BAB IV KESIMPULAN
Pada dasarnya, persoalan konflik di Papua yang paling substansial adalah masalah kemanusiaan. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan yang diperlukan untuk menangani konflik dan mentransformasi konflik Papua agar dapat mencapai rasa aman dan damai dalam jangka waktu yang panjang adalah dengan memperhitungkan faktor manusia itu sendiri, penghargaan terhadap harkat kemanusiaan, jati diri dan hak-hak dasar orang Papua.55 Pendekatan yang digunakan untuk menangani konflik di Papua ini perlu mengutamakan unsur manusia itu sendiri dalam hal keselamatan, mengurangi penderitaan, dan menghargai
hak-hak
dasar
masyarakat
Papua.
Dalam
prinsip-prinsip
kemanusiaan, netralitas imparsialitas, dan humanis menjadi prinsip pengantar dalam memberikan bantuan kemanusiaan baik terhadap konflik maupun bencana. Hal ini juga berlaku dalam konteks konflik Papua terutama oleh aktor-aktor yang berusaha menangani dan mentransformasi konflik agar dapat menghasilkan perdamaian jangka panjang dan berkelanjutan. Tidak ada pihak yang lebih diutamakan dan juga keadilan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Agar seluruh masyarakat dapat merasakan cita-cita perdamaian tersebut, dibutuhkan kemauan untuk duduk bersama dalam dialog sebagai pintu gerbang perdamaian yang akan membicarakan segala pendekatan kemanusiaan yang
55
Dr.Sostenes Sumihe, 2013 dalam 100 Orang Indonesia Angkat Pena demi Dialog Papua. Yogyakarta: Interfidei.
59
menjamin keselamatan dan hak-hak masyarakat Papua sehingga konflik separatisme di Papua dapat ditransformasi menuju resolusi. Segala keluhan masyarakat Papua perlu didengar oleh pemerintah melalui dialog agar kepercayaan masyarakat yang telah hilang dapat muncul kembali. Sebaliknya, untuk dapat mempertahankan keutuhan NKRI sebagai wujud kedaulatan negara, Pemerintah perlu menurunkan ego untuk dapat mendengarkan keluhan masyarakat dan menangani konflik separatisme dengan pendekatan yang paling manusiawi, yaitu dengan dialog kemanusiaan. Untuk menjaga keutuhan negara, pemahaman terhadap konflik perlu diberikan perhatian khusus hingga level grass root (akar rumput), tidak hanya secara top down yang selama ini diberlakukan selaras dengan kurikulum Orde Baru dengan falsafah top-down nya. Kekerasan hati masing-masing pihak perlu diredam terlebih dahulu sebelum memulai dialog partisipatoris ini. Kekerasan hati yang dimaksudkan oleh Pasto Neles Tebay berupa NKRI harga mati bagi pemerintah Indonesia dan Papua Barat merdeka untuk masyarakat Papua.
A. Transformasi Konflik Papua Konflik merupakan suatu kenyataan hidup yang tidak dapat dihindari dan terjadi jika terdapat tujuan masyarakat yang tidak sejalan. Konflik sendiri timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan antargolongan seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran, akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak seimbang- yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran,
60
kemiskinan, penindasan, kejahatan dan masing-masing tingkat tersebut berpotensi untuk menghadirkan perubahan baik yang konstruktif maupun destruktif.56 Jika suatu konflik ditekan, masalah-masalah baru akan muncul di kemudian hari tetapi juga berpotensi untuk menjadi bagian dari solusi dari suatu masalah. Konflik juga dapat berpotensi menimbulkan kekerasan jika terjadi hal-hal berikut: 1. Saluran dialog dan wadah untuk mengungkapkan perbedaan pendapat tidak memadai 2. Suara-suara ketidaksepakatan dan keluhan-keluhan yang terpendam tidak didengar dan diatasi 3. Banyak ketidakstabilan, ketidakadilan dan ketakutan dalam masyarakat yang lebih luas. Untuk menangani konflik yang sudah terlanjur terjadi dalam bentuk kekerasan, diperlukan transformasi konflik untuk mengatasi sumber konlikkonflik sosial dan politik yang lebih luas dan upaya untuk mengubah kekuatna negative dari peperangan menjadi kekuatan osial dan politik yang positif. Transformasi konflik sendiri merupakan strategi yang paling menyeluruh dan luas, yang juga merupakan strategi yang membuthkan komitmen yang paling lama dan paling luas cakupannya.57 Berdasarkan asumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaran yag muncul sebagai masalah masalah sosial, budaya, dan ekonomi, sasaran yang ingin dicapai dalam upaya transformasi konflik adalah sebagai berikut: 56
Simon Fisher, et al, 2001. Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak (Working with Conflict: Skills and Strategies for Action). The British Council. Hlm 4. 57 Ibid, Hlm 7-8
61
1. Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaran dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi. 2. Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihakpihak yang mengalami konflik. 3. Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.58 Trauma dan kepedihan yang dialami di masa lampau sering diremehkan: seperti pengalaman pribadi dan pengalaman kolektif tentang kepedihan, kehilangan, kesakitan, dan mungkin kekerasan; ini sering menjadi penghalang dalam menangani konflik. Dalam konteks konflik Papua, masyarakat Papua telah mengalami perjalanan panjang penderitaan sejak bergabung dengan Indonesia sehingga muncul ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia. Konflik di Papua terjadi karena telah lamanya penderitaan masyarakat Papua dan teriakan mengenai dialog yang belum dilakukan oleh Pemerintah pusat. Komunikasi yang tidak berjalan dengan baik inilah yang menyebabkan konflikkonflik di Papua mengalami eskalasi sehingga tuntutan separatisme dianggap menjadi jalan keluar yang terbaik bagi sebagian kelompok masyarakat yang merasa tidak puas dengan jalannya pemerintahan di Indonesia. Ketika masyarakat Papua sudah mengalami keputusasaan dengan pendekatan pemerintah melalui pendekatan keamanan dan kesejahteraan yang dinilai kurang berhasil, tokohtokoh masyarakat Papua pun pada akhirnya menyuarakan dialog sebagai jalan paling damai dan manusiawi. Masyarakat Papua pada kesempatan sebelumnya pernah mengemukakan keinginan untuk berdialog pada rezim Habibie. Akan tetapi, dialog tersebut tidak mendapat respon yang baik dari pemerintah sehingga mengurungkan cita-cita 58
Ibid, Hlm 9.
62
masyarakat Papua pada saat itu. Ketika rezim Habibie beralih pada rezim Abdurrahman Wahid, kebebasan berekspresi (freedom of expression) mulai didapatkan oleh masyarakat Papua yang dapat dengan bebas mengibarkan bendera bintang kejora bersamaan dengan bendera merah putih. Namun, rezim Abudrrahman Wadih yang berlangsung tidak begitu lama telah berganti menjadi kebijakan Otonomi Khusus Papua yang dalam perjalanannya mengalami banyak hambatan yang berasal dari elit-elit Papua sendiri sehingga peruntukan dana Otsus tersebut tidak teralokasikan dengan baik kepada target, yaitu masyarakat di berbagai pelosok. Transformasi konflik-konflik separatism di Papua sangat diperlukan untuk bersama-sama mengatasi sumber-sumber konfllik sosial dan politik dan mengubah kekerasan-kekerasan menjadi suatu upaya persatuan yang solid antar masyarakat maupun dengan pemerintah pusat. Perjalanan panjang untuk mentransformasi konflik tersebut sangat diperlukan dalam mendukung proses dialog antara pemerintah pusat dengan komunitas-komunitas di Papua yang melatarbelakangi berbagai kepentingan. Kedua belah pihak perlu untuk bersamasama meningkatkan jalinan hubungan yang baik antara warganegara dengan pemimpin. Proses transformasi konflik memerlukan kerelaan dari berbagai pihak yang berkonflik untuk bersama-sama berupaya menanamkan pendekatan kemanusiaan dalam setiap permasalahan yang ingin diselesaikan dalam konflik separatisme. Dalam hierarki aktor-aktor yang berkepentingan di Papua, tingkat teratas diduduki oleh Pemerintah Pusat dan Daerah Papua. Pada tingkat kedua, NGO dan aparat
63
keamanan menempati posisi tengah dalam hierarki tersebut, dan pada tingkat paling bawah diduduki oleh masyarakat asli Papua dan pendatang yang digambarkan dalam hubungan piramida sebagai berikut:
Gambar 1. Tingkatan Humanitarian Approach Berdasarkan Aktor
Dari posisi teratas, pemerintah pusat telah memberikan dukungan dana dan kebijakan otonomi khusus kepada pemerintah daerah Papua. Dana yang terbilang cukup besar yaitu sekitar 4,35 triliyun pada tahun 201359 Dana tersebut telah dialokasikan untuk 29 kabupaten di Papua untuk berbagai bidang pembangunan. Namun dalam implementasinya, seluruh masyarakat belum dapat merasakan manfaat kebijakan tersebut karena peruntukan dana Otsus tersebut mengalami hambatan di level pemerintahan daerah. Sejumlah kasus korupsi yang dilakukan
59
bpkad.papua.go.id. Diakses tanggal 21 Juni 2014.
64
oleh pemerintah daerah telah muncul dan beberapa dugaan korupsi lainnya masih dalam penyelidikan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hambatan pada level pemerintahan daerah dalam upaya pemerintah pusat (pemerintah Indonesia) untuk mengatasi kompleksitas konflik di Papua. Selama ini, pemerintah pusatlah yang menjadi pihak yang dipercaya bertanggung jawab penuh terhadap konflik-konflik yang mengarah pada separatism di Papua, padahal, terdapat hambatan pada level pemerintahan daerah yang mengakibatkan terhambatnya pembangunan dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat asli Papua sehingga tuntutan kemerdekaan semakin berkembang. Oleh karena itu, seluruh aktor dari tiap level masyarakat yang digambarkan dalam piramida di atas perlu menggunakan landasan humanitarian approach dalam melaksanakan kehidupan di Papua yang bermartabat
dan
humanis
bagi
masyarakat
Papua
maupun
pendatang.
Keselamatan manusia, penderitaan yang diringankan, serta martabat manusia yang terjaga menjadi prinsip yang melandasi setiap aksi yang akan dilakukan aktoraktor yang terlibat dalam konflik yang mengarah pada separatisme di Papua.
B. Rekomendasi Perlu adanya „goodwill‟ (itikad/kemauan baik) dari pihak-pihak yang berkonflik baik dari pemerintah Inndonesia maupun masyarakat Papua dalam berbagai lapisan untuk dapat duduk bersama melakukan dialog untuk melihat segala permasalahan dari segi kemanusiaan. Goodwill tersebut nantinya mendasari rasa saling percaya yang tadinya tidak ada menjadi ada kembali untuk menghasilkan jalan keluar terbaik baik kedua pihak. Rakyat Papua yang heterogen
65
dalam hal latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan pandangan politik perlu diberi ruang untuk menyatukan visi sebelum masuk dalam perundingan dengan pihak Jakarta.60 Oleh karena itu, dialog horizontal antara komunitas-komunitas Papua perlu dilakukan terlebih dahulu untuk menyatukan pandangan yang sama sebelum pada akhirnya dilanjutkan dengan pihak pemerintah agar tidak terjadi ketimpangan kepentingan antar golongan dan komunitas. Tidak hanya antar komunitas, tetapi juga antara warga sipil dan aparat pemerintahan daerah di Papua yang turut melakukan dialog agar terbentuk kepercayaan satu sama lain dan dapat menyatukan pikiran bersama dalam mencapai cita-cita masyarakat Papua akan kehidupan yang damai dan humanis. Sudah saatnya pihak pemerintah merespon permintaan masyarakat Papua dan rekomendasi dari LIPI dengan mengadakan dialog. Dialog tersebut berisikan berbagai hal yang menjadi ganjalan pemeritah Indonesia terhadap Papua dan sebaliknya. Cakupan bidang-bidang pokok agenda dialog meliputi segala aspek yang selama ini menjadi penyebab konflik seperti permerataan ekonomi, penghormataan terhadap hak-hak dasar, kebebasan berkespresi, kebebasan dari penyiksaan yang dilakukan oleh aparat militer, penghormatan terhadap budaya leluhur, serta kemajuan dalam pendidikan. Hal yang paling penting dalam konflik ini adalah mengenai pendidikan, baik dalam sektor formal maupun informal. Dari sektor formal, pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi menjadi tanggung jawab penuh pemerintah untuk dapat memenuhinya karena
60
Dr.Mery Kolimon, 2013 dalam 100 Orang Indonesia Angkat Pena demi Dialog Papua. Yogyakarta: Interfidei. Hlm 140.
66
pendidikan merupakan hak substantif yang berada dalam kovenan hak ekonomi, sosial, dan budaya yang telah diratifikasi sendiri oleh pemerintah. Ketika terjadi konflik-konflik baik secara horizontal maupun vertikal, masyarakat Papua perlu mendalami asas Pancasila yang selama ini kurang dipahami sebagai falsafah dasar negara Indonesia. Konsep Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna berbeda-beda namun tetap satu juga belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia yang secara fisik maupun psikis berbeda satu sama lain, terlebih masyarakat Papua yang merasa secara fisik berbeda sekali dengan masyarakat di luar Papua karena masyarakat Papua tergolong dalam Melanesian dan masyarakat non Papua tergolong Melayu. Perbedaan fisik tersebut semestinya tidak menjadi masalah bagi masyarakat Papua jika betul-betul memahami paham Bhinneka Tunggal Ika tersebut. Agar tidak terjadi kekerasan pula antara kelompok-kelompok masyarakat yang merasakan perbedaan secara fisik maupun ideology (perang suku), diperlukan pendidikan hukum dan HAM di Papua untuk membangun persaudaraan yang berlandaskan kemanusiaan.61 Membangun relasi sosial secara horizontal maupun vertikal amatlah penting untuk menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis dan damai. Terlebih, relasi horizontal akan membentuk solidaritas yang merupakan tanda dari kualitas persatuan dan hubungan harmonis dalam masyarakat. Dalam usaha mewujudkan tanah Papua yang damai, solidaritas kemanusiaan untuk turut merasakan „kesakitan‟ yang
61
I GM Sunarta, S.AG, MM, 2013 dalam 100 Orang Indonesia Angkat Pena demi Dialog Papua. Yogyakarta: Interfidei. Hlm 17-18.
67
dialami oleh seseorang menjadi sangat penting untuk menjaga keutuhan relasi antarmasyarakat sendiri62 sehingga dapat meredam kemungkinan berkonflik. Hal yang juga menjadi sangat penting untuk meredam intensitas konflikkonflik yang mengarah pada separatisme adalah dengan memberikan masyarakat Papua kebebasan untuk berkespresi (freedom of expression) sebesar-besarnya. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Elizabet Adriana menilai, untuk bisa menyelesaikan masalah dan menyelamatkan Papua, pemerintah harus memberikan kebebasan kepada masyarakat setempat."Papua harus diberikan kebebasan berekspresi, rasa aman, nyaman, dan tidak takut untuk diteror. Hal-hal inilah yang dapat menyelamatkan Papua,"63 Menurut beliau, kemerdekaan yang dimaksudkan masyarakat Papua itu adalah bentuk
dari ketidakpuasan Papua
terhadap pemerintah pusat. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan perhatian pemerintah terhadap berbagai permasalahan yang ada di Papua yang telah terjadi semenjak Papua beralih dari Belanda ke Indonesia melalui UNTEA. Konsep mengenai kemerdekaan tidak semata-mata menginginkan pembentukan suatu negara baru dengan pemerintahan sendiri, tetapi juga karena ketidakmampuan pemerintah untuk menangani konflik-konflik dan ketertinggalan di Papua sehingga ideologi tersebut diteriakkan oleh kelompok-kelompok separatis tertentu. Untuk itu, pemerintah dan berbagai aktor kemanusiaan yang turut berpartisipasi aktif dalam menangani konflik di Papua perlu menggunakan humanitarian approach (pendekatan kemanusiaan) sebagai upaya awal untuk duduk bersama dan saling mendengarkan dalam sebuah proses dialog yang 62
Ibid, Hlm 18. http://www.lipi.go.id/www.cgi?berita&1321316860&&2011&&ina. Diakses tanggal 16 Mei 2014. 63
68
berkelanjutan untuk menangani dan mentransformasi konflik separatisme di Papua menjadi sebuah jalan damai yang dicita-citakan masyarakat Papua dan menjaga persatuan NKRI bagi pemerintah Indonesia. Dari keseluruhan rekomendasi tersebut, hal yang perlu dibangun terlebih dahulu untuk dapat melakukan perbaikan dalam segala aspek kehidupan di Papua adalah dengan melaksanakan pemerintahan daerah yang bersih dan dapat menjadi model percontohan bagi masyarakat sipil dan pendatang di Papua. Dana otonomi khusus telah dikucurkan dari pemerintah pusat dan dialokasikan untuk berbagai bidang pembangunan, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Namun, jalannya pemerintahan daerah masih tersendat-sendat oleh ketidakhadiran pemerintah daerah sebagai pimpinan dan pelaksana pemerintahan di Papua yang mengakibatkan terhambatnya program-program pembangunan. Masyarakat belum dapat merasakan manfaat dari kebijakan pemerintah pusat sehingga tuntutan akan kemerdekaan semakin merebak. Oleh karena itu, jalanannya pemerintahan daerah perlu disertai dengan humanitarian approach juga selain approach dari pemerintah pusat agar pemerintahan pusat dan daerah dapat bersinergi satu sama lain untuk menjalankan roda kehidupan di Papua yang penuh damai dan sejahtera. Agar dapat menjalankan pemerintahan ideal tersebut, dibutuhkan dialog konstruktif dari berbagai elemen mulai dari Pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat keamanan dan NGOs, serta masyarakat sipil dan pendatang untuk menjalankan
pemerintahan
dengan
prinsip
kemanusiaan
yang
turut
memperhatikan aspek keselamatan manusia, meringankan penderitaan, dan menjaga martabat setiap manusia.
69