84
BAB IV KESAN MASYARAKAT TERHADAP PEMENTASAN DRAMA LAUTAN JILBAB Sejak dikeluarkannya SK No. 052 pada tahun 1982 membuat pelajar muslimah merasa terkekang. Sebab hanya karena sepotong kain penutup kepala bisa membuat pelajar muslimah dikeluarkan dari sekolah. Selain itu berbagai penilaian negatif terhadap muslimah yang berjilbab kerap kali muncul. Mulai dari penilaian bahwa jilbab bukan merupakan unsur budaya Indonesia 101 sampai disebut juga sebagai golongan muslim radikal dan fundamental. 102 Lautan Jilbab, yang ditulis oleh Emha pada tahun 1986 lalu kemudian diproses menjadi drama dan dipentaskan di beberapa kota. Seperti di Yogyakarta, Surabaya, Malang, Ujung Pandang (Makassar) dan Madiun membuat masyarakat memiliki pemahaman baru terhadap pentingnya berjilbab. Selama pementasan drama berlangsung, antusias masyarakat untuk bisa melihat langsung drama yang dipunggawai oleh Emha Ainun Nadjib sangat besar. Terbukti dengan banyaknya penonton yang hadir dalam setiap pementasan di beberapa kota tersebut. Pementasan drama yang bertujuan untuk mengkampanyekan tentang pentingnya wanita muslim menggunakan jilbab, dan juga untuk
101 102
Sariroh, Wawancara, Yogyakarta, 2 Januari 2017. Wahyudi Nasution, wawancara, Klaten, 1 Januari 2017.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
85
merespon fenomena pelarangan menggunakan jilbab pada waktu itu. Membawa pengaruh kepada masyarakat, khususnya bagi muslimah. Wahyudi Nasution, salah satu inisiator yang menjadikan syair Lautan Jilbab untuk dipentaskan, mengatakan bahwa berkembangnya penggunaan jilbab bagi wanita-wanita yang saat ini, tidak lepas dari besarnya pengaruh Emha Ainun Nadjib dalam mementaskan Drama Lautan Jilbab. 103 Pengaruh tersebut juga dirasakan oleh beberapa kalangan. Diantaranya yang beranggapan bahwa pementasan Lautan Jilbab pada akhir tahun 1980-an membawa pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan wanita dalam menggunakan jilbab saat ini. Selain itu juga menjadi catatan sejarah perkembangan jilbab di Indonesia. A. Kesan dari Pelajar Muslimah Setelah Pementasan Drama Lautan Jilbab (1989 M) Pelajar muslimah merupakan kalangan yang paling merasakan betapa sulitnya menggunakan jilbab pada waktu itu. Dengan munculnya SK No.052 yang di tetapkan oleh pemerintah pada tahun 1982 membuat pelajar muslimah semakin kesulitan untuk dapat memenuhi haknya dalam menggunakan jilbab. Salah satunya adalah pernyataan Titin Murtakhamah dalam kompasiana.com. Dalam pernyataannya, Titin yang waktu itu masih duduk di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Ujung Pandang. Dalam kurun waktu 1980-an atau tepatnya sejak diterbitkannya SK
103
Wahyudi Nasution, wawancara, Klaten, 1 Januari 2017.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
86
No.052 dirasakan betul bagaimana fenomena pelarangan menggunakan jilbab bagi pelajar. Sampai pada tahun 1989, Titin Murtakhamah terlibat secara langsung dalam pementasan Teaterikalisasi Puisi Lautan Jilbab, karya Emha Ainun Nadjib di Ujung Pandang. 104 Titin menulis dalam artikel tersebut bahwa sewaktu kecil dia sering berkerudung terutama ketika sedang belajar membaca Alquran atau menghadiri pengajian. Ibunya pun juga sering mengenakan jilbab. Namun dia tidak pernah merasakan suatu aturan dalam bentuk keharusan memakai jilbab dari orang tuanya. Sebab bapaknya tidak pernah mengharuskan anak-anaknya untuk berkerudung, juga tidak ada ancaman disertai dalildalil meskipun bapaknya termasuk salah seorang yang memahami agama. Sejak terlibat langsung dalam pementasan teater Lautan Jilbab karya Emha Ainun Najib di Ujung Pandang. Dalam pementasan tersebut pula dia merasakan adanya kebanggaan yang luar biasa. Sebab dia bisa menunjukkan ke banyak orang bahwa “Saya sudah hijrah (sudah menggunakan jilbab)”. Memang pada saat itu jilbab belum begitu populer dikalangan masyarakat. Sehingga pada saat itu setiap ada kawan yang baru saja mengenakan jilbab akan mendapatkan ucapan selamat dari kawankawannya yang lebih dulu mengenakannya.
104
Titin Murtakhamah. “Hijab Antara Sejarah, Kepentingan Politik, dan simbol”, dalam http://www.kompasiana.com/titin_murtakhamah/hijab-antara-sejarah-kepentingan-politik-dansimbol_5529144ef17e611a368b45c3, diakses pada 19 Januari 2017.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
87
Namun dia dan beberapa temannya masih harus berjuang agar sekolahnya di Ujung Pandang membolehkan foto berjilbab dalam ijazah. Bukan hal yang mudah, karena saat itu foto berjilbab dalam ijazah dianggap tidak lazim, menyalahi aturan, terancam tidak bisa masuk perguruan tinggi bahkan tidak laku cari kerjaan dan lain-lain. Titin bersama teman-temannya sampai harus melakukan audiensi ke dinas pendidikan setempat untuk memperoleh legalisasi foto berjilbab dalam ijazah. Sampai pada akhirnya perjuangan itu membuahkan hasil. Ketika lulus dari sekolah pada tahun 1990, dia besera teman-temannya yang lain diperbolehkan menggunakan jilbab untuk foto ijazah SMA. Bahkan mereka bisa masuk kuliah di perguruan tinggi negeri. Setelah beberapa tahun kemudian, Sekolah tersebut yang sebelumnya seperti melarang siswinya berjilbab, justru kemudian mengharuskan siswi muslim untuk berjilbab. Jilbab di sekolah pernah menjadi kontroversi di tahun 1983 antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu dengan MUI. Jilbab bahkan pernah dilarang dipakai di sekolah negeri tetapi sekarang jilbab seolahseolah justru harus dipakai oleh siswi muslimah. 105
105
Titin Murtakhamah. “Hijab Antara Sejarah, Kepentingan Politik, dan simbol”, dalam http://www.kompasiana.com/titin_murtakhamah/hijab-antara-sejarah-kepentingan-politik-dansimbol_5529144ef17e611a368b45c3, diakses pada 19 Januari 2017.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
88
B. Kesan Masyarakat Umum Setelah Pementasan Lautan Jilbab (1989 M) Teaterikalisasi Puisi Lautan Jilbab merupakan salah satu alternatif metode baru dalam dakwah Islam. Ketika beberapa orang masih asing untuk mencampurkan antara seni dan dakwah. Pementasan Lautan Jilbab pada tahun 1989, menunjukan kedua eksistensi antara seni dan dakwah menjadi satu pertunjukan. Memang
dalam
Islam
sendiri
tidak
memberatkan
untuk
mencampur antara seni dalam hal ini adalah drama dengan dakwah. Sebab dalam drama juga terdapat pesan positif yang mengarah untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan kemungkaran. Namun persoalannya adalah bagaimana memadukan antara drama sebagai media dakwah. Sebab kedua hal ini memiliki karakter yang berbeda-beda bahkan terkesan bertabrakan. Emha Ainun Nadjib bisa dikatakan berhasil untuk bisa memadukan kedua hal tersebut dalam satu kesatuan. Melalui pementasan drama Lautan Jilbab, menunjukan bahwa drama dapat dijadikan sebagai media dakwah tanpa mengurangi eksistensi dari kedua hal tersebut. Dengan memadukan keduanya, Emha berhasil menarik perhatian masyarakat untuk dapat melihat pementasan drama tersebut. Terbukti dengan selalu penuhnya bangku penonton selama pementasan di beberapa kota dalam kurun waktu 1988 hingga 1989. Bahkan telah melampaui rekor penonton yang pernah dipentaskan pada
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
89
waktu itu. Belum lagi undangan dari beberapa tempat yang sengaja mendatangkan Emha beserta Jamaah Shalahuddin untuk menampilkan drama Lautan Jilbab di kotanya. Daya tarik yang diperlihatkan oleh masyarakat, menunjukan bahwa masyarakat membutuhkan sesuatu yang baru untuk dapat memahami kondisi yang sedang terjadi. 106 Hal itu lah yang juga dirasakan oleh Ibu Sariroh, adik dari Emha Ainun Nadjib. Sebagai salah seorang adik dari Emha Ainun Nadjib. Ibu, Sariroh pada waktu itu memang tidak begitu memahami tentang pentingnya menggunakan jilbab. Padahal dia bersekolah di sekolah Muhammadiyah Yogyakarta, salah satu sekolah yang lahir dari organisasi Islam pada tahun 1980. Namun bagi dia, menggunakan jilbab pada waktu itu adalah hal yang biasa. Justru menggunakan jilbab itu yang terlihat tidak biasa. Menurut Ibu Sariroh, Jilbab itu persoalan budaya. Dikarenakan jilbab itu tidak sesuai dengan budaya kita. Namun bukan berarti tidak ada yang menggunakan jilbab. Masyarakat ada yang menggunakan jilbab, tetapi memakainya tidak menutupi seluruh kepala. Namun hanya disampirkan saja, sehingga masih terlihat ikal rambut depannya. Melalui drama Lautan Jilbab yang dipentaskan pada tahun 1988 sampai 1989. Perlahan tapi pasti, orang-orang sudah berani menggunakan jilbab. Bahkan saat ini, muslimah yang menggunakan jilbab sudah sering 106
Sariroh, Wawancara, Yogyakarta, 2 Januari 2017.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
90
kita temukan. Pandangan sekarang ini pun juga sudah terbalik. Dimana ketika melihat seorang muslimah yang tidak menggunakan jilbab. Makah hal itu akan terlihat aneh. Bu Sariroh berpendapat bahwa drama Lautan Jilbab adalah salah satu dari sejarah perkembangan jilbab di Indonesia saat ini. Menurutnya, perkembangan jilbab dulu hingga sekarang sudah meningkat jauh. Perubahan-perubahan tersebut juga dirasakan oleh beliau sejak drama Lautan Jilbab di pentaskan pada tahun 1988 sampai 1989 dibeberapa kota di Indonesia. Sejak drama Lautan Jilbab, muslimah-muslimah sudah berani dalam menggunakan jilbab. Entah itu dikarenakan hatinya tergugah untuk menggunakan jilbab, atau hanya mengikuti temannya. Ibu Sariroh sendiri dulunya tidak menggunakan jilbab. Namun pada akhirnya dia selalu mengenakan jilbab setelah melihat dan terlibat langsung dalam pementasan drama Lautan Jilbab. 107
107
Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id