut “hiperrealitas”, manusia kehilangan semua perbedaan antara realitas dan simulasi kenyataan (Agger, 2008: 284). Apa yang dikatakan, baik oleh Piliang maupun Baudrillard, tidak terjadi sewaktu upacara maplengkungan di Pura Penataran Sasih. Upacara keagamaan “maplengkungan” hanya dilaksanakan setahun sekali ketika pujawali. Dalam pelaksanaannya, baik bentuk upakara, prosesi upacara, maupun sikap dan perilaku pelaku (aktor) upacara belum terpengaruh oleh kepentingan kapitalis yang berorientasi kepada materialisme. Dengan demikian, sangat beruntung para wisatawan yang dapat berkunjung pada saat pujawali selain dapat melihat nekara “Bulan Pejeng” juga dapat menyaksikan langsung pelaksanaan upacara yang masih original (asli). Namun, untuk hari-hari biasa kelebihan yang diperoleh para wisatawan adalah dapat secara leluasa melihat dan menikmati keunikan dan keindahan nekara “Bulan Pejeng”, Pura Penataran Sasih, dan warisan budaya lainnya.
,
192
Bagaimana kesan para wisatawan terkait dengan kunjungannya di Pura Penataran Sasih? Berikut komentar salah seorang tamu asing asal Swis, Titus Palivan, Business Administration Student of the University of St. Gallen HSG. Chemin de Cerlier 6, 2503 Bienne, Switzerland, dalam wawancara Jumat, 1 Agustus 2014. “It was a great experience to take the time to see Nekara. It is important to say take the time, because in occident, we often just see the things for some seconds, which doesn’t allow us to see all the details. The artifact of Nekara is placed in a way to see it after having a view of the temple. As a foreigner, I got that the artefact had something important, there were offerings to the gods, but only after letting the view enter in me, I understood how it feels to be in front of the Artefact for some time. The temple was very peacefull, which felt nice and permitted to enjoy the beauty of it. To see all this ancient architecture together and being one of the only on the place gave me an amazing inside on the Balinese Culture. I can only imagine what the ceremonies look like, but surely impressive. We could feel that the temple of Nekara is important for the village and local people here. I am very happy to had the opportunity to see this and am thankfull for the to Mr.Agung”.
Gambar 5.28 Wisatawan Swiss, Titus Palivan Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014.
Hal yang menarik adalah kunjungan Cary Venselaar seorang Tekenaar van Indonesie, asal Belanda. Ia mengungkapkan bahwa sudah empat kali berkunjung ke Pura Penataran Sasih sehingga banyak mengetahui tentang nekara “Bulan Pejeng” tersebut. Ketika didekati diajak wawancara, Rabu 5 November 2014,
,
193
pukul 11.00--11.30 Wita, di jaba tengah Pura Penataran Sasih, ia berkomentar sebagai berikut. “The moon of Pejeng is a beautiful, very old object, last in bronze. It looks at just hand very much like mokko’s which were found on Alor and other island in the Nusa Tenggara”.
Gambar 5.29 Wisatawan Belanda, Cary Vanselaar Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
Bilamana berkunjung ketika upacara piodalan berlangsung, selain dapat melihat warisan budaya juga dapat melihat langsung prosesi upacara yang dihadiri lebih dari lima ribuan warga masyarakat secara simultan, terutama pada puncak karya selain itu juga pada saat “Ida Batara Manca Budal” (kembali kekahyangan tiga masing-masing). Sebagaimana disinggung di atas bahwa bentuk-bentuk produksi komoditas di Pura Penataran Sasih selain berbentuk warisan budaya juga dalam bentuk upacara keagamaan dengan berbagai tradisi adat (kebiasaan) desa setempat yang mendukungnya. Dengan demikian ada beberapa kepentingan yang dimiliki oleh mereka untuk berkunjung ke Pura Penataran Sasih. Pura sebesar Pura Penataran Sasih dengan keunikan warisan budaya dan upacara keagamaan yang dimiliki niscaya dapat menarik banyak orang untuk berkunjung, baik mereka dari warga
,
194
lokal, warga luar daerah, maupun warga asing. Demikian pula kehadiran mereka adalah dengan latar belakang dan tujuan beragam, yaitu ada bertujuan penelitian sejarah dan purbakala, wisata spiritual (tirta yatra), melihat upacara keagamaan, dan sebagainya.
5.3.1 Masyarakat Lokal Warga masyarakat lokal, seperti warga masyarakat Jero Kuta Pejeng selaku pangemong dan panyungsung pura, warga masyarakat Desa Pejeng di luar Jero Kuta, warga masyarakat Desa Bedulu, Blahbatuh, dan warga masyarakat Laplapan, Petulu, Ubud memanfaatkan upacara piodalan (pujawali) sebagai media untuk melaksanakan persembahyangan di Pura Penataran Sasih. Selama tiga hari Ida Betara nyejer, yaitu sejak puncak upacara sampai dengan hari ketiga (nutug ketelun) setelah puncak upacara, warga panyungsung pura di luar Jero Kuta,
memanfaatkan
secara
maksimal
kesempatan
tersebut
untuk
mempersembahkan sesaji dan sembahyang. Berdasarkan pengamatan selama panyejeran Ida Batara (Sabtu, 15 Maret s.d. Selasa 25 Maret 2014), diketahui bahwa kesempatan tersebut juga dimanfaatkan oleh warga masyarakat Bali pada umumnya untuk bersembahyang sebagaimana layaknya kehadiran mereka di pura-pura kahyangan jagat lainnya di Bali. Pemangku Pura Penataran Sasih (Desak Made Ayu), menuturkan sebagai berikut: “Masyarakat lokal dari berbagai daerah kabupaten/kota di Bali yang datang berkunjung ke Pura Penataran Sasih umumnya untuk tujuan sembahyang (tirta yatra). Waktu kunjungannya selain memilih pada harihari suci keagamaan, seperti Purnama, Tilem, Kajeng Keliwon, dan harihari lainnya juga hadir di saat panyejeran Ida Bhatara selama upacara piodalan berlangsung” (wawancara Senin, 13 Oktober 2014, pukul 13.50 Wita).
,
195
Selanjutnya untuk kunjungan para siswa/i tingkat sekolah sasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas/sederajat di luar Kabupaten Gianyar, penunggu objek menuturkan sebagai berikut. “Para siswa/i biasanya memilih di hari-hari libur semester, baik semester ganjil di bulan Desember maupun libur semester genap di Bulan Juni/Juli. Mereka datang dipandu oleh gurunya yang mengasuh mata pelajaran sejarah atau guru bidang sosial lainnya” (Ni Made Weni wawancara, Senin 13 Oktober 2014, pukul 12.10 Wita). Bagi kalangan mahasiswa, terutama dari Jurusan Arkeologi Universitas Udayana, I Gusti Ngurah Tara Wiguna, mengatakan bahwa Jurusan Arkeologi secara konvensional sudah memiliki program kunjungan ke situs-situs arkeologi yang disebut “Pengenalan Objek Studi Arkeologi” (POSA). Untuk tahun 2013 kegiatan POSA bagi mahasiswa baru dilaksanakan di Pura Penataran Sasih (Informan : Wawancara, 27 Juli 2014, pukul 17.20 Wita-selesai). Bentuk kegiatan lainnya, yaitu “Praktik Kerja Lapangan” (PKL) yang juga dilaksanakan di Pura Taman Sari (di kompleks Pura Penataran Sasih) yang melibatkan mahasiswa semester V dan VII sebanyak 18 orang, dibimbing oleh semua dosen Jurusan Arkeologi, sejak 10 s.d. 22 September 2014. Selama kegiatan berlangsung hadir pula Kepala Pusat Arkeologi Nasional (Ka Pusarnas) Jakarta, yang didampingi dua orang stafnya dan staf Balai Arkeologi (Balar) Denpasar. Dengan diprogramkannya kunjungan ke situs-situs arkeologi secara rutin setiap tahun dan memilih Desa Pejeng sebagai salah satu objek kunjungan, hal tersebut menandakan betapa tingginya atensi Jurusan Akeologi Unud terhadap situs-situs arkeologi di Pejeng. Khususnya bagi kalangan mahasiswa perhatian mereka terhadap warisan budaya di Pura Penataran Sasih dapat dilihat ketika mengadakan praktik kerja lapangan (PKL) 2014 di Pura Taman Sari yang masih
,
196
menjadi satu kompleks dengan Pura Penataran Sasih. Disela-sela waktu istirahat dari praktik kerja, mereka memanfaatkan waktunya untuk melihat dan mengamati warisan budaya baik yang berwujud nekara, seni arca, maupun yang lainnya.
Gambar 5.30 Kegiatan PKL Mahasiswa Universitas Udayana Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
5.3.2 Masyarakat Luar Daerah Bali Menurut penuturan pemandu objek (Wayan Budiana), kunjungan wisatawan luar daerah jumlahnya tidak sebanyak wisatawan asing. Mereka yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih pada umumnya adalah pelajar, mahasiswa, dan karyawan pemerintah dan swasta. Khususnya para siswa, tertarik untuk mengenal nekara “Bulan Pejeng” kebanyakan ingin memperoleh informasi tentang nekara tersebut, selain belajar dari buku pelajaran Sejarah Indonesia juga mengakses informasi dari internet. Berkenaan dengan waktu kunjungannya, tidak jauh berbeda dengan wisatawan lokal, yaitu mereka memanfaatkan waktu luang untuk berkunjung ke situs-situs arkeologi (warisan budaya) umumnya memilih
,
197
pada hari-hari libur. Para siswa dan guru-guru biasanya memilih pada masa libur panjang semester genap setelah penerimaan buku raport, tepatnya pada Juni/Juli. Sebaliknya, masyarakat umum kebanyakan memilih hari-hari libur lainnya sehingga tidak berbenturan dengan liburan siswa. Mereka yang memilih di luar liburan panjang siswa biasanya pegawai kantor pemerintah/swasta, karyawan/wati bank pemerintah/swasta, mahasiswa/i, dan grup-grup lainnya. Para wisatawan yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih lebih banyak berasal dari kalangan siswa/i sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan/ atau yang sederajat. Selanjutnya ketika dikonfirmasi tentang bagaimana kesan para pengunjung, ia (pemandu objek) mengatakan bahwa mereka (para wisatawan) merasa senang dapat melihat langsung keberadaan nekara dan mengungkapkan rasa kekagumannya dengan keunikan nekara yang berukuran sangat besar (raksasa) tersebut. Selain kekaguman melihat langsung nekara tersebut, mereka juga tertarik mendengar mitos bulan jatuh dari langit. Untuk memberikan kepuasan kepada para wisatawan, mereka diajak berkeliling-keliling melihat warisan budaya lainnya, seperti Ratu Bintang, warisan budaya seni arca, bahkan ada di antara mereka yang bertanya mengapa di Pura Penataran Sasih banyak ada patung dan sebagainya. Pertanyaan mengapa di Pura Penataran Sasih banyak ada patung merupakan hal klasik yang muncul dari para wisatawan. Pertanyaan seperti itu dilontarkan pula oleh Deki, asal Jawa Timur dan Antonius Faria Dasil, asal Kupang, ketika peneliti melakukan penelitian, Sabtu 3 Januari 2015. Mereka berdua adalah mahasiswa Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Warmadewa, Denpasar. Selain melontarkan pertanyaan tersebut, mereka berdua
,
198
juga mengungkapkan rasa kekagumannya melihat nekara “Bulan Pejeng” yang berukuran sangat besar dan belum pernah dilihat di tempat lainnya, termasuk di daerahnya sendiri.
Gambar 5.31 Deki No.3 dari kiri dan Antonius Faria Dasil No.2 dari kiri Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Warmadewa Sumber: Dokumentasi A.A. Gde Raka, 2015.
5.3.3 Masyarakat Internasional Kunjungan wisatawan asing waktunya tidak dapat ditentukan dan biasanya dikaitkan dengan masa liburan di negeri mereka masing-masing. Wisatawan asing yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih didominasi oleh wisatawan asal Eropa dan negara-negara lainnya, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Asia (didominasi wisatawan Jepang dan Korea). Mereka yang berkunjung dan dapat melihat nekara “Bulan Pejeng” tersebut mengungkapkan kekagumannya. Menurut keterangan pemandu objek, wisatawan asing yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih tertarik karena informasi yang diperoleh dari internet (Pemandu objek, wawancara pada hari Minggu, 16 Maret 2014, Pukul 12.30 Wita). Selain mengakses informasi di internet, banyak pula yang mendapatkan informasi dari “calender event of ceremony”.
,
199
Berikut disajikan komentar para wisatawan yang kebetulan hadir mengikuti prosesi “Upacara Maplengkungan” yang dilaksanakan tiga hari setelah puncak “Pujawali” di Pura Penataran Sasih, tepatnya Selasa, 18 Maret 2014, Pukul 14.00 Wita. Sebelum upacara pradaksina dilaksanakan, mereka (para turis asing) tampak berkeliling-keliling sambil melihat-lihat keadaan di pura. Dua orang turis asal Prancis, yaitu Francois Rudolf manajer Televisi Edika 38 year Prancis dan Sophie Rudolf, kebetulan berada di dekat Palinggih Ratu Sasih. Ketika didekati dan diwawancarai, mereka berkomentar sebagai berikut. It is very nice, a lot of colour and rich. We don’t understand everything, let say it is caught like our procession in France in our country, so really nice.
Gambar 5. 32, Wisatawan Prancis, Francois Rudolf dan Sophie Rudolf Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
Ketika upacara pradaksina dilaksanakan, di bagian barat daya pura tepatnya di belakang balai gong seorang tamu Amerika “Gavriel Jecan” berprofesi sebagai landscape designer, sudah siap dengan kamera untuk mendokumentasi prosesi upacara. Dalam wawancara singkat yang ia mengatakan sangat puas karena dapat melihat secara langsung prosesi upacara “pradaksina” sebagai salah
,
200
satu bagian upacara “maplengkungan”. Menurutnya sangat unik dan tidak pernah dilihat selama ia tinggal di Bali. Sambil memegang kamera mengarah ke prosesi upacara ia (Gavriel Jecan) berkomentar sebagai berikut. “This is my seventh time go to Bali but I did not see procession that big, the festival that big like this one. I don’t remember how many villages. I think three days ago they told me that about 14 villages and today we were informed that they are living of the temples with offering and all that so we come back and it is beautiful. We are talking about this ceremony. I did not see before so much offering, so I mean about decoration, the number of people and traditional clothing so everything is beautiful for me because in United State we don’t have so much tradition anymore. It is spectacular ceremony. I mean that is unique”.
Gambar 5.33 Wisatawan Amerika Gavriel Jecan Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
Selanjutnya peneliti mendekati dan mewancarai sekelompok tamu dari Kanada yang tampak asyik menyaksikan upacara “mradaksina”. Mereka berkomentar singkat, yaitu “very nice”.
,
201
Gambar 5.34 Wisatawan Kanada Sumber : Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
Selanjutnya Darren seorang insinyur (engineer) dan Tricia Phillips berprofesi sebagai guru (teacher) pasangan suami istri asal Australia duduk bersama-sama menyatu dengan warga masyarakat dengan tekun mengikuti prosesi upacara “maplengkungan”. Mereka berdua sangat kagum dan tertarik melihat keunikan upacara tersebut karena dapat mengikutinya sejak awal mapurwa daksina. Di bagian akhir, dipergelarkan tari “rejang” dan “makotek katik pajeng” yang dibawakan oleh “sutri” Pura Penataran Sasih, Pejeng dan “sutri” Pura Samuan Tiga, Bedulu berhadap-hadapan. Berikut komentar singkat mereka tentang keunikan prosesi upacara tersebut. My driver told all about ceremony today. This place is really beautiful and spectacular. I believe about everything like this.
,
202
Gambar 5.35 Wisatawan Australia Darren dan Tricia Phillips Sumber: Dokumentasi A.A. Gd Raka, 2014
Seperti diungkapkan dalam komentar singkatnya tentang keunikan upacara yang dilaksanakan, semua itu dapat diketahui dari pemberitahuan sopirnya. Namun, sesungguhnya selama wawancara berlangsung mereka banyak berbicara sebagai bentuk ekspresi kekagumannya. Pada intinya merujuk kepada kebanggaannya melihat keterlibatan masyarakat dalam upacara tersebut, adalah sangat unik bagi mereka berdua, karena baru kali itu mereka melihatnya. Sebagaimana diketahui, bahwa upacara besar hanya dilaksanakan setahun sekali. Berdasarkan pengamatan, yang menarik adalah pada saat upacara dilaksanakan khususnya ketika upacara maplengkungan yang dihadiri ribuan masyarakat berpakaian adat yang didominasi oleh warna putih. Di dalam pura (ruangan suci) tempat di upacara maplengkungan dilaksanakan tidak dapat menampung warga masyarakat (pamedek) sehingga mereka memilih posisi di jaba tengah, di jaba sisi, dan memenuhi jalan dari Balai Banjar Intaran ke utara
,
203
sampai di perempatan Kantor Kepala Desa. Puncak keramaian terjadi antara pukul 12.00 Wita sampai dengan pk. 15.00 Wita. Selanjutnya para pamedek dari luar Jero Kuta mulai meninggalkan Pura Penataran Sasih dengan mengususung istadewata pujaan di kahyangan tiganya masing-masing. Berbeda dengan hari pelaksanaan upacara piodalan, pada hari-hari biasa yang hadir adalah para wisatawan asing dan umumnya mereka berkunjung karena tertarik untuk melihat nekara “Bulan Pejeng”. Dikatakan demikian bertolak dari kenyataan pada saat Palinggih Ratu Sasih dipugar (direnovasi) pada Januari 2013 untuk sementara nekaranya ditutup hingga selesai renovasi. Beberapa di antara wisatawan sewaktu mendapat penjelasan dari pemandu objek tentang adanya renovasi palinggih, selanjutnya pemandu wisata (guide) yang meng-handle tamu melihat langsung ke ruang suci untuk memastikan kenyataan tersebut. Setelah mendengar pengaduan guide bahwa nekara dalam keadaan tertutup, spontan saja mereka membatalkan kunjungannya karena tidak dapat melihat nekara tersebut. Walaupun tidak semua wisatawan yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih bersikap dan berperilaku seperti itu, yang jelas bahwa tujuan utama para wisatawan asing datang ke Pura Penataran Sasih adalah untuk melihat keberadaan sesungguhnya nekara “Bulan Pejeng” tersebut. Niscaya dengan berbagai keunikannya seperti yang dilihatnya pada gambar (foto) dalam promosi yang diburu, bukan melihat warisan budaya lainnya. Cukup beralasan bilamana ada di antara wisatawan yang bersikap seperti itu, karena yang gencar (marak) dipromosikan lewat media internet adalah mitos nekara “Bulan Pejeng”. Jelaslah bagi mereka yang tertarik berkunjung ke Pura Penataran Sasih bahwa yang diburu
,
204
adalah nekara “Bulan Pejeng”. Ketika yang dicari tidak ada, jelaslah mereka meninggalkannya. Sebagai penguat sikap dan perilaku wisatawan dalam mengambil keputusan untuk objek dan daya tarik wisata yang dikunjungi khsusunya di Kabupaten Gianyar, Dinas Pariwisata telah mengadakan jajak pendapat terhadap seratus orang responden. Hasilnya, bahwa 59% mereka menyatakan tertarik dengan keunikan budaya, 11%keindahan alam, 10% keramah-tanmahan penduduk , 6% kelengkapan fasilitas, 2% karena biaya atau harga berlibur, atraksi budaya , dan selebihnya lain-lain. Jelaslah bahwa mayoritas wisatawan asing yang berlibur ke Gianyar tertarik kepada keunikan budaya masyarakat Gianyar (Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata, 2013: 39). Demikian pula halnya dengan yang terjadi di Pejeng. Dari hasil wawancara diketahui bahwa dengan para wisatawan yang berkunjung di Pura Penataran Sasih, hampir semua menyatakan nekara “Bulan Pejeng” sangat unik dan menarik. Untuk menguatkan hasil jajak pendapat yang dilakukan Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata Pemerintah Kabupaten Gianyar dan hasil wawancara yang diadakan dengan para wisatawan yang mengunjungi warisan budaya di Pura Penataran Sasih, berikut petikan hasil wawancara atas pengamatan lapangan yang dilakukan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar (A.A. Bagus Ari Brahmanta): “Salah satu penyebab wisatawan berkunjung di Gianyar adalah ketertarikannya terhadap keunikan budaya. Oleh karenanya tidak jarang di antara mereka yang memperpanjang waktu liburannya. Bila hal itu tidak memungkinkan, setidaknya mereka (wisatawan) akan mengulangi kunjungannya pada hari-hari lainnya” (wawancara: Selasa, 11 November 2014, pukul 11.45 -- 12.00 Wita, di Kantor Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar).
,
205
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar dengan tegas mengatakan bahwa warisan budaya merupakan salah satu daya tarik wisata yang digandrungi oleh para wisatawan. Sebagaimana diketahui, bahwa Kabupaten Gianyar merupakan salah satu kabupaten/kota di Bali yang paling kaya dengan warisan budaya. Daerah aliran sungai (DAS) Pekerisan dan Petanu dan wilayah yang berada di antara kedua DAS tersebut merupakan wilayah basis warisan budaya. Desa Pejeng merupakan salah satu desa yang paling banyak menyimpan warisan budaya dan oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar telah ditetapkan sebagai zona konservasi dan warisan budaya. Walaupun warisan budaya banyak diminati oleh para wisatawan, sejauh ini pemerintah sedang mengoptimalkan pengelolaannya pada objek-objek yang sudah dikenal para wisatawan, seperti Pura Tirta Empul, Gunung Kawi, Goa Gajah, tetapi belum ada upaya merevitalisasi warisan budaya lainnya. Demikian pula di Desa Pejeng, sampai dengan saat ini pengelolaan warisan budaya masih terkonsentrasi di Pura Penataran Sasih dan dua objek wisata lainnya yang sedang dipromosikan, yaitu Pura Kebo Edan dan Pura Pusering Jagat.
,
206
BAB VI PROSES KOMODIFIKASI WARISAN BUDAYA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI PURA PENATARAN SASIH
Sebelum membicarakan proses komodifikasi dibahas tentang faktor pendorong terjadinya komodifikasi. Hal itu sangat urgen untuk dibicarakan, sebab tidak mungkin komodofikasi terjadi tanpa ada sesuatu yang mendorongnya dan tentunya melalui sebuah proses. Berkembangnya tradisi mengomodifikasi suatu produk yang mulanya bukan komoditas menjadi komoditas merupakan pengaruh dari pariwisata global, kemudian dapat diterima dan mentradisi di Bali. Termasuk salah satu di antaranya komodifikasi warisan budaya di Pura Penataran Sasih tentu ada faktor penyebabnya. Selanjutnya disajikan proses komodifikasi warisan budaya yang keberadaannya sangat disakralkan dan dipuja oleh warga masyarakat panyungsung pura. Untuk itu niscaya dibutuhkan upaya yang tepat dalam pengelolaannya, baik dalam kapasitasnya sebagai benda sakral dan dipuja maupun sebagai benda cagar budaya yang saat ini dijadikan daya tarik wisata. Pada bagian akhir bab ini disajikan uraian tentang pengelolaan donasi.
6.1 Faktor Pendorong Komodifikasi Adanya pergeseran sikap dan perilaku masyarakat lokal (Bali) yang cenderung menerima kebiasaan budaya barat, dapat dengan mudah memberikan kebebasan ruang dan waktu untuk terjadinya komodifikasi. Perlu dicatat bahwa terjadinya perubahan sikap dan perilaku masyarakat tidak hanya didorong oleh faktor-faktor dari luar, tetapi dapat pula terjadi karena dorongan dari dalam masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, faktor penyebab (pendorong) terjadinya 206 ,
207
perubahan tersebut di samping berasal dari dalam (intern) juga berasal dari luar (ekstern). Perubahan sikap dan perilaku yang berasal dari dalam masyarakat (intern) menurut Barnet (dalam Hoed, 2011: 2002), cenderung terjadi sebagai bentuk keinginan masyarakat itu sendiri. Ada tiga hal prinsip yang menjadi pertimbangannya, yaitu: pertimbangan kreatif yang meliputi kepraktisan, efisiensi dan ekonomi; menghindar dari monoton; dan pertimbangan memperoleh penghasilan dan peran lebih besar. Konsep perubahan yang ditawarkan Barnet tersebut dapat dijadikan pedoman untuk melihat faktor-faktor intern yang mendorong terjadinya perubahan sikap dan perilaku masyarakat di Desa Pejeng. Pertama, pertimbangan kepraktisan tampak pada pelaksanaan upacara piodalan (sasepen) di Pura Penataran Sasih. Karena tidak begitu banyak membutuhkan tenaga, diserahkan kepada salah satu dusun untuk menyelenggarakannya. Dengan demikian, secara ekonomi masyarakat diuntungkan karena penggunaan tenaga dan material menjadi lebih efektif dan efisien; Kedua, menghindar dari monoton, yakni merombak pola masa jabatan Bendesa Adat di Pura Penataran Sasih, yaitu dari pola status quo ke pola pembatasan masa jabatan. Ketiga, pertimbangan penghasilan dan peran yang lebih besar. Fenomena tersebut tampak pada pola pengelolaan warisan budaya, yaitu dari sistem feodalisme yang digerakkan oleh kebutuhan menuju ke sistem kapitalisme yang digerakkan oleh keuntungan. Selanjutnya perubahan yang berasal dari luar (ekstern), yaitu masuknya unsur-unsur budaya luar relatif banyak berpengaruh terhadap terjadinya perubahan budaya di dalam masyarakat. Menurut Ralph Linton (1984: 155), perubahan dari luar masyarakat dapat terjadi karena adanya difusi budaya. Difusi
,
208
dapat mendorong kemajuan kebudayaan secara keseluruhan dan memperkaya isi tiap-tiap kebudayaan sehingga dapat mendorong maju dengan pesat masyarakatmasyarakat yang mendukungnya. Fenomena tersebut tampak terjadi di Bali, terutama di desa-desa yang menjadi tujuan wisata. Desa Pejeng yang menawarkan Pura Penataran Sasih sebagai daya tarik wisata berposisi satu jalur dengan objek wisata Goa Gajah, Gunung Kawi, dan Tirta Empul, tepatnya di wilayah lintasan wisatawan yang menghubungkan objek wisata Ubud – Tampaksiring – Kintamani. Keempat objek tersebut memiliki tingkat kunjungan wisatawan yang cukup tinggi. Dengan demikian, sangat sulit untuk menghindar dari pengaruh budaya global yang digandengnya. Sebagaimana diketahui bahwa pariwisata global dapat mengaburkan batas-batas sosial budaya wilayah tradisional (Salazar, 2006: 188). Dengan kata lain pariwisata dapat membuat hubungan antarnegara menjadi semakin dekat seolah-olah tidak ada jarak yang memisahkannya, termasuk hubungan Bali sebagai daerah tujuan wisata utama Indonesia dengan negara-negara lain di dunia. Keberadaan seperti ini tentu mempermudah proses terjadinya difusi budaya global. Menurut Hoed (2011: 199), arus globalisasi masuk ke desa melalui berbagai cara. Setidak-tidaknya ada empat jalur yang membawa kebudayaan internasional ke dalam masyarakat kita, khususnya masyarakat pedesaan, yaitu televisi, pariwisata, industry, dan perdagangan. Ia juga menegaskan bahwa pada akhir-akhir ini globalisasi masuk ke desa-desa melalui internet. Masyarakat global dengan budaya kapitalisnya, yaitu ruang, waktu, dan uang menjadi kekuatan sosial mereka (Piliang, 2010: 162). Kapitalisme telah menjadi kekuatan yang paling penting dewasa ini yang dapat memengaruhi
,
209
kelompok dalam masyarakat untuk menggunakan berbagai sumber daya demi mencapai suatu kehidupan yang lebih baik. Cara pandang masyarakat terhadap dunia mengalami pergeseran, juga terhadap agama. Agama dalam hal ini bukan merupakan sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup, melainkan sebagai instrumen bagi gaya hidup itu sendiri (Abdullah, 2010: 113). Kebutuhan kapitalis (modal) mendorong sikap dan perilaku masyarakat bersifat materialis (budaya global) yang menurut Sanusi Pane, secara prinsip bertentangan dengan budaya timur (Indonesia), khususnya Bali yang kental dengan kerohaniannya (Alfian, ed., 1985: 109). Budaya kapitalis yang memiliki kecenderungan bersifat materialistik dapat memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat lokal menjadi bersifat modernitas, yaitu sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung meninggalkan hal-hal yang sudah mentradisi dalam kebudayaan suatu masyarakat (Hoed, 2011: 210). Modernitas memberikan ruang dan waktu terjadinya modernisasi, seperti terjadinya perubahan di Eropa dari zaman feodalisme ke masa republik, yaitu di Prancis (Revolusi Prancis), sedangkan di bidang teknologi dan ekonomi adalah Revolusi Industri yang lahir di Inggris pada abad ke-19. Tradisi budaya global seperti yang lahir di Eropa inilah masuk di Indonesia, khususnya di Bali melalui media televisi, pariwisata, industri, dan perdagangan. Tanpa disadari hal itu secara evolusi memengaruhi dan mengubah tradisi budaya masyarakat lokal, terutama di daerah-daerah yang menjadi sasaran tempat tinggal wisatawan dan objek wisata. Perubahan sikap dan perilaku yang disebabkan oleh kurang selektifnya menerima tradisi budaya barat, niscaya memberikan ruang dan waktu mulusnya proses komodifikasi.
,
210
6.2 Proses Komodifikasi Dalam pembicaraan masalah proses komodifikasi, selayaknya dilihat secara utuh keberadaan pura dan warisan budaya yang ada di dalamnya. Warisan budaya merupakan bagian keseluruhan dari Pura Penataran Sasih dan keberadaannya tidak hanya sebagai benda-benda yang disimpan begitu saja tanpa memiliki arti. Semua warisan budaya dikeramatkan dan dipuja bahkan salah satu di antaranya, yaitu nekara “Bulan Pejeng” selain sebagai media pemujaan juga dijadikan ikon daya tarik wisata. Artinya, pura dengan warisan budaya yang ada di dalamnya menjadi satu kesatuan utuh sehingga antara yang satu dan yang lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Pura Penataran Sasih sendiri juga termasuk sebagai warisan budaya. Pemberian status tersebut di samping karena usianya sudah cukup tua juga memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan budaya.
6.2.1 Masa Sebelum 1990 Menurut Greenwood (dalam Pitana, 2008: 83), proses terjadinya komoditisasi (komodifikasi) dan komersialisasi berawal dari hubungan wisatawan dengan masyarakat lokal. Kehadiran wisatawan dipandang sebagai tamu dalam pengertian tradisional, yang disambut dengan keramahtamahan tanpa adanya motif ekonomi. Dengan semakin bertambahnya jumlah wisatawan, maka hubungan berubah menjadi resiprositas dalam arti ekonomi, yaitu atas dasar pembayaran. Jadi, hal itu tidak lain dari proses komoditisasi atau komersialisasi. Sebagaimana diungkapkan Greenwood tampaknya demikian pula dialami di Pura Penataran Sasih, yaitu menuju kepada keberadaannya seperti dewasa ini juga mengalami proses yang cukup panjang seiring dengan perjalanan waktu serta
,
211
berbagai dinamika dan perubahan menyertainya. Hal itu berawal dari kunjungan Rumphius ke Bali 1705 yang menaruh perhatian terhadap nekara “Bulan Pejeng” sebagai salah satu warisan budaya tertua (Poesponegoro, 1984: 246). Ia diterima dengan keramahtamahan di Pejeng sebagaimana sikap dan perilaku orang Bali yang sesungguhnya bila bertemu dengan orang lain terlebih orang asing. Dari keterangan Rumphius, setidaknya diperoleh penjelasan bahwa Pejeng telah dijadikan aktivitas agama dan budaya sejak zaman perunggu (2.000 tahun lalu). Untuk lebih menguatkan keterangan Rumphius, suatu hal penting yang perlu diingat adalah pemaparan Kempers (1960: 68) bahwa Pura Penataran Sasih adalah kuil pusat kerajaan Pejeng dahulu kala dan Bulan Pejeng sebagai benda pujaan. Berkenaan dengan status pura, Goris (dalam Sedyawati dan Ardika, ed., 2012: 62) dengan jelas mengatakan bahwa Pura Penataran Sasih adalah Pura Penataran Kerajaan (Kingdom Temple); Pura Puncak Panulisan sebagai Pura Gunung (Mountain Temple); dan Pura Pusering Jagat sebagai Pura Segara (Segara Temple). Dalam pergulatan waktu yang berlangsung cukup panjang, yaitu tidak kurang dari dua setengah abad ditinggal Sang penguasa (1343 M--1705 M) (Stutterheim, 1935: 17; Putra, 1991), tetapi keyakinan terhadap agama Hindu terus berlanjut di Desa Pejeng. Bersamaan dengan kedatangan Rumphius pula (1705), Pejeng dipilih kembali dijadikan pusat kekuasaan oleh Dewa Agung Mayun Putra (Tim Penelusuran dan Penyusun Purana Pura, 2013: 32). Paparan singkat tentang keberadaan warisan budaya terkait dengan status, fungsi, dan kekhasan yang dimiliki serta peran penguasa sebagai pengendali pemerintahan sangat urgen diangkat ke permukaan. Sebagaimana diketahui bahwa hampir semua peneliti dan penulis asing yang tertarik dengan warisan budaya di
,
212
Desa Pejeng menaruh perhatian lebih intensif terhadap warisan budaya di Pura Penataran Sasih. Sebagai faktor penyebabnya adalah keberadaan warisan budaya nekara “Bulan Pejeng” dengan berbagai keunikan yang dimilikinya. Demikian pula halnya dalam pola penerimaan kunjungan wisatawan dari bersifat tradisional sampai dengan diperlakukan secara resiprositas (membayar) tidak terlepas dari daya tarik nekara “Bulan Pejeng” tersebut. Namun, suatu hal yang tidak boleh dilupakan adalah peran sentral penguasa sebagai pemberi konsesi atas semua kegiatan tersebut. Komodifikasi warisan budaya sesungguhnya tidak direncanakan, tetapi muncul di luar dugaan sesuai dengan kehendak zaman. Di pihak lain pembangunan pura, palinggih pura, pemeliharaan pura, kegiatan upacara, dan sebagainya merupakan sebuah kewajiban yang harus ditunaikan oleh warga masyarakat di bawah kendali dan tanggung jawab bendesa adat. Dengan demikian, peran bendesa adat sangat besar dalam mengendalikan roda pemerintahan dan pembangunan di Desa Pejeng. Sejauh mana peran bendesa adat dalam pembangunan dan pemeliharaan tempat suci, khususnya Pura Penataran Sasih? Berikut petikan hasil wawancara dengan salah seorang tokoh puri, yaitu “Cokorda Ngurah Mayun” (Ida Sri Begawan) yang juga mantan Bendesa Adat Jero Kuta. “Saya menjabat sebagai Bendesa Adat lebih dari tiga puluh lima tahun (sebelum G 30 S PKI/1965--2000). Renovasi secara besar-besaran (monumental) terhadap bangunan pura dan bangunan palinggih-palinggih dilakukan sehabis G 30 S PKI dengan gerakan massa. Saya memanfaatkan kemenangan Marhaen sebagai momen pemicu untuk membangkitkan semangat warga masyarakat (massa) di bawah kendali para kepala dusun dan para tokoh masyarakat dari 14 desa adat yang didukung 29 banjar adat, untuk membangun Pura Penataran Sasih. Selanjutnya, pada Purnamaning Kesanga (bulan Maret) 1966 dilaksanakan upacara besar (ngusabha) untuk yang pertama kalinya setelah gempa besar (gejer)
,
213
mengguncang Bali 1917” (wawancara: 16 Oktober 2012, pukul 19.30 Wita, di Puri Rangki Soma Negara Pejeng). Berdasarkan inti wawancara di atas, diketahui bahwa kepemimpinan Cokorda Ngurah Mayun sebagai bendesa adat mendapat dukungan penuh dari seluruh warga masyarakat Desa Pejeng. Masyarakat yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat umum yang populasinya dominan dan kelompok intelektual yang terdiri atas para tokoh agama, tokoh adat, kelihan banjar, dan tokoh intelektual lainnya. Bila merujuk kepada pengelompokan intelektual Antonio Gramci (dalam Strisno dkk., t.t.: 173) yang membagi kaum intelektual menjadi dua kelompok, yaitu kelompok intelektual organik dan intelektual tradisional, maka semua tokoh tersebut termasuk ke dalam kelompok kedua, yaitu kelompok intelektual tradisional, yang selalu berada di pihak penguasa. Namun, dukungan masyarakat dan para tokoh masyarakat tersebut tidak disia-siakan oleh Cokorda Ngurah Mayun. Sebaliknya, dimanfaatkan secara maksimal untuk membangun desa, khususnya merenovasi pura dan bangunanbangunan palinggih pura yang termasuk kahyangan desa, seperti Pura Pusering Jagat, Pura Kebo Edan, Pura Manik Corong, dan yang lainnya. Status quo kepemimpinan berlangsung relatif lama di bawah kendali Bendesa Adat, Cokorda Ngurah Mayun. Sebagaimana dikatakan Althuser (2008: xxiv) bahwa hegemoni kekuasaan bekerja dengan cara persuasif (ideological state aparatus), artinya dalam mempertahankan kekuasaannya sehingga secara konvensional dapat diterima oleh semua elemen masyarakat, sang penguasa berlandaskan ideologi keagamaan, yaitu melalui pembangunan spiritual (pembangunan tempat suci) tanpa unsur kekerasan. Strategi semacam itu sejalan dengan pandangan Gramci (1971) yang mengungkapkan bahwa kekuasaan adalah
,
214
sebuah rantai kemenangan yang didapat berdasarkan mekanisme konsesus daripada melalui kekerasan atau penindasan terhadap kelas sosial (Kumbara, 2011: 59). Dalam kapasitasnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Pemerintah Kabupaten Gianyar, ia (Cokorda Ngurah Mayun) memiliki posisi tawar (bargaining) cukup kuat di birokrasi pemerintahan. Peran ganda (ambiguity) yang dimilikinya dimanfaatkan sebagai media untuk menjembatani kepentingan di antara kedua belah pihak (Desa Pejeng dan Pemerintah Kabupaten Gianyar) yang dibangun secara simbiosis mutualistis. Bentuk sinergi harmoni kedua lembaga tersebut terwujud pada bangunan simbol (lambang) Kabupaten Gianyar, yang mengadopsi gambar nekara “Bulan Pejeng” lengkap dengan palinggih-nya sebagai bagian dari elemen penting lambang tersebut. Dalam konteksnya dengan pembicaraan pariwisata di Bali, pembangunan pariwisata merupakan salah satu program utama dari orde baru. Pariwisata Bali yang telah berkembang zejak jaman penjajahan dan terbentuk kembali seusai pendudukan Jepang sebagai bagian mendasar dari pembangunan kembali pariwisata (Vickers, 2013: 7). Momen kebangkitan kembali pariwisata Bali sangat tepat diawali dengan lahirnya konsumsi, massa yaitu pada akhir 1950-an dan awal 1960-an. Pada saat itu hakikat konsumsi berubah secara mendasar. Pada periode ini untuk pertama kali terdapat kemakmuran relatif memadai bagi pekerja untuk mengonsumsi berdasarkan keinginan, bukan kebutuhan: televisi, kulkas, mobil, tabung pembersih, liburan ke luar negeri, dan lain-lain. Selain itu, periode ini menandai munculnya para pekerja yang menggunakan pola-pola konsumsi untuk mengartikulasikan rasa identitas. Dalam hal ini bukan isi yang khusus,
,
215
melainkan bentuknya yang tampil beda atau dapat menciptakan pembedaan (Veblen dan Simmel dalam Storey, 2007: 148). Apabila berbicara tentang keberadaan wisatawan asing di Bali, sebenarnya kehadiran mereka jauh sebelum pembangunan kembali pariwisata Bali. Para wisatawan asing sudah banyak datang ke Bali serta berkunjung ke situs-situs dan tinggalan arkeologi (warisan budaya) yang ada di daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan dan Petanu, khususnya Pura Penataran Sasih. Sebagaimana diuraikan di atas bahwa wisatawan asing yang berprofesi sebagai peneliti sudah mulai mengunjungi Pura Penataran Sasih sejak awal abad 18 Masehi. Mereka diterima secara tradisional dengan keramahtamahan oleh warga masyarakat setempat tanpa dikenakan kewajiban apa pun. Tampaknya pengelola objek di lintasan (jalur) pariwisata Ubud, Tampaksiring, dan Kintamani, seperti Goa Gajah, Gunung Kawi, dan Tirta Empul yang berada satu jalur dengan Pura Penataran Sasih lebih peka terhadap manfaat yang diperoleh dari kunjungan wisatawan. Dengan demikian, sikap dan perilaku masyarakat lokal pun berubah, yaitu dari menerima tamu secara kekeluargaan berubah menjadi hubungan bisnis (ekonomi). Artinya, memberikan pelayanan dengan meminta imbalan jasa secara sukarela. Pengelola daya tarik wisata Pura Tirta Empul sejak 1980-an telah memberlakukan punggutan (donasi) bagi wisatawan yang masuk ke pura (Setiawan, 2011: 156). Hal yang sama juga dilakukan oleh pengelola objek wisata Goa Gajah dan Gunung Kawi. Dewasa ini pengelolaan ketiga objek dimaksud berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar.
,
216
Bagaimana dengan di Pura Penataran Sasih? Ketika dikonfirmasi kepada mantan Bendesa Adat (Cokorda Ngurah Mayun) tentang punggutan donasi masuk ke Pura Penataran Sasih bagi para wisatawan, ia menuturkan sebagai berikut. “Belajar dari Pura Tirta Empul yang sudah melakukan pungutan masuk ke dalam pura dan saya tertarik menerapkannya di Pura Penataran Sasih. Untuk itu, mulai tahun 1990 saya menunjuk I Wayan Suda untuk menjaga dan melayani para wisatawan yang masuk ke Pura Penataran Sasih, dengan menyiapkan selendang serta mengikatkannya pada pinggang bagi setiap wisatawan sebagai tanda izin masuk ke dalam ruang suci. Sebagai imbalan jasa atas pelayanan yang diberikan, setiap wisatawan masuk diisyaratkan untuk membayar sumbangan (donasi) sesuai keiklasannya” (wawancara, 16 Oktober 2012, pk. 19.30 Wita--selesai di Puri Rangki Soma Negara, Pejeng). Era pariwisata global sebagaimana dialami dewasa ini di luar dugaan, baik warisan budaya maupun warisan alam menjadi trend pembicaraan masyarakat dunia international. Csapo, Janos (2012: 201) mengatakan bahwa pada era pasar global ini peran dan posisi industri pariwisata budaya sebagai salah satu cabang pariwisata modern (global) bergerak dan berkembang sangat dinamis, baik dipandang dari aspek teori maupun praktik di lapangan. Dalam memenuhi berbagai keinginan wisatawan, seperti untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata, dan sebagainya, salah satu produk yang dijadikan komoditas unggulan sebagai daya tarik wisata adalah warisan budaya. Greg Ricards dan Wil Musters (2010: 2) mengungkapkan bahwa pada tahun 1990-an terjadi ledakan studi tentang hubungan antara pariwisata dan warisan budaya terkait dengan penemuan warisan budaya merupakan salah satu “general motors” ekonomi postmodern. Di pihak lain ada yang mengungkapkan bahwa era 1980-an merupakan kelahiran masyarakat pascakapitalis. Ketika itu masyarakat pelahap waktu luang (leisure society) mulai terbentuk. Dasawarsa ini
,
217
jadi saksi lahirnya taman-taman hiburan yang menawarkan tema tertentu, industri pelestarian kebudayaan tradisional, jenis pub dan klub baru, serta bentuk hiburan lain, dan bentuk pariwisata dan perjalanan yang semakin eksotis (Lee, 2006: vi). Bali sebagai tujuan wisata dunia juga mulai mengembangkan prasarana dan sarana pariwisata, seperti pembangunan hotel-hotel berbintang di Nusa Dua Bali. Wisatawan yang datang ke Bali tidak hanya membutuhkan tempat penginapan, tetapi juga menginginkan fasilitas lainnya, seperti ruang belanja, objek wisata, ruang rekreasi, dan sebagainya. Dalam memenuhi keinginannya untuk mengunjungi objek wisata dan daya tarik wisata, maka kekayaan alam dan budaya Bali mulai ditata sedemikian rupa sehingga menarik bagi wisatawan. Di Kabupaten Gianyar banyak terdapat objek wisata, baik objek wisata alam maupun objek wisata budaya. Khususnya di daerah aliran sungai (DAS) Pekerisan dan Petanu, beberapa di antaranya yang menarik adalah objek wisata Goa Gajah, Yeh Pulu, Gunung Kawi, Pura Tirta Empul, Pura Penataran Sasih, dan yang lainnya. Sebagai salah satu tujuan utama wisata dunia, Bali selalu bersikap terbuka terhadap kehadiran wisatawan karena posisi geopolitik Indonesia membawa negara kita harus menggalang kerja sama internasional dengan negara-negara lain di dunia. Ketika berhadapan dengan arus budaya global dan menjadikan warisan budaya yang notebene disakralkan dan dipuja, tidak dimungkiri terjadinya benturan dalam bidang budaya, tradisi, dan agama. Budaya global yang tidak mengenal sekat-sekat antara profan dan sakral merupakan sebuah tantangan bagi desa adat dalam upaya mempertahankan eksistensi sakral profan sebagai bentuk kekayaan kearifan lokal. Walaupun Durkheim (dalam Pals, Daniel L, 2001: 168) mengingatkan untuk tidak melakukan kesalahan berpikir bahwa pembagian antara
,
218
sakral dan profan ini adalah pembagian bersifat moral, yaitu yang sakral adalah baik dan profan adalah jahat. Namun, keberadaan sakral dan profan mesti dipertahankan nilai-nilainya tanpa harus meleburnya. Artinya, sakral dan profan keduanya adalah baik dan tidak mungkin salah satu di antaranya ditiadakan. Konteksnya dengan komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata, niscaya segala upaya untuk mempertahankan keberadaan sakral dan profan sangat urgen dilakukan. Hal itu penting mengingat bahwa yang dicari oleh wisatawan bukan sesuatu yang sudah berubah karena sentuhan budaya luar, melainkan budaya yang masih asli (original). Inilah yang dimaksud salah satu keunikan Bali yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya di dunia sehingga diburu oleh wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Fenomena seperti itulah tampak terjadi di Pura Penataran Sasih yang menjadikan warisan budaya sebagai daya tarik wisata. Nekara “Bulan Pejeng” dengan keunikan yang dimiliki menjadi sebuah ikon yang sangat menarik bagi wisatawan untuk dikunjungi.
6.2.2 Masa 1990--sekarang Tahun 1990-an merupakan tonggak awal bagi para wisatawan yang masuk ke Pura Penataran Sasih dikenai sumbangan masuk (donasi) secara sukarela oleh pemandu objek yang ditunjuk oleh desa adat. Dalam pengelolaan hasil donasi masuk, untuk sementara tidak ada perjanjian kontrak antara pihak desa adat dan pengelola daya tarik wisata, sehingga tidak jelas berapa besarnya jumlah setoran dari hasil donasi yang diserahkan ke desa adat setiap tahun (Cokorda Rai Widiarsa, wawancara Jumat 10, Oktober 2014, pukul 07.30 Wita). Walaupun
,
219
demikian, donasi yang masuk cukup berarti demi peningkatan jumlah pendapatan desa adat. Khususnya untuk Pura Penataran Sasih, warga masyarakat pangemong pura merasa sangat diuntungkan dengan upaya komodifikasi tersebut. Dikatakan demikian karena modal yang diperoleh dari donasi masuk ke pura dapat memperingan
beban
(kewajiban)
warga
masyarakat
untuk
membiayai
pemeliharaan pura. Tidak hanya diperuntukkan di Pura Penataran Sasih, tetapi juga untuk tempat suci lainnya yang berstatus kahyangan jagat dan kahyangan desa, seperti Pura Pusering Jagat, Pura Manik Corong, Pura Kebo Edan, dan yang lainnya. Sepuluh tahun kemudian tepatnya pada tahun 2000 terjadi pergantian pemimpin (bendesa adat) di Pura Pentaran Sasih, yaitu dari Cokorda Ngurah Mayun digantikan oleh A.A. Gde Putra. Selama dua periode (2000--2010) A.A Gde
Putra
menjabat
sebagai
Bendesa
Ageng
dengan
gaya
(pola)
kepemimpinannya yang berbeda bila dibandingkan dengan Cokorda Ngurah Pemayun.
Kepemimpinan
Cokorda
Ngurah
Mayun
berpola
tradisional
(feodalisme), sedangkan A.A. Gde Putra cenderung berpola modern (kapitalisme). Bila merujuk kepada pandangan Marx dan Frederick Engels (dalam Storey, 2007: 144), transisi dari feodalisme ke kapitalisme merupakan suatu transisi dari produksi yang digerakkan oleh kebutuhan menuju produksi yang digerakkan oleh keuntungan. Sebagai indikasi ke arah tersebut cukup jelas, yaitu sejak awal masa kepemimpinan A. A. Gde Putra diadakan banyak perubahan terhadap kebijakankebijakan sebelumnya dan cenderung mengarah kepada kapitalisme. Sebagai seorang mantan Bupati Gianyar periode 1969--1983 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Gianyar, 2007: 9) dan Bupati Bangli satu periode (1985--
,
220
1990), kemampuannya tidak diragukan untuk kembali meminpin di desa tempat kelahirannya. Pada tahun ke-8 masa kepemimpinannya tepatnya tahun 2008, ia mengadakan gebrakan yang sangat monumental, yaitu merombak lapangan di depan pura yang sesungguhnya berstatus sebagai nista mandala pura (jaba sisi) yang kesehariannya berfungsi sebagai ruang publik dirombak menjadi pusat pertokoan dan parkir, kemudian pada malam harinya dijadikan pasar senggol. Semuanya itu dilakukan sebagai bentuk respons positif untuk memenuhi kebutuhan pengembangan fasilitas pariwisata dan pengembangan perekonomian masyarakat. Pariwisata sebagaimana diketahui merupakan sektor andalan yang mampu menggalakkan kegiatan ekonomi, termasuk kegiatan sektor lain yang terkait sehingga lapangan kerja dan pendapatan masyarakat dapat meningkat (Tim Penyusun UUD-45, P4, GBHN, 1993: 265). Demikian pula halnya di Desa Pejeng, yaitu pengembangan pariwisata merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan pendapatan Desa Adat/Pakraman Jero Kuta Pejeng. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mendatangkan modal dalam rangka memenuhi kebutuhan biaya pembangunan adalah mengintensifkan pengelolaan warisan budaya di Pura Penataran Sasih yang sudah dikomodifikasi sebagai daya tarik wisata. Sikap profesionalisme dalam menentukan masa depan Pura Penataran Sasih sebagai daya tarik wisata berkelanjutan menjadi sangat urgen dilakukan pada masa kepemimpinannya. Dengan ideologi pariwisata yang berkedok meningkatkan kesejahteraan kehidupan warga masyarakat, penguasa (bendesa adat) berhasil menghegemoni para tokoh adat, tokoh agama, kepala dusun, dan warga masyarakat. Perombakan
,
221
terhadap nista mandala pura yang secara konsepsional tidak layak untuk dilakukan ternyata tidak ada penolakan yang berarti dari pihak tertentu. Walaupun ada di antara mereka yang menolaknya, ketika dimunculkan ke permukaan tidak mendapat dukungan dari warga masyarakat. Sebaliknya, pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan toko-toko, pasar senggol, dan donasi masuk ke pura tanpa disadari dapat meninabobokkan warga masyarakat. Selanjutnya warga masyarakat menjadi apatis dan secara konsensus tanpa tekanan pihak penguasa, mereka menerima semua konsekuensi atas kebijakan yang diambil oleh Bendesa Adat. Secara makro, perkembangan pariwisata dapat membawa dampak ekonomi yang sangat besar, baik bagi pemerintah, kalangan swasta, maupun masyarakat di daerah tujuan wisata. Seperti diungkapkan oleh Grabun (2005: 148) bahwa para wisatawan yang datang ke tempat kejadian (tujuan wisata) adalah stereotip kaya, belanja gratis tanpa mempunyai beban – liter – sekutu berkantong tebal untuk dieksploitasi. Namun, terkait dengan kunjungan wisatawan di Pura Penataran Sasih, dengan tidak adanya campur tangan pemerintah, menyebabkan donasi masuk dari kunjungan wisatawan menjadi cukup berarti untuk meningkatkan pendapatan desa adat. Dari sumber dana tersebut diambil bilamana dibutuhkan biaya pembangunan dan pemeliharaan tempat suci (pura) terutama yang berstatus kahyangan desa adat sehingga dapat mengurangi beban warga desa adat. Ketika dikonfirmasi dengan salah seorang warga masyarakat, yaitu I Made Gedet, ia menuturkan sebagai berikut. “Sebagai warga masyarakat merasa bersyukur oleh karena tidak dibebani biaya untuk pemeliharaan tempat suci yang berstatus kahyangan desa. Ia berharap bahwa kesejahteraan yang diperoleh tidak bersifat sesaat, yaitu
,
222
untuk kehidupan sekarang ini, namun juga buat kesejahteraan hidup generasi mendatang” (Wawancara: Senin, 15 Desember 2014). Sejalan dengan harapan warga masyarakat, pariwisata berkelanjutan diyakini dapat diwujudkan di Desa Pejeng karena elemen-elemen pendukung seperti kategori yang ditawarkan Valence Smith, yaitu habitat, heritage, history, dan handicraft (empat H) dimiliki di Desa Pejeng. Pertama, dari aspek habitat, Pura Penataran Sasih memiliki tradisi upacara yang sangat unik, yaitu upacara siat sampian yang merupakan bagian integral dari upacara maplengkungan. Selain itu, pelembagaan “sutri” sebagai pengayah Ida Betara Pura Penataran Sasih, yang memegang peran kunci dalam upacara siat sampian dan maplengkungan. Kedua, dari aspek heritage, di Pura Penataran Sasih terdapat banyak warisan budaya. Salah satu di antaranya yang menarik karena keunikannya adalah nekara “Bulan Pejeng”. Ketiga, dari aspek history, Pura Penataran Sasih memiliki perjalanan sejarah panjang sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya. Keempat, dari aspek handicraft, di Pejeng ada sebuah studio keterampilan “Batik Pejeng” yang dibuat dari bahan baku sutra, kampas, dan katun. Macam-macam hasil produksinya berupa hanging (hiasan dinding), sekap (selendang), sarung (kamen), dan taplak meja. Usaha keterampilan ini lebih berbasis kepada masyarakat, karena melibatkan tenaga kerja lokal sedikitnya tiga puluh orang yang didominasi oleh tenaga kerja wanita. Sebagaimana dikatakan oleh Ardika (2012: 1) bahwa model usaha yang melibatkan tenaga kerja dari kalangan masyarakat bawah dapat menopang perkembangan pariwisata secara berkelanjutan. Hal menarik adalah pertumbuhan dan perkembangan usaha keterampilan “Batik Pejeng” yang dibangun tahun 2002 tepatnya setelah Bom Bali I cukup pesat. Usaha itu menarik minat para pengunjung, baik wisatawan nusantara
,
223
maupun mancanegara. Hampir 90 % pengunjungnya berasal dari wisatawan mancanegara. Keistimewaaan “Batik Pejeng” tersebut adalah bahan pewarnanya naturalis, maksudnya secara total menggunakan pewarna dari kulit buah delima, jelawe, dan daun indigovera (Informan, Agung Antik; wawancara 13 Mei 2013, pukul 14.00--14.45 Wita). Meningkatnya kunjungan wisatawan ke studio “Batik Pejeng” dapat dijadikan pertanda bahwa usaha tersebut memiliki prospek ke depan yang cukup baik dan keberadaannya sekaligus dapat menunjang terwujudnya pariwisata berkelanjutan. Selain itu, juga didukung oleh barangbarang hasil produksi yang berkualitas tinggi, dan tidak hanya memiliki nilai pakai, tetapi juga nilai tukar, yaitu dapat ditukarkan dengan uang untuk dibelikan bahan dasar guna memenuhi kebutuhan produksi. Selain usaha keterampilan “Batik Pejeng” ada bentuk-bentuk usaha kerajinan lainnya, yaitu keterampilan “Sandal Bali” yang memproduksi berbagai bentuk dan macam sandal, yang pemasarannya lewat art shop-art shop di Ubud. Usaha lainnya yang terdapat di Desa Pejeng adalah keterampilan Patung Buda dan patung penyu untuk tujuan memenuhi pesanan serta bentuk-bentuk keterampilan tangan lainnya. Semua jenis usaha keterampilan tersebut dapat memicu pertumbuhan dan perkembangan usaha-usaha keterampilan tangan lainnya sehingga dapat menyediakan lebih banyak jumlah macam barang kebutuhan belanja bagi para wisatawan yang berkunjung ke Desa Pejeng. Sesungguhnya masih banyak bentuk industri kerajinan tangan lainnya yang dapat dikembangkan, seperti wig (rambut palsu), bentuk jerapah, kucing-kucingan (cats), dan sebagainya. Namun, kurangnya pemodal menyebabkan industri tersebut tidak bisa berkembang. Dengan demikian, mereka yang memiliki keterampilan tersebut
,
224
memilih bekerja di tempat lainnya, seperti di Desa Ubud, Desa Mas, Desa Tengkulak, Desa Kemenuh, dan di desa-desa lainnya.
6.3 Pengelolaan Warisan Budaya Selain keempat faktor di atas (4 H), suatu hal yang perlu mendapat perhatian untuk menjaga kelestarian pariwisata keberlanjutan adalah pemilihan cara yang tepat dalam pengelolaannya. Bagaimana mengsinergikan dua aspek budaya yang berbeda, bahkan bertolak belakang saling berhadapan di Pura Penataran Sasih, yaitu antara kepentingan kapitalis yang melekat pada budaya global (barat) dan kepentingan untuk ketahanan nilai-nilai budaya, tradisi, dan agama yang melekat pada masyarakat tradisional (timur). Pariwisata dapat membuat hubungan antarnegara semakin dekat dan memberikan kebebasan ruang dan waktu bagi bertemunya budaya global dan lokal. Teo dan Li (2003) menyatakan bahwa untuk pariwisata, global (barat) dan lokal (timur) bertindak sebagai proses dialektis (Salazar, 2006: 192). Dalam hal ini dialog merupakan suatu cara untuk menyelidiki masalah dan sekaligus mencarikan solusinya. Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa warisan budaya di Pura Penataran Sasih merupakan salah satu media pemujaan dan keberadaannya sangat disakralkan oleh warga masyarakat pangemong pura. Pemujaan dan sakralisasi terhadap benda-benda warisan budaya sebagai perwujudan sikap moral dan perilaku masyarakat lokal yang terimplementasikan melalui tindakan-tindakan sosial budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan. Semua itu terjadi tanpa disadari dan lebih termotivasi oleh keyakinan terhadap adanya kekuatan (spirit) yang dimiliki benda-benda tersebut dan diyakini dapat memberikan perlindungan
,
225
kepada para pemujanya. Hal itu berawal dari emosi keagamaan sebagai sebuah bentuk gagasan kolektif yang dimiliki oleh setiap makhluk manusia (insan) di bumi ini. Mereka memiliki sistem keyakinan tentang adanya kekuatan di luar kemampuannya. Melalui sistem ritus dan upacara keagamaan dengan menggunakan peralatan ritus dan upacara mereka memohon perlindungan, keselamatan, dan kesejahteraan. Semua itu hanya dapat dilakukan dalam kehidupan berkelompok sebagai umat beragama (Koentjaraningrat, 2007: 80). Upaya mengamati adanya komodifikasi warisan budaya di Pura Penataran Sasih tampak berseberangan antara konsep Valence Smith dan konsep yang ditawarkan Koentjaraningrat. Di satu pihak terkesan adanya ambigu (makna ganda) dari warisan budaya, yaitu selain bermakna ekonomi juga bermakna agama. Di pihak lain sebagai umat beragama Hindu yang memandang warisan budaya merupakan benda-benda yang masih berfungsi (living monument) bagi warga masyarakat sebagai media pemujaan, sudah jelas dengan dijadikannya warisan budaya sebagai komoditas daya tarik wisata (komersialisasi) merupakan suatu sikap dan perilaku yang paradoks (berlawanan asas). Artinya, upaya komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata bertentangan dengan upaya sakralisasi keberadaan warisan budaya tersebut. Karena kehadiran budaya global sudah jelas tidak ditolak dan komodifikasi terhadap warisan budaya sudah merupakan pilihan, maka dibutuhkan dialog dalam mencarikan solusi atas fenomena tersebut. Yang perlu dicarikan solusinya adalah pengelolaan warisan budaya tersebut, baik dalam kapasitasnya sebagai benda pujaan yang disakralkan maupun dalam kapasitasnya sebagai daya tarik wisata. Terwujud keseimbangan antara upaya menjaga ketahanan nilai warisan budaya dalam kapasitasnya sebagai
,
226
pratima yang disakralkan dan dipuja oleh warga masyarakat dan upaya mengejar kebutuhan kapitalis (modal) untuk biaya pemeliharaan dan pelestarian warisan budaya.
6.3.1 Warisan Budaya sebagai Benda Keramat dan Pemujaan Dari asas kemanfaatan setidaknya ada empat pertimbangan pokok yang dipakai DPR RI ketika merumuskan Undang-Undang Cagar Budaya (UUCB). Pertama, dari sisi ekonomi, cagar budaya harus mampu meningkatkan harkat kehidupan rakyat banyak. Kedua, dari sisi tanggung jawab publik, pelestarian cagar budaya merupakan kewajiban semua orang. Ketiga, dari sisi peradaban, pelestarian cagar budaya harus membuka peluang pengembangan dan pemanfaatannya oleh masyarakat. Keempat, dari sisi tata kelola negara, pemerintah meringankan beban pelestarian yang ditanggung masyarakat (Satrio dalam Raharjo, ed., 2013: 17). Berdasarkan keempat pertimbangan asas manfaat warisan budaya tersebut, dicoba dilihat keberadaan warisan budaya yang ada di Pura Penataran Sasih, baik sebagai benda sakral dan dipuja maupun sebagai daya tarik wisata. Bila dicermati secara saksama, di dalam keempat elemen tersebut telah terbangun adanya sebuah integrasi dari semua kepentingan yang menopang pariwisata keberlanjutan. Namun, untuk pengembangan dan menjaga keberlanjutannya sebaiknya disitir pendapat Gee and Fayos-sola (dalam Ardika, 2007: 50) bahwa untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan harus bertumpu pada tiga landasan pokok,
yaitu
berkualitas
(quality),
keberlanjutan
(continuity),
dan
berkeseimbangan (balance). Untuk itu bagaimana mengelola warisan budaya
,
227
sebagai sebuah produk dengan tetap memperhatikan tiga landasan pokok tersebut sehingga memiliki nilai tukar yang dapat memberikan kenikmatan kepada yang mengonsumsinya. Produk-produk yang dijadikan daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih, baik produk yang diunggulkan maupun pendukungnya, secara kasat mata sudah merujuk ke arah yang diisyaratkan di atas. Dalam hal kualitas (quality), secara fisik pemerintah menaruh perhatian secara intensif melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), baik perhatian terhadap pemeliharaan bangunannya maupun pemeliharaan terhadap warisan budaya di dalamnya. Secara nonfisik peran masyarakat dalam memelihara norma-norma tradisi dan sistem nilai yang masih hidup di Desa Pejeng untuk menjaga kualitas keberadaan warisan budaya yang saat ini disakralkan dan dipuja. Keberlanjutan (continuity) yang dimaksudkan adalah dalam pengelolaannya agar tetap dapat dipertahankan kualitasnya, yakni dengan melindungi dan menjaga kelestarian warisan budaya. Artinya, upaya-upaya yang telah dilakukan di dalam menjaga kualitas, baik fisik maupun nonfisik semua warisan budaya agar selalu diintensifkan. Dengan upaya maksimal yang telah dilakukan ke arah itu, niscaya dapat meningkatkan kehadiran para konsumen, bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwa kehadirannya dapat memengaruhi rekan-rekan senegaranya. Selanjutnya daya dukung yang dimiliki tentu perlu dijaga keseimbangannya (balance), yaitu keseimbangan antara pemanfaatan warisan budaya dan pelestariannya. Bila hal itu telah dilakukan, tentu warga masyarakat pangemong pura yang berhak atas kemanfaatan warisan budaya juga dituntut tanggung jawabnya untuk bahu-membahu dengan pemerintah melalui lembaga terkait dalam menjaga
,
228
keutuhan, kelestarian, dan kualitas warisan budaya. Semua warisan budaya hendaknya tidak dipandang sebagai benda mati, tetapi dari keberadaannya dapat diketahui berbagai hal yang tersembunyi di balik benda-benda tersebut melalui pengkajian dengan penggunaan metode yang tepat. Bahkan, tidak kalah pentingnya adalah secara kasat mata dilihat dari aspek nonfisik semua warisan budaya tersebut dikeramatkan dan dipuja oleh warga masyarakat pangemong pura. Berdasarkan keberadaan multifungsi yang dimiliki warisan budaya tersebut di tengah-tengah maraknya pertumbuhan dan perkembanggan pariwisata, niscaya dituntut sikap profesionalisme dalam pengelolaannya. Di Pura Penataran Sasih cukup banyak tersimpan warisan budaya, tetapi sampai saat ini pemujaan yang diberikan terfokus kepada nekara “Bulan Pejeng” sebagai perwujudan (manifestasi) istadewata yang dipuja. Warisan budaya yang lainnya, seperti batu silindris yang di stana kan pada sebuah bangunan tpas yang bentuknya memanjang di sudut pura bagian timur laut dan tenggara; arca-arca di palinggih gedong utara, palinggih gedong selatan, dan palinggih gedong barat; arca bhatari yang tersimpan di Gedong Kemoning; arca Ganesa di stana kan di palinggih Padma Kurung, arca-arca dan fragmen arca dan bangunan yang ada di palinggih Ratu Pangrajan (madya mandala). Semua arca tersebut dipuja dan dikeramatkan. Namun, fokus pemujaannya terkonsentrasi kepada Ida Ratu Sasih. Walaupun demikian, bukan berarti bahwa warga panyungsung pura bermaksud memarginalisasikan keberadaan arca-arca atau bentuk warisan budaya lainnya sebagai sesuatu yang dipuja dan dikeramatkan. Sebagai tanda penghormatan (pemujaan), berbagai tingkatan upacara yang dilaksanakan dalam bentangan waktu setahun, yaitu dari tingkatan nista, madya
,
229
sampai dengan yang utama. Demikian pula bentuk-bentuk upakara yang dipersembahkan tentu disesuaikan dengan tingkatan (kualitas) upacara yadnya yang digelar. Berkaitan dengan upakara persembahan dan siapa yang menyediakannya, tampaknya di Desa Jero Kuta sangat jelas. Untuk upakara (banten) yang dibutuhkan pada Pujawali dan sesepen disiapkan oleh warga desa adat sebagai pangemong inti. Selain Pujawali, dan sesepen, seperti purnama, tilem, buda keliwon, tumpek, nyepi, kajeng keliwon dan lain sebagainya disiapkan oleh pemangku pura. Umat
panyungsung pura
pada umumnya,
juga
mempersembahkan sesaji sesuai kemampuannya masing-masing, baik pada saat upacara piodalan maupun hari-hari suci keagamaan lainnya. Sebagai benda yang dikeramatkan, posisi penempatannya sudah berada di ruang yang tersuci, yaitu di utama mandala (jeroan). Sudah menjadi keniscayaan bahwa pura (tempat suci) yang membagi ruangnya menjadi tiga sebagaimana pembagian pura pada umumnya di Bali, yaitu nista mandala, madya mandala, dan utama mandala sebagai wujud fleksibilita agama Hindu. Ketiga ruang yang dimaksud sebagai bentuk transformasi dari status pembagian ruang dengan tingkatan nilai yang dikandungnya. Nista mandala, madya mandala, dan utama mandala merupakan bentuk apreasiasi yang diberikan kepada sesuatu yang profan, semiprofan, dan yang sakral. Artinya, di pura tidak ada memarginalkan yang profan hanya untuk kepentingan yang sakral. Kedua elemen yang dimaksud adalah baik dan harus ada kedua-duanya, tetapi hanya ruang dan waktu yang memisahkannya.
,
230
6.3.2 Warisan Budaya Sebagai Daya Tarik Wisata Sebagaimana dikatakan Ardika (2007: 35) pada subbab 1.1 di atas bahwa pariwisata tidak ubahnya bagaikan pisau bermata dua, di satu pihak secara ekonomi dapat memberikan keuntungan, tetapi di pihak lain dapat menimbulkan dampak negatif seperti adanya polusi dan pencemaran lingkungan, rusaknya situs dan benda-benda purbakala tersebut. Untuk itu, dibutuhkan upaya yang tepat dalam mengelola warisan budaya yang notebene memiliki multifungsi tersebut. Khususnya
dalam
mengemban
dwi
fungsinya
yang
berbeda,
bahkan
berseberangan tersebut, yaitu di satu sisi sebagai benda pujaan dan dikeramatkan, sedangkan di sisi lain sebagai daya tarik wisata lebih memberikan kebebasan ruang dan waktu untuk dikunjungi. Walaupun demikian, keberadaan dua fungsi berbeda yang diembannya sesungguhnya di antara satu dan yang lain saling melengkapi dan saling membutuhkan. Pariwisata membutuhkan objek wisata atau daya tarik wisata yang masih asli (original). Sebaliknya objek wisata atau warisan budaya tersebut membutuhkan biaya (modal) untuk memelihara kelestariannya dan sekaligus memelihara lingkungan dan kesucian pura. Namun, pariwisata juga dapat menjadi ancaman bila dikelola secara tidak baik (Ardika, 2015: 7). Warisan Budaya yang berstatus benda cagar budaya (BCB) menurut pasal 101, ayat 7 tentang peraturan zonasi untuk cagar budaya dan ilmu pengetahuan yang disusun dengan memperhatikan butir (a) pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan, dan pariwisata serta (b) ketentuan pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan. Berdasarkan ketentuan butir (a), salah satu di antarannya disebutkan bahwa kawasan cagar budaya dapat dimanfaatkan sebagai pariwisata (Karo Peraturan Perundang-undangan Bidang
,
231
Politik dan Kesejahteraan, 2008: 60). Sehubungan dengan itu, pemerintah Republik
Indonesia
memberikan
kebebasan
kepada
pemiliknya
untuk
memanfaatkan benda cagar budaya sebagai objek dan daya tarik wisata. Dengan kata lain, warga masyarakat pemilik benda cagar budaya dapat memanfaatkan benda warisan budaya tersebut sebagai sumber daya peningkatan kesejahteraan hidupnya (Satrio, 2012: 17). Seiring dengan arah pembangunan pariwisata Bali yang berwawasan budaya dan warisan budaya merupakan salah satu produk komoditias yang dapat dijadikan objek atau daya tarik wisata, selain keindahan alam, pantai, pegunungan, danau, adat istiadat, upacara keagamaan dan sebagainya. Bali memiliki berbagai keunikan, sehingga segala sesuatu yang menarik bagi wisatawan walaupun awalnya bukan produk komoditas dapat diubah menjadi komoditas daya tarik wisata. Demikian bergemanya pariwisata sehingga menjadi sebuah ideologi bahwa pariwisata dapat membangun kehidupan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Ideologi sebagaimana dikatakan Althusser (2008: xxv) adalah seperti harapan pada porsi tertentu ia memberikan semangat hidup dan menggerakkan manusia untuk maju. Akan tetapi dalam porsi yang lain ia membius, menjadi ilusi yang membutakan dan berujung kepada kekecewaan yang melumpuhkan. Di pihak lain, Piliang (2010: 43) mengatakan bahwa ideologi selalu menciptakan pada diri setiap orang sebuah lukisan diri sebagai sebuah kebenaran, padahal semuanya adalah lukisan palsu yang diciptakan oleh para elite ideologi. Walaupun demikian, pemerintah tetap berpandangan bahwa pariwisata banyak memberikan manfaat positif untuk dikembangkan. Berasaskan ideologi tersebut pemerintah membangun pariwisata di Indonesia dengan berwawasan kepada budaya dan
,
232
menjadikan Bali sebagai tujuan wisata utama. Pada kenyataannya semenjak industri pariwisata dikembangkan di Bali dapat membuat perubahan yang sangat signifikan pada pola kehidupan masyarakat Bali, khususnya bagi mereka yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, dalam perhelatan pariwisata tersebut. Oleh karena itu, segala upaya positif perlu dilakukan untuk memelihara agar pariwisata dapat berkesinambungan demi kesejahteraan hidup masyarakat, bukan hanya saat sekarang ini, melainkan juga untuk gererasi ke depan. Perlu dicatat bahwa di balik manfaat positif yang diperoleh dari pariwisata berkelanjutan, tidak dimungkiri adanya dampak negatif yang ditimbulkan dan dapat merugikan aspek-aspek penting dari kehidupan masyarakat. Pariwisata identik dengan kapitalis. Artinya bila tidak dikendalikan oleh etika moral, dapat melahirkan
budaya
materialistik.
Budaya
materialistik
yang
memiliki
kecenderungan untuk menghalalkan segala cara demi keuntungan (uang) berseberangan dengan pariwisata adat (indigenous tourism) yang sarat dengan nilai kearifan budaya lokal. Keberadaannya perlu mendapat perhatian agar jangan larut dengan pengaruh budaya luar (asing) sebagai dampak pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). Gerberich (2005:78) mengungkapkan bahwa dampak negatif yang ditimbulkan pariwisata berkelanjutan meliputi empat aspek, yaitu keberlanjutan budaya, kelestarian lingkungan, keberlanjutan sosial-ekonomi, dan keberlanjutan sosial-politik. (a) Aspek keberlanjutan budaya. Keberlanjutan budaya yang dimaksudkan adalah ketahanan terhadap eksistensi budaya lokal di tengah-tengah derasnya arus budaya global. Dengan sifat modernitasnya dikhawatirkan secara evolusi
,
233
dapat menodai dan melebur nilai-nilai kearifan budaya lokal. Pariwisata berkelanjutan dapat dilestarikan bilamana keberadaan nilai-nilai kearifan budaya lokal dapat dilestarikan. Untuk itu, pariwisata harus meminimalisasi dampak negatif terhadap budaya masyarakat lokal, menghormati tradisi dan kegiatan budaya. Integritas dari suku budaya harus dilindungi, baik meminimalisasi kesempatan bagi akulturasi maupun memungkinkan kontrol masyarakat atas bentuk-bentuk dan kecepatan akulturasi yang diterima oleh mereka. Wisatawan akan meninggalkan destinasi wisata pilihannya bila nilainilai budaya asli suatu daerah sudah dinodai oleh budaya luar. Wisatawan tertarik berwisata ke daerah lain didorong oleh keinginan untuk melihat suasana
yang berbeda dari
keadaan
di
negerinya.
Bali
memiliki
keanekaragaman seni budaya, adat istiadat yang menopang kehidupan Agama Hindu. Selain itu, dan keramahtamahan penduduknya telah menjadikannya sebagai daerah tujuan wisata utama di Indonesia. (b) Aspek kelestarian lingkungan. Keberadaan lingkungan, baik tanah, satwa liar, vegetasi, air, maupun kualitas udara, sangat menentukan apakah pariwisata dapat berkelanjutan atau sebaliknya. Salah satu dampak negatif pariwisata adalah pencemaran lingkungan dan kerusakan situs akibat ulah wisatawan atau mereka yang tidak bertanggung jawab. Sebagai indikatornya adalah ulah tangan usil atau corat-coret pengunjung, pembuangan sampah sembarangan dan sebangsanya. Untuk menanggulanginya, dibutuhkan kerja sama semua pihak yang berkepentingan agar secara bersama-sama menjaga dan memelihara keamanan, keasrian, dan kenyamanan lingkungan, baik lingkungan situs maupun lingkungan alam sekitarnya sehingga tetap menarik
,
234
untuk dikunjungi. Sejalan dengan apa yang dikatakan Leopold (dalam Keraf, 2003: 58) bahwa konservasi yang benar kepedulian terhadap lingkungan pada umumnya, adalah cara pandang dan sikap yang melihat bumi atau alam semesta sebagai subjek moral, sebagai sebuah komunitas moral. Ini sebuah perwujudan dari cara pandang dan sikap yang tidak lagi melihat manusia sebagai penguasa, paling superior daripada makhluk lain. Namun, merupakan komunitas biotis yang saling tergantung dan terkait satu sama lain. Dengan demikian, harmoni antara manusia dan alam lingkungan patut dijaga dan dilestarikan, oleh karena memiliki arti signifikan terhadap berkelanjutan pariwisata. (c) Aspek sosial ekonomi. Pengembangan pariwisata harus mengarah kepada manfaat ekonomi dan lainnya untuk orang-orang lokal yang menjadi bagian di dalamnya daripada membanjiri atau mengganti praktik-praktik tradisional seperti pertanian, perkebunan, perikanan, dan sistem sosial tradisional. Pariwisata berbasis masyarakat walaupun menghasilkan tidak teratur dan sederhana, tetap lebih baik daripada pariwisata massal yang dapat memberikan banyak keuntungan tetapi sifatnya hanya sesaat. (d) Aspek sosial politik. Kerusakan lingkungan situs dan alam di sekitarnya terjadi sebagai akibat dari kurangnya kesadaran masyarakat, baik masyarakat wisatawan maupun pangempu situs. Untuk menanggulangi hal-hal negatif sebagai akibat kecerobohan semua pihak yang berkepentingan, perlu dibuatkan regulasi (aturan) sebagai payung hukum untuk melindungi situs. Dalam pembuatan aturan-aturan (awig-awig) tersebut perlu dilibatkan tokohtokoh masyarakat yang berkompeten di bidang tersebut. Selanjutnya
,
235
diundangkan kepada masyarakat di lingkungan situs dan para pengunjung dengan sanksi-sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran yang dilakukan. Berdasarkan keempat aspek yang ditawarkan oleh Gerberich mengenai akibat negatif yang ditimbulkan pariwisata berkelanjutan berikut solusi yang diberikan. Khusus untuk di Pura Penataran Sasih tampaknya solusi di bidang sosial politik, yakni pembuatan regulasi (awig-awig) untuk payung hukum penyelamatan warisan budaya perlu dibuat dan diberdayakan. Menurutnya regulasi (awig-awig) merupakan salah satu bagian penting dari konsep pariwisata berkelanjutan dalam
aspek politik (Gerberich,
2005: 79),
dan dalam
pembuatannya diperlukan partisipasi masyarakat. Senada dengan Gerberich, Cokorda Rai Pemayun, seorang pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar, suatu kebetulan bertemu di Puri Ageng Tatiapi, Desa Pejeng Kawan dalam rangka menghadiri upacara “mukur”. Ketika diwawancarai tentang perihal tersebut, diungkapkan sebagai berikut. “Payung hukum untuk melindungi keberadaan warisan budaya adalah sangat urgen dimiliki. Demikian pula dalam pembuatannya, pemberian ruang dan waktu yang layak kepada masyarakat melalui keterwakilan dari masing-masing dusun yang berkompeten di bidangnya. Hal tersebut merupakan jawaban atas dampak negatif yang ditimbulkan oleh pariwisata berkelanjutan. Di satu sisi hegemoni bendesa adat dalam memanfaatkan kekuasaannya dapat dikontrol. Di sisi lain, peran masyarakat di dalam pengelolaan objek dan daya tarik wisata mendapat ruang dan waktu sesuai dengan otoritasnya. Dengan demikian secara psikologis dapat meningkatkan rasa kepemilikannya. Bila hal itu dapat diwujudkan, niscaya kehidupan pariwisata berkelanjutan dapat diperkokoh keberadaannya” (Wawancara Jumat, 14 November 2014, pukul 11.30--12.00 Wita, di Puri Ageng Tatiapi, Pejeng Kawan). Pemberdayaan para tokoh masyarakat yang berkompeten di bidang tersebut menjadi sangat penting diberikan ruang dan waktu untuk pembuatan awig-awig dan melakukan kontrol sosial dalam implementasinya. Sementara
,
236
dalam hal penyelamatan dan keselestarian lingkungan situs masih bersifat konvensional (persepakatan). Walaupun demikian, mengingat banyaknya jumlah warisan budaya di tempat-tempat suci, di rumah-rumah penduduk, dan di tengah sawah menjadi kewajiban moral untuk secara bersama-sama memelihara dan melestarikannya. Untuk aspek-aspek lainnya, seperti sosial budaya, eksistensi tradisi upacara keagamaan untuk warisan budaya yang dipandang sakral dan dipuja tetap terpelihara dengan baik. Sikap fanatisme warga masyarakat panyungsung pura untuk memelihara kesucian dan keagungan Ida Ratu Sasih sebagai fokus pemujaan sangat tinggi. Berkenaan dengan kelestarian lingkungan, di satu pihak keberadaan lingkungan warisan budaya mendapat perhatian dengan baik dan di pihak lain dengan adanya perombakan jaba sisi (nista mandala) pura menjadi pasar malam masih menyisakan permasalahan. Selanjutnya dari aspek sosial ekonomi, pengembangan ke arah peningkatan kesejahteraan warga masyarakat menjadi prioritas utama yang dilakukan oleh pengendali kekuasaan di Desa Pejeng.
6.4 Pengelolaan Donasi Kabupaten Gianyar, khususnya Kecamatan Tampaksiring dan Kecamatan Blahbatuh dikenal sebagai zona basis warisan budaya dengan berbagai keunikan (kekhasan) yang dimilikinya, seperti: Goa Gajah dan Yeh Pulu (Bedulu); Pura Kebo Edan, Pura Pusering Jagat, dan Pura Penataran Sasih (Pejeng); Candi Tebing Gunung Kawi, Pura Mengening, Pura Tirta Empul, dan Pura Pagulingan (Tampaksiring). Di dalam pengelolaan hasil retribusi (sumbangan) masuk objek,
,
237
di satu pihak dikelola oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar bekerja sama dengan desa adat dan di pihak lain dikelola oleh desa adat pengempu objek. Pola pengelolaan yang melibatkan pemerintah kabupaten (Dinas Pariwisata), seperti Goa Gajah, Yeh Pulu, Gunung Kawi, dan Pura Tirta Empul menunjukkan bahwa penguasa memiliki kepentingan atas penguasaan kapitalis (modal). Dengan bertopeng ideologi pengelolaan yang profesional, tetapi di balik semua itu tersebunyi kepentingan pemerintah untuk mendapatkan keuntungan dari pengelolaan objek dan daya tarik wisata tersebut. Sebagaimana dikatakan Bourdieu (1990: 5) bahwa penguasa menggunakan modal simboliknya sebagai senjata untuk merebut keuntungan (modal ekonomi) atas pengelolaan objek-objek tersebut di atas. Sikap dan perilaku seperti itu bertentangan dengan konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan berwawasan lingkungan (ekowisata), yang pada dasarnya memberikan ruang dan waktu sepenuhnya kepada masyarakat yang tinggal di lingkungan objek dan daya tarik wisata untuk mengelola jasa-jasa pelayanan. Perlu dicatat bahwa pariwisata yang dikembangkan adalah pariwisata budaya, yang secara intensif lebih banyak melibatkan masyarakat lokal karena kebudayaan yang menjadi daya tarik utama pariwisata melekat pada masyarakat itu sendiri (Pitana dan Gayatri, 2005: 35). Berdasarkan konsep pariwisata berkelanjutan sebenarnya pemberdayaan masyarakat lebih diutamakan. Sebagaimana sering diwacanakan oleh para ilmuwan sosial, yaitu pembangunan dilakukan dengan pendekatan bottom-up (dari bawah ke atas). Pemberdayaan dapat difokuskan pada berbagai aspek pembangunan. Paling tidak ada empat dimensi yang sering dilakukan dalam pemberdayaan
,
tersebut,
yaitu
(1)
pemberdayaan
ekonomi
(economic
238
empowerment) dengan fokus perhatian kepada akses terhadap modal dan sumber daya; (2) pemberdayaan sosial (social empowerment) dengan fokus perhatian peningkatan kontrol terhadap berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat; (3) pemberdayaan kebudayaan (cultural empowerment), proses pemberdayaan yang menekankan pada pelestarian atau revitalisasi nilai-nilai budaya lokal, khususnya pada kelompok minoritas; dan (4) pemberdayaan politik (political empowerment), yaitu pemberdayaan yang menaruh perhatian utama pada hak-hak masyarakat lokal serta tindakan kolektif (Pitana, 2011: 50). Dengan demikian, bentuk-bentuk pengelolaan objek dan daya tarik wisata yang selama ini masih diintervensi penguasa sebagaimana terurai di atas bertentangan dengan konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan. Berbeda dengan pola pengelolaan di objek wisata tersebut, dan di Pura Penataran Sasih berlaku sebaliknya. Baik pengelolaan daya tarik wisata maupun sumbangan (donasi) masuk sepenuhnya ditangani oleh Desa Adat Jero Kuta, Pejeng. Dalam konteks ini bendesa adat mempercayakan kepada salah seorang warga untuk mengelolanya melalui sistem kontrak. Sistem kontrak yang sudah dimulai sejak 2008 dapat memperjelas berapa besar jumlah donasi (sumbangan) masuk yang disetor ke desa adat. Tentu berbeda dengan masa sebelumnya, yaitu berapa jumlah besarnya punggutan (donasi) yang disetor setiap tahun tidak jelas dan penentunya adalah pengelola. Selain perubahan dalam pengelolaan donasi, pengelolaan parkir dan pasar malam (senggol) juga dipercayakan kepada seorang warga melalui kesepakatan kontrak. Khusus untuk kios-kios di pinggir bagian barat tempat parkir ditangani langsung oleh desa adat.
,
239
Berdasarkan dua fenomena berbeda berkenaan dengan pengelolaan objek dan daya tarik wisata sebagaimana terungkap di atas, khususnya untuk objek dan daya tarik wisata yang dikelola pemerintah kabupaten, yaitu dengan pola perimbangan yang berlaku seperti sekarang ini 60% pemerintah kabupaten dan 40% desa adat tentu perlu dikaji ulang. Seperti diketahui bahwa pembangunan pariwisata di Gianyar berbasis kerakyatan dengan tujuan utama adalah untuk membuka lapangan kerja dan ruang usaha bagi masyarakat. Target yang hendak dicapai adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di lingkungan objek dan daya tarik wisata. Untuk itu, adanya campur tangan pemerintah kabupaten dalam pengelolaan objek tidak sejalan dengan konsep pariwisata kerakyatan atau berbasis masyarakat. Berdasarkan konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat tersebut, maka model pola pengelolaan di Pura Penataran Sasih sebenarnya layak dilakukan. Artinya, tanpa campur tangan pemerintah, baik dalam pengelolaan objek maupun pengelolaan donasi, selain memberikan ruang dan waktu kemandirian kepada desa adat sekaligus melatih warga desa adat untuk belajar bertanggung jawab mengemban tugas yang diamanatkan. Dengan demikian, peran warga desa adat menjadi lebih dominan, baik dalam penyediaan fasilitas objek, pelayanan, maupun pengelolaan hasil retribusi (donasi). Sebagai konsekuensinya, desa adat berkewajiban menanggung semua kebutuhan biaya untuk pemeliharaan objek dan biaya operasional. Hal yang sama juga berlaku perihal pengelolaan donasi yang sudah disimpan di LPD. Dalam penggunaannya tidak hanya untuk pembangunan di Pura Penataran Sasih, tetapi juga digunakan untuk membantu pemeliharaan dan
,
240
perbaikan tempat suci yang masih manjadi tanggung jawab warga masyarakat Jero Kuta Pejeng. Misalnya perbaikan palinggih di Pura Pusering Jagat, Pura Kebo Edan, dan Pura Manik Corong. Kadek Arsani (Bagian Kasir LPD) menuturkan sebagai berikut: “Saat sekarang ini, hasil donasi yang tersimpan di LPD dikeluarkan dalam bentuk pinjaman (kredit) sebesar satu miliar rupiah (Rp 1.000.000.000,00) untuk mensubsidi pembangunan di Pura Taman Sari dan diangsur setiap bulan sebagaimana layaknya melakukan kewajiban di bank-bank pada umumnya. Hal tersebut dilakukan, di satu sisi untuk menjaga ajegnya sistem yang dimanfaatkan agar stabilitas LPD tetap berjalan, di sisi lain dapat melatih warga masyarakat bertanggung jawab terhadap kewajibannya sebagai penanggung kredit. Bila hal tersebut tidak dilakukan, dikhawatirkan LPD mengulangi nasibnya yang sama (bangkrut) seperti bencana yang telah menimpa beberapa tahun sebelumnya. Ia menambahkan bahwa LPD bangkit kembali tahun 2009 yaitu menjelang akhir masa jabatan Bendesa Ageng Jero Kuta, A.A. Gde Putra” (Wawancara Kamis, 13 November 2014, pukul 14.15--14.25 Wita, di Kantor LPD Jero Kuta Pejeng). Selajutnya, ketika ditanya perihal bantuan (punia) untuk bangunan palinggih? Arsani enggan berkomentar dan menyarankan untuk menanyakan kepada Bagian Kredit LPD (Dewa Gede Suprapta) dan dijelaskan sebagai berikut: “Punia (bantuan) untuk pemeliharaan palinggih pura, akan diambilkan dari SHU (sisa hasil usaha). Berapa besarnya jumlah bantuan (punia) yang dipersembahkan? Hal tersebut ditentukan dan diputuskan dalam rapat anggota LPD yang dipimpin oleh Kepala Desa selaku Manajer LPD” (Dewa Gede Suparta: wawancara, Minggu, 16 November 2014, pukul 09.0-- 09.15 Wita, di Balai Banjar Puseh, Desa Pejeng). Jelaslah bahwa keberadaan LPD sangat membantu warga masyarakat dalam pemeliharaan bangunan suci walaupun bantuannya berbentuk pinjaman. Semua aktivitas yang telah berjalan di Desa Pejeng saat sekarang ini, baik pengelolaan donasi masuk tempat suci, pengelolaan toko, parkir, maupun pasar senggol sudah mencerminkan pembangunan ekonomi berbasis masyarakat. Tetapi suatu hal yang patut diapresiasi adalah perlu diwujudkannya sikap dan perilaku
,
241
profesionalisme desa adat dalam pengelolaan semua aset dan hasil yang diperoleh dari pengelolaan tersebut. Dengan demikian upaya produksi, distribusi dan promosi yang dilakukan secara maksimal untuk mencapai target yang dikehendaki yaitu meningkatkan kunjungan wisatawan ke Pura Penataran Sasih, revitalisasi nista mandala pura sebagai ruang belanja, tempat parkir dan pada malam harinya difungsikan sebagai pasar senggol tidak sia-sia. Sehingga kerja keras dan segala pengorbanan yang telah dilakukan oleh desa adat hasilnya dapat dinikmati oleh warga masyarakat dan tidak hanya dinikmati oleh satu atau kelompok orang tertentu saja. Namun demikian pengawasan dari desa adat terhadap kinerja pengelola hendaknya ditingkatkan untuk terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Kembali kepada kebijakan tentang penentuan dana perimbangan oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar, ketika dikonfirmasi ke Dinas Pariwisata, Kepala Dinas Pariwisata telah menyampaikan usulan kepada Bupati untuk merevisi pola perimbangan yang dibuat agar lebih berpihak kepada masyarakat. Pola perimbangan 60 % untuk pemerintah kabupaten sudah termasuk biaya operasional dan 40 % untuk desa adat diperuntukkan pemeliharaan pura, diusulkan untuk direvisi menjadi 50 % untuk pemerintah kabupaten dan 50 % untuk desa adat (Informan, Kadis Pariwisata Pemkab Gianyar: wawancara, Senin 4 Agustus 2014). Tujuannya adalah untuk memberikan ruang lebih besar kepada warga masyarakat dalam pengelolaannya. Pada gilirannya pendapatan warga masyarakat pengempu objek dan daya tarik wisata dari retribusi kunjungan wisatawan menjadi meningkat. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat pun khususnya di daerah objek wisata dan daya tarik wisata menjadi meningkat.
,
242
BAB VII DAMPAK DAN MAKNA KOMODIFIKASI WARISAN BUDAYA SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI PURA PENATARAN SASIH PEJENG
Kegiatan pariwisata budaya telah menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap situs dan peninggalan arkeologi di daerah ini. Dampak positif kegiatan pariwisata di daerah ini ialah adanya upaya pelestarian terhadap situs dan peninggalan purbakala berupa pemugaran, pengamanan, pemeliharaan kebersihan lingkungan, dan penjagaan kesuciannya. Di sisi lain, timbul pula dampak negatif seperti adanya polusi dan pencemaran lingkungan, rusaknya situs dan bendabenda purbakala tersebut (Ardika, 2007: 35). Komodifikasi sebagai salah satu konsekuensi dari kegiatan pariwisata selain memberikan manfaat positif juga dapat berdampak yang sebaliknya. Tampaknya demikian pula terjadi di Pura Penataran Sasih dengan dikomodifikasinya warisan budaya sebagai daya tarik wisata yang saat ini disakralkan dan dipuja oleh warga masyarakat pangemong dan panyungsung pura. Permasalahan tersebut menjadi salah satu aspek kajian pada bab ini untuk mempermudah mengetahui, memahami, dan menjelaskan makna komodifikasi warisan budaya di Pura Penataran Sasih.
7.1 Dampak Komodifikasi Pariwisata
bukanlah
kegiatan
yang
berdiri
sendiri,
melainkan
kehadirannya membutuhkan berbagai elemen lain untuk menunjang dan melengkapinya. Salah satu elemen yang dimaksud adalah kehadiran warisan budaya sebagai objek dan daya tarik wisata untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan para wisatawan. Menurut Ardika (2007: 212), dari 59 objek dan daya 242 ,
243
tarik wisata di Bali, 27 (45, 8%) objek dan daya tarik wisata di antaranya mengandung tinggalan arkeologi (warisan budaya). Dari 27 objek dan daya tarik wisata dimaksud, sebagian besar berada di daerah aliran sungai (DAS) Pekerisan dan Petanu dan wilayah desa yang berada di antara kedua sungai tersebut. Warisan budaya sebagai bagian kebudayaan memiliki nilai cukup tinggi dalam membangun bargaining dengan negara-negara lain di dunia dalam konteks pariwisata. Kebudayaan merupakan identitas suatu masyarakat, bangsa, dan negara. Sebagaimana dikatakan Gramci (dalam Edward Said, 2012: 215) bahwa kedalaman dan kekuatan negara Barat modern adalah kekuatan dan kedalaman budayanya dan kekuatan budaya terletak di dalam keberagamannya, pluralitas yang beraneka ragam. Tampaknya demikian pula yang terjadi di Bali. Artinya yang menarik kehadiran para wisatawan asing ke Bali tidak terlepas dari keanekaragaman dan keunikan yang dimiliki kebudayaan Bali, selain keindahan alam, adat istiadat dan aktivitas upacara keagamaan. Di Kabupaten Gianyar daya tarik wisata berbentuk warisan budaya berjumlah cukup banyak dan menyebar di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Blahbatuh dan Kecamatan Tampaksiring, antara lain Yeh Pulu dan Goa Gajah (Bedulu, Blahbatuh); Pura Penataran Sasih, Pura Kebo Edan, dan Pura Pusering Jagat (Pejeng, Tampaksiring); dan Gunung Kawi, Pura Mengening, Pura Tirta Empul, dan Pura Pegulingan (Tampaksiring). Dari kesembilan objek wisata tersebut, empat di antaranya, yaitu Goa Gajah, Yeh Pulu, Gunung Kawi, dan Tirta Empul dikelola oleh Dinas Pariwisata, sedangkan lima objek lainnya dikelola oleh desa adat. Pura Penataran Sasih dan warisan budaya yang ada di dalamnya merupakan salah satu objek wisata yang dikelola oleh desa adat. Objek wisata itu
,
244
mulai dikomodifikasi sejak 1990-an pada masa kepemimpinan Cokorda Ngurah Mayun dan ditangani secara intensif pada masa kepemimpinan Bendesa Adat (Bendesa Ageng) Anak Agung Gde Putra. Warisan budaya merupakan sumber daya budaya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, arsitektur, dan dinamika kebudayaan manusia. Benda budaya itu diwariskan oleh generasi terdahulu sehingga menjadi sumber daya yang bersifat unik dan tidak dapat diperbarui (Ardika, 2007: 6). Dalam konteks pembangunan Bali yang berwawasan budaya dan dijiwai oleh agama Hindu, bahwa keunikan yang dimiliki warisan budaya sangat penting sebagai daya tarik wisata. Fenomena seperti itu tampak dalam pengamatan yang dilakukan di Pura Penataran Sasih. Di satu pihak semua warisan budaya dikeramatkan dan difungsikan sebagai media pemujaan oleh warga masyarakat setempat, tetapi di pihak lain khususnya nekara “Bulan Pejeng” dengan nilai keunikannya memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa terdapat suatu hal yang patut diapresiasi dari kenyataan yang tampak di Pura Penataran Sasih dewasa ini, terkait dengan diberlakukannya Undang-Undang Cagar Budaya (UUCB) No. 11, Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam hal ini setidaknya ada empat pertimbangan pokok yang dipakai DPRRI ketika merumuskan UUCB: tersebut. Pertama, dari sisi ekonomi, cagar budaya harus mampu meningkatkan harkat kehidupan rakyat banyak. Kedua, dari sisi tanggung jawab public, pelestarian warisan budaya adalah “kewajiban” semua orang. Ketiga, dari sisi peradaban, pelestarian warisan budaya harus membuka peluang upaya pengembangan dan pemanfaatannya oleh masyarakat. Keempat, dari sisi tata kelola negara, pemerintah “meringankan
,
245
beban” pelestarian yang ditanggung masyarakat (Junus Satrio dalam Supratikno Raharjo (ed), 2012: 17). Berdasarkan inti asas manfaat yang diamanatkan di dalam UUCB tersebut, bahwa dengan dikomodifikasinya warisan budaya di Pura Penataran Sasih yang dikeramatkan dan dipuja dapat berdampak positif dan negatif, baik terhadap warisan budaya tersebut maupun bagi warga masyarakat panyungsung pura.
7.1.1 Dampak Positif Komodifikasi merupakan salah satu identitas kehidupan posmodern. Menurut Berman (1983), era posmodern sudah dimulai sejak 1970-an. Ketika itu terjadi difusi global dari proses modernisasi dan perkembangan suatu kebudayaan dunia modernisme menuju posmodernisme (dalam Turner, 2000: 27). Salah satu sikap tegas posmodernisme adalah mencoba mendekonstruksi dan menolak status quo (Ibid hal 39), sebagai sebuah situasi yang tidak menyenangkan (monoton). Bahkan, jauh sebelumnya Vogler (1949) mengatakan bahwa pergantian kekuasaan dianggap sebagai faktor penentu terbesar yang dapat mendorong terjadinya perubahan kebudayaan (dalam Sedyawati, 1987: 11). Dalam konteks di Desa Pejeng, situasi monoton tampak pada status quo masa jabatan Bendesa Ageng Cokorda Ngurah Mayun. Ia mengendalikan roda pemerintahan sejak sebelum Gerakan 30 September (G 30 S) PKI/1965 sampai dengan tahun 2000 (informan, Cokorda Rai Widiarsa, 10 Oktober 2014, pukul 16.00 Wita, di Puri Rangki, Pejeng). Sejak kepemimpinan A. A. Gde Putra (2000-2010) sebagai pengganti Cokorda Ngurah Mayun, masa jabatan bendesa ageng ditetapkan lima tahun dan selanjutnya dapat dipilih kembali untuk satu periode
,
246
masa jabatan berikutnya. Penetapan masa jabatan tersebut sekaligus mengakhiri pola kepemimpinan tradisional (feodalisme) menuju kepada pola kepemimpinan kapitalis (modern). Vogler mengisyaratkan bahwa pergantian kekuasaan merupakan penentu terbesar pendorong perubahan. Tampaknya hal itu pula yang terjadi pada masa kepemimpinan A. A. Gde Putra. Selain mereformasi status quo, ia juga melaksanakan pembangunan di bidang kehidupan spiritual keagamaan, baik dalam bentuk bangunan fisik maupun nonpfisik, seperti pelaksanaan upacara mamungkah, mapedagingan dan ngenteg linggih di Pura Puseh-Desa (2000). Di samping itu juga pelaksanaan upacara besar keagamaan di Pura Manik Corong (2001), pelaksanaan upacara besar keagamaan di Pura Pusering Jagat (2006), pembangunan balai wantilan di Pura Dalem Tenggaling (2007). Bahkan, perubahan yang sangat monumental adalah perombakan lapangan depan jaba sisi (nista mandala) Pura Penataran Sasih pada tahun kedelapan pemerintahannya (2008) dengan alasan penataan lingkungan pura sebagai bentuk respons terhadap pertumbuhan dan perkembangan pariwisata. Semua upaya pembangunan yang dilakukan dapat berjalan mulus tanpa hambatan karena pendekatan yang dipilih sangat tepat untuk meninabobokan pangemong pura. Bila menyitir jenis aparatus negara yang ditawarkan Althusser (2008: 14),
pola pendekatan yang
digunakannya merujuk kepada ideological state apparatus (ISA) yang bekerja secara persuasif melalui ideologis agama sehingga mendapat dukungan penuh dari warga masyarakat Jero Kuta Pejeng. Sebagai penguasa berbekal pengalaman Bupati Gianyar (periode 1969-1983) (Badan Pusat Statistik Kabupaten Gianyar, 2007: 9) dan Bupati Bangli
,
247
(periode 1985--1990) segala bentuk perubahan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana dikatakan Foucault (dalam Santoso, 2010: 170) bahwa kekuasaan itu tidak hanya represif, tetapi juga produktif dan positif. Fenomena seperti itu tampaknya terjadi di Pura Penataran Sasih. Walaupun perombakan terhadap jaba sisi pura menuai berbagai kritik dari beberapa kalangan masyarakat, dengan penuh keyakinan bahwa revitalisasi terhadap jaba sisi pura memiliki manfaat ekonomi yang cukup tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat Desa Pejeng. Ketika dikonfirmasi kepada salah seorang mantan bendahara bendesa ageng, ia mengatakan sebagai berikut. “Memang benar cukup banyak dilakukan perubahan sewaktu Ia mendampingi A.A. Gde Putra sebagai bendahara Desa Ageng Jero Kuta Pejeng. Bahkan, perubahan yang dilakukan cukup mendasar, yaitu perombakan terhadap lapangan depan (nista mandala pura) menjadi areal parkir dan di sore sampai malam harinya dijadikan pasar senggol tidak banyak mendapat penolakan atau kritikan dari kalangan masyarakat umum” (I Ketut Sarma, wawancara Jumat 10 Oktober 2014, pukul 15.30 Wita, di Jaba Sisi Pura Pusering Jagat). Perombakan lapangan nista mandala pura berjalan mulus karena secara ekonomi masyarakat umum merasa diuntungkan atas perubahan status pemanfaatan tanah lapang tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Gramci, bahwa sang penguasa dalam hal ini bendesa ageng memiliki strategi yang tepat untuk memengaruhi masyarakatnya sehingga sepakat untuk mengikuti kehendaknya tanpa resistensi (dalam Edkins-Nick Vaughan (ed), 2010: 234). Alasan hal tersebut dilakukan adalah untuk tujuan menyediakan fasilitas (tempat) parkir bagi wisatawan yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih yang secara ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
,
248
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dalam tiga tahun terakhir di objek penelitian, tampak terjadi perubahan yang sangat signifikan terutama terkait dengan jumlah kunjungan pasar senggol yang cenderung meningkat. Interaksi antara penjual dan pembeli yang rata-rata dari golongan kelas menengah ke bawah melahirkan budaya pasar (budaya massa). Menurut John Fiske (1987), komoditas budaya massa tersebar dalam dua ekonomi sekaligus, yaitu ekonomi finansial dan ekonomi kultural. Ekonomi finansial terutama menaruh perhatian pada nilai tukar, sedangkan ekonomi kultural terutama berfokus pada nilai guna, yaitu makna, kesenangan, dan identitas sosial. Tentu saja ada interaksi yang kontinu di antara dua ekonomi yang terpisah, tetapi terkait ini (dalam Storey, 2007: 31). Berdasarkan pendapat Fiske, dapat dikatakan bahwa pada realitasnya fenomena seperti itu terjadi di Pura Penataran Sasih Pejeng. Kegiatan ekonomi finansial kegiatan ekonomi kultural berjalan secara bersamaan. Di satu pihak kegiatan ekonomi finansial yang dicirikan oleh keberadaan toko-toko dan areal (petak-petak) yang sengaja disiapkan untuk para pedagang kaki lima dengan sistem kontrak. Di pihak lain, kegiatan ekonomi kultural dicirikan oleh kehadiran para wisatawan yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih, dengan membayar donasi sesuai dengan keikhlasannya sebagai izin masuk ke utama mandala melihat keberadaan warisan budaya, khususnya nekara “Bulan Pejeng”. Secara normatif semua upaya yang dilakukan oleh Bendesa Ageng (A. A. Gde Putra), baik mengomodifikasi warisan budaya maupun merevitalisasi jaba sisi (nista mandala) pura sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang Cagar Budaya (UUCB). Berdasarkan asas manfaat ekonomi, warisan budaya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan harkat kehidupan masyarakat. Semua hasil
,
249
yang diperoleh dari pengelolaan aset tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembangunan dan pemeliharaan pura termasuk warisan budaya yang ada di dalamnya. Dengan demikian, beban warga masyarakat dapat dikurangi untuk semua kewajiban, sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk semua itu dapat dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan yang lainnya. Selanjutnya manfaat dari sisi tata kelola negara, yaitu semua biaya yang dibutuhkan untuk pelestarian warisan budaya ditanggung oleh pemerintah.
Gambar 7. 1 Kompleks Pertokoan, Pasar Senggol Pejeng Sumber : Dokumentasi A. A. Gde Raka, 2014
Dilihat dari aspek material (ekonomi), komodifikasi warisan budaya dan revitalisasi jaba sisi (nista mandala) pura merupakan ruang bisnis (kapitalis). Hasil kontrak pengelolaan donasi masuk ke pura dan hasil pengelolaan kontrak toko, pedagang kaki lima, dan parkir, cukup memberikan arti positif buat penambahan (akumulasi) modal desa adat. Semua pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan semua aset tersebut, untuk sementara disimpan di Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Pejeng. Dengan demikian, modal yang diperoleh
,
250
dari semua pengelolaan aset tersebut dapat dimanfaatkan untuk menambah jumlah modal yang beredar di masyarakat. Pada gilirannya dapat membantu dalam proses mempercepat peningkatan (akumulasi) modal LPD tersebut.
Gambar 7. 2 Balai Wantilan (Madya Mandala) dan Pasar Senggol Pejeng Sumber : Dokumentasi A. A. Gde Raka, 2014.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan salah seorang mantan bendahara Desa Adat Jero Kuta Pejeng, diketahui bahwa dana yang diperoleh dari pengelolaan aset tersebut dimanfaatkan untuk biaya pembangunan dan pemeliharaan tempat suci. Tidak terbatas untuk biaya pemeliharaan Pura Penataran Sasih, tetapi juga pemeliharaan tempat suci lainnya yang tegolong kahyangan desa dan jumlahnya tidak kurang dari tujuh buah pura. Dengan demikian, beban warga desa adat menjadi berkurang khususnya untuk kewajiban (urunan) pemeliharaan pura (Informan, Ketut Sarma, wawancara Jumat, 10 Oktober 2014, pk. 15.30--16.15 Wita, di Jaba Pura Pusering Jagat).
,
251
Gambar 7. 3 Pedagang Kaki Lima, Pasar Senggol Pejeng Sumber : Dokumentasi A.A. Gde Raka, 2014
Gambar 7.4 Areal Parkir Depan Jaba Pura Penataran Sasih, Pejeng Sumber: Dokumentasi A.A. Gde Raka, 2014
7.1.2 Dampak Negatif Sebagaimana dipaparkan pada subbab 7.1 di atas, bahwa komodifikasi warisan budaya di Pura Penataran Sasih secara ekonomi dapat memberikan
,
252
keuntungan kepada warga masyarakat pangemong pura. Kemudian dengan diberlakukannya Undang-Undang Cagar Budaya (UUCB), salah satu aspek dari empat asas kemanfaatan yang dituangkan di dalamnya adalah aspek manfaat ekonomi, yang mengisyaratkan bahwa cagar budaya (warisan budaya) mampu meningkatkan harkat kehidupan masyarakat. Artinya, secara hukum keabsahan (legalitas) atas pemberdayaan warisan budaya sebagai daya tarik wisata dapat dipertanggungjawabkan. Di balik semua itu, di satu pihak suatu hal yang patut diperhatikan adalah bahwa warisan budaya di Pura Penataran Sasih disakralkan dan difungsikan sebagai media pemujaan oleh warga masyarakat panyungsung pura dan disimpan di beberapa palinggih di utama mandala sehingga harus dijaga nilai-nilai kesakralnnya. Di pihak lain, komodifikasi warisan budaya memberikan kebebasan ruang dan waktu bagi wisatawan keluar masuk ke ruang suci (utama mandala) pura. Hal itu terjadi karena masyarakat wisatawan (barat) tidak mengenal adanya batas-batas sakral dan profan sebagaimana tradisi budaya negara-negara timur, seperti India dan China. Agama-agama di China dan di India cenderung menganggap tindakan, perilaku adat tradisional sebagai hal-hal yang harus dipertahankan, bahkan dianggap sebagai hal-hal yang suci (Habermas, 2011: 60). Sesungguhnya demikian pula di Bali, artinya tidak hanya identitas ruang sakral dan ruang profan yang dipertahankan, tetapi juga sikap, perilaku, dan pola berpakaian ke tempat suci dalam praktik sosial kegamaan sebagai suatu identitas khas masyarakat. Tempat suci pura seharusnya hanya dikunjungi pada hari-hari tertentu, seperti hari-hari besar keagamaan, tirta yatra, dan kegiatan ritual keagamaan lainnya. Dewasa ini yang terjadi adalah sebaliknya, terutama di
,
253
daerah-daerah tujuan wisata yang menjadikan warisan budaya sebagai daya tarik wisata, termasuk di Pura Penataran Sasih. Para wisatawan keluar masuk dengan bebas hanya mengenakan selendang yang telah disiapkan oleh pemandu objek. Praktik adat yang ditradisikan bagi wisatawan masuk ke tempat suci dengan mengenakan selendang merupakan bentuk ideologi aparatus penguasa melalui pendekatan persuasif. Suatu hal yang lebih prinsip diabaikan dan tidak hanya oleh pengelola daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih, tetapi juga di tempat-tempat suci lainnya yang menjadikan warisan budaya sebagai daya tarik wisata, seperti Pura Tirta Empul, Pura Mengening, Pura Gunung Kawi, Pura Goa Gajah, dan yang lainnya adalah pengetahuan tentang keadaan pribadi (personal) para wisatawan. Apakah mereka dalam keadaan cuntaka (kotor) atau tidak? Karena terhegemoni oleh budaya kapitalis (uang), yaitu ruang, waktu, dan uang adalah menjadi kekuatan sosial masyarakat wisatawan (Piliang, 2010: 161) telah mengubur kekuatan iman terhadap nilai kesakralan tempat suci. Akhirnya, tanpa disadari bahwa semua praktik budaya yang dilakukan para wisatawan asing (barat) yang secara prinsip memiliki tradisi budaya berbeda, bahkan bertolak belakang dengan budaya kita (Alfian ed., 1985: 109) tidak dimungkiri dapat berdampak negatif, yaitu menodai kesakralan (desakralisasi) Pura Penataran Sasih. Berbagai fenomena berkaitan dengan desakralisasi Pura Penataran Sasih sebagai dampak dari kunjungan wisatawan sampai dengan dewasa ini belum dikritisi oleh kalangan masyarakat dan secara konvensional dapat diterima. Justru sikap kritis dari berbagai kalangan masyarakat ditujukan kepada perombakan halaman depan (nista mandala) pura menjadi ruang untuk kegiatan bisnis. Pihak-
,
254
pihak yang mengkritisinya, di antaranya Ida Pedanda Wayahan Bun, Geria Sanur, Jero Kuta Pejeng. Beliau mengungkapkan sebagai berikut: “Lapangan di depan jaba pura merupakan bagian jaba sisi (nista mandala) Pura Penataran Sasih” (Wawancara: Kamis, 16 Januari 2014, pukul 10.00-10.15 Wita, di Pantai Masceti, Keramas).
Gambar 7. 5 Ida Pedanda Wayahan Bun, Geria Sanur, Jero Kuta Pejeng Sumber : Dokumentasi A.A. Gde Raka, 2012
Pernyataan singkat yang dilontarkan oleh Ida Pedanda Wayahan Bun bila dicermati secara saksama, ternyata memiliki makna yang sangat mendalam. Artinya, upaya revitalisasi dengan mengalihfungsikan halaman depan jaba pura menjadi ruang bisnis (kapitalis) sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Dikatakan demikian, karena status lapangan depan pura tersebut selain difungsikan sebagai ruang publik juga berstatus sebagai jaba sisi (nista mandala) pura. Dengan demikian, keberadaannya menjadi satu kesatuan utuh dengan Pura Penataran Sasih. Dalam konteksnya dengan struktur pura yang dibagi secara horizontal
,
255
menjadi tiga mandala, lapangan depan jaba pura tersebut berstatus sebagai nista mandala pura. Selanjutnya pernyataan Ida Pedanda Wayahan Bun diperjelas dan dipertegas oleh Ida Pedanda Gede Burwan, Geria Sanding, Jero Kuta Pejeng, yaitu sebagai berikut. “Lapangan depan pura (nista mandala) mulanya dimanfaatkan sebagai tempat peristirahatan (pesanekan) bila ada upacara piodalan di Pura Penataran Sasih. Namun, saat sekarang ini sudah beralih fungsi menjadi pasar malam (OB). Keberadaan seperti itu di satu pihak dapat membuat pura menjadi cero (kotor) dan di lain pihak menyebabkan terjadinya degradasi terhadap keutuhan struktur tri mandala pura. Kalau tidak terlanjur dilakukan, sesungguhnya lebih baik jalan umum (protokol) nya di arahkan ke barat di perempatan Balai Banjar Intaran menuju Pasar Soma Negara dan di perempatan Kantor Kepala Desa belok ke kiri (utara). Dengan demikian, jalan umum di depan Pura Penataran Sasih dikembalikan sebagai bagian dari jaba sisi pura menyatu dengan lapangan” (Wawancara Minggu, 10 Agustus 2014, pukul 15.30--14.00 Wita, di Geria Sanding, Jero Kuta Pejeng). Bila dikaji dengan saksama, Ida Pedanda Gede Burwan masih menginginkan lapangan depan pura tetap berfungsi sebagai nista mandala pura. Dengan demikian, bilamana setiap saat dibutuhkan untuk melakukan kegiatan upacara keagamaan dapat dimanfaatkan
Gambar 7. 6 Ida Pedanda Gede Burwan, Geria Sanding, Jero Kuta Pejeng. Sumber : Dokumentasi A.A.Gde Raka, 2012.
,
256
Selain penegasan kedua pendeta tersebut, sebelumnya sudah ada beberapa tokoh masyarakat yang menolak, di antaranya Ngakan Nyoman Temaja dan Nyoman Parta. Kedua tokoh masyarakat tersebut melihatnya dari sisi lain, yaitu bahwa lapangan tersebut selain menjadi bagian dari jaba sisi pura juga memiliki nilai sejarah, yaitu sebagai ajang latihan kader-kader sepak bola di Pejeng, bahkan salah seorang di antaranya Ngakan Alit dapat menjadi pemain sepak bola nasional (Cokorda Rai Widiarsa Pemayun: wawancara, 9 November 2012, di Puri Rangki Pejeng). Keluhan juga diungkapkan oleh Cokorda Rai Pemayun (Bendesa Adat Kahyangan Tiga Jero Kuta), yaitu sebagai berikut. “Menurutnya, adanya perubahan cukup mendasar tersebut semestinya tidak hanya diketahui oleh bendesa adat (bendesa gede) dan masyarakat se-Jero Kuta Pejeng, namun juga harus diketahui oleh warga masyarakat Desa Pejeng secara keseluruhan, setidaknya melalui para bendesa adatnya masing-masing. Hal itu sangat penting dilakukan mengingat bahwa Pura Penataran Sasih adalah milik warga masyarakat seluruh Desa Pejeng, bukan hanya milik warga masyarakat Desa Jero Kuta. Pemekaran desa secara kedinasan menjadi lima desa dinas, yaitu: Pejeng Induk (Jero Kuta), Pejeng Kangin, Pejeng Kelod, Pejeng Kawan dan Pejeng Kaja, yang dilakukan oleh pemerintah tahun 1980 dan didefinitifkan tahun 1985 tentu tidak berpengaruh terhadap hubungan adat dan keagamaan. Walaupun secara kedinasan sudah terpisah, namun ikatan emosi keagamaan yang dikemas secara adat dan budaya masih tetap teraktualisasi. Indikasi ke arah tersebut, tampak jelas sewaktu pujawali di Pura Penataran Sasih. Bahwa ida batara sasuhunan “kahyangan tiga” se-Desa Adat Pejeng diusung (lunga) ke Pura Penataran Sasih.”(Wawancara Minggu, 15 Juni 2014, pukul 09.30 Wita, di Pura Penataran Sasih, Jero Kuta Pejeng).
,
257
Gambar 7. 7 Bendesa Adat Kahyangan Tiga Jero Kuta Pejeng Sumber : Dokumentasi A.A. Gde Raka, 2014
Beberapa hal yang dapat disimak dari pernyataan Bendesa Adat Kahyangan Tiga (Cokorda Rai Pemayun) tentang pentingnya komunikasi dan sosialisasi atas berbagai kebijakan yang diambil oleh bendesa ageng terkait dengan di Pura Penataran Sasih mengingat hubungan spiritual keagamaan antara Desa Adat Jero Kuta dan desa adat lainnya di lingkungan Desa Pejeng sangat kuat dan berada di bawah kendali bendesa adatnya masing-masing. Secara politis partisipasi mereka dalam berbagai kegiatan yang dilakukan perlu diapresiasi. Untuk itu, keterlibatan mereka di dalam berbagai kegiatan di Pura Penataran Sasih jangan dipandang terbatas pada kewajiban mengusung istadewata kahyangan tiganya ketika pujawali di Pura Penataran Sasih. Namun, keterlibatan mereka dalam pengambilan berbagai kebijakan yang dianggap prinsip, utamanya terkait dengan hubungan persatuan dan kesatuan yang dapat dibangun melalui media
,
258
keagamaan. Kekompakan dalam kehadiran mengusung istadewata kahyangan tiga ketika pujawali dan kegiatan malis (makiis) merupakan tolok ukur berhasil dan tidaknya bendesa ageng mengelola hubungan antarbendesa adat di seluruh Desa Pejeng. Namun, berdasarkan hasil pengamatan dalam tiga tahun terakhir ini, motivasi para bendesa adat di luar jero kuta mengusung istadewata pujaannya, baik pada saat pujawali maupun makiis sangat kurang. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah aspek nonmaterial keagamaan. Dua hal penting berkaitan dengan hal itu adalah sebagai berikut. Pertama, keberadaan nista mandala pura menjadi kabur, bahkan hilang dari struktur tri mandala. Dengan demikian, satu kesatuan ruang antara nista mandala, madya mandala, dan utama mandala menjadi lepas. Kedua, perombakan nista mandala pura
tidak
hanya
berpengaruh
terhadap
tercemarnya
nilai
kesakralan
(desakralisasi) pura, tetapi juga terjadi sebuah pengorbanan (kekerasan) atas simbol dalam agama Hindu. Pada tataran konsep Hindu, tri mandala pura (nista mandala pura, madya mandala pura, dan utama mandala pura) merupakan pengejawantahan konsep tri bhuwana, yaitu bhur loka, bhwah loka, dan swah loka (Donder, 2007: 187). Konsep tri bhuwana tersebut dijadikan landasan pembagian mandala pada Pura Penataran Sasih. Selanjutnya dari aspek material keagamaan, sebagaimana diungkapkan Goris (2012: 34), sebagai aturan, pura dibagi menjadi tiga bagian atau halaman, yaitu halaman depan (jaba), halaman tengah (jaba tengah), dan halaman dalam (jeroan). Tiap-tiap halaman ini mempunyai fungsi keagamaan tersendiri. Untuk itu, perombakan atas ruang depan jaba pura yang selama ini diketahui sebagai bagian nista mandala (jaba sisi) telah mengabaikan keberadaan konsep tri
,
259
mandala pura. Walaupun disadari bahwa konsep dwi mandala merupakan pengejawantahan konsep rwa bhinneda, tentu tidak layak diterapkan untuk pura sebesar Pura Penataran Sasih.
7.2 Makna Komodifikasi Benjamin (dalam Edkins dan Williams, 2009: 112) memadankan komodifikasi dengan kebaruan (newness). Dalam kehidupan dunia modern kita terobsesi dengan ide tentang sesuatu yang baru. Kecintaan pada aspek kebaruan merupakan aspek vital dari sistem ekonomi kapitalis yang berdasarkan upaya memproduksi komoditas baru dan membujuk bahwa kita membutuhkan gaya hidup yang lebih besar, lebih bagus, dan lebih hebat. Kebaruan dalam konteksnya dengan berbagai produk yang dijadikan komoditas di Pura Penataran Sasih adalah dalam bentuk warisan budaya, yaitu sesuatu yang mulanya bukan komoditas kemudian dijadikan komoditas. Karena terobsesi oleh kepentingan modal (kapitalis), maka warisan budaya yang disakralkan tersebut dijadikan komoditas daya tarik wisata. Terlepas dari berbagai dampak yang ditimbulkan pariwisata dan mengingat bahwa komodifikasi warisan budaya sudah berlanjut, sebaiknya dilihat makna positif atas dijadikannya warisan budaya tersebut sebagai daya tarik wisata. Namun, penelusuran terhadap nilai sejarah, seni budaya, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan sebagainya berkenaan dengan warisan budaya tersebut menjadi penting dalam upaya mengetahui identitas warisan budaya tersebut berikut zaman yang diwakilinya. Pengetahuan dan ketahanan identitas subbudaya sehingga dapat menunjukkan kekhasan zamannya memiliki potensi pengaruh
,
260
yang sangat besar (Suprapti, 2010: 219). Terlebih warisan budaya di Pura Penataran Sasih, termasuk Pura Penataran Sasih itu sendiri dengan upacara keagamaan yang dilaksanakan setiap tahun yang juga memiliki kekhasan tersendiri. Untuk membantu mengungkapkan berbagai misteri di balik semuanya itu, genealogi dan arkeologi merupakan dua bentuk metode Foucault yang dapat dimanfaatkan untuk membongkar kebenaran-kebenaran semu yang membungkus rapi keyakinan masyarakat dengan ideologi pariwisata yang berkedok keuntungan. Arkeologi penekanannya pada arsip dan genealogi berarti asal usul dan sebab akibat yang dapat dipakai menguji arsip (Foucault dalam Santoso, 2010: 165). Foucault (2002: 22) menguraikan pentingnya mengadopsi prinsip genealogi sebagai suatu prinsip yang menekankan bahwa setiap kebenaran bisa dilacak secara historis pada institusi dan wacana dominan yang melahirkannya tentu tanpa mengabaikan peranan arsip sebagai objek kajiannya. Kedua metode tersebut dipilih untuk digunakan menelusuri makna komodifikasi warisan budaya (tinggalan arkeologi) sebagai objek kajian. Semua warisan budaya meerupakan arsip yang patut dibuka kembali dan dicari asal usulnya untuk diketahui nilai-nilai apa yang terkandung di dalamnya. Dalam konteks kekinian warisan budaya juga merupakan salah satu daya tarik dan objek wisata, sehingga dapat menjadikannya bernilai ekonomi. Memang disadari bahwa kunjungan wisatawan ke dalam pura berdampak signifikan terhadap kesucian pura, tetapi komodifikasi sudah merupakan pilihan dan
harus dijaga
keberlanjutannya, tentu yang patut disyukuri adalah makna komodifikasi bagi warga masyarakat pangemong dan panyungsung pura.
,
261
Ketika berbicara tentang makna, sebaiknya dirujuk konsep makna yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure. Menurut Saussure, ada dua bentuk makna yang diberikan kepada setiap benda, yaitu makna denotatif dan makna konotatif (dalam Chaer, 2012: 292). Makna denotatif adalah makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita atau makna apa adanya. Sebaliknya makna konotatif adalah makna-makna lain yang bukan leksikal seperti makna kias yang terbentuk secara metaforis. Upaya komodifikasi telah melahirkan berbagai aspek pemaknaan, baik pemaknaan diberikan berdasarkan objek, sang pelukis objek, maupun sang pemberi makna itu sendiri. Dalam memaknai komodifikasi warisan budaya di Pura Penataran Sasih perlu dirujuk metode Foucault, yakni urgennya dilakukan studi genealogi dan arkeologi. Artinya, pengkajian terhadap nekara, warisan budaya lainnya, termasuk Pura Penataran Sasih hendaknya dilakukan dengan saksama. Sebagaimana diketahui bahwa yang dijadikan objek studi adalah arsip berbentuk artifak yang tidak hanya sebagai benda bisu, tetapi juga memiliki makna untuk kehidupan pada masa lalu, pada masa sekarang dan pada masa yang akan datang. Menurut Ardika (2007: 22; 2015: vi), ada empat nilai dan makna yang dimiliki warisan budaya tersebut, yaitu: informasi, asosiasi/simbolik, estetika, dan ekonomi. Keempat nilai dan makna inilah dijadikan landasan berpijak untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan makna komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih dan dipandang dari kacamata kekinian, yang oleh Hartley (2010: 176) disebut era postmodern.
,
262
7.2.1 Makna Informasi Pendidikan Makna informasi yang dimaksudkan dalam konteks ini ditekankan kepada pendidikan, yaitu nilai-nilai pendidikan yang dapat dipetik dari komodifikasi nekara dan warisan budaya lainnya. Pada Bab V subbab 5.1 sudah diuraikan secara ontologis bahwa warisan budaya yang telah diketahui secara jelas asal usulnya adalah nekara “Bulan Pejeng”, yaitu berasal dari zaman perunggu atau menjelang akhir abad sebelum Masehi (2.000 tahun silam). Kemudian warisan budaya lainnya, di antaranya salah satu dari beberapa arca dewi di Palinggih Gedong Kemoning (jeroan) yang memuat tahun candra sangkala 1264 S/1342 Masehi, prasasti batu di Palinggih Gedong Selatan (jeroan) menunjuk abad 10 Masehi, dan prasasti pendek menggunakan huruf tipe Kediri Kuadrat pada balok batu di Palinggih Pangrajan (jaba tengah) abad 12 M. Semua upaya yang telah dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan tersebut termotivasi oleh adanya kepentingan penguasa untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung di dalam warisan budaya tersebut. Adapun harapannya adalah agar setiap wisatawan yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih mendapatkan informasi lebih lengkap dan akurat tentang berbagai hal berkaitan dengan warisan budaya tersebut. Sebagai langkah nyata ke arah tersebut sesuai dengan sumber naskah yang diperoleh
dari
internet
(http://mitosbudayabali.blogspot.co/2011/12/mitos-
keberadaan-bulan-pejeng.html.) bahwa sejak Desember 2011 bendesa ageng melalui
stafnya
telah
menyosialisasikan
(mendistribusikan)
sekaligus
mempromosikan Pura Penataran Sasih di media sosial tersebut. Isi naskahnya pun cukup representatif. Artinya, secara keseluruhan dapat merepresentasikan keberadaan Pura Penataran Sasih dan warisan budaya yang ada di dalamnya,
,
263
terutama nekara “Bulan Pejeng”. Dari aspek kualitas data yang disajikan validitasnya dapat dipertanggungjawabkan karena sumber rujukannya hasil karya tulis para peneliti asing, seperti Rumphius, Stutterheim, Bernert Kempers, dan Goris yang memiliki atensi tinggi terhadap kepurbakalaan (warisan budaya) di Pejeng dan Bedulu. Tampaknya upaya untuk melengkapi informasi tentang Pura Penataran Sasih terus diupayakan. Cokorda Gde Putra Pemayun sebagai pengganti A.A. Gde Putra, dalam tiga tahun masa kepemimpinannya sebagai Bedesa Ageng tepatnya pada tahun 2013, atas bantuan dan kerja samanya dengan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali telah dibantu penerbitan buku Purana Pura Penataran Sasih dilengkapi dengan prasasti tembaga. Ketika dikonfirmasi tentang rencana ke depan, Bendesa Ageng mengungkapkan sebagai berikut. “Di tahun 2015/2016 Bendesa Ageng akan mengupayakan penerbitan buku Pura Penataran Sasih. Sebab sesuai rencana bahkan sudah dapat dipastikan bahwa pada Pujawali tahun 2016 akan diselenggarakan upacara besar (Panca Wali Krama). Mengapa tahun 2016? Karena tahun 2016 tepat 50 tahun sudah dilaksanakan pujawali ageng di Pura Penataran Sasih, sekaligus memperingati 50 tahun (tahun emas) upacara besar (pujawali ageng). Bahkan kemungkinan secara kuantitas dan kualitas akan lebih besar dari tahun 1966 silam. Indikasi ke arah tersebut didukung adanya rencana upacara (karya) dengan tingkatan “Tawur Agung Panca Wali Krama” (Wawancara: Minggu, 21 Desember 2014, pukul 13.05-Selesai). Sebagaimana diketahui bahwa upacara “Panca Wali Krama” merupakan salah satu upacara besar yang telah dilaksanakan setiap sepuluh tahun sekali hanya di Pura Agung Besakih. Selain di Pura Agung Besakih tawur “Panca Wali Krama” juga dapat dilaksanakan pada saat-saat tertetu, misalnya di pusat kerajaan (Denpasar dan Mengwi), di tempat tertentu yang ditimpa bencana alam bertubitubi, di desa-desa yang hilang tersapu banjir atau ditelan bumi karena gempa
,
264
dahsyat, gunung meletus, serta hujan abu, ring danu, dan sebagainya. Bila bencana seperti itu yang menimpanya, maka wajib dilaksanakan karya agung “Panca Wali Krama” di Pura Agung Besakih (Agastia, 2008: 2). Dengan demikian, pujawali “Panca Wali Krama” yang akan dilaksanakan pada tahun 2016 di Pura Penataran Sasih, merupakan upacara yang tergolong besar dalam rangka lima puluh tahun telah dilaksanakannya karya ageng “Ngusaba” di Pura Penataran Sasih, yaitu pada tahun 1966 silam.
7.2.1.1 Makna Pendidikan Sosial Keagamaan Di atas telah disinggung selintas tentang pelaksanaan upacara besar keagamaan “Ngusaba” di Pura Penataran Sasih pada tahun 1966 silam dan pada tahun 2016 akan diselenggarakan upacara “Panca Wali Krama”. Kegiatan upacara seperti “Ngusaba”, “Panca Wali Krama”, dan semacamnya perlu dibudayakan di pura besar setingkat Pura Penataran Sasih selain upacara “Nyatur” yang digelar secara reguler (rutin) setiap tahun. Tujuannya adalah untuk memberiksn pendidikan dan pelatihan moral keagamaan kepada warga masyarakat. Pada kenyataannya walaupun semua biaya yang dibutuhkan untuk upacara keagamaan menjadi tanggung jawab warga desa adat, dari hasil pengamatan yang telah dilakukan di objek ternyata tidak ada keluhan dari warga masyarakat. Sebaliknya, mereka bersyukur karena tidak terbebani biaya pembangunan dan pemeliharaan pura. Semua biaya yang dibutuhkan, khususnya untuk pemeliharaan bangunan yang menyimpan warisan budaya telah ditanggung oleh pemerintah melalui Balai Pelestarian Cagar budaya (BPCB) Bali, NTT, dan NTB Bedulu-Gianyar. Dana untuk renovasi dan pemeliharaan bangunan serta palinggih-palinggih lainnya
,
265
diambil dari sumber pengelolaan donasi masuk ke Pura Penataran Sasih, pengelolaan pasar senggol, dan pertokoan. Selain kegiatan upacara keagamaan dan asal usul sejarahnya, hal yang sangat urgen untuk diketahui adalah status dan fungsi warisan budaya tersebut guna melengkapi informasi yang dibutuhkan oleh para wisatawan. Dikatakan demikian karena pariwisata membutuhkan informasi lengkap dan akurat tentang keberadaan objek dan daya tarik wisata. Sewaktu pengamatan yang dilakukan selama penelitian, diketahui bahwa sajian informasi berkenaan dengan warisan budaya masih banyak yang perlu dilengkapi. Untuk itulah, sajian informasi asal usulnya perlu dilengkapi dengan penjelasan status dan fungsi sehingga kemasannya menjadi semakin lengkap dan sempurna. Ternyata perjalanan waktu panjang dengan berbagai dinamika dan perubahan terjadi berpengaruh signifikan terhadap status dan fungsi warisan budaya di Pura Penataran Sasih. Berkaitan dengan status nekara ”Bulan Pejeng” berdasarkan keterangan pamangku pura, keberadaannya sangat dikeramatkan dan dipuja sebagai pratima istadewata Ida Ratu Sasih, dan pada hari-hari suci keagamaan diberikan persembahan. Demikian pula warisan budaya lainnya sangat dikeramatkan dan dipuja sebagai pratima istadewata walaupun tidak disebutkan dengan jelas siapa dewa yang diwakilinya. Selanjutnya pengetahuan tentang fungsi nekara “Bulan Pejeng” berdasarkan sumber-sumber tertulis, baik dari sumber buku bacaan maupun sumber hasil-hasil penelitian, dapat diketahui bahwa status dan fungsi awal dari nekara dibuat adalah sebagai benda suci yang dipakai sewaktu upacara. Menurut Soeroto (2006, 2007: 33), nekara terbesar dari Bali yang disimpan di Pura Penataran Sasih dipercaya sebagai benda suci.
,
266
Berdasarkan pengamatan dan pencermatan terhadap keberadaan warisan budaya yang keterwakilannya meliputi zaman pra-Hindu dan zaman Hindu dipandang dari aspek keagamaan, terindikasi betapa strategisnya posisi dan keadaan alam lingkungan Desa Pejeng sejak masa silam sehingga dipilih sebagai pusat aktivitas agama. Sebuah nekara besar yang berasal dari zaman perunggu dan dibuat menjelang beberapa abad sebelum Masehi (Notosusanto, dkk., 1984: 243), saat sekarang ini setidaknya telah berusia 2000 tahun. Hal itu berarti bahwa sejak 2.000 tahun lalu Desa Pejeng sudah menjadi pusat aktivitas kepercayaan (keagamaan). Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan Hinduisme di Bali, Desa Pejeng tetap menjadi pusat berbagai kegiatan keagamaan. Indikasi ke arah itu diberikan persaksian oleh penemuan stupika tanah liat di Pejeng (Goris, 1948: 3); berlanjut terus pada zaman pemerintahan raja-raja zaman Bali Kuno sampai dengan runtuhnya ke tangan Majapahit 1343 M (Muljana, 1983: 169). Menurut Kempers (1956: 67), Pura Penataran Sasih adalah kuil kerajaan Pejeng dahulu kala. Tampaknya aktivitas keagamaan terus berlanjut walaupun terjadi pergantian dan pemindahan pusat kekuasaan dari Pejeng ke tempat lainnya. Pada abad ke 14 M babad-babad kerajaan melaporkan bahwa Bali ditaklukkan oleh bala tentara kerajaan Majapahit dari Jawa, yang kemudian didirikan keraton di Gelgel (Picard, 1986: 22). Sumber-sumber prasasti yang dapat dijadikan bukti penguat bahwa aktivitas keagamaan terus berlanjut, di antaranya sebuah prasasti yang dipahatkan pada batu berbahasa sanskerta berkaitan dengan agama Budha yang diperkirakan berasal dari abad 11/12 M; prasasti singkat di balok batu bertuliskan huruf Kediri Kuadrat yang berbunyi “parad sang hya (ng) (w) arana diperkirakan
,
267
abad 12 M (Stutterheim, 1929: 24); prasasti pada arca dewi 1342 M/ abad 14 Masehi. Ketiga prasasti tersebut berada di Pura Penataran Sasih. Prasasti lainnya adalah prasasti dengan tahun candra sangkala 1251 S/1329 M pada bejana (sangku sudamala) di Pura Pusering Jagat (Kempers, 1956: 64). Bila ditarik benang merah dari abad 8 M s.d. 14 M, dapat dikatakan bahwa setidaknya dalam bentangan waktu selama enam abad aktivitas keagamaan terus berlanjut di Desa Pejeng. Dalam perjalanan waktu yang relatif panjang sejak zaman perunggu sampai pada era pariwisata global ini dengan dinamika dan perubahan yang terjadi, ternyata berdampak pula terhadap adanya perubahan tuntutan kebutuhan manusia. Sebagaimana dikatakan oleh Maslow bahwa ada lima hierarki kebutuhan manusia. Kelima hierarki itu dimulai dari tingkat kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisiologi, keamanan, sosial, ego, sampai di puncak hierarki, yaitu aktualisasi diri (dalam Suprapti, 2010: 59; Azhari, Akyas, 2004: 71). Namun, pada era pariwisata global ini rupanya kebutuhan manusia sudah mencapai tingkat yang sempurna, yaitu kebutuhan aktualisasi diri. Artinya, bahwa setiap orang dalam hal ini para wisatawan yang berkunjung ke Bali, banyak di antara mereka tidak hanya mencari barang dan jasa, tetapi juga memburu alat pemuas kebutuhan lainnya berupa kenikmatan rohani. Salah satu di antaranya adalah kegiatan upacara keagamaan. Fenomena seperti itulah yang tampak di Pura Penataran Sasih pada era sekarang ini. Artinya ada dua kelompok masyarakat dengan kepentingan berbeda hadir secara bersama-sama di Pura Penataran Sasih di tengah-tengah pelaksanaan upacara keagamaan, yaitu kelompok masyarakat lokal dan kelompok masyarakat
,
268
wisatawan. Bagi warga masyarakat lokal, kegiatan upacara keagamaan dimaknai sebagai bentuk apresiasi mendalam dari keyakinan kepada istadewata yang dipuja. Namun, bagi para wisatawan kapasitasnya adalah sebagai penonton dan menikmati sesuatu yang menurutnya merupakan produk baru yang tidak dimiliki di negaranya dan memang benar dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan rohani.
7.2.1.2 Makna Pendidikan Sosial Budaya Budaya berwisata perlu dilestarikan karena sangat dibutuhkan oleh seseorang, sekelompok orang, bahkan bagi masyarakat berbagai bangsa di dunia. Budaya berwisata juga dapat mempererat hubungan antarsuku bangsa, antardaerah, dan antarbangsa di dunia. Bagi Indonesia, budaya berwisata sangat bermanfaat dalam dua hal, yaitu (1) memupuk rasa cinta dan bangga pada Nusantara dan (2) memperlancar perputaran roda perekonomian daerah, terutama daerah-daerah yang memiliki daya tarik wisata (Putra dan Pitana, 2011: 111). Khusus untuk manfaat yang pertama, yaitu memupuk rasa cinta dan bangga pada Nusantara dapat dimaknai sebagai cermin bagi bangsa Indonesia, yaitu betapa pentingnya mengenal kehidupan sosial budaya daerah-daerah lain di Nusantara, terutama tentang sejarah budaya masa lalu. Khusus bagi warga masyarakat Desa Pejeng, komodifikasi warisan budaya sesungguhnya dapat memberikan ruang dan waktu untuk mengenang kembali sejarah kehidupan sosial budaya masa lalu. Penulisan buku Purana Pura Penataran Sasih yang intinya menekankan kepada masalah agama dan budaya, sewaktu disosialisasikan bersamaan dengan pembacaan prasasti pada November
,
269
2013 dihadiri oleh seluruh warga masyarakat Desa Jero Kuta Pejeng. Berdasarkan pengamatan terhadap sikap dan perilaku masyarakatnya yang dengan tekun mengikuti dan mendengarkan pembacaan prasasti, ternyata banyak di antara mereka sebelumnya tidak mengetahui bahwa Desa Pejeng dahulu kala konon sebagai pusat kerajaan. Yang diketahui adalah di Desa Pejeng banyak ada pura dan tinggalan arca-arca. Namun, setelah diadakan sosialisasi purana tersebut mereka menyadari bahwa dahulu kala desanya merupakan pusat kerajaan dan sekaligus sebagai pusat aktivitas budaya dan agama. Komodifikasi warisan budaya di Pura Penataran Sasih tidak terbatas kepada warga masyarakat Desa Pejeng saja, tetapi juga memberikan ruang dan waktu kepada warga masyarakat luar daerah untuk memupuk rasa cinta dan bangga Nusantara. Demikian pula warga masyarakat internasional banyak menaruh rasa bangga terhadap nilai adab dan budaya yang dimiliki warisan budaya di Pura Penataran Sasih. Patut dibanggakan bahwa kebudayaan Bali dengan pemahaman tata nilai athita-warthamana-naghata yang meyakini masa lampau, masa kini, dan masa datang selalu terjalin utuh dalam satu kesatuan (Soeroto, 2007: 8). Hal yang serupa juga terjadi di negara maju, seperti Amerika Serikat. Menurut Cheryl M. Hargrove (2002), berdasarkan sumber yang diperoleh dari sebuah lembaga pengendali yang khusus memiliki misi mengelola situs-situs bersejarah, diketahui bahwa wisata warisan dapat memberikan kesempatan yang unik untuk memberikan informasi kepada orang-orang mengenai pentingnya melestarikan dan melindungi harta karun (kekayaan) tempat-tempat bersejarah, seperti
bangunan-bangunan,
struktur,
daerah,
dan
objek-objek
negara.
Keberadaannya tidak hanya untuk dinikmati saat ini, tetapi juga untuk generasi
,
270
yang akan datang. Betapa pentingnya pembelajaran sejarah masa lalu sebagai wahana untuk membangun kesinambungan kehidupan sosial budaya melalui pemahaman nilai-nilai budaya yang tersembunyi di balik warisan tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa yang tampak terjadi di Pura Penataran Sasih saat ini adalah kesinambungan warisan budaya tidak hanya terbatas pada kehidupan seni rupa, tetapi juga seni pertunjukan sakral, yaitu tari “sutri”. Keberadaan tari “sutri” tersebut di samping melengkapi jalannya pujawali juga menunjang, menguatkan, dan mengintegrasikan secara utuh antara kegiatan upacara yang satu dan yang lainnya dalam upacara “maplengkungan” di Pura Penataran Sasih. Sehubungan dengan kegiatan upacara tersebut, seorang tokoh Puri Soma Negara “Cokorda Rai Widiarsa P. mengutarakan sebagai berikut. “Pagelaran tarian sakral (wali) “sutri” dengan gerak tari nampyog saat upacara maplengkungan hukumnya wajib. Upacara maplengkungan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya dalam setiap pelaksanaan pujawali di Pura Penataran Sasih dan selalu menghadirkan “sutri”. Di luar dari kegiatan menyiapkan upakara, “sutri” hadir dan menari nampyog dalam setiap prosesi upacara, seperti nyangling, ngebejiang, mendak Ida Batara Jero Kuta, nyambleh menyambut kehadiran Ida Batara Kahyangan Tiga se-Desa Pejeng, makiis, dan banyak lagi prosesi upacara yang mutlak melibatkan sutri” (wawancara: Senin, 17 November 2014, pukul 08.30--08.45 Wita). Keberadaan semua tradisi budaya sebagaimana dipaparkan di atas diyakini tetap berlanjut terus sampai ke masa datang di Pura Penataran Sasih sepanjang agama Hindu masih eksis di Bali.
,
271
Gambar 7.8 Tokoh Puri Soma Negara “Cokorda Rai Widiarsa P. Sumber: Dokumentasi A.A. Gde Raka, 2014
7.2.1.3 Makna Pendidikan Sosial Politik Banyak ruang dan waktu yang dapat diberikan kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Salah satu di antaranya adalah pemberdayaan masyarakat di bidang politik (political empowerment) (Pitana, 2011: 5). Sejalan dengan konsep pariwisata berkelanjutan pemberdayaan bidang politik masyarakat lokal harus diberikan ruang dan waktu selayaknya. Integritas masyarakat terutama di daerah daya tarik wisata akan kepemilikan warisan budaya dapat dipelihara dengan melibatkan mereka secara bersama-sama dalam pengelolaannya. Dengan menempuh jalan seperti itu, hak-hak politik mereka sebagai warga masyarakat merasa dihargai. Pura Penataran Sasih yang secara adat dan budaya diempu oleh Desa Adat Jero Kuta Pejeng banyak memberikan ruang dan waktu untuk keterlibatan warga masyarakat
melalui
keterwakilan
tiap-tiap
dusun.
Sebagai
contoh,
keikutsertaannya di dalam keanggotaan suatu lembaga, seperti Lembaga Desa Adat (pengurus desa), keanggotaan Kertadesa, kepanitiaan upacara piodalan, keanggotaan sutri, dan keanggotaan pecalang. Dalam hal ini bendesa adat
,
272
(bendesa ageng) sebagai pengendali semua lembaga adat di lingkungan Desa Adat Jero Kuta sudah selayaknya berlaku adil dan rasional untuk memilih orang yang duduk di dalam organisasi. Hal itu perlu diberdayakan di tengah-tengah dijadikannya warisan budaya sebagai produk komoditas daya tarik wisata yang notebene mendatangkan modal (uang). Walaupun hasil bersih dari donasi masuk menjadi milik warga Desa Adat Jero Kuta, akan menjadi lebih dihormati bilamana mereka diikutkan pada bagian-bagian kelembagaan dan/ atau kegiatan-kegiatan tertentu. Sebagai warga dusun, mereka merasa puas bilamana ada bersama-sama di dalam berbagai kegiatan walaupun melalui perwakilan. Warga desa adat yang berasal dari luar Desa Adat Jero Kuta Pejeng, seperti Pejeng Kangin, Pejeng Kelod, Pejeng Kawan, dan Pejeng Kaja yang secara adat dan kedinasan sudah berdiri sendiri, tetapi dalam kegiatan-kegiatan upacara tertentu, seperti upacara piodalan di Pura Penataran Sasih masih merupakan satu kesatuan utuh karena adanya ikatan emosional keagamaan. Perlu diketahui bahwa kewajiban yang dimiliki oleh warga Desa Adat Pejeng di luar Jero Kuta berbeda dengan warga Desa Adat Jero Kuta. Namun, dalam momen-momen tertentu, seperti pembicaraan masalah upacara piodalan ageng (pujawali) tanpa kecuali semua bendesa adat (se-Desa Pejeng) diberikan ruang dan waktu untuk berbicara sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Hal itu merupakan sebuah kehormatan bagi para pemimpin desa (di luar Jero Kuta Pejeng), yaitu diberikan hak untuk duduk bersama tanpa harus melakukan kewajiban yang sama. Pura Penataran Sasih sebagai kompleks pura terbesar di Desa Adat Desa Jero Kuta Pejeng merupakan pusat bagi warga masyarakat seluruh Desa Pejeng, Desa Bedulu, dan Desa Petulu (Dusun Laplapan) mengadakan kegiatan upacara
,
273
besar keagamaan setiap tahun. Tanpa disadari bahwa kegiatan upacara piodalan (pujawali) yang secara rutin dilaksanakan setiap tahun, sekaligus menjadikan Pura Penataran Sasih sebagai simbol relasi kekuasaan, yaitu sebagai media pertemuan para pemimpin desa (bendesa adat) dari seluruh Desa Pejeng. Momen seperti inilah pada setiap tahun yang dimanfaatkan oleh bendesa ageng (bendesa gede) untuk membicarakan segala sesuatu berkaitan dengan keberadaan Pura Penataran Sasih. Rasa kebersamaan juga ditanamkam melalui pemberian ruang dan waktu kepada setiap dusun/banjar se- Desa Adat Pejeng yang memiliki sekaa kesenian (baik tari maupun tabuh) untuk berpartisipasi mengisi acara selama kegiatan upacara berlangsung (Ida Bhatara Nyejer). Kebijakan seperti itu pun merupakan sebuah upaya mulia untuk menanamkan rasa memiliki kepada setiap warga di luar Desa Adat Jero Kuta yang secara teritorial kedinasan dan adat telah terpisah. Tampaknya rasa kebersamaan diyakini dapat berkesinambungan dari generasi ke generasi berkat besarnya pengaruh (sugesti) nekara Bulan Pejeng (Ida Ratu Sasih). Ida Ratu Sasih yang dikeramatkan dan dipuja oleh warga masyarakat seluruh Desa Pejeng sudah menjadi kebanggaannya. Upacara besar setiap tahunnya sudah menjadi agenda tetap bagi seluruh warga masyarakat desa adat di luar Desa Jero Kuta untuk mengusung “Istadewata Kahyangan Tiga” di desa adatnya masingmasing dan di-sthana-kan bersama-sama di Pura Penataran Sasih selama tiga hari. Adanya ikatan upacara besar keagamaan seperti inilah, menguatkan keyakinan warga bahwa Pura Penataran Sasih akan selalu menjadi media untuk menyatukan umat di seluruh Desa Pejeng.
,
274
7.2.2 Makna Pencitraan Simbolik Kajian terhadap makna simbolik warisan budaya di Pura Penataran Sasih lebih menukik pada makna pencitraan. Pencitraan adalah sebuah bentuk penggambaran terhadap sesuatu sebagaimana adanya atau sesuai dengan hasil pengamatan indra (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 270). Berhubungan dengan pencitraan simbolik nekara “Bulan Pejeng” yang sangat disakralkan tersebut, warga masyarakat lokal tidak hanya melakukan penghayatan melalui alam pikiran, tetapi juga dibangun dalam berbagai bentuk lembaga di masyarakat. Masyarakat lokal, khususnya di Desa Pejeng, memiliki banyak cara untuk menggambarkan berbagai keunikan nekara “Bulan Pejeng” dalam bentuk simbolsimbol. Selanjutnya ditelusuri maknanya yang telah diadopsi sebagai pratima “Ida Ratu Sasih”. Artinya, “Ida Ratu Sasih” tidak hanya dimohon cinta kasih dan kemurahan-Nya dengan cara pemujaan, tetapi juga dimohon untuk memberi berkah di berbagai aspek kehidupan kelembagaan, seperti Puri Pejeng, lembaga pendidikan, Lembaga Perkreditan Desa, dan termasuk lembaga Kabupaten Gianyar. Selanjutnya adanya imbuhan kata soma pada nama-nama lembaga tersebut merupakan sebuah bentuk pengekspresian kenangan masa lalu. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut lebih menguatkan nilai-nilai kearifan nekara “Bulan Pejeng” dari zaman ke zaman sepanjang lembaga tersebut masih ada. Nekara “Bulan Pejeng” selalu menjadi kenangan hidup sehari-hari bagi warga masyarakat Desa Pejeng. Sebagai konsekuensinya, nama “Bulan Pejeng” menjadi semakin melekat di hati masyarakat pada umumnya dan lebih melekat bagi mereka yang memiliki keterkaitan dengan lembaga-lembaga tersebut. Demikian sesungguhnya
,
275
harapan Cokorda Ngurah Mayun (Ida Sri Begawan) menyertakan kata soma (bulan) pada lembaga-lembaga dimaksud, adalah untuk selalu mengenang nekara “Bulan Pejeng” dalam kehidupannya.
7.2.2.1 Pencitraan Masyarakat Lokal (a) Puri “Soma Negara” Soma Negara memiliki makna konotatif untuk menyebut nama Desa Pejeng. Penyamaan kata Pejeng dengan Soma, bertolak pada asal usul nama Pejeng yang mengalami perubahan fonem menjadi pajang yang berarti di bawah sinar bulan (Mardiwarsito, 1985: 389). Kata negara memiliki arti sama dengan wilayah atau desa. Dengan demikian, Soma Negara adalah sebutan lain dari Desa Pejeng, artinya sebuah desa yang berada di bawah sinar bulan. Bulan yang dimaksud adalah nekara “Bulan Pejeng”. Bertolak dari paparan asal usul inilah kemudian Puri Pejeng menggunakan nama Puri Soma Negara. Pemakaian “Soma Negara” sebagai nama puri tidak terlepas dari kisah “mitos” bulan jatuh dari langit, yaitu sebuah mitos citra kebesaran Dewi Bulan. Sebagai tradisi lisan, mitos berpotensi mengokohkan keyakinan masyarakat kepada dewa alam. Tanpa disadari bahwa penyisipkan kata soma (bulan) untuk menyebut nama Puri Soma Negara dapat memperkuat nilai kearifan lokal yang dimiliki nekara “Bulan Pejeng”. Perlu diketahui bahwa penggunaan kata Soma Negara untuk menyebut Puri Pejeng berawal dari kembalinya salah seorang keturunan Dewa Agung Pemayun Puri Klungkung melalui perjalanan menuju Guliang (Bangli), Tampaksiring, dan selanjutnya ke Pejeng pada awal abad ke 18 M (300 tahun/ tiga abad lalu). Pemberian nama “Soma Negara” merupakan
,
276
bentuk kebanggaannya terhadap Ida Ratu Sasih (Bulan) yang menjadikan nekara “Bulan Pejeng” sebagai media pemujaan (pratima). Kata soma pada Puri Soma Negara mengandung arti bulan. Pemberian nama puri dengan membubuhkan kata soma (bulan) sudah jelas sebagai sebuah bentuk penguatan terhadap nilai kearifan lokal warisan budaya pra-Hindu. Namun, bagi kaum (warga) puri, dari hasil wawancara dengan “Ida Sri Begawan” terungkap sebagai berikut: Bagi kaum (warga) puri, penggunaan label kata “soma” sebagai nama puri sebagai simbol atau penunjuk identitas bahwa puri memiliki ikatan emosional dengan Pura Penataran Sasih termasuk pura-pura lainnya yang ada di lingkungan Desa Jero Kuta. Pengakuan puri secara moral sebagai kaum terdekat dengan Pura Penataran Sasih adalah cukup beralasan, mengingat hubungan pura dan puri bila kembali menengok ke zaman Kerajaan Gelgel adalah sangat erat. Dewa Agung Pemayun sebagai raja pertama di Pejeng sekembalinya dari Gelgel tentu melanjutkan adat dan tradisi kehidupan spiritual leluhurnya. Dasar konsep yang dijadikan rujukan adalah konsep dewaraja, yaitu kepercayaan terhadap adanya persamaan kedudukan dan status dewa di alam dewata dengan raja di dalam sebuah kerajaan. Dengan demikian, raja memiliki hubungan hierarkis dengan dewa yang dipuja. Adanya keyakinan seperti ini selanjutnya melahirkan konsep pura dan puri, yaitu pura sebagai stana dewa dan puri adalah istana raja (wawancara, Rabu 1 Oktober 2014, pk. 10.30--11.00 Wita). Hal-hal yang diungkapkan oleh Ida Sri Begawan dibenarkan oleh Ida I Dewa Agung Lingsir Soma Negara, Puri Madangan Kelod, Petak, Gianyar. Berikut petikan hasil wawancara penulis dengan Ida I Dewa Agung Lingsir Soma Negara. “Sebagai warih (keturunan) raja Puri Soma Negara Pejeng, mengakui memiliki hubungan emosional dan spiritual dengan Ida Batara yang bersthana di Pura Penataran Sasih, yaitu Ida Ratu Sasih (Bulan). Sebagai perwujudan rasa hormat kepada Puri Soma Negara dan bakti kepada Ida Batara di Pura Penataran Sasih, maka sejak dilantik sebagai raja di Puri Madangan Kelod, saya menggunakan gelar abhiseka ratu Ida I Dewa Agung Lingsir Soma Negara” (wawancara: Jumat, 14 November 2014, pukul 11.30--11.45 Wita, di Puri Ageng Tatiapi, Pejeng Kawan).
,
277
(b) Lembaga Pendidikan Banyak cara untuk mengungkapkan citra keagungan Ratu Sasih yang dibangga-banggakan dan dipuja oleh warga masyarakat di Desa Pejeng. Selain sebagai nama puri juga dapat diekspresikan sebagai nama lembaga pendidikan, yaitu sekolah taman kanak-kanak (STK). Tanpa disadari bahwa upaya pembubuhan nama Soma Negara pada STK merupakan bentuk penguatan tradisi sebagai benteng ketahanan nilai-nilai kearifan warisan budaya leluhur agar tetap kokoh di tengah-tengah derasnya pengaruh budaya global. Pemberian nama Soma Negara pada sekolah taman kanak-kanak pada awalnya adalah untuk tujuan kebanggaan dan pujaan kepada Ida Ratu Sasih. Namun, pada era pariwisata global ini, penyertaan kata soma pada nama lembaga tersebut sekaligus dapat menopang keberadaan nekara “Bulan Pejeng” dalam kapasitasnya sebagai ikon daya tarik wisata.
(c) Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Ratu Sasih dipuja di Pura Penataran Sasih diyakini sebagai dewi pemberi kesuburan dan kemakmuran. LPD sebagai sebuah lembaga yang bergerak di bidang pengelolaan keuangan juga menggunakan nama Soma Negara. Soma Negara mengandung arti konotatif negeri subur dan makmur. Keyakinan terhadap nekara “Bulan Pejeng” sebagai pemberi kesuburan dan kemakmuran merupakan bentuk tradisi kepercayaan warisan masa prasejarah (zaman perunggu). Fungsinya adalah sebagai media pemohon hujan atau kesuburan. Dalam perkembangan selanjutnya ketika zaman telah berubah, nekara “Bulan Pejeng” pun mengalami pergeseran fungsi, yaitu sebagai media memohon keselamatan dan kemakmuran.
,
278
Bentuk keyakinan seperti itu masih tetap bertahan hingga saat sekarang di Desa Pejeng. Penggunaan nama Soma Negara sebagai ikon LPD diharapkan dapat memberikan spirit (roh) terhadap keberlanjutan dan kemajuan lembaga ini dan dapat membantu warga sewaktu mengalami kesulitan. Sebaliknya, kehadiran LPD memakai simbol “Soma Negara” dapat menopang dan menguatkan tradisi keyakinan masyarakat Desa Pejeng kepada Ida Ratu Sasih.
(d) Simbol Kabupaten Gianyar Kabupaten Gianyar secara resmi memiliki Lambang Daerah Kabupaten sejak 10 Agustus 1972 yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar (Perda) No: 21/PD/DPRD/1972. Salah satu elemen penting menjadi bagian dari lambang tersebut adalah palinggih Ratu Sasih dan nekara “Bulan Pejeng” yang dikemas sedemikian rupa dipadukan dengan unsur-unsur lainnya dengan makna berbeda. Nekara “Bulan Pejeng” dilukiskan berwarna hijau mengandung arti kepahlawanan, kemegahan, kekuatan, dan kemakmuran (Pemkab Gianyar, 2007: viii). Penempatan nekara “Bulan Pejeng” di posisi puncak di ruang palinggih sebagai tanda kesucian dan kemuliaan Ida Ratu Sasih. Gambar nekara “Bulan Pejeng” diadopsi sebagai simbol Kabupaten Gianyar berkat usulan Cokorda Ngurah Mayun kepada Bupati Gianyar (A.A. Gde Putra) Kedua tokoh tersebut berasal dari Desa Pejeng. Sewaktu dihubungi dan ditanya tentang hubungan kedua tokoh tersebut di balik diterimanya usulan nekara “Bulan Pejeng” sebagai simbol Kabupaten Gianyar, dengan lugas Cokorda Ngurah Pemayun menjawab seperti berikut. “Diterimanya nekara “Bulan Pejeng” sebagai salah satu elemen simbol Kabupaten Gianyar bertolak dari citra positif yang dimilikinya dan bukan
,
279
disebabkan oleh adanya hubungan kekeluargaan (nepotisme)” (wawancara, Sabtu 11 Oktober 2014, pk.07.45 Wita). Sebagai bagian dari elemen pembentuk simbol Kabupaten Gianyar, nekara “Bulan Pejeng” memiliki arti kepahlawanan, kemegahan, kekuatan, dan kemakmuran. Keempat sifat tersebut diharapkan dapat dimiliki oleh seluruh warga masyarakat Gianyar. Pertama, kepahlawanan, yaitu semangat perjuangan tanpa mengenal lelah untuk meraih cita-cita. Kedua, kemegahan, yaitu berjiwa besar dan siap menghadapi keadaan sesulit apa pun. Ketiga, kekuatan, yaitu ketahanan mental dan moral dalam menghadapi berbagai tantangan dan godaan. Keempat, kemakmuran, yaitu semangat kerja tinggi untuk mencapai hidup makmur dan sejahtera. Semua elemen penopang tersebut, seperti Puri Pejeng, STK, LPD, dan Simbol Kabupaten Gianyar berfungsi sebagai benteng penguat nilai-nilai kearifan nekara “Bulan Pejeng” agar tetap bertahan sepanjang zaman. Pola-pola seperti itu perlu ditradisikan di tengah-tengah derasnya arus budaya global. Bila tidak diantisipasi secara dini lambat laun dapat berakibat fatal, yaitu semakin tergerusnya nilai-nilai budaya lokal. Bagaimanapun juga Pura Penataran Sasih dengan warisan budaya di dalamnya sudah dikomodifikasi. Dengan demikian, keberlanjutannya mesti dipertahankan. Satu-satunya jalan untuk menjaga keberlanjutannya adalah berkomitmen menjaga nilai-nilai kearifan budaya asli (lokal) agar tetap tegar dari sentuhan pengaruh budaya luar.
7.2.2.2 Pencitraan Masyarakat Indonesia Pencitraan simbolik juga diberikan oleh masyarakat Indonesia, baik di kalangan pelajar, mahasiswa, peneliti, maupun warga wisatawan. Semua kalangan
,
280
memberikan pencitraan yang beragam terhadap keberadaan nekara “Bulan Pejeng”.
Seperti
apa
mereka
memaknainya
tampaknya
teori
evolusi
perkembangan masyarakat atas tiga tahap yang ditawarkan Comte dapat dijadikan metaforisnya. Mulai dari tahap theologis (segala peristiwa dijelaskan sebagai kehendak Tuhan); menuju metafisik (peristiwa sudah dianalisis dengan menggunakan penjelasan yang tidak sepenuhnya mistik); dan akhirnya positivistik (peristiwa dijelaskan dengan hukum-hukum yang dapat diobservasi melalui eksperimen atau secara scientific) (dalam Pitana dan Gayatri, 2005: 11). Pemaknaan yang diberikan kepada nekara “Bulan Pejeng” oleh para pengunjung dari berbagai kalangan sangat beragam. Kalangan pelajar memaknai nekara “Bulan Pejeng” sebagaimana cara pandang masyarakat yang sepenuhnya bersifat theologies, yaitu lebih dipengaruhi oleh mitos. Mereka melihat bahwa segala peristiwa berkenaan dengan nekara yang kini dipuja sebagai “Ida Ratu Sasih” oleh warga masyarakat Bali merupakan kehendak Tuhan. Dengan demikian, mitos nekara “Bulan Pejeng” yang menceritakan bulan jatuh dari langit dapat membangun pencitraan para siswa dalam memaknai nekara tersebut sepenuhnya adalah kehendak Tuhan. Selanjutnya kalangan mahasiswa memaknai secara metafisik, yaitu dengan berbekal logika dalam menganalisis sebuah peristiwa tanpa mengabaikan nilainilai tradisi lisan yang berkembang di masyarakat khususnya di Desa Pejeng. Akhirnya kalangan intelektual memaknainya secara denotatif dengan melihat sebagaimana yang dapat diindranya. Selanjutnya mitos merupakan penguat nilainilai sistem kepercayaan (religi) masyarakat yang memang telah berkembang sejak zaman pra-Hindu.
,
281
7.2.2.3 Pencitraan Masyarakat Internasional Masyarakat internasional (wisatawan asing) yang berkunjung ke objek atau daya tarik wisata sikap dan perilakunya dapat dipengaruhi dengan melihat perbedaan dan keunikan yang tampak di hadapannya. Bali dikenal di mata pariwisata
dunia
karena
keunikan
dan
perbedaan
budayanya.
Gramci
mengungkapkan bahwa kekuatan negara Barat modern terletak pada kekuatan dan kedalaman
budayanya,
sedangkan
kekuatan
budaya
terletak
di
dalam
keberagamannya, pluralitas yang beraneka ragam (Said, 2012: 215). Tingginya tingkat kunjungan wisatawan ke Bali karena kekuatan dan daya tarik Bali terletak pada ragam budayanya. Khususnya wisatawan yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih hampir semua mengungkapkan kekagumannya melihat nekara “Bulan Pejeng” sebagai salah satu hasil karya budaya masa lalu yang unik dan tidak pernah dilihat di tempat lain. Bagi mereka adalah merupakan sebuah catatan tersendiri dan dibawa pulang ke negaranya. Akhirnya tidak hanya nekara “Bulan Pejeng” yang dikenang, juga Pura Penataran Sasih dan Desa Pejeng tempat nekara tersebut berada menjadi dikenal. Di tengah-tengah derasnya arus pariwisata global, bila dilihat dari latar belakang kehadiran para wisatawan (visitor) di daerah tujuan wisata, sebenarnya banyak faktor yang mendorongnya. United Nation Conference on Travel and Tourism di Roma (1963) memberikan batasan umum tentang visitor (pengunjung), yaitu sebagai berikut. “Setiap orang yang mengunjungi negara yang bukan merupakan tempat tinggalnya, untuk berbagai tujuan, tetapi bukan untuk mencari pekerjaan atau penghidupan dari negara yang dikunjunginya” (Pitana dan Gayatri, 2005: 41).
,
282
Berdasarkan batasan tersebut diketahui bahwa kehadiran wisatawan ke suatu tempat yang bukan tempat tinggalnya karena ada berbagai tujuan yang mendorongnya. Misalnya, untuk kepentingan rekreasi, menghilangkan rasa jenuh berhadapan dengan pekerjaan rutin, tetapi yang paling prinsip adalah ingin melihat perbedaan dari daerah asal atau tempat tinggalnya. Setiap negara yang menjadi destinasi wisata dunia sudah jelas memiliki perbedaan dan keunikannya masing-masing. Salah satu sumber resmi, yaitu UNWTO menguraikan tingginya animo masyarakat dunia untuk berwisata. Terkait dengan itu, tercatat negara-negara yang memiliki destinasi wisata top dunia dan berhasil menduduki peringkat sepuluh besar kedatangan wisatawan internasional pada tahun 2012. Kesepuluh negara yang dimaksud di urut dari posisi teratas dan seterusnya kedatangan wiatawan, yaitu (1) Prancis dengan jumlah kedatangan 93 juta wisatawan, (2) Amerika Serikat dengan jumlah kedatangan 67 juta wisatawan, (3) Cina dengan jumlah kedatangan 58 juta wisatawan, (4) Spanyol dengan jumlah kedatangan 58 juta, (5) Italia kedatangan 46 juta, (6) Turki, (7) Jerman, (8) Inggris, (9) Australia, dan terakhir Malaysia (lihat tabel 7.1 berikut).
,
283
Tabel 7.1. 10 Destinasi Wisata Top Dunia No
Negara
Peringkat/Kedatangan
1 2 3 4 5 6 7
Perancis Amerika Serikat Cina Spanyol Italia Turki Jerman
Pertama/93 Juta Kedua/67 Juta Ketiga/58 Juta Keempat/58 Juta Kelima/46 Juta Keenam Ketujuh
8
Inggris
Kedelapan
9 Australia 10 Malaysia Sumber: UNWTO, 2013: 6.
Kesembilan Kesepuluh
Semua negara yang disebutkan di atas menjadi destinasi wisata terkenal di dunia. Salah satu faktor penarik kehadiran para wisatawan karena kepemilikan warisan budayanya. Tampaknya Bali yang dijadikan destinasi pariwisata dunia, sesungguhnya tidak hanya karena keunikan warisan budaya, tetapi juga karena faktor-faktor lainnya. Seperti digambarkan oleh Covarrubias (1930: 2) bahwa Bali merupakan salah satu dari pulau terkecil yang luar biasa dan saat sekarang ini menjadi ternama. Keberadaannya secara alami dibentuk oleh suatu gugusan gunung berapi dengan kawah-kawahnya; lerengnya yang panjang dan menghijau; ditaburi danaudanau yang tenang; alur jurang yang panjang dialiri oleh sungai-sungai dengan airnya yang deras secara terus-menerus. Melanjutkan imajinasi Covarrubias mengenai Bali dilanjutkan Robinson (2006: 468) sampai pada gambaran yang lebih total bahwa Bali adalah surga terakhir. Gambaran ini malahan menjadi tegas ketika Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia pertama, melontarkan ungkapan yang terkesan agak berlebihan bahwa bagi dunia luar, Bali adalah Indonesia. Pada bagian lain karya Robinson (2006: 284), ditemukan kutipan dari
,
284
Nehru ketika berkunjung ke Bali dan takjub melihat sang Surya menyinari Pulau Bali dengan cemerlang lalu berseru “the morning of the world” (“sang pagi dunia”). Berbagai pujian lain pun bermunculan, tidak saja mengenai keindahan alam Bali, tetapi juga mengenai penduduknya yang ramah, kebudayaannya, khususnya kesenian termasuk di dalamnya warisan budaya. Desa Pejeng sebagai salah satu desa di Bali yang paling banyak memiliki harta kekayaan warisan budaya menjadi dikenal di dunia pariwisata internasional berkat nekara “Bulan Pejeng”. Dapat dikatakan bahwa Desa Pejeng identik dengan nekara “Bulan Pejeng”. Artinya, setiap membayangkan nekara “Bulan Pejeng” sekaligus ada gambaran Desa Pejeng. Penggambaran seperti itu tidak berlebihan mengingat nekara tersebut berada di Desa Pejeng. Bagaimana masyarakat pariwisata internasional memaknai nekara yang sangat unik tersebut, selain karena memiliki ukuran terbesar di Asia Tenggara juga karena keunikannya. Salah satu di antaranya adalah nekara “Bulan Pejeng” oleh beberapa penulis (Nieuwenkamp, Cruqt, van der Hoop, dalam Bintarti, 1985: 86) disebut sebagai tipe lokal. Pendapat ketiga penulis di atas dengan tegas menyatakan bahwa nekara “Bulan Pejeng” adalah karya masyarakat lokal sehingga sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi para wisatawan yang melihat langsung keberadaan nekara tersebut untuk memaknainya, baik secara denotatif maupun konotatif. Bagaimana pencitraan yang diberikan oleh masyarakat dunia yang secara ontologis melihat langsung nekara “Bulan Pejeng”, baik dari aspek bentuk, ukuran, ragam hias, maupun masyarakat dan lingkungan pura yang menopangnya. Selanjutnya dipandu dengan informasi yang lengkap dan akurat tanpa disadari dapat
,
285
membangun sebuah pencitraan simbolik serta pesan-pesan yang dapat dibaca dari simbol-simbol yang terlukis pada nekara tersebut. Berdasarkan fakta realitas, setidaknya pencitraan simbolik yang diberikan oleh para wisatawan adalah tentang tingginya tingkat peradaban Desa Pejeng pada masa silam. Apresisasi lainnya adalah perilaku konsisten generasi penerus dalam memelihara dan melestarikan warisan budaya tersebut sehingga dapat diwariskan secara turuntemurun sampai saat sekarang ini.
7.2.3 Makna Estetika Ardika (2007: 24) mengatakan bahwa nilai estetika suatu warisan budaya dapat dinikmati pada masa kini tanpa melihat konteksnya pada masa lampau. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa nilai estetika masyarakat masa kini akan berbeda dengan nilai estetika masyarakat pada masa lampau. Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Ardika, sebaiknya disitir pandangan Hartley (2010: 176) dalam mempersepsi makna, yang mengelompokkannya menjadi tiga, yaitu era pramodern, era modern dan era postmodern. Pada pramodern makna sangat bersifat ketuhanan tetap dalam teks seperti Alkitab oleh Tuhan. Makna ada pada pengarang dan tidak dapat diperdebatkan. Teks berarti apa yang dimaksudkan sang produser (author). Pada era modern makna ada pada teks. Teks berarti apa yang dikatakan. Pada era postmodern makna ada pada audiens atau pembaca. Warisan budaya di Pura Penataran Sasih yang dikomodifikasi sebagai daya tarik wisata tidak hanya dikunjungi oleh warga masyarakat lokal, tetapi juga wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara. Nekara “Bulan Pejeng” yang dijadikan ikon daya tarik wisata bilamana dilihat dari aspek karya seni, termasuk
,
286
nilai karya seni murni yang bersifat estetis yaitu karya seni adiluhung. Secara denotatif, untuk mewujudkan karya seni seperti nekara “Bulan Pejeng” tersebut membutuhkan kemampuan teknologi dan seni yang tinggi. Dengan teknik “acire perdue” (teknik lilin tuang), harus dibuat benda terlebih dahulu untuk mendapatkan benda seindah nekara tersebut. Dalam mengategorikan nekara “Bulan Pejeng” sebagai karya seni bersifat estetis sebaiknya disitir pendapat Marcel Danesi. Menurutnya (2010: 186), pada abad ke-18 masyarakat yang cita rasanya sudah lebih tinggi merasa perlu untuk membedakan antara seni yang murni bersifat estetis yang adiluhung termasuk di dalamnya sastra, musik, tarian, lukisan, pahatan, dan arsitektur dan seni yang bersifat praktis atau hiasan (seni dekoratif atau terapan), seperti keramik, seni logam, mebel, pembuatan karpet, dan seterusnya. Nekara “Bulan Pejeng” adalah sebuah hasil karya seni rupa (seni lukis dan arsitektur), yang menurut pengelompokan Danesi termasuk karya seni murni bersifat estetis. Dalam pemaknaan terhadap nekara “Bulan Pejeng” sejalan dengan perjalanan waktu yang cukup panjang, bila merujuk kepada pendapatnya Hartley, tidak dimungkiri terjadinya pergeseran pemaknaan dalam setiap zamannya. Dalam konteksnya dengan kekinian (era postmodern), audiens (para pengunjung) yang memberikan makna. Dengan adanya perbedaan latar belakang nilai rasa di antara pengunjung dalam melihat nilai estetika warisan budaya tersebut, niscaya dapat melahirkan hasil pemaknaan sesuai dengan persepsi mereka masing-masing. Mengingat adanya kecenderungan bahwa manusia di mana-mana adalah sama sehingga selalu menimbulkan pikiran-pikiran sama (Adolf Bastian dalam van der Hoop, 1949: 9), tampaknya hal seperti itu yang terjadi pada para
,
287
pengunjung dalam mempersepsi makna estetika yang dimiliki nekara “Bulan Pejeng”. Mereka memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dalam memaknai nilai keindahan nekara tersebut. Berdasarkan keindahan bentuknya dalam ukuran besar, keindahan lukisan yang menghias setiap bagiannya, bagi mereka merupakan sebuah karya seni indah yang memiliki nilai adab tinggi. Bertolak dari keunikan bentuk dan pola hiasnya, makna denotatif yang dimiliki nekara tersebut dapat memengaruhi
pemaknaan secara konotatif
sang pemberi makna
(pengunjung). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap wisatawan yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih, diketahui bahwa akumulasi pemaknaan yang diberikan, baik oleh para wisatawan lokal, wisatawan nusantara, maupun wisatawan mancanegara rata-rata memiliki nilai kesamaan. Dari kesan-kesan para pengunjung yang disampaikan kepada pemandu objek, dapat dikatakan bahwa sebagian besar di antara mereka mengungkapkan kekagumannya melihat keindahan nekara tersebut, baik keindahan bentuk dengan tipe lokalnya maupun keindahan pola hiasnya (I Wayan Budiana: wawancara, Minggu 16 Maret 2014, pk.12.45--selesai, di Balai Wantilan Pura Penataran Sasih). Artinya, hampir semua pengunjung memaknai keberadaan nekara tersebut sebagai sebuah bentuk representasi nilai adab seni dan budaya Bali pada masa silam. Nekara “Bulan Pejeng” memiliki nilai dan makna keindahan yang absolut dan universal. Dengan demikian, makna keindahan dalam konteks kekinian terletak pada sang pemberi makna (audiens) itu sendiri.
,
288
7.2.4 Makna Ekonomi Pada subbab 7.2.1 di atas telah disinggung bahwa bagi Indonesia budaya berwisata sangat bermanfaat dalam dua hal. Pertama, memupuk rasa cinta dan bangga pada Nusantara. Kedua, memperlancar perputaran roda perekonomian daerah, terutama daerah-daerah yang memiliki daya tarik wisata. Sejalan dengan komodifikasi warisan budaya di Pura Penataran Sasih, kedua asas manfaat dari budaya berwisata tersebut memiliki makna positif bagi kedua belah pihak, baik warga pemilik (penguasa) daya tarik wisata maupun pengguna daya tarik wisata (visitors) tersebut. Artinya, terjadi simbiosis mutualistis antara pihak pengelola dan para pengunjung. Bali sebagai destinasi pariwisata dunia, berarti bahwa semua objek dan daya tarik wisata yang ada apa pun bentuknya tidak hanya milik masyarakat lokal, tetapi juga milik masyarakat luar daerah dan masyarakat mancanegara. Kehadiran mereka berkunjung ke objek dan daya tarik wisata niscaya karena rasa cinta dan kebanggaannya terhadap objek dan daya tarik wisata tersebut. Berdasarkan kedua asas manfaat yang ditimbulkan oleh budaya berwisata tersebut, dapat dikatakan bahwa di Pura Penataran Sasih dengan daya tarik wisata nekara “Bulan Pejeng” bersinergi kedua manfaat tersebut. Kedatangan mereka berkunjung ke daya tarik wisata dimaknai sebagai wujud rasa kecintaan dan kebanggaan terhadap warisan budaya tersebut. Karena sudah dijadikan sebagai daya tarik wisata, sekaligus dapat membuat warisan budaya tersebut bermakna ekonomi. Hal itu sejalan dengan apa dikatakan Marx bahwa suatu objek dikatakan komoditas niscaya memiliki aspek nilai ganda, yaitu di satu pihak nilai pakai (use value) dan di pihak lain nilai tukar (exchange value) (Giddens, 2009: 57). Dalam
,
289
konteksnya dengan komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata, beberapa makna positif dapat disimak khususnya dari aspek ekonomi, yaitu sebagai berikut. Pertama, pertumbuhan dan perkembangan pariwisata benar-benar untuk kepentingan masyarakat lokal merupakan target yang hendak dicapai dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan. Keterlibatan masyarakat lokal menjadi prioritas utama dalam pengelolaan warisan budaya dan lingkungan sekitarnya. Sejak kepemimpinan Bendesa Adat A.A. Gde Putra cukup banyak diadakan gebrakan khususnya di Pura Penataran Sasih, seperti pengelolaan daya tarik wisata, pengembangan parkir dan pusat pertokoan, pasar senggol, dan sebagainya. Pengelolaannya dipercayakan sepenuhnya kepada warga masyarakat lokal melalui sistem kontrak. Semua donasi masuk menjadi milik Desa Adat Jero Kuta Pejeng. Dengan demikian perputaran perekonomian masyarakat lokal menjadi lebih lancar, yaitu berputar-putar dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Ketika dikonfirmasi kepada I Ketut Sarma (mantan bendahara bendesa ageng, Jero Kuta Pejeng), Ia mengungkapkan sebagai berikut. “Kesejahteraan masyarakat pun menjadi meningkat, karena beban untuk pemeliharaan pura telah disubsidi oleh hasil pengelolaan donasi dan pengelolaan aset lainnya, seperti parkir dan pertokoan misalnya” (wawancara Jumat 10 Oktober 2014, pk. 15.30--16.15 Wita, di Jaba Pura Pusering Jagat, Pejeng). Kedua, orientasi komodifikasi tidak semata-mata uang (money oriented) sebagaimana habitat dari kapitalisme. Di Pura Penataran Sasih berlaku yang sebaliknya, yaitu kapitalisme cenderung berlandaskan moral (budaya). Sikap dan perilaku berbudaya merupakan ciri khas kearifan lokal, yang sesungguhnya dicari oleh para wisatawan. Oleh karena itu, patut dijaga dan dilestarikan keberadaannya
,
290
sebagai upaya mempertahankan pariwisata berkelanjutan. Hal seperti itu terwujud pada pola punggutan donasi masuk bersifat sukarela, yaitu berlaku berbeda dengan di objek dan daya tarik wisata lainnya yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar, seperti di Goa Gajah, Pura Gunung Kawi, dan Pura Tirta Empul. Ketiga daya tarik wisata yang dikelola Pemerintah Kabupaten tersebut menggunakan retribusi (karcis) masuk dengan jumlah nominal yang jelas dan bersifat mengikat. Ketiga,
target
pemanfaatan
donasi
tersebut
benar-benar
untuk
pemeliharaan pura dan pelestarian warisan budaya. Karena warisan budaya di Pura Penataran Sasih termasuk Benda Cagar Budaya (BCB), maka dalam memelihara keselamatan dan kelestariannya dibantu oleh pemerintah melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bedulu, Gianyar. Dengan demikian, pemanfaatan donasi dapat dialihkan untuk pembangunan/pemeliharaan palinggih lainnya. Berdasarkan ketiga makna yang terungkap di atas, dapat dikatakan bahwa suatu hal yang patut direnungkan oleh pengelola warisan budaya adalah bagaimana upaya yang benar yang harus dilakukan untuk mewujudkan kesinambungan ekonomi (sustainable economies) sehingga dapat memperingan beban masyarakat. Menurut the National Trust for Historic Preservation (1993), langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mendapatkan manfaat lebih besar dan keberlanjutan ekonomi, semestinya pariwisata dengan warisan dan budaya dipromosikan tidak secara terpisah (file://C:User/Vaio/Dokuments/Cultural Heritage Tourism.htm). Pariwisata adalah alat pembangunan ekonomi yang kuat, menciptakan lapangan pekerjaan dan kesempatan usaha baru, serta memperkuat
,
291
perkonomian daerah. Apabila pembangunan wisata warisan budaya dilakukan dengan benar, maka wisata ini dapat membantu melindungi harta alam dan budaya bangsa kita dan meningkatkan kualitas kehidupan bagi penduduk dan wisatawan. Berdasarkan pengamatan di objek, dikatakan bahwa segala upaya yang dilakukan oleh desa adat, seperti penataan warisan budaya, lingkungan pura, dan sebagainya mengarah kepada pariwisata berkelanjutan. Kemudian keseriusan desa adat dalam pengelolaan pariwisata terindikasi dari adanya upaya revitalisasi jaba sisi (nista mandala) pura dijadikan ruang bisnis (pertokoan, pasar senggol, dan parkir), merupakan upaya untuk mendukung terwujudnya ekonomi berkelanjutan. Artinya, target yang ingin dicapai oleh pengelola (desa adat) tidak hanya berhenti pada pariwisata berkelanjutan, tetapi lebih jauh ke depan, yaitu terwujudnya ekonomi berkelanjutan (sustainable economies).
,
292
BAB VIII PENUTUP
Pada bab ini disajikan penjelasan atas pertanyaan yang diangkat dalam penelitian, yaitu bentuk komodifikasi berikut aspek-aspeknya, yaitu produksi, distribusi dan konsumsi; proses komodifikasi meliputi, faktor pendorong komodifikasi, komodifikasi periode sebelum 1990, dan komodifikasi periode 1990 sampai sekarang; dampak komodifikasi baik positif maupun negatif dan makna komodifikasi, meliputi makna informasi pendidikan, makna pencitraan simbolik, makna estetika, dan makna ekonomi. Kemudian dilengkapi dengan uraian temuan baru penelitian, refleksi, dan rekomendasi.
8.1 Simpulan Komodifikasi merupakan sebuah fenomena menarik untuk diwacanakan pada era kekinian (posmodern) karena menghadirkan sesuatu yang unik sehingga menjadikannya berbeda dibanding era sebelumnya. Keunikan yang dapat membuat berbeda terletak pada kebaruan (newness) dalam hal produk komoditas. Komoditas yang dimaksudkan tidak terbatas pada pengendalian tenaga kerja, barang-barang, dan jasa, tetapi juga merambah kepada aspek-aspek lainnya. Sesuatu yang mulanya bukan komoditas kemudian menjadi komoditas, seperti perdidikan, simbol-simbol keagamaan, kematian, bahkan bagian-bagian dari tubuh manusia, dan sebagainya. Fenomena seperti itu telah menimpa Bali termasuk di Desa Pejeng khususnya terkait dengan simbol-simbol keagamaan. Indikasi ke arah itu diperkuat oleh dikomodifikasinya warisan budaya sebagai daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih Pejeng. 292 ,
293
Bentuk-bentuk produk yang dijadikan komoditas terdiri atas (a) nekara “Bulan Pejeng” dengan keunikan bentuk, ukuran, pola hias, dan tipe lokalnya didukung oleh tradisi lisan (mitos) bulan jatuh dari langit; Ratu Bintang; berbentuk buku, artikel, jurnal, brosur, purana, dan naskah media sosial; (b) Pura Penataran Sasih, yang dilengkapi uraian tentang sejarah pura (zaman Bali Kuno, 10--13 M), struktur pura dengan tri mandalanya, status pura sebagai kahyangan jagat, dan fungsi pura sebagai sthana Ida Ratu Sasih; (c) warisan budaya berbentuk seni arca, prasasti dan lain-lain; dan (d) upacara keagamaan maplengkungan. Dalam upaya mendistribusikan dan mempromosikan warisan budaya tersebut untuk sampai kepada konsumen dilakukan oleh four helix, yaitu (a) pemerintah, dalam hal ini dinas pariwisata bekerja sama dengan dinas terkait di lingkungan SKPD pemerintah kabupaten, baik dilakukan secara langsung ke daerah-daerah lain di Indonesia dan negara-negara lain di dunia maupun kerja sama dengan lembaga lainnya; (b) lembaga bisnis, yang meliputi media elektronik, yaitu TV, baik pemerintah maupun swasta, media cetak, media sosial, dan sebagainya; dan nonmedia, yaitu Asita, Biro Perjalanan Wisata (BPW), HPI, hotel, dan sebagainya; (c) intelektual (akademisi), baik dari negeri asing maupun pribumi, melalui sosialisasi hasil karya tulisnya, seminar, diskusi, dan bentuk kegiatan lainnya; dan (d) lembaga desa adat, yang secara tidak langsung dan rutin dilakukan oleh pemandu objek melalui wisatawan yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih dan dilakukan langsung oleh staf lembaga desa adat melalui media sosial (internet).
,
294
Konsumsi adalah proses pemakaian produk-produk komoditas oleh konsumen atau mereka yang mengonsumsi produk-produk komoditas tersebut. Konsumen yang diharapkan menjadi sasaran utama adalah wisatawan mancanegara dengan target yang hendak dicapai, yaitu mampu menghadirkan wisatawan semaksimal mungkin ke Pura Penataran Sasih. Hasilnya, ternyata yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih sesuai dengan harapan yaitu wisatawan mancanegara yang didominasi oleh wisatawan Eropa, tanpa mengabaikan wisatawan lokal dan wisatawan luar daerah Bali. Komodifikasi, sampai kepada keberadaannya seperti saat sekarang ini mengalami proses yang cukup panjang. Kehadiran wisatawan asing dengan budaya modernitasnya dapat memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat lokal yang taat terhadap ketahanan keaslian (original) budaya tradisinya secara evolusi mengalami perubahan. Pada mulanya masyarakat menerima secara tradisional dengan
keramahtamahan
berubah
menjadi
resiprositas
(komersialisasi),
selanjutnya sampai kepada komodifikasi. Karena terobsesi uang (kapitalis) komodifikasi tidak hanya dilakukan pada warisan budaya, tetapi merambah kepada bagian nista mandala (jaba sisi) pura, yaitu direvitalisasi sebagai pusat pertokoan, parkir, dan pada malam harinya dijadikan pasar senggol. Komodifikasi warisan budaya berdampak yang sangat signifikan terhadap keberadaan Pura Penataran Sasih, baik positif maupun negatif. Dampak positif yang ditimbulkan adalah bahwa donasi masuk ke dalam pura dan hasil pengelolaan aset lainnya dimanfaatkan untuk pemeliharaan Pura Penataran Sasih dan tempat suci lainnya terutama yang tergolong kahyangan desa. Sebaliknya, dampak negatif yang ditimbulkan adalah terjadinya desakralisasi pura sebagai
,
295
konsekuensi dari kebebasan yang diberikan kepada wisatawan masuk ke ruang utama mandala tanpa diketahui keberadaan pribadinya; direvitalisasinya jaba sisi (nista mandala) pura menjadi ruang bisnis dapat menodai konsep tri mandala pura. Di balik dampak yang ditimbulkan, komodifikasi dapat memberikan makna positif, yaitu (a) makna informasi pendidikan yang diindikasikan dengan adanya upaya penelusuran sejarah masa lalu berkaitan dengan asal usul, status, dan fungsi warisan budaya tersebut; kehidupan sosial keagamaan, kehidupan sosial budaya, dan sosial politik masyarakat pendukung budaya tersebut; (b) makna pencitraan simbolik, yang dibangun oleh keunikan nekara “Bulan Pejeng” dan upacara keagamaan “maplengkungan”. Selain memberikan kenikmatan bagi wisatawan, tanpa disadari hal itu dapat membangun sebuah pencitraan positif, yaitu dapat menjadikan Desa Pejeng dikenal sebagai pusat peradaban pada masa silam; (c) makna estetika, tampak pada bentuk dan pola hias yang terlukiskan pada nekara “Bulan Pejeng” yang dapat menggambarkan betapa tingginya tingkat peradaban seni budaya dan teknologi di Desa Pejeng pada masa silam; dan (d) makna ekonomi, terwujud dari sistem pengelolaan dana (modal) yang diperoleh dari pengelolaan semua aset, yaitu untuk sementara modal disimpan di LPD sebelum dibutuhkan. Dengan demikian, pelayanan kredit bagi warga masyarakat yang membutuhkan dapat ditingkatkan. Artinya, komodifikasi warisan budaya di Pura Penataran Sasih dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan warga masyarakat di Desa Pejeng.
,
296
8.2 Temuan Baru Penelitian Temuan baru yang dihasilkan dalam penelitian yang dilakukan antara lain yaitu (1) komodifikasi warisan budaya dan upacara keagamaan sebagai daya tarik wisata berkonsekuensi terhadap desakralisasi pura; (2) proses komodifikasi berimbas terhadap dirombaknya nista mandala pura untuk dijadikan ruang bisnis yang tidak dimungkiri dapat menodai konsep tri mandala pura; (3) di balik dampak yang ditimbulkannya, komodifikasi warisan budaya memiliki makna, seperti makna informasi pendidikan masa lalu tentang kehidupan sosial keagamaan, sosial budaya, dan sosial politik; makna pencitraan simbolik, bagi masyarakat lokal, masyarakat luar daerah Bali, dan masyarakat internasional; makna estetika, tampak pada pola hias dan teknik pembuatan nekara yang dapat membangun sebuah pencitraan betapa tingginya peradaban Desa Pejeng pada masa silam; dan secara ekonomi, komodifikasi memberikan ruang kepada masyarakat lokal untuk berbisnis (ruang usaha) sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (4) hasil penelitian menunjukkan bahwa Pura Penataran Sasih berstatus sebagai Pura Penataran Kerajaan pada zaman Bali Kuno dan Desa Pejeng sebagai pusat kerajaannya sekaligus sebagai pusat aktivitas agama dan budaya; (5) sesuatu yang baru juga ditemukan pada sistem pengelolaan semua aset di Pura Penataran Sasih yang sepenuhnya dikelola oleh desa adat.
8.3 Refleksi Sebagaimana halnya hubungan manusia dari budaya yang berbeda, hubungan antara wisatawan dan masyarakat lokal sangat dipengaruhi oleh sistem sosial budaya kedua belah pihak. Perbedaan sistem budaya ini tidak jarang
,
297
menimbulkan konflik. Sehubungan dengan itu, perbedaan budaya merupakan hal yang sangat penting mendapatkan perhatian di dalam melihat interaksi wisatawan dengan masyarakat lokal. Bali sebagai ajang pertemuan masyarakat berbagai negara, tentu keberadaan ruang dan waktu untuk terjadinya konflik berlatar belakang perbedaan budaya terbuka lebar. Namun, bagi masyarakat lokal kearifan budaya serta keramahtamahan sikap dan perilaku penduduknya dapat membuat hubungan antar wisatawan dan warga lokal terbangun dalam keadaan kondusif. Integrasi harmoni dapat terwujud bertolak dari adanya saling pengertian dan memahami antarkedua belah pihak terhadap adanya perbedaan tradisi budaya tersebut. Menurut I B Mantra, Budaya Barat cenderung mengembangkan kebudayaan berdasarkan logika, sedangkan Timur dengan semangat spiritual; Barat menguasai psike dan Timur dengan semangat spiritual (dalam Sukaya (Ed), 1990: x). Perbedaan seperti itu tentu tidak menjadi penghambat untuk membangun keharmonisan. Dikatakan demikian karena pada batas tertentu keduanya akan bertemu dan membentuk dialektika untuk pertumbuhan, perkembangan, dan integrasi yang harmoni dan indah. Fenomena seperti itu tampak terjadi di Pura Penataran Sasih, yaitu hubungan antara wisatawan dan masyarakat lokal terbangun dengan baik dan harmoni. Hal itu dapat disebabkan oleh adanya kepentingan dari kedua belah pihak di balik hubungan tersebut. Di satu pihak, warga lokal dengan budaya tradisionalnya menerima dengan keramahtamahan wisatawan masuk ke tempat suci tanpa kewajiban apa pun. Karena terobsesi oleh kepentingan kapitalis, maka dengan meningkatnya kunjungan wisatawan dapat mendorong dan mengubah sikap dan perilaku mereka untuk mengomodifikasi warisan budaya yang ada di
,
298
dalamnya. Dengan ideologi pengganti jasa pengelola objek dan biaya pemeliharaan pura, setiap wisatawan yang masuk dikenai donasi (sumbangan). Di pihak lain, bahwa wisatawan juga memiliki kepentingan untuk melihat objek dan daya tarik wisata sebagai pemuas kebutuhan rohani. Oleh karena itu, wisatawan pun tidak berkeberatan membayarkan donasi masuk ke ruang suci untuk melihat warisan budaya yang ada di dalamnya. Tanpa disadari selama dalam proses integrasi berlangsung, mereka (warga masyarakat lokal) telah dipengaruhi oleh budaya kapitalis yang dibawa wisatawan. Tradisi budaya yang menjadikan uang sebagai ukuran ruang dan waktu (waktu adalah uang, waktu adalah peluang) merupakan refleksi kebiasaan Barat (Forsyth, 2005: 7). Karena terjadi secara evolusi, masyarakat lokal pun tidak merasakan bahwa hubungan di antara mereka berakibat fatal terhadap budaya masyarakatnya. Komodifikasi warisan budaya yang disakralkan dan dipuja adalah sebuah bentuk refleksi kebiasaan asing (barat) yang tidak membedakan (mengenal) sakral dan profan. Pada gilirannya, pemberian kebebasan wisatawan masuk ke tempat suci dapat berkonsekuensi negatif, seperti terjadinya desakralisasi pura, nilai kesakralan warisan budaya, dan sebagainya.
8.4 Rekomendasi Upaya menemukan kembali jati diri bangsa didasari atas kekayaan warisan budaya di Kabupaten Gianyar dengan pusatnya di Desa Pejeng dan Bedulu. Warisan budaya merupakan salah satu bagian aspek material kebudayaan manusia. Untuk diketahui bahwa kebudayaan bukan sekadar pengetahuan yang perlu diajarkan sejak dini, melainkan juga milik utama suatu bangsa yang
,
299
memberikan ciri khusus dari bangsa lain. Nilai-nilai adat dan tradisi yang telah membudaya berfungsi sebagai pemersatu dan pengikat emosional-spiritual seluruh rakyat. Tentu tidak berbeda dengan warisan budaya nekara “Bulan Pejeng” yang diyakini sebagai istadewata “Ida Ratu Sasih” dan di-sthana-kan di Pura Penataran Sasih merupakan media pengikat emosional spiritual (keagamaan) sekaligus pemersatu seluruh warga masyarakat Desa Pejeng. Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa nekara “Bulan Pejeng” sangat penting, baik dalam kapasitasnya sebagai benda sakral maupun sebagai benda warisan budaya. Selain itu, juga kepemilikan nilai sejarah, budaya, dan ilmu pengetahuan dengan berbagai keunikannya dapat menarik siapa saja yang memandangnya. Untuk itu, melalui kesempatan ini direkomendasikan kepada para prajuru adat sebagai penentu dan pengambil kebijakan untuk mengajak seluruh warga masyarakat secara bersama-sama bertanggung jawab menjaga dan melestarikan warisan budaya tersebut. Tidak hanya di Pura Penataran Sasih, tetapi juga yang ada di seluruh wilayah Desa Pejeng yang tempatnya menyebar di seluruh dusun tidak kurang dari 60-an tempat suci. Semua itu sudah selayaknya diperlakukan sama seperti di Pura Penataran Sasih dalam upaya menguatkan keberadaan Desa Pejeng sebagai zona konservasi dan warisan budaya. Hal yang lebih urgen, yaitu adanya rancangan Bupati Gianyar untuk mengusulkan “Kabupaten Gianyar Sebagai Kota Pusaka Budaya dalam Relasi Nasional dan Dunia” yang telah digagas sejak pertengahan 2014 dan berlanjut sampai 2020. Hal tersebut dapat membuat posisi Desa Pejeng menjadi semakin penting dalam kapasitasnya sebagai salah satu zona terpadat kepemilikan warisan budaya. Artinya, merupakan sebuah pilihan yang tepat untuk mengusulkan
,
300
Kabupaten Gianyar sebagai kota Pusaka Budaya, sebab fakta di lapangan menunjukkan
bahwa
Kabupaten
Gianyar
merupakan
salah
satu
dari
kabupaten/kota di Bali yang paling kaya dengan warisan budaya. Wilayah persebarannya berada di daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan dan Petanu serta di desa-desa di antara kedua sungai tersebut, yaitu Desa Pejeng dan Desa Bedulu. Oleh karena itu, diharapkan keseriusan Pemerintah Kabupaten Gianyar dalam menanganinya sampai cita-cita mulia tersebut menjadi sebuah kenyataan. Harapan yang sama juga dialamatkan kepada para wisatawan yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih dan situs-situs lain di sekitarnya untuk bersama-sama memelihara dan melestarikan objek dan daya tarik wisata tersebut.
,
301
DAFTAR PUSTAKA Abdilah S., Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang: Indonesiatera. Abdullah, Irwan. 2010. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Cetakan IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Adhika, I Made. 2011. “Komodifikasi dalam Era Globalisasi Kawasan Suci Pura Uluwatu di Kuta Selatan, Kabupaten Badung”, Disertasi, Program Pendidikan Doktor Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. Agastia, Ida Bagus Gede, 2008. Panca Balikrama, Padma Mandala dan Sad Kahyangan. Denpasar: Dharmopadesa Pusat. Agger, Ben. 2008. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Judul Asli Critical Social Theories: An Introduction. Penerjemah, Nurhadi. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana. Alfian (editor). 1985. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Althusser, Louis. 1984. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Diterjemahkan oleh Olsy Vinoli Arnof. Yogyakarta: Jalasutra. Anom Kumbara, A.A.Ngr. 2011. Pergulatan Elite Lokal Representasi Relasi Kuasa dan Identitas. Yogyakarta: Kanisius. Apridar. 2010. Teori Ekonomi: Sejarah dan Perkembangannya. Lhokseumawe: Graha Ilmu. Ardika, I Gde. 2012. “Pariwisata Minat Khusus Berbasis Arkeologi”. Dalam Arkeologi untuk Publik. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Ardika, I Wayan. 1987. “Bronze Artifacts And The Rise Of Complex Society in Bali”, A thesis submitted for the degree of Master of Arts at the Australian Nasional University. Ardika, I Wayan. 2007. Pusaka Budaya & Pariwisata. Denpasar: Pustaka Larasan. Ardika, I Wayan. 2008. “Tonggak Awal Globalisasi Kebudayaan Bali dalam Teropong Arkeologis”. Dalam Kebudayaan dan Modal Budaya Bali dalam Teropong Lokal, Nasional, Global. Memori Purnabhakti untuk Antropolog & Budayawan I Wayan Geria. Denpasar: Widya Dharma. 301 ,
302
Ardika, I Wayan dkk. 2012. “Pengembangan Pariwisata Budaya Bernuansa Ekonomi Kreatif yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Bali”. Laporan Ibah Penelitian Grup Riset Universitas Udayana. Fakultas Sastra Universitas Udayana. Ardika, I Wayan. 2015. Warisan Budaya: Perspektif Masa Kini. Denpasar: Udayana University Press. Arida, Nyoman Sukma. 2009. Meretas Jalan Ekowisata Bali: Proses Pengembangan, Partisipasi Lokal, dan Tantangan Ekowisata di Tiga Desa Kuno Bali. Denpasar: Udayana University Press. Aris Munandar, Agus. 2005. Istana Dewa Pulau Dewata: Makna Puri Bali Abad ke -14 s.d. ke-19. Depok: Komunitas Bambu. ASITA. 1993--1994. Bali ASITA Directory. Denpasar: Published by ASITA Bali. Astra, I Gde Semadi. 2013. Menjelajah Tokoh Udayana di Bali: Nilai-Nilai Kearifan Tokoh Udayana dalam Konteks Religi, Sejarah, Sosial Budaya, Hukum, dan Pertahanan dalam Perspektif Lokal, Nasional, dan Universal. Diselenggarakan oleh Pusat Kajian Bali 2 Desember 2014. Azhari, Akyas. 2004. Psikologi: Umum dan Perkembangan. Jakarta Selatan: Penerbit Teraju. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gianyar, ed. 2007. Monografi Kabupaten Gianyar. Pemerintah Kabupaten Gianyar Bekerja sama dengan BPS Kabupaten Gianyar. Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Kreasi Wacana: Yogyakarta. Barthes, Roland. 2010. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi. Yogyakarta: Jalasutra. Bintarti, D.D. 1985. “Analisis Fungsional Nekara Perunggu dari Lamongan, Jawa Timur”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi III (PIA III) Ciloto, 23—28 Mei 1983. Proyek Penelitian Purbakala Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Calo, Ambra. 2009. The Distribution of Bronze Drums in Early Southeast Asia: Trade Routes and Cultural Spheres. England: BAR (British Archaeological Reports) International Series 1913. Cheong, Caroline S. 2008. Sustainable Tourism and Indigenous Communities: The Case of Amantani and Taquile Islands. University of Pennsylvania, Scholarly Commons.
,
303
Colton, John W. 2005. Indigenous Tourism Development In Northen Canada: Beyond Economic Incentives”. School of Recreation Management & Kinesiology, Canada University. Wolfville, Nova Scotia, Canada, B4P 2R6. The Journal of Native Sutdies XXV, 1(2005): 185--206. Covarrubias, Miguel. 2013. Pulau Bali: Temuan yang Menakjubkan. Sumber Terjemahan: Miguel Covarrubias, Island of Bali.KPI Limited 11 New Fetter Lane, 1937 Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sunaryo Basuki Ks. Denpasar: Udayana University Press. Csapo, Janos. 2012. The Role and Importance of Cultural Tourism in Modern Tourism Industry. University of Pecs, Institute of Geography, Hungary. Dalman, H. 2014. Keterampilan Menulis. Cetakan ke-3. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Depdiknas. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Danesi, Marcel. 2011. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar. 2011. Potensi Pariwisata Kabupaten Gianyar. Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar. 2012. Buku Informasi Pariwisata. Gianyar: PT Fajar Media Bali Utama Press. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1993. UUD 1945, P4, GBHN. 1993. Tap-Tap MPR: Pertanggungjawaban Presiden/Mandataris, Bahan Penataran dan Bahan Refrensi Penataran. Jakarta. Donder, I Ketut. Kosmologi Hindu: Penciptaan, Pemeliharaan, dan Peleburan serta Penciptaan Kembali Alam Semesta. Surabaya: Penerbit Paramita. Edkins, Jenny - Williams, Nick Vaughan (ed). 2010. Teori-Teori Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional. Yogyakarta: Pustaka Baca. Ekawana, I Gusti Putu. 1985. “Selembar Prasasti Raja Patih Kebo Parud” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA III) Ciloto, 23--28 Mei 1983. Proyek Penelitian Purbakala. Jakarta: Depdikbud. Forsyth, Patrick. 2005. Time Is Money: Ciptakan Perencanaan, Buatlah Skala Prioritas Menjadikan Hari-Hari Anda Lebih Kreatif & Produktif. Jogjakarta: Pustaka Banuaju.
,
304
Foucault, Michel. 2002. Pengetahuan dan Metode Karya-Karya Penting. Yogyakarta: Jalasutra. Fox-David J. Stuart. 2010. Pura Besakih: Pura Agama dan Masyarakat Bali. Denpasar: Pustaka Larasan. Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Gerberich, Victoria L. 2005. “The Commodification and Management of Culture”.Edited by Chris Ryan and Michelle Aicken. Advances In Tourism Research Series. Geriya, I Wayan dkk. 2013. Cetak Biru: Revitalisasi Gianyar Menuju Kabupaten Unggulan dalam Bidang Seni Budaya. Kerja Sama Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar dengan Pusat Kajian Bali Universitas Udayana. Denpasar: DEVA Communications. Giddens, Anthony. 2009. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. Jakarta: Penerbit (UIPress). Goris, R. 1948. Sejarah Bali Kuna. Singaraja: Bali Museum. Goris, R. 1951/1952. Prasasti Bali I, Inscripties Voor Anak Wungsu. Band I. Singaraja. Goris, R. 2012. Sifat Religius Masyarakat Pedesaan Di Bali. Judul asli: “The Religious Character of the Village Community” dalam Djawa (Java), XV (1935: 1-16). Penerjemah: Sunaryono Basuki Ks. Pengantar I Wayan Ardika’ Editor: Jiwa Atmaja. Denpasar: Penerbit Udayana University Press dan Pusat Kajian Bali. Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. terjemahan Nugroho Notosutanto. Jakarta: Universitas Indonesia. Government of Gianyar. 2012. Cultural Landscape of Bali Province “Subak Bali”. Inspired by the Balinese Philosophy of “Tri Hita Karana”. This publication prepared by Richard Mann. Grabun, Nelson H.H. and Diane Barthel-Bouchier. 2001. Relocating the Tourist. International Sociology. 2001. Vol.16 (2): 147-158. Hargrove, Cheryl M. 1993. Heritage Tourism. The National Trust for Historic Preservation.The HTC Group, from St.Simons Island, Georgia. Hartley, John. 2004. Communication, Cultural & Media Studies: Konsep Kunci. Yogyakarta: Jalasutra.
,
305
Harker, Richard. Cheelen Mahar. Chris Wilke (ed). 1990. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra. Hoed, Benny H. 2011. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu. Hoop, A. N. J. a Th Van Der. 1949. Indonesische Siermotieven (Ragam-Ragam Perhiasan Indonesia) Uitgegeven Door Het, Koninklijk Bataviasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschappen. Kaplan dkk. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kartodirdjo, Sartono. 1975. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka. Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media. Cultural Studies, Identitas, dan Politik: Antara Modern dan Postmodern. Yogyakarta: Jalasutra. Kementeriaan Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. 2010. Undang-Undang Republik Idonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Kempers, A.J Bernet. 1960. Bali Purbakala: Petunjuk tentang Peninggalan Purbakala di Bali. Djakarta: Penerbit “Ichtiar”. Kempers, A.J Bernet 1989. Monumental Bali: Introduction to Balinese Arcaeology & Guide to the Monuments. Berkeley: Singapore. Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata, 2013. Analisis Pasar Pariwisata. Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar. Gianyar: Percetakan Aksara. Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 26 Tahun 2008, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Digandakan/Diperbanyak: SKPD Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali Kegiatan Pembinaan Pelaksanaan Penataan Ruang Daerah. Koentjaraningrat. 2007. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press. Koleda, Anna. 2012. Where Magazine: A SummerNight. ST. Petersburg International Economic Forum dan Asia – Pacifik Ekonomic Coorperation. Lavrov, Sergey. 2012. The UNESCO World Heritage In Russia.World Heritage of Russia. Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. Jogyakarta: Kanisius.
,
306
Lee, Martyn J. 2006. Budaya Konsumen Terlahir Kembali: Arah Baru Modernitas dalam Kajian Modal, Konsumsi dan Kebudayaan. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Linton, Ralph. 1984. The Study of Man (Suatu Penyelidikan tentang Manusia). Bandung: CV Jemmars. Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari Posmodersme, Teori Kritis, Poskolonialisme, hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu. Magnis, Franz-Suseno. 2001. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Maliki, Zainuddin. 2012. Rekonstruksi Teori Sosial Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Mantra, Ida Bagus. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Mardiwarsito, L. 1985. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Ende-Flores-NTT: Nusa Indah. Mashad, Dhurorudin. 2004. Andai Aku Jadi Presiden: Menuju Format Indonesia Baru. Jakarta Timur: Pustaka Al-Khalifa Grup. Maulana, Ratnaesih. 1987. Ikonografi Hindu. Jakarta: FS UI. Mitrofanova, H.E. Ms. Eleonora Valentinovna. 2011. World Hetitage of Rusia. New Elite Publishing House, 2012. Moelyono, Mauled. 2010. Menggerakkan Ekonomi Kreatif: Antara Tuntutan dan Kebutuhan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Moleong, Lexy J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Mulyana, Slamet. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Mulyana, Slamet. 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press.
,
307
Mulyanto, Dede. 2012. Genealogi Kapitalisme: Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik. Yogyakarta: Resist Book. Nuryanti, Wiendu. 2013. “Kebijakan Pemerintah Pusat tentang Warisan Kebudayaan Dunia”. Disampaikan dalam Prospektus Kongres Kebudayaan Bali II, 24 September 2013, di Inna Bali Beach Sanur, Denpasar, Bali. Pals, Daniel. 2001. Seven Theory of Religion: Dari Animisme E.B. Tylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz. Yogyakarta: Qalam. Parimartha, I Gde. 2003. Desa Adat dalam Perspektif Sejarah dalam Eksistensi Desa Pakraman di Bali. Janamijaya, I Gede dkk., ed. Denpasar: Yayasan Tri Hita Karana Bali. Pemerintah Provinsi Bali. 2009. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16, Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009--2029. Peursen, C.A van. 1976. Strategi Kebudayaan, Diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Yogyakarta: Kanisius. Picard, Michel. 2006. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Penerjemah: Jean Couteau dan Warih Wiratsana. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui BatasBatas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra. Piliang, Yasraf Amir. 2005. Transpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas. Yogyakarta: Jalasutra. Piliang, Yasraf Amir. 2010. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Cetakan V. Yogyakarta: Jalasutra. Poesponegoro, Marwati Djoened dkk. 1984. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka. Pitana, I Gde. 2011. Pemberdayaan dan Hiperdemokrasi dalam Pembangunan Pariwisata dalam Pemberdayaan & Hiperdemokrasi: Dalam Pembangunan Pariwisata. Persembahan untuk Prof. Ida Bagus Adnyana Manuaba. Penyunting, I Nyoman Darma Putra dan I Gde Pitana. Denpasar: Pustaka Larasan. Pitana, I Gde dan Gayatri, Putu G. 2005. Sosiologi Pariwisata: Kajian Sosiologi terhadap Struktur, Sistem, dan Dampak-Dampak Pariwisata. Yogyakarta: Andi.
,
308
Pusey, Michael. 2011. Habermas: Dasar dan Konteks Pemikirannya. Yogyakarta: Resist Book. Putra, I Nyoman Darma. 2011. Pro-Wisatawan atau Pro-Rakyat? Analisis Liputan Pariwisata Media Massa Kita, dalam Pemberdayaan & Hiperdemokrasi Dalam Pembangunan Pariwisata, Persembahan untuk Prof. Ida Bagus Adnyana Manuaba. Penyunting: I Nyoman Darma Putra dan I Gde Pitana. Denpasar: Pustaka Larasan. Rao, Khisore. 2012. World Heritage: Special Issue World Heritage in the Russian Federation. Saint-Petersburg- Rusia: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. Rata, Ida Bagus. 1987. Pura Besakih. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Dati I Bali. Reuter, Thomas A. 2005. Custodians of the Sacred Mountains: Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ritzer dkk. 2004. Sosiologi Ilmu Pegetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ricards, Greg and Munsters, Wil. 2010. Developments and Pespectives in Cultural Tourism Research. CAB International 2010.Cultural Tourism Research Methods. Robson, Stuart O. 1987. The Ancient Capital of Bali. In: Archipel. Volume 16, 1978. pp. 75--89. Said, Edward. 1983. Dunia Teks, dan (Sang) Kritikus. Diterjemahkan oleh Sunaryono Basuki Ks. Denpasar, Bali: CV Bali Media Adhikarsa. Salazar, Noel B. 2006. “The Local Global Nexus”. Disajikan di Lima Lokakarya Graduate Asia Research Institute pada ‘Pertanyaan Metodologi: Penelitian Pariwisata di Asia’, Universitas Nasional Singapore, 5--6 Desember 2006. Santoso, Listiyono. 2010. Seri Pemikiran Tokoh: Epistemologi Kiri. Yogyakarta: AR-Ruzz Media. Satrio, A.Junus. 2012. “Perlindungan Warisan Budaya Daerah Menurut UndangUndang Cagar Budaya” dalam Arkeologi untuk Publik. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, dan Sejarah. Divisi Buku Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. .
,
309
Sedyawati, Edi dan I Wayan Ardika (editor). 2012. Recent Studies in Indonesian Archaeology, The Indira Gandhi National Centre for the Arts, New Delhi In Collaboration with B.R Publishing Corporation: Delhi-110052. Setiawan, I Ketut. 2011. Komodifikasi Pusaka Budaya Pura Tirta Empul dalam Konteks Pariwisata Global”, Disertasi, Program Pendidikan Doktor, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. Silalahi, Ulber. 1999. Metode dan Metodologi Penelitian. Bandung: Bina Budaya. Soeroto, Myrtha. 2007. Reformasi Kebudayaan: Upaya Menemukan Kembali Jati Diri Bangsa. Cetakan Pertama. Depok: Myrtly Publishing Bekerja Sama dengan Yayasan Enam-Enam. Sonny Keraf, A. 2002. Etika Lingkungan: Teori-Teori Etika; Etika Lingkungan dan Politik Lingkungan; Dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kembali ke Kearifan Tradisional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta: Penerbit CV Qalam. Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Sumber Terjemahan: Cultulal Studies and the The Study of Popular Culture: Theories and Methods (The University of Georgia Press, Athens: 1996). Cetakan I. Penerjemah: Laily Rahmwati. Yogyakarta: Jalasutra. Strinati, Dominic. 2003. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer.Yogyakarta: Penerbit Bentang Budaya. Stutterheim, W.F. 1929. Oudheiden van Bali terjemahan bebas A.A.Made Tjakra,Tp. Stutterheim, W.F. 1935. Indian Influences in Old Balinese Art. London: The India Society. Sukawati, Sukaya (ed) 1992. Bali Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi. Denpasar: PT Upada Sastra. Supartha, Ngurah Oka. 2001. Karya Mamungkah, Pamelaspas, Mupuk Padagingan Serta Ngenteg Linggih Di Pura Manik Corong, Di Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Gianyar: Panitia Karya. Suprapta, Dewa Ngurah. 2008. “Revitalisasi Pertanian. Mengapa Perlu?” Dalam Kebudayaan dan Modal Budaya Bali dalam Teropong Lokal, Nasional, Global. Memori Purnabhakti untuk Antropolog & Budayawan I Wayan Geriya. Denpasar: Widya Dharma.
,
310
Suprapti, Sri, Ni Wayan. 2010. Perilaku Konsumen: Pemahaman Dasar dan Aplikasinya dalam Strategi Pemasaran. Denpasar: Udayana University Press. Surasmi, I Gusti Ayu. 2007. Jejak Tantrayana di Bali. Denpasar: CV Bali Media Adhikarsa. Surpha, I Wayan. 1977. Pelinggih-Pelinggih: Padmasana, Meru, Kemulan, dan Taksu di Bali. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Pusat. Sutrisno, Mudji/In Bene/Hendar Putranto, Editor. t. t. Cultural Studies: Tantangan bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan. Depok: Koekoesan. Tester, Keith. 2003. Media, Budaya, dan Moralitas. Seri Cultural Studies. Yogyakarta: Juxtapose Bekerjasama dengan Kreasi Wacana. Tim Penelusuran dan Penyusunan Purana. 2013. Purana Pura Penataran Sasih: Alih Aksara dan Terjemahan. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Tim Penyusun. 2006/2007. Profil Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Turner, Bryan. 2000. Teori-Teori Sosiologi: Modernitas-Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Vickers, Adrian. “Bali Membangun Kembali Pariwisata: 1950-an” Dalam Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies). Volume 03, Nomor 02, Oktober. 2013. Denpasar: Penerbit Pusat Kajian Bali Universitas Udayana Bekerja Sama dengan Pustaka Larasan. Wazis, Kun. 2012. Media Massa dan Konstruksi Realitas. Yogyakarta: Aditya Media Publishing. Wells, H.G. 2013. A Short History Of The World, Sejarah Dunia Singkat. Diterjemahkan dari buku asli: A Short History of The World J.J. Little & Ives Company, New York, 1922. Cetakan I, 2013. Penerjemah: Saul Pasaribu. Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi Wiana, I Ketut. 1985. Acara III. Cetakan I. Jakarta: Copyright Mayasari. Widiatedja, I G. N. Parikesit. 2010. Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita. Denpasar: Udayana University Press. World Hetitage Committee. 2012. 36 Th Session of The World Heritage Committee, 24 June- 6 July, Saint-Petersburg, Russian Federation. World Heritage of the CIS. 2012. The Palette of Cultural Diversity. SaintPetersburg.
,
311
World Tourism Organization. UNWTO Tourism Highlights, 2013 Edition. Website: http:/whc.unesco.org/en/list/3. http://id.wikipedia.org/wiki/Bulan Pejeng.
,
312
Lampiran-Lampiran. Lampiran 1
DAFTAR INFORMAN 1.
Nama Tempat/Tgl lahir Pendidikan Pekerjaan/status Alamat
: : : : :
2.
Nama Tempat/Tgl lahir Pendidikan Pekerjaan/status
: : : :
3.
,
Ida Sri Begawan Pejeng, 30 Desember 1930 SMA Pensiunan PNS Pemkab. Gianyar Br. Pande, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
Alamat
Ida Pedanda Gede Burwan Pejeng, 59 Tahun S1 Dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar : Br. Puseh, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
Nama Tempat/Tgl lahir Pendidikan Pekerjaan/status
: : : :
Alamat
Ida Pedanda Wayahan Bun Pejeng, 57 Tahun S1 Dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar : Br. Puseh, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
4.
Nama Tempat/Tgl lahir Pendidikan Pekerjaan/status Alamat
: : : : :
Cokorde Gde Putra Pemayun Pejeng, 56 Tahun S1 PNS Pemkab Gianyar/Penglingsir Puri Pejeng Br. Puseh, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
5.
Nama Tempat/Tgl lahir Pendidikan Pekerjaan/status Alamat
: : : : :
Ngakan Nyoman Loji Pejeng, 60 Tahun SMA Pemangku Sudamala, Pura Pusering Jagat, Pejeng Br. Intaran, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
6.
Nama Tempat/Tgl lahir Pendidikan Pekerjaan/status Alamat
: : : : :
I Made Sue Pejeng, 47 Tahun S1 Guru SMK 3, Batubulan, Sukawati, Gianyar Br. Intaran, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
313
,
7.
Nama Tempat/Tgl lahir Pendidikan Pekerjaan/status Alamat
: : : : :
8.
Nama Tempat/Tgl lahir Pendidikan Pekerjaan/status
: : : :
Ngakan Nyoman Terpi Pejeng, 69 Tahun SMA Pensiunan PNS/Tokoh Masyarakat Br Intaran, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
Alamat
Cokorde Rai Widiarsa P, S.H. Pejeng, 50 Tahun S1 PNS Pemkab Gianyar/Ketua Kertadesa Desa Pejeng : Br. Pande, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
9.
Nama Tempat/Tgl lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
10.
Nama Tempat/Tgl lahir Pendidikan Pekerjaan
: : : :
Tjokorde Gde Wintanaya Pejeng, 20 Februari 1943 SMA Pensiunan PNS Pemkab Gianyar Dusun Pande, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
Alamat
Tjokorde Gde Rai Pemayun Pejeng, 31 Desember 1946 S1 Pensiunan PNS Pemkab Klungkung/Bendesa Adat Jero Kuta : Dusun Intaran, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
11.
Nama Tempat/Tgl lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
I Putu Gede Bayangkara, S.H., M.H. Makasar, 31 Desember 1962 S2 PNS Pemkab Gianyar Br. Sasih, Batubulan, Sukawati, Gianyar
12.
Nama Tempat/Tgl lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Agung Antik Denpasar, 14 Agustus 1968 S1 Wiraswasta Desa Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
13.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
I Gede Kasna Karangasem, 15 Juli 1960 S2 Sekretaris HPI Bali Jl. Siulan, Gang Nusa Indah I/ 11, Denpasar
314
14.
,
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: I Gusti Ngurah Tara Wiguna : Tabanan, 22 September 1955 : S2 : Staf Pengajar Fakultas Sastra Univ. Udayana, Denpasar : Jl. Tukad Yeh Aya, 9 E/10, Renon, Denpasar
15.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
I Wayan Budiana Pejeng, 1973 SMA Pemandu Wisata Br. Intaran, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
16.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Ni Wayan Weni Pejeng, 21 April 1979 SMA Penunggu Objek, Pura Penataran Sasih Pejeng Br. Intaran, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
17.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Desak Made Ayu Bangli, 1938 SMA Pemangku Pura Penataran Sasih Pejeng Br. Intaran, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
18.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
I Ketut Sarma Pejeng, 31 Desember 1961 SMEA Mantan Bendahara Bendesa Ageng Desa Pejeng Br. Pande, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
19.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
A.A. Gde Oka Astawa Bedulu, 1953 S2 Pensiunan PNS, Balai Arkeologi, Denpasar Ds. Bedulu, Blahbatuh, Gianyar
20.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
I Wayan Ngenteg Br. Guliang, 1955 STM Guru SMK Saraswati, Gianyar Br. Guliang, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
21.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Anak Agung Bagus Ari Brahmanta, S.E. Ubud, 31 Agustus 1962 S1 PNS/ Kadis Pariwisata Kab. Gianyar Ubud, Gianyar
315
,
22.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Anak Agung Gde Rai Karyasa Gianyar, 8 November1968 SMA Pemandu Wisata Pejeng Kawan, Tampaksiring, Gianyar
23.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Dewa Nyoman Alit Pejeng, 31 Desember 1945 SPG Pensiunan Guru Sekolah Dasar Br. Puseh, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
24.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan
: : : :
Alamat
Cokorda Rai Pemayun Denpasar, 16 April 1954 S1 Pensiunan Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar : Jalan WR Supratman, 77, Denpasar
25.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Dewa Gede Suprapta Pejeng, 28 Oktober 1966 S1 Karyawan LPD Br. Puseh, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
26.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Kadek Arsani Pejeng, 10 September 1987 S1 Karyawati LPD Br. Intaran, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
27.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
A.A.Gde Agung Pejeng, 1949 SMA Seniman (Dalang) Br. Petemon, Pejeng Kelod, Tampaksiring, Gianyar
28.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Cening Carmaya Buleleng, 16 Juni 1966 S1 Guru SMA Negeri 6 Denpasar Jl. Made Bina, Perumahan Bina Permai, 23 Ubung Kaja, Denpasar
316
29.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Dewa Putu Windia Klungkung, 19 Oktober 1951 S1 Pensiunan PNS (Guru) SMA Negeri 6 Denpasar Jl. Gunung Batok, 14 Denpasar
30.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
I Ketut Kania Denpasar, 22 April 1961 S2 Guru SMA Negeri 6 Denpasar Jl. Noja 9, Denpasar
31.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
I Made Giri Pejeng, 2 Mei 1967 SMA Karyawan Hotel Sanur Beach, Denpasar Ds. Puseh, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
32.
Nama Tempat/Tgl Lahir Pendidikan Pekerjaan
: : : :
Alamat
,
I Made Gedet Pejeng, 1955 SMA Pensiunan PNS, BPCB, Bali-NTB-NTT, BeduluGianyar : Ds. Pande, Pejeng, Tampaksiring, Gianyar
317
Lampiran 2 Panduan Wawancara Penelitian Bertolak kepada permasalahan yang diangkat dalam penelitian, maka ada tiga kelompok pertanyaan yang direncanakan untuk ditanyakan kepada para informan, yaitu sebagai berikut.
Kelompok A berkaitan dengan bentuk komodifikasi 1 Apa saja bentuk-bentuk warisan budaya yang ada di dalam pura? 2 Bagaimana sikap dan perilaku prajuru desa sebagai pihak yang diberikan legitimasi mengelola warisan budaya di Pura Penataran Sasih? 3 Bagaimana warga masyarakat panyungsung pura melihat hubungan Pura Penataran Sasih dengan warisan budaya yang ada di dalamnya? 4 Bagaimana warga masyarakat panyungsung pura melihat keberadaan pura-pura lain yang berada di lingkungan Pura Penataran Sasih, seperti Pura Ratu Pasek, Pura Amerta Sari, Pura Taman Sari, Pura Ibu, dan Pura Bale Agung? 5 Bagaimana warga masyarakat panyungsung pura melihat halaman depan (nista mandala) pura, yang kini dijadikan pusat pertokoan dan pasar senggol pada malam hari? 6 Bagaimana pandangan masyarakat ketika dihadapkan dengan begitu banyaknya warisan budaya di Desa Pejeng? 7 Bagaimana sikap religiusitas warga masyarakat kepada Ida Ratu Sasih?
,
318
Kelompok B berkaitan dengan proses komodifikasi 1 Siapa saja yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih selain panyungsung pura? 2 Bagaimana warga masyarakat panyungsung pura melihat kehadiran wisatawan di Pura Penataran Sasih? 3 Apa saja kewajiban yang harus ditunaikan oleh wisatawan bila berkunjung ke Pura Penataran Sasih? 4 Sejak kapan diberlakukan donasi bagi wisatawan yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih dan ke mana diserahkan donasi tersebut? 5 Apakah ada hambatan atau tantangan dalam pengembangan sarana parkir, Pertokoan, dan sebagainya dengan memberdayakan lapangan di depan pura yang berstatus sebagai nista mandala? 6 Upaya-upaya apa yang dilakukan oleh penguasa (prajuru desa) untuk mempertahankan keberlanjutan pariwisata di Pejeng, khususnya di Pura Penataran Sasih?
Kelompok C berkaitan dengan makna komodifikasi 1 Apa dampak komodifikasi warisan budaya terhadap situs-situs lainnya di Desa Pejeng? 2 Apa dampak komodifikasi warisan budaya terhadap kesucian pura? 3 Apa dampak komodifikasi warisan budaya terhadap lingkungan pura? 4 Apa makna komodifikasi warisan budaya bagi warga masyarakat panyungsung pura?
,
319
,