BAB IV SELF EFFICACY DARI AKTOR-AKTOR ORGANISASI DALAM KESIAPAN IMPLEMENTASI SAP BERBASIS AKRUAL PP NO. 71 TAHUN 2010
Deskripsi dan Analisis Kondisi 4.1 Sumber Daya Manusia 4.1.1 Persepsi Narasumber Terkait Akuntansi Berbasis Akrual Persepsi narasumber dalam penelitian ini lebih menekankan pada pemahaman narasumber mengenai akuntansi berbasis akrual. Adapun narasumber yang diwawancarai terkait pemahaman mereka terkait akuntansi berbasis akrual berjumlah 13 orang (6 orang dari BPKAD dan 7 orang PPK SKPD). Kepala Badan BPKAD, Bapak Orideko I. Burdam (wawancara pada tanggal 05 April 2014) mengungkapkan bahwa sistem akuntansi akrual merupakan program pemerintah, namun tidak menjelaskan secara detail program seperti apa sistem akuntansi berbasis akrual tersebut : “Menurut saya sistem akutansi yang berbasis (akrual), saya kira itu ya program pemerintah yang harus kita terapkan, apapun resiko kita harus banyak belajar dan mengikuti pelatihan untuk bisa dapat menerapkan itu.” Kepala Sub. Bidang Verifikasi BPKAD, Bapak Abu Bakar Saka (wawancara pada tanggal 07 April 2014) berpendapat bahwa akuntansi akrual berkaitan dengan pengakuan pada belanja: “Ya kalo pemahaman saya kan apa namanya, yang lama kan (SAP PP 24/2005) hanya seputar hanya mengatur tentang contohnya. apanya macam belanja gitukan, jadikan yang lama kan dia mengakui kita, kalo kita sudah belanja berarti dia mengakui sebagai belanja tapi kalo yang baru (SAP PP 71/2010) itu kan ketika belum dipertanggungjawabkan, berarti dia belum mengakui sebagai belanja
35
gitukan, tapi kalo sudah di ini dipertanggungjawabkan baru diakui sebagai belanja gitu.” Sistem akuntansi berbasis akrual dalam pemerintahan tidak hanya terkait pembelanjaan APBN/APBD namun berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010 dalam pelaksanaan laporan finansial yaitu terkait dengan pengakuan pendapatan, beban, aset dan ekuitas sedangkan dalam pelaksanaan anggaran yaitu terkait dengan pengakuan pengakuan pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan . Perbedaan yang mendasar terkait antara SAP lama (PP 24 Tahun 2005) dengan SAP yang baru (PP 71 Tahun 2010) pada awal transaksi sebelum dicatat yaitu pengakuan dan belanja, selain itu perbedaan format laporan antara jenis dan komponen laporan keuangan dan hal yang perlu diperhatikan adalah penerapan konsep pengakuan, pengukuran, pelaporan dan pengungkapan. Bapak Abu juga menambahkan SAP berbasis akrual lebih mengarah pemerintah ke sistem akuntansi perusahaan atau swasta “Trus yang kedua kupikir mungkin baru..yang lama itu kan masih bersifat pemerintahan, kalo yang baru harus masuk ke yang seperti di sistem perusahaan gitu kan dia sudah mulai mengarah kesana gitu seperti itu, mungkinkan yang baru lebih jelas lagi begitu”. Berdasarkan pendapat diatas, hal ini sesuai dengan makna yang ditekankan dalam NPM (New Public Management) dalam Ouda (2010) yang memperkenalkan akuntansi akrual sebagai bentuk teknik manajemen sektor privat atau sawsta serta sebagai aplikasi prilaku pasar bebas. Kepala Sub Bagian Verifikasi dan Akuntansi Sekertariat Daerah, Bapak Syamsudin Samuel Imanohos (wawancara pada tanggal 07 April 2014) berpendapat bahwa akuntansi akrual hanya terkait pada pengakuan pendapatan namun tidak berpengaruh terhadap belanja APBD: “…kalo berbasis akrual khususnya kalo untuk masalah belanja saya pikir tidak ada pengaruhnya, cuman untuk pendapatan itu akrual 36
sangat-sangat berpengaruh karena kita mengakui pendapatan masih berupa ketika belum menerima uang, tapi itu sudah kita akui karena ada perjanjian, itu khusus pendapatan yang akrual itu sangat berpengaruh tapi kalo masalah belanja saya pikir itu tidak terlalu berpengaruh.” Pengakuan (recognation) pendapatan dan belanja dalam akuntansi berbasis akrual tidak melihat waktu kas itu diterima atau dibayarkan (KSAP, 2006), artinya tidak hanya pendapatan saja berpengaruh dalam hal pengakuan didalam keterikatan kontrak, namun belanja juga sangat bepengaruh dan sudah diakui sebagai beban atau biaya meskipun belum dibayarkan dan dianggap sebagai hutang. Kepala Sub Bagian keuangan dan Perlengkapan Bappeda, Bapak Rachmat M. Nurjayamika (wawancara pada tanggal 08 April 2014) mengatakan bahwa akuntansi berbasis akrual merupakan SAP yang mengacu pada pelaporan yang dibuat oleh unit akuntansi SKPD: “Pemahaman saya bahwa sekarang, karena keluar SAP yang berbasis akrual itu berarti kalo di SKPD, itu berartikan kita seharusnya SKPD sebagai unit akuntansi. Sehingga pelaporan keuangan ya harusnya mengacu kepada kita yang buat, bukan selama ini yang terjadi itu kan selalu dari badan keuangan yang buat (BPKAD), jadi seolah-olah data yang di SKPD itu tidak terlalu dipercayai dibandingkan data yang mereka harus buat, seharusnya itu kan menurut pemahaman saya mengenai ini bahwa SKPDnya yang sekarang dijadikan basis akuntansi, jadi seharusnya akuntansinya sistem pencatatannya harus ada di SKPD dibandingkan (SAP) yang lama toh.” Berdasarkan PP 71 Tahun 2010, setiap entitas pelaporan (didalam penelitian ini adalah pemkab) wajib melaporkan upaya-upaya dan hasil pencapaian. SKPKD yaitu BPKAD dan SKPD harus bersinergi untuk menghasilkan pelaporan sebagai bentuk tugas dan tanggung jawab masingmasing entitas.
37
Pertanggungjawaban di SKPD khususnya PPK SKPD melaksanakan akuntansi SKPD dan menyusun laporan keuangan SKPD. Sedangkan di SKPKD melakukan pengendalian pelaksanaan APBD yang dilaksanakan oleh SKPD dan menyusun laporan keuangan konsolidasi dari laporan keuangan SKPD menjadi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Namun pemahaman dari narasumber tidak berkaitan dengan konsep tentang akuntansi berbasis akrual namun lebih mengarah ke teknis pelaksanaan yang dilakukan oleh entitas. Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (wawancara pada tanggal 14 April 2014), Bapak Abdul Latif Soltif mengatakan akuntansi akrual berkaitan dengan perbedaan antara yang lama (PP 24 Tahun 2005) dengan yang baru (PP 71 Tahun 2010): “Ya dia perbedaannya mungkin hanya dari apa namanya, dari baganbagan (akuntansi) ini aja, dari format apa namanya ini (SAP), apa dia rumus-rumus perhitungannya ini ya beda, dia ada beda sedikit dengan yang lama.” Perbedaan mendasar SAP baru dan lama sudah dijelaskan sebelumnya, pokok-pokok perbedaan akuntansi pemerintah kas menuju akrual dan akrual sangat banyak, mulai dari pokok-pokok perbedaan kerangka konseptual, hingga pokok-pokok perbedaan PSAP lama dan baru dari PSAP 01 sampai dengan PSAP 11. Narasumber tidak menunjukan konsep secara jelas terkait akuntansi berbasis akrual dan tidak menjelaskan apa saja yang menjadi pembeda antara PP 24 Tahun 2005 dan PP 71 tahun 2010. Perbedaan antara akuntansi berbasis akrual dan akuntansi berbasis kas menurut Ibu Rahayu selaku Kepala Sub. Bidang Pelaporan Keuangan BPKAD (wawancara pada tanggal 07 April 2014) perbedaan antara akuntansi berbasis kas dan akuntansi berbasis akrual ada pada pengakuan seperti yang ia contohkan pada penerimaan secara kas dan piutang:
38
“Jadi saya hanya gambarannya hanya sedikit-sedikit saja yang saya tau kas basic dan akrual itu, saya sampel kan misalnya seperti penerimaan, pada saat penerimaan itu diakui sepuluh persen, pada saat tidak tertagih misalnya sepu..eh..lima persen yang tertagih maka lima persen yang tidak tertagih secara otomatis diakui secara keseluruhan. Kalo misalnya kas basic, yang diterima secara kas saja yang diakui itu saja gambaran yang saya tau antara akrual dan kas basic bedanya.” Seperti penjelasan sebelumnya bahwa pada dasarnya akuntansi berbasis akrual transaksi ekonomi dicatat, disajikan tanpa melihat waktu kas atau setara kas itu diterima atau dibayarkan. Berdasarkan contoh transaksi yang menjadi pembeda antara basis kas dan akrual yang diungkapkan narasumber sudah sesuai dengan konsep dasar sistem akuntansi berbasis akrual. Hal ini juga diungkapkan secara teknis oleh Bapak Amril Laude selaku Plt. Kepala Sub Bagian Keuangan Inspektorat (wawancara pada tanggal 10 April 2014) akuntansi berbasis akrual terkait pengakuan dan pencatatan: “Sejauh ini sebenarnya saya kan masih baru, tapi sejauh pemahaman saya menyangkut itu berupa akuntansi berbasis akrual diterapkan kalo tidak salah, wajib oleh seluruh Pemda, dua ribu lima belas ya diterapkan toh? ya jadi sejauh pemahaman saya kalo misalnya sistem akuntansi berbasis akrual pencatatannya diakui setelah terjadi apa namanya seratus persen. Misalnya pekerjaan fisik proyek bangunannya seratus persen walaupun pencairan SP2Dnya belum keluar tapi sudah diakui sebagai pengeluaran atau belanja modal.” Berdasarkan pemahaman kedua narasumber akuntansi akrual berkaitan dengan pengakuan pendapatan dan belanja tanpa melihat kas atau setara kas diterima atau dibayarkan. Menurut Ouda ada 3 bentuk pilihan transisi ke akuntansi akrual yaitu: 1. Hanya pelaporan yang bersifat akrual 2. Merubah pencatatan sampai dengan pelaporan akuntansi ke akuntansi berbasis akrual
39
3. Merubah pengelolaan keuangan secara keseluruhan (termasuk anggaran) ke akrual basis Berdasarkan pendapat kedua narasumber bentuk transisi akuntansi akrual ada pada bentuk pilihan yang kedua. Dari hasil wawancara, sebagian besar narasumber kurang memahami dasar sistem akuntansi berbasis akrual. Ada 5 (lima) narasumber belum mempunyai pemahaman yang benar terkait akuntansi berbasis akrual. Ada 6 (enam) narasumber belum mempunyai pemahaman terkait akuntansi berbasis akrual, sedangkan sisanya 2 narasumber sudah punya pemahaman mengenai akuntansi berbasis akrual. Kriteria pemahaman akuntansi berbasis akrual yaitu: Pertama, narasumber dapat memahami akuntansi berbasis akrual adalah suatu basis akuntansi dimana transaksi ekonomi dan peristiwa lainnya diakui, dicatat, disajikan dalam laporan keuangan pada saat terjadinnya transaksi tersebut tanpa memperhatikan waktu kas atau setara kas diterima atau dibayarkan (KSAP , 2006). Kedua, narasumber memahami perbedaan antara akuntansi berbasis akrual dengan akuntansi berbasis kas Perbedaan keduanya yang terjadi adalah pada saat pengakuan (recognation) baik diterima atau dibayarkan (Connolly dan Hyndman, 2006). Ketiga, narasumber memahami SAP berbasis akrual berdasarkan PP No.71 Tahun 2010 adalah SAP yang mengakui pendapatan, beban, aset dan utang, dan ekuitas dalam laporan finansial berbasis akrual, serta mengakui pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam pelaporan pelaksanaan anggaran berdasarkan basis yang ditetapkan APBN/APBD. Narasumber dapat dianggap punya pemahaman yang benar apabila salah satu kriteria ini dapat dijelaskan dengan baik. Sistem akuntansi berbasis akrual belum banyak dikenal di pemerintahan Indonesia. Kebanyakan narasumber belum menyadari betapa pentingnya pergantian standar akuntansi pemerintah. Mereka beranggapan bahwa sistem 40
akuntansi berbasis akrual merupakan sesuatu hal yang baru di pemerintahan. Akuntansi berbasis akrual yang diimplementasikan ke sektor publik merupakan program pemerintah dalam rangka mereformasi keuangan negara. Banyaknya
narasumber
belum
mempunyai
pemahaman tentang
akuntansi berbasis akrual disebabkan mereka tidak mempunyai pendidikan formal akuntansi, sehingga orang akan cenderung menghindari sesuatu hal diluar batas kemampuan mereka, artinya karena keterbatasan pengetahuan tentang akuntansi berbasis akrual narasumber kesulitan untuk memberikan jawaban yang diharapkan oleh peneliti. Sehingga penilaian magnitude dari narasumber itu sangat rendah. Tidak memiliki pengalaman bekerja didalam perusahaan sehingga tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang akuntansi
berbasis
akrual
menyebabkan
kurangnya
keyakinan
diri
narasumber terhadap apa yang diungkapkan dan narasumber tidak mampu memberikan jawaban yang diharapkan oleh peneliti, sehingga penilaian generality bernilai sangat rendah. Narasumber kurang pendalaman tentang akuntansi berbasis akrual akan menyebabkan berkurang tingkat harapan untuk melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual dengan baik, sehingga penilaian strenght sangat rendah.
4.1.2
Ketersediaan SDM Aparatur Berlatar Belakang Pendidikan Akuntansi
Keterkaitan dengan pegawai tingkat pendidikan pegawai menurut Hepworth (2003), agar dapat mengimplementasikan dan mengoperasikan akuntansi berbasis akrual, pemerintah harus mempunyai tenaga staf akuntansi dari profesi akuntansi (accountancy profession). Berbagai literatur (Ouda, 2004; OECD, 2003; Vanieris et al., 2003) dalam Eriotis et al (2011) menyarankan perlunya memberikan perhatian pada tingkat pendidikan 41
pegawai, karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi para pegawai mempunyai ekpektasi yang besar untuk menggunakan dan mendapatkan manfaat dari teknik akuntansi yang baru serta mendorong pemerintah untuk mengimplementasikannya. Ketersediaan SDM aparatur dalam penelitian ini lebih ditekankan pada jumlah dan tingkat pendidikan pegawai bagian keuangan berlatar belakang akuntansi maupun keuangan di BPKAD maupun SKPD, baik itu staf akuntansi
maupun
kasubbag
keuangan.
Jumlah
narasumber
yang
diwawancarai terkait ketersediaan SDM berlatar belakang akuntansi dan keuangan ada 10 orang (3 orang dari BPKAD dan 7 orang dari PPK SKPD) Kepala Badan BPKAD, Bapak Orideko I. Burdam (wawancara pada tanggal 05 April 2014) mengungkapkan bahwa jumlah SDM aparatur di BPKAD kebanyakan bukan berlatar belakang akuntansi: Ibu Zahara selaku Kepala Bagian Akuntansi BPKAD (wawancara pada tanggal 03 April 2014) mengatakan bahwa di Bagian akuntansi BPKAD untuk kepala seksi sebagian besar level pendidikannya sarjana akuntansi, hanya kebutuhan staf yang berlatar belakang akuntansi masih yang masih kurang: “Kalau beberapa sudah akuntansi, seperti kepala seksinya itu semuanya S1 akuntansi cuman satunya kemaren dari D3 akuntansi.. Untuk kepala seksinya pas, Cuma staf-stafnya dibawah seksi-seksi ini yang masih kurang.” Berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006, SKPKD (dalam penelitian ini mengacu pada BPKAD Pemkab Raja Ampat) merupakan pusat pengelolaan keuangan daerah untuk melaksanakan kegiatan seperti perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah. Artinya orang yang melaksanakan kegiatan yang disebutkan adalah orang yang kompeten dalam keuangan.
42
Orang-orang yang kompeten dibidang keuangan adalah latar belakang pendidikannya berasal dari sarjana akuntansi dan keuangan. sehingga BPKAD seharusnya perlu diisi oleh pegawai yang berlatar belakang akuntansi. Bapak Fiktor Mayor selaku Sekretaris BPKAD (wawancara pada tanggal 09 April 2014) mengatakan bahwa BPKAD masih memerlukan tenaga yang berlatar belakang akuntansi karena selama ini penambahan pegawai diperbantukan diambil dari distrik-distrik. BPKAD masih membutuhkan tenaga berkualifikasi akuntansi untuk ditempatkan di level staf. Di SKPD juga dibutuhkan tenaga akuntansi untukditempatkan di bagian fungsi tata usaha keuangan SKPD. Berdasarkan pendapat dari narasumber PPK SKPD, di beberapa SKPD-SKPD tenaga akuntansi yang belum terpenihui seperti yang diungkapkan Bapak Syamsudin Samuel Imanohos selaku Kepala Sub Bagian Verifikasi dan Akuntansi Sekertariat Daerah (wawancara pada tanggal 07 April 2014) pegawai yang di bagian keuangan Sekda berlatar belakang akuntansi sudah mencukupi, senada dengan apa yang diungkapkan Bapak Syamsudin, Kepala Sub Bagian keuangan dan Perlengkapan Dinas Pendapatan Daerah, Ibu Jumyati Kapitan Laut (wawancara pada tanggal 08 April 2014) kebutuhan staf yang berlatar belakang akuntansi di bagian keuangan Dinas Pendapatan sudah terpenuhi: “Sudah memenuhi, sebenarnya sih kalo mau ditambah justru lebih bagus untuk peningkatan SDM.” Tidak semua SKPD terpenuhi kebutuhan tenaga akuntansi, masih banyak SKPD yang membutuhkan tenaga akuntansi untuk ditempatkan di bagian keuangan. Berdasarkan kondisi dilapangan di Pemkab Raja Ampat untuk penempatan jabatan tidak diharus berdasarkan kualifikasi pendidikan yang dimiliki, karena keterbatasan SDM ada yang terjun ke bidang keuangan 43
meskipun bukan berlatarbelakang akuntansi seperti yang diungkapkan Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan KB, Ibu Fransiska Berselina Msen (wawancara pada tanggal 16 April 2014): “Perlu juga, ya kalo kita masih perlu untuk itu bendahara penerima, bendahara aset itu, kita yang ada juga bendahara pengeluaran dengan ini maksudnya jabatannya sudah diisi orangnya ada cuma untuk meningkatkan pemahaman itu yang masih kurang. perlu belajar lagi ya itu sangat perlu (berpendidikan akuntansi) kita saja bidang perikanan bisa terjun ke akuntansi keuangan.” Tenaga akuntansi tidak hanya dibutuhkan di BPKAD saja, akan tetapi setiap fungsi keuangan di SKPD juga harus memiliki tenaga akuntansi yang kompeten dibidangnya. Berdasarkan pendapat dari narasumber dapat disimpulkan bahwa ketersediaan tenaga akuntansi masih tidak merata di Raja Ampat dan masih dibutuhkan tenaga akuntansi yang sesuai dengan kualifikasinya (qualified accountants). 8 (Delapan) narasumber yang baik dari BPKAD maupun SKPD menyatakan bahwa kebutuhan akan tenaga akuntansi masih sangat diperlukan karena minimnya SDM akuntansi di Raja Ampat sehingga pegawai-pegawai non keuangan menempati posisi di keuangan atau tidak sesuai dengan kualifikasi yang dimiliki. Sisanya 2(dua) narasumber berpendapat bahwa SKPD mereka untuk tenaga akuntansi sudah terpenuhi. Dalam penelitian ini tidak semua SKPD diambil sebagai narasumber, oleh karena itu tidak menutup kemungkinan bahwa SKPD lainnya bisa saja kebutuhan tenaga akuntansinya terpenuhi. Di BPKAD sendiri pada tiap-tiap bidang untuk level jabatan staf masih membutuhkan pegawai yang berlatar belakang akuntansi, karena baik honor maupun tenaga pegawai yang diperbantukan dari distrik bukan berlatar belakang akuntansi. Sedangkan di beberapa SKPD pada bagian keuangan masih sangat dibutuhkan pegawai yang berlatar belakang akuntansi karena 44
posisi jabatan baik kepala seksi maupun stafnya hampir keseluruhan bukan berlatar belakang akuntansi seperti kasusnya di Inspektorat seperti yang di ungkapkan Bapak Amril Laude selaku Plt. Kepala Sub Bagian Keuangan Inspektorat (wawancara pada tanggal 10 April 2014): “Jadi kalo menurut saya penambahan aparat pengawas khususnya inspektorat ya, jadi kita dalam rangka pengawasan masih kurang aparatur, jumlah pegawainya kita saja baru duapuluh empat. Jadi dibidang-bidang atau disini disebut dengan inspektorat pembantu wilayah itu semuanya kepala, kepala seksi dan kepala bidang stafstafnya itu belum ada, karena kita memang kekurangan aparat.” Menurut Simanjuntak (2010), untuk menerapkan akuntansi berbasis akrual, Pemerintah sangat membutuhkan SDM yang mampu menguasai akuntansi sektor publik. Orang ahli (expert) dalam standar akuntansi adalah profesi akuntansi dan juga sudah terlatih dalam manajemen keuangan sektor privat, apabila pemerintah jarang berhubungan dengan profesi akuntansi dan jumlah tenaga akuntan yang sedikit akan sangat sulit memberikan keputusan yang tepat dalam mengaplikasikan akuntansi berbasis akrual (Hepworth, 2003) . Akuntansi berbasis akrual diadopsi dari standar akuntansi sektor privat dan di aplikasikan ke sektor publik, sehingga akuntansi berbasis akrual berbeda dengan akuntansi di pemerintahan. Pegawai pemerintah yang bukan berlatar belakang akuntansi pada umumnya tidak mempunyai kemampuan di bidang akuntansi dan tidak mempunyai pengalaman di bidang manajemen keuangan sektor swasta. Akuntansi berbasis akrual untuk sektor publik hanya bisa didapatkan melalui pendidikan dan pelatihan dari profesi akuntansi maupun institusi lainnya seperti lembaga pendidikan dan perguruan tinggi. Terbatasnya SDM aparatur berlatar belakang akuntansi di Pemkab Raja Ampat bisa disebabkan karena:
Pertama, permintaan kebutuhan jumlah
pegawai yang berpendidikan akuntansi untuk mengisi formasi bagian 45
keuangan belum tersalurkan ke pemerintah pusat karena budaya politik yang menekankan pada permintaan “putra daerah” atau “penduduk lokal”. Kedua, minimnya jumlah SDM Papua yang berpendidikan akuntansi untuk bekerja di pemerintahan. Minimnya tenaga akuntansi memicu inkompetensi pada bidang keuangan, pemerintah daerah kesulitan untuk mencari tenaga akuntansi dari penduduk lokal sehingga memicu penempatan jabatan tidak sesuai kompetensi berbasis pendidikan di bidangnya, sehingga penilaian secara magnitude terhadap ketersediaan SDM rendah. Akibat inkompetensi inilah akan mengurangi keyakinan diri bahwa pemkab dapat melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual dengan baik dan belum ada pemecahan masalah terkait minimnya tenaga akuntansi, sehingga penilaian generality rendah. Keterbatasan tenaga akuntansi dan inkompetensi di bidang keuangan akan
menyebabkan
turunnya
tingkat
ekspektasi
agar
pelaksanaan
implementasi SAP berbasis akrual berjalan dengan baik, sehingga penilaian strenght rendah. 4.1.3
Pendidikan dan Pelatihan Teknis Terkait Implementasi SAP berbasis akrual
Pemberian pelatihan dilaksanakan untuk membimbing manajemen organisasi menengah kebawah agar dapat menggunakan inovasi dengan baik(Vrakking, 1995). Pelatihan juga akan lebih berguna untuk membangun pemahaman yang lebih baik tentang pekerjaan karyawan, dimana posisi personil ditempatkan (Pabedinskaite, 2010). Pendidikan maupun pelatihan teknis implementasi SAP berbasis akrual ditekankan pada Kasubbag Keuangan selaku Pejabat Penatausahaan Keuangan maupun staf bagian keuangan di setiap SKPD lingkungan Pemkab Raja Ampat. Narasumber yang diwawancarai berjumlah 10 Orang (3 orang dari BPKAD dan 7 orang dari PPK SKPD).
46
Berdasarkan informasi yang diberikan narasumber, pelatihan teknis akuntansi berbasis akrual belum dilaksanakan di Pemkab Raja
Ampat.
Kepala Bidang Akuntansi BPKAD, Ibu Zahara (wawancara pada tanggal 03 April 2014) mengatakan pelatihan teknis terkait SAP berbasis akrual (PP 71/2010) belum dilaksanakan: “Belum, rencana bulan Juni ini (2014), kita (BPKAD) kan disini sebenarnya hanya menghimpun sebenarnya lebih teknis kan itu di SKPD-SKPDnya” Pelatihan teknis akuntansi berbasis akrual harus dilakukan secara menyeluruh ke setiap SKPD di Pemkab Raja Ampat. Namun ada juga pegawai yang sudah mendapatkan pelatihan teknis akuntansi berbasis akrual seperti yang di ungkapkan Kepala Sub. Bidang Pelaporan Keuangan BPKAD, Ibu Rahayu (wawancara pada tanggal 07 April 2014) bahwa ia pernah mengikuti kursus keuangan daerah untuk akuntansi berbasis akrual secara perorangan: “Kalo untuk pemkab sendiri belum, untuk secara keseluruhan per SKPD belum, kalo saya sendiri saya sudah pernah, dan itu tahun kemaren. Kursus keuangan daerah waktu itu di Unhas tahun dua ribu tiga belas sekitar bulan enam, itu menyangkut akrual” Pemkab Raja Ampat tidak mewajibkan untuk menunggu adanya pelatihan teknis secara resmi, namun pembelajaran tentang akuntansi berbasis akrual bisa dilakukan melalui izin belajar atau tugas belajar, bisa juga dilakukan belajar sendiri melalui buku maupun media lainnya seperti yang diungkapkan Bapak Rachmat M. Nurjayamika selaku Kepala Sub Bidang Keuangan dan Perlengkapan Bappeda (wawancara pada tanggal 08 April 2014): “Kalo untuk SAP belum ya, khusus untuk ini ya, untuk pelatihan mengenai ini (PP 71/2010) ya kalo dikita, rata-rata kita belajarnya otodidak aja, begitu kita dengar kita harus mencari informasi diluar
47
sesuai dengan kita punya tugas, kita lalu cari mungkin ada aturannya, lalu kita coba-coba belajar untuk itu.” Lain halnya dengan apa yang diungkapkan oleh Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Bapak Abdul Latif Soltif (wawancara pada tanggal 14 April 2014) Pemkab Raja Ampat pernah mengadakan kegiatan pelatihan keuangan berbasis akrual pelaksanaan kegiatan berada diluar Pemkab di tahun 2013 : “Pemkab belum, oo Pemkab sudah pernah adakan, tapi adakan tapi berasal dari luar seperti dasar-dasar akuntansi penyusunan laporan tahunan SKPD, ya berbasis akrual, desember eh oktober tahun dua ribu tiga belas kemaren, berdua dengan Kasubag Umum.” Pemkab Raja Ampat belum pernah mengadakan pelatihan teknis akuntansi berbasis akrual secara menyeluruh SKPD dan belum ada informasi secara resmi terkait pelaksanaan pelatihan teknis akuntansi berbasis akrual di Raja Ampat. Semua narasumber mengungkapkan bahwa pelaksanaan diklat teknis SAP berbasis akrual belum dilakukan di Raja Ampat. Ada 8 (tujuh) narasumber yang menyatakan bahwa mereka belum mendapatkan pelatihan teknis, sisanya 2 (dua) orang narasumber beranggapan bahwa mereka sudah pernah mengikuti pelatihan teknis akuntansi berbasis akrual dari luar. Implementasi SAP berbasis akrual memerlukan diklat teknis, karena pegawai keuangan harus mempunyai kemampuan dan ketrampilan dalam pengelolaan keuangan berbasis akrual. Penyelenggaraan pelatihan maupun pendidikan teknis SAP berbasis akrual yang diakui secara resmi adalah KSAP, Kemendagri, Kemenkeu, BPKP maupun badan swasta yang diberikan kewenangan untuk mengadakan pendidikan, pelatihan maupun bimbingan teknis. Pelatihan teknis akuntansi berbasis menurut Hepworth (2003) harus ada kemauan dari pengelola keuangan untuk mengikuti program berupa pendidikan dan pelatihan secara komprehensif yang dilaksanakan oleh badan profesi akuntansi maupun institusi lainnya. 48
Dengan bertambahnya format laporan akan membawa dampak bagi para pengelola keuangan pemda dalam menyusun laporan keuangan berbasis akrual, sehingga selain diperlukan pegawai yang mempunyai kapasitas tenaga akuntansi juga diperlukan pendidikan maupun pelatihan (diklat) teknis untuk pengelolaan keuangan. Sedangkan setengah tahun waktu yang berjalan belum ada pelaksanaan pelatihan teknis. Dengan kondisi seperti ini, dampaknya bagi pemerintah kabupaten Raja Ampat adalah keterbatasan waktu untuk bisa memperkenalkan dan melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual di tahun 2015 mendatang. Belum adanya pelatihan teknis akuntansi berbasis akrual secara menyeluruh di Pemkab Raja Ampat akibat
terlambatnya informasi
menyebabkan pemkab kesulitan mengatur jadwal karena keterbatasan waktu dalam memperkenalkan akuntansi berbasis akrual dan akan mengakibatkan pelaksanaan implementasi tidak akan berjalan efektif, sehingga penilaian magnitude adalah sangat rendah. Belum adanya pelatihan pelatihan teknis akibat keterlambatan informasi akan mengurangi tingkat keyakinan pemkab dalam melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian generality adalah sangat rendah. Belum adanya kegiatan pelatihan teknis akibat keterlambatan informasi sehingga harapan untuk melaksanakan implementasi dengan baik berkurang, sehingga penilaian strenght adalah sangat rendah.
4.1.4
Ketrampilan Pengelola Keuangan Daerah BPKAD dan SKPD Dalam Menyusun Laporan Keuangan
Ketrampilan
pengelolaan
keuangan
sangat
dibutuhkan
dalam
implementasi akuntansi berbasis akrual. Pengelola keuangan harus mempunyai kompetensi profesional seperti pengetahuan, pengalaman, metode, dana, teknologi (Pabedinskaite, 2010) sehingga dapat mengelola 49
keuangan dengan baik. Hepworth (2003) berpendapat bahwa setiap pengelola keuangan harus mempunyai kapasitas dan kompetensi untuk menguasai standar akuntansi. Sehingga bisa dikatakan untuk melaksanakan implementasi berbasis akrual dibutuhkan ketrampilan dari pengelola keuangan berupa pengetahuan, pengalaman dan kompetensi profesional lainnya. Laporan keuangan sangat penting untuk melihat informasi yang menggambarkan kinerja pemerintah selama satu periode, nantinya digunakan untuk pembuatan APBD selanjutnya. Penyusunan laporan keuangan daerah format standar akuntansi terdiri dari: LRA, Neraca, Laporan Arus Kas dan CALK. Oleh karena itu, pengelola keuangan baik pejabat BPKAD maupun PPK SKPD harus mempunyai kompetensi profesional dan mampu menguasai standar. Adapun narasumber yang diwawancarai berjumlah 10 orang (3 orang dari BPKAD dan 7 orang dari PPK SKPD). Kepala Bagian Akuntansi BPKAD, Ibu Zahara (wawancara pada tanggal 03 April 2014) secara spesifik mengatakan ada tiga seksi di bagian akuntansi yaitu sie. verifikasi, sie. penyusunan laporan keuangan dan sie. akuntansi dan keuangan, sehingga tidak semua memahami penyusunan laporan keuangan: “Ada yang sebagian sudah paham ada yang belum, disinikan (bagian Akuntansi BPKAD) kita tiga bidang eh, tiga seksi: seksi verifikasi, seksi penyusunan laporan (keuangan), sama seksi akuntansi jadi tidak semua itu memahami penyusunan laporan itu, cuma tahap-tahap itu kan masing-masing sesuai dengan seksi-seksinya seperti verifikasi, akuntansi, penyusunan laporan (keuangan).” Penyusunan laporan keuangan berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 di pegang oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yaitu kepala SKPKD atau kepala badan BPKAD yang bertanggung jawab menyusun laporan keuangan pemerintah daerah dibantu oleh bidang akuntansi. Di setiap daerah
struktur organisasi pemerintahan berbeda-beda, didalam
50
Pemkab Raja Ampat, bidang atau seksi penyusun laporan berada dibawah bidang akuntansi. Untuk melaksanakan pelaporan keuangan daerah menjadi tanggung jawab seksi pelaporan keuangan. Kepala Sub. Bidang Pelaporan Keuangan BPKAD, Ibu Rahayu (wawancara pada tanggal 07 April 2014) berpendapat bahwa para staf mempunyai semangat untuk menyusun laporan keuangan, karena sudah diperlengkapi dengan studi banding ke daerah lain, sehingga membantu mereka menyusun LKPD: “Kalo semangatnya di kita ada pak, kita kalo dikasih pelatihan dikasih sosialisasi jadi kita punya semangat untuk membuat LKPD itu ada dan kita sudah tergambar kita pernah studi banding ke daerah lain dan kita akui punya semangat untuk itu (menyusun LKPD) betul-betul.. Ibu Rahayu juga menambahkan untuk menyusun laporan keuangan perlu dibentuk suatu tim yang memahami kebijakan akuntansi yang berlaku: “Kan penyusunan LKPD nda mungkin menyusun sendiri-sendiri, otomatis harus menggunakan Tim. Jadi pada saat penyusunan LKPD itu biasanya kita menunjuk orang-orang yang sudah mengerti betul tentang kebijakan akuntansi yang berlaku, penggunaannya bagaimana, jadi kalo misalnya masalah kemauan dengan ini semua ada, kita kemauan itu besar sekali, kita tau posisi kita disini.” Berdasarkan apa yang diungkapkan narasumber bahwa penyusunan laporan keuangan harus dibentuk suatu tim akan memunculkan suatu pertanyaan apa peran atau tupoksi dari seksi penyusun laporan sehingga dibentuk suatu tim untuk menyusun laporan keuangan. Menurut Ibu Zahara (wawancara kedua pada tanggal 23 April 2014) proses penyusunan laporan keuangan di BPKAD Raja Ampat digambarkan sebagai berikut: 1. Laporan pertanggungjawaban keuangan tiap SKPD dikumpulkan ke bidang akuntansi, lalu dilakukan pemeriksaan dan rekonsiliasi bank. Setelah itu, dilakukan pencocokan dengan data keuangan di SKPD, 51
apabila ada kesalahan pencatatan biasanya berkaitan dengan UP (Uang Persediaan)/GU (Ganti Uang)/TU (Tambah Uang). Masalah yang sering terjadi ketika sudah dilakukan penginputan di SKPD ternyata belum disetor oleh bendahara SKPD, sehingga dilakukan pencocokan ulang. Apabila sudah cocok, lalu laporan tersebut dihimpun (konsolidasi) ditambah dengan laporan dari aset menjadi laporan keuangan berbentuk draft yang disusun oleh tim bidang akuntansi. 2. Draft laporan keuangan di reviu oleh Badan Inspektorat. Proses reviu ini berlangsung kurang lebih sepuluh hari. Apabila ada kesalahan maka dilaporkan kembali ke BPKAD, apabila tidak kesalahan draft dan reviu disusun menjadi laporan keuangan yang belum diaudit, kemudian diserahkan ke BPK pada akhir maret dan selambat-lambatnya 3 bulan berikutnya yaitu di bulan Juni. 3. Laporan keuangan yang sudah diaudit itu kemudian dimasukan dalam peraturan daerah Raja Ampat sedangkan rincian dari laporan keuangan dijadikan peraturan bupati Raja Ampat. Berdasarkan gambaran tentang proses penyusunan LKPD dari Ibu Zahara sesuai dengan apa yang di katakan Hepworth (2003) bahwa, laporan keuangan tahunan pemerintah yang telah di audit dari setiap instansi yang harus diserahkan ke legislatif dan diperiksa kembali dengan cermat dan dirinci kembali agar bisa dilakukan pengambilan keputusan secara tepat. Plt. Kepala Sub Bagian Keuangan Inspektorat, Bapak Amril Laude (wawancara pada tanggal 10 April 2014) berpendapat bahwa kebanyakan staf bukan berlatar belakang akuntansi sehingga, di Inspektorat hanya sebagian saja bidang keuangan yang mampu menyusun laporan keuangan: “Kalo saya pribadi, mungkin SDMnya inspektorat ini kebanyakan basicnya bukan akuntansi jadi banyak yang dari sosial, jadi
52
pemahaman menyusun laporan keuangan cuman mungkin yah kirakira sekitar lima puluh persen lah” Peran dari Inspektorat selaku badan pengawas pemerintah daerah sangat penting apalagi menyangkut penyusunan laporan keuangan, para aparatur pengawas harus memahami peran dan fungsi akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan, apabila pengendalian internal terhadap pengelolaan keuangan bisa dilakukan secara efektif. Ibu Fransiska Berselina Msen selaku Kasubbag Keuangan dan Perlengkapan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB (wawancara pada tanggal 16 April 2014) mengatakan bahwa bagian keuangan SKPD sudah bisa menyusun Laporan Keuangan. Beliau juga menjelaskan gambaran proses penyusunan laporan keuangan di SKPD melalui beberapa tahapan sebagai berikut: 1.
SKPD menerima DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran), dan permintaan DPA kemudian di proses di BPKAD lalu dibuatlah SPD (Surat Penyediaan Dana), kemudian SKPD membuat SPP (Surat Permintaan Pembayaran), setelah itu PPK SKPD menerbitkan SPM (Surat Perintah Membayar) UP/TU/GU untuk di proses kembali ke BPKAD, setelah nilai SPM disetujui, BPKAD kemudian membuat SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana).
2.
Kedua, SKPD membuat SPJ (Surat Pertanggungjawaban) penggunaan anggaran perbulan, dimana
untuk koordinasikan dengan BPKAD,
sampai dengan akhir tahun SPJ itu direkap dan kasubag keuangan SKPD membuat laporan keuangan (CALK, Jurnal Penerimaan dengan Pengeluaran, Rekapitulasi SPJ, Neraca, LRA, aset terakhir. Biasanya LK dibuat per semester dari Januari s/d Juni semester dan berikutnya Juli s/d Desember) diserahkan ke BPKAD.
53
Berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006, PPK SKPD mempunyai peran penting dalam fungsi tata usaha keuangan antara lain melaksanakan akuntansi SKPD dan menyiapkan laporan keuangan SKPD. Sehingga berdasarkan pemahaman narasumber diatas sesuai dengan peraturan pengelolaan keuangan daerah yang berlaku. Berdasarkan wawancara, hampir semua narasumber berpendapat bahwa mereka dapat menyusun laporan keuangan. Penyusunan laporan keuangan pada tahun 2014 dilakukan tanpa pendampingan dari BPKP dan proses penyusunan laporan keuangan baik di BPKAD maupun SKPD sudah mempunyai prosedur operasional standar pengelolaan keuangan daerah. Di BPKAD tidak berjalannya peran dari seksi penyusun laporan keuangan sehingga dibentuk sebuah tim penyusun laporan keuangan, kurangnya peran dan tanggung jawab dari seksi penyusun laporan keuangan dan adanya studi banding ke pemda lain menunjukan Pemkab Raja Ampat masih harus membenahi dalam pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Sedangkan di SKPD masih terjadi masalah teknis seperti selisih nilai, adanya pergantian posisi jabatan yang menyebabkan sulitnya mendapatkan informasi dari pejabat yang terdahulu, selain itu adanya para pegawai bukan berlatar akuntansi yang menyebabkan kurang atau terlambatnya pemahaman staf dalam penyusunan laporan keuangan. Untuk itu diperlukan sosialisasi maupun memperbanyak pelatihan menjadi tolak ukur staf agar dapat menyusun keuangan dengan baik. Menurut Klein dan Sora (1996) salah satu kemajuan dalam iklim implementasi yang kuat adalah perlunya ketrampilan pegawai dalam menggunakan inovasi. Pabedinskaite (2010) mengatakan bahwa faktor utama kesuksesan suatu implementasi dilihat dari pengetahuan, workmanship, kecakapan maupun keahlian seorang manajer. Pengelola keuangan bukan hanya mampu mengelola keuangan dengan baik namun juga peka terhadap 54
permasalahan di sekitarnya sehingga masalah sekecil apapun bisa teratasi. Para pegawai BPKAD dan penatausahaan keuangan SKPD Pemkab Raja Ampat belum menguasai teknik penyusunan laporan keuangan berbasis akrual oleh karena itu, salah satu upaya yang bisa diberikan adalah memberikan pelatihan berupa bimbingan teknis pengelolaan keuangan daerah untuk meningkatkan ketrampilan pengelola keuangan. Kemampuan menyusun laporan keuangan tidak berdasarkan peran dan tanggung jawab suatu bidang, namun dilaksanakan secara kolektif tim, melaksanakan studi banding ke luar daerah, kendala-kendala teknis yang terjadi di SKPD menunjukan bahwa pemkab masih perlu melakukan pembenahan dalam pengelolaan keuangan daerah. Perlunya pembenahan pengelolaan keuangan daerah pemkab akan semakin menjadi tidak mudah dalam pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual. Ditambah dengan pemkab masih belum menguasai teknik penyusunan laporan keuangan berbasis akrual, sehingga penilaian magnitude rendah. Masih diperlukan pembenahan pengelolaan keuangan dan belum adanya penguasaan teknik penyusunan
laporan
keuangan
berbasis
akrual
akan
menyebabkan
berkurangnya tingkat keyakinan diri atas apa yang dilakukan maupun apa yang ingin dicapai dalam pelaksanaan impelementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian generality rendah. Kurangnya pengetahuan tentang teknik akuntansi berbasis akrual akan menyebabkan kurangnya tingkat ekspektasi dalam pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian strenght rendah. Faktor pertama yakni SDM pada Pemkab Raja Ampat menunjukan bahwa: a. Pemahaman terkait akuntansi berbasis akrual belum ada. b. Ketersediaan tenaga kerja berkualifikasi akuntansi dan keuangan sangat minim. c. Penyelenggaraan pelatihan SAP berbasis akrual masih belum ada. 55
d. Pegawai keuangan hanya terampil mengelola keuangan berbasis kas namun belum mempunyai ketrampilan mengelola keuangan berbasis akrual. Sehingga penilaian efficacy aktor-aktor organisasi terhadap faktor SDM sangat rendah.
4.2 Komitmen Organisasi 4.2.1
Sosialisasi SAP Berbasis Akrual (PP No. 71 Tahun 2010) Salah satu faktor kunci untuk melakukan perubahan, perlu mendapat
dukungan dari manajemen pusat, manajemen lini, pemimpin dan anggota organisasi lainnya (Vrakking, 1995; Weiner, 2009; Pabedinskaite, 2010; Shirouyehzad, et.al, 2011). Salah satu wujud dukungan yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memperkenalkan akuntansi berbasis akrual adalah melakukan sosialisasi. Sosialisasi serta implementasi SAP ini harus mendapat dukungan dari pimpinan daerah. Dengan adanya PP No. 71 Tahun 2010 dan terbitnya Permendagri No. 64 Tahun 2013 tentang Penerapan SAP Berbasis Akrual di Pemerintah Daerah, maka pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual sudah dapat disosialisasikan ke setiap daerah. Paparan
sosialisasi
akuntansi
berbasis
akrual
yang
dilakukan
Kemendagri pada bulan Maret 2014 terkait Permendagri No. 64 Tahun 2013 antara lain: (1) akuntansi aset tetap, (2) akuntansi persediaan, (3) aset lainnya, (4) beban dan belanja, (5) dana cadangan, (6) gambaran umum modul SAP berbasis akrual, (7) investasi jangka pendek, (8) kas dan setara kas, (9) kewajiban, konsolidasi laporan keuangan, (10) koreksi kesalahan, (11) pembiayaan, (12) pendapatan, (13) penyusutan aset tetap, (14) piutang, (15)
transfer,
(16)
konsep
dan
siklus
akuntansi.
(sumber:
http://keuda.kemendagri.go.id/pages/view/20-modul-penerapan-akuntansiberbasis-akrual, 17 Juni 2014) 56
Narasumber yang diwawancarai terkait sosialisasi berbasis akrual berjumlah 10 orang (3 orang dari BPKAD dan 7 orang dari PPK SKPD). Bapak Orideko I. Burdam selaku Kepala Badan BPKAD (wawancara pada tanggal 05 April 2014) mengatakan bahwa sosialisasi telah dilakukan 1 kali oleh BPKP, Pemkab Raja Ampat masih membutuhkan kerjasama pihakpihak terkait seperti BPKP, Depdagri atau Depkeu untuk menyelenggarakan sosialisasi: “Baru satu kali, baru mulai kemaren sosialisasi yang dilakukan oleh BPKP, pada waktu ikut sosialisasi yang kemaren dua orang. Belum ada (sosialisasi PP terbaru di Pemkab Raja Ampat), mungkin kita mulai selenggarakan yang baru ini (PP 71/2010) sosialisasinya di tahun dua ribu empatbelas ini, karena tahun ini baru kita antisipasi kedepan, belum tau (kapan) karena kita masih bekerjasama dengan pihak-pihak yang terkait, seperti BPKP atau Depdagri atau Departemen Keuangan atau pihak lain yang sah.” Dalam
memperkenalkan
akuntansi
berbasis
akrual,
sosialisasi
diselenggarakan oleh badan pemerintah seperti KSAP, BPK, Depkeu, Depdagri,
BPKP
dan
badan
lain
yang
dipercaya
untuk
menyelenggarakannya. Sejak tahun 2010 KSAP sudah melakukan sosialisasi SAP berbasis akrual ke sejumlah pemerintah daerah sebagai pilot project dengan time frame medium antara 4 – 6 tahun. Kabupaten Raja Ampat merupakan salah satu wilayah timur Papua yang belum mendapat informasi tersebut sejak saat itu. Beberapa tahun kemudian tepatnya di tahun 2014 sosialisasi mulai gencar dilakukan ke sejumlah daerah termasuk bagian wilayah timur Indonesia yaitu Papua. Pemerintah terkesan terlambat dalam menyampaikan informasi Akuntansi Akrual ke wilayah Indonesia timur sehingga follow up dari pemerintah daerah belum dilaksanakan. Sama seperti yang diungkapkan Kepala Badan BPKAD, Bapak Fiktor Mayor selaku Sekretaris BPKAD (wawancara pada tanggal 09 April 2014)
57
sosialisasi SAP berbasis akrual di Raja Ampat belum dilaksanakan, hanya ada undangan sosialisasi dari Depdagri ke seluruh pemda: “ Untuk seluruh SKPD belum, di Raja Ampat belum ada hanya dilaksanakan Depdagri di Jakarta itu saja, memang ada undangan untuk pergi tapi untuk di Raja Ampat sendiri belum ada.” Sosialisasi SAP berbasis akrual dari BPKP mau pun dari Depdagri telah diselenggarakan dengan mengundang sejumlah daerah termasuk salah satunya adalah Pemkab Raja Ampat. Namun, pemkab masih belum melaksanakan sosialisasi ke SKPD-SKPD sehingga implementasi SAP berbasis akrual belum bisa dilaksanakan artinya belum ada perencanaan strategis yang mendukung implementasi. Narasumber dari PPK SKPD juga mengungkapkan bahwa sosialisasi SAP berbasis akrual belum dilaksanakan. Bapak Syamsudin Samuel Imanohos selaku Kepala Sub Bagian Verifikasi dan Akuntansi Sekertariat Daerah (wawancara pada tanggal 07 April 2014) mengatakan baru Pemda Manokwari yang mendapat sosialisasi SAP berbasis akrual: “Sosialisasi pak, iya sosialisasi, itu belum, itu kemaren dari manokwari baru dapat sosialisasi, jadi kami masih memakai yang lama (PP 24/2005). Yang kemaren itu mereka baru pada, sosialisasinya baru sampai pada tahap penyusunan anggaran akuntansinya belum sampai tahap penyusunan laporan, penyusunan anggaran berbasis akrual belum sampai penyusunan laporannya…Rata-rata di Papua terlambat sebenarnya terlambat informasi.” Sosialisasi SAP berbasis akrual dari Kemendagri tentang komponenkomponen laporan keuangan berbasis akrual, sedangkan sosialisasi di Manokwari yang dilakukan oleh BPKP tentang penyusunan anggaran berbasis akrual. Dari sosialisasi SAP berbasis akrual yang dilaksanakan oleh kedua lembaga pemerintah tersebut maka pemkab sudah seharusnya melakukan sosialisasi ke dalam atau ke setiap SKPD-SKPD namun belum 58
ada upaya yang nyata dilakukan pemerintah agar mempercepat mekanisme kegiatan-kegiatan yang mendukung pelaksanaan implementasi. Dari pendapat semua narasumber, sosialisasi SAP berbasis akrual belum dilaksanakan di lingkungan Pemkab Raja Ampat. Dalam masa transisi memperkenalkan akuntansi berbasis akrual menurut Ouda (2010), tidak hanya membutuhkan kondisi yang tepat namun juga lebih banyak dorongan serta upaya yang dilakukan dalam merubah budaya utama, administratif dan teknik akuntansi. Sosialisasi sebagai salah satu bentuk upaya pemerintah dalam memperkenalkan akuntansi berbasis akrual sehingga tindakan praktis lainnya seperti biaya-biaya seperti pengadaan barang (hardware), software, pelatihan dan kegiatan lainnya bisa terukur dan dikendalikan dengan baik. Namun belum ada upaya dari pelaksanaan sosialisasi SAP berbasis akrual di lingkungan Pemkab Raja Ampat, menyebabkan pemkab belum mempunyai gambaran seperti apa pelaksanaan implementasi. Belum ada upaya kongkrit (action plan) untuk melakukan perencanaan strategis implementasi SAP berbasis akrual dan kegiatan sosialisasi yang seharus sebagai langkah awal memperkenalkan sistem akuntansi pemerintah yang terbaru belum dianggap sebagai isu utama kegiatan pemkab. Belum ada upaya sosialisasi SAP berbasis akrual akan menyebabkan pemkab sulit untuk memberikan gambaran seperti apa pelaksanaan implementasinya dan menetukan perencanaan strategis terkait pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian magnitude adalah sangat rendah. Belum adanya upaya kongkrit sosialisasi SAP berbasis akrual di pemkab akan menyebabkan berkurangnya tingkat keyakinan pemkab dalam pelaksanaan SAP berbasis akrual, sehingga generality sangat rendah. Pengetahuan tentang akuntansi berbasis akrual tidak akan didapat tanpa adanya upaya kongkrit sosialisasi SAP berbasis akrual dan akan mengurangi 59
tingkat ekspektasi dalam pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian strenght sangat rendah. 4.2.2
Kebijakan dan Peraturan yang Berlaku
Kebijakan dan prosedur akuntansi merupakan isu-isu akuntansi yang masuk dalam agenda politik (Ouda, 2010). Menurut Ouda, keberadaan inovasi akuntansi pemerintah adalah suatu isu yang harus dikomunikasikan ke kelompok yang berbeda seperti lembaga legislatif. Kelompok ini dapat mempengaruhi keputusan melakukan reformasi dan masuk dalam agenda politik dan mendapat perhatian besar dari para politisi. Pemimpin daerah beserta DPRD merupakan aktor sangat berperan penting untuk membawa inovasi akuntansi untuk dijadikan peraturan daerah (legal provision). Peraturan daerah yang berlaku dalam penelitian ini terkait dengan ada atau tidaknya kebijakan pemerintah dalam pengelolaan keuangan berbasis akrualyang sudah ditetapkan berdasarkan persetujuan DPR. Dokumen legal berupa peraturan daerah maupun peraturan bupati yang mengatur pengelolaan keuangan daerah berdasarkan SAP berbasis akrual. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
pasal
32
menyatakan
bahwa
bentuk
dan
isi
laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintah yaitu SAP. Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (telah di rubah dengan Permendagri No. 59 Tahun 2007 dan perubahan kedua dalam Permendagri No. 21 Tahun 2011) masih digunakan kebanyakan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan. Namun, format penyusunan laporan keuangan LRA Permendagri No. 13 Tahun 2006
berbeda dangan format LRA Standar
Akuntansi Pemerintah kas menuju akrual PP No. 24 Tahun 2005, karena ada beberapa pos-pos dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 perlu dikonversi ke PP No. 24 Tahun 2005. Acuan dari Permendagri No. 13 Tahun 2006 60
diturunkan menjadi Peraturan Daerah tentang dasar-dasar pengelolaan keuangan daerah dan diturunkan ke dalam bentuk petunjuk pelaksanaan sistem dan prosedur pengelolaan keuangan ada pada Peraturan Bupati. Narasumber yang diwawancarai berjumlah 12 orang (5 orang dari BPKAD dan 7 orang dari PPK SKPD). Menurut Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Raja Ampat, Bapak Orideko I. Burdam (wawancara pada tanggal 05 April 2014) mereka punya acuan penyusunan laporan keuangan di Pemkab Raja Ampat antara lain UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, PP No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Perda No. 3 Thn 2010 dan Peraturan Bupati: “Untuk penyusunan laporan (keuangan) kita punya dasar acuan seperti permendagri tiga belas dengan perubahannya, terus peraturan pemerintah nomor lima puluh empat itu, terus undang-undang nomor satu tahun dua ribu empat ya? empat atau lima, terus ada beberapa hal yang menyangkut.. itu kami pakai. Perda juga, perda nomor tiga pengelola keuangan tahun dua ribu sepuluh, diikuti dengan peraturan bupati juga, kita juga punya sisdur pengelola keuangan, sisdur mengenai masing-masing bidang, itu juga.” Bapak Fiktor Mayor selaku Sekretaris BPKAD (wawancara pada tanggal 09 April 2014) meskipun tidak secara spesifik menjelaskan peraturan apa saja dan nomor berapa yang berlaku, ia mengatakan bahwa Pemkab Raja Ampat berpatokan pada Peraturan Pemerintah yang mengatur laporan keuangan pemerintah daerah dan ada Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah: “Ada dasar kan peraturan pemerintah tentang laporan keuangan pemerintahan, kemudian ada peraturan mengenai sistim akuntansi pemerintah daerah, ya kita berpatokan pada acuan seperti itu..peraturan itu.”
61
Menurut Kepala Bidang Akuntansi BPKAD, Ibu Zahara (wawancara pada tanggal 03 April 2014), penyusunan laporan Pemkab Raja Ampat mengacu pada sistem prosedur akuntansi dan perda tentang sistem pengelolaan keuangan daerah: “Ada, acuannya ya sisdur (sistem dan prosedur) itu, mengacunya Perda, sistem pengelolaan keuangan daerah terus sisdur akuntansinya semua ada” Menurut Kepala Sub Bidang Pelaporan Keuangan BPKAD, Ibu Rahayu (wawancara pada tanggal 07 April 2014) penyusunan laporan keuangan mengacu pada Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan PP No. 24 Tahun 2005: “Permendagri tiga belas, SAP PP dua empat dua ribu lima” Senada dengan ibu Rahayu, Kepala Sub Bidang Verifikasi BPKAD, Bapak Abu Bakar Saka (wawancara pada tanggal 07 April 2014) mengatakan acuan Pemkab Raja Ampat adalah Permendagri No. 13 Tahun 2006, Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati: “Ya dasar acuannya kita menyusun LKPD itu kembali kepada peraturan permen (Permendagri) tiga belas itu tentang keuangan, trus tentang sisdur dengan tata pelaporan keuangan yang ada di kabupaten gitu kan ada sistus dengan peraturan bupati terus dengan perda ada dasar-daar yang kita ambil semua masukan disitu gitu.” Dari narasumber PPK SKPD mempunyai versi yang berbeda, seperti Kepala Sub Bagian Verifikasi dan Akuntansi Sekretariat Daerah, Bapak Syamsudin Samuel Imanohos (wawancara pada tanggal 07 April 2014) mengatakan bahwa acuan Sekda pada Permendagri No. 59 Tahun 2007: “Ya sebenarnya, Permendagri lima sembilan “ Menurut Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Bappeda, Bapak Rachmat M. Nurjayamika (wawancara pada tanggal 08 April 2014) acuan penyusunan laporan keuangan dengan PP No. 58 Tahun 2005 (bukan
62
Permendagri 58) tentang pengelolaan keuangan daerah, Permendagri No. 13 Tahun 2006, Permendagri No. 64 Tahun 2013, PP No. 71 Tahun 2010: “Pertama kita mengacu kalau dalam apa, kitakan sistimatikanya kan mulai dari apa namanya laporan keuangan sesuai dengan tata cara yang diajarkan oleh permendagri pertama kan? dari situ kita aplikasikan pindahkan ke laporan keuangan, pertama dari bendaharawan itukan dari permendagri, permen 58 kalo saya ga salah dia punya sistematika pelaporan dari keuangan lalu kita aplikasikan itu yaitu kita mengacu juga ke permendagri 13 sama yang terakhir permendagri 64 (2013) selain itu pak menyangkut SAP PP 71/2010 itu otodidak kita asal baca dan kita juga tidak ini, kita baca tapi pelaksanaan teknisnya kita tidak begitu menguasai.” Bapak Amril Laude selaku Plt. Kepala Sub Bagian Keuangan Inspektorat (wawancara pada tanggal 10 April 2014) berpendapat penyusunan laporan berdasarkan PP No. 24 Tahun 2005: “Ya, untuk sementara ini acuannya masih pake PP dua empat tahun dua ribu lima itu tentang SAP.” Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas Pendapatan Daerah, Ibu Jumyati Kapitan Laut (wawancara pada tanggal 08 April 2014) penyusunan laporan keuangan Pemkab Raja Ampat yaitu PP No. 24 Tahun 2005: “Itu ada, dasar acuannya itu ada, dari SAP yang lama (PP 24/2005), kemudian dari panduan-panduan, kemudian acuannya dari permintaan BPK tentang laporan keuangan itu yang kita pakai. Karena setiap tahun itu saya kira tidak berubah untuk penyusunan laporan keuangannya sendiri.” Menurut Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Abdul, Bapak Abdul Latif Soltif (wawancara pada tanggal 14 April 2014) acuan penyusunan laporan keuangan adalah Permendagri No. 13 Tahun 2006: “Dasar acuan dari permen tiga belas itu dari keuangan itu keseluruhan, sama semua” 63
Menurut Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB, Ibu Fransiska Berselina Msen (wawancara pada tanggal 16 April 2014) penyusunan laporan keuangan berdasarkan RKA dan DIPA: “Ada dari RKA trus dari DIPA, realisasi toh?neraca juga ada dan kita minta petunjuk BPKAD iya cara menyusunnya bagaimana sampai realisasinya jadi datanya harus dicocokan sama dengan BPKAD, dengan sistem (SIMDA)..” Menurut Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas Pekerjaan Umum, Ibu Sriyanti (wawancara pada tanggal 16 April 2014) acuan penyusunan laporan keuangan yaitu SP2D dan DPA SKPD: “Biasanyanya kan, berdasarkan SP2D trus dilihat dengan DPA SKPD ya itu.” Berdasarkan pendapat para narasumber, bisa disimpulkan bahwa dasar penyusunan laporan keuangan pemda sebelum menerapkan standar akuntansi pemerintah berbasis akrual mengacu ke berbagai peraturan tentang pengelolaan keuangan daerah. Banyaknya acuan akan menimbulkan pemahaman yang berbeda terkait peraturan mana yang menjadi pedoman utama penyusunan laporan keuangan. Menurut ketetapan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dijelaskan
bahwa
penyusunan
laporan
keuangan
sebagai
bentuk
pertanggungjawaban kepala negara maupun kepala daerah disusun berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) menurut ketentuan aturan yang berlaku. Sehingga bisa dikatakan bahwa ketetapan yang memuat SAP ada didalam Peraturan Pemerintah yaitu PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Masih ada perbedaan pemahaman terkait dasar penyusunan laporan keuangan, karena sebagian besar pemerintah
64
daerah masih berpatokan pada Permendagri No. 13 Tahun 2006 dari pengelolaan keuangan hingga penyusunan laporan keuangan. Permendagri No. 13 Tahun 2006 merupakan aturan untuk pengelolaan keuangan daerah secara keseluruhan yang mempunyai petunjuk teknis (juknis) secara terperinci terkait pengelolaan keuangan, sedangkan SAP lebih banyak mengatur rincian penyajian laporan keuangan. Bisa dipahami bahwa pemda masih berkiblat ke Kemendagri sebagai atasan mereka sehingga aturan secara administratif lebih cenderung ke permendagri, namun apabila dilihat secara hierarki Peraturan Pemerintah (PP) posisinya berada diatas Permendagri. Permendagri No. 13 Tahun 2006 pasal 296 ayat 4 menyatakan bahwa laporan keuangan daerah disusun dan disajikan sesuai dengan PP yang mengatur tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Sehingga bisa dikatakan Permendagri No.13 Tahun 2006 mengatur penjelasan teknis pelaksanaan SAP yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah, harus ada pemisahan yang jelas antara pedoman pengelolaan keuangan daerah dengan penyusunan dan penyajian laporan keuangan daerah. Dengan adanya PP No. 71 Tahun 2010 tentang SAP berbasis akrual dan penerapan standar akuntansi berbasis akrual dalam Permendagri No. 64 Tahun 2013 sudah ditetapkan maka perlu adanya kebijakan akuntansi pemerintah daerah sebagai pedoman dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan berbasis akrual. Oleh karena penerapan akuntansi berbasis akrual ini tidak hanya semata pada penyusunan dan penyajian laporan keuangan namun proses secara keseluruhan (whole process) pengelolaan keuangan sampai perubahan budaya, pemda harus mempunyai kajian tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah berbasis akrual dan sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah berbasis akrual. Terkait dengan tujuan perda tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah adalah dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang efektif, 65
efisien, transparan dan bertanggungjawab. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Sub Bidang Pelaporan Keuangan BPKAD Ibu Rahayu (wawancara pada tanggal 07 April 2014), di Pemkab Raja Ampat belum ada ketentuan pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Peraturan daerah terkait SAP berbasis akrual PP No. 71 Tahun 2010. Menurut Ibu Rahayu, Perda yang digunakan untuk mengatur pengelolaan keuangan daerah adalah Perda Kabupaten Raja Ampat No. 06 Tahun 2010: “Peraturan daerah menyangkut pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah tercantum dalam Peraturan daerah Kabupaten Raja Ampat nomor enam tahun dua ribu sepuluh tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan.” Terkait dengan sistem dan prosedur (sisdur) pengelolaan keuangan daerah biasanya terdiri dari penyusunan rancangan APBD, perubahan APBD, DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) SKPD serta sisdur akuntansi pemda yang diatur dalam Peraturan Bupati. Berdasarkan pendapat dari Kepala Sub Bidang Pelaporan Keuangan BPKAD, Ibu Rahayu (wawancara pada tanggal 07 April 2014) sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah berbasis akrual belum ada. Peraturan Bupati yang digunakan adalah Perbup Raja Ampat No. 10 Tahun 2010: “Trus peraturan Bupati Raja Ampat nomor sepuluh tahun dua ribu sepuluh tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Kabupaten Raja Ampat.” Berdasarkan hasil wawancara menunjukan bahwa adanya pemahaman yang berbeda terkait penyusunan laporan keuangan. Belum ada pemisahan yang jelas antara pengelolaan keuangan keuangan daerah dengan dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan daerah. Pemkab Raja Ampat belum menyesuaikan regulasi yang ada di daerah dengan peraturan terkait akuntansi berbasis akrual yaitu PP No. 71 Tahun 2010 dan Permendagri No. 64 Tahun 2013. 66
Pemahaman yang bias tentang acuan dasar penyusunan laporan keuangan dan belum ada peraturan daerah yang mendukung penerapan SAP berbasis akrual akan mengurangi dampak positif dan mempersulit Pemkab Raja Ampat dalam pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian magnitude adalah sangat rendah. Pemahaman yang bias tentang acuan dasar penyusunan laporan keuangan dan belum adanya peraturan daerah maupun peraturan bupati yang mendukung untuk penerapan SAP berbasis akrual akan mengurangi tingkat keyakinan yang dimiliki pemkab dalam pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian generality adalah sangat rendah. Pemahaman yang bias tentang acuan dasar penyusunan laporan keuangan
dan belum adanya peraturan daerah dan
peraturan bupati yang mendukung penerapan SAP berbasis akrual akan mengurangi tingkat harapan dalam pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian strenght adalah sangat rendah. Faktor kedua, yakni Komitmen menunjukan bahwa Pemkab Raja Ampat belum melaksanakan sosialisasi SAP berbasis akrual di Pemkab Raja Ampat. Pemkab Raja Ampat belum mempunyai regulasi yang mendukung penerapan SAP berbasis akrual. Sehingga, penilaian efficacy aktor-aktor organisasi terhadap faktor komitmen adalah sangat rendah.
4.3 IT dan Perangkat Pendukung Dalam tahap transisi, IT harus harus dipelajari sebelum melakukan implementasi
(Shirouyehzad,
et.al
2011),
untuk
memperkenalkan
implementasi perlu ada kapasitas IT (Hepworth, 2003). Kualitas IT sangat dibutuhkan untuk mendukung dan memfasilitasi implementasi akuntansi berbasis akrual (Eriotis, et al, 2011). Peran teknologi informasi sangat diperlukan dalam pengelolaan keuangan pemerintah daerah, apalagi dengan era informasi sekarang yang serba cepat dan instant. Teknologi sistem 67
informasi yang dibutuhkan pemerintah daerah adalah sistem informasi yang mengatur tentang keuangan daerah. Aplikasi SIMDA (Sistem Informasi Manajemen Daerah) merupakan salah satu sistem informasi keuangan daerah yang dibuat oleh jasa pengembang BPKP selaku mitra pemda. Tujuan pengembangan Program Aplikasi SIMDA (Sistem Informasi Manajemen Daerah) adalah: a. Menyediakan database mengenai kondisi di daerah terpadu baik dari aspek keuangan, aset daerah, kepegawaian/ aparatur daerah maupun pelayanan publik yang dapat digunakan untuk penilaian kinerja instansi pemerintah daerah. b. Menghasilkan informasi yang komprehensif tepat dan akurat kepada manajemen pemerintah daerah. Informasi ini digunakan sebagai bahan mengambil keputusan. c. Mempersiapkan aparat daerah untuk mencapai tingkat penguasaan dan pendayagunaan teknologi informasi yang lebih baik. d. Memperkuat basis pemerintah dalam pelaksanaan ototnomi daerah. (Sumber:
http://www.bpkp.go.id/sakd/konten/333/Versi-2.1.bpkp,
19
Juni 2014) Aplikasi SIMDA (software) yang mengatur pengelolaan keuangan mulai dari BPKAD hingga ke setiap SKPD. Aplikasi keuangan SIMDA di BPKAD di gunakan di tiap bidang baik di bidang akuntansi, bidang anggaran, perbendaharaan maupun aset daerah. Di SKPD, untuk mengakses aplikasi keuangan SIMDA hanya Kepala Sub Bidang Keuangan yang mempunyai jabatan fungsional sebagai PPK (Pejabat Penatausahaan Keuangan) beserta Bendahara SKPD.
SIMDA
dikoneksikan melalui sistim jaringan nirkabel (wireless) langsungdari SKPD ke BPKAD. Selain itu pemda juga diperlengkapi dengan fasilitas pendukung
68
(Hardware) seperti komputer, laptop, printer untuk membantu pekerjaan mereka. Narasumber yang diwawancarai berjumlah 10 orang (3 orang dari BPKAD dan 7 orang dari PPK SKPD). Aplikasi IT yaitu SIMDA memerlukan operator yang menjalankan dan memastikan kelancaran penggunaan sistem hingga melakukan perbaikan sistem dan jaringan. Pemkab Raja Ampat kekurangan tenaga SDM sebaga operator IT, Kepala Badan BPKAD, Bapak Orideko I. Burdam (wawancara pada tanggal 05 April 2014) mengungkapkan bahwa: “Nah sistem (SiKPD) itu sangat sangat membantu pak, cuman (tenaga) untuk IT kita belum ada, tapi kita sangat mengharapkan juga karena hal itu sangat-sangat membantu, sangat mendukung itu, cuman untuk tenaga kita sementara ini kita belum ada, kita lagi mencari-cari ini, sapa tau ada ya kita mau mungkin diikat kontrak seperti itu kita berikan honor” Senada dengan apa yang diungkapkan Bapak Orideko, Kepala Sub Bagian Verifikasi dan Akuntansi, Bapak Syamsudin Samuel Imanohos (wawancara pada tanggal 07 April 2014) mengungkapkan bahwa Pemkab Raja Ampat membutuhkan membutuhan SDM yang mempunyai kemampuan IT untuk memperbaiki gangguan jaringan: “Ada, sudah ada, cuman sumber daya manusia kita yang kurang, bukan sumber daya manusia mengenai akuntanisnya pak, tapi mengenai aplikasinya (SDM di IT) itu saja, jadi kadang-kadang sistemn error ya kita duduk diam aja, karena mau bikin apa, waktu itu saya sarankan supaya setiap SKPD ini harus ada orang IT artinya bahasa aplikasinya admin itu, harus setiap SKPD satu, tapi tidak ditanggapi. Akhirnya kita semua bergantung ke badan (BPKAD) ada cuman ada satu ya (tenaga admin), kalo tidak ya habis kita, ini sistem kalo lagi pada hujan sering error karena kita wireless ini. Sangat sudah (memadai), bendahara pembantu saja semua saya kasihkan komputer semua lengkap ini sudah teraplikasi semua, cuman beberapa belum ada yang memahami tapi sudah belajar gitu.”
69
Peran operator IT sangat dibutuhkan untuk memastikan pengoperasian SiSKPD berjalan dengan baik serta memperbaiki jaringan, apabila ada masalah yang tidak bisa diselesaikan staf operator maka perlu melakukan kontak dengan tim jasa pengembang. Oleh karena itu sangat dibutuhkan tenaga-tenaga IT untuk membantu pemkab mempermudah informasi dalam pengelolaan keuangan. Terkait dengan penggunaan SIMDA, Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Abdul, Bapak Abdul Latif Soltif (wawancara pada tanggal 14 April 2014) mengungkapkan bahwa adanya kendala yang sering terjadi kesalahan dalam penginputan: ” Sebenarnya mendukung pak, cuman kalo kendala di SIMDA ini cuman kadang ya itu mungkin karena entah ada yang tidak input atau sudah di input tapi kok bisa ga muncul jadi kadang saya bikin manual itu ga konek, jadi saya dengan bendahara konek sama SIMDA ga konek, makanya kita print lagi dengan SIMDA kok bisa beda dengan bendahara sedang kami bahas untuk semua tapi memang sebenarnya SIMDA sudah bagus. (Hanya) kesalahan penginputan.” Kesalahan penginputan yang sering terjadi sebenarnya dikarenakan ketidakmampuan SDM dalam mengaplikasikan suatu sistem dengan benar, meskipun didalam aplikasi suatu sistem itu ada jurnal koreksi untuk mengkoreksi data yang salah, namun akibat kurang diberdayakan para pegawai keuangan akan menyebabkan kesalahan yang berulang-ulang atau menjadi „lingkaran setan‟, oleh karena itu sangat dibutuhkan pelatihan yang komprehensif untuk mengaplikasikan dan mendukung suatu sistem. Selain adanya kesalahan-kesalahan dalam penginputan masih ada SKPD kurang memanfaatkan teknologi informasi dalam membantu pekerjaan mereka, masih ada yang melakukan prosedur akuntansi secara manual seperti yang diungkapkan Ibu Fransiska Berselina Msen selaku Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB, (wawancara pada tanggal 16 April 2014): 70
“Tidak, manual (Laporan keuangan), sementara kita belajarnya bertahap, mungkin di BPKAD sudah dengan SIMDA tapi kita di SKPD masih manual” Ibu Fransiska menambahkan bahwa mereka dilatih untuk menginput secara manual: “ Ya, kita dilatih untuk bisa menginput data secara manual ya setelah itu nanti kita BPKAD bidang akuntansi disana disesuaikan cocok tidak dengan yang diinput melalui SIMDA jadi ada sedikit selisih nilai kita tau ini dimana kekurangannya.” Hal ini juga diungkapakan oleh Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas Pekerjaan Umum,
Ibu Sriyanti (wawancara pada
tanggal 16 April 2014): “Cukup sih bantu, membantu sekali, (cuma) jaringan sering rusak, lelet, lama. Mempengaruhi kadang-kadang kan kita keatas lagi kan, tapi tidak terlalu signifikanlah mempengaruhinya bisalah kita sesuaikan toh. Cuma..paling data-data yang itu toh SP2D SPP SPMnya. LK untuk sampai sekarang ini masih manual, nanti kita buat disini rekapnya dari keuangan kan, (tidak memakai SIMDA) laporan keuangannya. Tapi kalo untuk LRA itu SIMDA bisa terbaca, register SP2D ya itu terbaca di SIMDA, kadang-kadang kan kalo kita ikut SIMDA mereka kan belum terinput semua, kita pakai manual biasa berdasarkan SP2D yang masuk biasanya (Laporan Keuangan untuk PU) Laporan Realisasi Anggaran” Ketentuan bahwa penginputan secara manual bukan berarti hal ini disalahkan, berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 pasal 232 (3) menyatakan bahwa serangkaian prosedur dari mulai proses pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan cara manual atau menggunakan aplikasi komputer. Peraturan tidak melarang pemerintah
untuk melaksanakan prosedur
akuntansi secara manual, akan tetapi kurangnya pemanfaatan terhadap perkembangan teknologi akan menyebabkan fungsi dari IT untuk membantu pengelolaan keuangan daerah menjadi tidak berguna dan tidak bermanfaat. 71
Jika dikaitkan dengan operator SIMDA, di Pemkab Raja Ampat hanya satu orang pegawai staf admin operator SIMDA yaitu Bapak Polce Muradji. Pekerjaan utamanya adalah selaku staf bidang penyusunan APBD di BPKAD. Menurut Bapak Polce Muradji (wawancara pada tanggal 23 April 2014) terkait masalah hambatan dalam koneksi jaringan nirkabel di lingkungan BPKAD karena gangguan cuaca dan perbedaan tegangan listrik di beberapa SKPD: “Oh iya gini, untuk masalah kendala jaringan yang tidak konek saya pikir itu lumrah, lumrah terjadi pada jaringan nirkabel, yang artinya menggunakan wifi itu lumrah semuanya di Indonesia pun akan terjadi, diluar (luar negeri) pun terjadi gitu lo, karena gini kelemahannya wireless itu kan satu gangguan cuaca ya kan?gangguan tegangan, listrik, tegangan sama cuaca. Yang dimaksud dengan cuaca gini nih, bukan bahwa hujan baru dia (sinyalnya) lemah gitu kan, kalo wirelesswireless sekarang tidak berpengaruh terhadap cuaca seperti hujan terus dia signalnya lemah enggak. Angin, ini cuaca, angin itu kalo disini terlalu kencang itu dia bisa membelokan apa namanya antena yang kita sudah pasang walaupun kita sudah patenkan dia gitu lo itu, gitu. Yang lainkan contoh liat aja di kepegawaian, dia antena driftnya menghadap kehutan bukan kesini, nah itu karena angin kan. Trusnya listrik listrik disinikan tidak (beres).ada dinas yang tegangannya itu dia keluar cuma dua ratus sepuluh (watt),ada yang sampai dua ratus tiga puluh (watt) nah itu. Itu mengganggu, mengganggu tegangan kan sewaktu dia mengganggu tegangan, dia otomatis akan mengganggu POE (Power Over Ethernet), yang ada, POE akan mengganggu signal gitu, itu yang biasa terjadi.“ Bapak Polce juga menambahkan bahwa hambatan biasanya karena aplikasi SIMDA tidak dapat diakses SKPD sehingga mereka harus menghubungi pusat: “Ya, ada sih banyak gini kalo hambatan saya itu agak susahnya itu bukan masalah untuk dia punya aplikasi atau dia punya jaringannya,..kita pengen mengaplikasikan tetapi tidak bisa terbuka terkadang itu kita harus kontek lagi pusat begitu.”
72
Hambatan lainnya menurut Bapak Polce disebabkan kesalahan pempostingan atau salah penginputan yang dilakukan oleh bendahara SKPD: “nah terus keduanya lagi masalah hambatannya itu bila si Bendahara, bendahara melakukan kesalahan didalam pembelanjaan pengambilan pos salah, mereka itu tidak memberitahu. Tetapi uangnya memang keluar sama hanya kurang pengawasan (dari PPK SKPD)” Terkait perlunya tenaga IT yang ditempatkan di setiap SKPD menurut Bapak Polce hal itu tidak perlu dan tidak efektif, tetapi tidak menutup adanya kebutuhan tenaga IT namun harus ditempatkan di BPKAD menjadi satu tim admin: “Tidak, kalo disinikan kebetulan masih saya sendiri, kalo saya sih ga perlu untuk sampai kita buat satu admin disetiap dinas..yang lebih efektif itu itu jadi gini di keuangan sendiri itu punya kelompok IT disebut admin-admin kecil ini diketuai oleh satu admin nah..kita bentuk empat sampai lima orang kan ga selalu di dinas itu ada masalah ya kan nah nanti kita bagi tugas saja bila ada masalah di dinas-dinas.” Berdasarkan pendapat semua narasumber, sistem aplikasi SIMDA (software) sebagai sistem informasi keuangan daerah berbasis IT cukup membantu dalam pengelolaan keuangan di lingkungan Pemkab Raja Ampat dan fasilitas seperti sarana pendukung (hardware) seperti komputer, laptop, printer dan sangat memadai. Selain berdasarkan hal tersebut, sebanyak 2 (dua) orang narasumber mengungkapkan Pemkab Raja Ampat masih membutuhkan tenaga-tenaga IT. Selain itu 3 (tiga) narasumber lainnya mengungkapkan bahwa meski didukung IT namun dalam penyusunan laporan keuangan, penginputan dan penyusunan masih dilakukan dengan cara manual serta adanya kesalahan penginputan. 5 (Lima) narasumber mengatakan SIMDA sangat membantu dalam pengelolaan keuangan. Permasalahan yang terjadi sistem berbasis IT ini
adalah kurangnya
pemanfaatan penggunaan teknologi informasi untuk penyusunan laporan 73
keuangan, pemkab tidak didukung oleh kemampuan SDM aparatur untuk menguasai dan menggunakan aplikasi sistem berbasis IT dengan baik seringnya terjadi kesalahan penginputan. Selain itu, pemerintah juga masih kekurangan SDM memiliki kapasitas dibidang IT untuk menambah kekurangan personil tenaga admin di Pemkab Raja Ampat. Aplikasi keuangan SIMDA di Raja Ampat masih berdasarkan sistem akuntansi kas menuju akrual (PP 24/2005) atau versi 2.1 (adapun versi SIMDA yang berbasis akrual versi 3.0 yang akan disosialisasikan BPKP), namun kendala yang berkaitan dengan IT Pemkab Raja Ampat harus segera dibenahi jika tidak akan menghambat implementasi sistem akuntansi berbasis akrual, karena perubahan modifikasi SIMDA berbasis akrual masih dalam tahap ujicoba di BPKP sebelum diperkenalkan ke pemda-pemda. BPKP telah melakukan workshop pada bulan april 2014 terkait Sistem Akuntansi Keuangan Daerah dan Program Aplikasi SIMDA keuangan berbasis akrual. (sumber: http://www.bpkp.go.id/sakd/konten/333/Versi-2.1.bpkp, 19 Juni 2014) IT dan fasilitas pendukung sudah memadai di Pemkab Raja Ampat, meskipun kendala yang dihadapi adalah di SDM aparatur sebagai pengguna dan pemberi informasi adalah penginputan dan penyusunan laporan keuangan masih secara manual karena kurangnya pemanfaatan teknologi informasi,
minimnya
pemahaman
sistem
informasi
akuntansi
dan
penguasaan dalam mengaplikasi sistem yang mengakibatkan kesalahan penginputan, kurangnya tenaga IT bagi Pemkab Raja Ampat. Dengan adanya IT dan fasilitas pendukung IT maka akan mempermudah Pemkab Raja Ampat dalam melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual karena SIMDA telah terintegrasi dengan sistem akuntansi berbasis akrual, sehingga penilaian magnitude tinggi. Dengan adanya IT dan fasilitas pendukung IT, 74
maka Pemkab Raja Ampat memiliki keyakinan dapat melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual dengan baik namun penginputan dan penyusunan laporan keuangan masih secara manual, sehingga penilaian generality rendah. Dengan adanya IT dan fasilitas pendukung IT maka akan meningkatkan ekspektasi Pemkab Raja Ampat dalam melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian strenght tinggi. Faktor ketiga yakni IT dan Perangkat Pendukung menunjukan bahwa pada Pemkab Raja Ampat, sistem informasi akuntansi sudah di dukung oleh sistem berbasis IT, fasilitas pendukung hardware dan software sudah tersedia meskipun penginputan dan penyusunan laporan keuangan masih secara manual. Sehingga, penilaian efficacy aktor-aktor organisasi terhadap IT dan perangkat pendukung tinggi.
4.4 Komunikasi Komunikasi merupakan nilai organisasi dimana anggota saling berhubungan dan bekerja sama (Klein dan Sorra, 1996). Menurut Pabedinskaite (2010) dengan lebih banyak bekerjasama dan berkomunikasi secara terbuka akan mempengaruhi kesuksesan implementasi. Faktor komunikasi dalam penelitian ini lebih ditekankan pada komunikasi internal koordinasi Badan Pengelola Keuangan BPKAD Raja Ampat dengan PPK dan Bendahara SKPD dalam penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan SKPD. Berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun
2006,
bendahara
pengeluaran
secara
administratif
wajib
mempertanggungjawabkan penggunaan uang persediaan, ganti uang persediaan dan tambahan uang persediaan paling lambat tanggal 10 bulan bulan berikutnya.. Sedangkan tugas dari PPK SKPD adalah meneliti kelengkapan dan memverifikasi yang diajukan bendahara sesuai dengan peraturan yang berlaku 75
Karena pertanggungjawaban laporan keuangan harus diserahkan tepat waktu dan benar merupakan wujud komitmen yang harus dilaksanakan oleh setiap pemda. Faktor keterlambatan penyampaian laporan akan menjadi penyebab permasalahan yang sering terjadi, untuk itu bagaimana menciptakan hubungan yang baik dan menghasilkan sinergi antara manajemen pusat pengelolaan keuangan (BPKAD) dengan manjemen lini (penatausahaan keuangan SKPD). Narasumber yang diwawancarai terkait faktor komunikasi berjumlah 7 orang (3 orang dari BPKAD dan 4 dari orang dari PPK SKPD). BPKAD selaku pusat informasi baik dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan keuangan bagi SKPD untuk melaksanakan anggaran, seperti yang diungkapkan Kepala Sub Bidang Verifikasi BPKAD, Bapak Abu Bakar Saka (wawancara pada tanggal 07 April 2014): “kita di BPKAD sebagai contoh untuk ke dinas (SKPD) yang lain jangan sampai karena kita sebagai akuntansi trus BPKAD, aturan tentang ini kan kita yang tau dulu setelah itu kita implementasikan kepada dinas gitu k,n dan kita disinikan sebagai tempat bertanya gitu kan dari teman-teman dinas (SKPD).” SKPD sebagai pelaksana anggaran, terkait pertanggungjawaban keuangan
ada pada fungsi tata usaha keuangan yang di jabat Pejabat
Penatausahaan Keuangan SKPD yang fungsinya seperti yang diungkapkan oleh Bapak Amril Laude selaku Plt. Kepala Sub Bagian Keuangan Inspektorat, (wawancara pada tanggal 10 April 2014): “Pejabat penatausahaan mempunyai fungsi yang sangat vital dia yang penyaring pertama atau memverifikasi setiap pengeluaran yang terjadi di SKPD sebelum disampaikan ke PPKD selaku BUD ya. Menurut saya PPK sangat penting dalam memverifikasi pertanggungjawabanya bendahara pengeluaran di setiap SKPD.”
76
Menurut Bapak Fiktor Mayor selaku Sekretaris BPKAD (wawancara pada tanggal 09 April 2014) mengatakan bahwa, adanya penyampaian laporan keuangan daerah sebagai bentuk pertanggungjawaban ke DPRD tergantung dari penyampaian laporan keuangan dari SKPD dan BPKAD akan berperan aktif dalam membantu SKPD untuk memberikan laporannya: “Kalo keterlambatan sih tidak, kita sudah sesuai dengan prosedur, jadwal dan ketentuan yang berlaku. Misalnya untuk ke Dewan (DPRD), tapi masalahnya bukan dari BPKAD itu hambatan yang kita hadapi itu dari SKPD, karena laporannya ini kan kita tergantung dari laporan yang ada di SKPD. Jadi apabila terlambat sedikit nah itu memang terlambat, tapi sampai saat ini kita tidak pernah terlambat karena kita pro aktif terus supaya SKPD tetap memberikan laporanlaporan itu.” Laporan keuangan pemerintah daerah atau LKPD merupakan laporan konsolidasi dari laporan keuangan yang disampaikan tiap SKPD, apabila keterlambatan laporan keuangan SKPD, maka LKPD belum bisa disusun oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) di BPKAD, oleh karena itu perlu ada koordinasi yang baik antara BPKAD dan SKPD. Seiring dengan proses penyampaian laporan keuangan munculnya permasalahan yang sering terjadi yaitu hubungan SKPKD dengan SKPD seperti kesalahan dalam penginputan seperti yang diungkapkan Kepala Sub Bidang Pelaporan Keuangan BPKAD, Ibu Rahayu (wawancara pada tanggal 07 April 2014): “Miscommunication bisa jadi, antara satu dengan yang lain mungkin, trus kurangnya informasi ke kita karena kondisi daerah mungkin seperti itu. Itu saja kayaknya yang kendala, kayak miscommunication. Trus human error mungkin manusia kan tidak mungkin bekerja yang menginput kan namanya manusia artinya punya salah punya apa, kadang kalo ini, kalo misalnya terjadi apa-apa juga kita kan disini sering o ini salah maka dikasih masuk kesini oo iya.” Kesalahan penginputan merupakan kesalahan teknis yang sering terjadi, sehingga dapat menyebabkan perbedaan pendapat antara SKPKD dan SKPD 77
seperti yang di sampaikan Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Bappeda, Bapak Rachmat M. Nurjayamika (wawancara pada tanggal 08 April 2014): “Kalo di SKPD itu begini pak, kalo kita mau asal print karena kita sudah dilengkapi dengan SIMDA senjata kita, asal print barang jadi itu ga lama kan pak, asal print barang jadi kok SIMDA sudah ngatur sendiri, tetapi keterlambatan itu karena begini ada beberapa hal yang saya bilang begitu, bapak berkoordinasi dengan si A ini menurut bapak begini, tetapi menurut sana (BPKAD) tidak, harusnya melakukan ini tetapi disana tidak begini, kalo cuman bikin asal-asalan asal jadi ya saya rasa semua bisa karena itu barang tinggal kopi paste saja, apalagi ada SIMDA, ada miskomunikasi menurut saya, biasanya terjadi miskomunikasi antara SKPD dengan badan pengelolaan keuangan karena terus terang aja kiblatnya semua di daerah mungkin dimana-mana berkiblat di badan pengelolaan keuangan bahkan aturan pun kadang kita ikuti aja mereka bilang, jika tidak ikuti uang tidak keluar kan?gitu.” Terkait koordinasi dengan BPKAD Bapak Rachmat menambahkan: “Sekarang ini terus terang aja pak kita hanya dipanggil untuk rapatrapat saja, kita dipanggil pun kita diminta kita kasih laporan kesana, tapi toh juga laporan kita tidak bisa dijadikan dasar jadi hanya asal panggil aja, maunya saya mari kita bicara, tapi kita ya bikin laporan itu kalaupun salah kalian benarkan (perbaiki), seharunya kalau salah mari kita bicarakan bersama-sama kesalahanya ada dimana kan begitu, jadi perannya PPK SKPD disini nyaris tidak ada.” Selain itu, kendala dalam menyusun laporan keuangan adalah keterlambatan dalam pertanggungjawaban penggunan dana, Kepala Sub Bagian Verifikasi dan Akuntansi Sekretariat Daerah Bapak Syamsudin Samuel Imanohos (wawancara pada tanggal 07 April 2014) mengungkapkan bahwa: “Sebenarnya masalah pokok LK ini pak di SPJ, hampir semua masalah pemerintahan di Papua ini masalah SPJ, jadi kalo SPJ beres berarti LK juga cepat. Jadi SPJ aja, kalo LK itu kan kita tinggal rangkum SPJ kita sudah susun LK, kadang-kadang kan aturan bilang tanggal 10 Januari SPJ itu sampai 31 Januari SPJ belum masuk itu 78
yang menghambat kita membuat LK disitu. Trus Badan Pengelola Keuangan itu selaku koordinator harus bekerja keras.” Bapak Syamsudin juga mengatakan bahwa peran PPK SKPD belum maksimal disebabkan karena kurangnya koordinasi BPKAD dalam pemberian kewenangan PPK SKPD, dan belum kompetennya penatausahaan keuangan SKPD dalam pengelolaan keuangan serta penempatan pegawai SKPD di Raja Ampat tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan: “Masalah sampai sekarang koordinasi yang kurang. Saya pikir dengan Permendagri 13 dengan penyempurnaan no 59 sebenarnya desentralisasi pengelolaan keuangan sudah dikasih ke SKPD cuman kadang-kadang PPK SKPD tidak diberdayakan dalam arti kewenangannya dikasih anggarannya juga harus dikasih biar mereka bisa sinkronkan bisa kerja, sebenarnya disana (BPKAD) kan tinggal rekap itu kalo mau jujur tergantung di SKPD ini, kalo SKPD ini bagus otomatis mereka cepat, nah rata-rata kelemahan kita tu disitu, ratarata di SKPD di Raja Ampat ini ada yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan makanya bingung gitu apalagi mau menyusun LK pak, liat SPJ saja belum mengerti” Kendala lainnya adalah perbedaan jadwal kegiatan keuangan BPKAD dan kegiatan penggunaan dana SKPD serta masalah administrasi yang tertunda disebabkan petugas di BPKAD dinas luar. Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas Pendapatan Daerah, Ibu Jumyati Kapitan Laut (wawancara pada tanggal 08 April 2014) mengakui bahwa keterlambatan penyampaian pertanggungjawaban laporan keuangan SKPD dikarenakan: “Biasanya kendalanya itu di kegiatan. Kayak soal kelola ya, biasa itu kita kan daerah kepulauan toh kan tidak mungkin mau sesuaikan kegiatan itu dengan jadwal keuangan, jadi kita harus tunggu sampai semua kegiatan direkap jadi satu, itu kadang terbengkalai dengan waktu. Memang kalo pemasukan laporan seperti batas waktu yang harus ditentukan kita harus masukan laporan keuangan kadangkadang memang terlambat tidak tepat waktu seperti itu.. Kadangkadang setelah laporan penyusunan keuangan jadi ketika sampai di 79
BPKAD inikan langsung ke bagian verifikasi dulu seperti ibu Kasubbag bilang, kalo disana orangnya ada, kan disana sudah dibagibagi misalnya kalo pegawainya itu tidak ada maka kita harus tunggu lagi, apalagi kalo keluar daerah, keluar daerah kan minimal lima hari perjalanan harus tunggu lagi. Belum lagi kalo kita punya berkas lengkap mereka periksa mungkin ada yang tercecer mereka (BPKAD) salahkan kita lagi, kita lagi yang cari akhirnya banyak waktu yang terbuang.” Ketika penyampaian laporan pertanggungjawaban SKPD disampaikan ke BPKAD yang terjadi adalah komunikasi satu arah, artinya BPKAD merupakan pusat informasi bagi SKPD memberikan komando namun tidak memberikan feedback sehingga BPKAD menjadi kurang peka dalam memahami apa yang dibutuhkan oleh SKPD.
Kesalahan teknis seperti
kesalahan penginputan diperbaiki sendiri oleh pihak pengelola keuangan tanpa
didiskusikan
kepada
SKPD,
kesalahan-kesalahan
teknis
ini
menunjukan kurang kompetennya tenaga keuangan di SKPD dibidang akuntansi dan penempatan tenaga berlatar belakang non keuangan yang kurang tepat dalam melaksanakan tata usaha keuangan SKPD. Sehingga yang terjadi adalah BPKAD tidak memberikan kewenangan sepenuhnya kepada SKPD untuk melaksanakan penggunaan dana. Selain
itu,
kurangnya
management
control
terhadap
kegiatan
pengelolaan keuangan di BPKAD tidak sejalan kegiatan pelaksanaan penggunaan dana SKPD menyebabkan terbenturnya masalah waktu serta administrasi yang berimbas pada keterlambatan laporan pertanggungjawaban SKPD. Hambatan ini menunjukan kepada pusat pengelola keuangan, bahwa pada manajemen lini tidak mempunyai kemampuan pengelolaan keuangan yang memadai. Meskipun demikian dibutuhkan kepercayaan dari BPKAD selaku pusat pengelola keuangan pemerintah harus memberikan kesempatan
80
pada penatausahaan keuangan SKPD untuk sebebasnya mengembangkan diri dan mendapat manfaat yang lebih dari informasi yang diberikan BPKAD. Manajer lini atau manajer keuangan sektor publik di setiap instansi harus ikut bertanggungjawab membangun kerangka pengendalian keuangan internal, karena tidak serta merta pusat pengelola keuangan di pemerintah mengambil tanggung jawab secara penuh fungsi pengendalian internal (Hepworth, 2003). Menurut Hepworth, biasanya pusat pengelola keuangan pemerintah khususnya pada negara transisi atau negara berkembang, mempunyai kecenderungan tidak mempercayai manajer lini, hal ini dikarenakan: 1. Pusat pengelolaan keuangan pemerintah takut manajemen lini tidak bisa mengatur pengendalian finansial atau masalah integritas dalam proses administrasi
(sebagai
bentuk
respon
atas
tingginya
tingkat
penyalahgunaan keuangan maupun korupsi). 2. Lack of management information bagi manajemen lini, karena semua informasi ada pada pusat pengelola keuangan pemerintah. Komunikasi yang bersifat satu arah menyebabkan BPKAD menjadi kurang peka terhadap apa yang dibutuhkan SKPD, serta tidak diberikan kewenangan sepenuhnya dalam pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran karena belum memadai kemampuan tenaga keuangan SKPD yang bisa saja disebabkan oleh latar belakang non keuangan dan belum adanya management control agar kegiatan BPKAD sejalan dengan kegiatan SKPD, tidak akan membawa dampak positif bagi pemkab dalam melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian magnitude rendah. Kurangnya kepercayaan BPKAD dalam wewenang pengendalian manajemen keuangan terhadap SKPD menunjukan
koordinasi antara BPKAD dan
SKPD kurang berjalan dengan baik akan akan mengurangi tingkat keyakinan untuk melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian 81
generality rendah. Komunikasi satu arah dan kurangnya pengendalian manajemen menunjukan koordinasi antara BPKAD dan SKPD kurang berjalan
baik
karena
tidak
semua
SKPD
dapat
menyampaikan
pertanggungjawaban keuangan dengan baik, sehingga akan mengurangi tingkat ekspektasi pemkab dalam melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian strenght rendah. Faktor keempat yakni Komunikasi pada Pemkab Raja Ampat menunjukan bahwa koordinasi antara BPKAD dan Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD dalam bentuk pertanggungjawaban laporan keuangan masih kurang. Sehingga, penilaian efficacy terhadap faktor komunikasi rendah. 4.5 Jasa Konsultan Organisasi memerlukan jasa konsultan yang dapat merekomendasikan sistem apa yang cocok dengan organisasi (Pabedinskaite, 2010). Konsultan manajemen
dibutuhkan,
karena
pihak
ini
mempunyai
spesialisasi
pengetahuan dan sangat berpengalaman dibidangnya untuk tenaga pembantu teknis implementasi (Eriotis, et al 2011). Narasumber yang diwawancarai dari BPKAD berjumlah 6 orang. Menurut Bapak Esau Paradjal selaku Kasubbid Penyusun Anggaran BPKAD (wawancara pada tanggal 24 April 2014) mengatakan kehadiran Sistem informasi akuntansi berbasis IT melalui jasa konsultan BPKP sangat membantu dalam pengelolaan keuangan daerah: “Ya artinya kita di papua ini kan hidup dibawah aturan otonomi sepanjang itu kami mampu untuk terapkan tetapi kehadiran temanteman kehadiran SIMDA lewat BPKP ini sangat membantu katakan aturannya kami harus terapkan itu prinsipnya tetap kami terapkan karena dia berlaku untuk seluruh indonesia termasuk kami di Raja Ampat.”
82
Bapak Orideko I. Burdam selaku Kepala Badan BPKAD (wawancara pada tanggal 05 April 2014) seperti yang dikatakan sebelumnya terkait sosialisasi, beliau mengatakan bahwa bahwa pengelolaan keuangan Pemkab Raja Ampat dilakukan secara mandiri tanpa pendampingan BPKP: “…tadinya kan kita pakai pendamping (BPKP) selama ditahun ini (2014) kita fokuskan mereka (para staf) bekerja dan mulai belajar menyusun sendiri.” Hal yang sama dikatakan oleh Bapak Fiktor Mayor Sekretaris BPKAD (wawancara pada tanggal 09 April 2014) seperti yang dikatakan sebelumnya tentang penyusunan laporan keuangan, Pemkab dapat secara mandiri menyusun LKPD tanpa pendampingan BPKP: “Sudah bisa sekarang usahakan untuk menyusun itu sendiri laporan keuangan tidak pernah didampingi lagi, biasanya didampingi oleh BPKP tapi sekarang penyusunan LKPD itu kita sendiri” Menurut Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Bappeda, Bapak Rachmat M. Nurjayamika (wawancara pada tanggal 08 April 2014) Pemkab Raja Ampat tetap memerlukan jasa konsultan karena yang dibutuhkan adalah keahlian mereka, namun perlu konsultan berperan aktif saling berkoordinasi dengan SKPD dan BPKAD: “Tergantung pak, kalo kita (Pemkab Raja Ampat) begini ya, dulu seingat saya bukan dari Bappedanya tapi badan pengelolaan keuangannya (BPKAD) itu mendatangkan konsultan dan itu akhirnya kita jadikan dasar perhitungan aset awal, artinya aset-aset yang sebelumnya pernah dicatat kadang-kadang meleset dengan perhitungan mereka nah sekarang bagaimana lah barangnya ada ternyata tidak ada, terus yang barang yang tidak ada menjadi ada, nah sekarang, sedangkan (aset-aset) itu dibuat dengan uang yang banyak dari ini..nah itulah kalo saya bilang artinya kalaupun kita seharusnya memerlukan tenaga dari luar bantuan memang kita perlukan karena keahlian mereka harusnya kita perlukan, tetapi harusnya tidak berjalan sendirian tapi harus berkoordinasi dengan satuan kerja sendiri jangan kita kerjasama tapi taunya cuman nongkrong di BPKAD saja.” 83
Berdasarkan
pendapat
dari
narasumber,
pengelolaan
keuangan
sepenuhnya berada ditangan Pemkab Raja Ampat dan proses yang berjalan pemkab harus menyusun laporan keuangan secara mandiri. Berdasarkan informasi yang didapat dari BPKP perwakilan Manokwari bahwa, BPKP telah bermitra dengan Pemkab Raja Ampat sejak tahun 2007 s/d 2013. BPKP dilibatkan secara langsung membantu pengelolaan keuangan pemerintah daerah dengan menempatkan beberapa personilnya pada bagian keuangan di lingkungan Pemkab Raja Ampat. Pada tahun 2014, kebijakan dalam penyusunan LKPD TA 2013 tidak lagi melibatkan BPKP secara langsung dalam pengelolaan keuangan melainkan hanya membantu sebatas layanan jasa dan konsultasi sistem informasi keuangan daerah yaitu aplikasi Simda. Berdasarkan informasi tambahan yang peneliti dapat dari BPKP perwakilan Papua Barat, sosialisasi terkait PP No.71/2010 belum pernah dilakukan oleh BPKP. Sosialisasi yang dilakukan adalah terbitnya Permendagri No. 64/2013 tentang penerapan akuntansi berbasis akrual di pemda. Pelaksanaannya sosialisasi jatuh pada bulan Desember 2013 dan pada saat itu BPKP mengundang 2 orang perwakilan dari BPKAD Raja Ampat, yang hadir mewakili saat itu adalah Sekretaris BPKAD dan Kepala Sub Bidang Akuntansi dan Keuangan. BPKAD sendiri belum melaksanakan sosialisasi SAP berbasis akrual dan tidak dapat mengimplementasikannya di tahun 2014, dikarenakan menurut Bapak Fiktor Mayor akibat padatnya kegiatan di lingkungan Pemkab Raja Ampat seperti MTQ se-Papua Barat, HUT Pemkab, persiapan kegiatan Sail Raja Ampat 2014: Belom ada, tapi kita dari BPKAD satu waktu karena waktu kesibukan dan banyak tamu dan kegiatan-kegiatan besar (MTQ se-Papua Barat, HUT Pemkab, persiapan kegiatan Sail Raja Ampat 2014), padahal kita merencanakan bahwa Depdagri akan datang sosialisasi itu PP 71 tentang akuntansi berbasis akrual. 84
Ibu Zahara selaku Kabid Akuntansi BPKAD (wawancara pada tanggal 03 April 2014) juga menambahkan selain padatnya kegiatan di lingkungan Pemkab Raja Ampat, BPKAD disibukkan oleh proses penyusunan LK TA 2013 belum di audit yang sempat tertunda: “Tahun ini harus sudah dipakai (implementasi PP 71/2010) sebenarnya, cuman kami di akuntansi kebetulan masih sibuk dengan yang penyusunan laporan keuangan tahun dua ribu tiga belas, harusnya tahun ini sudah di pakai, sudah diwajibkan pakai.” Kebijakan pemkab untuk melaksanakan kemandirian dalam pengelolaan keuangan daerah sangat berkebalikan dengan implementasi perubahan SAP yang membutuhkan tuntunan maupun keterlibatan konsultan seperti BPKP atau jasa konsultan lainnya. Pemkab Raja Ampat perlu berkoordinasi dengan konsultan. Jasa konsultan seperti BPKP sangat diperlukan agar implementasi SAP berbasis akrual terarah dan dapat berjalan dengan baik. Dampak kemandirian dalam pengelolaan keuangan ini adalah timbulnya resistensi, karena pemkab sudah terbiasa dengan aturan yang lama. Selain itu, keterlambatan penyusunan laporan keuangan TA 2013 apabila tidak dapat diselesaikan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, akan berimplikasi
di
tahun
2015
Pemkab
kemungkinan
tidak
dapat
mengimplementasi akuntansi berbasis akrual atau mengalami penundaan pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual. Jasa dari BPKP hanya sebatas jasa pengembang aplikasi SIMDA, artinya pihak BPKP tidak dilibatkan lagi untuk membimbing Pemkab Raja Ampat mengelola keuangan daerah. Namun permasalahan yang terjadi, saat pemkab mulai belajar menjalankan kemandirian, pemerintah menghadapi permasalahan
terhambatnya
penyusunan
laporan
keuangan
daerah.
Akibatnya sosialisasi maupun pelatihan teknis terkait SAP berbasis akrual belum dapat dilaksanakan. Apabila pelaksanaan implementasi SAP 85
dilakukan akan beresiko reform of fatigue yaitu hilangnya sense of urgent dan rasa antusiasme Pemkab Raja Ampat akan merasa lelah dengan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa merasakan manfaatnya, sehingga penilaian magnitude adalah sangat rendah. BPKP tidak terlibat dalam pengelolaan keuangan sebagai tenaga pendamping dan timbulnya reform of fatigue akan mengurangi tingkat keyakinan dari Pemkab Raja Ampat dalam melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual sehingga penilaian generality adalah sangat rendah. Tanpa adanya keterlibatan BPKP dalam pengelolaan keuangan karena tidak memadainya kemampuan penatausahaan keuangan SKPD dalam mengelola keuangan akan mengurangi ekspektasi dari Pemkab Raja Ampat dalam melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual, sehingga penilaian strenght adalah sangat rendah. Faktor kelima yakni Jasa Konsultan menunjukan bahwa Pemkab Raja Ampat tidak melibatkan BPKP dalam pengelolaan keuangan dan untuk menghindari timbulnya reform of fatigue, pemkab membutuhkan jasa BPKP dalam penerapan implementasi SAP berbasis akrual. Sehingga, penilaian efficacy aktor-aktor organisasi terhadap faktor jasa konsultan sangat rendah.
4.6 Penghargaan dan Sanksi Pelaksanaan
implementasi
perlu
pemberian
insentif
apabila
melaksanakan inovasi dan disinsentif apabila menghindari inovasi (Klein dan Sorra, 1996). Dalam penyusunan laporan pertanggungjawaban keuangan di setiap SKPD perlu diberi penghargaan dan sanksi untuk memanfaat kan sumber daya baik manusia maupun finansial tergantung dari kebijakan masing-masing pemda. Perbaikan maupun penurunan opini dari BPK bisa memberikan tolak ukur bagi pemda harus dapat memberikan penghargaan maupun sanksi kepada SKPD-SKPD atas kinerja keuangan mereka. Pemerintah harus mempunyai kapasitas memberi penghargaan dan sanksi 86
secara finansial agar penggunaan sumber daya dilakukan secara efisien dalam menjalankan praktik pengelolaan keuangan sehari-hari (Hepworth, 2003). Narasumber yang diwawancarai berjumlah 10 orang (3 dari BPKAD dan 7 dari PPK SKPD).
4.6.1 Penghargaan (Pemberian Insentif) Pemkab Raja Ampat perlu memberi penghargaan berupa insentif bagi setiap SKPD (khususnya bidang keuangan) yang melaporkan laporan keuangan yang terbaik. Kriteria beban kerja laporan secara tepat waktu dan kualitas laporan merupakan ukuran yang digunakan dalam
memberikan
insentif berupa uang atau benda seperti yang diungkapkan Kepala Badan BPKAD Bapak Orideko I. Burdam (wawancara pada tanggal 05 April 2014) terkait pemberian insentif dilakukan BPKAD dalam pelaksanaan SAP berbasis akrual, tujuannya untuk memacu kinerja SKPD dalam menyusun laporan keuangan lebih baik lagi: “Waktu itu perlu, saya kasih contoh saja untuk tahun 2013 laporan keuangan itu siapa yang nyusun (laporan keuangan) sesuai dengan mekanisme, tepat waktu, kita sediakan kita kasih reward, bahkan siapa tadi yang saya sampaikan administrasi yang baik, dia ikut mekanisme tahapan-tahapan itu sampai ini kita kasih reward yaitu untuk (TA) 2013 ini saya kasih perangsang kepada SKPD satu unit mobil, biar merangsang mereka untuk mereka bisa menyusun laporan (keuangan) mereka bisa menata pengelola keuangannya dengan baik, jadi administrasinya kita liat semua terbaik disitu, ya itu sebagai pancingan kedepannya semua SKPD berlomba-lomba dan bisa menertibkan pengelolaan keuangannya.” Kebijakan pemberian insentif telah dilakukan BPKAD berguna memberikan rangsangan agar penatausahaan SKPD
semakin baik,
Sedangkan dampaknya di SKPD adalah penyemangat kerja seperti yang diungkapkan Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas
87
Pendapatan Daerah, Ibu Jumyati Kapitan Laut (wawancara pada tanggal 08 April 2014): “Kalo kami di SKPD dibatasi hanya untuk kerja saja, itu urusan BPKAD cuman kita mungkin, ada insentif untuk penyemangat kerja begitu.” Pemberian insentif seperti apa yang diungkapkan Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bapak Abdul Latif Soltif (wawancara pada tanggal 14 April 2014) apabila berdasarkan mekanisme dan kriteria yang ditetapkan oleh BPKAD akan diberikan insentif yang masuk dalam DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran), sedangkan pemberian juara yang terbaik itu berdasarkan penilaian Inspektorat: “Kemaren-kemarenkan bonus, yang juara satu ya mungkin dikasih bonus honor begitu apa tunjangankah yang juara saja per SKPD yang bagian keuangan aja sih kan semua pada terlibat ada bendahara gaji, bendahara penerimaan, pengeluaran sama barang. nah itu sudah masuk di DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran), di semua SKPD ada tapi kalo untuk juara-juara ini pas pemeriksaan dari inspektorat, nah itu yang juara dikasih bonus dari sana, penilaian dari inspektorat” Hal ini juga diungkapkan Ibu Sri Yanti selaku Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Dinas Pekerjaan Umum(wawancara pada tanggal 16 April 2014) pemberian penilaian juara terbaik langsung diberikan oleh kepala daerah berdasarkan penilaian BPK maupun Inspektorat: “Sampai sekarang sih belum Cuma kalo pada saat ulang tahun marinda (Ulang tahun Raja ampat) kita dua kali berturut-turut dapat juara, pertama waktu 2011 juara tiga kemarin eh 2012 juara tiga, laporan 2013 untuk 2012 kemaren juara satu. Insentif tapi bukan dari keuangan, bukan dari keuangan tapi dari Bupati langsung. Jadi inspektorat yang periksa, mereka yang menentukan dikasih tembusannya ke bupati, kalo untuk dari keuangan ditahun ini kayaknya itu tapi belum, itu berdasarkan penilaian langsung dari BPK.” 88
Penilaian juara terbaik dinilai oleh inspektorat seperti yang dikatakan oleh Plt. Kepala Sub Bagian Keuangan Inspektorat Bapak Amril Laude (wawancara pada tanggal 10 April 2014) pemberian insentif sudah berjalan sejak tahun 2012 diberikan kepada tiga SKPD dengan laporan keuangan terbaik: “Untuk Pemda Raja Ampat sendiri itu sudah pemberian reward sudah berjalan sejak tahun dua ribu dua belas kemaren, jadi setiap SKPD dinilai tiga SKPD terbaik dalam laporan keuangan yang nanti diberikan berupa insentif begitu kepada mereka, supaya ada motivasi dari SKPD lain.” Berdasarkan pendapat narasumber, pemberian penghargaan di Pemkab Raja ada 2 bentuk yaitu: Pertama, pemberian insentif dilakukan oleh BPKAD
kepada
setiap
SKPD
yang
menyampaikan
laporan
pertanggungjawaban keuangan tepat waktu dan sesuai dengan mekanisme maupun kriteria yang ditetapkan oleh BPKAD. Kedua, pemberian bonus juara penilaian terbaik berdasarkan pemeriksaan dari Inspektorat dan BPK yang diambil adalah 3 (tiga) laporan keuangan SKPD terbaik. 4.6.2 Sanksi (Disinsentif) Pemberian sanksi juga diberikan apabila mengalami keterlambatan dengan ditekan melalui teguran dan menahan insentif SKPD. Apabila Pemkab Raja Ampat sudah menerapkan pemberian insentif maupun disinsentif pada pengelolaan keuangan sebelumnya, maka pada pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual perlu diajukan kembali usulan kegiatan tersebut. Kepala Badan BPKAD Bapak Orideko I. Burdam (wawancara pada tanggal 05 April 2014) mengungkapkan adanya kemungkinan sanksi yang
89
diberikan berupa pemotongan dana operasional SKPD sebesar lima belas persen jika tidak sesuai dengan kriteria yang ditentukan: “Ada sanksi juga, jadi sanksinya itu mungkin pengurangan dia punya operasional atau penatausahaan lima belas persen, yang tidak masuk kriteria-kriteria, tidak memenuhi syarat ya tetap akan dikenakan sanksi.” Apa yang diungkapkan oleh Bapak Ori senada dengan apa yang diungkapkan Kepala Sub Bagian Verifikasi dan Akuntansi Sekretariat Daerah Bapak Syamsudin Samuel Imanohos (wawancara pada tanggal 07 April 2014), sanksi yang diberikan berupa pengurangan dana SKPD: “Ada sanksi biasanya berupa pengurangan dana di SKPD itu ada” Berbeda dari pendapat Bapak Ori dan Bapak Syamsudin, Ibu Zahara (wawancara pada tanggal 03 April 2014) mengatakan tidak sanksi yang memberatkan apabila keterlambatan mengumpulkan laporan keuangan, sanksi yang diberikan hanya berupa teguran: “Sanksinya itu pak, kalau laporannya tidak masuk, terlambat maka reward itu tidak akan didapat dan sanksi berupa teguran, cuman kalo sanksi-sanksi yang berat itu belum ada seperti pemotongan apa segala macam itu tidak ada.” Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Ibu Zahara, Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Ibu Fransiska Berselina Msen (wawancara pada tanggal 16 April 2014) bahwa insentif dibayar tetapi Ibu Fransiska menambahkan bahwa uang persediaan (UP) akan ditahan : “UP (Uang Persediaan) nya ditahan, terus insentifnya tidak dibayar, sampai menyelesaikan (laporan).”
90
Terkait dengan sanksi, menurut Kepala Sub Bidang Verifikasi BPKAD, Bapak Abu Bakar Saka (wawancara pada tanggal 07 April 2014, hal ini tergantung dari pimpinan daerah: “Ya saya pikir itu kan kembali kepada pimpinan daerah gitu kan, kalo memang melihat bagaimana situasi dan kondisi yang ada ya itulah kembali ke pimpinan daerah gitu.” Plt. Kepala Sub Bagian Keuangan Inspektorat Bapak Amril Laude (wawancara pada tanggal 10 April 2014) menambahkan ada sanksi diberikan dalam pelanggaran pengelolaan keuangan daerah adalah jika ada temuan BPK, maka SKPD harus menindaklanjuti temuan BPK: “Sanksi mengenai pelanggaran pengelolaan laporan keuangan sementara masih untuk sejauh pelimpahannya ke kejaksaan biasanya belum, tapi hanya sebatas menindaklanjuti temuan BPK RI, jadi kalo misalnya ada temuan dari BPK RI kemudian keluar ketinggalannya dari BPKAD dan SKPD wajib menindaklanjuti itu setiap tahunnya. Jadi kalo misalnya ada temuan sepuluh juta dalam tahun itu belum bisa diselesaikan semuanya, ya bisa dicicil lima juta. Sampai intinya, tindaklanjut dari BPK itu harus selesai.” Sedangkan keterlambatan menurut Bapak Amril pemberian insentifnya akan ditahan oleh BPKAD: “Itu (keterlambatan) sejauh yang saya tau di BPKAD itu kalo misalnya terlambat penyampaian laporan keuangan dari SKPD itu terlambat ditahan insentifnya, setiap pejabat pengelola keuangan itu kan ada insentif jadi misalnya penyampaian laporannya belum beres berarti insentifnya ditahan dia (BPKAD).” Berdasarkan pendapat dari para narasumber pemberian sanksi di Pemkab Raja Ampat memunculkan beberapa versi atau bentuk: Pertama, sanksi akibat keterlambatan penyampaian laporan keuangan SKPD berupa teguran dan insentif tidak dibayar. Kedua, sanksi akibat keterlambatan penyampaian laporan keuangan SKPD berupa insentif tidak dibayar dan uang persediaan ditahan. Ketiga, keterlambatan penyampaian laporan 91
keuangan akan dikenakan sanksi berupa insentif ditahan sampai proses urusan
keuangannya
selesai.
Kempat,
sanksi
akibat
keterlambatan
penyampaian laporan keuangan SKPD berupa pemotongan dana dari anggaran SKPD. Kelima, sanksi yang memberatkan apabila terjadi pelanggaran pengelolaan keuangan, SKPD harus mengganti kerugian. Berdasarkan kelima versi sanksi tersebut, ada dua sanksi yakni sanksi keterlambatan dalam penyampaian laporan keuangan dan sanksi pelanggaran dalam pengelolaan keuangan. Belum jelasnya versi mana yang dianggap tepat terkait sanksi keterlambatan penyampaian laporan keuangan. Namun penelitian ini lebih memfokuskan perlu apa tidaknya pemberian sanksi dalam rangka implementasi SAP berbasis akrual bukan dilihat dari pemahaman narasumber yang berbeda-beda.
4.6.3 Pemberian Insentif dan Disinsentif dalam Pelaksanaan SAP Berbasis Akrual Pemberian penghargaan dan sanksi pada periode-periode sebelumnya diserahkan kepada Pemkab Raja Ampat, ada pendapat yang berbeda dari dua narasumber apabila dalam pelaksanaan implementasi berbasis akrual nantinya tidak dilakukan oleh pemkab melainkan institusi diluar Pemkab Raja Ampat seperti yang diungkapkan Bapak Esau Paradjal selaku Kasubbid Penyusun Anggaran BPKAD (wawancara pada tanggal 24 April 2014) berpendapat bahwa pemberian reward itu tidak ada hanya dalam bentuk kegiatan saja, namun usulan pemberian insentif dan disinsentif terkait akuntansi berbasis akrual diserahkan ke BPKP untuk memacu motivasi Pemkab Raja Ampat: “Yang lama tidak ada, cuman kan dalam bentuk kegiatan-kegiatan aja itupun saya belum bisa pastikan mungkin nanti (untuk implementasi SAP berbasis akrual) didalam itu ada teman-teman
92
BPKP yang mampu untuk beri sesuatu yang jadi untuk motivasi reward itu” Berbeda dengan pendapat dari narasumber sebelumnya, menurut pendapat dari Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan Bappeda, Bapak Rachmat M. Nurjayamika (wawancara pada tanggal 08 April 2014) bahwa pemberian insentif maupun disinsentif ke SKPD seharusnya hanya diberikan oleh BPK atau pemerintah pusat bukan dilakukan oleh BPKAD karena tingkat kesulitan penyusunan laporan keuangan SKPD itu berbeda: “Bagi saya cukuplah kepada pemerintah pusat atau kepada BPK yang merekomendasikan penilaian apa namanya suatu bonus itu dari BPK kepada pemerintah daerah tidak perlu (BPKAD)..yang harusnya terbaik itu Badan Pengelola Keuangan itu harusnya yang terbaik bukan di SKPDnya kalo bicara tentang siapa yang terbaik karena Badan Pengelola Keuangan selalu yang terbaik seharusnya berbicara itu (pemberian insentif dari BPKAD),itu tidak terlalu efektif karena tingkat kesulitannya berbeda dalam menyusun laporan keuangan.” Berdasarkan pendapat dari narasumber, sebagian besar mengatakan bahwa pemberian penghargaan maupun sangsi sudah dilaksanakan di lingkungan Pemkab Raja Ampat. Namun, pendapat yang berbeda-beda dari narasumber tentang siapa yang berhak memberikan reward dan punishment terkait adanya pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual, apakah Kepala Daerah atau BPKAD atau Inspektorat atau pihak luar seperti BPK maupun BPKP. Kebijakan terkait pemberian insentif bisa berubah dalam penyampaian laporan keuangan tiap tahunnya. Karena tidak serta merta kebijakan tersebut dilaksanakan tahun berikutnya. Untuk penyampaian laporan keuangan daerah berdasarkan opini terbaik dari
BPK, pemerintah pusat memberikan apresiasi dalam
penambahan dalam dana perimbangan
bentuk
APBD dan disinsentif berupa
pengurangan atau penahanan dana perimbangan APBD. Pada tingkat SKPD,
93
kepala daerah atau BPKAD memberikan apresiasi berupa insentif materiil maupun non materiil, sedangkan pemberian laporan keuangan terbaik berdasarkan pertimbangan BPK dan Inspektorat. Pemberian penghargaan dan sanksi setiap daerah berbeda-beda tergantung kebijakan masing-masing daerah. Menurut Simanjuntak (2010), pemerintah dalam merencanakan SDM dalam bidang akuntansi pemerintahan perlu memberikan sistem insentif dan renumerasi yang memadai mencegah timbulnya praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Guna menghindari korupsi secara sistemik menurut Hepworth (2003), birokrasi yang ada dalam pemerintahan harus menjamin bahwa aturan terbaru akuntansi dan anggaran berbasis akrual harus dipatuhi dan dilaksanakan. Sanksi yang memberatkan kepada SKPD apabila kegiatan program SKPD tidak sesuai dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan BPKAD berupa pemotongan dana operasional SKPD sebesar 15% (lima belas persen).
Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2004 tentang pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara, sanksi yang diberikan untuk mengganti kerugian negara berupa hukuman kurungan penjara atau bisa ditambah denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tergantung dari pelanggaran yang dilakukan. Pemberian penghargaan dan sanksi akan memberikan dampak positif bagi Pemkab Raja Ampat dalam melaksanakan implementasi SAP berbasis akrual, perlunya penghargaan dan sanksi dalam implementasi SAP berbasis akrual akan mempermudah pelaksanaan implementasi, sehingga penilaian magnitude tinggi. Pemberian bonus dan insentif telah dilakukan di Pemkab Raja Ampat setiap tahunnya, oleh karena itu perlunya adanya penghargaan dan sanksi dalam implementasi SAP berbasis akrual
yang akan
meningkatkan keyakinan Pemkab Raja Ampat dalam melaksanakan implementasi, sehingga penilaian generality tinggi. Aktor-aktor organisasi 94
menyetujui perlu adanya penghargaan dan sanksi dalam pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual yang akan meningkatkan ekspektasi Pemkab Raja Ampat sehingga penilaian strenght tinggi. Maka disimpulkan pada faktor keenam menunjukan bahwa adanya dukungan dari Pemkab Raja dalam pemberian penghargaan dan sanksi dalam pelaksanaan implementasi SAP berbasis akrual. Sehingga, penilaian efficacy aktor-aktor organisasi terhadap penghargaan dan sanksi tinggi.
95
96