Bab Tiga
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
Pada Periode Pertengahan, kebudayaan disebut humanitas serta civilitas (Bagus, 2004:424). Kebudayaan, menurut Koentjaraningrat (1974), terdiri dari dua komponen pokok, yaitu isi dan wujud. Wujud kebudayaan terdiri dari sistem budaya (gagasan-gagasan), sistem sosial (tingkah laku), dan fisik (dalam artefak dan benda-benda hasil budaya yang bersifat material). Komponen isi terdiri dari tujuh unsur universal yaitu: bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, ilmu pengetahuan, agama, dan kesenian. Sistem budaya terdiri dari nilai-nilai budaya dan normanorma etik. Nilai budaya berupa gagasan-gagasan yang dipandang sangat berharga bagi proses keberlangsungan kehidupan, dengan ruang lingkup yang sangat luas, walaupun eksistensinya bersifat kabur namun keberadaannya secara emosional disadari utuh (Simuh, 1999:109). Pada intinya unsur-unsur pokok dalam kebudayaan adalah: manusia, akal budi, ilmu pengetahuan, dan relasi sosial antarmanusia. Kebudayaan dinyatakan bernilai kalau merupakan gagasan yang dapat dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dengan kata lain, tujuan akhir 53
Jawa Menyiasati Globalisasi
kebudayaan adalah peningkatan kualitas kemanusiaan; memanusiakan manusia. Kebudayaan dan kemanusiaan ibarat dua sisi dari mata uang yang sama, tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Pembahasan tentang kebudayaan Jawa, dengan demikian, tidak pula dapat dilepaskan dari perkembangan kehidupan manusia Jawa. Kebudayaan Jawa adalah cerminan dari perkembangan akal budi manusia Jawa yang kemudian tercermin dalam interaksi internal di antara masyarakat Jawa maupun interaksi eksternal dengan masyarakat dari etnik yang lain.
Sub-Daerah Kebudayaan Jawa Kebudayaan Jawa tidak merupakan kesatuan yang homogen, paling tidak menurut pandangan orang Jawa sendiri. Mereka sadar akan adanya suatu keanekaragaman yang bersifat regional, sepanjang daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keanekaragaman regional itu sedikit banyak cocok dengan daerahdaerah logat bahasa Jawa dan tampak juga dalam unsur-unsur seperti makanan, upacara-upacara rumah tangga, kesenian rakyat, dan seni suara (Koentjaraningrat, 1994). Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan Jawa dapat digambarkan ke dalam beberapa sub-daerah kebudayaan Jawa, sebagai berikut: 1. Sub-daerah kebudayaaan Jawa Banyumas:1 Daerah ini meliputi bagian barat daerah kebudayaan Jawa. 2. Sub-daerah Bagelen: meliputi wilayah Kabupaten Purworejo dan sekitarnya. 1 Sering pula disebut sebagai Jawa Panginyongan. Istilah panginyongan berasal dari kata inyong, yang berarti penulis atau aku. Istilah ini menunjukkan bahwa orang yang di wilayah sub-daerah kebudayaan Jawa Banyumasan menggunakan kata inyong dalam pergaulan sehari-hari.
54
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
3. Sub-daerah kebudayaan Jawa yang hidup di kota Yogyakarta dan Surakarta: memiliki sejarah kesusastraan yang telah ada sejak lima abad yang lalu. Subdaerah kebudayaan ini memiliki kesenian yang maju berupa tari-tarian dan seni suara keraton, serta ditandai oleh suatu kehidupan keagamaan yang sangat sinkretistik, campuran dari unsur-unsur agama Hindu, Buddha, dan Islam. Wilayah ini sering disebut negarigung. 4. Sub-daerah kebudayaan Jawa pesisir: meliputi daerah dari Indramayu-Cirebon di sebelah barat, sampai ke kota Gresik di sebelah timur. Penduduk di wilayah ini pada umumnya memeluk agama Islam puritan yang juga memengaruhi kehidupan sosial-budaya mereka.2 Kebudayaan yang hidup di Surabaya yang khas, oleh orang Jawa sendiri biasanya dianggap sebagai suatu sub-daerah kebudayaan yang khusus. Koentjaraningrat menjelaskan, kebudayaan Jawa yang ada di daerah Madiun, Kediri, dan delta Sungai Brantas (daerah “Mojokuto” yang pernah diteliti Clifford Geertz) sebenarnya sama dengan kebudayaan Jawa di Yogyakarta dan Surakarta. Di daerah itu juga banyak berkembang gerakan-gerakan kebatinan, seperti di Surakarta dan Yogyakarta. Orang Jawa menyebut daerah itu sebagai mancanegari atau “daerah luar,” merupakan daerah pinggiran dari kebudayaan yang berkembang di Kerajaan Jawa Mataram pada abad ke-17 hingga abad ke-19.
2
Pigeud (seperti dikutip Koentjaraningrat) menyarankan untuk memecah kebudayaan pesisir ke dalam sub-bagian barat yang meliputi daerah Cirebon, Tegal, dan Pekalongan, sub-bagian tengah meliputi Kudus, Demak, dan sekitarnya, dan sub-bagian timur yang berpusat di Gresik.
55
Jawa Menyiasati Globalisasi
Daerah perbatasan mancanegari disebut pinggir reksa. Ada pula sub-daerah kebudayaan Jawa di wilayah sebelah selatan Surabaya, meliputi kota Malang dan sekitarnya. Daerahdaerah di Malang dan daerah lebih ke timur lagi, sering disebut sebagai tanah sabrang wétan. Orang Jawa Timur menyebut penduduk daerah pantai selatan Jawa Timur dengan istilah khusus, yaitu tiyang kilènan (‘’orang barat”). Hal ini disebabkan daerah yang sangat miskin dan gersang di pantai selatan itu, pada abad-abad yang lalu menjadi tempat tinggal para pendatang dari mancanegari, negarigung, dan daerah-daerah lain di sebelah barat Jawa Timur. Ada tiga daerah yang penduduknya berbeda, dengan bahasa dan adat yang berbeda pula, yaitu orang-orang Tengger yang tinggal di kaldera Gunung Tengger, penduduk di sekitar kota Banyuwangi yang menamakan diri mereka tiyang osing, dan penduduk ujung timur Pulau Jawa, yaitu orang Blambangan. Menurut Koentjaraningrat, orang Jawa yang tinggal di luar Pulau Jawa dapat pula dianggap sebagai sub-variasi dari kebudayaan Jawa yang berbeda. Orang Jawa yang dipindahkan ke Sumatera Selatan atau yang bermigrasi ke perkebunanperkebunan tembakau di Sumatera Utara misalnya, tetap mempertahankan kebudayaan asli mereka, tetap memperlihatkan sifat-sifat dari logat dan adat-istiadat daerah asal. Orang Jawa yang merantau ke Semenanjung Malaya atau yang dipekerjakan sebagai pekerja perkebunan di Afrika Selatan, Srilanka, Suriname, Curacao (pulau di laut Karibia sebelah selatan, dekat pesisir Venezuela, salah satu negara konstituen Kerajaan Belanda), dan Kaledonia Barat, juga mengembangkan variasi-variasi kebudayaan Jawa.
56
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
Kebudayaan Jawa sangat bervariasi. Dapat dipahami, kalau dihadapkan pada pertanyaan “Jawa yang mana?” maka orang Jawa sendiri tidak dapat menjelaskan dengan tegas dan pasti. Terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur kebudayaan Jawa, misalnya mengenai berbagai istilah teknis dan dialek bahasa. Variasi dan perbedaan itu tidak besar karena kalau diteliti lebih mendalam, hal-hal itu masih menunjukkan satu pola atau satu sistem kebudayaan Jawa (Koentjaraningrat, 1999:329). Tidak dapat dimungkiri, selama ini muncul pandangan yang kuat bahwa kebudayaan Jawa terpusat di dalam lingkungan keraton. Hal itu disebabkan jarangnya (atau bahkan tidak adanya) literatur-literatur tentang kebudayaan Jawa di luar lingkup keraton. Buku berjudul Kebudayaan Jawa, Ragam Kehidupan Kraton dan Masyarakat di Jawa 1222-1998 (Ageng Pangestu Rama, 2007) menggambarkan betapa kuatnya budaya keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa. Buku tersebut mengungkapkan sejarah kebudayaan Mataram Kuna, Keraton Medang, Kahuripan, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Keraton Surakarta, dan Keraton Yogyakarta. Dua wilayah bekas Kerajaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta, dikenal sebagai pusat Kebudayaan Jawa. Oleh sebab itu, uraian yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa dalam buku ini pun lebih berdasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma etik yang berkembang di lingkungan keraton Yogyakarta dan Surakarta. Terlebih lagi, aktor sentral objek penelitian ini adalah seorang keturunan raja di Keraton Yogyakarta dan raja Keraton Surakarta (diuraikan di Bab Lima). Dalam perspektif Clifford Geertz (1976), masyarakat di lingkungan keraton tersebut dikategorikan sebagai golongan 57
Jawa Menyiasati Globalisasi
priyayi. Dua golongan lain adalah abangan dan santri. Kaum abangan, menurut Geertz setelah melakukan penelitian di Pare tahun 1952-1954, merupakan gambaran kelompok masyarakat yang bebas, tidak merasa terikat aturan-aturan/ritual keagamaan, dan sering diasosiasikan sebagai kelompok nasionalis, bahkan masyarakat desa yang awam dan masih berpikiran animisme. Santri merupakan identitas Muslim yang sedang belajar ilmu agama, berasal dari kalangan Muslim ortodoks. Kaum priyayi merupakan gambaran kalangan elite Jawa, kaum bangsawan yang pemikirannya dipengaruhi oleh tradisi-tradisi Hindu-Jawa. Pendapat Geertz itu menggambarkan, seolah-olah masyarakat Jawa terbagi dalam kotak-kotak yang kaku. Seseorang kalau bukan abangan pasti santri atau priyayi; kalau bukan santri pasti abangan atau priyayi; kalau bukan priyayi pasti abangan atau santri. Budayawan Emha Ainun Nadjib menolak pandangan Geertz tersebut. Pengklasifikasian masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan santri, abangan, priyayi seperti memisahkan antara padi, beras, dan nasi. Menurut Emha, seolah-olah Geertz membedakan antara kapas, kain, dan baju. Bukankah itu semua adalah satu kesatuan yang sebenarnya tidak dapat dipisahpisahkan? Perbedaan yang ada hanya menunjukkan proses yang masih berlangsung secara bertahap, sebagaimana dari padi menuju ke beras dan akhirnya menjadi nasi. Demikian halnya dengan kaum santri, priyayi, dan abangan; sesungguhnya predikat itu bisa terwakili pada diri salah seorang manusia Jawa! (Susetya, 2007:8). Abdurrahman Mas’ud (dalam Anasom, 2004) juga mengkritik karya-karya Geertz dan pengikutnya yang lebih banyak menggunakan pendekatan dikotomis yang mempertentangkan
58
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
Islam modern dan Islam tradisional. Pendekatan itu hanya menghasilkan gambaran permukaan dan sangat tidak adil terhadap substansi aktual Islam Jawa itu sendiri.
Sinkretisme Jawa Salah satu sifat budaya Jawa adalah sinkretisme. Istilah ini lebih banyak dikaitkan dengan masalah agama, meskipun sebenarnya erat dengan masalah budaya. Sinkretisme, menurut penulis, menjadi salah satu penyebab kebudayaan Jawa disebut luwes, fleksibel, mudah menyesuaikan diri dengan kebudayaan lain yang memengaruhinya. Sifat-sifat tersebut merupakan kekuatan sekaligus kelemahan. Menjadi kekuatan, kalau sifat itu didukung oleh ketahanan budaya yang kuat, sehingga tidak luntur oleh kebudayaan yang memengaruhinya. Sebaliknya, menjadi kelemahan, kalau sifat itu tidak didukung ketahanan budaya yang kuat, sehingga justru mudah larut oleh kebudayaan yang memengaruhinya. Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan (Darori Amin, 2000:87). Sebenarnya sinkretisme merupakan istilah nonteologis, bahkan cenderung praktis. Dalam perkembangannya, sinkretisme dipakai dalam bidang agama dan teologi untuk menunjukkan paling sedikit empat arti (Singgih, 2007:83-84), yaitu:
59
Jawa Menyiasati Globalisasi
1. Sebagai usaha mendamaikan pendapat-pendapat atau keyakinan-keyakinan yang saling bertentangan; 2. Sebagai usaha mengompromikan yang ceroboh; suatu eklektisme, yaitu sikap memilih-milih beberapa pokok dari sini dan menolak beberapa pokok dari sana; menolak beberapa dari sini dan sebaliknya menerima beberapa pokok dari sana. Proses memilih secara eklektis ini sering menghasilkan sesuatu yang tidak logis dan tidak konsisten; 3. Proses perkembangan suatu pertumbuhan yang terjadi di dalam sejarah, yang bersangkut-paut dengan keyakinan dan praktik melalui pergaulan dengan yang lain; 4. Persatuan ataupun pencampuran dari bentuk-bentuk yang semula berbeda. Menurut Sumartana, setiap agama berada dalam ketegangan tarik-menarik antara dua kutub yang berbeda. Kutub pertama adalah sikap beragama yang ingin mengambil jarak terhadap perkembangan masyarakat (distansi) dan kutub kedua cenderung menyesuaikan diri dengan proses pertumbuhan masyarakat (akomodasi). Sebagai gejala, sinkretisme sering dihubungkan dengan sikap yang kedua, yaitu kepada pilihan sikap yang lebih akomodatif serta mencari bentuk-bentuk yang lebih cocok dengan jalan mengikuti perkembangan zaman serta kebutuhan setempat. Sebaliknya, sikap anti-sinkretisme biasanya sejajar dengan sikap untuk membela kemurnian ajaran agama tertentu. Seolah-olah yang murni itu selalu bisa dilacak akar-akarnya secara tuntas atau kemurnian dianggap identik dengan yang benar. Padahal klaim-klaim tentang kemurnian dan kebenaran menunjukkan gejala dan gerak yang makin plural (Ekopriyono, 2005).
60
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
Pada awal abad kedua, untuk kali pertama, seorang penulis Yunani, Plutarch, menulis tentang sinkretismos (atau sugkretismos) yang mengacu pada kebiasaan orang Kreta menggalang persatuan guna menghadapi musuh bersama yang datang dari luar sebagai ancaman bagi suku tersebut. Dapat dikatakan, makna asli sinkretisme menyangkut adat orang Kreta, yang walaupun sering konflik di antara mereka sendiri, mereka akan bersatu apabila ada bahaya yang mengancam kehidupan bersama. Ungkapan itu menunjuk kepada kerja sama warga masyarakat menghadapi musuh bersama dari luar. Pada awalnya tidak ada konotasi agama. Pergeseran makna terjadi pada abad-abad berikut, yaitu ketika kata sinkretisme diambil alih oleh gereja menjadi ungkapan teologis yang baku, khususnya dalam kesibukan mereka mengejar para penyebar ajaran sesat. Dalam semangat untuk membakukan dan menyatukan ajaran, maka upaya pemurnian menjadi obsesi utama. Upaya pemurnian tersebut dilakukan dengan mengidentifikasi segala unsur ajaran filsafat atau agama lain yang dianggap menyesatkan ajaran. Pergeseran makna terjadi secara sekaligus, yaitu menggabungkan ajaran sesat dengan tuduhan mencampurkan agama. Alhasil, pada akhirnya, bersamaan dengan kecenderungan untuk menghukum segala ajaran yang dianggap sesat, muncullah suatu muatan makna baru dari kata sinkretisme, yaitu upaya mencampuradukkan bermacam-macam unsur agama menjadi satu agama baru. Rumusan dan pemahaman semacam itu menciptakan pijakan keabsahan untuk menghukum semua orang yang dianggap telah menyelewengkan ajaran agama. Mereka patut dihukum karena mengontaminasikan ajaran gereja yang baku dan resmi.
61
Jawa Menyiasati Globalisasi
Definisi tersebut lama kelamaan menjadi baku dan diturunkan dari generasi ke generasi, bukan hanya dalam semangat keagamaan, melainkan juga dalam kategori ilmu. Ilmu agama atau teologi, sudah sejak lama menerima definisi tentang sinkretisme dan belum pernah berubah sampai sekarang; yaitu upaya mengambil secara eklektik komponen dari banyak agama lalu digabungkan untuk menciptakan agama baru. Orang tidak sadar bahwa di dunia ini, di sepanjang sejarah, tidak ada (dan tidak akan ada) orang yang memiliki kemampuan semacam itu. Siapa di dunia ini mampu menggabungkan agama-agama menjadi satu agama baru? Sinkretisme telah dirumuskan sebagai definisi yang tidak realistik dan tidak mungkin terjadi di muka bumi. Anehnya, justru definisi itulah yang telah menjadi rumusan yang diterima secara a priori dalam ilmu agama. Aneh pula, banyak orang menerima pengertian itu tanpa mempertanyakan secara kritis. Redefinisi menyangkut sinkretisme, berarti mengembalikan kepada arti kata yang asli. Kita perlu kembali kepada makna yang semula, yaitu menggalang kekuatan sosial-politik untuk menghadapi musuh bersama. Sinkretisme sama sekali tidak ada hubungan dengan upaya mencampuradukkan unsur dari banyak agama untuk membuat agama baru. Sinkretisme perlu dikembalikan pada pengertian semula, yaitu menggalang kekuatan untuk menghadapi musuh bersama. Dengan demikian, tidak perlu ada lagi kekhawatiran, bahwa sinkretisme akan mencampuradukkan ajaran-ajaran agama yang ada. Sinkretisme justru penting diterapkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, yang sampai sekarang pun belum terbebas dari konflik-konflik bernuansakan agama. Sinkretisme justru akan mendorong terjadinya kerja sama sosial di antara
62
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
penganut agama untuk menghadapi masalah bangsa, seperti kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan. Sinkretisme dalam makna kerja sama sosial itulah yang perlu dikembangkan dalam kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa yang sinkretis harus dimaknai sebagai kebudayaan Jawa yang mampu menggalang kerja sama sosial menghadapi musuh bersama. Sinkretisme merupakan sifat kebudayaan Jawa, sehingga kebudayaan Jawa sangat relevan dengan usaha-usaha menyatukan bangsa dan membebaskan dari pertentangan-pertentangan. Kerja sama sosial dalam konteks sinkretisme tersebut juga dapat diharapkan mendorong terjalinnya dialog antarpemeluk agama, karena dialog yang bersifat teologis hampir tidak mungkin dilakukan. Dalam ranah kebudayaan, sebaiknya sinkretisme dipandang sebagai penggalangan kekuatan budaya menghadapi musuh bersama. Sinkretisme Jawa dapat digunakan untuk menggalang kekuatan ketahanan budaya Jawa menghadapi pengaruh-pengaruh budaya dari luar yang masuk melalui gerakan globalisasi, baik dari Barat maupun dari Timur Tengah. Menurut Clifford Geertz, terdapat dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Dua kaidah itu, seperti dikutip Franz Magnis Suseno (1988) disebut sebagai prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Orang Jawa, menurut dua kaidah itu, selalu berusaha mencegah timbulnya konflik dan menghormati orang lain. Kata kunci dari keduanya adalah harmoni, yang sangat berkaitan dengan sinkretisme. Sinkretisme mencari keserasian dan keseimbangan. Nenek moyang orang Jawa mengajarkan, bahwa agama adalah sandhangané wong urip, sanguné wong mati. Makna ungkapan itu adalah, bahwa ketika hidup orang harus punya 63
Jawa Menyiasati Globalisasi
pegangan hidup (agama) karena tanpa agama hidup seseorang ibarat kapal tanpa nakhoda; ketika mati maka orang pun harus membawa (hasil pelaksanaan ajaran-ajaran) agama untuk menghadap Sang Khalik. Menurut pandangan orang Jawa, agama adalah ageman (sandhangan, busana, atau pakaian). St. S. Tartono (2009:39) berpendapat, pakaian tersebut bukan sembarang pakaian, melainkan pakaian yang aji, yang bernilai tinggi atau yang mulia, oleh karena itu orang memakainya dengan penuh rasa hormat. Rasa hormat itu ditunjukkan dengan tunduk dan patuh menjalankan segala perintah, peraturan, dan nilai-nilai luhur yang diajarkan. Dalam konsep pemikiran orang Jawa, seorang pemimpin atau pemuka masyarakat, raja misalnya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai luhur agama. Mereka harus memeluk agama dengan seksama, penuh rasa hormat, sebagaimana layaknya orang mengenakan busana aji, pakaian yang mulia. Kalau hidup keagamaannya bagus, di samping diakui sebagai pemimpin rakyat, mereka akan dianggap sebagai pemuka agama. Itulah sebabnya, raja-raja Jawa pada umumnya bergelar sayidin panatagama kalifatullah tanah Jawi, yang berarti pemimpin penata agama khalifah Allah di Tanah Jawa. Agama sandhangané wong urip, sanguné wong mati pun bermakna, bahwa dalam menjalankan kehidupan beragama orang tetap harus menjaga keserasian dan keselarasan; harus menjaga harmoni. Termasuk di dalamnya, menghormati orang lain yang memeluk agama berbeda. Orang Jawa sangat dekat dengan hal-hal yang bersifat batin (olah rasa), maka pendekatan keberagamaannya pun lebih bersifat batiniah; suatu usaha menuju kebenaran hakiki, “yang inti,” bukan “yang luar,” bukan yang bersifat kemasan.
64
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
KGPAA Mangkunagoro IV (1994:14) menyatakan dalam Serat Wedhatama: Mingkar-mingkuring angkara akarana karenan mardi siwi sinawung resmining kidung sinuba sinukarta mrih kretarta pakartining ngélmu luhung kang tumrap nèng tanah Jawa agama ageming aji. Artinya: Menghindarkan diri dari angkara, sebab ingin mendidik putra, dalam bentuk keindahan syair, dihias agar tampak indah, agar menumbuhkan jiwa dan ilmu luhur, yang berlaku di tanah Jawa, agama sebagai pegangan yang bermanfaat.
Inti ajaran itu adalah, bahwa agama sesungguhnya merupakan pegangan seseorang agar hidup lebih bermakna. Makna tersebut ada kalau seseorang berjiwa luhur dan memiliki ilmu yang bermanfaat bagi sesama. Esensinya adalah, semua agama harus diamalkan bagi kepentingan umat manusia.
Perkembangan Kebudayaan Jawa Sulit ditemui referensi yang mengungkapkan secara jelas tentang kebudayaan asli Jawa sebelum pengaruh budaya India yang dibawa agama Hindu dan Buddha. Beberapa referensi hanya menyebutkan, bahwa kebudayaan asli Jawa lebih cenderung pada paham animisme dan dinamisme. Perubahan besar pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama HinduBuddha. Menurut Poerbatjaraka, bangsa India (Hindu maupun Buddha) menyebarkan agama, ilmu pengetahuan, sastra, dan bahasa kepada penduduk pribumi Jawa, di samping melakukan aktivitas perdagangan. Pengaruh bahasa Sansekerta yang ber65
Jawa Menyiasati Globalisasi
corak Hinduisme tampak sekali dalam sastra pewayangan, misalnya pada Kakawin Ramayana dan Mahabharata. Selama berabad-abad kebudayaan India memengaruhi tanah Jawa. Berangsur-angsur, kejayaan Hindu-Buddha tersebut menyusut setelah kekuasaan Kerajaan Majapahit berakhir. Pengaruh Hindu-Buddha bergeser ke Bali, sehingga sampai sekarang pun, agama Hindu merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Bali. Selain Hindu dan Buddha, seperti dikutip Purwadi dari berbagai sumber (2009:21), kebudayaan Jawa juga dipengaruhi oleh agama Islam yang masuk ke Indonesia bersamaan dengan datangnya para saudagar ke pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera, misalnya di Lamuni, Aceh, Barus, dan Palembang, di pelabuhan Sunda Kelapa dan Gresik. Selain pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam, budaya Jawa juga dipengaruhi oleh masuknya agama Kristen bersamaan dengan penjajahan Belanda. Pengaruh tersebut, meskipun lebih kecil dari pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam, misalnya terlihat dalam ajaran-ajaran kebatinan, antara lain dalam pemahaman tentang konsep hubungan manusia, Tuhan, dan roh kudus.
Kebudayaan Jawa Pra-Hindu-Buddha Sangat sedikit kebudayaan masyarakat Indonesia, terutama Jawa, sebelum pengaruh agama Hindu-Buddha yang dapat dikenal secara pasti. Dari warisan hukum adat dan tradisi yang masih menonjol dan berpengaruh kuat sampai sekarang, dapat diperkirakan bahwa susunan masyarakat Indonesia sudah teratur sebelum pengaruh agama Hindu-Buddha. Sebagai masyarakat yang masih sederhana, wajar kalau sistem religi animismedinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya.
66
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
Sutan Takdir Alisyahbana, seperti dikutip Simuh (1999: 110-111) mengatakan: Seperti kebudayaan bersahaja lainnya dalam sejarah, bangsa Indonesia sebelum datang kebudayaan India dapat dikatakan memiliki cara berpikir yang sangat kompleks, yakni bersifat keseluruhan dan emosional, sangat dikuasai oleh perasaan, yang sangat rapat dengan pengaruh kebudayaan agama, kepercayaan kepada roh-roh dan tenaga-tenaga gaib yang meresapi seluruh kehidupannya. Pikiran dan perbuatannya tertuju bagaimana mendapatkan bantuan dari roh-roh yang baik dan bagaimana menjauhkan pengaruh roh-roh yang bersifat mengganggu (jahat).
Di Jawa, menurut Simuh, pendewaan dan pemitosan terhadap roh nenek moyang melahirkan penyembahan pada roh nenek moyang, yang mendorong timbulnya hukum adat, kebudayaan, dan relasi-relasi pendukungnya. Dengan upacaraupacara selamatan, roh nenek moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup. Seni pewayangan dan gamelan, semula sebagai sarana upacara keagamaan untuk mendatangkan roh nenek moyang. Fungsi roh nenek moyang merupakan pengemong dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam wayang, roh nenek moyang dipersonifikasikan dalam bentuk punakawan. Agama asli yang oleh para pemikir Barat disebut religionmagis itu merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Kepercayaan animismedinamisme sangat memercayai roh-roh halus dan daya-daya magis terdapat di alam semesta atau alam rohani, yang eksistensinya langsung dapat memengaruhi dan menguasai hidup manusia. Roh dan tenaga-tenaga gaib dipandang sebagai tuhantuhan yang langsung dapat mencelakakan, serta sebaliknya,
67
Jawa Menyiasati Globalisasi
menolong kehidupan manusia. Oleh karena itu, menurut Alisyahbana, bahwa “pikiran dan perbuatan manusia tertuju bagaimana menjauhkan pengaruh roh yang jahat.” Kalau tenaga gaib tersebut dianggap tidak berkepribadian, masalahnya adalah bagaimana memperkuat diri dengan tenaga-tenaga yang gaib itu, juga bagaimana menguasai untuk dapat memakainya bagi kepentingan, baik secara personal maupun kolektif (masyarakat). Solidaritas sosial berkembang menjadi konsep gotongroyong yang memang cukup menonjol, karena ikatan-ikatan masyarakat masa itu berbentuk republik-republik desa yang kecil-kecil.
Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Buddha Menurut Muljana (2007), pengaruh Hinduisme paling kuat di Jawa dan Bali. Di Jawa Tengah, pengaruh agama dan peradaban Hindu-Buddha telah melahirkan kebudayaan Mataram Kuna di daerah pedalaman yang bersendikan pertanian. Sanjaya, raja yang hampir menguasai seluruh Jawa Tengah pada permulaan abad ke-8, beragama Syiwa, mendirikan kompleks Candi Syiwa di dataran tinggi Dieng. Raja Sanjaya surut, muncullah Dinasti Syailendra yang memeluk agama Buddha Mahayana dan mengadakan perserikatan dengan Kerajaan Sriwijaya. Kebesaran Dinasti Syailendra ini tampak dari Candi Borobudur, yang juga menunjukkan ketinggian peradaban masa itu. Pada akhir abad ke-8 diperkirakan Dinasti Syailendra kembali memeluk Agama Syiwa dan kemudian mendirikan kompleks Candi Prambanan yang sangat megah. Bangunan candi-candi serta warisan tradisi upacara keagamaan yang berlangsung terus sampai saat ini, menunjukkan pengaruh Hindu-Buddha. Raja-raja Jawa dikeramatkan sebagai pusat penjelmaan dewa di dunia (raja titisan déwa, raja pembawa esensi kedewataan di dunia). Raja juga dibebani tugas
68
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
sangat berat untuk menjadi teladan dalam mengagungkan dan melakukan upacara-upacara keagamaan. Di kerajaan yang bersendikan Hinduisme-Buddhisme tersebut, agama menjadi dasar untuk mendukung kekeramatan dan wibawa kerajaan. Agama merupakan nilai yang sangat penting bagi tegaknya kerajaan Jawa. Pada abad ke-11, Kerajaan Kediri maju pesat di bawah Raja Airlangga yang memeluk agama Syiwa dan Buddha; yaitu sinkretisme antara agama Syiwa dan Buddha Tantrayana. Muncul gubahan sastra keagamaan Ramayana dan Mahabarata dalam bentuk puisi yang disebut serat kakawin. Mulai muncul kesusastraan Jawa Kuna yang kemudian menjadi sumber untuk memasyarakatkan seni pewayangan di Jawa. Pada masa Kerajaan Majapahit, agama Syiwa dan Buddha hidup berdampingan menjadi agama resmi negara. Puncak kejayaan terjadi pada masa Patih Gadjah Mada, dengan Sumpah Palapa yang terkenal itu. Perdagangan dengan dunia luar berkembang pesat berkat jasa para perantara orang-orang asing beragama Islam, yaitu orang-orang dari Gujarat, Persia, Cina, dan mungkin juga Arab. Candi-candi dari zaman Singasari-Majapahit dimaksudkan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur, yakni arwah keluarga raja yang telah mangkat; digunakan untuk menyimpan abu jenazah dan arca dewa sebagai lambang keluarga yang dipuja. Meskipun wujudnya candi Syiwa atau Buddha, candi-candi itu pada hakikatnya adalah candi makam, bukan semata-mata tempat pemujaan Syiwa atau Buddha seperti Candi Borobudur atau Candi Prambanan di Jawa Tengah. Pada zaman itu telah terjadi percampuran antara kepercayaan asli yang berupa pemujaan arwah leluhur dan kepercayaan asing berupa agama Syiwa dan Buddha (Muljana, 2007:259).
69
Jawa Menyiasati Globalisasi
Patih Gajah Mada bermaksud mengagungkan Majapahit di bidang politik dengan jalan memperluas wilayah. Keagungan Majapahit terletak dalam menghimpun daerah-daerah Nusantara di bawah lindungan kerajaan tersebut. Gajah Mada mengutamakan negara dan kemakmuran rakyat daripada keagungan keagamaan. Inilah salah satu faktor yang menunjukkan perbedaan pokok antara keagungan Mataram dan keagungan Majapahit. Pada zaman Kerajaan Mataram Kuna, candi-candi (Borobudur, Prambanan, Pawon, dan Mendut) dibangun demi pengagungan agama. Itulah pembangunan monumen keagamaan yang hanya mungkin dilakukan berkat dorongan semangat keagamaan yang menyala-nyala di lingkungan keraton dan kalangan rakyat. Kebudayaan India (Hindu-Buddha) bersifat ekspansif, adapun kebudayaan Jawa menerima dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Buddhisme. Proses itu bukan sekadar akulturasi, melainkan kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Di sini para budayawan Jawa bertindak aktif, berusaha mengolah unsurunsur agama dan kebudayaan India untuk memperbarui dan mengembangkan kebudayaan Jawa. Menurut Bambang Noorseno (2003:26), cerita Ajisaka datang ke Pulau Jawa menggambarkan keberhasilan para cendekiawan Jawa dalam mengubah huruf Hindu ke huruf Jawa, serta proses pemanfaatan tahun Saka untuk mencatat peristiwa-peristiwa sejarah Jawa. Secara lengkap, huruf Jawa itu adalah: hanacaraka, datasawala, padhajayanya, maga-bathanga. Rangkaian huruf itu menggambarkan cerita: dua utusan (abdi) yang setia, selalu berselisih sehingga mereka saling bentrok
70
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
secara fisik, keduanya sama-sama kuat, sehingga akhirnya keduanya meninggal dunia. Menurut legenda, 20 huruf tersebut diciptakan oleh Ajisaka, seorang tokoh Jawa, untuk mengabadikan lakon tragis dua abdi yang setia. Keduanya bersitegang dengan penafsiran yang berbeda terhadap makna perutusannya. Sampai kedua utusan itu meninggal, mereka tidak saling mengerti tentang misi perutusannya, yang sebenarnya sama. Ketidakmengertian itu justru disebabkan masing-masing memegang teguh perintah. Kedua utusan itu bernama Setia dan Setuhu, yang dalam Bahasa Jawa berarti setia dan taat. Tidak ada yang benar, tidak ada yang salah di antara mereka, karena keduanya hanya taat pada perintah, tapi keduanya tidak saling membuka diri. Cerita itu mengandung pesan, bahwa karakter Jawa cenderung mencari kompromi dari kutub-kutub yang secara apriori dipertentangkan. Cerita hanacaraka menyingkap suatu sikap nervous dan rasa khawatir terhadap segala bentuk intoleransi dan fanatisme (Soeprapto Nitihardjo, 2001). Nitihardjo menjelaskan, bacaan serangkaian kalimat bunyi aksara suku kata urutan lima huruf permulaan dari 20 aksara pada baris pertama berbunyi ha na ca ra ka yang berarti ada duta atau utusan. Oleh karena itu, dulu kata alfabet aksaranya disebut carakan terletak di bumi yang Jawa (panjang), menjadi Carakan Jawa. Aksara tersebut memberi pengertian tentang tujuan hidup, yaitu: mengerti akan tujuan dari sangkan (asal-usul hidup manusia); tujuan perilaku hidup dalam kehidupan di dunia; dan tujuan di kelak kemudian hari setelah meninggalkan hayat di dunia. Tiga unsur itu kemudian dikenal sebagai unsur-unsur dalam ilmu sangkan paraning dumadi. Proses penyebaran unsur-unsur Hinduisme di Jawa tidak dilakukan oleh para pendeta yang sakti, melainkan oleh golongan cendekiawan Jawa sendiri yang menjelma menjadi 71
Jawa Menyiasati Globalisasi
kaum bangsawan atau para priayi Jawa, maka di tangan mereka unsur-unsur Hinduisme-Buddhisme mengalami jawaisasi, bukan sebaliknya. Wajar kalau agama dan kebudayaan Hinduisme-Buddhisme tidak diterima secara lengkap dan utuh. JWM Bakker dalam Agama Asli Indonesia (seperti dikutip Simuh, 1999:116) mengatakan: “Agama Hindu murni tidak pernah menjadi milik bangsa Indonesia. Hanya unsur-unsur, bukan asasi sebagai Mahabarata dan Ramayana menjadi populer dan disesuaikan dengan pandangan setempat. Hinduisme tenggelam dalam lautan pemikiran asli, hanya dimanfaatkan untuk lebih menegaskan pandangan hidup Indonesia yang waktu itu masih samar-samar.” Kebudayaan Jawa yang dihasilkan pada masa HinduBuddha bersifat terbuka untuk menerima agama apa pun, dengan pemahaman bahwa semua agama baik dan benar, yang penting pengamalan setiap agama harus ditujukan bagi kepentingan dan kebesaran masyarakat. Kebudayaan Jawa masa Hindu-Buddha sudah mengembangkan pemahaman inklusivisme, atau bahkan pluralisme dalam keberagamaan. Pemahaman tersebut hampir tidak dapat ditemui di dalam kalangan umat beragama saat ini. Salah satu penyebabnya adalah kita tidak lagi memiliki ketahanan budaya lokal yang kuat, serta kuatnya klaim-klaim kebenaran dan keselamatan di kalangan penganut tiap-tiap agama. Kebudayaan Jawa masa Hindu-Buddha sangat bersifat sinkretis (bersifat momot atau memuat), ketika setiap agama diterima dengan sikap terbuka dan tidak memedulikan benar salah agama tersebut. Agama Hindu dan Buddha di negeri asalnya justru bermusuhan, sedangkan di Jawa dapat dipersatukan menjadi konsep agama Syiwa-Buddha.
72
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
Ciri lain yang nampak menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat bersifat teokratis. Pengeramatan raja sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia adalah salah satu bukti sifat teokratis. Sejarawan Onghokham (dalam Simuh, 1999:117) mengatakan: “... dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Dalam zaman Hindu-Jawa diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising déwa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja, untuk mencapai kemurnian di dunia dan di akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta, dan keraton. Berbagai tulisan menyatakan, kebesaran raja dan kebijaksanaan serta kekeramatannya menjadi satu kesatuan yang final. Memang raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban kerajaan masa ini.”
Cerita legenda yang termuat dalam Ramayana dan Mahabarata memang dimanfaatkan oleh para sastrawan Jawa untuk menanamkan konsep raja binathara (raja titising déwa, raja yang bersifat dewa). Konsep tersebut menuntut ketaatan rakyat kepada raja, baik mengenai urusan dunia maupun urusan akhirat. Artinya, raja adalah wakil Tuhan di bumi, sebagai imam dalam urusan rohani (agama) dan duniawi. Dalam Negara Kretagama karya Mpu Prapanca, seorang pujangga terkenal Majapahit, dilukiskan betapa besarnya peran raja dalam mengatur urusan agama. Raja Majapahit memperoleh kekuasaan berkat keturunan, kecuali Raja Kertarajasa Jayawardhana, raja pertama Majapahit yang memupuk kekua-saan melalui peperangan melawan raja Kediri, Jayakatwang. Selain memegang pucuk pimpinan dalam pemerintahan, raja Majapahit juga merupakan kepala dalam lingkungan kerabat raja. Pada umumnya mereka bergelar sri maharaja, sri yawabhuwanaparameswara, seperti pada piagam Kertarajasa 73
Jawa Menyiasati Globalisasi
Jayawardhana tahun 1305: maharaja Nararya Sanggramawijaya; pada prasasti Lamongan: sri maharaja; pada prasasti Sidateka (1323): sri maharaja rajadhiraja parameswara sri Wiralandagopala; pada prasasti O.J.O LXXXIV: sri maharaja Wisnuwardhana; pada prasasti Nglawang: sri maharaja (Muljana, 2007:179). Masuknya Hindu dan Buddha serta kebudayaan India tidak serta merta membongkar kepercayaan animisme-dinamisme sebagai kepercayaan asli yang telah mengakar dalam kebudayaan Jawa. Sebaliknya, lebih menyuburkan kepercayaan serba magis dan animis. Dalam konteks pemikiran itu, maka ada kecenderungan bahwa kehidupan keberagamaan masyarakat Indonesia justru mengalami kemunduran. Kemunduran dari pemahaman yang dulu terbuka menjadi pemahaman yang tertutup; dari inklusifpluralis menjadi eksklusif. Konsep inklusivitas sesungguhnya sangat signifikan untuk mengantisipasi gejala disintegrasi bangsa. Paradigma eksklusif tidak lagi cocok diterapkan dalam penyebaran agama. Pandangan inklusif akan membuat agamagama sangat berperan dalam peradaban manusia (Ekopriyono, 2005:123).
Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam Peralihan kerajaan Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama sufi yang mendapat gelar para wali tanah Jawa. Muncullah sastra Jawa yang memuat ajaran-ajaran keislaman yang masih terpelihara, juga merupakan sastra sufi yang disusun pada abad ke-16. Menurut Simuh (1994), di Jawa Islam menghadapi suasana dan kekuatan budaya yang telah berkembang kompleks dan halus, yang merupakan hasil penyerapan unsur-unsur 74
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
Hinduisme-Buddhisme yang dipertahankan oleh para cendekiawan serta para penguasa kerajaan Jawa. Oleh karena itu, di Jawa, Islam menghadapi dua jenis kekuatan lingkungan budaya, yaitu: 1. Kebudayaan para petani lapis bawah yang merupakan bagian terbesar, yang hidup bersahaja dengan adat istiadat yang dijiwai oleh religi animisme-dinamisme; 2. Kebudayaan istana yang merupakan tradisi adiluhung dengan unsur-unsur filsafat Hindu-Buddha yang memperkaya serta memperluas budaya dan tradisi lapisan atas. Di zaman kerajaan Islam, budaya pedesaan masih tetap didominasi tradisi lisan, adapun budaya kaum priayi dalam lingkungan istana sudah mengembangkan tradisi tulisan dengan memanfaatkan sastra keagamaan Hindu-Buddha. Kebudayaan kaum priayi merupakan sinkretisme yang sangat kompleks. Dari unsur-unsur klenik yang serba magis-animis sampai unsurunsur mitologis-mistis yang halus tergabung menjadi satu bangunan yang rumit dan kompleks. Kebudayaan priayi masih tetap mempertahankan landasan religi animis-dinamisme dengan tatanan adat-istiadat yang mendukungnya, namun telah diperkaya serta diperhalus dengan sastra dan tata nilai Hindu (huruf: hanacaraka), sistem perhitungan tahun saka, agama, dan konsep kerajaan Hindu dengan adanya kepercayaan raja sebagai penjelmaan dewa. Islam masuk Jawa, menurut Koentjaraningrat (1994), melalui suatu negara yang baru muncul di pantai barat Jazirah Melayu, yaitu Malaka. Pada abad ke-14, ketika kekuasaan Majapahit sebagai suatu kerajaan yang berdasarkan perdagangan mulai berkurang, maka bagian barat dari rute perdagangan yang 75
Jawa Menyiasati Globalisasi
melalui kepulauan Nusantara berhasil dikuasai oleh negara itu. Pelabuhannya sering dikunjungi oleh pedagang-pedagang muslim dari Gujarat dan Persia. Pada abad ke-13 mereka membawa agama Islam, mula-mula ke pantai timur Aceh, kemudian ke Malaka, dan selanjutnya sepanjang rute dagang ke pulau-pulau rempah di Indonesia, dan juga ke kota-kota pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa. Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad tidak dapat menembus benteng kerajaan Hindu-Jawa, sehingga harus memulai dari bawah di daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisiran yang melahirkan lingkungan budaya baru yang berpusat di pesantren. Baru pada abad ke-16, dakwah Islam mulai menembus benteng-benteng istana. Unsur-unsur Islam mulai meresap dan mewarnai sastra istana. Hal itu terjadi dengan berdirinya kerajaan Jawa Islam Demak yang mendapat dukungan para wali tanah Jawa. Sejak runtuhnya kerajaan Jawa-Hindu Majapahit (1518) dan berdirinya kerajaan Islam Demak, dimulai pula Islam menjadi bagian dari kehidupan para priayi Jawa. Pergaulan priayi Jawa atau cendekiawan Jawa dengan para guru agama yang sangat dimuliakan dengan gelar wali tanah Jawa mendorong interaksi Islam dengan sastra dan budaya istana. Bahkan, menurut penilaian para pujangga, berdirinya Kerajaan Demak sebagai zaman peralihan; peralihan dari zaman kabudan (tradisi Hindu-Buddha) ke zaman kawalèn (Islam). Peralihan tersebut menyebabkan terjadinya penyesuaianpenyesuaian yang berupa sinkretisme antara warisan budaya animisme-dinamisme, Hinduisme, Buddhisme, dan unsur-unsur Islam. Bentuk perpaduan itu sering disebut dengan istilah Islam-Kejawèn atau sering pula disingkat kejawèn. Dengan beralihnya pusat kerajaan ke daerah pedalaman, dengan berdiri-
76
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
nya Kerajaan Pajang, kemudian Mataram, lebih menyuburkan bentuk sinkretisme itu. Dalam konsep kebudayaan Jawa tradisional, otonomi adalah hak mutlak sang raja. Dalam diri raja terpadu derajat kependetaan (raja-pinandhita) dan derajat ketuhanan (rajabinathara). Rakyat semata-mata menjadi budak sang raja dan kaum priayi. Jadi, kendala tradisi dengan berbagai mitos dengan pusaka-pusaka “dikiaikan” (dianggap sebagai “kiai”) merupakan sarana para penguasa politik untuk menghambat dan meniadakan pertumbuhan tuntutan individualisme dan otonomi manusia. Pada zaman Islam, sesudah masa Demak sampai Mataram, timbul bentuk otonomi manusia yang cukup unik akibat pengaruh tasawuf Islam. Muncul ajaran tentang insan kamil (manusia yang sempurna) yang dalam tasawuf dan mistik kejawèn diungkapkan dengan konsep manunggaling kawula lan Gusti. Kebebasan manusia yang mutlak seperti kemutlakan kekuasaan Tuhan sendiri. Paryana Suryadipura dalam bukunya Manusia dengan Atomnya (Purwadi, 2004) menyarankan agar manusia menguasai keempat nafsu yang ada dalam dirinya, yaitu: 1. 2. 3. 4.
Egosentros; sama dengan lauwamah (nafsu serakah); Palemos; sama dengan amarah (nafsu jahat); Eros; sama dengan sufiah (nafsu asmara); Religius; sama dengan mutmainah (nafsu keinginan berbuat baik).
Ronggowarsito menjelaskan konsep insan kamil dalam Serat Wirid Hidayat Jati, agar manusia tidak jatuh dari martabatnya ada empat hal yang perlu diperhatikan (Purwadi, 2004: 139-140), yaitu:
77
Jawa Menyiasati Globalisasi
1. Nistha papa: barangsiapa berbuat hina, pasti akan menjadi melarat; 2. Dora sangsara: barangsiapa berbuat dusta pasti akan sengsara; 3. Dhusta lara: barangsiapa jahat pasti akan sakit; 4. Nihaya pati: barangsiapa bertindak aniaya, akan celaka. Konsep insan kamil tersebut hampir sama dengan pemikiran humanisme Barat, bahwa manusia adalah individu yang memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan jalan hidup. Perbedaannya terletak pada proses pembentukan kesadaran tentang kebebasan. Dalam humanisme Barat kesadaran itu muncul sebagai respons terhadap dominasi agama/gereja yang menafikan keadaan manusia sebagai individu yang bebas, adapun dalam konsep insan kamil kesadaran itu muncul sebagai perwujudan dari “menyatunya” antara manusia dan Tuhan; Tuhan bersemayam dalam diri manusia.
Kebudayaan Jawa dan Kekristenan Tidak banyak sumber tertulis mengenai perjumpaan budaya Jawa dan kekristenan. Mungkin hal itu karena Kristen sebagai agama yang paling akhir mengembangkan pengaruh di Jawa, juga karena agama ini tidak pernah berjaya sebagai kerajaan. Theodore G. Th. Pigeud dalam bukunya Literature of Java (dalam Bambang Noorseno, 2003:41), hanya menyebutkan beberapa buku. Salah satu di antaranya, yang juga disebut oleh C. Guillot dalam tesisnya, adalah buku karya Tosari berjudul Rasa Sejati. Buku ini memuat serangkaian ajaran Kristen dalam bentuk tembang macapat. Meskipun secara eksplisit karyakarya Kristen-Jawa tidak banyak dijumpai, namun pengaruhnya tidak dapat diabaikan. Sejarah pekabaran Injil di Jawa, mulai 78
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
dari Colen, Kiai Tunggul Wulung, dan Kiai Sadrakh, sampai misionaris Barat, menunjukkan pengaruh tersebut. Sebelum ada campur tangan misionaris Barat, pekabaran Injil di Jawa yang relatif alamiah tidak menimbulkan gejolak apa pun. Seperti Sunan Kalijaga tidak perlu menjadi Arab ketika ia bertobat menjadi Islam, para kiai Kristen Jawa menerima Kristen tetapi menolak Belanda. Kiai Tunggul Wulung tetap mempertahankan identitas Jawanya, begitu pula Kiai Sadrakh yang menyebut jemaahnya sebagai “pasamuwané wong Kristen mardika” (jemaat Kristen merdeka). Masalah mulai muncul ketika kekristenan dekat dengan misionaris Barat. Kedekatan itulah yang kemudian menuai kritik. Sindiran tajam terhadap komunitas Kristen dapat dibaca dalam Serat Bayanullah karya Raden Panji Natarata. Orang Jawa yang menjadi Kristen disebut sebagai “lingling klalanganing pikir, wirang isin wong Jawa salin agama,” Artinya, “pikiran linglung, tidak tahu malu orang Jawa berpindah agama.” Pada zaman itu orang Jawa menjadi Kristen dianggap aneh. Muncul di masyarakat ungkapan-ungkapan yang menunjukkan gejala itu, antara lain “Kristen iku agamané wong landa.” Ungkapan itu menyiratkan, bahwa Kristen hanyalah agama bagi orang Belanda. Praktik kehidupan Kristen belum sepenuhnya dapat diterima oleh masyarakat karena dianggap tidak lazim. Misalnya, cara menyembah dengan cara berhadap-hadapan (jemaat dan pendeta/pastur). Mungkin pula karena hubungan orang-orang Kristen dengan kalangan Belanda. Seperti Hindu, Buddha, dan Islam yang akhirnya diterima oleh orang Jawa setelah mengalami proses jawaisasi, Kristen akhirnya juga diterima. Kontribusi kekristenan tidak dapat dianggap kecil untuk memperindah mozaik spiritualitas Jawa yang tersusun dari berbagai tradisi keagamaan. Pertemuan 79
Jawa Menyiasati Globalisasi
antara iman Kristen dan kejawèn memang telah terjadi dan akan terus terjadi. Menurut Bambang Noorseno (2003:46), di Desa Ngoro, Jawa Timur, pernah dipelopori “pengawinan” kejawèn dan kekristenan. Hasilnya, sudah pasti, tidak selalu semua orang Kristen setuju. Itulah alasan konflik antara para kiai Kristen Jawa dan para misionaris Barat yang menuduh mereka telah membelokkan katekese3 ke arah klenik atau takhayul yang tidak masuk akal. Konflik antara lain muncul di tahun 1899 antara Kiai Sadrakh dan para misionaris Kristen. Puncaknya terjadi ketika Kiai Sadrakh menobatkan diri sebagai ”Rasul Jawa” dan melarang pengikutnya untuk menjalin hubungan dengan para misionaris. Konflik itu, menurut Sumartana (1991:66), kemudian memunculkan dua identitas Kristen, yaitu: 1. Kristen yang menerima Injil tanpa menolak semua budaya Jawanya, yang sering juga disebut sebagai Kristen Jawa; 2. Kristen yang menerima Injil dengan segala kebudayaan Belandanya dan menolak kebudayaan Jawa, sering disebut sebagai Kristen Landa. Dalam perkembangan selanjutnya, identitas Kristen Jawa makin terdesak oleh Kristen Landa. Jemaat di gereja-gereja yang terang-terangan menyebut diri sebagai Gereja Kristen Jawa pun lebih sering memperlihatkan sebagai jemaat yang telah meninggalkan kebudayaan Jawa. Gejala ini misalnya terlihat dari mulai 3 Katekese merupakan salah satu bentuk pelaksanaan tugas mewartakan Injil yang diamanatkan Yesus Kristus (Mat 28:19-20; Mrk 16:15). Katekese adalah pembinaan dalam iman, khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara sistemastis, memasuki kepenuhan hidup Kristen.
80
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
jarangnya penggunaan bahasa Jawa dalam kebaktian dan lebih sering menyanyikan lagu-lagu berbahasa Indonesia daripada Kidung Pasamuan Kristen Jawa. Kotbah-kotbah yang disampaikan para pendeta juga sering menekankan agar jemaatnya meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama (budaya Jawa) supaya memperoleh “hidup baru.” Kebiasaan-kebiasaan lama itu dituduh sebagai klenik dan takhayul, misalnya tradisi mengunjungi makam leluhur (tilik kubur), slametan, dan mengadakan upacara-upacara lain yang lazim dilakukan dalam kerangka kebudayaan Jawa. Lamakelamaan, kejawaan itu luntur dan hilang dalam kehidupan orang-orang Jawa yang memeluk agama Kristen. Meskipun kadarnya lebih kecil, gejala ini sama dengan gejala yang terjadi di kalangan orang Jawa penganut Islam, yang juga meninggalkan kebudayaan Jawa dan beralih ke kebudayaan Arab (Timur Tengah). Kadar tersebut lebih kecil, mungkin karena dalam Islam berkembang pula ajaran-ajaran tasawuf yang sangat dekat dengan kebudayaan Jawa. Muncul gejala, bahwa orang-orang Jawa yang menganut Kristen ”wis dadi landa,”4 orang-orang Jawa yang menganut Islam sudah ”menjadi Arab.” Inilah konsekuensi dari penyampuradukan antara agama dan budaya. Kristen diidentikkan dengan Eropa-Amerika, Islam diidentikkan dengan Arab-Timur Tengah, Hindu-Buddha disamakan dengan India, dan Konghucu dengan Cina. Relasi Jawa-Kristen juga terlihat dari perhatian pujangga Keraton Surakarta Ronggowarsito pada Nabi Isa (Yesus Kristus) dan agama Kristen. Dalam manuskrip Paramoyaga, Ronggo4 Bahasa Jawa landa secara harafiah berarti Belanda atau bule. Orang Jawa menyebut landa untuk menunjuk orang-orang kulit putih, bukan Asia. Jadi, yang dimaksud landa bisa orang Eropa, Amerika, maupun Australia.
81
Jawa Menyiasati Globalisasi
warsito menggambarkan pertentangan antara Nabi Isa dan agama Hindu yang dipersonifikasikan sebagai Sang Hyang Jagadnata. Pujangga Keraton Surakarta itu bersimpati pada agama Kristen dan menyebut bahwa Ajisaka belajar dan menerima instruksi dari Nabi Isa. Dalam Paramayoga (Sukatno, 2001:121) bab berjudul ”Sang Hyang Jagadnata Bermusuhan dengan Nabi Isa,” dikisahkan, para sahabat mengusulkan agar Nabi Isa menyirnakan para dewa yang mengaku sebagai Tuhan, yang selama ini bertempat tinggal di kahyangan di puncak Gunung Tenguru (Himalaya). Singkat cerita, Nabi Isa mengubah segumpal tanah liat menjadi burung dara berbisa, yang dapat merusak para dewa. Burung dara itu menemui Sang Hyang Jagadnata, meminta dewa dan bala tentaranya menghadap Nabi Isa untuk diberi pelajaran agama yang sesungguhnya; beribadah kepada Tuhan Yang Sejati, yang menciptakan semua makhluk. Sang Hyang Jagadnata marah, namun tidak dapat mengalahkan burung dara tersebut. Burung dara itu menyebarkan bisa (racun) di wilayah Hindi (Hindustan). Sang Hyang Jagadnata melarikan diri dari Gunung Tenguru ke Sumatera, Pulau Jawa, dan Bali.
Kebudayaan Jawa Masa Kini Kebudayaan Jawa masa kini yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kebudayaan Jawa pada masa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mulai dari masa pemerintahan Ir. Soekarno sampai masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada masa-masa itu, yang dapat diungkapkan di sini adalah usaha-usaha melestarikan budaya Jawa di tengahtengah arus globalisasi.
82
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
Banyak usaha telah dilakukan oleh berbagai komunitas Jawa, namun kenyataan membuktikan bahwa budaya Jawa tidak dapat berkembang seperti yang diharapkan oleh konunitas-komunitas tersebut. Pengaruh-pengaruh budaya asing, perlahan tapi pasti telah mengikis kebudayaan ini. Perkembangan tersebut menggambarkan bahwa pernyataan bahwa budaya Jawa merupakan budaya yang lentur dan tidak akan luntur oleh pengaruh-pengaruh dari luar, masih layak dipertanyakan kebenarannya. Kalau selama ini banyak pengamat yang mengatakan bahwa budaya dari luar kemudian “dijawakan” (Hindu menjadi Hindu-Jawa, Buddha menjadi Buddha-Jawa, Islam menjadi Islam-Jawa, dan Kristen menjadi Kristen-Jawa) maka pertanyaannya adalah masihkah budaya Jawa itu kuat dan dianut oleh masyarakatnya? Salah satu ungkapan yang sangat menggambarkan bahwa sebenarnya budaya Jawa sudah tidak lagi mendapat tempat yang layak dalam masyarakatnya adalah wong Jawa ilang Jawané. Ungkapan itu menggambarkan, bahwa sekarang orang Jawa sudah kehilangan sifat-sifat Jawa, sudah tidak lagi memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Jawa dalam kehidupan seharihari. Dalam Kongres Bahasa Jawa 10-14 September 2006 di Semarang, sebagai salah satu pembicara, penulis mengemukakan, banyak orang Jawa yang terjebak pada “romantisme Jawa.” Meskipun sering dilakukan sarasehan, seminar, diskusi, dan dialog-dialog tentang kebudayaan Jawa, namun acara-acara itu lebih berupa forum kangen-kangenan (saling melepas kerinduan) untuk mengenang kejayaan dan keadiluhungan Jawa di masa lalu. Mereka menyanjung-nyanjung kehebatan kebudayaan Jawa, tetapi tidak menjabarkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
83
Jawa Menyiasati Globalisasi
Pertanyaannya, apakah benar Hindu telah dijawakan, Buddha dijawakan, Islam dijawakan, Kristen dijawakan, dan Konghucu dijawakan. Apakah bukan sebaliknya, justru Jawa dihindukan, Jawa dibuddhakan, Jawa diislamkan, Jawa dikristenkan, Jawa dikonghucukan. Apakah benar yang terjadi adalah Jawaisasi Hindu, Jawaisasi Buddha, Jawaisasi Islam, jawaisasi Kristen, atau sebaliknya Hinduisasi Jawa, Buddhaisasi Jawa, Islamisasi Jawa, Kristenisasi Jawa, Konghucuisasi Jawa. Pertanyaan itu mirip dengan hipotesis Koentjaraningrat (1994:446), yaitu: ”.... apabila suatu kebudayaan atau suatu subkebudayaan di dalam sebuah kelas tertentu dalam suatu masyarakat memiliki suatu tradisi turun-menurun yang sudah mantap, dan yang karena itu memiliki kepentingan untuk mempertahankan tradisi kuna dan panjang itu, maka akan ada kecondongan timbulnya suatu sikap penolakan yang lebih intensif terhadap perubahan kebudayaan, daripada dalam kebudayaan atau sub-kebudayaan yang tidak memunyai tradisi yang panjang.”
Mengacu pada uraian tentang kebudayaan Jawa masa kini tersebut, maka hipotesis Koentjaraningrat tidak terbukti. Kebudayaan Jawa yang memiliki tradisi turun-menurun yang sudah mantap ternyata larut ke dalam arus globalisasi. Manusia Jawa tidak lagi memahami dan mempraktikkan nilai-nilai kebudayaan Jawa. Beberapa tradisi mungkin masih dijalankan, misalnya tilik kubur sebagai perwujudan penghormatan kepada arwah leluhur, slametan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, mitoni (memperingati usia tujuh bulan kehamilan), weton (memperingati hari kelahiran), upacara tedhak siti (ketika seorang bayi sudah mulai bisa berjalan), upacara adat perkawinan, dan sebagainya. Pertanyaan berikutnya, apakah tradisi84
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
tradisi itu mencerminkan pemahaman, penghayatan, dan penerapan nilai-nilai kebudayaan Jawa sebagai bentuk penolakan terhadap perubahan kebudayaan atau resistensi terhadap masuknya kebudayaan dari luar? Apakah tradisitradisi itu tidak hanya bersifat seremonial, tanpa pemahaman, penghayatan, dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari?5
Jawa Larut dalam Globalisasi Anthony Giddens (2000) mengungkapkan, proses globalisasi sangat terkait dengan revolusi komunikasi dan penyebaran teknologi informasi. Hal itu bahkan juga berlaku dalam arena ekonomi. Pasar uang yang bergerak dua puluh empat jam bergantung pada gabungan teknologi satelit dan komputer yang juga memengaruhi banyak aspek kemasyarakatan yang lain. Dunia dengan komunikasi elektronik yang seketika, mengguncang institusi-institusi lokal dan pola kehidupan sehari-hari. Pandangan Barat melihat globalisasi sebagai era masa depan; yaitu era yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi secara global yang akan mendatangkan kemakmuran global bagi semua orang. Berbeda dari pandangan tersebut, Mansour Fakih (2001:211) justru menilai, globalisasi adalah kelanjutan dari kolonialisme dan developmentalisme sebelumnya. Globalisasi 5
Observasi dan pengalaman penulis sebagai orang Jawa yang hidup di masa postmodern sekarang ini, menunjukkan bahwa Jawa tidak lagi memiliki kekuatan dalam penolakan yang intensif terhadap kebudayaan yang masuk dari luar. Manusia Jawa sudah kehilangan kejawaannya; secara budaya sebagian besar dari mereka kalau tidak menjadi global (Barat), menjadi Arab (Timur Tengah). Globalisasi yang dalam bentuk praktisnya adalah westernisasi dan arabisasi (yang dibawa gerakan ideologi transnasional) telah ”merenggut” kekuatan kebudayaan Jawa meskipun memiliki tradisi turun-menurun yang mantap. Ungkapan jawa ilang jawané menjadi kenyataan.
85
Jawa Menyiasati Globalisasi
dicurigai sebagai bungkus baru dari imperialisme dan kolonialisme. Pandangan Mansour Fakih itu sejalan dengan pendapat guru besar Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Amien Rais. Dalam wawancara dengan penulis (10 April 2008 di Semarang) ia berpendapat, bahwa globalisasi sebenarnya merupakan kolonialisme baru dan imperialisme baru (neokolonialisme dan neoimperialisme). Globalisasi memunculkan konflik lokal-global, termasuk konflik antara nilai-nilai budaya Jawa dan nilai-nilai budaya global. Kebanyakan manusia Jawa sangat merasakan konflik antara budaya Barat dan budaya Jawa, tapi tidak begitu menyadari bahwa sebenarnya pertemuan budaya Jawa dengan budaya Arab (Timur Tengah) pun mengandung konflik di dalamnya. Konflik ini hanya dirasakan oleh orang-orang yang memunyai perhatian khusus terhadap upaya pelestarian nilainilai budaya Jawa, misalnya perkumpulan kebatinan. Dalam pertemuan-pertemuan komunitas kejawèn terungkap, bahwa kelompok-kelompok kebatnan merasa dijajah oleh agamaagama besar dan menjadi kelompok marginal di negerinya sendiri. Gejala tidak disadarinya pengaruh budaya yang masuk bersamaan dengan agama Islam itu, misalnya tampak dalam penerapan muatan lokal baca tulis Al Quran dalam kurikulum pendidikan beberapa sekolah di Jawa Tengah.6 Bukankah 6 Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Demak menerbitkan buku panduan pendidikan (silabus) untuk muatan lokal baca tulis Alquran. Kadindikpora Demak, HM. Afhan Noor mengemukakan, silabus penting untuk memberikan panduan tata cara mengajar baca tulis Alquran di masing-masing tingkatan. “Silabus diperuntukkan mulai dari SD, SLTP, hingga SLTA. Tujuannya untuk menumbuhkembangkan budaya baca tulis Alquran melalui kurikulum resmi,” jelas dia. Ada 563 SD, 80 SLTP, serta 69 SLTA di Demak, mulai memberlakukan muatan lokal baca tulis Alquran. (Suara Merdeka, 1 September 2011).
86
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
muatan lokal seharusnya merupakan mata pelajaran yang berlandaskan budaya dan kearifan lokal di daerah tempat siswa itu belajar? Jadi, secara ideal muatan lokal untuk siswa di Jawa Tengah paling tepat adalah mata pelajaran tentang budaya dan kearifan lokal Jawa. Begitu pula, untuk siswa di Sumatera Barat misalnya, muatan lokal paling tepat mata pelajaran tentang budaya dan kearifan lokal Minangkabau, di Jawa Barat budaya Sunda, di Jakarta budaya Betawi, dan seterusnya.7 Dalam konteks konflik lokal-global itu, globalisasi merupakan bentuk penjajahan budaya transnasional (baik westernisasi maupun arabisasi), termasuk penjajahan terhadap manusia Jawa. Manusia Jawa telah larut dalam arus global, kehilangan jatidirinya sebagai manusia Jawa. Penyebab kekalahan budaya Jawa tersebut antara lain: 1. Sinkretisme yang melunak; 2. Orientasi pada kearifan individu; 3. Sikap mental “inlander.” Sinkretisme yang melunak terjadi pada masa kini, terutama ketika arus global sangat kuat memengaruhi hampir semua sendi kehidupan. Sinkretisme yang secara ideal merupakan kerja sama sosial-budaya menghadapi musuh bersama, justru menjadi penyebab lunaknya ketahanan budaya Jawa, sehingga tidak kuat menghadapi penetrasi budaya luar. Nilai7 Penyusunan kurikulum muatan lokal atas dasar acuan keadaan masyarakat setempat, seperti tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nnomor 0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987. Pelaksanaannya dijabarkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 173/-C/Kep/M/87 tertanggal 7 Oktober 1987. Menurut surat keputusan tersebut, yang dimaksud dengan kurikulum muatan lokal ialah program pendidikan dengan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam dan lingkungan budaya serta kebutuhan daerah dan wajib dipelajari oleh murid di daerah tersebut.
87
Jawa Menyiasati Globalisasi
nilai budaya Jawa kemudian tergeser oleh nilai-nilai budaya Barat atau nilai-nilai budaya Arab. Barat tidak dijawakan atau Arab tidak dijawakan, tapi Jawa dibaratkan atau Jawa diarabkan. Orientasi pada kearifan individual, yang menjadi salah satu sifat budaya Jawa, juga menjadi faktor pendorong kekalahan budaya Jawa menghadapi globalisasi. Orientasi pada kearifan individual itu menyebabkan perhatian manusia Jawa hanya terfokus pada ketenteraman jiwa, ketenangan hidup pribadi. Akibatnya, mereka kurang sadar terhadap pengaruh budaya luar, terlebih lagi budaya luar itu dibawa oleh agama. Mereka kemudian tidak lagi memiliki kepedulian terhadap pelestarian dan pengembangan budayanya sendiri. Manusia Jawa, seperti pada umumnya masyarakat Indonesia yang oleh Arifin Bey (2003) dinilai masih mengidap penyakit ”inlander.” Mental “inlander” itu antara lain: tidak percaya diri, lebih mengandalkan otot daripada otak, lebih menghargai hal-hal dari luar daripada milik sendiri, mudah terkejut dan terheran-heran (gumunan lan kagètan) menghadapi pengaruh dari luar. Karena itu, bangsa ini memerlukan suatu revolusi mental dan moral untuk membuka jalan bagi pembangunan ekonomi-sosial sehingga dapat meraih kembali rasa hormat dunia.
Kesimpulan Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, kebudayaan Jawa beranekaragam, dapat dibagi ke dalam sub-daerah kebudayaan Jawa. Kalau diteliti lebih mendalam, keanekagaraman itu masih menunjukkan satu pola atau satu sistem kebudayaan Jawa. Meskipun terdiri dari sub-daerah kebudayaan, karena kurangnya literatur tertulis selain sub-daerah kebudayaan Jawa keraton, 88
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
maka tidak dapat dimungkiri bahwa kebudayaan Jawa keraton dinilai sebagai pusat kebudayaan Jawa. Oleh sebab itu, kebanyakan tulisan tentang kebudayaan Jawa pun, termasuk buku ini, menitikberatkan pada kebudayaan Jawa yang berkembang di lingkungan Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Perkembangan kebudayaan Jawa dapat dibagi ke dalam tiga periode, yaitu: masa sebelum Hindu-Buddha, masa HinduBuddha, masa kerajaan Islam, dan masa kini. Di tengah-tengah perkembangan tersebut, terdapat pengaruh agama Kristen, meskipun tidak sebesar pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam. Dalam relasi dengan budaya India (Hindu, Buddha), budaya Arab (Islam), dan pengaruh kekristenan, kebudayaan Jawa selalu dilandasi oleh sifat yang khas, yaitu sinkretisme. Pada masa sebelum Hindu-Buddha, masa Hindu-Buddha, dan masa kerajaan Islam, serta relasi dengan kekristenan, sinkretisme Jawa masih terasa kuat, sehingga muncul istilah Hindu Jawa, Buddha Jawa, Islam Jawa, Kristen Jawa. Perkembangan selanjutnya, budaya Jawa mengalami kemerosotan karena pengaruh yang kuat globalisasi, baik dari Barat maupun dari Arab (Timur Tengah). Itulah Jawa masa kini, Jawa pada era globalisasi, yang larut oleh arus global. Sifat sinkretisme, lentur, fleksibel, dan mudah menyesuaikan diri dengan kebudayaan luar, justru melunak, sehingga manusia tidak lagi memegang teguh dan menerapkan nilai-nilai budaya Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Gerakan-gerakan ideologi transnasional sangat berpengaruh terhadap budaya Jawa. Gerakan transnasional merupakan gerakan lintas-negara, yang bermaksud mengekspor budaya asal gerakan itu ke negara-negara lain. Hal ini seharusnya menyadarkan bangsa Indonesia, bahwa ancaman terhadap budaya bangsa bukan hanya berasal dari kapitalisme Barat, melainkan 89
Jawa Menyiasati Globalisasi
juga dari budaya Arab (Timur Tengah). Ironisnya, banyak manusia Jawa yang kehilangan daya kritis ketika menghadapi gerakan itu, salah satu penyebabnya adalah pandangan sempit (fanatisme sempit) dalam keberagamaan. Pada era globalisasi saat ini, nilai-nilai budaya Jawa sudah ditinggalkan oleh sebagian besar manusia Jawa sendiri, terutama generasi muda. Banyak anak muda yang tidak lagi mengenal nilai-nilai yang selama berabad-abad menjadi norma hidup leluhur mereka. Lebih dari itu, bahkan banyak pula di antara mereka yang menganggap nilai-nilai itu sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Mereka terasing dan tercerabut dari akar-akar budayanya sendiri.8 Dalam kondisi tersebut, diperlukan revolusi mental dan moral manusia Jawa untuk membuka jalan bagi pembangunan ekonomi-sosial sehingga memberikan kontribusi pada bangsa ini untuk meraih kembali rasa hormat dunia.
8 Pengalaman penulis dalam pergaulan sehari-hari menunjukkan kebenaran gejala tersebut. Beberapa kali penulis menjumpai kenyataan, bahwa anak-anak muda, bahkan orang-orang Jawa seusia penulis (generasi kelahiran tahun 1958) tidak lagi fasih berbahasa Jawa dan tidak lagi mengenal ajaran-ajaran Jawa. Sebagai contoh, mereka tidak mengerti arti kata gemujeng (tertawa), tidak dapat membedakan antara arti kata nuwun dan nyuwun, sehingga keliru mengucapkan ”nuwun sèwu” menjadi ”nyuwun sèwu.” Begitu pula dalam pemahaman terhadap ajaran-ajaran Jawa, mereka tidak mengerti makna andhap asor (rendah hati), adigung-adigung-adiguna (menyombongkan kekayaan, kekuatan, dan kekuasaan), dan sebagainya.
90