Bab Tiga
Metode Penelitian
Seperti Menatap Cermin Ketertarikan saya dengan bidang pertanian berawal ketika pada masa kanak-kanak sampai remaja (masa Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas) sering menemani orang tua melakukan kunjungan ke lahan-lahan milik keluarga untuk mengawasi para pekerja (petani penggarap) mengerjakan lahan garapan mereka. Pada masa itu saya sudah mengamati bahwa istri-istri petani penggarap di samping bertugas menyiapkan makanan bagi suami mereka di sawah, sesekali mereka juga membantu dalam mengerjakan lahan pertanian. Sehingga pada saat saya memiliki kesempatan untuk melakukan penelitian di bidang ketahanan pangan dan ketahanan hayati berbasis masyarakat pada bulan Mei 2007 sampai bulan Juli 2008 di empat area yaitu Sulawesi, Papua, Kupang, dan Bali, maka ketertarikan saya semakin kuat untuk meneliti fenomena dibalik peran perempuan dalam bidang pertanian. Walaupun aras penelitian pada saat itu masih sangat global (general) karena masih merupakan penelitian eksplorasi, dan cakupan daerah masih sangat luas, akan tetapi dari hasil penelitan tersebut ternyata perempuan sangat berperan dalam pemberdayaan masyarakat di bidang ketahanan pangan dan ketahanan hayati. Di samping berperan dalam kegiatan pertanian, perempuan ternyata sangat intensif membantu suami dalam usaha meningkatkan kesejahteraan keluarga, dan berperan dalam kegiatan-kegiatan sosial pada komunitasnya. Dari penelitian tersebut juga diperoleh data bahwa perempuan sangat 41
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
pandai membagi pengetahuan dengan sesama dan memiliki jaringan yang luas baik antar teman, kerabat maupun dalam menyerap inovasiinovasi baru. Secara umum peranan petani perempuan di semua area penelitian tersebut sangat menonjol, akan tetapi dengan mempertimbangkan faktor budaya dan adat serta fenomena yang sudah saya amati sejak masa kanak-kanak, maka saya memilih Bali sebagai area penelitian untuk disertasi ini. Pemilihan Bali sebagai daerah penelitian juga dilandasi atas masih terdapat fenomena eksisnya beberapa kearifan lokal di bidang pertanian di Bali, yang berguna untuk mendukung saya dalam menjawab tujuan penelitian yang terkait dengan peranan kearifan lokal dan perempuan demi mendukung keberlanjutan ketahanan pangan dan ketahanan hayati. Di samping itu Bali masih diakui dunia sebagai salah satu daerah yang masih mampu bertahan mengembangkan wisata budaya dan memelihara lingkungan dengan implementasi ritual yang dilakukan sebagai bagian dari budaya dan agama. Faktor lain yang menjadi pertimbangan adalah kawasan penelitan sedang dalam proses pengusulan menjadi kawasan budaya dunia yang dilegalisasi oleh UNESCO, sehingga harapan saya dengan adanya wacanawacana tersebut maka di daerah ini akan mampu digali secara mendalam tentang hakikat dari pembangunan berkelanjutan yang sedang hangat digalakkan pemerintah baik pemerintah daerah maupun nasional. Berlatar belakang budaya yang masih sangat kuat dan keberhasilan subak sebagai suatu organisasi tradisional yang bergerak di bidang pertanian dan tetap sebagai ujung tombak penghasil pangan pokok (beras) bagi masyarakat di Bali, maka Subak Wongaya Betan merupakan unit pengamatan pada penelitian ini. Subak ini merupakan salah satu subak yang terletak di kawasan suci Catur Angga yang sedang diusulkan sebagai kawasan budaya dunia oleh Pemerintah Provinsi Bali. Di samping itu, subak ini juga merupakan salah satu subak yang berhasil menggerakkan anggotanya untuk melakukan transformasi ke pertanian organik sehingga mampu memperoleh sertifikat organik, di mana keberhasilan ini di samping sangat berpengaruh pada peningkat-
42
Metode Penelitian
an pendapatan petani anggota subak, ternyata juga menguatkan kesadaran akan pelestarian nilai-nilai leluhur dalam rangka tetap mengajegan pertanian dan kelestarrian lingkungan di wilayah subak tersebut. Di sisi lainnya kesuksesan yang dicapai ternyata tidak menggoyahkan keyakinan dan tatacara dari subak ini dalam pelaksanaan filosofi sebagai umat Hindu yaitu selalu melaksanakan konsep Tri Hita Karana (konsep keseimbangan), sehingga dalam pelaksanaan filosofi ini subak tetap memiliki aturan (awig-awig) yang mengikat setiap anggotanya. Yang menarik ternyata awig-awig ini juga dapat berpengaruh ke luar organisasi, misalnya saja mengatur hubungan dengan anggota di luar subak dan bahkan dengan pihak penguasa (pemerintah). Hal ini mengingat bahwa ada fenomena lain yang ada pada gerakan subak di Wongaya Betan khususnya, dan umat Hindu umumnya dalam pelestarian lahan pertanian melalui organisasi subak yang sangat terkait dengan ketahanan pangan dan ketahanan hayati di Bali. Dari kenyataan tersebut maka penekanan objek penelitian akhirnya pada lingkup subak (yaitu Subak Wongaya Betan) dengan semua elemen yang terkait termasuk kekuatan dan kelemahan yang mengikat baik ke dalam subak maupun ke luar subak, peran perempuan pada pelaksanaan ritual yang ternyata sangat terkait dengan keberadaan subak dan pelestarian pertanian dan lingkungan bagi umat Hindu di Bali. Melakukan penelitian terhadap gender yang sama, di daerah sendiri pada awalnya seperti menatap cermin (melihat diri sendiri). Keraguan sempat terlintas, terutama dalam menjaga obyektifitas hasil penelitian. Akan tetapi karena saya tidak pernah terlibat langsung dalam aktivitas pertanian dan subak, maka jarak antara saya sebagai peneliti dan sasaran penelitian dapat dipertanggung jawabkan objektivitasnya. Saya berusaha secara maksimal untuk tetap menempatkan diri sebagai peneliti, dan menjaga informan untuk tetap memandang saya sebagai seorang peneliti, bukan bagian dari komunitas mereka. Tantangan Melakukan Penelitian Kualitatif Sebelum menentukan metode penelitian yang digunakan, sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang muncul di benak saya. Hal ini 43
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
disebabkan karena harus diakui bahwa metode ini merupakan metode yang relatif baru bagi saya yang berlatar belakang pendidikan Magister Pertanian yang tentu saja sangat lekat dengan metode penelitian kuantitatif. Saya menyadari ternyata melakukan penelitian kualitatif sangat berbeda dengan penelitian melalui pendekatan kuantitatif. Akan tetapi berdasarkan tujuan disertasi ini yaitu berupa gambaran dari fenomena yang terjadi pada unit amatan yaitu Subak Wongaya Betan, maka saya menggunakan pendekatan kualitatif yang salah satunya mengacu pada Creswell (1998). Oleh karena saya juga memerlukan data mendalam tentang pengalaman hidup (life trajectory) dari perempuan anggota subak, untuk menentukan pemahaman habitus dari informan maka digunakan juga pendekatan naturalistik (Moleong, 2005 dalam Rahoyo, 2010). Pustaka lainnya yang saya gunakan adalah Silverman (1998) yang membantu saya dalam menarasikan hasil data lapangan menjadi sebuah tulisan yang memiliki kebenaran ilmiah. Menurut Marshall and Rossman (1999) penelitian ini dapat digolongkan dalam penelitian fenomenologi, karena penelitian ini merupakan penggambaran fenomena yang terjadi di Subak Wongaya Betan sebagai unit amatan. Fenomenologi adalah sebuah cara untuk menggambarkan sesuatu kejadian yang terekam di lapangan, sehingga diperoleh proses pemaknaan terhadap fenomena tersebut. Dalam penelitian ini selain mengelaborasi data lapangan, fenomena-fenomena di masyarakat sebagai aktor juga dilihat dari sisi pemahaman-pemahaman tentang kegiatan yang dilakukan dari zaman dulu sampai sekarang. Dalam proses penelitian ini, saya merasakan tantangan dalam mengelaborasi data yang telah diperoleh di lapangan, sehingga menjadi sebuah format tulisan yang terstruktur dan mampu diterjemahkan menjadi sebuah tulisan yang bermanfaat dan mampu memberikan sumbangan pemikiran menuju perbaikan pembangunan melalui ketepatan arah kebijakan. Membuka Akses Walaupun melakukan penelitian di daerah sendiri dan pada komunitas sendiri, ternyata proses untuk mendapat akses ke unit 44
Metode Penelitian
amatan yaitu Subak Wongaya Betan memerlukan perjalanan yang cukup melelahkan. Hal ini disebabkan adanya beberapa aturan yang harus dipenuhi baik aturan secara administratif maupun secara adat. Aturan administrarif dalam hal ini adalah surat ijin penelitian dari Kesbang Linmas (Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat) di tingkat Provinsi dan Kabupaten. Setelah itu saya harus membawa tembusan surat tersebut ke Kantor Camat Penebel, yang kemudian mempermaklumkannya kepada Kepala Desa Dinas Mengesta bahwa saya sudah mendapatkan ijin untuk penelitian. Pada awalnya saya mengira proses administrasi sudah lengkap, ternyata ketika saya mau mengadakan wawancara dengan informan, Ketua (bendesa) Desa Adat (Pekraman) Mengesta menganjurkan untuk datang pada saat dilaksanakannya sangkep (rapat) Adat, sehingga keberadaan saya secara resmi diterima juga oleh warga Desa Adat Mengesta. Untuk kepentingan tersebut, akhirnya proses pengambilan data ditunda sebulan, karena harus menunggu hari pelaksanaan sangkep adat di desa Mengesta. Ketika hari pelaksanaan sangkep, saya sebagai peneliti diperkenalkan oleh Bendesa Adat Mengesta secara terbuka. Pada kesempatan tersebut saya ditemani oleh salah seorang staf BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Bapak Alit Artha Wiguna menjelaskan maksud dan tujuan kami meneliti, kemudian siapa saja yang akan terlibat dalam penelitian. Dalam hati, saya sangat bersyukur karena dengan cara seperti ini saya lebih mudah dalam menentukan informan, karena saya tidak harus mencari informan satu persatu (door to door), tetapi sudah diperkenalkan secara umum sehingga akses sudah terbuka lebar untuk memulai pengumpulan data lapangan. Karena subak merupakan bagian dari desa Adat, maka secara tidak langsung kami sudah diperkenalkan dengan informan yang saya wawancarai pada pengumpulan data lapangan. Untuk proses selanjutnya saya cukup mendatangi informan dari rumah ke rumah maupun mengontak mereka melalui nomor telepon yang sudah saya catat sebelumnya.
45
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
Pengumpulan Data di Lapangan Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dengan terbukanya akses untuk melakukan penelitian di Subak Wongaya Betan, maka pada tahapan ini saya mulai menemui informan yang mampu memberikan informasi berdasarkan pedoman wawancara yang telah saya susun sebelumnya. Pedoman wawancara ini saya butuhkan sebagai pegangan agar pertanyaan-pertanyaan tetap terfokus pada arah untuk menjawab tujuan penelitian. Di samping itu data lapangan diperoleh juga melalui observasi langsung mengenai beberapa kejadian, fenomena, tindakan dan kenyataan yang teramati di Subak Wongaya Betan dan sekelilingnya. Metode ini dipentingkan sebagai bahan triangulasi terhadap data dari hasil wawancara, sehingga menurut Bungin (2007:65-66) melalui observasi akhirnya dapat diketahui dengan lebih valid kejadian yang sebenarnya terjadi di unit amatan dan keterlibatan dari setiap anggota subak secara lebih objektif. Hal ini didukung juga oleh pendapat Geriya (1985) bahwa dengan observasi maka saya memperoleh gambaran yang lebih riil tentang fenomena yang teramati di daerah penelitian. Pada saat melakukan pengumpulan data di lapangan, maka sumber informasi diperoleh dari anggota subak, mulai dari tingkatan pimpinan (pekaseh) dan istri, kelian subak dan istri, prajuru subak dan istri. Hal ini dimaksudkan untuk melihat peran setiap anggota baik anggota laki-laki maupun anggota subak perempuan adalah khas. Secara umum pembagian kegiatan-kegiatan antara anggota laki-laki dan anggota perempuan sudah jelas, walaupun tidak menutup kemungkinan terjadi pergeseran peran yang disebabkan oleh adanya perubahan zaman dan situasi dalam keluarga anggota subak masing-masing. Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan wawancara, baik secara individu maupun secara diskusi kelompok. Untuk mendapatkan data tentang makna dan implementasi ritual dan data-data yang terkait dengan pelaksanaan keagamaan, saya mewawancarai pemangku 1 Pura Dalem dan pemangku Pura Subak.
1
Pemangku: pemimpin pelaksanaan ritual di suatu wilayah desa adat dan subak
46
Metode Penelitian
Kedua informan ini pada awalnya sangat sulit untuk ditemui karena kesibukan beliau dalam melayani umat dan memimpin upacara di wilayah sekitar Desa Mengesta. Sehingga pada suatu kesempatan, saat masyarakat melaksanakan ritual di Pura Subak, maka saya berhasil melakukan wawancara mendalam dengan pemangku tersebut. Terkait dengan data pemaknaan individu dan pemahaman ritual sebagai habitus saya melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dengan Ibu Rama (ketua UD Kuntum Sari) dan Ibu Wayan Ratmini (istri kelian subak). Kedua informan ini terlibat langsung dalam penentuan dan pengambilan keputusan tentang ritual yang dilaksanakan oleh subak. Untuk mendapatkan data yang lebih lengkap, saya juga menggali informasi dengan Kepala Desa Adat dan istri, Kepala Dinas Pertanian Tabanan, peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, Koordinator Pembina Subak Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, dan Ketua Yayasan BOA (Bali Organic Assosiation). Dengan pendekatan kekeluargaan dan akses yang telah saya miliki, akhirnya saya sempat mengikuti salah satu ritual ngusaba yang dilakukan oleh Subak Wongaya Betan pada tanggal 15 Juni 2011 dan peresmian Lumbung Subak (gudang cadangan pangan), mulai dari pelaksanaan sangkep (rapat) anggota subak untuk menentukan hari pelaksanaan ritual, sampai pada persiapan pembuatan sesajen yang dilakukan oleh anggota subak perempuan. Pada kesempatan tersebut saya mendokumentasikan dan mengamati bagai-mana anggota subak melaksanakan perannya masing-masing dalam pelaksanaan kegiatan ritual. Dari hasil observasi tersebut saya akhirnya mengetahui proses pelaksanaan sangkep (rapat subak) serta implementasi hasil sangkep dalam rangka penerapan awig-awig subak bagi anggota subak. Pada tanggal 16 Maret 2011, Subak Wongaya Betan dipilih sebagai salah satu tempat untuk kunjungan peserta pelatihan tentang pengelolaan air yang dilaksanakan oleh Kementrian Pertanian bekerjasama dengan ASEAN. Pada kesempatan tersebut saya akhirnya memiliki akses untuk melakukan observasi tentang bagaimana anggota Subak Wongaya Betan menjamu dan mengeksplorasi diri mereka dalam menghadapi tamu asing. Dengan pengalaman mereka sebagai
47
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
petani tangguh yang terbuka dengan inovasi baru maka sangat terlihat jiwa kewirausahaan mereka (termasuk anggota perempuannya) telah terbentuk dengan baik. Melalui kesempatan ini akhirnya terungkap bagaimana perjuangan mereka bangkit dari keterpurukan akibat program revolusi hijau, bagaimana perjuangan untuk kembali melaksanakan pertanian organik yang pada akhirnya mendapat pengakuan dan perhatian dari pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Kesempatan ini pun saya manfaatkan untuk belajar dan mengumpulkan informasi tentang bagaimana kesan petani luar negeri terhadap keberadaan subak di Bali dan bagaimana mereka sebenarnya juga masih mau mempelajari kearifan lokal Indonesia untuk mereka serap dan diaplikasikan di negara mereka masing-masing. Dari hasil wawancara terungkap bahwa subak adalah sesuatu yang fantastis bagi mereka demikian juga dengan ketaatan anggota dengan pelaksanaan ritual khususnya pertanian yang seolah mengikat anggota subak untuk selalu bersyukur, dan menjaga keeratan hubungan yang memang hal ini merupakan sesuatu kendala bagi mereka di negaranya. Proses Analisis dan Penulisan Ciri khas dari penelitian kualitatif adalah menghasilkan informasi dan data yang sangat banyak dan beragam seperti yang dikutip Rahoyo (2010) dari Agus Salim (2006). Dari kenyataan ini maka semua data yang terkumpul dirinci dan dikelompokkan sesuai dengan fenomenafenomena yang diamati. Kemudian di kelompokkan sehingga menghasilkan konsep yang mampu menjawab tujuan penelitian. Semua hasil wawancara dan observasi yang diperoleh dari lapangan saya dokumentasikan baik dalam bentuk kaset, foto-foto video, dan catatan-catatan kecil dalam buku yang selalu saya bawa pada waktu pergi ke lapangan. Khusus untuk hasil wawancara dalam kaset, setiap pulang dari lapangan langsung saya transkrip, untuk mencegah data yang menumpuk dan kehilangan momen (suasana) wawancara pada saat di lapangan. Dan tidak jarang hasil wawancara dalam kaset saya dengarkan berulang ulang, untuk memperkecil bias data akibat kesalahan mendengarkan. 48
Metode Penelitian
Setelah data yang diperoleh dari lapangan saya anggap cukup, maka transkrip wawancara kemudian dikelompokkan ke dalam tabel sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan selama wawancara. Dari pengelompokan tersebut saya pada awalnya menemukan 15 tema besar, tetapi setelah dihubungkan dengan tujuan penelitian akhirnya tematema tersebut mengalami penyederhaan dengan menggabungkan tematema yang memiliki kemiripan menjadi satu tema besar. Dengan cara seperti ini akhirnya diperoleh empat tema besar (empirical findings) yang dipergunakan sebagai dasar dalam penulisan laporan. Keempat tema tersebut kemudian saya tuangkan dalam bab-bab empiris yaitu bab empat, bab lima, bab enam, dan bab tujuh. Tahap selanjutnya adalah membuat sintesa dari seluruh tema-tema yang tersaji pada bab empiris. Tema (konsep) yang muncul dari bab empiris adalah bahwa ada hubungan yang sangat erat antara filosofi Tri Hita Karana dengan awig-awig subak yang juga terimplementasi dalam ketiga hubungan keseimbangan yaitu Parhyangan, Pawongan dan Palemahan. Dari hubungan ini akhirnya setiap anggota subak baik secara individu maupun kolektif akan selalu berbuat didasari atas kepercayaan dan keyakinan akan agama Hindu sebagai agama mayoritas petani di Bali. Apapun yang menjadi keputusan rapat subak akan selalu terimplikasi pada ajaran agama Hindu seperti adanya karmapala, reinkarnasi, dan pelaksanaan ritual sebagai sanksi unprofan ke hadapan Sang Pencipta. Di samping itu dalam setiap persiapan kegiatan subak baik itu kegiatan pertanian maupun ritual maka selalu terjadi interaksi dan pemeliharaan hubungan baik antar anggota subak. Hal ini juga diperkuat dengan semakin diakuinya subak sebagai salah satu elemen yang mampu melakukan pemeliharaan keberlanjutan pertanian dan pelestarian lingkungan dalam rangka ketahanan pangan dan hayati di Bali khususnya. Subak juga merupakan sebuah model pemberdayaan kearifan lokal yang mampu mengeliminasi dampak negatif teknologi pertanian moderen dan secara luas dampak perubahan iklim dan diyakini oleh masyakat lokal, nasional, dan internasional.
49
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
Walaupun wawancara yang dilakukan dengan metode diskusi kelompok hanya dilakukan sesekali yaitu pada saat anggota subak melaksanakan kegiatan gotong royong baik dalam rangka pembersihan saluran air, kegiatan petanian di lahan sawah dan juga pada saat anggota mempersiapkan sesajen untuk keperluan riual. Tetapi hal ini sangat bermanfaat untuk melihat bagaimana anggota subak secara individual mempunyai pemahanan yang berbeda terhadap beberapa pertanyaan. Dari pelaksanaan diskusi kelompok ini sebenarnya saya juga memperoleh keuntungan untuk melaksanakan triangulasi data secara langsung. Di samping itu melalui diskusi kelompok ini saya lebih cepat memperoleh informasi yang diinginkan. Proses penulisan sebenarnya berlangsung bersamaan dengan proses analisis. Karena pada kenyataannya saya masih harus mengunjungi unit amatan beberapa kali selama proses penulisan berlangsung. Hal ini disebabkan karena ternyata melaksanakan penelitian kualitatif harus tetap melakukan triangulasi baik dihubungkan dengan teoriteori yang terkait, juga dengan mendiskusikan dengan para ahli, serta kembali ke lapang untuk mendapatkan keabsahan data. Dengan proses ini maka saya yakin bahwa tulisan ini telah memenuhi unsuir kredibilitas (credible), reliabilitas (reliable), dan transferabilitas (transferdable). Selama ini ketika saya melakukan penelitian dengan metode kuantitatif, maka dengan sangat terstruktur penulisan laporan harus dimulai dari pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitia, hasil dan pembahasan serta yang terakhir kesimpulan. Akan tetapi saya sedikit terheran ketika Pak KUT dan Pak TEN selaku promotor dan kopromotor menyarankan saya untuk menulis bab-bab empiris terlebih dahulu. Sungguh sesuatu yang di luar kebiasaan. Hal ini merupakan satu lagi keunikan dalam melakukan penelitian kualitatif. Setelah babbab empiris selesai saya tuangkan dalam tulisan, selanjutnya saya membuat sintesa (bab delapan), yang merupakan sintesis dari tema-tema kecil yang saya peroleh dari bab-bab empiris. Bagian ini seperti yang dikemukakan oleh Singarimbun (2006: 23) merupakan upaya dalam
50
Metode Penelitian
mengembangkan konsep-konsep dasar dari data empiris menuju konsep-konsep yang lebih teoritis. Secara keseluruhan, proses yang paling sulit dari penulisan disertasi ini adalah bab metode penelitian karena dalam penelitian kualitatif, saya harus bernarasi dengan menceritakan semua pengalaman yang saya hadapi dalam seluruh proses penelitian sampai pada penulisan disertasi saya rampungkan. Akibat dari hal tersebut maka harus diakui bahwa tidak ada satupun bab yang tidak mengalami pengulangan penulisan (rewriting). Proses ini tentu saja sangat bermanfaat untuk mendapatkan sebuah tulisan yang berbobot dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Meneliti di Daerah Sendiri Dalam pelaksanaan penelitian kualitatif, sebenarnya ada beberapa kendala yang harus dipahami oleh seorang peneliti. Salah satunya adalah melakukan penelitian di daerah sendiri, terhadap suku sendiri dan juga agama sendiri (backyard research)(Glesne, 1999: 95-98). Dalam penelitian seperti ini maka saya harus mampu berada pada sisi di luar komunitas daerah penelitian. Tetapi walaupun demikian melaksanakan penelitian di daerah sendiri sebenarnya juga memiliki sisi positif, seperti sumbangsih dari sisi keilmuan bagi daerah si peneliti dalam hal ini demi keajegan Bali sebagai daerah agraris, yang memiliki warisan budaya yang bernilai tinggi dan sebagai daerah tujuan wisata yang unik baik di aras nasional maupun internasional. Kemudian dari sisi pelaksanaan penelitian tentu saja akan lebih ekonomis karena saya tidak harus mengeluarkan dana ekstra untuk melaksanakan penelitian. Dalam penelitian ini walaupun saya berasal dari daerah penelitian akan tetapi karena proses triangulasi data telah dilaksanakan dengan baik dan benar, maka data-data yang diperoleh adalah data yang objektif sesuai dengan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan di lapangan.
51