BAB IV KESIMPULAN
Jepang sudah lama memiliki peran penting di dalam masyarakat internasional, khususnya dalam pembangunan negara-negara berkembang melalui pemberian ODA. Kebijakan ODA Jepang ini sangat signifikan bagi strategi diplomasi Jepang karena bagi Jepang kekuatan ekonom i adalah salah satu alat diplomasi terbesar dan terpenting yang dapat mengimbangi tia danya kekuatan militer yang ia memiliki. M elalui pemberian ODA, Jepang berkontribusi besar dalam pembangunan sosial dan ekonom i negara penerima sekaligus dapat pula menperoleh kepentingan nasional seperti pembangunan kepercayaan dari masyarakat internasional, peningkatan per ekonomian nasional, impor sumber daya alam , dan lain-lain. Kebijakan ODA Jepang adalah salah satu strategi untuk membuat hubungan bilateral yang bersifat WIN -WIN dengan negara-negara penerima. Indonesia, negara dengan potensi ekonomi terbesar di kawasa n Asia Tenggara, adalah negara penerima ODA Jepang yang terbesar. Bagi Indonesia sendiri, Jepang adalah negara donor terbesar. Jepang mendukung perkembangan pembangunan Indonesia di berbagai bidang melalui ODA selama lebih dari 50 tahun. Sebagai balasannya, Jepang mendapatkan banyak keuntungan dari Indonesia di bidang keamanan jalur laut, perdagangan, sumber daya alam , dan sebagainya. Kedua negara telah menjadi mitra penting secara timbal-balik. Kerja sama ekonomi melalui ODA telah menjadi kunci utama untuk hubungan bilateral Jepang-Indonesia yang lebih harmonis dewasa ini. Namun demikian, sebetulnya ODA mempunyai sisi negatif juga. Terutama pada kurun waktu 1980-an dan 1990-an, sebagian proyek O DA menimbulkan berbagai 58
masalah di lapangan dan membuat penduduk lokal menderita dampak negatifnya. Proyek-proyek ini disebut Mondai-anken (proyek bermasalah), dan mondai-anken yang paling typical dan kelak memberikan kesempatan untuk perdebatan di masyarakat Jepang adalah pembangunan proyek PLTA Koto Panjang yang dilaksanakan di Provinsi Riau pada tahun 1991-1997. Proyek
ini
direncanakan
oleh
PLN
(Perusahaan
Listrik
Negara)
dan
dilaksanakan oleh TEPSCO (Tokyo Electric Power Services Corporation) di bawah kendali pemerintah Indonesia, dengan dana yang dibiayai pemerintah Jepang. Setelah studi kelayakan diselesaikan oleh TEPSCO, masyarakat lokal memprotes rencana proyek tersebut karena kemungkinan pemusnahan hewan liar atau pemindahan penduduk secara paska oleh pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. M eski demikian, kedua pemerintah tetap melanjutkan perencanaan proyek dan akhirnya menandatangani E/N proyek tersebut, dengan syarat mengikat yang diminta pemerintah Jepang kepada pemerintah Indonesia bahwa Indonesia harus bertanggung jawab untuk menyelamatkan hewan liar dan memproses pemindahan para penduduk ke tempat baru secara damai. Syarat ini tidak dipenuhi oleh pemerintah Indonesia; pemerintah Jepang juga tidak cukup dalam memeriksa proses pelaksanaan proyek sehingga tidak sadar akan kesalahan tindakan pemerintah Indonesia hingga semua proses proyeknya selesai. Pemindahan para penduduk diproses secara paksa, dan kompensasi dari pemerintah Indonesia setelah mereka pindah ke tempat yang baru juga tidak sesuai dengan perjanjian, sehingga warga lokal menjadi miskin, kelaparan, dan hidup mereka menjadi lebih buruk. M eskipun mereka bisa menggunakan listrik dengan lebih stabil, kondisi perekonomian yang jauh lebih buruk daripada sebelum pemindahan membuat kehidupan mereka hancur. M ereka ingin kembali ke kehidupan yang lama. 59
M asyarakat Koto Panjang bersikap kritis terhadap proyek pem bangunan PLTA. M ereka bahkan menilai bahwa ODA Jepang tidak transparan, tidak terbuka untuk partisipasi publik, hanya memberikan dana dan membiarkan negara penerima menangani pelaksanaan proyeknya. Sikap kritis masyarakat ini kemudian memanas sehingga mereka, sebagian besar adalah penduduk lokal sebanyak 3.861 orang, menggugat pemerintah Jepang, JICA dan TEPSCO ke Pengadilan Tokyo untuk meminta pembayaran ganti rugi sebanyak ¥19,3 milyar. M eskipun berjuang di pengadilan dengan didukung beberapa LSM Indonesia dan Jepang, permintaan mereka tidak diterima dengan alasan bahwa itu adalah “urusan internal Indonesia.” Saat ini para penggugat sedang menunggu keputusan dari M ahkama h Agung Jepang tentang penerimaan naik banding mereka. PLTA Koto Panjang menjadi proyek pertama dalam sejarah ODA Jepang yang mengakibatkan gugatan oleh penduduk di negara penerima kepada pemerintah Jepang. Perjuangan masyarakat Koto Panjang sampai saat ini tidak mendapatkan hasilnya menurut hukum, namun gerakan ini cukup berdampak untuk mengumpulkan perhatian rakyat Jepang terhadap kebijakan ODA negara mereka hingga menjadi pendorong bagi reformasi ODA. M enanggapi perdebatan mengenai isu transparansi, partisipasi publik, efektivitas dan efisiensi ODA antara rakyat, cendekiawan, politisi dan lain-lain, berbagai aturan atau sistem yang baru ditetapkan dengan revisi Piagam O DA Jepang. Kekurangan sistem kebijakan ODA Jepang dipe rbaiki oleh peraturan baru, seperti memperkuat kerja sama dengan sektor swasta dan sebagainya pada perencanaan dan pelaksanaan proyek, merancang berbagai pertemuan untuk berbag i informasi dengan aktor lain, memperkuat pengelolaan negara penerima, menyebarkan informasi mengenai ODA Jepang kepada para pembayar pajak melalui berbagai media, mengadopsi sistem 60
pelaksanaan proyek yang efektif dan efisien seperi program approach, PDCA cycle dan sebagainya, memperkuat fungsi m onitoring dan penilaian proyek, dan lain-lain. Sikap kritis masyarakat lokal terhadap proyek PLTA Koto Panjang berdampak “positif” terhadap perubahan, dengan kata lain “reformasi” peraturan OD A, namun ia tidak sampai berimplikasi terhadap hubungan Jepang-Indonesia
secara
politik.
Hubungan diplomasi kedua negara tidak pernah tegang akibat permasalahan proyek tersebut. D i samping itu, dasar kebijakan diplomasi Jepang kepada Indonesia juga tetap sama, yaitu pembangunan hubungan erat melalui kerja sama ekonomi. Pada tahun 2014 ini, Jepang sudah menyatakan kesiapannya m emberikan ODA baru kepada Indonesia, terutama di bidang pembangunan infrastruktur. Bagi Indonesia, Jepang masih tetap negara donor terbesar dan sangat penting untuk pem bangunan ekonomi dan sosialnya. Terlepas dari masalah Koto Panjang, hubungan politik Jepang-Indonesia tetap didasarkan pada hubungan ekonomi WIN-WIN. Dari fakta-fakta tersebut, penulis menyimpulkan bahwa masyarakat Koto Panjang bersikap kritis terhadap ODA Jepang dalam proyek pembangunan PLTA karena proyek tersebut mengakibatkan kerugian drastis bagi mereka derita sebagai akibat dari kekurangan sistem ODA Jepang. Sikap kritis masyarakat Koto Panjang tersebut akhirnya mengakibatkan gugatan di pengadilan Jepang. M eskipun gugatan tidak dikabulkan, gerakan masyarakat telah mendorong reformasi/perbaikan ODA Jepang. Sementara itu, walaupun permasalahan yang disebabkan mondai-anken tersebut telah mengakibatkan kerugian serius bagi warga negara penerima, apalagi masyarakat lokalnya menggugat pemerintah negara donor, hal ini tidak berimplikasi apa pun terhadap hubungan kedua negara secara politik. Kedua negara juga tidak mengubah kebijakan diplomasi mereka untuk menjaga kepentingan nasional masing-masing yang 61
didapatkan dari kerja sama ekonom i di antara kedua nya. Barangkali bisa dikatakan bahwa demi “kepentingan nasional” yang didapatkan dari kerja sama ekonomi antara kedua negara, kerugian masyarakat lokal dari suatu proyek O DA dapat dikesampingkan. Dalam hal ini masalah yang ditimbulkan oleh sebuah proyek ODA tidak berdampak serius pada hubungan Jepang dan Indonesia karena keduanya lebih m ementingkan kepentingan nasional daripada kepentingan sosial individu warga negara masing-masing. Penulis menilai bahwa ini merupakan sebuah ironi
mengingat
kepentingan
nasional
sebetulnya
dikejar
oleh
negara
untuk
meningkatkan kehidupan dan menjaga keamanan rakyat, yaitu menjaga kepentingan sosial/individu rakyat negara tersebut. Di arena terdepan diplomasi, kadang-kadang kepentingan individu diabaikan dan hanya kepentingan nasional, yang sesungguhnya bertujuan untuk m enjaga kepentingan individu rakyat, yang diperhatikan oleh negara. Penulis berharap bahwa ODA Jepang tetap mengandung pandangan dari posisi negara dan posisi rakyat/individu berdasarkan peraturan baru agar kepentingan keduanya tercapai secara adil melalui kebijakan OD A, sehingga ODA Jepang menjadi strategi untuk membuat hubungan bilateral yang bersifat benar-benar WIN-WIN dengan negara-negara penerima. Secara khusus, penulis juga berharap agar masyarakat Koto Panjang dapat segera mendapatkan kehidupan yang nyaman serta berdaulat.
62