BAB IV POSISI KARL JASPERS DALAM PEMIKIRAN FILSAFAT A. Corak Pemikiran Karl Jaspers 1. Struktur Eksistensi Karl Jaspers Pemikiran eksistensi Karl Jaspers tidaklah berdiri sendiri dan muncul begitu saja tanpa ada pengaruh dari pemikiran filsafat sebelumnya. Filsafat Jaspers dipengaruhi oleh filsuf eksistensialisme sebelumnya. Para filsuf tersebut adalah Friedrich Nietzsche dan Soren Aabye Kierkegaard. Kedua tokoh tersebut menjadi inspirator Jaspers tentang gagasan kebebasan sebagai cara berada manusia di dunia. Kedua tokoh tersebut pula menjadi referensi Jaspers dalam merumuskan filsafat eksistensinya. Penelusuran Jaspers tentang eksistensialisme melalui fenomenologi Edmund Husserl yang dikenalnya melalui Martin Heidegger. Melalui melalui ini pula Jaspers mengembangkan pemikirannya tentang eksistensi manusia. Tidak hanya filsuf eksistensialisme saja yang mempengaruhi gagasan Jaspers dalam memandang masalah kebebasan manusia, tetapi juga filsuf kritisisme abad 18 yaitu Imanuel Kant. Dialog-dialog Jaspers dengan filsuf tersebut, menjadi pijakan Jaspers dalam menemukan pemikiran eksistensinya, terutama Imanuel Kant yang menjadi sumber inspirasi Jaspers akan kepercayaan filosofis tentang adanya transendensi. Seperti kita ketahui pada uraian sebelumnya, munculnya pemikiran Karl Jaspers berawal tentang “aku”. Gagasan aku ini diuraikan Jaspers melalui fenomenologi
Husserl dengan menguraikan persoalan ada. Bagi Jaspers
dikotomi antara ada-subyek dan ada-obyek tidak dapat dipisahkan, karena kedua hal tersebut adalah ada “yang melingkupi”. Ada-subyek merupakan aku yang ada dalam pengamatanku sedang ada-obyek adalah aku yang ada dalam pengetahuanku, sementara kedua hal itu tidak dapat dipisahkan karena akan selalu menyertai dalam usaha memahami, mengamati dan menghayati kenyataan.
60
61
Kenyataan bahwa Jaspers tidak dapat mengungkapkan kebenaran yang bersifat pasti di dunia, menunjukkan bahwa kebenaran tidak dapat disamakan atau berhenti pada satu titik saja, tetapi kebenaran akan selalu mencari dan mencari sampai pada yang tidak terbatas. Nietzsche mengungkapkan bahwa kebenaran di dunia tidak ada yang pasti. Ungkapan Nietzsche ini didasari atas adanya keraguan dalam memandang sesuatu, dan yang dapat dipercayai adalah dirinya sendiri. Titik tolak gagasan Nietzsche adalah kehendak berkuasa, karena pada dasarnya manusia mampu untuk menguasai dunia bukannya manusia dikuasai oleh dunia.
1
Pemikiran ini menunjukkan pada Jaspers saat ia
menguraikan eksistensinya bahwa tidak ada eksistensi yang pasti karena eksistensi adalah kemungkinan. Komunikasi membentuk eksistensi manusia senantiasa bergerak dan berubah-ubah. Sebagaimana yang diungkapkan Soren Aabye Kierkegaard bahwa manusia sebagai suatu kenyataan subyektif, sedang subyektifitas manusia adalah individual, maka dari itu manusia bereksistensi. Soren memberi penjelasan bahwa dalam subyektifitas manusia ada kehendak bebas, sedang kehendak bebas bersifat individual. untuk itu dalam diri yang individual ada kebebasan.2 Subyektifitas adalah titik dari segala sesuatu, karena subyek adalah yang memulai segala sesuatu, sehingga segala sesuatu tidak berawal dari obyek tetapi berawal dari subyek (dalam pemikiran Imanuel kant di sebut sebagai revolusi kopernikan ke subyek). 3 Pemikiran Kant ini telah membalikkan tradisi yang selama ini ada bahwa segala sesuatu dimulai dengan obyek, tidak demikian dengan pemikiran Kant bahwa segala sesuatu dimulai melalui subyek karena subyek adalah sumber dari perbuatan manusia. Kant juga menyajikan peranan manusia dalam perbuatannya dengan Critique of Practical Reason, bahwa manusia adalah bagian dari dunia fenomenal dan sanggup membuat pilihanpilihan moral. Kant berpendapat bahwa manusia mempunyai eksistensi noumenal maupun fenomenal. Kant memperlihatkan bahwa manusia sebagai 1
Gilles Deleuze, Filsafat Nietzsche, Ikon Teralitera, Yogyakarta, 2002, hlm. 88-89 Zainal Abidin, Filsafat Manusia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm 133 3 Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hlm. 31 2
62
bagian dunia alamiah maka manusia tidak terlepas dari kecenderungankecenderungan yang bermuara pada tindakan, seperti, keinginan, kebutuhan, emosi dan sebagainya. Akan tetapi tidak semua tindakan manusia didorong oleh kecenderungan-kecenderungan. Orang mempunyai kekuatan kehendak, dan kehendak ini bersifat bebas, dan ia bukan dari dunia fenomenal. Inilah yang dikatakan Kant bahwa eksistensi dapat berupa noumenal ataupun fenomenal.4 Sumbangan pemikiran Imanuel Kant sangat besar dalam pembentukan pemikiran Karl Jaspers, dimana titik pangkal pemikiran Jaspers tentang perbuatan manusia adalah berawal dari subyek. Untuk itu ketika Jaspers menguraikan eksistensinya berawal dari aku sebagai subyek yang mampu ada dan berada di dunia. Subyek ini bersifat individual maka subyek ini bersifat kemungkinan, karena manusia dapat eksis apabila berada dan eksis dengan yang lain. Eksistensi Jaspers selalu bergerak dan senantiasa mengalami perubahan, maka dari itu eksistensi akan bergerak kearah transendensi. Manusia
sebagai
subyek
tentunya
mempunyai
peranan
atas
perbuatannya. Berbeda ketika manusia sebagai obyek karena manusia berada di luar diri manusia sehingga ketika manusia sebagai obyek maka manusia tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan tindakannya. Adanya kebebasan manusia ketika menentukan tindakannya terwujud dari adanya kehendak yang muncul dari keinginan dan nafsu, karena secara fitrah manusia mempunyai kedua hal tersebut. Saat manusia menentukan tindakan atas adanya pilihan, saat itu muncul kebebasan untuk menentukan pilihan tersebut, tetapi saat itu pula, saat menentukan pilihan muncul kebebasan. Dengan adanya kebebasan saat menentukan pilihan pada hakekatnya adalah ketidakbebasan, karena kebebasan terbatas pada pilihan. Kebebasan pada dasarnya tidak hanya pada masalah menentukan pilihan tetapi juga kebebasan dalam berfikir. Dengan begitu kebebasan tetap pada halhal tertentu saja tidak dapat dalam setiap persoalan atau dalam setiap perbuatan manusia di dunia. Untuk itu Jaspers menegaskan kebebasan sebagai perwujudan 4
Robert C. Solomon, Kathleen M. Higgens, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, Yogyakarta, 2002, hlm. 382
63
eksistensi yang berada diantara eksistensi yang lain, karena pada setiap cara berada seseorang akan bersinggungan dengan eksistensi yang lain, dengan begitu pada dasarnya eksistensi tidak pernah berada dalam kebebasan sepenuhnya. Adanya ketidakbebasan saat kebebasan, menunjukkan bahwa ada yang tak terbatas diluar manusia. Seperti dalam penjelasan diawal bahwa tidak ada yang mutlak di dunia. Berangkat dari sini kemudian Jaspers menunjukkan bahwa manusia yang bereksistensi mengalami situasi batas (ultimate situation) mengantarkan kita untuk dapat membaca simbol (chiffer) atas adanya situasi batas. Situasi batas adalah situasi kondisi dimana seseorang harus menerima dan mengisi dengan menentukan pilihan dalam kehidupannya, seperti saat kegelisahan, keputusasaan, kegagalan, atau yang paling besar yang pasti dihadapi manusia adalah kematian, karena saat kematian seseorang tidak dapat menolaknya. Uraian tersebut, menunjukkan bahwa ada yang melingkupi adlam eksistensi manusia yaitu trnsendensi. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa situasi batas dapat dibaca sebagai simbol yang mengantarkan pada transendensi karena melalui simbol tersebut dapat mengantarkan pada yang transendensi. Sebagai contoh yang konkrit adalah kematian, kematian merupakan situasi yang pasti dan tidak dapat ditolak manusia, dengan begitu bahwa dengan cara apapun manusia bereksistensi akan menghadapi kematian. Kematian merupakan situasi yang menunjukkan pada kita adanya eksistensi yang lain yang tidak terbatas (transendensi). Demikian Jaspers menggambarkan struktur eksistensinya. Maka dari itu yang menajdi titik pangkal Jaspers dan yang menjadi perhatian dalam eksistensinya adalah subyektifitas manusia, karena dengan menjadi subyek manusia dapat bereksistensi. 2. Corak Pemikiran Karl Jaspers Kebebasan dalam pandangan Jaspers tidak dapat dilepaskan dari pilihanpilihan, karena dengan pilihan-pilihan manusia akan mampu menghayati kebebasannya. Adanya pilihan-pilihan ini, Jaspers menyimpulkan bahwa
64
manusia akan mampu eksis apabila manusia selalu berinteraksi dengan orang lain, sedang untuk selalu dapat eksis manusia harus bebas. Dari pemikiran Jaspers ini terlihat bahwa manusia tidak bisa hanya cukup dengan bebas saja, ada pilihan pasti ada keputusan, ada keputusan pilihan pasti ada konsekwensi yang harus dijalankan, untuk itu Jaspers menekankan bahwa kebebasan tidak dapat lepas dari tanggungjawab.5 Tanggungjawab merupakan satu konsekwensi yang harus diterima oleh manusia ketika berhadapan dengan pilihan-pilihan. Ketika manusia menghadapi pilihan disitulah manusia mampu menghayati kebebasannya. Cukup jelas disini bahwa kebebasan yang digambarkan Jaspers tidak seperti apa yang dibayangkan oleh Sartre. Sartre menilai bahwa kebebasan adalah satu kata kunci dalam kehidupan manusia, karena manusia adalah satusatunya mahluk dimana eksistensi mendahului esensi. Manusia adalah kebebasan, kebebasan sendiri tidak dapat bertumpu pada sesuatu selain kebebasan itu sendiri. Bagi Sartre manusia sudah dihukum bebas, sehingga melarikan diri dari kebebasan juga merupakan salah satu cara untuk merealisasikan kebebasan itu sendiri. Bagi Sartre yang menentukan batas-batas kebebasan adalah kebebasan itu sendiri, karena kebebasan manusia itu mutlak adanya.6 Kebebasan dalam pikiran Jaspers tidak semata-mata manusia bebas. Kebebasan merupakan penghayatan akan eksistensi manusia, dimana manusia akan menemukan kebermaknaan dirinya dalam kesejarahannya, ataupun proses interaksinya. Kebermaknaan ini akan menjadi abadi manakala manusia dapat selalu bebas untuk mewujudkan eksistensinya. Meskipun Jaspers mempercayai akan adanya yang abadi tetapi apa yang ditemui manusia, apa yang telah dicapai manusia tidaklah abadi, justru ketika manusia bereksistensi dalam kebebasannya maka manusia akan menemukan bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi kecuali yang transenden.
5
Fuad Hasan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Pustaka Jaya, Jakarta, 1992, hlm. 114 K. Bertens, Filsafat Abad XX jilid II Perancis, seri filsafat Atma Jaya:2, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1996, hlm. 99-100 6
65
Transendensi, merupakan kekuatan yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran dan segala kemampuan manusia. Transenden merupakan sesuatu yang diluar manusia dan selalu melingkupi “Das Umgreifende”, atau dalam bahasa kita Allah, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam diri manusia “ jiwa” dan “Allah” atau dapat disebut “eksistensi” dan “transendensi”. Bagi Jaspers eksistensi dan transendensi hanya dapat dicapai ketika manusia mampu secara terus menerus untuk berada dalam kebebasan karena hanya dengan kebebasan manusia akan mampu untuk ada dan eksis di dunia.7 Dalam pemikiran Jaspers tentang kebebasan eksistensinya, nampak bahwa seseorang akan mampu eksis dan berperan dalam keberadaanya, maka manusia harus dalam keadaan yang bebas, manusia hanya akan merasa bebas ketika ia dalam ketidak bebasan karena ada pilihan, situasi batas yang ia hadapi. Bahwa apa yang selalu melingkupi diri manusia ini sebenarnya adalah eksistensi yang abadi. Dengan berekstensi yang dimaksud oleh Jaspers adalah mengalami kondisi diatas, maka manusia akan menemukan kenyakinan akan Tuhan Yang Maha Esa. Adanya eksistensi manusia dapat digambarkan dalam bentuk lingkaran segitiga dibawah ini:
Kenyataan ini yang menjadi warna dalam pemikiran Jaspers dan membedakan Jaspers dengan para eksistensialis yang lain. Kebebasan manusia 7
Harry Hamersma, Filsafat Eksistensi Karl Jaspers, PT. Gramedia, Jakarta, hlm. 29-30
66
merupakan cara manusia untuk menunjukkan keberadaannya dalam situasi batas, dengan begitu kenyataan bahwa manusia tidak dapat eksis secara abadi karena eksistensi
merupakan proses untuk menjadi dan selamanya akan
melakukan proses menuju transendensi. Dengan filsafat eksistensinya, Jaspers telah menunjukkan secara nyata dalam aliran filsafat eksistensialisme tentang adanya Illah dalam kehidupan sebagaimana yang pernah dibayangkan oleh Soren meskipun belum dapat dinyatakan secara jelas. Dengan kebebasan manusia ini Jaspers berhasil menyakinkan pada dunia akan adanya transendensi dalam kehidupan manusia. Dari pemikiran Jaspers ini telah menunjukkan pada dunia akan kehebatan filsafatnya dalam menguraikan eksistensi manusia. Dalam kategori filsafat, pemikiran Jaspers tergabung ke dalam filsafat eksistensialisme tetapi Jaspers sendiri menolak apabila pemikirannya dimasukan dalam kategori tersebut. Jaspers lebih suka menyebut pemikirannya dengan istilah filsafat eksistensi, karena warna pemikiran yang telah ada dalam karya-karyanya. B. Humanisme dalam Kebebasan Manusia Karl Jaspers Tujuan dari pemikiran eksistensialisme tak lain adalah menjadikan manusia ada dan mampu berada. Eksistensi Jaspers menunjukkan bahwa manusia dapat berada dan eksis dengan kebebasan, karena saat manusia dihadapkan pada situasi batas maka manusia benar-benar akan merasa ada. Dalam buku Jaspers, Man in the Modern Age, telah digambarkan sedemikian rupa mengenai kondisi sosial dan psikologis manusia, bahwa
sangkaan yang kuat pada kemajuan masyarakat
peradaban teknologi, yang dianggap Jaspers sebagai penyakit sosial. Semakin besarnya ketergantungan pada kriteria pemikiran obyektif yang harus dibayar dengan semakin terpinggirkannya eksistensi manusia yang sebenarnya.8 Kenyataan yang dilihat Jaspers, bahwa individu-individu manusia telah penuh sesak dengan pemikiran obyektif dan mekanistik, sehingga kehendak individu semakin terdesak dan pudar. Dikuasainya diri atas rasionalisme dan keahlian teknik mengakibatkan manusia modern mengingkari atau menolak kekuatan fundamental, sehingga pada akhirnya akan berbalik menghancurkan diri manusia. Implikasi dari 8
Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002 hlm. 15
67
adanya rasionalisme matrealistik menjadi titik kritik pemikiran eksistensialisme termasuk juga Karl Jaspers. Lebih lanjut dapat dilihat dalam pemikiran eksistensilisme yang menjadi titik pangkal adalah manusia. Eksistensialisme menilai bahwa tidak ada penilaiaan moral yang absolut, karena nilai-nilai akan sangat tergantung pada diri orang itu sendiri. Seperti halnya kita tahu Humanisme menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi. Sedang dalam doktrin Protagoras mengangkat manusia sebagai ukuran, oleh karena itu dalam doktrin tersebut muncul bentuk-bentuk absolutisme, khususnya yang bersifat epistimologi. Pada perkembangan sekarang humanisme diangkat sebagai pandangan yang bertolak belakang dengan absolutisme filosofis, seperti pandangan Schiller dan James yang melihat humanisme sebagai perlawanan terhadap hal-hal yang absolut, metafisis dan epistemologis, yaitu melawan dunia tertutup idealisme absolut. Maka dari itu humanisme sekarang penekanannya lebih pada alam atau dunia yang terbuka, pluralisme dan kebebasan manusia.9 Dalam pemikiran eksistensi Jaspers yang menekankan pada persoalan kebebasan manusia, sulit untuk
menilai secara absolut, karena dalam
eksistensialisme sangat tergantung pada masing-masing individu. Melalui analisa eksistensial kita dapat melihat hakekat manusia yang disampaikan oleh eksistensialisme. Hakekat manusia dalam pemikiran eksistensi, manusia adalah tubuh yang berkesadaran, sehingga pusat kendali perbuatan manusia adalah diri internal manusia, untuk itu nampak bahwa posisi manusia di dunia adalah bebas adanya. Berbeda dengan analisa Behaviorisme maupun psikoanalisis yang memandang hakekat manusia sebagai organisme atau materi, sehingga pusat kendali prilaku manusia adalah eksternal (stimulus), maka posisi manusia di dunia ada dalam ketidakbebasan.10 Uraian
diatas,
menunjukkan
bahwa
humanisme
juga
ada
dalam
eksistensialisme. Seperti yang diungkapkan oleh Sartre bahwa eksistensialisme adalah humanisme, karena fakta menunjukkan bahwa kata humanisme mempunyai dua makna yang berbeda. Pertama humanisme sebagai suatu teori yang 9 10
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 295-296 Drs. Zainal Abidin, Analisis Eksistensial, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm.23
68
menempatkan manusia sebagai tujuan dalam dirinya sendiri dan sebagai nilai tertinggi. Humanisme semacam ini sering disebut sebagai humanisme yang absurd. Kedua, humanisme dilihat dari pengertian dasarnya
adalah manusia dalam
sepanjang hidupnya berada diluar dirinya sendiri. Manusia selalu dalam proyeksi dan menghilangkan diri, mengatasi dirinya sehingga ia menjadikan manusia ada. Disisi lain dengan mengejar tujuan yang transenden sehingga ia sendiri dapat mengada, karena manusia yang demikian mengatasi diri sendiri, dan dapat memegang objek hanya dalam hubungannya dengan pengatasan dirinya. Ia sendiri adalah pusat transendensinya, tidak ada alam semesta lain selain alam semesta manusia, alam semesta subyektifitas manusia. Hubungan transendensi sebagai wewenang, kuasa manusia (bukan dalam pengertian bahwa manusia tidak membungkam, membisu dalam dirinya sendiri, melainkan selamanya hadir dalam suatu semesta manusia). Penjelasan tersebut yang oleh Sartre disebut humanisme eksistensial.11 Kebebasan manusia yang digambarkan Jaspers adalah manusia dapat berada dan eksis di dunia, manusia yang dengan dirinya sendiri memutuskan untuk dirinya sendiri. Segala moralitas tidak didapat dengan kembali pada dirinya sendiri, melainkan selalu dengan mencari, mengatasi diri, untuk suatu tujuan, yaitu tujuan pembebasan bahwa manusia dapat merealisasikan dirinya menjadi manusia sejati. Adanya pereduksian manusia pada zaman modern akibat dari adanya modernisasi yang rasionalis dan mekanistik, menjadikan manusia telah kehilangan jati diri sebagai manusia yang mempunyai peran kehendak untuk membawa dirinya sendiri, bukan dikendalikan oleh mesin atau pikiran yang idealistik. Bagi Jaspers, kepesatan teknologi bukan saja telah mengubah cara-cara produksi, kreasi dan rekreasi, tetapi lebih dari itu, ia melihat kemungkinan berlarutlarutnya proses dehumanisasi manusia. Manusia sebagai penemu dan pembangkit geraknya teknologi telah dikuasai oleh teknologi itu sendiri. Pada akhirnya kondisi ini telah mencengkeram manusia dalam berbagai frustasi dan kecemasan. Frustasi yang diakibatkan oleh dehumanisasi dan depersonalisasi karena penyamarataan
11
Jean Poul Sartre, Eksistensialisme……….,op.cit., hlm 103-105
69
yang berlarut serta kecemasan terhadap berbagai bencana besar, yang bisa menjelma dari potensi teknologi itu sendiri. Berdasarkan kondisi diatas, Jaspers mengajak untuk menumbuhkan suatu humanisme baru, dimana humanisme baru ini mampu mengatasi berbagai frustasi dan ancaman yang telah terjadi di abad modern ini. Untuk menumbuhkan humanisme baru ini, selain kita menjunjung tinggi hak-hak manusia sebagai sesuatu yang tidak dapat diasingkan dari eksistensinya, juga harus menerima kenyataan bahwa eksistensi yang sejati haruslah dijalani melalui penghayatan kebebasan.12 Dengan melihat kenyataan definisi humanisme eksistensial, Jaspers adalah seorang filsuf eksistensi yang menekankan akan adanya transendensi sebagai kehendak kuasa manusia, dalam arti manusia mampu untuk berbicara sendiri, berbuat dan juga mampu memutuskan dengan bebas segala yang menjadi pilihan kehendaknya. Dengan begitu apa yang diimpikan Jaspers akan adanya harkat dan martabat manusia sebagai adanya manusia dengan segala kemampuan manusia akan terealisasikan. Kenyataan bahwa manusia dikuasai dunia akan dapat disingkirkan apabila manusia mampu berada dengan dirinya sendiri. Hanya dengan kebebasan yang mampu menunjukkan hal tersebut, sehingga kebebasan tidak lagi dipandang sebagai tindakan yang diluar kehendak diri manusia, justru dengan kebebasan manusia tersebut, hakekat tertinggi individu rasional dapat direalisasikan, bukan lagi dengan penilaian moralistik yang bersifat absolut. C. Nilai-nilai Islam dalam Kebebasan Manusia Karl Jaspers Melihat pemikiran kebebasan manusia Karl Jaspers dengan menggunakan kacamata Islam, bukanlah suatu hal yang tidak ada kaitannya. Nilai-nilai yang bersifat universal yang mempertemukan antara tradisi pemikiran filsafat barat dengan filsafat timur, karena nilai-nilai universal manusia berhubungan erat dengan martabat manusia. Franz Magnis Suseno menyatakan bahwa keluhuran manusia berakar dalam kenyataan bahwa ia berakal budi. Melalui akal budi ini ia mengatasi keterikatan binatang pada lingkungan dan kebutuhannya sendiri. Akal budi berarti bahwa hati dan wawasan manusia merentangkan diri mengatasi segala keterbatasan 12
Fuad Hasan, Berkenalan dengan…………,op.cit., hlm. 117-122
70
kearah cakrawala yang tak terbatas. Karena jangkauannya itu ia tidak terikat pada satu titik lingkungan serta satu stelan instingtualnya. Oleh karena itu ia dapat berhadapan dengan manusia lain dan alam secara sadar, ia terbuka pada seluruh realitas.13 Jadi dapat disimpulkan bahwa manusia dibedakan dari binatang karena ia berakal budi dan berkebebasan, karena ia bertanggungjawab atas perbuatannya dan karena ia dipanggil oleh yang tak terhingga. Pada hakekatnya, menurut ajaran Islam manusia diciptakan di muka bumi tersusun dari dua unsur, unsur materi yaitu tubuh dan unsur imateri, yaitu ruh yang mempunyai dua daya: daya rasa di dada dan daya pikir di kepala, kedua unsur tersebut apabila diasah akan mempertajam hati nurani dan daya pikir manusia. 14 Konsep yang dirumuskan oleh Prof. Harun Nasution mengandung maksud bahwa manusia diciptakan di dunia tidak mungkin hanya sekedar ada, tetapi dengan kemampuan dan kodrat yang dimilikinya, manusia mempunyai kemampuan untuk berbuat dan bertindak. Untuk itulah manusia ada di dunia ini dengan memikul amanah sesuai dengan yang telah dikaruninyakan kepadanya, maka manusia di dunia ini tidak semata-mata ada tetapi berada dengan segala kemampuannya. Maksud dari keberadaan manusia dengan suatu amanah yang harus dipikulnya dalam al Qur’an surat al Ahzab 33:72 disebutkan:
ﺎﻨﻬﻦ ِﻣ ﺷ ﹶﻔ ﹾﻘ ﻭﹶﺃ ﺎﻨﻬﺤ ِﻤ ﹾﻠ ﻳ ﻦ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻴﺑﺎ ِﻝ ﹶﻓﹶﺄﺠﺒ ِ ﺍﹾﻟﺽ ﻭ ِ ﺭ ﺍﹾﻟﹶﺄﺕ ﻭ ِ ﺍﻤﻮ ﺴ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟ ﻧ ﹶﺔﺎﺎ ﺍﹾﻟﹶﺄﻣﺿﻨ ﺮ ﻋ ﺎِﺇﻧ ﻮ ﹰﻻﺟﻬ ﺎﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻇﻠﹸﻮﻣ ﺎ ﹸﻥ ِﺇﻧﻧﺴﺎ ﺍﹾﻟِﺈﻤﹶﻠﻬ ﺣ ﻭ “Sesungguhnya kami telah mengemukan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh.”15
13
Franz Magnis Suseno. Berfilsafat dalam Konteks, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hlm. 88 14 Prof. DR. Harun Nasution, Islam Rasional,Mizan, Bandung, 1996, hlm.38 15 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahannya, QS Al Ahzab 33:72, CV. Alwaah, Semarang, 1989, hlm. 680
71
Dari ayat diatas ditegaskan bahwa Tuhan telah menawarkan amanat-Nya ke langit dan bumi, tetapi mereka tidak berani menerimanya; bahwa hanya manusialah yang berani menerima amanat tersebut.. Dalam hal ini, Ismail Raji al Faruqi berpendapat bahwa pada dasarnya semua mahluk dimuka bumi diciptakan oleh Tuhan adalah untuk mengabdinya,16 dalam pengertian filosofis, ini berarti bahwa tujuan eksistensi manusia adalah realisasi Summum Bonum, atau perangkat-lengkap nilai-nilai. Jelas, yang ditegaskan disini adalah kebertujuan hidup manusia. Tujuan hidup manusia di dunia adalah merealisasi kehendak Tuhan, karena hanya manusialah yang mampu melakukannya, yaitu merealisasi nilai-nilai etika, dimana nilai-nilai etika ini merupakan kandungan dari kehendak Ilahi. Kehendak Ilahi disini mencakup ketentuan-ketentuan yang lebih rendah, misalnya makanan pertumbuhan, sex dan lainnya, karena segala sesuatu dalam ciptaan mengambil bagian dalam tujuan Illahi. Ismail Raji al Faruqi juga menegaskan bahwa pemenuhan kehendak Ilahi dapat terjadi hanya dengan kemerdekaan; yaitu dengan kemungkinan yang nyata dari kemampuan manusia untuk melakukan sebaliknya dari yang seharusnya dilakukan. Dalam pengertian ini dia menjadi wakil Tuhan di bumi, karena hanya manusia yang mampu merealisasi nilai-nilai etika yang merupakan nilai-nilai yang lebih tinggi dari kehendak Ilahi, dan hanya dia yang dapat mengemban sebagai tujuannya, realisasi dari seluruh bidang tersebut dalam totalitasnya. Dengan demikian ia menjadi semacam jembatan kosmik lewat mana kehendak Ilahi, dalam totalitasnya dan terutama unsur etikanya, dapat termasuk ruang dan waktu, dan menjadi aktual.17 Sebagai mahluk Tuhan yang terbaik, manusia menyandang gelar sebagai khalifah Allah di muka bumi, sebagaimana disebutkan dalam QS Al Baqoroh 2:30:
16
secara terminologi keagamaan, Islam menyatakan bahwa manusia diciptakan untuk mengabdi pada Tuhan, sebagaimana tercantum dalam al Quran, surat Adz Dzariyat, 51:72, “dan tiadalah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” 17 Ismail Raji al Faruqi, Tauhid, Penerbit Pustaka, Bandung, 1995, hlm. 66-67
72
ﺎ ﻓِﻴﻬﺴﺪ ِ ﹾﻔﻦ ﻳ ﻣ ﺎﻌﻞﹸ ﻓِﻴﻬ ﺠ ﺗﺧﻠِﻴ ﹶﻔ ﹰﺔ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﹶﺃ ﺽ ِ ﺭ ﺎ ِﻋ ﹲﻞ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄﻲ ﺟﻤﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ ِﺔ ِﺇﻧ ﻚ ِﻟ ﹾﻠ ﺑﺭ ﻭِﺇ ﹾﺫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻮ ﹶﻥﻌﹶﻠﻤ ﺗ ﺎ ﻟﹶﺎ ﻣﻋﹶﻠﻢ ﻲ ﹶﺃﻚ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِﺇﻧ ﹶﻟﺱ ﹶﻘﺪﻭﻧ ﻙ ﻤ ِﺪ ﺤ ﺢ ِﺑ ﺴﺒ ﻧ ﺤﻦ ﻧﻭ ﺎ َﺀﺪﻣ ﺍﻟﺴ ِﻔﻚ ﻳﻭ “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “sesungguhnya aku hendak menjadi seorang khalifah dimuka bumi”, mereka berkata, “mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan engkau?” Tuhan berfirman: “sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.18 Dalam mengemban tugas sebagai perwakilan-Nya di bumi, mereka menerima suatu misi perjuangan untuk menciptakan sebuah tata sosial yang bermoral. Inilah yang menjadi amanat bagi manusia sebagaimana penjelasan diatas. Peran manusia sebagai khalifah dimuka bumi tidak terlepas dari kelebihan yang diberikan Allah pada manusia, yaitu akal-pikiran. Dengan perangkat kedua hal tersebut sebagai modal dasar manusia untuk menjalankan tugas kemanusiannya. Selain itu manusia juga memiliki kehendak (iradah) dan putusan (masyi’ah), untuk itu manusia mempunyai kebebasan menjalankannya.19 Dalam melaksanakan kekhalifahanya dan penunaian tugas (amanah) tidak dapat selamanya berada dalam jalan kebenaran karena manusia juga dilengkapi dengan kecenderungan berprilaku positif ataupun negatif, sehingga sangat mungkin manusia tidak menjalankan amanah yang diembankan kepadanya, seperti dalam ayat al-Qur’an surat al Insan, 76:3 “Sesungguhnya kami telah menunjukkan kepadanya (manusia) jalan, ada yang bersyukur ada pula yang kafir”.20
18
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan……….,op.cit., QS. Al Quran, surat Al Baqoroh, 2:30, hlm. 13 19 Di dalam bukunya DR. Jalaluddin Rahman Konsep Perbuatan Manusia, tidak dijelaskan secara nyata tentang bebas atau tidak bebasnya kehendak tersebut. Dalam al Qur’an hanya disebutkan bahwa Allah memberikan pilihan dan tanggungjawab pada manusia, sedang mengenai seberapa besar Tuhan mempengaruhi kebebasan atau kemandirian manusia tidak ada keterangan secara jelas, Al-Qura’an merupakan petunjuk kepada manusia. DR. Jalalauddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut AlQur’an, Bulan Bintang, Jakarta 1992, hlm.105 20 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan………,op.cit., QS, Al Insan, 76:3, hlm. 1003
73
Apa yang dikaruniakan kepada manusia akal, pikiran, kehendak dan putusan dapat difungsikan manusia ketika ada sebuah kebebasan dan kemerdekaan, sebagaimana yang dikatakan Ismail Raji al Faruqi diatas, dengan cara kebebasan manusia dapat merealisasikan nilai-nilai etik. Meskipun dalam ekonomi kosmik kemampuan manusia untuk melakukan kejahatan merupakan resiko, sebagaimana yang disabdakan pada manusia bahwa manusia juga dapat membuat kerusakan di bumi, maka dari itu ada pertanggung jawaban yang harus dilakukan manusia atas perbuatannya. Dalam ayat al Qur’an juga sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ismail Raji al Faruqi merupakan kenyataan manusia sebagai mahluk yang mempunyai kehendak sendiri, maka ditegaskan pula soal kebebasan, karena ketika seseorang mempunyai kehendak tetapi tidak mempunyai kebebasan berarti tidak jauh berbeda dengan seorang budak yang kehendaknya dipegang oleh majikannya. Kebebasan dalam al Qur’an dijelaskan dalam surat al Kahf 18:29
ﺮ ﻴ ﹾﻜ ﹸﻔﺎ َﺀ ﹶﻓ ﹾﻠﻦ ﺷ ﻣ ﻭ ﻦ ﺆ ِﻣ ﻴﺎ َﺀ ﹶﻓ ﹾﻠﻦ ﺷ ﻤ ﻢ ﹶﻓ ﺑ ﹸﻜﺭ ﻦ ﻖ ِﻣ ﺤ ﻭﻗﹸ ِﻞ ﺍﹾﻟ “ Dan katakanlah kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) biarlah ia beriman dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir…”.21 Penjelasan ayat diatas menunjukkan bahwa kebebasan manusia mutlak adanya dan masing-masing pilihan telah tersedia konsekwensinya. Kenyataan manusia sebagai subyek yang mempunyai kebebasan sehingga mampu berada dan dapat berperan di dunia, Jaspers berpendapat bahwa hanya dengan kebebasan, manusia dapat mengekspresikan kesejatian dirinya yaitu sebagai individu yang menjalankan eksistensinya, melakukan komunikasi dengan eksistensi yang lain. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi intersubyektif yang merupakan dasar bagi Jaspers untuk menerangi jalan ke arah eksistensi yang diisi dengan kesejatian. 22 Pernyataan Jaspers ini menegaskan bahwa Jaspers juga menyakini bahwa manusia di dunia tidak semata-mata ada, tetapi berada di dunia dengan segala kemampuan dan kehendak, untuk itu manusia juga mempunyai kebebasan
21 22
Ibid, QS Al Kahfi, 18:29, hlm. 448 Fuad Hasan, Berkenalan dengan………..,op.cit. , hlm. 127
74
dan kemerdekaan dan hanya dengan beginilah manusia mampu menjalankan eksistensinya. Apa yang diungkap Jaspers tidak berhenti disini saja, tetapi dengan kehendak bebasnya manusia memikul tanggungjawab sebagai wakil Tuhan di bumi, maka harus ada pertanggungjawaban apapun dan posisi yang bagaimanapun mutlak menjadi kehendak manusia sendiri. Untuk itulah Jaspers mempertegas mengenai kebebasan sebagai pilihan tanpa meninggalkan konsekwensinya. Ungkapan transendensi yang ada, ketika manusia mampu berekstensi di dunia merupakan pengejawantahan manusia yang merealisasi nilai etik yang lebih tinggi. Dengan adanya manusia sebagai khalifah dimuka bumi menunjukkan bahwa manusia mempunyai peranan dalam kehidupan sosial masyarakat. Adanya peran manusia yang ditentukan oleh kebebasan berbuat dan bertindak dengan menggunakan akal sendiri, maka manusia mampu untuk menjalankan amanah yang diberikan Tuhan yaitu menyerukan perbuatan kebaikan dan mencegah tindakan yang dilarang Tuhan. Cara berada yang bebas ini yang mampu merealisasikan adanya transendensi. Bagi Jaspers dengan bereksistensi yang terus menerus maka harkat dan martabat manusia akan ada di dunia karena manusia sebagai pelaku bukan lagi obyek dunia. Dan dengan bereksistensi yang bebas maka manusia ada sebagaimana adanya manusia diciptakan dimuka bumi untuk menjaga dan mengatur kehidupan dunia, karena manusia adalah mahluk ciptaan yang tertinggi.