perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Wilayah Demak 1. Kondisi Geografis Demak sebagai salah satu kabupaten di Jawa Tengah terletak pada koordinat 6º43’26” – 7º09’43” Lintang Selatan dan 110º27’58” - 110º48’47” Bujur Timur. Jarak terjauh dari arah barat ke timur adalah sepanjang 49 km dan jarak dari arah utara ke selatan sepanjang 41 km. Wilayah Demak berbatasan dengan beberapa daerah antara lain, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Jepara dan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kudus dan Kabupaten Grobogan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Semarang serta sebelah barat berbatasan dengan kota Semarang. Demak merupakan kota di pesisir utara Jawa Tengah yang terletak pada pertengahan jalur jalan raya antara Semarang dan Kudus yang berjarak sekitar 26 km dari arah Semarang dan 25 km dari arah Kudus. Dilihat dari ketinggian permukaan tanahnya, wilayah Demak termasuk pada dataran rendah. Ketinggian tanah di wilayah Demak jika diukur dari permukaan laut terletak mulai 0 meter sampai dengan 100 meter dari permukaan laut yang dibatasi atas tiga region yaitu: a. Region A merupakan daerah yang ketinggian permukaan tanahnya mulai 0 meter sampai dengan 3 meter dari permukaan laut. Wilayah yang termasuk pada region ini meliputi sebagian kecamatan Bonang, kecamatan Demak, kecamatan Karangtengah, kecamatan Mijen, kecamatan Sayung dan kecamatan Wedung. b. Region B terbagi menjadi tiga yaitu: 1) Daerah yang ketinggian permukaan tanahnya mulai 3 meter sampai dengan 10 meter dari permukaan laut, meliputi sebagian besar dari tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Demak. 2) Daerah yang ketinggian permukaan tanahnya mulai 10 meter sampai dengan 25 meter dari permukaan laut, meliputi sebagian dari kecamatan Dempet, to user kecamatan Karangawen dancommit kecamatan Mranggen.
58
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Daerah yang ketinggian permukaan tanahnya mulai 25 meter sampai dengan 100 meter dari permukaan laut, meliputi sebagian kecil dari kecamatan Mranggen dan kecamatan Karangawen. c. Region C merupakan daerah yang ketinggian tanahnya melebihi 100 meter dari permukaan laut. Wilayah yang termasuk pada region ini meliputi sebagian kecil dari kecamatan Karangawen dan kecamatan Mranggen. Wilayah Demak memiliki tekstur tanah yang terdiri dari dua jenis, yaitu tekstur tanah halus atau tanah liat seluas 49.066 hektar yang meliputi hampir seluruh kecamatan di wilayah Kabupaten Demak kecuali kecamatan Karangtengah dan tekstur tanah sedang atau tanah lempung seluas 40.677 hektar yang meliputi hampir seluruh kecamatan di wilayah Kabupaten Demak kecuali kecamatan Dempet dan kecamatan Gajah. Wilayah Demak pada jaman dahulu terkenal dengan daerah genangan air atau daerah banjir karena terletak pada dataran rendah. Selain terkenal dengan julukan itu, Demak juga terkenal sebagai kerajaan besar pada masa awal perkembangan Islam yang wilayah kekuasaannya meliputi daerah Jepara, Kediri, Tabun, Madiun, Surabaya, Pasuruan dan Malang. Demak yang pada awalnya terkenal dengan daerah banjir, pada masa sekarang Demak merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang secara administratif memiliki luas wilayah sekitar 89.743 hektar dan memiliki batas alam yang berupa sungai Serang yang menjadi batasan antara Kabupaten Demak dengan Kabupaten Jepara dan Kabupaten Kudus. Kabupaten Demak terdiri atas 14 kecamatan, yaitu kecamatan Demak, kecamatan Wonosalam, kecamatan Karangtengah, kecamatan Bonang, kecamatan Wedung, kecamatan Mijen, kecamatan Karanganyar, kecamatan Gajah, kecamatan Dempet, kecamatan
Guntur,
kecamatan
Sayung,
kecamatan
Mranggen,
kecamatan
Karangawen dan kecamatan Kebonagung. Dari 14 kecamatan tersebut dibagi lagi menjadi 243 desa dan 6 kelurahan dengan pusat pemerintahan berada di kecamatan Demak. Dari masing-masing kecamatan tersebut memiliki luas lahan atau luas daerah yang berbeda-beda seperti dijelaskan pada tabel di bawah ini. Tabel 4. 1. Luas Daerah Kabupaten Demak Dirinci per Kecamatan Pada Tahun 2012 commit to user
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kecamatan Mranggen Karangawen Guntur Sayung Karangtengah Bonang Demak Wonosalam Dempet Gajah Karanganyar Mijen Wedung Kebonagung Jumlah
Luas Daerah (Ha) 7.222 6.695 5.753 7.869 5.155 8.324 6.113 5.788 6.161 4.783 6.776 5.029 9.876 4.199 89.743
Presentase (%) 8,05 7,46 6,41 8,77 5,74 9,28 6,81 6,45 6,87 5,33 7,55 5,60 11,00 4,68 100,00
(Sumber: Monografi Kabupaten Demak, 2012) 2. Kondisi Alam Demak Kabupaten Demak terletak di pesisir pantai utara Jawa Tengah, sehingga jenis tanah di kabupaten ini merupakan tanah aluvial. Secara umum benteng alamnya berupa dataran rendah tanah pesisir yang merupakan tanah hasil endapan sungai yang banyak berkumpul di muara sungai. Wilayah Demak dialiri oleh beberapa sungai antara lain sungai Jajar, sungai Serang, sungai Tuntang dan sungai Tunggul Angin. Aliran air dari sungai Jajar oleh pemerintah kota Demak dimanfaatkan untuk sistem irigasi, pembuatan bendungan dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sedangkan tanah pesisir yang berkumpul di muara sungai oleh masyarakat Demak banyak digunakan untuk tambak ikan dan tempat pembuatan garam. Selain berupa tanah pesisir, di Kabupaten Demak juga terdapat tanah pertanian dan tanah pedesaan serta ada sebagian kecil wilayah di Kabupaten Demak yang berupa hutan terutama di kecamatan Mranggen dan kecamatan Karangawen. Kabupaten Demak merupakan daerah agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari pertanian, oleh sebab itu sebagian besar wilayah Demak tanahnya terdiri atas lahan sawah yang mencapai 50.915 hektar dan selebihnya adalah berupa lahan kering. Yang termasuk pada bagian lahan kering ialah pekarangan atau bangunan, commit to user tegal atau kebun, tebat atau empang atau rawa, tambak, hutan negara, perkebunan
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
negara atau perkebunan swasta dan hutan rakyat. Sedangkan yang termasuk pada lahan tanah sawah yaitu irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana pasang surut, irigasi sederhana non pasang surut dan irigasi tadah hujan atau sawah rendengan. Masing-masing lahan tersebut memiliki luas yang berbeda-beda seperti dijelaskan pada tabel di bawah ini. Tabel 4. 2. Presentase Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Demak Tahun 2012 No Jenis Lahan 1. Lahan Sawah a. Teknis b. Setengah Teknis c. Sederhana PU d. Sederhana Non PU e. Tadah Hujan f. Sementara Tidak diusahakan g. Lainnya 2. Lahan Kering a. Bangunan/ Pekarangan b. Tegal/ Kebun c. Tebat/ Empang/ Rawa d. Tambak e. Hutan Negara f. Perkebunan Negara/ Swasta g. Hutan Rakyat h. Lainnya Jumlah
Luas Lahan (Ha)
Presentase (%)
19.898 6.665 4.098 2.907 17.347 -
22,17 7,43 4,57 3,24 19,33 -
11.649 13.374 112 6.961 1.572 354 272 4.534 89.743
12,98 14,90 0,13 7,76 1,75 0,39 0,30 5,04 100,00
(Sumber: Monografi Kabupaten Demak, 2012) Kabupaten Demak mengalami musim yang sama seperti daerah pesisir di Pulau Jawa lainnya, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Pada bulan Juni sampai dengan bulan September arus angin berasal dari Australia dan tidak mengandung uap air sehingga mengakibatkan terjadi musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik sehingga terjadi musim penghujan. Pada saat terjadi musim kemarau sebagian masyarakat di Kabupaten Demak mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih, karena daerahnya terletak pada dataran rendah commit to user sehingga untuk memperoleh air bersih harus dilakukan pengeboran kurang lebih 90
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
meter dari permukaan tanah. Pada musim kemarau banyak penduduk yang memanfaatkan air sungai untuk dikonsumsi dan digunakan untuk kebutuhan seharihari lainnya. 3. Kondisi Demografi Demak a. Struktur Masyarakat Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan hasil registrasi penduduk di Kabupaten Demak pada tahun 2012 tercatat bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Demak sebanyak 1.092.622 orang dengan perincian jumlah penduduk laki-laki sebanyak 542.879 orang (49,69%) dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 549.743 orang (50,31%). Jumlah penduduk pada tahun 2012 mengalami kenaikan sebanyak 12.761 orang atau sekitar 1,18% dibandingkan pada tahun 2011. Penduduk Kabupaten Demak dilihat dari kelompok umurnya sebagian besar termasuk dalam usia produktif yaitu antara umur 15 tahun sampai dengan 64 tahun yang berjumlah 745.110 orang (68,19%) dan selebihnya dari itu sekitar 284.345 orang (26,02%) berusia di bawah 15 tahun serta yang berusia 65 tahun ke atas sebanyak 63.167 orang (5,78%). Perincian jumlah penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin di Kabupaten Demak adalah sebagai berikut:
Tabel 4. 3. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Demak Pada Tahun 2012 Kelompok Umur 0 – 4 Tahun 5 – 9 Tahun 10 – 14 Tahun 15 – 19 Tahun 20 – 24 Tahun 25 – 29 Tahun 30 – 34 Tahun 35 – 39 Tahun 40 – 44 Tahun 45 – 49 Tahun 50 – 54 Tahun 55 – 59 Tahun 60 – 64 Tahun 65+
Laki-laki Perempuan 43.875 42.488 48.355 45.570 53.784 50.313 54.000 52.631 46.625 47.143 44.983 46.235 42.877 44.039 38.999 40.959 39.189 40.848 35.239 36.515 30.968 30.506 21.876 20.324 15.422 15.822 commit to user 26.777 36.390
Jumlah 86.323 93.925 104.097 106.631 93.768 91.128 86.916 79.958 80.037 71.754 61.474 42.200 31.244 63.167
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jumlah 2012 2011 2010 2009 2008
542.879 536.221 528.925 536.243 531.646
549.743 543.640 534.843 549.740 545.334
1.092.622 1.079.861 1.063.768 1.085.983 1.076.980
(Sumber: Monografi Kabupaten Demak, 2012) b. Struktur Masyarakat Berdasarkan Mata Pencaharian Masyarakat Demak dalam memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari selalu berusaha sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimilikinya. Masyarakat di Kabupaten Demak terkenal dengan penduduk yang cenderung bersifat heterogen, sehingga dalam memilih mata pencaharian tidak hanya mengandalkan pada satu bidang usaha saja. Kota Demak jika dilihat secara umum mempunyai potensi yang cukup mudah untuk mencari pekerjaan, karena kota Demak mempunyai beberapa tempat yang dijadikan sebagai aset wisata sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk mencari rejeki di sekitar tempat wisata itu. Pekerjaan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Demak di tempat wisata yaitu bekerja sebagai pedagang cindera mata, pedagang makanan dan jasa tukang ojek ataupun tukang becak. Penduduk masyarakat Demak yang berhak mendapatkan pekerjaan yaitu penduduk yang berumur 15 tahun ke atas. Penduduk usia kerja tersebut dibedakan menjadi beberapa angkatan kerja yang terdiri dari kelompok pekerja, kelompok pencari pekerjaan serta kelompok bukan angkatan kerja. Yang tergolong pada kelompok bukan angkatan kerja yaitu masyarakat yang bersekolah dan masyarakat yang mengurus rumah tangga. Penduduk di Kabupaten Demak usia 15 tahun ke atas yang sudah bekerja pada tahun 2012 tercatat sebanyak 493.747 orang, yang terdiri dari 293.913 orang laki-laki dan 199.834 orang perempuan yang dirinci menurut lapangan usahanya. Sedangkan untuk penduduk yang mencari kerja dan mendaftar pada tahun 2012 sebanyak 4.093 orang laki-laki (44,31%) dan 5.144 orang perempuan (55,69%). Sebagian besar dari pencari kerja tersebut berpendidikan setingkat SMA yang berjumlah 65,15%, sebanyak 20,06% berpendidikan setingkat SMP, sebanyak 13,59% berpendidikan Diploma atau Perguruan Tinggian dan 1,20% commit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berpendidikan SD. Mengenai perincian jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang sudah bekerja menurut lapangan usahanya dijelaskan pada tabel di bawah ini. Tabel 4. 4. Jumlah Penduduk 15 Tahun ke Atas Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Demak Tahun 2012
Lapangan Usaha 1 2 3 4 5 Jumlah 2012 2011 2010 2009 2008
Jumlah Penduduk Yang Bekerja Laki-laki Perempuan Jumlah 94.967 80.487 175.454 33.768 16.199 59.985 45.240 63.505 108.745 40.491 26.852 67.343 79.429 2.791 82.220 293.913 199.834 493.747 293.448 212.386 505.834 291.889 211.904 503.793 287.495 207.422 494.917 312.122 217.731 529.853
(Sumber: Monografi Kabupaten Demak Tahun 2012) Keterangan : 1) Lapangan usaha nomor 1 yaitu bidang pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan. 2) Lapangan usaha nomor 2 yaitu bidang industri pengolahan. 3) Lapangan usaha nomor 3 yaitu bidang perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel. 4) Lapangan usaha nomor 4 yaitu bidang jasa kemasyarakatan. 5) Lapangan usaha nomor 5 yaitu lapangan usaha di bidang pertambangan dan penggalian, listrik, gas dan air, bangunan, angkutan, pergudangan dan komunikasi, keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan. c. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pendidikan sangat diperlukan oleh setiap penduduk, karena pendidikan merupakan hak dari tiap-tiap penduduk khususnya penduduk usia sekolah yaitu sekitar usia 7 commit to user tahun sampai 24 tahun. Jumlah penduduk di Kabupaten Demak yang berusia 7
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sampai 24 tahun pada tahun 2012 yang masih bersekolah yaitu untuk tingkat SD sebanyak 93.989 orang, untuk tingkat SMP sebanyak 24.272 orang dan untuk tingkat SMA sebanyak 27.141 orang. Keberhasilan pendidikan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sarana dan prasarana pendidikan seperti sekolah dan tenaga pendidik atau guru yang memadai. Di Kabupaten Demak pada tahun 2012 diketahui terdapat 534 Sekolah Dasar (SD), 71 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 95 Sekolah Menengah Atas (SMA). Sedangkan jumlah guru untuk Sekolah Dasar (SD) sebanyak 5.794 orang, untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 2.074 orang dan untuk Sekolah Menengah Atas sebanyak 3.077 orang. Perincian banyaknya jumlah sekolah, murid dan guru per kecamatan di Kabupaten Demak dijelaskan pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. 5. Banyaknya Sekolah, Murid dan Guru di Kabupaten Demak Pada Tahun 2012 Kecamatan Mranggen Karangawen Guntur Sayung Karangtengah Bonang Demak Wonosalam Dempet Gajah Karanganyar Mijen Wedung Kebonagung Jumlah 2012 2011 2010 2009 2008
Sekolah 59 31 31 24 23 32 36 30 30 22 23 18 21 25 405 403 399 399 390
Jumlah Murid 1.834 956 838 761 637 1.198 1.426 968 738 686 889 573 761 535 12.800 18.114 17.982 19.298 17.791
Guru 240 61 39 54 57 52 134 72 45 45 92 43 55 24 1.013 1.379 1.335 919 935
commit to user (Sumber: Monografi Kabupaten Demak Tahun 2012)
Rata-Rata Tiap Sekolah Murid Guru 31 4 21 2 27 1 32 2 28 2 37 2 40 4 32 2 25 2 31 2 39 4 32 2 36 3 21 1 32 2 45 3 45 3 48 2 46 2
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pendidikan merupakan suatu hal yang penting dan sebagian masyarakat Demak menyadari tentang hal tersebut, sehingga masyarakat Demak mewajibkan semua keluarganya supaya bersekolah meskipun harus sekolah di luar kota seperti Semarang dan Kudus. Hal itu dilakukan karena di Kabupaten Demak jumlah sarana pendidikan yang tersedia masih kurang sehingga banyak masyarakat Demak yang sekolah ke luar kota. Jumlah sarana pendidikan, murid dan guru menurut tingkat dan statusnya yang ada di Kabupaten Demak dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. 6. Banyaknya Sekolah, Murid dan Guru Menurut Tingkat dan Status di Kabupaten Demak Tahun 2012 Rincian
Tingkatan
Sekolah
SD SMP SMA Jumlah SD SMP SMA
Murid Jumlah
SD SMP SMA
Guru Jumlah
Status Sekolah Negeri Swasta 516 18 37 44 14 50 567 112 90.909 3.080 19.882 5.188 10.500 11.852 121.291 20.120 5.518 276 1.303 771 644 1.456 7.465 2.503
(Sumber: Monografi Kabupaten Demak Tahun 2012) d. Kondisi Sosial Budaya 1) Stratifikasi Masyarakat Stratifikasi sosial atau sistem lapisan masyarakat dalam suatu daerah dapat terjadi dengan sendirinya seiring dengan proses pertumbuhan masyarakat dalam suatu daerah tersebut. Terjadinya stratifikasi sosial atau sistem lapisan masyarakat dalam suatu daerah biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kepandaian seseorang, tingkat umur yang lebih tua, sifat keaslian seorang anggota kepala commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
masyarakat dan harta. Menurut Rahardjo dan Ramelan (1994) stratifikasi sosial yang terjadi dalam masyakat pada umumnya terbagi menjadi tiga lapisan yaitu: a) Lapisan Atas Lapisan atas dalam stratifikasi sosial merupakan kelompok masyarakat yang paling terpandang karena status sosial atau tingkat kehidupan ekonominya yang lebih tinggi daripada lapisan yang lain. Yang tergolong dalam lapisan ini yaitu raja dan keluarganya, pejabat tinggi kerajaan dan para ulama besar atau syeh. Seorang raja tergolong dalam lapisan ini karena raja dianggap sebagai tokoh puncak atau tokoh tertinggi dalam piramida penduduk dan merupakan tokoh yang menjadi panutan utama, baik di dalam kalangan sendiri maupun bagi golongan-golongan masyarakat yang berada di luarnya. Para pejabat tinggi kerajaan juga termasuk dalam lapisan ini khususnya para patih. Hal ini karena seorang raja yang pada saat sebelum memimpin sebuah kerajaan pada awalnya memiliki gelar patih yang mengurusi hal-hal keduniawian pada kerajaan. Selain seseorang yang mengurusi hal-hal yang bersifat keduniawian, dalam lapisan ini juga terdapat seseorang yang mengurusi masalahmasalah keagamaan dan hukum Islam yaitu para ulama besar atau imam besar kerajaan dan syeh. b) Lapisan Menengah Kelompok masyarakat yang tergolong dalam lapisan ini yaitu para imam yang biasanya dikenal sebagai penghulu (dalam bahasa Melayu berarti kepala atau santri), para prajurit atau tentara, para pedagang menengah yaitu pedagang yang berhasil di kota-kota pelabuhan pesisir utara Jawa, para penjaga masjid dan makam suci serta para penulis kronik. c) Lapisan Bawah, kelompok masyarakat yang tergolong dalam lapisan ini antara lain para petani dan nelayan, para tukang dan perajin, para pedangan kecil serta para seniman. Stratifikasi sosial yang ada pada masyarakat Demak pada dasarnya sama dengan stratifikasi sosial yang ada pada masyarakat di daerah lain, yaitu menganut adat ketimuran dan adat Jawa. Stratifikasi sosial di Demak terjadi karena adanya tingkat kehidupan sosial masyarakat yang beragam sehingga menimbulkan cara hidup dan commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pola pikir yang berbeda. Hal itu dapat teratasi dengan adanya sifat keterbukaan yang dimiliki oleh masyarakat Demak, sehingga stratifikasi yang ada tidak begitu nampak. 2) Sistem Kepercayaan dan Agama Agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Kabupaten Demak yaitu agama Islam. Hal ini karena Kabupaten Demak terkenal dengan sebutan Kota Santri atau Kota Wali, sehingga masyarakat Demak merupakan penganut agama Islam yang taat. Adanya Masjid Agung Demak menjadi simbol kebesaran Islam yang berkembang di kota Demak. Meskipun Demak terkenal dengan sebutan Kota Wali atau Kota Santri, namun ada juga masyarakat yang beragama non Islam. Hal ini membuktikan bahwa di daerah Demak terdapat keragaman agama. Keragaman agama disuatu daerah tidak menyebabkan adanya perpecahan antar umat beragama, namun setiap umat beragama justru saling menciptakan suasana kerukunan kehidupan beragama supaya antara umat agama yang satu dengan umat agama yang lainnya tetap menjalin hubungan yang baik. Penduduk Demak yang beragama Islam pada tahun 2012 mencapai 99,31% dari total keseluruhan penduduk. Selebihnya dari itu merupakan penduduk yang memeluk agama Kristen dan Katholik sebesar 0,65% serta yang memeluk agama Hindu dan Budha sebesar 0,04%. Sedangkan tempat peribadatan yang tersedia di Kabupaten Demak pada tahun 2012 mencapai 4.767 buah, yang terdiri atas masjid dan musholla yang berjumlah sekitar 99,43% serta gereja Katholik, gereja protestan dan vihara yang berjumlah 0,57%. Perincian jumlah pemeluk agama dan jumlah sarana peribadatan yang terdapat di Kabupaten Demak pada tahun 2012 dijelaskan pada tabel di bawah ini.
commit to user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 4. 7. Banyaknya Pemeluk Agama di Kabupaten Demak Tahun 2012
Kecamatan
Islam
Kristen Katholik
Kristen Protestan
Hindu Budha
Jumlah
Mranggen Karangawen Guntur Sayung Karangtengah Bonang Demak Wonosalam Dempet Gajah Karanganyar Mijen Wedung Kebonagung Jumlah 2012 2011 2010 2009 2008
155.324 80.113 78.979 97.773 58.235 106.937 97.733 72.872 51.319 48.120 76.499 66.698 88.054 37.566 1.116.222 1.093.620 1.108.465 1.054.723 1.054.723
1.474 17 327 479 6 63 19 107 3 25 5 34 2.559 2.923 1.811 1.882 2.492
1.896 292 639 66 1.421 29 20 54 54 74 191 4.736 5.070 4.029 3.510 2.882
188 15 16 173 13 12 32 449 281 233 414 389
158.882 80.437 79.306 98.907 58.307 106.937 99.390 72.933 51.458 48.209 76.553 66.797 88.059 37.791 1.123.966 1.101894 1.114.538 1.060.529 1.060.466
(Sumber: Monografi Kabupaten Demak Tahun 2012) Berkembangnya jumlah pemeluk agama di Kabupaten Demak menyebabkan dibutuhkan tempat untuk beribadah. Mengenai perincian tempat ibadah yang tersedia di Kabupaten Demak dijelaskan pada tabel di bawah ini.
commit to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 4. 8. Banyaknya Sarana Tempat Peribadatan di Kabupaten Demak Tahun 2012
Kecamatan
Mas jid
Mushola
Mranggen Karangawen Guntur Sayung Karangtengah Bonang Demak Wonosalam Dempet Gajah Karanganyar Mijen Wedung Kebonagung Jumlah 2012 2011 2010 2009 2008
97 57 67 76 42 65 44 34 44 31 37 30 37 37 698 729 712 713 712
489 401 482 368 222 197 301 347 264 244 194 165 170 198 4.042 4.156 3.843 3.792 3.792
Gereja Katho Protes lik tan 0 2 2 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 2 2 24 6 25 1 24 2 23 2 23
Pura Bud Hin ha du 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Wihara 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1
(Sumber: Monografi Kabupaten Demak Tahun 2012) B. Latar Belakang Berdirinya Masjid Agung Demak 1. Sejarah Demak Wilayah Demak pada jaman dahulu berupa hutan yang terkenal dengan sebutan hutan Glagahwangi. Setelah hutan Glagahwangi ditebangi, kemudian hutan tersebut dijadikan pemukiman yang terkenal dengan sebutan pemukiman Bintoro yang berasal dari kata bethoro yang memiliki arti bukit suci bagi penganut agama Hindu. Nama Bintoro diambil dari nama pohon bintoro yang pada jaman dahulu banyak tumbuh di sekitar hutan Glagahwangi, yang kemudian nama itu diberikan untuk kasultanan yang dipimpin oleh Raden Patah karena di daerah tersebut pada jaman dahulu masih banyak masyarakat yang menganut agama Hindu dan Budha (Haryadi, 2003). Menurut Amar (1996), nama Demakcommit berasal to dari beberapa kata antara lain: user
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Terkenalnya kata Demak berawal dari peristiwa Nyai Lembah yang berasal dari Rawa Pening sedang menyusuri suatu daerah menggunakan perahu, tetapi di tengah perjalanannya perahu yang dinaikinya terdampar di muara sungai Tuntang. Untuk mencari penyebab terdamparnya perahu tersebut, Nyai Lembah ndemak-ndemek atau meraba-raba dasar sungai. Dari kata ndemakndemek itulah akhirnya masyarakat sekitar menamakan daerah tempat terdamparnya perahu milik Nyai Lembah dengan sebutan Demak. b. Menurut Prof. Dr. Hamka, kata Demak berasal dari Bahasa Arab Dama yang berarti mata air. Diartikan sebagai mata air karena pada saat penyebaran agama Islam di daerah tersebut, para wali sering mengalami hambatan karena terjadi banjir kiriman dari sungai Tuntang. c. Menurut Sholichin Salam, kata Demak berasal dari Bahasa Arab yang diambil dari kata Dimak yang berarti air mata yang menggambarkan kesulitan dalam menegakkan agama Islam pada waktu itu. d. Menurut Prof. Slamet Mulyono, Demak diartikan sebagai anugrah yaitu anugrah dari Prabu Kertabumi atau Raja Brawijaya V yang diberikan kepada Raden Patah berupa bumi bekas hutan Glagahwangi. Dasar etimologis penyebutan kata Demak ini adalah Kitab Kekawin Ramayana yang berbunyi wineh Demak kapwo yotho karamanyo. e. Menurut Prof. Purbotjaroko, Demak berasal dari kata Delemak yang berarti tanah yang mengandung air atau rawa. f. Menurut Prof. R. M. Sutjipto Wiryosuparto bahwa Demak berasal dari Bahasa Kawi yang artinya pegangan atau pemberian. Berdasarkan beberapa pendapat tentang asal kata Demak, maka dapat disimpulkan bahwa ada kecenderungan tentang kata Demak yang berasal dari Bahasa Arab Dimak yang artinya air mata yang metes. Hal ini didasarkan pada sulitnya menyebarkan dan menegakkan agama Islam di daerah Demak, karena pada saat itu masyarakat sekitar Demak sudah lama mempunyai kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap ajaran-ajaran Hindu yang diperoleh dari nenek moyang terdahulu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
2. Lokasi Masjid Agung Demak Masjid Agung Demak merupakan masjid tertua di Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan Masjid Wali. Terkenalnya Masjid Agung Demak sebagai Masjid Wali karena masjid ini didirikan secara bersama-sama oleh Wali Songo atau Wali Sembilan dalam waktu yang sangat singkat yaitu hanya satu malam saja (Amar, 1996). Lokasi Masjid Agung Demak berada di pusat keramaian kota Demak, tepatnya di Jalan Sultan Fatah, Demak, Jawa Tengah. Masjid Agung Demak berjarak sekitar 26 km dari kota Semarang, kurang lebih 25 km dari Kabupaten Kudus dan sekitar 35 km dari Kabupaten Jepara. Masjid Agung Demak berada tepat di sebelah barat alun-alun kota Demak, seperti halnya bentuk tipologi kota di Jawa yaitu tanah lapang yang luas atau alun-alun sebagai porosnya dan sebelah barat terdapat bangunan yang berbentuk masjid sedangkan di sebelah timurnya terdapat Lembaga Permasyarakatan (LP) serta di sebelah utara terdapat kantor bupati Demak. Masjid Agung Demak yang terletak di pusat kota Demak menyebabkan masjid ini mudah dijangkau oleh para pengunjung yang ingin berziarah atau sekedar berkunjung ke masjid tersebut untuk melihat keunikan Masjid Agung Demak. Selain tata letaknya yang berada di pusat kota Demak, faktor penting untuk meningkatkan jumlah pengunjung yang datang ke Masjid Agung Demak juga didukung adanya sarana transportasi dan jalan yang mendukung supaya Masjid Agung Demak lebih sering dikunjungi oleh para wisatawan. Masjid Agung Demak terletak berdekatan dengan perkantoran, sekolah maupun perkampungan yang cukup padat, sehingga kondisi tersebut dapat menambah manfaat dan arti pentingnya sebuah masjid di tengah aktivitas masyarakat yang memerlukan sarana peribadatan (wawancara dengan bapak Suwagiyo, tanggal 3 November 2013). Masjid Agung Demak pernah menjadi tempat berkumpulnya para wali. Di tempat ini pada jaman dahulu para wali melaksanakan ibadah, berdiskusi dan mengajarkan pokok-pokok kehidupan Islam serta menyebarkan agama Islam sampai ke luar Pulau Jawa. Masjid wali yang kemudian dikenal dengan nama Masjid Agung Demak merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak yang commit to user dipimpin oleh Raden Patah (Sulistiono, 2000).
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nama Masjid Demak pada awalnya merupakan jenis Masjid Jami, yang kemudian nama tersebut berubah menjadi jenis Masjid Agung atau Masjid Raya. Terjadinya perubahan nama tersebut karena adanya perubahan struktur pemerintahan kota Demak menjadi daerah kasultanan. Kemiripan penyebutan Masjid Demak menjadi Masjid Agung juga terlihat pada Masjid Agung di Kerajaan Mataram Islam keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta (Santoso, Sudaryanto & Nugroho, 2008) 3. Sejarah Berdirinya Masjid Agung Demak Sejarah berdirinya Masjid Agung Demak sangat berkaitan erat dengan sejarah berdirinya pemerintahan Kasultanan Bintoro sebagai Kerajaan Islam pertama di Demak. Salah satu tokoh yang mempelopori berkembangnya Islam di wilayah Jawa yaitu Raden Patah. Raden Patah merupakan putra dari Raja Majapahit yang terakhir pada jaman sebelum Islam yang bernama Raja Brawijaya V atau Prabu Kertabumi yang menikah dengan Putri Campa bernama Sie Tan Nio atau Sitanyon atau Dewi Dwarawati Murdaningrum. Masa muda Raden Patah lebih sering berada di Pesantren Ampel Denta yaitu pesantren yang dikelola oleh Sunan Ampel, untuk belajar dan berguru dengan Sunan Ampel. Setelah berada di pesantren cukup lama, kemudian Raden Patah menikah dengan Nyi Ageng Malaka yang merupakan putri dari Sunan Ampel (wawancara dengan bapak Suwagiyo, tanggal 3 November 2013). Raden Patah setelah menikahi Nyi Ageng Malaka, kemudian mendapat perintah dari Sunan Ampel supaya menyebarkan agama Islam di daerah Glagahwangi, Demak, Jawa Tengah. Di daerah itu Raden Patah beserta istrinya memimpin suatu masyarakat kecil kaum muslimin yang sudah terbentuk sebelum Raden Patah menempati daerah tersebut. Selain itu, Raden Patah juga mengajarkan agama Islam dan membuka Pesantren Glagahwangi. Setelah Raden Patah membuka Pesantren Glagahwangi, kemudian tidak lama setelah itu Raden Patah juga membuka madrasah di desa tersebut sehingga lama kelamaan desa tersebut banyak dikunjungi orang. Dengan berdirinya pesantren dan madrasah di daerah Glagahwangi maka agama Islam semakin berkembang di daerah tersebut. Berkembangnya agama Islam di daerah Glagahwangi tidak hanya menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
agama saja, tetapi dapat menjadi pusat perdagangan bahkan menjadi pusat Kerajaan Islam di Jawa (Amar, 1996). Kerajaan Islam di daerah Glagahwangi pada saat awal pembentukan membutuhkan seseorang untuk dijadikan pemimpin dan pada saat itulah Sunan Ampel mengusulkan Raden Patah supaya diangkat menjadi adipati di Glagahwangi oleh Raja Majapahit dengan gelar Adipati Bintoro. Kemudian tidak lama setelah itu, Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan karena diserang oleh Gilindrawardana dari Kediri pada tahun 1478 Masehi. Dengan adanya keruntuhan terhadap Majapahit menyebabkan Kadipaten Bintoro dapat membuka peluang untuk melepaskan diri dari Majapahit dan menyatakan berdiri sendiri sebagai Kesultanan Demak yang sementara dipimpin oleh Sunan Giri dengan gelar Prabu Satmoto. Selanjutnya pada tahun 1481 Masehi, Raden Patah dinobatkan oleh para wali sebagai sultan atau raja Islam pertama di Demak. Pada saat Raden Patah menjadi raja Islam pertama di Kerajaan Demak, beliau mendapatkan gelar Sultan Syah Alam Akbar Al-Fattah. Setelah Raden Patah wafat maka digantikan oleh Raden Pati Unus yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor pada tahun 1518 Masehi sampai 1521 Masehi. Raden Pati Unus merupakan seorang senopati yang berhasil melawan bangsa Portugis di Selat Malaka. Kemudian pada saat Raden Pati Unus meninggal, tahta Kerajaan Islam dialihkan kepada adiknya yang bernama Sultan Raden Trenggono yang memiliki julukan Sultan Syah Ngalam Akbar III. Sultan Raden Trenggono berhasil memimpin Kerajaan Demak selama 25 tahun yaitu dari tahun 1521 Masehi sampai 1546 Masehi. Setelah tahta kerajaan dialihkan kepada Sultan Raden Trenggono, maka terjadi jeda kekuasaan kesultanaan kira-kira selama 14 tahun. Hal ini karena pada saat itu terjadi pertikaian antar keluarga (wawancara dengan bapak Abdul Fatah, tanggal 24 November 2013). Keadaan Kerajaan Demak secara geografis terletak di Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya berada di daerah Bintoro di muara sungai yang dikelilingi oleh daerah rawa yang luas di perairan Laut Muria. Namun, sekarang Laut Muria sudah merupakan dataran rendah yang dialiri sungai Lusi. Bintoro sebagai pusat Kerajaan Demak terletak antara Bergola dan Jepara, di mana Bergola adalah pelabuhan yang to user penting pada masa berlangsungnyacommit Kerajaan Mataram atau pada masa Wangsa
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
Syailendra, sedangkan Jepara akhirnya berkembang sebagai pelabuhan yang penting bagi Kerajaan Demak. Kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Demak lebih berdasarkan pada agama Islam, karena pada dasarnya Demak adalah pusat penyebaran Islam di Pulau Jawa. Sebagai pusat penyebaran Islam, Demak menjadi tempat berkumpulnya para wali seperti Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Bonang. Para wali tersebut memiliki peranan yang penting pada masa perkembangan Kerajaan Demak, bahkan para wali menjadi penasehat bagi Raja Demak. Dengan demikian terjalin hubungan yang erat antara raja atau bangsawan dengan para wali atau ulama, para raja atau bangsawan dengan rakyat serta para wali atau ulama dengan rakyat. Hubungan yang erat tersebut tercipta melalui pembinaan masyarakat yang diselenggarakan di masjid maupun pondok pesantren. Dengan demikian terciptalah kebersamaan atau Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan diantara orang-orang Islam (wawancara dengan bapak Suwagiyo, tanggal 3 November 2013). Pada bidang budaya banyak hal yang menarik dari peninggalan Kerajaan Demak, salah satunya adalah Masjid Agung Demak. Tahun berdirinya Masjid Agung Demak sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti. Secara umum, penafisran para ahli terhadap keberadaan Masjid Agung Demak didasarkan pada candrasengkala memet dan prasasti atau petunjuk-petunjuk dari kitab-kitab Babad. Pembangunan Masjid Agung Demak yang dibangun oleh Wali Songo mengalami beberapa tahap dan dari masing-masing tahap didasarkan atas candrasengkala yang membuktikan tentang tahun berdirinya Masjid Agung Demak (wawancara dengan bapak Eko, tanggal 9 November 2013). Pembangunan Masjid Agung Demak terbagi menjadi tiga tahap yaitu: a. Pembangunan Tahap I Pembangunan Masjid Agung Demak pada tahap I didirikan oleh Ki Ageng Selo dalam waktu hanya satu malam, sehingga pembangunan pada tahap ini diibaratkan seperti halilintar atau petir atau bledeg yang kemudian dilukiskan dengan binatang berupa mahkota kepala naga dengan mulut bergigi yang terbuka dan dihiasi dengan lukisan berupa bunga-bunga serta tumbuhan yang disamarkan. Bentuk lukisan commit userterbuat dari kayu jati yang disebut mahkota kepala naga terukir pada daun pintutoyang
perpustakaan.uns.ac.id
76 digilib.uns.ac.id
dengan lawang bledeg atau pintu bledeg. Pada bagian pintu bledeg atau pintu utama Masjid Agung Demak bertuliskan candrasengkala nogo mulat saliro wani yang berarti bahwa berdirinya Masjid Agung Demak pada tahun 1388 Saka atau pada tahun 1466 Masehi. Pintu tersebut menggambarkan unsur-unsur dari dua kebudayaan yaitu kebudayaan Majapahit yang berupa gambar stupa di bagian atas dan kebudayaan Cina yang berupa gambar naga di bagian bawah. Pembangunan masjid pada tahap I memiliki fungsi sebagai masjid pesantren Glagahwangi. b. Pembangunan Tahap II Pembangunan tahap II dilaksanakan pada saat Raden Patah menjabat sebagai adipati Majapahit di Glagahwangi dengan gelar Adipati Notoprojo pada tahun 1475 Masehi. Pada tahap ini pembangunan masjid dikerjakan oleh Wali Songo bersama kaum santri dengan dibantu oleh tukang-tukang yang didatangkan dari Tiongkok. Dengan adanya pembangunan masjid yang tanggung jawabnya dipegang oleh Adipati Notoprojo, maka pembangunan masjid pada tahap ini disebut sebagai masjid kadipaten Glagahwangi. Pada saat pembangunan tahap II ditandai dengan candrasengkala atau prasasti yang berbunyi kori trus gunaning janmi yang memiliki arti bahwa pembangunan Masjid Agung Demak dilaksanakan pada tahun 1399 Saka atau pada tahun 1477 Masehi dan diresmikan oleh Raden Patah setelah dua tahun beliau memangku jabatan sebagai Adipati Notoprojo di Glagahwangi. c. Pembangunan Tahap III Pembangunan masjid pada tahap III dilaksanakan setelah Majapahit mengalami keruntuhan, sehingga Kasultanan Bintoro dapat menduduki kekuasaannya sebagai Kerajaan Islam pertama tepatnya pada tahun 1478 Masehi. Pada saat itu Raden Patah dengan dibantu oleh Wali Songo berhasil naik tahta dengan gelar Kanjeng Sultan Abdul Fattah Al Akbar Sayidin Panotogomo yang berkedudukan di Bintoro. Setelah Raden Patah berhasil naik tahta kemudian masjid tersebut dipugar menjadi masjid keraton atau Kasultanan Bintoro yang megah, anggun dan berwibawa. Pembangunan pada tahap ini dibantu oleh para wali terutama Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Ampel serta Sunan Gunung Jati dan yang menjadi pemimpin dalam pembangunan ini adalah Syaikh Maulana Maghiribi atau Syaikh Maulana to user Muhammad Al Muhdlor yang berasalcommit dari Maroko.
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdirinya Masjid Agung Demak pada tahap ini berdasarkan atas gambar bulus yang terdapat pada bagian mihrab. Gambar bulus tersebut dapat ditafsirkan bahwa bulus terdiri dari kepala yang berarti angka 1 (satu), kaki yang berjumlah empat berarti angka 4 (empat), badan bulus berarti angka 0 (nol) dan ekor bulus berarti angka 1 (satu). Jadi dapat disimpulkan bahwa Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka atau pada tahun 1479 Masehi. Gambar bulus yang ada pada bagian mihrab Masjid Agung Demak juga didasarkan pada candrasengkala yang berbunyi Saliro Sunyi Kiblating Gusti yang berarti angka tahun 1401 Saka. Candrasengkala yang menjelaskan tentang berdirinya Masjid Agung Demak selain yang
sudah
dijelaskan
pada
tahap
pembangunan
masjid,
juga
terdapat
candrasengkala lain yang membuktikan tahun berdirinya Masjid Agung Demak (wawancara dengan bapak Widodo, tanggal 5 Desember 2013). Candrasengkala tersebut antara lain: a. Berdirinya Masjid Agung Demak ditulis pada Babad Demak karangan Atmodarminto yang menyatakan bahwa Masjid Agung Demak didirikan pada tahun 1399 Saka atau tahun 1477 Masehi yang didasarkan pada candrasengkala yang berbunyi lawang terus guna ning janmi. b. Masjid Agung Demak dianggap berdiri pada hari Kamis Kliwon malam Jumat Legi yang bertepatan dengan tanggal 1 Dzulhijah 1428 tahun Jawa atau pada tahun 1501 Masehi. Hal ini didasarkan dengan adanya sebuah tulisan dalam bahasa Jawa yang terletak di atas pintu utama masjid dengan bunyi sebagai berikut hadeging masjid yasanipun para wali, nalika dinten Kamis Kliwon malem Jumah Legi
tanggal 1 Dulkaidah tahun 1428 Saka. Tulisan Jawa
tersebut jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia maka berarti berdirinya masjid ini adalah atas jasa para wali pada hari Kamis Kliwon malam Jumat Legi tanggal 1 Dulkaidah tahun 1428 Saka. Proses pembangunan Masjid Agung Demak berpedoman pada kaidah-kaidah atau nilai-nilai yang sudah ada di masyarakat dan memikirkan kaidah-kaidah baru yang akan diterapkan. Kaidah-kaidah tersebut harus dipadukan dengan baik dalam karya arsitektur Islam sehingga tidak terjadi benturan budaya. Pada saat awal commit to user dilakukan oleh Sunan Kalijaga pembangunan Masjid Agung Demak, hal tersebut
perpustakaan.uns.ac.id
78 digilib.uns.ac.id
dengan cara berdiri di tengah-tengah lahan di mana masjid akan didirikan sambil merentangkan tangan kemudian tangan kirinya menuju ke arah bumi dan tangan kanannya menuju ke arah kiblat. Kaidah-kaidah tersebut perlu diperhatikan karena dalam memadukan unsur-unsur budaya lama dengan budaya baru dalam arsitektur Islam telah menunjukkan adanya akulturasi dalam proses perwujudan arsitektur Islam, khususnya di Jawa (wawancara dengan bapak Suwagiyo, tanggal 3 November 2013). Masjid Agung Demak pada saat awal pembangunan bentuknya tidak semegah pada saat sekarang, namun hanya berbentuk bangunan kecil yang terbuat dari kayu. Penggunaan kayu pada bangunan Masjid Agung Demak pada jaman dahulu dikarenakan di daerah Demak pada waktu itu masih merupakan hutan belantara serta berawa-rawa. Selain itu, pada saat awal pembangunan Masjid Agung Demak masih jarang dijumpai bangunan yang terbuat dari batu sungai. Bangunan pada saat itu apabila memakai batu, yang dipakai juga bukan batu sungai melainkan batu bata. Hal ini diasumsikan bahwa bangunan dari kayu mudah rusak dan supaya sering dipugar untuk diperbaiki. Masjid Agung Demak setelah awal pembangunan hingga pada masa sekarang mengalami beberapa penyempurnaan atau perbaikan (wawancara dengan bapak Eko, tanggal 9 November 2013) yaitu pada saat: a. Tahun 1924 sampai dengan tahun 1928 dilakukan penggantian serambi, sirap, penambahan konstruksi kuda-kuda bagian atap masjid dan menara besi. Perbaikan pada tahun ini dilakukan pada jaman pemerintahan Bupati Demak Raden Tumenggung Haryo Sastro Hadiwijaya dengan ditandai adanya prasasti yang berbunyi asri katon gapuraning kamulyan. b. Tahun 1966 sampai dengan tahun 1969 dilakukan penggantian instalasi listrik dan pagar depan, pembongkaran bagian depan masjid, pembuatan pagar keliling masjid serta pembongkaran dan pembangunan kembali bagian serambi. Perbaikan pada tahun ini ditandai dengan prasasti yang berbunyi lawang panoto gono suci atau broto ngatopo sidik waskito. c. Tahun 1973 sampai dengan tahun 1974 dilakukan pembetonan masjid, commit to user penggantian sirap dan rehabilitasi makam Sultan Tenggono.
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Tahun 1982 sampai dengan tahun 1987 dilakukan pemugaran secara menyeluruh oleh Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Perbaikan pada tahun ini ditandai dengan prasasti yang berbunyi dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa purna pamugaran Masjid Agung Demak serta diresmikan dan ditandatangani langsung oleh Presiden Republik Indonesia Bapak Soeharto pada tanggal 21 Maret 1987. C. Struktur Bangunan Masjid Agung Demak Masjid Agung Demak sebagai sebuah bangunan masjid arsitektur abad XV merupakan karya besar peninggalan Wali Songo. Hampir semua bagian struktur bangunannya nampak megah, anggun dan mengandung nilai filosofi sehingga menjadi pedoman pembuatan arsitektur nasional. Masjid Agung Demak menjadi benda cagar budaya yang dilindungi berdasarkan UU RI No. 5 tahun 1992 dengan PP RI No. 10 tahun 1993 tentang pelaksanaan UU No. 5 tahun 1992 yang merupakan pengganti UU Pemerintah Hindia Belanda yang mengatur dengan Monumenten Ordonantie No. 19 tahun 1931 (Staatsblad No. 238 tahun 1931) dan yang telah diubah dengan Monumenten Ordonantie No. 21 tahun 1934 (Staatsblad No. 515 tahun 1934). Kompleks Masjid Agung Demak secara keseluruhan berada dalam satu kompleks dengan makam yang memiliki luas sekitar 42.500 m². Untuk luas bangunan Masjid Agung Demak sendiri sekitar 1,5 hektar dengan dibatasi tembok keliling. Sisi tembok sebelah timur terdapat pintu gerbang utama tanpa dilengkapi gapura, sedangkan pintu gerbang di sisi tembok sebelah utara dan sebelah selatan kedua pintu gerbangnya dilengkapi dengan gapura yang berbentuk gapura paduraksa. Masjid Agung Demak sebagai masjid ciptaan Wali Songo memiliki keunikan karena bangunan induk Masjid Agung Demak memiliki dinding yang berbentuk segi empat dan memiliki empat sudut serta bangunan atapnya memiliki tiga tingkatan dengan disangga atau didukung oleh empat soko guru yang merupakan wakaf dari Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati. Panjang soko guru tersebut yaitu sekitar 16,30 meter dengan garis tengah 65 cm sampai 95 cm. Hampir commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
seluruh bangunan Masjid Agung Demak mulai dari atap, kerangka konstruksi, balok loteng, geladag dan soko guru terbuat dari kayu jati yang berukuran besar. Kompleks bangunan Masjid Agung Demak terbagi menjadi tiga bagian (wawancara dengan bapak Eko, tanggal 9 November 2013) yaitu: 1. Bangunan Utama Masjid Bangunan utama Masjid Agung Demak memiliki atap yang berbentuk tumpang tingkat tiga atau disebut dengan atap sirap. Puncak atap ditutup dengan mustaka dari tembaga yang berukuran panjang 140 cm, lebar 140 cm dan tinggi 240 cm. Bagian bawah mustaka berbentuk trapesium dengan hiasan pada keempat sudutnya berupa kelopak bunga padma atau bunga teratai, sedangkan puncak mustaka berbentuk silinder berujung cembung. Bangunan utama Masjid Agung Demak terbagi menjadi beberapa bagian yaitu: a. Bentuk Luar Masjid Bentuk luar sebuah bangunan ditentukan oleh pembagian ruang dalam, ukuran serta fungsi didirikannya bangunan tersebut. Untuk bangunan Masjid Agung Demak berdiri di atas sebuah pondasi yang berbentuk persegi. Pembuatan pondasi dilakukan dengan cara menggali tanah sekitar 40 cm sampai 50 cm yang kemudian diberi tembok yang terbuat dari batu sungai dengan ketinggian sekitar 2,80 meter di atas tanah. Setelah terbentuk pondasi keliling kemudian ditimbun tanah secara penuh, supaya pada saat bangunan masjid didirikan dapat terlihat lebih tinggi di atas permukaan tanah. Bentuk Masjid Agung Demak terlihat dari luar mempunyai atap yang berbentuk limas piramida bersusun tiga atau disebut beratap tumpang. Di bagian puncak atap Masjid Agung Demak terdapat mahkota yang terbuat dari tanah liat yang dibakar sampai berwarna merah kecoklat-coklatan dan dihiasi dengan tulisan Arab yang berbunyi Allah. Bagian atap tersebut terbuat dari papan kayu jati yang dikenal dengan sebutan sirap. Sirap pada bangunan Masjid Agung Demak mempunyai ukuran 3 cm x 25 cm x 68 cm. Pada bagian ujung bawah sirap berbentuk segitiga dan di balik papan sirap pada bagian atas sebelah kiri dan kanan terdapat tonjolan batang kayu kecil. Batang kayu tersebut berfungsi sebagai pengkait pada saat pemasangan commit to userMasjid Agung Demak mengalami reng. Untuk sirap yang terdapat pada bangunan
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
perbaikan sebanyak dua kali yaitu pada saat pemugaran masjid tahun 1924-1928 Masehi dan pada saat pemugaran masjid tahun 1973-1974 Masehi. b. Bagian Dalam Masjid atau Ruang Utama Masjid Ruang utama Masjid Agung Demak berdenah bujur sangkar dengan ukuran 24 x 24 m² dan berdinding tembok dengan ketebalan mencapai 80 cm yang terbuat dari batu bata yang diplester. Dinding pada bagian ruang utama Masjid Agung Demak dihiasi dengan tegel porselen warna coklat muda berukuran 15 cm x 15 cm dan tegel porselen bergambar berukuran 15 cm x 7,5 cm. Tegel porselen juga ditempatkan pada pilar dan dinding masjid di sisi timur bagian luar setinggi 160 cm dari lantai. Tembok dan kolom yang tidak ditempel ubin porselen dicat dengan warna putih. Sedangkan untuk bagian lantai ruang utama Masjid Agung Demak terbuat dari tegel marmer warna putih susu dengan ukuran rata-rata 74 cm x 74 cm. Untuk masuk ke dalam ruang utama masjid terdapat lima buah pintu masuk yang terdiri dari satu pintu utama serta dua pintu pengapit yang terletak di sisi timur, satu buah pintu di sisi utara dan satu buah pintu lagi terletak di sisi selatan ruang utama masjid. Daun pintu utama yang ada di Masjid Agung Demak terbuat dari kayu berukir yang mempunyai ukuran 285 cm dan tinggi 370 cm, sedangkan empat pintu lainnya tidak berukir dan mempunyai ukuran yang hampir sama yaitu sekitar 275 cm dan tinggi 350 cm. Pintu tengah atau pintu utama Masjid Agung Demak disebut lawang bledeg atau pintu petir. Lawang bledeg yang berada di Masjid Agung Demak memiliki dua daun pintu berukir. Motif ukiran yang terdapat di pintu tersebut yaitu berupa tumbuhtumbuhan, sejenis mahkota dan kepala naga dengan mulut bergigi yang terbuka. Kepala binatang yang terdapat di ukiran lawang bledeg menggambarkan petir yang pernah ditangkap oleh Ki Ageng Selo dan di bawa ke alun-alun Demak. Masjid Agung Demak pada saat pemugaran mendapatkan penambahan pintu utama yang berukuran lebar 185 cm dan tinggi 230 cm. Di atas pintu tersebut terdapat lubang ventilasi yang berukuran 185 cm x 74 cm dan memiliki ketebalan sekitar 5 cm serta di tengah lubang ventilasi terdapat prasasti dalam bingkai yang berhuruf dan berbahasa Jawa. Prasasti itu berbunyi sebagai berikut wit pambukakipun Masjid to user Demak ing dinten Ahad Kliwon jamcommit 9 enjing tanggal ping 25 Jumadilawal tahun
perpustakaan.uns.ac.id
82 digilib.uns.ac.id
Jimakirwarsa 1769. Selain terdapat pintu masuk yang digunakan untuk menuju ruang utama, Masjid Agung Demak juga dilengkapi adanya jendela yang berjumlah enam buah yaitu dua buah terletak di bagian timur, dua buah terletak di bagian selatan dan dua buah lagi terletak di bagian utara. Namun, pada saat setelah dipugar mengalami penambahan dua buah jendela yang terletak di bagian barat. Bangunan utama Masjid Agung Demak pada dasarnya berdiri pada empat tiang pokok atau disebut dengan soko guru. Soko guru terbuat dari balok kayu jati berbentuk silinder dengan panjang 16,30 meter dan memiliki garis tengah antara 65 cm sampai 95 cm. Fungsi tiang-tiang ini adalah sebagai penyangga bangunan dari tanah sampai ke puncak masjid. Keempat soko guru itu merupakan buatan para wali yaitu Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga. Soko guru sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang dan sebelah timur laut buatan Sunan Kalijaga. Diantara keempat tiang itu ada satu tiang yang sangat unik dan dikenal sebagai soko tatal, tiang itu merupakan buatan Sunan Kalijaga. Tiang unik itu disebut tatal atau serutan-serutan kayu karena dibuat dari potongan-potongan kayu yang panjangnya tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya, lalu ditata rapi dan diikat sehingga membentuk tiang yang panjangnya mencapai 19 meter. Pada saat sekarang keempat soko guru tersebut tidak sepenuhnya menyangga bangunan sampai ke puncak masjid, tetapi beban penyangga atap masjid dibuat saling menopang dan berhubungan dengan soko rowo. Penyaluran beban atap masjid ke soko rowo dilakukan dengan cara memasang konstruksi kuda-kuda. Masing-masing ujung keempat soko guru dihubungkan dengan balok kayu sehingga membuat suatu ruang kosong atau wuwungan dan kemudian ruang kosong diantara balok-balok tersebut diberi lembaran papan. Soko rowo yang terdapat di ruang utama Masjid Agung Demak berjumlah dua belas buah. Soko rowo terbuat dari batu bata bersemen yang dibalut dengan keramik dan berbentuk silinder serta berukuran keliling sekitar 75 cm. Soko rowo yang ada di Masjid Agung Demak berdiri di atas umpak berbentuk setengah bola dengan permukaan diberi warna kekuningan. Tiang-tiang penyangga yang ada di Masjid commit toukiran user yang masih menampakkan corak Agung Demak termasuk soko guru memiliki
perpustakaan.uns.ac.id
83 digilib.uns.ac.id
ukiran budaya Hindu yang bentuknya sangat indah. Selain ukiran pada tiang, juga terdapat ukiran-ukiran kayu yang ditempel pada dinding masjid yang berfungsi sebagai hiasan. Ruang utama Masjid Agung Demak dihiasi dengan lampu robyong atau lampu gantung yang terletak di depan mihrab. Lampu robyong memiliki bentuk bertingkat yang terdiri dari beberapa tempat bolam dari besi cor berlapis kristal. Ukuran lampu robyong itu yaitu 150 cm x 170 cm. Lampu robyong tersebut juga terdapat di tengah ruang utama Masjid Agung Demak yang diapit oleh keempat soko guru. Jika dilihat dari prototipenya, maka lampu tersebut merupakan lampu bergaya Eropa yang diperkirakan peninggalan pada masa penjajahan Belanda. Di dalam bangunan ruang utama Masjid Agung Demak terdapat beberapa ruang yaitu: 1) Mihrab Mihrab atau disebut juga dengan pangimaman merupakan ruangan yang digunakan untuk tempat shalat bagi imam. Mihrab pada bangunan Masjid Agung Demak terletak di sebelah barat dan tepat membagi dua bagian ruang utama masjid. Mihrab di masjid ini berbentuk seperti ceruk yang berukuran 146 cm x 268 cm dan ketebalan tembok mencapai 80 cm. Pada dinding mihrab bagian barat terdapat hiasan relief cekung berbentuk kura-kura yang ditafsirkan sebagai candrasengkala dan pada dinding yang terletak di atas pintu mihrab terdapat hiasan tempel berupa kayu berukir motif sulur-suluran, kaligrafi Arab serta terdapat hiasan keramik Annam warna biru dan putih dengan motif tumbuh-tumbuhan, binatang dan pola geometris. Sedangkan untuk bagian atap ruang mihrab terbuat dari tembok berplester semen dan diberi warna putih serta berbentuk melengkung. 2) Maksurah atau Kholwat Maksurah atau kholwat merupakan bangunan kecil yang terletak di sebelah kiri pangimaman atau mihrab dan memiliki fungsi sebagai tempat shalat bagi raja atau penguasa, namun bisa juga digunakan sebagai tempat berkhalwat atau menyepi untuk memohon petunjuk dari Allah SWT. Maksurah yang terletak di Masjid Agung Demak terbuat dari kayu jati berukuran 280 cm x 182 cm x 319 cm. Maksurah ini commit to user ditempatkan di atas landasan pasangan batu bata setinggi 30 cm. Pada bagian dinding
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sisi bawah terbuat dari papan kayu jati setebal 3 cm yang diukir tembus dengan motif kertas tempel atau disebut juga ukiran krawangan dan untuk dinding bagian atas terbuat dari kaca buram berwarna gelap dengan bingkai berukir suluran. Pada dinding bagian atas sebelah timur terdapat motif hias serta bingkai cermin yang diisi dengan ukiran kaligrafi Arab yang berbunyi haazha mushalaasy syariifu ‘alamiin fi buladi ‘ilmashuur bizi main ‘allazii ‘asytahara bi’issmi rahadiin tuumengguung muslim ya’murunaa bikhayraat yang berarti bahwa musholla ini adalah tempat yang mulia untuk raja negeri yang terkenal yaitu dengan nama Raden Tumenggung muslim yang memimpin kita dengan kebaikan. Pada bagian tepi bingkai cermin diisi dengan beberapa tangkai bunga serta daun sebagai pengisi bidang yang kosong. Untuk bagian atap maksurah Masjid Agung Demak dibuat dari kain terpal dan bentuknya menyerupai kubah. Maksurah ini juga dilengkapi dengan pintu masuk yang berada di sisi utara dengan ukuran lebar 67 cm dan tinggi 156 cm. Pada bagian ambang
pintu
sisi
utara
dan
selatan
diisi
kalimat
laaillahaillallah
muhammadarrasulullah rabbighfirlli waliwaalidayya waliman khala bayt mu’minan walilmu’miniina walmu’minaati wa la tazidizh zhalimina ilaa tabaaran yang berarti ya Allah ampuni aku, ibu bapak serta orang yang masuk kerumahku dalam keadaan yang beriman dan semua orang yang beriman pria dan wanita dan jangan engkau tambah kepada orang-orang dzalim kecuali kebinasan. 3) Ruang Shalat Ruang shalat yang terdapat di Masjid Agung Demak merupakan ruang yang paling luas dibandingkan dengan ruang utama masjid. Ruangan ini selain digunakan sebagai tempat shalat, terkadang juga digunakan untuk melaksanakan akad nikah para warga masyarakat sekitar Masjid Agung Demak yang ingin melaksanakan akad nikah di masjid tersebut. 4) Pawestren Ruang pawestren merupakan tempat shalat bagi kaum perempuan. Ukuran ruangan ini adalah 12 m x 3,5 m dengan ketinggian lantai mencapai 80 cm dari permukaan halaman masjid. Ruangan ini memiliki delapan tiang yang terbuat dari kayu. Namun, tiang yang sampai sekarang tidak mengalami renovasi hanya berjumlah empat buah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
85 digilib.uns.ac.id
sedangkan empat tiang yang lainnya merupakan tiang yang sudah mengalami perbaikan. 5) Mimbar Mimbar Masjid Agung Demak dikenal sebagai dampar kencana karena merupakan warisan dari Prabu Kertabumi atau Raja Brawijaya V untuk Raden Patah yang diangkat menjadi Sultan Bintoro. Mimbar tersebut terbuat dari kayu jati berbentuk persegi panjang dan memiliki ukuran 246 cm x 165 cm x 292 cm. Mimbar ini terdiri dari tiga bagian yaitu bagian dasar, tempat duduk dan sandaran serta bagian atas. Pada bagian dasar mimbar terdapat tiga anak tangga dan satu pasang tiang penyangga di bagian kanan dan kirinya serta satu pasang lagi terletak di samping tempat yang digunakan untuk sandaran. Dinding bagian dasar sisi kanan dan kiri serta tiang penyangga hampir semuanya dipenuhi dengan ukiran bermotif tumbuhtumbuhan. Pada bagian depan tiang penyangga terdapat satu pasang patung singa yang sedang duduk setinggi 0,5 meter yang disamarkan dengan pola tumbuhtumbuhan. Ujung tiang penyangga tersebut dihubungkan dengan lengkung pada tiap sisinya yang bermotif surya Majapahit. Sedangkan untuk tempat yang lainnya seperti tempat meletakkan tangan di kanan dan kiri tempat duduk serta tempat untuk bersandaran dihiasi dengan ukiran bermotif tumbuh-tumbuhan serta naga yang disamarkan. Mimbar pada Masjid Agung Demak diletakkan di atas landasan pasangan batu bata setinggi 30 cm di atas lantai ruang utama dan ditutup dengan bangunan kaca berkerangka kayu serta di cat warna kuning emas. 2. Serambi Bangunan serambi Masjid Agung Demak merupakan ruang terbuka dengan ukuran 30 m x 17 m. Bentuk bangunan serambi Masjid Agung Demak beratap limasan yang diperkuat dengan konstruksi kuda-kuda dari baja. Atap serambi ini ditopang oleh delapan buah tiang utama. Tiang tersebut terbuat dari kayu jati berukir dan berbentuk bujur sangkar yang terletak di atas umpak atau alas tiang dari pasangan batu bata berbentuk limasan terpenggal dan tinggi umpak tersebut adalah 60 cm. Delapan tiang utama serambi Masjid Agung Demak dibawa dari Majapahit, sehingga tiang utama itu dikenal dengan saka Majapahit. Delapan tiang utama tersebut dihubungkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
86 digilib.uns.ac.id
dengan pilar berjumlah 24 buah. Pilar itu terbuat dari pasangan batu bata bersemen dengan bentuk bujur sangkar. Untuk bagian lantai serambi Masjid Agung Demak terletak lebih tinggi 60 cm dari halaman masjid dan terbuat dari tegel teraso berwarna putih yang mempunyai ukuran 30 cm x 30 cm. Fungsi bangunan serambi pada Masjid Agung Demak yaitu digunakan untuk tempat shalat, untuk ruang pertemuan, ruang musyawarah atau tempat untuk memperingati hari-hari besar keagamaan. Pada bagian serambi Masjid Agung Demak terdapat dua buah bedug dan dua buah kentongan kayu. Bedug yang terdapat di bagian utara serambi masjid merupakan bedug lama yang memiliki ukuran diameter 99 cm dan panjang 107 cm, serta kentongannya berukuran tinggi 164 cm dengan diameter 45 cm dan lebar lubang 11 cm. Sedangkan bedug yang berada di sisi selatan serambi masjid merupakan bedug baru pemberian Bupati Blitar. Ukuran bedug baru itu berdiameter 94 cm dan mempunyai panjang 145 cm. Untuk kentongan yang berada di sisi selatan terdapat dua buah yaitu yang satu mempunyai tinggi 138 cm dan diameter 35 cm serta yang satunya lagi mempunyai tinggi 108 cm dan diameter 19 cm. Bedug yang terdapat di Masjid Agung Demak merupakan benda peninggalan dari para Wali Songo yang berfungsi untuk memberi isyarat atau tanda masuknya waktu shalat lima waktu, sedangkan kentongan berfungsi untuk memberi isyarat atau tanda kepada kaum muslimin untuk berkumpul di masjid. 3. Halaman Masjid Agung Demak Halaman Masjid Agung Demak memiliki beberapa bangunan yang terkait erat dengan keberadaan sebuah masjid. Bangunan tersebut antara lain: a. Menara Adzan Menurut para ahli bahasa Arab, kata manara atau manar berasal dari kata dasar yang berarti nar (tempat api) atau nur (tempat cahaya). Dalam bahasa Aramaik kuno, kata manar berarti batang lilin. Ada kata lain dalam bahasa Arab, yaitu mi’dhana yang berarti tempat untuk memanggil umat mendirikan shalat (Sumintardja, 2003). Menara atau minaret merupakan bangunan yang terletak di depan masjid sebelah selatan yang pada bagian puncaknya digunakan untuk memancarkan cahaya Allah SWT atau agama Islam. Salah satu bagian commitmenara to user berfungsi untuk panggilan shalat
perpustakaan.uns.ac.id
87 digilib.uns.ac.id
atau adzan yang dikumandangkan oleh muadzin dari atas menara supaya kaum muslim yang tempatnya jauh dari masjid dapat segera melaksanakan shalat secara berjamaah. Menara adzan di Masjid Agung Demak didirikan pada hari Selasa Pon tanggal 2 Agustus 1932 yang dipimpin oleh para alim ulama yang terdiri dari K. H. Abdoerrahman (Penghulu Masjid Agung Demak), R. Danoewijoto, H. Moh. Tasim, H. Aboe Bakar dan H. Muchsin. Menara adzan tersebut terbuat dari konstruksi baja dengan ukuran bagian kaki 4 m x 4 m dan tinggi 22 meter. Menara Masjid Agung Demak dilengkapi anak tangga yang terbuat dari papan kayu dan dilengkapi dengan pengeras suara. Bagian puncak menara terbuat dari logam dan terdapat kubah yang dilengkapi hiasan bulan sabit serta lengkung-lengkung pada dindingnya. Menara yang berada di depan Masjid Agung Demak pada masa sekarang adalah bukan yang asli. Bangunan menara yang asli terbuat dari kayu, sehingga pada jaman dahulu seorang muadzin yang akan mengumandangkan adzan harus naik ke menara. Namun pada masa sekarang menara adzan Masjid Agung Demak sudah tidak digunakan lagi, fungsi menara adzan tersebut digantikan dengan menggunakan sound system yang cukup memadai. b. Kolam Bersejarah Bangunan kolam bersejarah pada Masjid Agung Demak terletak di sudut sebelah tenggara serambi masjid. Kolam ini mempunyai kedalaman sekitar 2 meter dari permukaan tanah. Di bagian tengah-tengah kolam itu terdapat bongkahan batu sungai dan batu karang. Di sebelah timur kolam membentang pagar dari pasangan bata yang ditempeli batu-batu koral putih yang pada jaman dahulu digunakan sebagai bangunan pawestren, namun pada masa sekarang bangunan tersebut dikembalikan pada fungsi dan lokasi yang sebenarnya. D. Bangunan di Sekitar Masjid Agung Demak 1. Museum Masjid Agung Demak Museum Masjid Agung Demak terletak di dalam komplek Masjid Agung Demak dan di dalam lingkungan alun-alun kota Demak, tepatnya di sisi utara jalan masuk ke kompleks makam. Museum ini didirikan bersamaan dengan selesainya pemugaran Masjid Agung Demak pada tahun 1983. Museum commit to userMasjid Agung Demak buka setiap
perpustakaan.uns.ac.id
88 digilib.uns.ac.id
hari Senin hingga hari Minggu pada jam 08.00-17.00. Museum ini berdiri di atas lahan seluas 16 m² yang berada di kompleks Masjid Agung Demak. Museum ini berfungsi untuk menyimpan benda-benda purbakala yang berkaitan dengan Masjid Agung Demak misalnya miniatur Masjid Agung Demak, lawang bledeg, soko guru dan soko tatal, Al Qur’an tulisan tangan, bedug dan kentongan asli buatan Sunan Kalijaga, gentong kong atau gentong minum untuk umum, sirap, batu umpak atau batu andesit yang diambil dari Majapahit, foto-foto Masjid Agung Demak pada jaman dahulu, lampu-lampu dan peralatan rumah tangga dari kristal serta kaca hadiah dari Paku Buwono I pada tahun 1710 Masehi, beberapa prasasti kayu dan lampu robyong Masjid Agung Demak yang dipakai pada saat tahun 1923 Masehi sampai dengan tahun 1936 Masehi. Jumlah pengunjung yang datang ke museum Masjid Agung Demak tidak dapat diprediksi setiap minggu atau setiap bulannya. Hal ini karena pengunjung yang datang ke Masjid Agung Demak ataupun yang datang berziarah ke makam di sekitar Masjid Agung Demak tidak selalu mengunjungi museum tersebut. Pengunjung yang biasanya datang ke museum Masjid Agung Demak yaitu tamu-tamu pribadi yang melakukan kunjungan ke Masjid Agung Demak, wisatawan asing yang ingin mengetahui seluruh bangunan yang ada di Masjid Agung Demak serta orang yang melakukan penelitian dan membutuhkan data-data di museum tersebut. Museum ini selain dapat menarik jumlah wisatawan yang datang ke Masjid Agung Demak juga dapat memberikan dampak positif, yaitu dengan adanya museum di sekitar Masjid Agung Demak maka dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk menyimpan bendabenda purbakala yang berkaitan dengan Masjid Agung Demak supaya benda-benda purbakala tersebut tetap dapat terawat dengan baik dan dapat dijadikan sebagai bukti sejarah (wawancara dengan bapak Ahmad Sutowo, tanggal 16 November 2013). 2. Perpustakaan Masjid Agung Demak Perpustakaan Masjid Agung Demak diperkirakan berdiri pada tahun 1978 Masehi sampai dengan 1979 Masehi, yang pada awal berdirinya perpustakaan ini hanya didasarkan atas keinginan pengurus BKM (Badan Kesejahteraan Masjid) untuk memajukan karyawan agar memilikicommit pengetahuan. to user Namun, setelah adanya BPPMI
perpustakaan.uns.ac.id
89 digilib.uns.ac.id
(Badan Pembina Perpustakaan Masjid Indonesia) yang dipimpin oleh Ir. H. Cacuk Sudarijanto maka terbentuklah BPPMI di daerah-daerah termasuk Kabupaten Demak. Semenjak itu maka pengurus BPPMI Kabupaten Demak ingin mengadakan pameran buku tingkat nasional dengan memanfaatkan aset sejarah berupa Masjid Agung Demak. Dengan adanya rencana untuk mengadakan pameran buku maka pada tanggal 15 Januari 1993 dicanangkan gerakan wakaf buku untuk perpustakaan Masjid Agung Demak. Setelah itu maka perpustakaan Masjid Agung Demak mulai dibuka untuk umum (wawancara dengan bapak Rohmat, tanggal 16 November 2013). Perpustakaan Masjid Agung Demak buka pada hari Senin sampai dengan hari Sabtu mulai pukul 7.30 sampai dengan pukul 13.30. Jumlah pengunjung yang datang ke perpustakaan setiap harinya dapat mencapai 25 sampai 30 orang dan untuk pengunjung yang meminjam buku setiap harinya dapat mencapai 10 sampai 15 orang. Jumlah buku yang tersedia di perpustakaan Masjid Agung Demak mencapai 6000 buku, yang sebagian besar merupakan jenis buku-buku umum seperti bukubuku agama. Buku-buku yang ada di perpustakaan berasal dari sumbangan takmir Masjid Agung Demak, perpustakaan daerah Kabupaten Demak, perpustakaan wilayah, wakaf serta koleksi dari perpustakaan Masjid Agung Demak sendiri. Pengunjung yang datang ke Perpustakaan Masjid Agung Demak harus mematuhi peraturan yang ada di perpustakaan tersebut, antara lain: a. Setiap pengunjung yang memasuki ruang layanan hendaknya: 1) Berpakaian rapi. 2) Tidak memakai jaket maupun topi. 3) Mengisi buku pengunjung. 4) Tidak makan, minum atau merokok di dalam ruangan. b. Pendaftaran anggota baru: 1) Membayar biaya administrasi sebesar Rp. 8000,2) Menyerahkan satu lembar foto copy KTP atau identitas diri lainnya. 3) Menyerahkan pas photo terbaru ukuran 2 x 3 sebanyak empat lembar. c. Setiap pengunjung yang akan meminjam buku harap menunjukkan Kartu user Tanda Anggota (KTA) kepada commit petugastoperpustakaan.
perpustakaan.uns.ac.id
90 digilib.uns.ac.id
d. Lama peminjaman buku selama 1 minggu. e. Periksalah buku yang akan dipinjam, bila tidak lengkap tunjukkan kepada petugas. f. Bila buku yang pengunjung pinjam menjadi rusak, hasil foto copy atau hilang maka pemimjam wajib mengganti buku yang sama atau mengganti uang sebesar dua kali harga buku tersebut. g. Keterlambatan mengembalikan buku dikenakan sanksi: 1) KTA diberi tanda keterlambatan. 2) Tidak diperkenankan meminjam buku sejumlah hari keterlambatan. 3) Denda sebesar Rp. 200,- per hari untuk satu buah buku. 4) Lima kali keterlambatan, KTA dicabut. h. Bila KTA hilang, dapat meminta kartu duplikat dengan syarat: 1) Menunjukkan surat keterangan kehilangan. 2) Membayar biaya administrasi sebesar Rp. 8000,i. Bila KTA dikenakan oleh orang lain, KTA akan dicabut. j. Peminjaman dua buah buku harus dilakukan pada waktu yang bersamaan dan dikembalikan pada waktu yang bersamaan pula. k. Peminjaman dapat diperpanjang satu kali dan permintaan perpanjangan dapat dilakukan sebelum jatuh tempo tanggal pengembalian. l. Untuk menghindari keterlambatan pengembalian boleh dititipkan kepada orang lain, sedangkan untuk meminjam serta memperpanjang harus dilakukan sendiri. 3. Makam di Sekitar Masjid Agung Demak Makam di sekitar Masjid Agung Demak terletak di belakang Masjid Agung Demak, masih di dalam tembok keliling kompleks Masjid Agung Demak. Di dalam kompleks makam terdapat beberapa kelompok makam yang masing-masing dipisahkan dengan tembok keliling antara kelompok makam yang satu dengan kelompok makam yang lainnya. Makam-makam yang berada di sekitar Masjid Agung Demak memiliki panjang yang berbeda-beda antara makam yang satu dengan makam yang lainnya. Namun, makam-makam commit to user tersebut cenderung berbentuk
perpustakaan.uns.ac.id
91 digilib.uns.ac.id
panjang-panjang dengan ukuran sekitar 3 meter lebih. Hal ini bertujuan untuk menghormati para tokoh yang sudah meninggal, karena para tokoh-tokoh yang di makamkan di sekitar Masjid Agung Demak dianggap memiliki derajat yang lebih tinggi dan memiliki kelebihan yang banyak dibandingkan dengan manusia biasa. Makam-makam tersebut terletak di dua bagian yaitu ada yang di dalam cungkup dan ada yang di luar cungkup (wawancara dengan bapak Ahmad, tanggal 16 November 2013). Pengelompokkan makam berdasarkan letaknya yaitu: a. Makam di dalam cungkup, makam ini sering disebut dengan cungkup Sultan Trenggono. Bangunan ini berupa bangunan tajuk beratap tumpang dua. Makam yang terdapat di dalam cungkup yaitu makam Raden Trenggono atau Sultan Demak III, Permaisuri Sultan Trenggono, Nyi Ageng Pinatih, Sunan Prawoto atau Raden Haryo Bagus Mukmin atau putra Sultan Trenggono, Nyi Ageng Wasi, Pangeran Ketip, Kyai Ageng Wasi, Tumenggung Tanpa Siring, Pangeran Pandan atau K. A Wonopolo, Patih Mangkurat, Patih Wonosalam atau Joko Wono, Pangeran Suruh, Raden Mas Gawulan dan kerabat dekat Sultan Trenggono lainnya. b. Makam di luar cungkup, jumlah makam yang ada di luar cungkup sebagian besar merupakan makam baru. Makam-makam yang berada di luar cungkup dikenal dengan makam Raden Haryo Penangsang yang jiratnya berukuran 390 cm, lebar 56 cm dan tinggi 80 cm. Makam-makam yang ada di luar cungkup antara lain makam Raden Abdul Fatah Al Akbar Sayyidin Panotogomo atau Sultan Demak I, Raden Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor atau Sultan Demak II, Dewi Murthosimah atau Permaisuri Raden Patah, Nyi Ageng Manyuro, Nyi Ageng Campo, Pangeran Mekah, istri Pangeran Mekah, Pangeran Sedo Lepen atau Pangeran Surowiyoto atau putra kedua Raden Patah, Sunan Ngudung (orang tua Sunan Kudus), K. A Campa, Prabu Darmo Kusumo, Adipati Terung atau adik Raden Patah, Pangeran Arya Penangsang, Pangeran Jaran Panoleh, Pangeran Jipang Panolan, Pangeran Aryo Jenar, Kanjeng Pangeran Benowo, K. A Natas Angin, Syeikh Maulana Maghribi, Syeikh Maulana Su’ud, Pangeran Singo Yudho, Raden Khulkum, R. H. user Dewi Moersiyah. Tumenggung Wironegoro, Nyicommit Ageng to Serang
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Makam di sebelah selatan masjid, jumlah makam yang ada di sebelah selatan masjid ada 7 buah diantaranya yang terkenal ialah makam Maulana Malik Ibrahim yang jiratnya terbuat dari pasangan batu bata dan ukuran jiratnya 250 cm x 40 cm x 15 cm. d. Makam di sebelah utara masjid, kelompok makam yang terletak di sebelah utara masjid meliputi makam Raden Patah dan makam yang berada di halaman sisi utara. Jumlah makam yang berada disini ada 50 buah, salah satunya makam Darmokusumo yang jiratnya berukuran 60 cm x 50 cm x 100 cm. Nisan makam tersebut terbuat dari papan batu bata berujung lengkung kurawal dengan puncak datar. E. Bentuk Akulturasi Pada Bangunan Masjid Agung Demak Berdirinya Masjid Agung Demak sebagai bangunan peninggalan bercorak Islam tidak hanya mengacu pada satu budaya saja tetapi dalam mendirikan Masjid Agung Demak, Wali Songo sebagai tokoh yang berperan penting dalam proses pembangunan masjid ini mengadopsi beberapa budaya yang diterapkan dalam bangunan masjid tersebut antara lain mengadopsi dari budaya Jawa, budaya Islam, budaya Hindu-Budha dan budaya Cina. Dalam menyatukan beberapa budaya menjadi satu bentuk akulturasi terdapat kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang harus diperhatikan supaya tidak terjadi benturan budaya antara budaya yang satu dengan budaya yang lain. Dengan adanya percampuran dua budaya atau lebih yang menghasilkan suatu bentuk akulturasi arsitektur bangunan Islam pada Masjid Agung Demak, maka menyebabkan bangunan tersebut terlihat unik. Dengan terbentuknya bangunan Masjid Agung Demak yang terlihat unik maka masyarakat yang pada saat awal perkembangan Islam di Demak masih menganut budaya Hindu-Budha merasa penasaran terhadap bangunan tersebut. Adanya rasa penasaran yang ada pada diri masyarakat di sekitar Masjid Agung Demak, maka menimbulkan masyarakat tersebut memasuki Masjid Agung Demak. Dan setelah melihat keunikan yang ada pada tiap-tiap unsur bangunannya, masyarakat tersebut tertarik untuk masuk Islam karena masyarakat menganggap bentuk bangunan Masjid Agung Demak tidak jauh commit to user
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berbeda dengan bentuk bangunan suci yang mereka gunakan untuk beribadah pada saat menganut budaya Hindu-Budha. Bentuk akulturasi yang terdapat pada bangunan Masjid Agung Demak dapat terlihat jelas pada bentuk bangunan pokoknya yang mengacu pada bentuk bangunan rumah joglo (wawancara dengan bapak Widodo, tanggal 5 Desember 2013). Rumah joglo sebagai bentuk rumah tradisional Jawa dianggap mempunyai struktur bangunan yang paling lengkap susunannya. Bangunan berbentuk rumah joglo memiliki kaitan yang sangat erat dengan bentuk bangunan candi Hindu pada masa purba yang berbentuk punden berundak. Hal ini dikarenakan bentuk bangunan rumah joglo memiliki kesamaan dengan bentuk bangunan punden berundak yaitu merupakan sebuah bangunan suci serta struktur dan bentuk bangunannya bersusun memusat semakin ke atas semakin kecil (Djono, Utomo & Subiyantoro, 2012). Bentuk dasar dari bangunan rumah joglo yaitu memiliki bentuk atap yang menjulang tinggi pada bagian tengahnya yang disebut sebagai atap brunjung. Atap ini pada bagian bawahnya ditopang oleh empat tiang yang disebut soko guru. Atap brunjung pada bangunan joglo memiliki bentuk yang sama pada kedua sisi yang saling berhadapan, namun pada bagian sisi depan dan belakang memiliki bentuk yang berbeda dengan sisi bagian kanan dan kirinya. Pada bagian sisi depan dan belakang atapnya berbentuk trapesium, sedangkan pada bagian sisi kanan dan kiri atapnya berbentuk segitiga dengan bagian atas yang meruncing. Atap brunjung pada bangunan yang berbentuk joglo memiliki bentuk yang lebih tinggi dan memiliki kemiringan atap yang lebih tajam. Atap brunjung pada bangunan joglo juga memiliki beberapa lapis atap dan dari masing-masing lapisan tersebut memiliki sudut kemiringan yang berbeda-beda. Pada bagian atap lapis kedua yang terletak di bawah atap brunjung disebut sebagai atap penanggap yang memiliki sudut kemiringan lebih landai dari sudut kemiringan atap brunjung. Pada bagian atap lapis ketiga dan keempat masing-masing disebut sebagai atap penitih dan atap peningrat. Kedua bentuk atap tersebut memiliki sudut kemiringan yang semakin landai dibandingkan dengan kemiringan atap penanggap dan atap brunjung (Sunarmi, guntur & Utomo, 2007). commit to user
94 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bagian puncak pada atap brunjung terdapat stupa yang menyerupai puncak gunung. Susunan atap tersebut juga terdapat pada susunan bagian atas bentuk pendapa joglo. Pada bagian atas pendapa joglo terdapat tumpangsari yang terbuat dari susunan kayu dengan pola memusat ke atas membentuk piramida atau suatu bentuk yang mirip dengan punden berundak. Pada susunan bagian luar pendopo joglo, ditutup oleh atap yang menjulang ke atas berbentuk seperti gunungan dan pada bagian puncak dihubungkan dengan molo yang membujur atau biasa disebut penuwun. Sedangkan pada bagian tengah bangunan joglo terdapat struktur penyangga bagian atas yang bernama soko guru yang terbuat dari kayu berjumlah empat dengan formasi persegi dan pada bagian bawah soko guru ditopang oleh umpak atau alas yang terbuat dari batu (Subiyantoro, dkk., 2011). Akulturasi yang nampak pada bangunan Masjid Agung Demak tidak hanya mengacu pada bentuk rumah joglo saja, namun juga mengacu pada bentuk bangunan Jawa lainnya yaitu pada bagian serambi Masjid Agung Demak mengacu pada bentuk rumah limasan. Bentuk rumah limasan hampir mirip dengan konsep rumah joglo yaitu berdenah persegi empat memanjang dan memiliki empat buah tiang. Namun pada perkembangannya, bentuk rumah limas berkembang menjadi bentuk yang lebih kompleks. Pada bangunan yang mengacu pada konsep rumah limas arah perkembangan bangunannya cukup beragam yaitu ke arah empat sisi, selain itu juga bentuk rumah limasan tidak selalu beratap tunggal tetapi ada yang beratap bergandengan (wawancara dengan bapak Widodo, tanggal 5 Desember 2013). Bentuk atap bangunan yang mengacu pada konsep rumah limasan memiliki kemiripan dengan bentuk atap pada rumah joglo. Namun terdapat perbedaan pada kemiringan atap bangunan limasan yang lebih landai dibandingkan dengan atap bangunan yang berbentuk joglo dan pada bangunan bentuk limasan juga tidak selalu memiliki atap brunjung. Bangunan yang atapnya berbentuk limasan cenderung difungsikan sebagai bangunan utama atau dapat juga difungsikan sebagai pendopo.
commit to user
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
F. Makna Simbolik dan Nilai-nilai Filosofi yang Terkandung Pada Unsurunsur Bangunan Masjid Agung Demak Bangunan Masjid Agung Demak yang pembangunannya mengacu pada beberapa budaya dan memiliki keunikan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur bangunannya, menyebabkan bangunan Masjid Agung Demak memiliki makna simbolik dan nilainilai filosofi yang dipercaya oleh masyarakat sekitar dan oleh para pengunjung masjid yang meyakininya. Makna simbolik dan nilai-nilai filosofi pada Masjid Agung Demak terdapat pada beberapa unsur-unsur bangunan masjid tersebut (wawancara dengan bapak Abdul Fatah, tanggal 24 November 2013). Makna simbolik dan nilai-nilai filosofi itu antara lain: 1. Atap Masjid Agung Demak Masjid Agung Demak memiliki atap yang berbentuk tumpang susun tiga yang terbuat dari bahan papan kayu yang dikenal dengan sebutan sirap. Atap masjid yang bersusun tiga pada bangunan Masjid Agung Demak melambangkan Aqidah Islamiyah yang terdiri dari iman, Islam dan ihsan. Aqidah Islamiyah tersebut menggambarkan bahwa seorang muslim pada awalnya hanya memiliki iman saja. Namun, setelah diajarkan agama Islam dan seorang muslim dapat mempercayai bahwa agama tersebut merupakan agama kebaikan maka muslim tersebut berusaha melaksanakan ajaran Islam yang telah diterimanya yaitu dengan cara menjalankan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan Allah SWT. Kemudian memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu ihsan dengan mendalami tasawuf, hakikat dan ma’rifat. Pada tingkat ini mulai disadari bahwa keyakinan tauhid dan ketaatan kepada syariat harus berwujud kecintaan kepada sesama manusia. Atap masjid yang berbentuk tumpang susun tiga dianggap mengacu pada bentuk bangunan meru yang merupakan bangunan suci bagi umat Hindu di Bali. Pada bangunan atap yang bentuk meru memiliki makna simbolis sebagai penglukunan dasaksara atau peredaran sepuluh huruf suci yang dikaitkan dengan dewa-dewa. Untuk atap meru pada bangunan suci di Bali yang bersusun tiga mempunyai makna simbolis dari tiga huruf di tengah yaitu I, omkara dan ya yang melambangkan Tri Purusa (Panama Siwa, Sada Siwa dan Siwa). commit to user
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Atap Masjid Agung Demak dilengkapi dengan bagian puncak yang disebut dengan mustaka atau memolo atau kemuncak yang terbuat dari tanah liat yang dibakar sampai berwarna merah kecoklat-coklatan dan di atasnya terdapat tulisan Arab yang berbunyi Allah. Puncak atap masjid yang berupa mustaka atau memolo atau kemuncak merupakan perkembangan dari bentuk menhir pada masa awal sejarah. Selain itu, kemuncak masjid mengacu pada bentuk kemuncak suatu candi yang berbentuk stupa atau ratna. Kemuncak tersebut merupakan suatu lambang dari puncak kekuatan Sang Pencipta. Namun, pada masa sekarang supaya bentuk kemuncak atau mustaka memiliki ciri khas Islam maka pada bagian ujung mustaka biasanya terdapat huruf Arab yang berbunyi Allah atau lambang bulan dan bintang yang sekaligus sebagai petunjuk arah kiblat. Bagian puncak atau mustaka pada bangunan masjid memiliki nilai filosofi bahwa pada bangunan masjid yang memiliki atap tumpang tiga, maka setiap susunan atap dari bawah adalah syari’ah atau tata cara beribadah yang dilambangkan oleh atap tingkat pertama, thariqah atau metode dalam beribadah yang dilambangkan oleh atap tingkat kedua, hakikat dilambangkan oleh atap tingkat ketiga dan ma’rifah atau keyakinan yang dilambangkan oleh bagian mustakanya. Bangunan atap Masjid Agung Demak berbentuk semakin ke atas bentuknya semakin meruncing, hal ini melambangkan bahwa manusia harus memantapkan hati untuk menyembah pada satu Tuhan yaitu Allah SWT. 2. Pintu dan Jendela Masjid Agung Demak Bangunan Masjid Agung Demak memiliki lima buah pintu yang menghubungkan bagian luar masjid dengan ruang utama masjid. Lima buah pintu tersebut diletakkan pada tempat yang berbeda antara lain tiga buah pintu terletak di bagian depan yang menghubungkan serambi masjid dengan ruang utama masjid serta dua pintu lainnya terdapat di sebelah utara dan sebelah selatan yang menghubungkan ruang utama masjid dengan bagian samping masjid. Banyaknya pintu masuk di Masjid Agung Demak yang berjumlah lima melambangkan lima rukun Islam yang meliputi: a. Syahadat atau perjanjian antara seorang muslim dengan Allah SWT. Dalam hal ini seorang muslim meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
97 digilib.uns.ac.id
kecuali Allah SWT dan sesungguhnya Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT. b. Shalat, dalam hal ini merupakan sebuah pengenalan yang bertujuan supaya umat muslim dapat melaksanakan kewajibannya terhadap Allah SWT dengan baik. c. Zakat, mempunyai tujuan supaya umat muslim dapat berlatih menginfakkan hartanya karena setiap harta seorang muslim adalah milik Allah SWT. Di dalam Islam diajarkan supaya umat muslim diwajibkan membayar zakat kepada orang-orang yang berhak menerima zakat atau mustahiq seperti orang kafir, miskin, muallaf atau orang yang baru masuk Islam, amil atau orang yang bertugas mengurus zakat, riqob atau hamba sahaya atau budak berlian, ghorim atau orang yang terbelit hutang, sabilillah atau orang yang berjuang di jalan Allah dan ibnu sabil atau orang yang sedang bepergian jauh. d. Puasa, merupakan latihan pengendalian kebiasaan pada jasmani seperti menahan makan dan minum serta pengendalian kebiasaan pada rohani yang berupa menahan hawa nafsu. e. Haji, bermanfaat sebagai latihan dalam mengorbankan jiwa dan harta di jalan Allah SWT serta supaya dapat mengamalkan persatuan dan persamaan derajat dengan sesama manusia. Pintu masuk Masjid Agung Demak ada yang terletak di bagian tengah sebagai penghubung antara serambi masjid dengan ruang utama masjid. Pintu tersebut disebut sebagai pintu utama atau lawang bledeg atau pintu petir. Lawang bledeg yang berada di Masjid Agung Demak memiliki dua daun pintu berukir. Motif ukiran yang terdapat di pintu tersebut yaitu berupa tumbuh-tumbuhan, mahkota dan kepala naga dengan mulut bergigi yang terbuka. Lawang bledeg yang di buat oleh Ki Ageng Selo pada masa pemerintahan Kasultanan Bintoro III dianggap memiliki kesamaan dengan relief pada jaman Singosari dan Majapahit, namun arti keagamaannya berbeda. Bagi orang Jawa untuk mencari arti atau makna dari relief lawang bledeg perlu dilakukan dengan cara mengurai gambar satu persatu. Makna simbolik yang commit to sebagai user berikut: terkandung dalam relief lawang bledeg adalah
perpustakaan.uns.ac.id
98 digilib.uns.ac.id
a. Pada gambar mahkota memiliki simbol bahwa adanya kepala pemerintahan seperti raja, ratu atau sultan yang melakukan aktivitas di tempat tersebut yaitu tepatnya di serambi Masjid Agung Demak. b. Pada gambar naga dipercaya oleh orang Jawa bahwa naga memiliki kerajaan yang berada pada lapisan tanah paling bawah atau sapta pratala dan memiliki tugas serta kewajiban menyangga dan menjaga stabilitas bumi supaya jangan sampai guncang. Berdasarkan kepercayaan orang Jawa yang seperti itu maka dalam gambar naga mempunyai makna simbolik bahwa raja atau ratu atau sultan sebagai penyangga bumi. Menyangga bumi atau mengku bumi disebut juga Hamengkubumi atau Hamengkubuwono yang bertanggung jawab atas keselamatan dan ketentraman seluruh rakyat yang ada di wilayah kekuasaan. c. Gambar lung atau stilasi yang terdapat pada relief lawang bledeg melambangkan kemakmuran yang berarti bahwa raja atau ratu atau sultan bertanggung jawab atas terciptanya kemakmuran yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat seperti murah sandang, murah pangan, adil dan makmur. d. Gambar jambangan atau tempat melambangkan keharuman yang bermakna bahwa raja atau ratu atau sultan harus mampu mengharumkan nama bangsa dan negara. e. Gambar tumpal melambangkan kecerdasan yang bermakna bahwa raja atau ratu atau sultan harus bertanggung jawab untuk mencerdaskan rakyat demi kemajuan bangsa. Relief lawang bledeg selain memiliki makna simbolik juga memiliki nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam relief tersebut antara lain: a. Bledeg menurut pandangan Islam termasuk dalam kategori illa tabarruka yang berarti sampai kepada kebaikan. Maksudnya bahwa masjid adalah tempat yang suci dan sumber dari segala kebaikan, oleh karena itu bagi siapa saja yang masuk ke dalam Masjid Agung Demak pasti memperoleh tambahan kebaikan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. b. Bledeg dalam bahasa Arab sama dengan illa tabarruq yang berarti sampai kepada cahaya. Cahaya yang dimaksud adalah cahaya Allah SWT dengan to user dasar Al Qur’an surat Annurcommit ayat 35 yang artinya Allah SWT (memberi)
perpustakaan.uns.ac.id
99 digilib.uns.ac.id
cahaya (nur) kepada langit dan bumi. Akan tidak mustahil apabila masjid itu penuh berisikan cahaya Illahi. Jadi siapa saja yang masuk ke dalam Masjid Agung Demak, pasti akan tersinari oleh cahaya atau nur Allah SWT, untuk selanjutnya akan teranglah mereka di dunia dan di akherat nanti. c. Lawang bledeg juga disebut sebagai nogo bledeg yang menurut bahasa Arab sama dengan naja ilaa baladika yang berarti menuju keselamatan negerimu. Keselamatan negeri yang dimaksud yaitu keselamatan di negeri akherat. Pengertian tersebut wajib ditanamkan pada setiap orang yang masuk ke dalam Masjid Agung Demak untuk mensosialisasikan bahwa kehidupan akherat sesungguhnya lebih penting dibandingkan kehidupan di dunia, walaupun masalah di dunia juga sangat dibutuhkan oleh manusia. d. Lawang bledeg diibaratkan seperti halilintar, hal ini melambangkan bahwa seorang muslim yang masuk ke dalam Masjid Agung Demak tidak diperbolehkan mengeluarkan suara keras, selain itu di dalam masjid juga hendaknya meninggalkan urusan dunia dan lebih mementingkan urusan akherat. Berdasarkan makna simbolik dan nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam relief lawang bledeg di atas maka dapat dijadikan petunjuk lawang bledeg merupakan nasihat yang ditujukan untuk kepala pemerintahan atau sultan yang melakukan aktivitas di serambi Masjid Agung Demak. Masjid Agung Demak selain memiliki lima buah pintu juga dilengkapi jendela yang berjumlah enam buah yang diletakkan di sebelah selatan dua buah, di sebelah utara dua buah dan di sebelah timur dua buah. Jendela Masjid Agung Demak yang berjumlah enam buah melambangkan rukun iman yang meliputi: a. Iman kepada Allah SWT, seseorang dikatakan beriman kepada Allah SWT apabila orang tersebut meyakini empat perkara yaitu yakin adanya Allah Ta’ala, meyakini rububiah Allah SWT atau mempercayai bahwa tidak ada pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta kecuali Allah SWT, meyakini uluhiah Allah SWT atau mempercayai bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah SWT dan mengingkari semua sembahan selain Allah commit to user
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
SWT dan meyakini semua nama dan sifat Allah yang telah ditetapkan dan menjauhi segala larangan dari Allah SWT. b. Iman kepada para malaikat Allah SWT, seorang muslim wajib membenarkan bahwa para malaikat itu ada wujudnya karena Allah SWT menciptakan malaikat dari cahaya. Malaikat tersebut merupakan makhluk serta hamba Allah yang selalu patuh beribadah. c. Iman kepada kitab-kitab Allah SWT, yaitu meyakini seluruh kitab Allah SWT terutama Al Qur’an karena Al Qur’an merupakan penghapus hukum dari semua kitab suci yang turun sebelumnya. d. Iman kepada para nabi dan rasul Allah SWT, yaitu meyakini bahwa ada diantara laki-laki dari kalangan manusia yang Allah pilih sebagai perantara antara Allah dengan para makhluk lainnya. Tetapi makhluk tersebut tetap merupakan manusia biasa yang sama sekali tidak mempunyai sifat-sifat dan hak-hak ketuhanan. Oleh karena itu menyembah para nabi dan rasul adalah kebatilan yang nyata. e. Iman kepada hari akhir, yaitu meyakini semua yang terjadi di alam barzah atau alam kubur, meyakini adanya tanda-tanda hari kiamat, meyakini semua yang terjadi setelah kebangkitan. f. Beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk, yaitu meyakini bahwa semua yang Allah takdirkan entah itu kejadian baik atau buruk semua itu berasal dari Allah SWT. 3. Soko Guru Soko guru yang terdapat di Masjid Agung Demak berjumlah empat buah merupakan wakaf dari Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati. Soko guru tersebut memiliki panjang 16,30 meter dan memiliki garis tengah antara 65 cm sampai 95 cm. Hal ini membuktikan bahwa para wali pernah hidup pada tahun 1400 Masehi sampai dengan 1500 Masehi dan menggambarkan bahwa para wali menerima agama Islam dengan bersumber dari ajaran Syafi’iyah (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) yang dijadikan acuan sebagai implementasi dari Hadist Rasulullah SAW commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
101 digilib.uns.ac.id
yang berbunyi asholatu imadudin, faman aqomaha faqot aqomadin, waman tarotaha faqod hadzamidin. Empat soko guru pada bangunan Masjid Agung Demak mencerminkan konsepsi papat kiblat kalima pancer, di mana pada bagian tengah terdapat pancer yang merupakan penghuni atau kepala rumah tangga. Keempat soko guru tersebut merupakan lambang kesatuan yang apabila dikaitkan maka akan membentuk ruang imajinasi empat persegi yang pada bagian tengahnya merupakan titik pusat yang abstrak dan kongkrit. Secara kongkrit, kepala rumah tangga adalah bentuk nyata yang mengarah pada tingkat mutlak yaitu Yang Maha Esa sebagai suatu hal yang abstrak. Apabila ditarik garis dari titik pusat menuju ke atas, maka secara vertikal meninggi tegak tepat berada di tengah-tengah molo atau tempat yang disakralkan karena merupakan tempat bersemayamnya Tuhan (Subiyantoro, dkk., 2011). Soko guru yang berada di Masjid Agung Demak ada yang terbuat dari potonganpotongan kayu jati yang ditata rapi sehingga membentuk tiang dengan panjang mencapai 19 meter yang kemudian dibalut dengan papan kayu jati melingkar dan diikat. Soko guru tersebut lebih dikenal dengan sebutan soko tatal. Soko tatal itu merupakan buatan Sunan Kalijaga. Untuk tata letak keempat soko guru itu di arahkan ke segala penjuru mata angin yaitu soko guru bagian barat laut merupakan buatan Sunan Bonang, soko guru bagian barat daya merupakan buatan Sunan Gunung Jati, soko guru bagian tenggara merupakan buatan Sunan Ampel dan soko tatal yang terletak di timur laut merupakan buatan Sunan Kalijaga. Soko tatal yang terbuat dari potongan-potongan kayu yang disatukan melambangkan adanya persatuan. Hal ini terbukti bahwa dengan adanya kesatuan potongan-potongan kayu yang dijadikan satu maka soko tersebut dapat menahan beban yang ada di atasnya. 4. Surya Majapahit Surya Majapahit yang ada di atas mihrab Masjid Agung Demak merupakan duplikat dari gambar Surya Majapahit yang ada di tengah-tengah sandaran dampar kencana atau tempat duduk raja Majapahit yang pada masa sekarang digunakan sebagai mimbar khotbah. Dalam pandangan Islam adanya surya Majapahit yang mengarah ke delapan arah mata angin maka melambangkan commit to userbahwa Allah SWT ada di mana
perpustakaan.uns.ac.id
102 digilib.uns.ac.id
manusia berada atau Allah SWT tidak bertempat. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa dimanapun manusia berada maka disitulah ada Allah yang selalu mengamati manusia sehingga dimanapun manusia berada hendaklah selalu menghadap Allah SWT. Berdasarkan sejarahnya, surya Majapahit tersebut memuat ajaran hastha brata yaitu ajaran kepemimpinan yang bersumber pada delapan sifat kedewataan. Hastha brata juga mengajarkan tentang ilmu pengetahuan yang bersifat universal dan kebenarannya dapat diuji. Pada jaman Majapahit, para raja sampai pejabat yang paling bawah diharuskan memahami dan mengamalkan ajaran hastha brata tersebut supaya rakyat merasa terteram (wawancara dengan bapak Widodo, tanggal 5 Desember 2013). Delapan sifat kedewataan yang terdapat dalam ajaran hastha brata yaitu: a. Sang Hyang Endra adalah Dewa Kaendran yang memiliki tugas dan kewajiban untuk memberi hujan dan melindungi seluruh bumi yang bermaksud bahwa raja wajib menjaga negara dan mencukupi kebutuhan rakyatnya. b. Sang Hyang Yama adalah Dewa Kematian yang memiliki tugas dan kewajiban memberi hukuman kepada siapa saja yang bersalah, sifat ini merupakan lambang perbuatan adil yang harus dipegang teguh oleh seorang raja. c. Sang Hyang Surya adalah Dewa Matahari yang memiliki tugas dan kewajiban menghisap air secara perlahan dan tidak tergesa-gesa. Matahari juga menerangi seluruh dunia. Raja yang berwatak Dewa Matahari berarti mempunyai sifat hati-hati dalam melakukan kewajiban dan menjadikan rakyatnya hidup bahagia. d. Sang Hyang Candra adalah Dewa Bulan yang memiliki tugas dan kewajiban membuat seluruh jagad menjadi senang. Seorang raja harus memiliki watak seperti rembulan yaitu segala perbuatannya harus dilakukan dengan halus dan manis. e. Sang Hyang Bayu adalah Dewa Angin yang memiliki tugas dan kewajiban memperhatikan semua perbuatan, baik yang kasar maupun yang halus bahkan yang sulit. Raja yang berwatak Dewa Bayu berarti wajib mengetahui segala commit to user seluk beluk dan perbuatan semua rakyatnya terutama kepala negara.
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f. Sang Hyang Kuwera adalah Dewa Kekayaan yang memiliki tugas dan kewajiban berkarya agar setiap orang dapat makan dan minum secukupnya, berpakaian dan memiliki perhiasan yang cukup baik. Raja yang bersifat Dewa Kuwera berarti wajib membuat dan menjaga kesejahteraan hidup rakyatnya. g. Sang Hyang Baruna adalah Dewa Air yang memiliki tugas dan kewajiban berkarya mengikat semua penjahat. Raja yang memiliki watak Dewa Air maka wajib menjaga ketentraman dan melindungi seluruh rakyatnya dari segala macam gangguan keamanan. h. Sang Hyang Agni adalah Dewa Api sering disebut sebagai Sang Hyang Brama yang memiliki tugas dan kewajiban menghancurkan musuh yang jahat. Raja yang memiliki watak seperti Dewa Api berarti harus mampu memberantas segala musuh yang jahat, misalnya perbuatan melawan negara dan pemberontakan. 5. Mihrab atau Pangimaman Mihrab atau pangimaman yang berada di Masjid Agung Demak dianggap bahwa atapnya terbuat dari intip atau kerak nasi, karena pada waktu awal pembangunan Masjid Agung Demak mengalami kehabisan bahan baku (wawancara dengan bapak Widodo, tanggal 5 Desember 2013). Secara filosofi intip mengandung beberapa pengertian yaitu: a. Intip dikategorikan sebagai muraqabah, artinya ruangan kecil yang digunakan oleh seorang imam untuk melihat keberadaan Allah SWT yang semata-mata ada dihadapannya, maka pada waktu itu dilakukan shalat secara khusyu’. b. Intip diambil dari kalimat intifakarami, artinya mengintip kemuliaan Nabi Besar Muhammad SAW karena segala sesuatu yang dilakukan untuk peribadatan di dalam masjid adalah ajaran Rasulullah SAW. c. Intip atau kerak nasi diibaratkan seperti orang yang derajat hidupnya sangat rendah atau asfala safilin yang kemudian digunakan sebagai atap mihrab supaya dapat memberi contoh bagi orang-orang yang masuk ke dalam Masjid Agung Demak agar benar-benar melaksanakan shalat dan ibadah yang lain commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
104 digilib.uns.ac.id
sehingga derajat hidupnya dapat terangkat oleh Allah SWT pada tempat yang setinggi-tingginya. 6. Gambar Bulus Gambar bulus yang terdapat pada bagian mihrab Masjid Agung Demak memiliki makna simbolik sebagai lambang berdirinya Masjid Agung Demak yang didasarkan pada tafsiran bahwa bulus terdiri dari kepala yang berarti angka 1 (satu), kaki yang berjumlah empat berarti angka 4 (empat), badan bulus berarti angka 0 (nol) dan ekor bulus berarti angka 1 (satu). Jadi dapat disimpulkan bahwa Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka atau pada tahun 1479 Masehi. Gambar bulus yang ada pada bagian mihrab Masjid Agung Demak juga didasarkan pada candrasengkala yang berbunyi Saliro Sunyi Kiblating Gusti yang berarti angka tahun 1401 Saka (wawancara Fatah, 24 November 2013) Gambar bulus yang diletakkan pada bagian mihrab Masjid Agung Demak memiliki beberapa makna simbolik dan nilai filosofi (wawancara dengan bapak Widodo, tanggal 5 Desember 2013) antara lain: a. Kata bulus menurut bahasa Jawa terdiri dari dua suku kata yaitu bu dan lus. Kata bu diartikan sebagai mlebu atau masuk dan lus diartikan sebagai alus atau halus. Jika kedua arti kata tersebut dijadikan satu maka memiliki arti mlebu alus atau masuk halus. Yang dimaksud dengan mlebu alus adalah budi pekerti dari orang-orang yang masuk ke dalam Masjid Agung Demak diharapkan bisa merubah sikapnya menjadi orang yang berhati mulia atau orang yang berhati halus tidak memiliki rasa iri, dengki, khianat serta perbuatan negatif lainnya. b. Relief binatang yang terdapat pada bagian mihrab Masjid Agung Demak ada yang mengatakan bahwa relief tersebut bergambar kura-kura. Kura-kura dalam bahasa Arab berasal dari kata kura yang berarti pembaca. Maksud dari arti pembaca itu adalah bahwa seorang imam yang memimpin shalat di dalam masjid harus berniat dengan sungguh-sungguh dan harus berhati-hati dalam membaca surat-surat yang diambil dari dalam kandungan Al Qur’an serta suaranya lebih dikeraskan sedikit supaya makmum atau jamaah shalat yang ada di belakangnya dapat mendengar dengan commit to jelas. user
perpustakaan.uns.ac.id
105 digilib.uns.ac.id
c. Relief binatang yang terdapat pada mihrab Masjid Agung Demak merupakan gambar kura-kura. Apabila dilihat dari bahasa Jawa, kura-kura terdiri dari kata kuro yang kemudian dialihkan ke dalam bahasa Arab yang berbunyi khuratun yang berarti kemerdekaan. Karena letak gambar tersebut di bagian mihrab masjid maka sangat berkaitan erat dengan tugas dan kewajiban seorang imam yang merupakan manusia biasa yang sudah pasti dikelilingi oleh syetan. Untuk melepaskan diri dari syetan tersebut maka seorang imam harus mampu memerdekakan dirinya sendiri dahulu, sehingga shalat yang dikerjakan dapat khusyu’ yang semata-mata dikerjakan hanya karena Allah SWT. d. Relief kura-kura yang ada pada bagian mihrab Masjid Agung Demak dianggap mempunyai ciri-ciri yang dapat dijadikan sebagai pandangan hidup yaitu: 1) Umur panjang yang hendaknya dimanfaatkan dengan cara yang sebaikbaiknya agar dikemudian hari tidak termasuk ke dalam golongan orangorang yang merugi. 2) Alim atau berbudi pekerti yang luhur sehingga hidupnya di dalam masyarakat kelihatan indah atau menyenangkan. 3) Cerdik atau bisa memberi petunjuk jalan yang lurus. 4) Kura-kura memiliki ciri-ciri kalau sudah menggigit tidak mau melepaskan. Hal ini bermaksud bahwa manusia harus bisa mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT dan janganlah bersifat rakus atau serakah. 5) Dapat hidup di dua alam atau amphibi, dalam bahasa Jawa diartikan ajurajer yaitu dapat bergaul dengan sesama tanpa membeda-bedakan adanya status dan golongan. 6) Kalau berjalan dadanya merapat ke tanah yang berarti rendah hati atau tidak sombong. 7) Kalau bertelur tidak ada yang tahu atau disembunyikan yang berarti manusia hendaknya beramal hanya karena Allah SWT semata atau tidak dipamerkan. e. Relief kura-kura yang terdapat di mihrab Masjid Agung Demak dianggap commit to user merupakan penjelmaan dari Dewa Wisnu yang ditugaskan oleh Sang Hyang
106 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Wenang untuk menyelamatkan bumi dari semua makhluk yang hidup di dalamnya. Dengan berpegang teguh bahwa di mana ada kura-kura maka disitulah kura-kura tersebut selalu dihormati dan dipuja, maka mendorong para wali untuk mengabadikan gambar kura-kura di dalam mihrab Masjid Agung Demak yang bertujuan supaya orang-orang yang berkeyakinan pada penjelmaan Dewa Wisnu dapat tertarik untuk masuk ke dalam Masjid Agung Demak dan dapat diajak masuk atau memeluk agama Islam. 7. Bedug dan Kentongan Bedug dan kentongan kayu yang terletak di ruang serambi Masjid Agung Demak terdapat dua buah yaitu berada di sebelah utara dan selatan serambi masjid. Bedug dan kentongan tersebut memiliki makna simbolik bahwa bedug menurut pendengaran orang Jawa apabila dipukul maka berbunyi deng deng deng. Dari suara bunyi tersebut maka mengandung arti sedeng atau cukup, sehingga apabila bedug tersebut dibunyikan diharapkan umat muslim segera datang memasuki masjid karena masjid masih cukup untuk dimasuki. Sedangkan kentongan menurut pendengaran orang Jawa berbunyi tong tong tong yang berarti kothong atau kosong. Hal ini memiliki makna bahwa masjid masih dalam keadaan kosong maka umat muslim supaya segera masuk ke dalam masjid untuk melaksanakan shalat secara berjamaah. Dari pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bedug berfungsi sebagai alat untuk memberi isyarat atau tanda masuknya waktu shalat lima waktu, sedangkan kentongan berfungsi sebagai alat untuk memberi isyarat atau tanda kepada kaum muslim untuk segera berkumpul di dalam masjid.
commit to user