BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Kondisi Geografis dan Sejarah Kota Temanggung 1. Kondisi Geografis Temanggung Temanggung merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Temanggung berbatasan dengan Kabupaten Kendal di utara, Kabupaten Semarang di timur, Kabupaten Magelang di selatan, dan Kabupaten Wonosobo di barat. Kabupaten Temanggung dahulu terdiri dari 12 kecamatan, dan sekarang terdiri dari 20 kecamatan (data 2009), dengan luas wilayah 870,25 km². Wilayah Kabupaten Temanggung sebagian besar merupakan dataran dengan ketinggian 500-1450 m dpl. Kabupaten Temanggung terletak 110°23’ – 110°46’30‖ BT dan 7°14’ – 7°32’ 35‖ LS (BPPD dan BPS Kab. Temanggung, 2009:3-4). Kabupaten Temanggung pada umumnya merupakan daerah bersuhu udara rendah, suhu udara berkisar antara 20°C – 23°C. Temanggung memiliki hawa dingin terutama di Kecamatan Tretep, Kecamatan Bulu (lereng Gunung Sumbing), Kecamatan Tembarak, Kecamatan Ngadirejo serta Kecamatan Candiroto. Kota berpenduduk 709.343 jiwa (data 2009), sebagian besar wilayahnya merupakan dataran tinggi dan pegunungan, termasuk bagian dari rangkaian Dataran Tinggi Dieng. Di perbatasan dengan Kabupaten Wonosobo terdapat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Selain
33
Gunung Sindoro dan Sumbing, di Temanggung juga terdapat Gunung Prahu dan Butak serta beberapa perbukitan yang dipergunakan sebagai lahan pertanian penduduk. Di bagian utara terdapat deretan perbukitan yang berujung pada Gunung Ungaran, yang menjadi garis batas dengan Kabupaten Kendal dan Semarang. Temanggung memiliki empat buah sungai yang besar yaitu Wringin, Sungai Lutut, Sungai Elo dan Sungai Progo. Pola persebaran curah hujan yang tinggi di Temanggung mengakibatkan daerah bagian selatan relatif lebih basah dibandingkan daerah bagian utara. Potensi air mengalir melalui Kali Progo yang bermata air di Jumprit, Ngadirejo yang terletak di lereng Gunung Sindoro. Kali Progo memiliki banyak anak sungai dari Gunung Sindoro maupun Gunung Sumbing yang kemudian dialirkan ke laut selatan (Asiatno, 1997:26). 2. Sejarah Singkat Temanggung Sesuai dengan yang tercatat dalam Binnenland Bestuur, Departemen Dalam Negeri Pemerintah Kolonial Belanda, besluit kelahiran Kabupaten (Regentschap) Temanggung yaitu 10 November 1834. Tanggal 10 November sekarang diperingati sebagai kelahiran Temanggung. Kabupaten Temanggung menjadi kabupaten kedua di Karesidenan Kedu setelah sebelumnya muncul Kabupaten Magelang pada tahun 1818. Seperti kota-kota lain di pedalaman Jawa, Temanggung tumbuh menjadi daerah agraris yang damai. Meski pemerintahan kolonial berlangsung secara
34
diskriminatif, masyarakat Temanggung menerima apa adanya. Tidak ada pergolakan politik yang serius sampai dengan akhir abad XX. Sebelum
Temanggung
berdiri,
pemerintah
Hindia
Belanda
membentuk Kabupaten Menoreh sebagai bagian dari Karesidenan Kedu. Dengan Bupati pertama yaitu Bupati Raden Tumenggung (RT) Ario Soemodilogo. Tugas pertama RT Ario Soemodilogo ialah membantu misi militer menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro. Meski bergelar Bupati Menoreh, RT Ario Soemodilogo tidak mungkin berkantor di Menoreh, tempat yang menjadi markas besar kekuatan inti pasukan Diponegoro. Maka, RT Ario Soemodilogo ditempatkan di Parakan sebagai Ibu Kota Menoreh. RT Ario Soemodilogo meninggal karena serangan laskar Diponegoro, dan kedudukan RT Ario Soemodilogo digantikan R. Ngabehi Djojonegoro. Setelah menerima besluit pengangkatan 7 April 1926, Djojonegoro berinisiatif memindahkan ibukota kabupaten ke Temanggung. Selain meminta persetujuan pindah kantor RT Djojonegoro juga mengusulkan pergantian nama kabupaten. Dengan dua alasan yang diajukan. Pertama, seusai perang, secara resmi Distrik Menoreh masuk ke Kabupaten Magelang. Dengan begitu, nama Menoreh sudah tidak relevan lagi. Kedua, dalam pandangan masyarakat Jawa, dalem bupati di Parakan yang pernah diobrak-abrik musuh (pasukan Diponegoro) itu telah ternoda. Permohonan itu di setujui hingga turunlah besluit tanggal 10 November 1943 yang melahirkan Regentschap Temanggoeng (Husni, 2008:10-12).
35
B. Temanggung Menjelang Agresi Militer Belanda II Agresi Militer Belanda I, berakhir dengan diadakannya perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948. Meskipun Temanggung tidak menjadi medan tempur tetapi dampak dari Agresi Militer Belanda I ini juga dirasakan di Temanggung. 1. Keadaan sosial dan ekonomi Blokade ekonomi yang dilakukan oleh Belanda semakin ketat sejak 1947, membuat persediaan logistik di daerah republik semakin menipis. Mutu pelayanan umum ikut merosot. Pukulan terberat adalah hilangnya daerah-daerah yang paling makmur, serta diikuti dengan pemotongan jalur-jalur komunikasi dan lalu lintas barang (Husni, 2008: 199). Dalam keadaan serba keterbatasan, Temanggung harus ikut menampung pasukan dari daerah lain yang hijrah akibat perjanjian Renville. Dalam masa hijrah, banyak kesatuan dari luar daerah memasuki kota Temanggung, antara lain: a. ALRI Tegal pimpinan Mayor Ali Sadikin berkekuatan 3 batalyon, b. MBPT Jawa Barat pimpinan Mayor Sakri Soenarto berkekuatan 1 batalyon c. Siliwangi Jawa Barat pimpinan Nasuhi berkekuatan 1 batalyon d. ALRI Kendal pimpinan Mayor Machmud berkekuatan 1 batalyon Di Temanggung ternyata terdapat satu kelompok masyarakat yang mempersiapkan diri untuk menyiapkan kedatangan Belanda bernama Commite Van Ontyangt C.V.O yang dipimpin oleh Cheng Tien Tio. Berkat
36
laporan masyarakat, polisi akhirnya membongkar jaringan mereka, dan menemukan bukti-bukti bendera Merah-Putih-Biru dalam ukuran besar dan selempang dengan warna yang sama. Perkara ini akhirnya diajukan ke Pengadilan Negeri Temanggung yang segera melakukan penahanan terhadapat kelompok C.V.O Februari 1948, kepolisian RI di Temanggung dipimpin oleh Inspektur Polisi R.M. Sutoro Tedjokusumo, bersama pasukannya melakukan tugas-tugas antara lain meningkatkan keamanan dan ketertiban umum. Disamping itu polisi juga melakukan pengamana ekonomi dengan membongkar jaringan pembuat dan pengedar uang ORI palsu, saat itu juga berhasil disita barang-barang pokok kebutuhan hidup yang ditimbun para spekulan, antara lain berupa beras, kopi, gula pasir, dan sebagainya. Tugas lain yang dilakukan polisi adalah mengatur dan melaksanakan tugas-tugas keamanan di garis demarkasi atau garis status quo, sebagai akibat ditandatangainya perjanjian Renville. Garis demarkasi untuk daerah kabupaten Temanggung, membentang di perbatasan utara dan menyusuri kecamatan Pringsurat, Kaloran, Kandangan, Jumo, dan Candiroto (Bekti, 2012:43-44). Temanggung juga mengalami gejolak karena pemberontakan oleh PKI. Sehari setelah pemberontakan PKI Madiun pimpinan Muso dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR)-nya, yang dilakukan pada 18 September 1948, pada 19 September 1948 di Parakan diadakan upacara sumpah setia kepada RI terhadap Batalyon Machmud. Machmud yang berpangkat
37
sebagai Mayor dikenal sebagai personil ALRI yang proPKI. Tetapi pada pukul 04.00 WIB 20 September 1948, batalyon Machmud melakukan pemberontakan dan berhasil menguasai Parakan. Sejumlah tokoh sipil dan militer kurang lebih 60 orang ditangkap dan ditahan di Muntung, antara lain: Pembantu Inspektur Polisi II Rame Nitisoedarmo, Kusno, Kaolan (Camat Tretep), Komandan Distrik Militer Mayor Salmun, Mayor Sukri, Kapten Sumantri, dan Letnan Suwadji. Sehari kemudian mereka berhasil meloloskan diri dan kembali ke Temanggung, namun nasib buruk menimpa Kapten Sumantri dan Letnan Suwadji yang tertangkap di Jumo dan dibunuh. Segera dilakukan operasi penumpasan yang terdiri dari gabungan TNI dan Polisi dipimpin Mayor Panuju. Pada 27 September 1948, Parakan berhasil direbut kembali. Mayor Machmud ditangkap, sisa pasukannya melarikan diri dan sebagian berhasil ditumpas, sebagian lagi melarikan diri ke Sukorejo yang merupakan daerah status quo dan meminta perlindungan Belanda. 2. Keadaan Militer dan Politik Akibat agresi Kolonial Belanda I pada 21 Juli 1947, markas DIV.III/Pangeran Diponegoro pindah dari Yogyakarta ke Magelang. Pada saat itu sebutan Tentara Republik Indonesia (TRI) secara resmi diganti menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang kemudian setelah mencapai persetujuan Linggarjati dilaksanakan program Re-Ra. Dengan adanya Program Re-Ra maka DIV. III/Pangeran Diponegoro menjadi Divisi I/TNI dengan wilayah seluruh Jawa Tengah di bawah pimpinan
38
Kol. Bambang Sugeng (Dinas Sejarah Milliter KODAM VII Diponegoro, 1978:1). Untuk menghadapi segala kemungkinan, utamanya untuk menghadapi agresi militer II Belanda, Panglima Besar Angkatan Perang RI menyiapkan Panglima Tentara Teritorium Jawa (PTTD) dan Panglima Tentara Teritorium Sumatra (PTTS), masing-masing sebagai panglima pertempuran di Jawa dan Sumatra. PTTD dalam kegiatannya biasa menggunakan istilah Panglima Komando Jawa, bermarkas pada Markas Besar Komando Jawa (MBKD). Panglima komando Jawa adalah Kolonel A.H. Nasution, dibawah kendali Panglima Besar Sudirman sebagai KSAP. MBKD yang mengemban tugas pokok mengadakan konsolidasi dan mengatur siasat untuk menghadapi agresi Belanda yang akan datang sewaktu-waktu, membawahi 4 divisi dan 3 daerah militer istimewa, yaitu: a. Divisi I/Jawa Timur b. Divisi II/Jawa Tengah bagian timur c. Divisi III/Jawa Tengah bagian barat d. Divisi IV/Siliwangi Tiga daerah militer istimewa tersebut adalah: a.
Daerah militer istimewa pertama, meliputi daerah Surabaya, Malang, dan Kediri.
b.
Daerah militer istimewa kedua, meliputi daerah Solo, Semarang, Pati, Bojonegoro dan Madiun
39
c.
Daerah militer istimewa ketiga, meliputi daerah Kedu, Banyumas, Pekalongan, dan Yogyakarta. Dalam menjalanankan tugas dan tanggung jawab masing-masing
panglima divisi merangkap sebagai Gubernur Militer. Kolonel Bambang Sugeng sesuai instruksi panglima MBKD tanggal 28 Desember 1948 diangkat menjadi Panglima Divisi III/Jawa Tengah bagian barat dan Djogjakarta; divisi III pimpinan Kolonel Bambang Sugeng ini terdiri dari 3 brigade dan 4 subtertitorium (Edi Hartoto, 2009:54-56).
40
Struktur Organisasi Divisi III Jateng dan Yogyakarta Penetapan Presiden No. 14 tahun 1948 dan instr. Plm. M.B.K.D/Mobil/48 tgl 25 Desember 1948 GM III/Divisi III Gub. Militer Kol. Bambang Sugeng
STC Banyumas Mayor Kun Kamdani
STC Pekalongan Mayor Brotosewojo
STC Kedu Let. Kol. Sarbini
STC Jogjakarta Let Kol Seloali/ Let. Kol. Soehoedi
Brigade I Let. Kol. M. Bachroen
Brigade II Let. Kol. Pranoto/ Mayor A. Yani
Batalyon I Mayor Hartojo
Batalyon I Mayor A. Yani/ Mayor Sroehardojo
Batalyon I Mayor Sardjono
Batalyon II Mayor Brotosiswojo
Batalyon II Mayor Soerjosoempeno
Batalyon II Mayor Soedjono
Batalyon III Mayor Soerono
Batalyon III Mayor Bintoro
Batalyon III Mayor Darjatmo
Batalyon IV Kapten Wongsoatmodjo
Batalyon IV Mayor Panudju
Batalyon IV Mayor Soedarmo
Brigade III Let. Kol. Soeharto
Sumber : Sirnaning Jakso Katon Gapuraning Ratu I (Sejarah TNI AD KODAM XVII Diponegoro)
Menghadapi kemungkinan agresi Kolonial Belanda, maka Panglima Besar Jenderal Sudirman mengeluarkan perintah Siasat No.1 tanggal 9 November 1948 agar masing-masing Devisi menyusun baris41
baris gerilya di daerah pedalaman. Sehubungan dengan perintah Siasat tersebut, panglima Divisi III/GM III menentukan daerah Gunung Sumbing sebagai terugval-basis gerilya DIV III/GM III dalam masa perang kemerdekaan II. Dalam rangka melancarkan perang gerilya, dari markasnya yang baru di daerah Prambanan Panglima MBKD mengeluarkan instruksi nomor :1/MBKD/1948 tanggal 25 Maret 1948 dan instruksi no: 3/MBKD/1948 tanggal 31 Desember 1948 tentang pembentukkan pemerintah militer di seluruh Jawa dan menyusun perlawanan dalam bentuk Wehrkreise (WK), yang kemudian terbagi dalam sub. Wehrkreise (SWK), sektor dan sub sektor (Dinas Sejarah Militer KODAM VII/Diponegoro, 1978:2). Temanggung masuk ke dalam Wehrkreise II yang meliputi Kedu (minus Wonosobo) dan Kendal, dipimpin oleh Letkol Sarbini yang kemudian diganti oleh Letkol Achmad Yani. Wilayah Wehrkreise II ini dibagi menjadi beberapa sub Wehrkreise (SWK), Temanggung masuk dalam SWK 296 di bawah pimpinan Mayor Bintoro yang menguasai distrik Candiroto, Parakan, dan Temanggung. Pasukan Bintoro merupakan pasukan mobil yang sering keluar masuk daerah Temanggung untuk melakukan operasi militer. Untuk memperlancar tugas-tugas
menghadapi
kemungkinan
kembalinya
Belanda
di
Temanggung, pasukan membentuk Komando Daerah Militer (KDM) yang dipimpin oleh Mayor Salmun (Bekti, 2012:39).
42
Selain TNI, Tentara Pelajar Temanggung yang berdiri pada tanggal 1 Oktober 1947 setelah adanya reorganisasi satuan Tentara Pelajar batalyon 300 resimen B, satuannya bernama Seksi 363 Komandan Sutarto. Satuan ini bermarkas di sekretariat IPI di kampung Brojolan Temanggung dan dipimpin oleh Soemardjono. Dengan susunan seksi 365 Batlyon 300 TP TMG sebagai berikut: Komandan Seksi
: Soetarto
Wakil Komandan seksi : Ir. Soetopo Kepala Staff
: Abdoel Madjid
Bagian Pertahanan
: S. Hadly
Bagian Keuangan
: St. Madiyo/Tjipto Darsono
Bagian Sekretariat
: B. Hartadi/Soedradjat
Bagian Perlengkapan
: Wahidi
Bagian Persenjataan
: Tamat
Bagian Kesehatan
: Goenawan/Siswardjo
Bagian Konsumsi
: Soeprono/Soebagjo
Dalam perkembangannya, satuan-satuan Tentara Pelajar tidak luput dari kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi TNI. Para Tentara Pelajar kemudian digabung dalam satu-satuan brigade dan masuk dalam Brigade 17 yang dibagi menjadi 5 (lima) Detasemen. Tentara Pelajar Temanggung masuk dalam Detasemen III di bawah Martono, yang terbagi menjadi 4 seksi dan Temanggung berada dibawah kompi Sutarto (Husni, 2008:161-166).
43
3. Persiapan Melawan Agresi Militer Belanda II Agresi militer yang akan dilancarkan Belanda secara strategis tidak lagi merupakan pendadakan bagi RI, apalagi setelah segala upaya diplomatik tidak berhasil. Hanya saja secara taktis operasinalnya kapan serangan dilancarkan belum dapat diketahui secara tepat. Sejak November 1948, angkatan perang RI telah meningkatkan kesiagaannya untuk mempertahankan negara dan kemerdekaa Republik Indonesia. Pelaksanaan Re-Ra Angkatan Perang RI, yang tertunda karena pemberontakan PKI, dilanjutkan kembali dengan menyusun dan mempersiapkan kekuatan militer untuk menghadapi agresi Belanda yang berada diambang pintu (Himawan, 2006:264). Pada setiap operasi militer, secara normative dilakukan persiapan maupun pelaksanaan dalam beberapa tahap, antara lain: a.
Mengembangkan secara operasi
b.
Melakukan persiapan untuk memungkinkan perintah-perintah operasi dapat dilaksanakan.
c.
Menempati posisi awal operasi
d.
Melaksanakan operasi
e.
Melakukan konsolidasi. Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman memerintahkan untuk
meningkatkan upaya persiapan-persiapan perang pada awal November 1948. Kepada para panglima divisi diinstruksikan untuk meningkatkan kewaspadaan, sebab setiap saat Angkatan Perang Belanda dapat
44
melancarkan gerak ofensifnya terhadap Republik Indonesia (Himawan, 2006:265). Pada November 1948, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Kolonel A. H. Nasution, ketika masih menjabat Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang (SOMBAP), pada Juni 1948 telah menyusun konsep pertahanan rakyat semesta yang sekaligus merupakan konsep strategi militer Republik Indonesia. Rencana operasi tersebut dirumuskan dalam Perintah Siasat Nomor Satu Panglima Besar. Adapun pokok isi Perintah Siasat No. 1 adalah: a. Tidak akan menerapkan pertahanan linier b. Memperlambat kemajuan serbuan musuh dan pengungsian total (semua pegawai) serta bumi hangus total c. Membentuk kantong-kantong di setiap onderdistrik militer yang mempunyai pemerintah gerilya (wehrkreise) yang totaliter dan mempunyai pusat di beberapa kompleks pegunungan. d. Melakukan aksi Wingate (penyusupan kembali ke daerah asalnya), bagi pasukan-pasukan dari daerah federal, dan membentuk kantongkantong, sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi satu medan perang gerilya besar. Menghadapi ancaman agresi Belanda yang semakin jelas pada Oktober-November 1948, Jenderal Sudirman melakukan penyempurnaan pada Perintah Siasat No. 1 dalam bentuk Instruksi Panglima Besar Angkatan Perang yang dikeluarkan tanggal 9 November 1948. Instruksi
45
tersebut disahkan oleh pemerintah dengan Peraturan Pemerintah no. 30 dan 70/1948. Instruksi panglima besar itu dijelaskan kepada para panglima, gubernur, dan residen yang dipanggil ke Markas Besar Komando Jawa di Yogyakarta pada 11 November 1948, dengan penekanan pada cara menghadapi dan melawan Agresi Belanda. Lebih lanjut, pada pertengahan bulan itu juga, Panglima Komando Jawa Kolonel A. H. Nasution di depan forum yang lebih luas, dihadiri seksi luar negeri dan seksi dalam negeri BPKNIP dalam sidang gabungan, mengemukakan pokok-pokok rencana pertahanan untuk menghadapi agresi militer Belanda. Pokok-pokok rencana itu adalah sebagai berikut: a. Tidak dapat dipertahankan kota-kota dan jalan-jalan besar, yang akan dikuasai musuh dalam beberapa minggu. b. Perlu pengungsian total, penyebaran (penempatan) tenaga-tenaga ke distrik-distrik untuk mengadakan kantong-kantong perlawanan gerilya secara luas dan lama. c. Pokok-pokok perlawanan RI adalah perang gerilya. d. Akibat dari peristiwa Madiun, TNI pada bulan November itu masih terpencar-pencar, tidak berada pada tempat-tempat yang sebenarnya, sehingga memerlukan waktu untuk penggelaran persiapan perang (Himawan, 2006:266-267). Angkatan Perang RI melakukan persiapan-persiapan untuk menghadapi agresi secara sungguh-sungguh sejak awal November, ditingkatkan dengan Kolonel A. H. Nasution menyampaikan perintah
46
kepada para panglima divisi untuk memasuki tahap ketiga persiapan operasi. Tahap ini adalah memulai menggerakkan pasukan pada gelar posisi awal operasi, melakukan persiapan pembumihangusan proyekproyek vital secara intensif, dan persiapan pengunduran ke kantongkantong perlawanan (wehrkreise) untuk peralihan ke perlawanan gerilya, dan lain-lain (Himawan, 2006:268-269). 4. Agresi Militer Belanda II Perang kemerdekaan kedua adalah perang akibat agresi Militer Belanda kedua atau disebut pula class II, yaitu serangan besar-besaran militer Belanda setelah perjanjian Renville tidak dipatuhi dan dilanggar oleh
Belanda,
(Susanto,1985:62).
dengan
maksud
Dipandang
dari
menghancurkan kacamata
Negara
Belanda,
RI
tindakan
penyerangan terhadap RI itu dinamakan Aksi Polisionil (Actie Politioneel), yaitu aksi untuk menertibkan kekacauan yang terjadi di suatu wilyah yang menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Indonesia berpendapat, bahwa peristiwa tersebut dinamakan Aksi Militer karena menyerang suatu negara yang telah diakui (Tri Wahyono, 2011:9). 19 Desember 1948, pasukan Belanda melakukan penyerbuan secara besar-besaran ke daerah republik. Kota Yogyakarta sebagai ibukota negara berhasil diduduki tentara Belanda, setelah berhasil melakukan agresi ini, Belanda meneruskan penyerbuan ke daerah RI yang belum didudukinya.
47
Jenderal Spoor memperhitungkan, bila Yogyakarta sebagai sumber semangat perjuangan dan pusat perlawanan RI telah diduduki dan pimpinan-pimpinan politik dan militernya ditangkap, perlawanan akan berhenti secara menyeluruh, dan untuk itu Jenderal Spoor akan tetap melancarkan strategi ujung tombaknya. Yogyakarta dianggapnya sebagai sentra gravita (centre of gravity) Republik Indonesia. Apabila sentra gravita diduduki, berakhirlah keberadaan Republik Indonesia ( Himawan, 2006:281). Panglima besar Jenderal Sudirman sebelum meninggalakan istana sempat mengeluarkan Perintah Kilat No. 1, yang menginstruksikan segenap jajaran Angkatan Perang RI untuk melaksanakan rencana operasi yang telah ditetapkan masing-masing kesatuan TNI berdasarkan Perintah Siasat Nomor 1 Panglima Besar. Perintah Kilat No. 1 Panglima Besar berbunyi: 1. 2. 3. 4.
Kita telah diserang Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda. Dikeluarkan di : Tempat Tanggal : 19 Desember 1948 Jam : 08.00 (dto) Panglima Besar Angkatan Perang Letnan Jenderal Sudirman
(ket.: dalam buku Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman...—tulisan Letjen (Purn) Cokropranolo—halaman 125, dinyatakan bahwa perintah kilat tersebut ditulis tangan sendiri oleh Pak Dirman dalam secarik kertas yang terlihat samar-samar, tetapi dapat dibaca dengan
48
jelas oleh Kapten Supardjo, ajudan Pak Dirman saat itu. Kemudian, teks perintah tersebut diberikan kepada Vaandrig Kadet Utoyo Kolopaking, agar ia segera meneruskannya lewat telepon ke RRI Yogya dan meminta agar teks tersebut disiarkan secepat mungkin) (Himawan, 2006:292).
Sekalipun Belanda berhasil menawan pimpinan pemerintahan RI dengan pendudukan Yogyakarta, Belanda tidak berhasil menawan pimpinan utama Angkatan Perang RI, Panglima Besar Sudirman. Maka, Belanda dengan berbagai cara mengumumkan bahwa Jenderal Sudirman telah dapat ditawan. Wakil Tinggi Mahkota Dr. Beel mengumumkan bahwa pemerintah Republik Indonesia tidak diakui lagi. RI dinyatakan sebagai staatkundig organisatie (organisasi kenegaraan yang telah dihapus dari muka bumi). Perlawanan TNI, yang disebutnya ―pengacauan gerombolan-gerombolan pemberontak‖, selanjutnya akan sia-sia saja dan akan mengundang kehancurannya sendiri. Tentara Kerajaan Belanda telah siap dengan segala keunggulannya untuk menghancurkan gerombolangerombolan tersebut. Tetapi kenyataannya panglima besar telah berhasil keluar kota Yogyakarta, walaupun sedang sakit keras, untuk memimpin perang rakyat. Perintah Kilat No. 1/Panglima Besar/ B/ D/1948 telah dikumandangkan dan segera saja seluruh jajaran TNI melaksanakan rencana-rencana yang telah ditentukan, yang dituangkan dalam Perintah Siasat No. 1 atau Instruksi Panglima Besar pada awal November 1948 dan disahkan melalui Peraturan Pemerintah No. 33 dan No. 70 tahun 1948 (Himawan, 2006:299).
49
Yogyakarta telah diduduki Belanda pada tanggal 19 Desember 1948. Serangan mendadak yang dilancarkan dengan mengerahkan kekuatan tempur yang besar membuahkan hasil. Sungguh suatu kemenangan strategis bagi Belanda. Ibu Kota Republik Indonesia, yang dinilai Belanda sebagai sumber segala malapetaka atau sumber ―api revolusi‖, telah dapat direbut. Pemimpin negara dan sebagian kabinet RI berhasil ditawan. Dr. Beel yang ditetapkan Kerajaan Belanda sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), tetapi tidak diakui oleh Republik Indonesia, menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah dihapuskan dari peta dunia (weggevaagd van de wereldkaart). Dengan ditawannya pimpinan pemerintah RI ditambah kemampuan propagandanya, Belanda memperhitungkan bahwa TNI dan rakyat akan mengalami demoralisasi dan disorganisasi sedemikian rupa, sehingga mematahkan semangat untuk melanjutkan perang gerilya melawan Belanda. Dalam strategi militernya, Belanda menyerang Yogyakarta dengan kekuatan militer yang besar untuk memastikan hancurnya TNI dalam satu pertempuran menentukan. Akan tetapi hal itu tidak terjadi, kesatuan-kesatuan TNI di Yogyakarta tidak melakukan perlawanan gigih dan tidak mempersiapkan pertahanan mati-matian. Dalam mempertahankan Yogyakarta TNI menghindari serangan penghancuran Belanda itu. Di dalam strategi militer yang telah digariskan Perintah Siasat No. 1 tidak ada rencana untuk menghadapi
serangan
Belanda
secara
mati-matian,
sebab
sudah
diperhitungkan bahwa keunggulan taktis dan teknis militer Belanda,
50
seperti pada agresi militer pertamanya, akan sangat menentukan dalam perang konvensional. Bila dilakukan pertahanan konvensional secara matimatian, bantuan logistik yang besar akan diperlukan, terutama peluru dan mesiu, untuk bertahan secara efektif. Karena itu, sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Perintah Siasat No. 1, titik berat perlawanan diletakkan pada perang wilayah dengan aksi-aksi gerilya. Untuk menghadapi serangan, rencananya perlawanan akan diberikan sekedarnya oleh pasukan yang khusus ditugaskan untuk melakukan penghambatan. Hal itu bertujuan memenangkan waktu dan ruang untuk memberikan kesempatan pada kesatuan-kesatuan
besar
TNI
dan
aparat
pemerintahan
untuk
mengundurkan diri ke daerah-daerah yang telah dipersiapkan sebagai pangkalan perlawanan gerilya (Himawan, 2006:301-302). Di kota-kota lain yang berhasil diduduki Belanda, dan disepanjang garis komunikasinya, TNI dan pasukan pejuang RI lainnya dengan semangat dan tekad yang tinggi melancarkan serangan gerilya terhadap pos, patroli, dan iring-iringan logistik, dan menyabotase jalanjalan perhubungan. Selain
itu, TNI mereorganisasi satuan-satuan
tempurnya di pangkal-pangkal perlawanan yang telah disiapkan, menggelar kekuatannya, dan kemudian mengobarkan perang yang sesungguhnya, perlawanan gerilya, di daerah-daerah yang seluas mungkin (Himawan, 2006:309). Aparatur pemerintahan Republik Indonesia banyak yang ikut dengan pasukan TNI yang mundur atau yang melakukan infiltrasi,
51
sehingga mempermudah TNI membangun sistem pertahanan wehrkreise. Sebaliknya, hal itu mempersulit Belanda untuk melakukan konsolidasi untuk menegakkan kekuasaannya, dan membangun kembali pemerintahan di daerah-daerah yang telah didudukinya (Himawan, 2006:310). C. Masa Awal Pendudukan Belanda 1. Temanggung Dibumihanguskan Diawali dengan agresi militer II, Belanda berhasil menguasai ibukota negara, Yogyakarta. Pasukan TNI segera menyingkir ke pedalaman untuk menyusun kekuatan baru. Dengan demikian Belanda sangat leluasa meningkatkan gerakan militernya. Sesuai perintah Markas Besar Angkatan Perang RI (APRI), sebelum Belanda datang, taktik bumi hangus harus dilakukan. Senin, 20 Desember 1948, aksi bumi hangus Temanggung dilaksanakan. Massa berkumpul sejak pagi hari di berbagai tempat di Temanggung, atas perintah Komandan Batalyon Terirtotial Salmun, aksi bumi hangus dilakukan serentak di Temanggung, Parakan, dan Ngadirejo. Aksi massa itu di bawah kendali Kompi Oetoyo dibantu polisi, Tentara Pelajar, pemuda Hisbullah, para pamong praja dan massa rakyat. Mereka merusak apa saja yang kemungkinan dapat dimanfaatkan oleh Belanda. Di
kota
Temanggung
terdapat
28
bangunan
yang
dibumihanguskan. Bangunan-bangunan yang dibumi hanguskan antara lain: kantor Kabupaten, Penjara, Kantor Pengadilan, Gedung NIS, Gedung SMP, Kantor Pos, Kantor Telpon, Kantor Kawedanan, asrama ALRI, pasar
52
Lor dan Kidul, Gedung Bioskop, Kantor PLN, Bank Rakyat, RPCM, stasiun Kereta Api, kantor Pegadaian, Rumah Pemotongan Hewan, Pabrik Kertas, SR Alon-Alon, Kantor Asisten Residen, Jembatan Kali Kuas, Markas ALRI, SD Sempurna, Penampungan Minyak, SR IV, Markas Hisbullah. Sejumlah jembatan pun dihancurkan, antara lain jembatan Kalimurung, Kali Kuwas (Tepungsari), Kali Deres, Kali Winong, Kali Tengguru, Kali Galeh (Parakan), Kali Guntur, Kali Progo, dan Kali Paponan. Untuk menghambat laju bala tentara Belanda, jembatan Progo di Kranggan diprioritaskan untuk dihancurkan. Beberapa lokasi jembatan tersebut sudah dipasangi peledak. Tetapi rencana penghancuran jembatan yang sangat strategis, untuk menuju Temanggung dan Wonosobo itu gagal karena jembatan Progo tidak hancur dan hanya berlubang. Jembatan Progo yang tidak berhasil dihancurkan oleh TNI menguntungkan Belanda untuk dapat bergerak lebih maju lagi (Emy, 2006:19). 2. Serangan Belanda di Temanggung Tanggal 21 Desember 1948 pasukan Belanda melancarkan serangan besar-besaran terhadap kota Temanggung. Pada hari Selasa pagi empat unit Mustang P-51 Belanda terlihat di atas langit Temanggung, berputar-putar lalu menukik sambil menembakkan peluru. Dengan sasaran mobil yang bergerak atau tempat-tempat yang dianggap sebagai pos TNI. Kota Temanggung sunyi dan mencekam, yang berada di jalan-jalan hanya unit-unit kecil patroli TNI dari Batalyon Terr/KDM Temanggung dan
53
Polisi. Salah satu sasaran pesawat Mustang P-51 adalah asrama polisi di Gemoh. Serangan pertama mengenai kotak mesiu yang berada disana, menimbulkan ledakan dan asap membumbung. Sehingga pesawat Belanda menyangka tempat itu adalah pos tentara. Sambil terbang bersilangan, pesawat-pesawat Mustang P-51 kembali menembakkan peluru. Akibatnya tangsi polisi Gemoh semakin porak poranda, ada beberapa korban jiwa dari petani yang meninggal dan terluka. Seperti terjadi di tempat lain, serangan udara hanya untuk membuka jalan bagi pasukan darat yang akan melakukan pendudukan. Sekitar pukul 13.45 pasukan Belanda mulai masuk dan menduduki Temanggung. Mereka menembus kota dari dua arah. Pertama dari Sumowono melalui Ngoho, Kaloran, ke Temanggung. Pasukan ini merupakan bagian dari pasukan Brigade T. Kedua, dalam jumlah yang jauh lebih besar, dari Brigade W, datang dari Magelang melalui Secang dan tembus ke Temanggung Sehari kemudian, tanggal 22 Desember 1948 pukul 10.00 WIB, mereka berhasil masuk ke kota Temanggung yang hanya tinggal reruntuhan. Setelah rendezvous di Temanggung, satuan Brigade T bergerak ke Yogyakarta memperkuat induk pasukannya. Temanggung dijaga oleh Vossen Brigade (V-Brigade/Anjing NICA) dibantu serdadu kulit putih Koninglijke Landmacht (KL) hasil wajib militer di Belanda. Pasukan Belanda ini dipimpin oleh Mayor A. Van Zanten (Mei 1947-Juli
54
1949). Sebagian anggota pasukannya yang berjumlah sekitar 900 personil itu adalah orang Indonesia. Tentara pendudukan di Temanggung adalah bagian dari satu pasukan besar yang berkedudukan di Magelang. Resimen yang dipimpin Mayor Van Zanten ini berkekuatan tiga Batalyon infantry, satu kompi korps elit baret merah, ditambah kompi-kompi bantuan tempur artileri, kavaleri dan satuan anti serangan udara. Dengan tugas, selain melakukan pendudukan secara fisik, juga membentuk pemerintahan baru yang pro Belanda. Pasukan Mayor Van Zanten hanya menguasai Temanggung dan Parakan yang lumpuh. Tidak ada
birokrasi
sipil
yang bisa difungsikan
untuk
melegitimasikan pendudukan Temanggung. Para tokoh birokrasi menolak bekerjasama dengan tentara pendudukan dan memilih menyingkir ke pedalaman hingga akhirnya membentuk pemerintahan darurat di pedesaan. Di dalam kota yang tertinggal hanya orang-orang Tionghoa dan sejumlah birokrat yang tidak tahu apa yang harus diperbuat (Husni, 2008:242-244). Di dalam kota, tersebar beberapa anak-anak sekolah yang sengaja tinggal untuk memata-matai gerakan pasukan Belanda. Pasukan Belanda tidak menduga bahwa anak-anak tersebut bukanlah anak-anak sembarangan. Sebagian dari mereka adalah anak-anak Tentara Pelajar Gerak mundur dilakukan oleh Pimpinan Komando Daerah Militer (KDM) yang sekaligus merangkap sebagai Komandan Batalyon Teritorial Temanggung, Mayor Salmun. Bersama jajaran aparatur Pemerintah
55
Kabupaten dan beberapa Jawatan menuju ke lereng Sumbing selatan, ke Desa Ngawen, Tembarak. Secara hirarkhis mereka berada di bawah komandan SWK Mayor Bintoro. Markas tentara dan kantor-kantor darurat dibuka di rumah-rumah penduduk. Markas Polisi Temanggung mundur ke dukuh Kerokan desa Losari. Satuan Tentara Pelajar Brigade XVII sie Temanggung terpencar. Ada yang bergerak ke arah Tembarak, ada juga yang ke Kandangan mengikuti Komandan Seksinya Kapten Soetarto. Namun, pembentukan pemerintahan gerilya tidak disertai oleh Bupati Soetiwo yang memilih mengungsi ke Yogyakarta. Maka, Bupati Soetiwo dilengserkan dan diganti oleh patihnya yaitu R. Soemarsono. Ketika KDM pindah dari Ngawen ke Kemloko, Bupati R. Soemarsono juga ikut ke sana. Dari Kemloko selanjutnya KDM dan Bupati R. Soemarsono pindah ke Nglamuk Gunung, kemudian pindah lagi ke Petarangan. Perpindahan markas dan kantor Pemerintahan Kabupaten itu dilakukan dengan jalan kaki melalui jalan setapak, naik turun lembah jurang dan kadang-kadang harus berlindung dari intaian maupun gempuran dari pesawat udara maupun kejaran patroli-patroli Belanda. 3. Konsolidasi Angkatan Perang Setelah berhasil membumi hanguskan kota Temanggung, pasukan TNI dan pejuang segera melakukan konsolidasi. Konsolidasi pertama menghasilkan 4 keputusan. Pertama, membantu struktur komando/ organisasi. Kedua, membagi wilayah dan tanggung Jawab. Ketiga, membentuk pasukan mobil, dan keempat melakukan serangan mendadak,
56
penghadangan patroli Belanda, sabotase dan melakukan pengacauan di daerah yang diduduki Belanda (Gema, 2009:38). Temanggung masuk daerah STC II yang berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sarbini, meliputi Kedu dan Semarang Barat. Kekuatan 5 batalyon TNI dengan persenjataan lebih kurang 80%, serta berbagai pasukan lain, sehingga jumlah seluruhnya lebih kurang 6 batalyon infanteri. Tiga ―sub-wehrkreise‖ di utara, dipimpin oleh Mayor Akhmad Yani, Komando Brigade 9, dengan 3 batalyon infanteri dari brigade tersebut, Mayor Panuju untuk wilayah Temanggung-Kendal, Mayor Suryosumpeno untuk Magelang, dan Mayor Daryatmo untuk MuntilanSalaman. Dengan tiap komandan ―sub-wehrkreise‖ turut pula bupati atau patih yang bersangkutan yang memimpin staf urusan sipil dalam Pemerintahan Militer Kabupaten (―sub-wehrkreise‖), biasanya disertai pula kepala polisi dan beberapa orang kepala Jawatan kabupaten. Penyusunan organisasi teritorial berjalan cepat dan tenaga umumnya cukup.
Tenaga
pelajar
banyak
disebarkan
untuk
membantu
(Nasution,1979:46). Mayor Salamun selaku Komando KDM, dibantu oleh Kapten Yudomo selaku wakil Komando KDM ini membawahi OPI yang terbagi menjadi tiga. OPI I dipimpin seorang komandan Letnan Mutamat Siswanto. OPI II dipimpin Letnan Utoyo dan OPI III dikomandani oleh Letnan Trisno dan Nirboyo.
57
OPI I membawahi Operasi Distrik Militer (ODM) Temanggung dengan komandan Letnan Taryono, ODM Bulu dengan Komandan Letnan Darsono, ODM Tembarak dengan komandan Letnan Mardi Dembyak, ODM Pringsurat dengan Komandan Letnan Sumardi, dan ODM Kranggan dengan komandan Letnan Sutjipto yang diganti serma Sudarno. OPI II membawahi ODM Kaloran dengan komandan Letnan Tusi, ODM Kandangan dengan komandan Letnan Tamijis, ODM Kedu dengan komandan Letnan Janan, dan ODM Jumo dengan komandan Letnan Marsaid. OPI III membawahi ODM Ngadirejo dengan komandan Letnan Suwardikum, ODM Candiroto dengan komandan Letnan Permadi, ODM Tretep dengan komandan Letnan Sayuti dan ODM Parakan dengan komandan Letnan Hartono. Selain membentuk KDM-OPI dan ODM, TNI juga membentuk pasukan mobil. Pasukan Mukri yang merupakan pasukan mobil, memiliki kekuatan satu Seksi dengan senjata lengkap. Pasukan lainnya di bawah pimpinan Istanto, berkekuatan satu kompi dengan persenjataan lengkap. Pasukan Istanto dikenal sebagai kelompok yang sangat pemberani dan berdisiplin tinggi. Pasukan mobil juga memiliki satu seksi di bawah pimpinan Usmanpuger dengan persenjataan tidak lengkap. Tugas utama pasukan Usmanpuger adalah memberikan penerangan dan pembinaan kepada rakyat agar mereka tidak terhasut oleh pasukan Belanda. Pasukan
58
mobil lainnya adalah pasukan Cakra Buntung dengan persenjataan lengkap yang dimotori oleh 3 pasukan Jepang. Pasukan TP Temanggung terpencar, ada yang bergerak ke arah Tembarak, dan ada yang kearah Kandangan. Pasukan TP yang bergerak ke arah Tembarak segera melakukan konsolidasi bersama dengan pasukan lainnya. Anggota TP Temanggung terdiri dari S. Hadly, Moeljono, Anthon Saroso, dan anggota ALRI serta para pemuda mengundurkan diri ke selatan menuju Nglarangan, Pikatan Mudal, Botoputih dan Tagung untuk bergabung dengan
Komando Distrik Militer. Disana banyak anggota
tentara dan kendaraan roda empat yang tidak berfungsi. Pasukan gabungan ini terdiri kurang lebih 30 orang, tertahan di desa Greges Tembarak dengan kekuatan senjata sten, senjata Jepang, karabyn, dan granat tangan. Pimpinan kelompok tersebut diambil alih tiga orang anggota TP. Pohonpohon yang berada di tepi jalan ditebang untuk menjadi rintangan menghambat laju 1 batalyon pasukan Belanda. Serangan pertama Belanda diarahkan ke daerah Tembarak sampai ke utara, dengan menggunakan pasukan darat dan udara, masuk melewati Windusari Magelang. Akibat serangan ini, pertahanan republik di Greses hancur. Ada 2 orang ALRI dan seorang pelajar gugur dalam pertempuran ini. Setelah pertempuran di Tembarak, Moeljono dan Hadhy menuju ke daerah Bulu, sewaktu menuju daerah Gunung Sumbing bertemu dengan Pramono di daerah Tukbedoyo. Hampir setiap hari daerah ini mendapat serangan udara dan kanon dari daerah Temanggung. Sedangkan Anthon
59
Saroso terpisah dari mereka, yang pada akhirnya bertemu kembali di Desa Pete Kandangan. Pasukan TP sebelah barat menuju ke Kandangan, dipimpin Soemargo dan Abdulmajid mengundurkan diri dari kota melalui Mungseng. Tamat, Soeparno, Tjipto Darsono, Soekotko, membawa amunisi menuju Kentengsari. Di daerah Kedu S. Hadhy dan Moeljono yang bertugas di KDM membawa beras dari Desa Putat ke Gunung Sumbing untuk logistik tentara yang berada di daerah Bulu. Setelah ada kontak, S. Handly mencari induk pasukan di Kandangan dan bertemu dengan rekan-rekannya. Setelah pasukan TP berhasil terkumpul kembali, komandan TP Temanggung dipegang oleh Soetarto. Berdasarkan berbagai pertimbangan, Komandan KDM Temanggung Mayor Salamun mengambil satu keputusan yang berani yaitu menyerahkan operasional daerah Kedu, Kandangan, dan Jumo kepada Tentara Pelajar di bawah pimpinan Sutarto yang diberi pangkat Kapten Lokal. Daerah Kandangan dan sekitarnya yang merupakan daerah Sub sektor pimpinan Soetarto dengan kekuatan pasukan satu kompi dengan stoottroep dipimpin Goenawan dan ditambah bantuan pasukan dari tentara. Pasukan TP dipimpin Gunawan dengan kekuatan kurang lebih dua regu (30 orang). Pangkat yang diberikan padi KDM Temanggung pada Soetarto adalah Kapten Lokal dengan susunan staff sebagai berikut:
60
Komandan
: Soetarto
Kepala staf
: Abdoelmadjid
Anggota staff
: Soekarno HP dan Pratiwanto
Seksi-seksi
:
a. Goenawan dari TP b. Marsono Yacob dari TP c. Letnan Kliwon dari kompi Havik Suyono d. Letnan Pratikto dari kompi Havik Suyono Sub sektor berkedudukan di Kandangan, sedangkan daerah teritorinya meliputi Jumo, Kandangan, Pingit, Pringsurat. Daerah operasional
meliputi
daerah
Temanggung,
perbatasan
kabupaten
Temanggung dengan Semarang/Ambarawa. Sub sektor Kandangan di bawah Komando Distrik Militer yang berkedudukan di daerah Kledung Gunung Sumbing bagian utara di bawah pimpinan Mayor Salamun bekerja sama dengan instansi militer lain yaitu OPI setingkat pemerintahan militer kawedanan. Kerja sama antara OPI II pimpinan Bambang Oetoyo dengan instansi militer sub sektor Kandangan terjalin dengan baik berkat dukungan dari rakyat setempat dan usaha mereka sendiri. Penyusunan pemerintahan gerilya di onderan-onderan telah melanjut, siap sebagai pangkalan perang gerilya selama waktu yang diperlukan. Serangan malam, penghadangan, perusakan jalan, kanonade, tembakan senapan mesin dan sebagainya telah menjadi kebiasaan bagi rakyat desa (Nasution,1979:58).
61
D. Perang Gerilya Sesuai dengan Perintah Siasat Nomor 1 Panglima Besar untuk semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda, maka tidak akan dilakukan pertahanan linier dengan pertimbangan bahwa dengan perang konvensional tidak akan berhasil mengalahkan Belanda. Keunggulan Belanda dalam persenjataan harus dihadapi dengan perang gerilya yang inovatif. Tujuan dari perang gerilya adalah melelahkan, mengacaukan, dan mengikis kekuatan musuh. 1. Perlawanan Gerilya Serbuan kilat (doorstoot) serdadu NICA ke Yogyakarta ternyata tidak mampu merobohkan Republik Indonesia dan TNI. Tentara Belanda hanya menduduki kota-kota Republik sampai ke tingkat distrik (kawedanan), dan menempatkan pos militer di berbagai titik. Tapi, beberapa ratus meter saja dari pos-pos terdepan tentara Belanda, pemerintahan desa berjalan seperti biasa (Simatupang, 1960:55). Laras senapan, moncong meriam, aksi intimidasi, bahkan tindakan oleh tentara kolonial, tidak membuat masyarakat desa berpaling dari kesetiaannya kepada pemerintahan Republik. Di belakang wajah ramah penduduk desa, satuan-satuan TNI berlindung dan berkonsolidasi. Setelah mengamati pola-pola tekanan militer musuh, mereka paham bagaimana harus menghindar dari intaian patroli udara, dan paham kemana harus bergerak ketika posisinya dihujani tembakan artileri. Dari Tembarak, Letkol Ahmad Yani berkeliling
62
meninjau kesiapan pasukannya di berbagai front dengan mengendarai kuda putihnya. Seperti yang ditulis Nasution (1989:232) bahwa: ―Fase perang gerilya di berbagai daerah meningkat sejak Maret 1949, serangan-serangan kepada Belanda terjadi di Solo, Magelang, Temanggung, Wonosobo, begitu pula dengan kota-kota lain di Karesidenan Banyumas, Pekalongan dan Pati. Pada bulan Maret pula, satuan-satuan Siliwangi sudah siap beraksi di Jawa Barat. Mulai dari Serang, Bogor, Sukabumi, hingga Cirebon, mengalami serangan hebat dari pasukan gerilya RI.‖ Pertempuran terjadi di Temanggung, sepanjang bulan Februari, Maret dan April 1949, merupakan masa-masa Brigade 9 pimpinan Letkol Ahmad Yani gencar melakukan serangan. Pada tanggal 1 Februari 1949 kota kabupaten Temanggung mendapat giliran serangan Gerilya. Beranggotakan 15 orang tentara dan 10 orang TP menargetkan menyerang stasiun kereta api di kampung Banyuurip. Pasukan gerilya menyerbu ke dalamnya dan melakukan pengacauan selama sejam (Nasution,1979:48). Selain membuat pukulan fisik dan mental kepada lawan, serangan itu juga dimaksudkan untuk memberi peringatan kepada masyarakat yang berani mencoba-coba menjadi kaki tangan Belanda. Pada tanggal 28 Februari kompi Sukarno dari Batalyon Bintoro menyerbu Parakan, serangan dilakukan pada malam hari dengan target pos militer Belanda. Baku tembak berlangsung selama tiga jam, beberapa prajurit Belanda dilaporkan tewas dan di pihak TNI tidak ada korban jiwa, beberapa terluka dan sepucuk mitraliur hilang. Pada tanggal 25 Maret 1949
penjagaan
musuh
di
jembatan
Kali
Progo
ditembaki
(Nasution,1979:50). Pada 5 Mei 1949, sebuah truk berisi personil militer
63
Belanda dihancurkan oleh TNI di Nguwet Temanggung (Husni, 2008:272). Sementara itu penghadangan di jalan raya terhadap lalu lintas musuh selalu dilakukan oleh pasukan gerilya. Aksi ini sangat melelahkan pasukan Belanda (Nasution,1979:51). Nasution (1979:54) menulis dalam bukunya: ―Kejadian-kejadian seperti ini diselingi pertempuran patroli yang terus menerus dari hari ke hari walaupun kita mengambil taktik menghindarinya. Disamping itu kita melakukan serangan secara kecil-kecilan dengan tujuan menculik atau menghukum mata-mata musuh yang sudah kita kenali. Dalam pada itu musuh menggiatkan pertempuran patroli sepanjang hari, karena mereka tahu bahwa hanya dengan aksi demikianlah mereka dapat mempersempit ruang gerak pasukan gerilya yang sering tidak terlihat itu.‖
Bersama dengan TNI, Tentara Pelajar juga berjuang di kawasan Temanggung, ada beberapa kisah perjuangan TP dari buku Hady Gintong, ex. TNI Brigade XVII TP Temanggung ―Data Perjuangan TNI Brigade XVII TP Temanggung tahun 1945-1951‖: a. Pasukan TP bersama Havik Soejono Perintah pertama TP datang untuk S. Hadhy yang Gedetacheerd ke daerah Pringsurat di pasukan Havik Soejono. TP diperbantukan di kompi Hawig Soejono, ikut dalam serangan di Kranggan dengan melakukan pencegatan patroli di daerah Purwosari yang waktu itu mendapat serangan Belanda dengan membakar rumah, sehingga terjadi kontak senjata. Markas kompi Hawig Soejono dan TP berpindah-pindah dari desa Pocung, Gowak, Karangwuni, Jeketro, dan di dekat pasar Piyatak Pringsurat.
64
Suatu hari mereka mendengar informasi bahwa patroli polisi Belanda dari Banaran sedang menuju pasar Piyatak dengan kekuatan satu regu. Kapten Wignyo dari kompi Havik Soejono mengadakan pencegatan dan terjadilah kontak senjata yang berhasil menjatuhkan korban di pihak Belanda. Penyerangan pasukan ke Kranggan bersama kompi Havik Soejono, berhasil memporak-porandakan pos Belanda di jembatan Kali Progo Kranggan yang berkekuatan satu kompi. Pasukan ini masuk dari Kenalan melalui jalan-jalan di sekitar pasar Kranggan. Pasukan Belanda bertahan di jembatan dengan mengarahkan tembakan ke
gorong-gorong. Gorong-gorong
yang membujur
sepanjang jalan menjadi tempat strategis untuk berlindung pasukan TP sehingga terhindar dari tembakan Belanda. Beberapa bulan bertugas di daerah Pingit, TP sering mengadakan rapat keamanan setempat dengan ODM pimpinan Letnan Soemardi
untuk
mendiskusikan
tentang
siasat,
logistik,
dan
penyerbuan. Bantuan TP Pringsurat bertemu dengan kelompok Goenawan yang sudah cukup lama tugas Gedetacheerd, dan akhirnya ditarik ke Kandangan untuk memperkuat induk pasukan TP. b. Pasukan TP yang bertugas menjadi mata-mata Pasukan TP ada yang sengaja ditinggalkan di dalam kota untuk menjadi informan di dalam kota. Tugas menjadi penghubung tidak ringan terutama yang berada di dalam kota, karena beresiko
65
tertangkap oleh pasukan Belanda. Anggota TP yang berada di dalam kota antara lain: Tamat, Sardjono, Tjipto Darsono, Soekotjo, Moelyono, dan lain-lain. c. Desa Jengkeling, pencegatan patroli Belanda dengan TP yang pulang patroli Pukul 10.00 pasukan TP mendengar kabar Patroli Belanda sedang menuju Temanggung dari Kandangan berkekuatan satu peleton. Pasukan TP yang kebetulan sedang menempati pos di desa Bero kemudian mengatur siasat. Pasukan TP dipimpin Goenawan berkekuatan dua regu telah menempatkan anak buahnya di sebelah kiri jalan gumuk sehingga menghadap ke jalan Kandangan-Temanggung. Dari kejauhan terlihat pasukan patroli Belanda, pasukan TP bersiap-siap mengadakan serangan. Goenawan membuntuti jalannya patroli hingga ke jembatan Jengkeling yang waktu itu pernah di bom oleh TP sehingga kondisi jembatan miring di sebelah timur dan mencuat di sebelah barat. Jadi apabila patroli lewat mereka harus merangkak naik. Pada saat patroli melewati jembatan, terdengar tembakan dari Goenawan sehingga patroli tersebut kalang kabut dan banyak jatuh korban. Pertahanan TP berada pada posisi yang unggul karena di daerah yang lebih tinggi. Tembakan ke arah patroli Belanda gencar ditambah dengan tembakan tekadante yang dibawa oleh Soeparno semakin memporak-porandakan pertahanan patroli Belanda.
66
Akhirnya patroli Belanda mundur ke sebelah gumuk lalu kembali ke Temanggung. Di kubu pasukan TP tidak satupun jatuh korban. d. Pertempuran di desa Balon, Citran, dan Bledu Kandangan Pukul 06.00 WIB, ada informasi yang mengatakan patroli Belanda dari jurusan Kedu melalui sungai Citran menuju Kandangan lewat Bledu, Balun, Duwek, dengan kekuatan 1 seksi (60 orang). Senin wage malam, pasukan TP pimpinan Goenawan berjumlah 1 peleton dan anak buah kompi Havik Soejono telah menempati pos di desa Citran, menunggu datangnya patroli Belanda sesuai dengan informasi yang diterima pada pagi harinya. Pasukan TP telah mengatur siasat dengan menempatkan personil di atas sebuah gumuk (bukit kecil) yang terdiri dari: Goenawan, Soehadi Tutuk, Soeparno, Pramono, dll. Dan di bawah gumuk, di sawah yang menghadap ke arah jalan Kandangan, sepanjang tepi jalan di tempatkan Rahadijono, Kadar, Mardi, dll. Senjata Watermantel dibawa Koep salah seorang anak buah Havik Soejono mengambil posisi di gumuk, komando serangan dilakukan Goenawan dengan senjata GRI-nya. Setelah patroli Belanda menyeberang dan sampai di daerah timur sungai di tempat yang datar, mereka beristirahat. Goenawan mengawali serangan dengan menembakkan senjatanya tiga kali berturut-turut dan berhasil mengenai sasaran, hingga tembakan yang ke sepuluh senjatanya macet. Setelah itu disusul tembak-menembak
67
sehingga terjadi pertempuran sengit diantara kedua belah pihak. Tembakan wartermantel Koep menjadi incaran serangan Belanda karena tidak henti-hentinya menembak. Koep terkena pecahan mortir di bagian kaki dan mengundurkan diri ke arah timur. Soemardi sempat tertembak di bagian perut ketika berada di sebelah sungai Citran. Berbeda dengan Kadar, yang baru berlari ke sebelah gumuk, kurang lebih 50 meter dan terkena tembakan sehingga gugur di tempat. Pertempuran berjalan cukup lama dari pukul 07.00 – 13.00 WIB. Pertempuran ini banyak menghabiskan peluru dan berakhir dengan tercerai-berainya sebagian pasukan. Ada yang lari ke arah timur dan lainnya ke arah barat menyelamatkan diri menuju ke arah Gesing. Sedangkan Belanda sendiri masih berada di Kandangan hingga pukul 17.00. Pukul 17.30 setelah Belanda kembali ke Temanggung, pasukan TP di bawah pimpinan Goenawan mengadakan konsolidasi di desa Gesing. Setelah konsolidasi, mereka melaporkan keadaan itu kepada pasukan Soekarno, tetapi tidak mendapat tanggapan. Jenazah Kadar dan Soemardi dibawa oleh rakyat ke desa Pete untuk diinapkan di rumah pak Kaum (pemuka agama di desa). Malam itu pasukan TP tetap berjaga, dan pagi harinya mendapat kabar bahwa pasukan KNIL beranggotakan 100 orang menuju Kandangan. Segera pasukan TP mengadakan steeling di sekitar desa Pete. Patroli Belanda masuk ke desa Kembangsari dan Pete. Mereka membakar rumah
68
Djono yang diduga sebagai markas TP karena bentuknya yang besar. Sementara jenazah Kadar dan Soemardi masih berada di rumah pak Kaum, tetapi dibiarkan saja oleh Belanda karena pak Kaum mengatakan bahwa kedua jenazah tersebut adalah anaknya yang meninggal. Setelah Belanda meninggalkan rumah Djono yang terbakar pada sore harinya, pasukan TP mengadakan pemakaman sederhana. Markas pasukan TP sempat berpindah-pindah ke daerah Sodong, Gesing, Krengseng, dan tempat-tempat yang lain berputarputar di kecamatan Kandangan. e. Penyusupan ke patroli Belanda di Selopampang dengan korban Kasiran Kira-kira bulan Maret 1949 pukul 18.00 wib pasukan TP yang dipimpin Komandan Sub Sektor Soetarto memerintahkan kepada pasukannya untuk melakukan serangan ke kota Temanggung dari arah utara. Berangkat dari Kandangan dengan pasukan berkekuatan ± 1 kompi lebih terdiri dari pasukan pimpinan Goenawan, Marsono Yacop, Letnan Kliwon, Pratikto. Dari Kandangan menuju Maron, pasukan Goenawan sudah siap di dekat lapangan Maron. Pasukan yang akan menyerang kota bersenjatakan 1 watermantel, kekikjoe senjata otomatis Jepang, tekidanto, dan senjata laras panjang lainnya, serta granat tangan. Sebagai seko penunjuk jalan ditunjuk Pramono dengan membawa tekidanto sedangkan S. Hadhy membawa pistol sebagai tanda dimulainya penyerangan.
69
Pasukan lain mengikuti dari belakang, sesampainya di Tepungsari pasukan berhenti. Pramono dan S. Hadhy menyiapkan tekidanto untuk diarahkan ke kota sebagai tembakan pertama. Namun sampai tiga kali percobaan peluru gagal ditembakkan/macet, padahal peluru hanya ada 5 buah. Saat itu sudah menunjukkan pukul 21.00 wib, akhirnya dilaporkan kepada komandan kejadian macetnya senjata tersebut. Keputusan terakhir pasukan diperintahkan mengundurkan diri menuju Kentengsari daerah Magelang. Pasukan
mundur
teratur
menuju
Maron,
Demangan,
menyeberangi Kali Kuas belakang RSU, lalu naik ke desa Tlogorejo, Kebonsari, Sriwungu, kemudian menyeberang jalan TemanggungBulu, Balerejo, Kerokan, Greges, Tagung, Menggoro, Kecepit, Selopampang, terus ke Kentengsari daerah Magelang. Pasukan yang sudah sampai dan beristirahat di Kentengsari diantaranya pasukan pimpinan Letnan Kliwon, Goenawan, Marsono Yacob, Pratikto yang tiba di Kentengsari ± pukul 02.00 wib. Sedangkan regu yang dipimpin Soeparno masih tertinggal dan menempati pos di Selopampang. Pagi hari ± pukul 05.00 wib regu yang berada di Selopampang mengadakan patroli ke Selopampang. Setelah tiba di sebelah rintangan/barikade yang masuk desa Selopampang, terdengar sapaan/teguran oleh suara asing. Teguran tersebut dijawab Soehadi Tutuk. Ternyata jawaban itu dibarengi balasan tembakan sten, menyebabkan patroli TP berpencar ke sebelah
70
selatan papringan, sedangkan patroli Belanda juga terpencar. Kekuatan musuh ± 1 peleton. Mendengar tembakan beruntun, pasukan yang ada di Kentengsari membuat siasat membujur dari kelurahan sampai ke kuburan yang memanjang dari sebelah timur hingga barat gligir/punggung gunung, karena perbatasan dilalui oleh sungai kecil dan kedudukan desa sama-sama di punggung gunung yang dibatasi jurang. Pasukan Belanda terlihat jelas dari Kentengsari dengan iringiringan membawa semua laki-laki untuk tawanan. Kasiran dan seorang anak buah Letnan Kliwon diperintahkan oleh Goenawan untuk menyelidiki dan menghubungi pasukan yang berada di sebelah atas Pasar Selopampang agar pasukan TP dan anak buah Kliwon bisa mengambil
siasat.
Akan
tetapi
sebenarnya
pasukan
TP
di
Selopampang sudah lebih dahulu tahu dan mengadakan patroli. Kasiran dan anak buah Kliwon terlanjur masuk ke daerah pasar Selopampang. Keberadaan mereka diketahui patroli Belanda yang telah terlebih dahulu datang dan menempati pos yang lokasinya lebih tinggi. Belanda menyergap Kasiran dan anak buah Kliwon untuk dimintai keterangan tentang pasukan gerilya. Akhirnya terjadi pergulatan sengit antara Kasiran dengan KNIL Belanda. Kasiran tidak bersenjata, karena bukan anggota pasukan melainkan tenaga logistik. Tetapi karena adanya rencana penyerangan ke kota malam itu, maka turut dan diberi tugas sebagai seko ke Selopampang. Dalam pergulatan
71
yang tidak seimbang, Kasiran tertembak di tangan kanan akibat tangkisan dan menembus kepalanya. Sedangkan anak buah Kliwon lari ke pangkalan Kentengsari dan melaporkan kejadian tersebut kepada Komandan Soetarto. Sebenarnya
pasukan
yang ada
di
Kentengsari
akan
mengadakan serangan balasan, akan tetapi diurungkan dengan pertimbangan menghindari korban dari rakyat. Kejadian yang paling menjengkelkan adalah sewaktu melihat patroli Belanda yang membawa tawanan wanita dan memperkosanya di Langgar sebelah atas desa Selopampang. Patroli Belanda kembali ke Temanggung melalui Desa Gambasan Tembarak pukul 14.00 wib dan dihadang oleh pasukan Soekri, jumlah korban tidak diketahui. Setelah Belanda pergi, jenasah Kasiran diambil dan dikebumikan di Kentengsari. S. Hadhy ditugaskan
untuk
mengurus
pemakaman
dan
mengucapkan
terimakasih kepada rakyat Kentengsari atas bantuannya mengambil jenasah Kasiran. f. Serangan TP ke Bantir markas Belanda Soemowono pimpinan Soetarto Kira-kira bulan Mei 1949, pasukan TP dipimpin langsung oleh Soetarto merencanakan penyerangan ke markas Belanda di Bantir Soemowono yang masuk wilayah kabupaten Semarang dengan kekuatan satu batalyon. Berangkat dari Kandangan menuju Kaloran
72
melalui Rowoseneng, Rowobrebet, Alas Sapu Angin dan beristirahat di Kaloran selama satu hari. Pada malam hari berangkat menuju Soemowono melalui Kalimanggis, Nglamuk, Ngoho yang merupakan desa tertinggi dan merupakan perbatasan kabupaten Temanggung dengan
kabupaten
Semarang.
Pertempuran
dimulai
dengan
penghancuran Jembatan Nglayan oleh tentara TP, sehingga meletuslah pertempuran dengan Belanda di Bantir. Namun, karena pasukan TP belum mengusai medan apalagi malam hari dan kekuatan yang dimiliki tidak sebanding dengan musuh, maka untuk menghindari korban yang lebih banyak, pasukan TP mengundurkan diri ke Kaloran. Ternyata rencana pengunduran diri ke Kaloran diketahui pihak Belanda. Melalui komunikasi radio berita pengunduran TP dari Sumowono menuju Temanggung diteruskan ke pasukan Belanda di Temanggung. Pasukan Belanda dari Temanggung menghadang sisasisa anggota TP yang mengundurkan diri. Kondisi pasukan TP kelelahan dan tidak menguntungkan, tercerai berai dan terpencar masuk ke hutan dan ladang-ladang. Dampak dari pertempuran Bantir Sumowono menyebabkan turunnya moril Belanda karena keberhasilan TP menghancurkan beberapa jembatan dan memutuskan kawat telepon. Dipihak pasukan TP, banyak anggotanya yang ditawan Belanda. Pada serangan Bantir
73
turut ambil bagian juga pasukan lain seperti CPM pimpinan Kartono, PGR (Pasukan Gerilya Rakyat) Ronggo Kondang Kaloran. Kekuatan kesatuan TP semakin lama semakin bertambah dengan pengalaman dan sepakterjang di lapangan yang semakin sering untuk menghadapi Belanda. Daerah operasionalnya semakin meluas meliputi seluruh wilayah kabupaten Temanggung. Selain melakukan pertempuran, sebagai komandan TP Soetarto juga membuat kebijakan yang menyulitkan pihak Belanda. Pertama, pasukan Soetarto melakukan Gerakan Politik dan Ekonomi (Gapolek). Yaitu melakukan blokade politik dan ekonomi dengan cara mencegah warga desa agar tidak menjual hasil panen serta tidak berhubungan dengan Belanda. Gerakan ini diserahkan sepenuhnya kepada Marsono dan Goenawan. Kedua, Tentara Pelajar dengan dukungan penuh pasukan yang tergabung dalam TNI , melakukan operasi pembersihan mata-mata (Bekti, 2012:60-61). 2. Bantuan Rakyat Temanggung Rakyat yang menyadari hakekat kedaulatan bernegara, merdeka dan bebas dari jajahan ikut berjuang bersama tentara republik yang bertahan
di
kantong-kantong
gerilya
dan
pemerintahan
dalam
pengungsian. Bantuan dari rakyat sangat besar, tanpa mereka pasukan tentara republik tidak mampu berbuat banyak. Bantuan rakyat itu merupakan suatu komponen (satu subsistem) dan selanjutnya dipadukan dengan komponen tentara (subsistem yang lain), sehingga subsistemsubsistem itu berkembang menjadi sistem pertahanan rakyat yang kukuh.
74
Hal itu semula dianggap sepele oleh Belanda yang terlalu berfikir konvensional dan kurang memperhitungkan hal tersebut. Dengan bertolak dari sistem pertahanan rakyat, TNI dapat merebut dan memelihara inisiatif dalam perlawanan gerilyanya serta tumbuh semakin kuat dan tidak mudah dihancurkan (Himawan, 2006:324). Pasukan TNI dan pejuang Temanggung secara gencar menyerang garis perhubungan, garis logistik, pos, dan patroli Belanda. Bantuan yang diberikan penduduk berupa makanan, intelijen, petunjuk-petunjuk jalan, kurir, pasukan territorial ―pager desa‖, dan early warning system (sistem peringatan dini) apabila ada gerakan pasukan Belanda. Bantuan-bantuan itu memungkinkan pasukan gerilya semakin mengembangkan inisiatif. Rintangan-rintangan di jalan pendekat yang dipasang rakyat semakin berat dan semakin sempurna dan terutama taktik gerilya TNI semakin canggih (Himawan, 2006:341). a.
Rakyat berperan dalam melindungi satuan-satuan TNI ketika mereka dikejar pasukan musuh. Petani di sawah atau ladang, penggembala kerbau, anak-anak penyabit rumput, adalah tenaga-tenaga sukarela bergegas melapor saat melihat gerakan patroli Belanda mendekat ke tempat-tempat
persembunyian
tentara
republik.
Seperti
yang
dikisahkan Sulilo SA ketika bersama ketiga rekan pejuangnya saat berada di daerah Gunung Sumbing. Saat itu Belanda menembakkan Kanon dari daerah Kranggan ditujukkan ke desa Tlilir kecamatan Tembarak. Susilo SA dan ketiga rekannya bersepakat untuk turun dan
75
bergabung dengan rekan-rekan TP mereka di Kandangan. Sekitar pukul 16.00, turun dari Sumbing ke Kandangan melalui desa Danupayan menuju ke daerah Kedu. Karena sudah malam, Susilo meminta ketiga rekannya ikut bermalam di Makukuhan rumah Susilo, tetapi ditolak. Perjalanan kembali dilanjutkan, pada malam hari sampai di desa Gondangwayang dan beristirahat di masjid. Pagi hari, Belanda mengadakan patroli ke Kedu dan sekitarnya. Susilo SA bersama tujuh orang penduduk ditangkap dan dibawa ke kantor kelurahan Kedu. Ketika Lurah Kedu diminta konfirmasi tentang keberadaan Susilo di desanya, mengatakan bahwa Susilo SA adalah anaknya yang masih bersekolah. Susilo dilepas oleh Belanda, tetapi nasib ketujuh orang lainnya tidak diketahui (Asiatno, 2008: 97-98) b.
Penduduk Temanggung dengan suka rela membantu tentara dengan menyediakan dapur umum dan tempat menginap. Mantan Lurah Medari, Ngadirejo, Sudarman (almarhum) mengatakan sangat malu apabila harus menjual beras hasil panen kepada tentara. Menurut Sudarman, di awal 1949, hasil panen musim hujan di Medari dan Ngadirejo pada umumnya sangat bagus. Apalagi, kehadiran satuan TNI di satu desa tidak cukup lama. Dua tiga hari, setelah beristirahat, mereka bergerak, dan datang kembali setelah sekian pekan. Dengan begitu, sumbangan untuk tentara tidak memberatkan rakyat. Apabila tentara meminta masakan spesial, seperti sate kambing, mereka membelinya dengan ORI (Husni, 2008:275).
76
c.
Keramahtamahan dan bantuan dari rakyat juga dirasakan istri Letkol A. Yani ketika ikut mengungsi ke daerah Tembarak, Temanggung. Perjalanan yang cukup berat karena membawa dua puteri dan seorang bayi. Tapi, merasa selalu dibantu penduduk desa di sepanjang perjalanan. Bahkan, ketika beristirahat di Desa Mantenan, Tembarak, warga menyiapkan tempat tinggal yang dianggap layak untuk istri komandan tanpa dipungut biaya. Ketika tentara Belanda datang mencari keluarga Letkol A. Yani, tidak ada penduduk desa yang berbicara, meski diancam dengan laras senapan (Husni, 2008:275).
d.
Komunikasi antara kesatuan-kesatuan dan pemerintah dilakukan dengan jasa kurir seorang rakyat dengan berjalan kaki karena mereka ada di gunung, sedangkan di daerah pinggiran sering dilewati patroli Belanda. Hubungan ini bisa dilakukan secara langsung maupun tundan. Ada juga penghubung yang berada di dalam pendudukan Belanda (di kota), yang juga sering memberi bantuan obat-obatan, alat tulis kantor, serta beberapa informasi kekuatan Belanda. Beberapa sukarelawan yang rutin memberikan batuan material di Temanggung yaitu Thomas dan istrinya (guru SMP Negeri Temanggung), Asisten Suparman, Dokter Said, Kepala Polisi Sardjo (Bekti, 2012: 68). Diluar bantuan tenaga, support moril, pasokan bahan pangan, dan
perlindungan fisik, sumbangan yang tidak ternilai dari rakyat Temanggung adalah rakyat rela mempersembahkan putra-putri terbaik mereka untuk perjuangan mempertahankan kemerdekaan (Husni, 2008:276).
77
3. Tragedi Kali Progo Kejahatan Perang oleh Belanda terjadi hampir di setiap tempat yang diduduki, termasuk di Kabupaten Temanggung. Tidak sedikit warga Temanggung
yang bekerja sebagai mata-mata tentara pendudukan.
Motifnya macam-macam, ada yang tergiur iming-iming bahwa kalau TNI dan RI berhasil dimusnahkan secara militer oleh serdadu NICA, kelak akan mendapat kedudukan dalam Negara Indonesia Serikat (NIS). Ada pula yang melakukan secara terpaksa, karena satu atau beberapa anggota keluarga ditahan dan diancam akan dibunuh apabila tidak mau menunjuk orang atau kelompok yang terkait dengan kelompok pejuang. Hal paling jahat adalah mereka yang memberikan info (yang mungkin juga asalasalan) karena motif ekonomi. Tidak heran bila banyak rakyat tidak berdosa menjadi korban. Pejuang atau rakyat yang ditangkap oleh militer Belanda umumnya digelandang ke Gedung Inlichtingen Veiligheids Groep (IVG/Badan Penyelidik Pemerintah Militer Belanda). Di Gedung IVG tahanan diinterogasi dan disiksa. Sebagian besar diangkut ke jembatan Progo, Kranggan kemudian dieksekusi. Eksekusi dilakukan dengan tembakan, dan tusukan bayonet. Setelah rebah tidak berdaya tubuhnya ditendang agar jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus. Kekejaman pasukan Belanda mulai dilakukan sehari setelah Belanda menduduki Temanggung.
78
Berdasarkan kesaksian Moh Dimyati (Bekti, 2012:13), ruang penahanan yang tidak luas, dijejali oleh sekitar 40 orang. Kondisi tahanan sangat memprihatinkan karena adanya siksaan yang luar biasa serta keadaan ruang tahanan yang kotor. Bahkan pada malam hari, kebutuhan biologis buang air kecil dan besar dilakukan di tempat yang sama. Komandan IVG adalah Letnan Van Der Zee. Mereka melakukan penangkapan terhadap warga yang dicurigai sebagai pemberontak, dalam melakukan aksinya Letnan Van Der Zee mendapat dukungan dan bantuan penuh dari seseorang yang bernama Go In Liem. Selain Go In Liem, ada juga beberapa mata-mata Belanda yang berhasil ditangkap dan dihukum, diantaranya: a. Mata-mata Belanda yang berhasil ditangkap di daerah Banaran Bulu, sebanyak lima orang. Setelah diintrogasi mereka terbukti positif sebagai mata-mata dan dieksekusi oleh Soetarto. b. Setelah serangan di Gowak, berhasil menangkap seorang pria. Ketika malam hari diintrogasi oleh Kapten Wignya, Marsono, dan S. Hadli, ternyata berasal dari Pasar Kidul Temanggung dan positif sebagai mata-mata Belanda. Akhirnya dieksekusi oleh Yacob Marsono. c. Januari 1949, ketika banyak pertempuran di daerah Kedu tentara berhasil menangkap tiga orang mata-mata Belanda yang akhirnya dipenggal dan kepalanya di letakkan di tiga tempat berbeda yaitu di Pasar Kedu, Pasar Bulu, dan Pasar Ngelo Kedu.
79
Tindakan untuk membunuh para mata-mata tersebut merupakan tindakan yang wajar di masa perang karena begitu banyak kerugian republik karena mereka, diantaranya adalah tragedi yang terjadi di Kali Progo. beberapa kisah pembataian Kali Progo antara lain: a.
Mayor Sarno Samsiatmojo Salah satu korban pembantaian di jembatan Kali Progo adalah Mayor Sarno Samsiatmojo. Mantan (salah satu) komandan batalyon pada resimen 9 divisi III Diponegoro yang dilikuidasi setelah program reorganisasi dan rasionalisasi TNI. Awal tahun 1949, satuansatuan tentara Belanda datang ke rumah orang tua Sarno Samsiatmojo di Desa Nglarangan, Kedu. Pasukan mengambil posisi mengepung dengan senjata terkokang. Sarno Samsiatmojo tidak melakukan perlawanan ketika ditangkap dan dibawa ke atas truk. Bukan saja tidak
bersenjata,
tapi
Sarno
khawatir
perlawanannya
akan
membahayakan anggota keluarga. Sejak itulah Mayor Sarno Samsiatmodjo tidak pernah kembali ke keluarganya. Masyarakat Temanggung percaya bahwa Mayor Sarno Samsiatmodjo termasuk salah satu korban, yang dieksekusi di Jembatan Sungai Progo, Kranggan. b.
Sukomiharjo (Suko) Salah satu korban yang lolos dari maut di Kali Progo adalah Sukomiharjo (Suko), pria asal Kowangan, Temanggung. Suko adalah salah satu pemuda yang menjadi perangkat Desa Kowangan. Seperti
80
penduduk desa lainnya, warga Kowangan juga siap membantu pasukan TNI di medan gerilya dengan membangun dapur umum. Suko mendapat tugas membawa ransum untuk anggota TNI, yang saat itu sedang bermarkas di seberang Progo tidak jauh dari Desa Walitelon. Sambil mengantar makanan, Suko melaporkan situasi Temanggung kepada para pemimpin tentara. Kegiatan Suko diketahui oleh Belanda. Suatu siang Suko ditangkap oleh tentara Belanda dan dibawa ke kamp tawanan di Temanggung. Empat hari empat malam Suko mengalami siksaan hebat. Karena dianggap tidak berbahaya, Suko mendapat kepercayaan sebagai koordinator tahanan. Tidak perlu waktu lama bagi Suko untuk memahami satu hal bahwa para tahanan yang digunduli rambutnya, pada esok hari dibawa dengan traktor keluar kamp dan tidak pernah kembali. Suko juga menyimpulkan, mereka dibunuh di Kali Progo. Kisah eksekusi di Kali Progo sudah merebak sebelum Suko ditangkap. Setiap kali mendapati ada tawanan yang digunduli, Suko membantu agar kabur meloloskan diri malam itu juga. Beberapa tawanan berhasil lolos. Akhirnya Belanda mengetahui sepak terjang Suko. Suatu hari Suko digunduli dan tidak bisa mendapatkan kesempatan untuk kabur. Sekitar pukul 16.00 WIB, bersama tiga tawanan lain, Suko diangkut dengan traktor ke arah Jembatan Progo di Kranggan. Keempat tawanan disuruh berdiri berjejer kemudian pasukan Belanda menembak meresa satu-persatu, pada suara
81
tembakan yang kedua Suko menjatuhkan diri ke sungai, dari ketinggian sekitar 15 meter. Suko berpegangan pada salah satu jenasah korban agar tidak tenggelam dan akhirnya selamat. Setelah suasana aman baru Suko kembali ke Kowangan (wartawan Wedy Utomo, laporan Harian Tempo, Koran Semarang Desember 1964). c.
Tjiptodarsono Tjiptodarsono ditahan karena ketahuan sebagai anggota Brigade XVII Tentara Pelajar (TP) yang beroperasi di Temanggung. Sebagai anggota TP, Tjiptodarsono bersama teman-temannya sering menghadang patroli-patroli tentara Belanda di sekitar Temanggung. Suatu kali Tjipto tertangkap dan ditawan. Dalam penuturannya ke Harian Tempo, Tjipto mengatakan terus bungkam ketika diinterogasi. Begitu marahnya para serdadu Belanda sampai kedua kaki dan tangannya Tjipto diikat dengan tali yang kemudian ditarik ke arah empat sudut. Siksaan dimulai, Tjipto dipukul, dicambuk dan dicocok dengan api. Beruntung Tjipto berhasil lolos dari kamp tersebut dan bergabung kembali bersama pasuka TP (Husni, 2008;285).
d.
Moh. Sholeh Moh. Sholeh sempat menjabat sebagai sekretaris OPI yang mengkoordinator wilayah ODM Kedu, Kandangan dan Jumo. Pagi hari tanggal 2 Februari 1949, setelah pengacauan semalam di stasiun kereta api di kampung Banyuurip oleh pasukan gabungan Tentara dan
82
TP, Moh. Sholeh berada di desa Kedungumpul (Kandangan) untuk melakukan persiapan menyambut rekan-rekannya. Di sebuah warung, sekitar pukul 06.30 WIB, tiba-tiba datang seseorang yang menanyakan apa yang sedang dilakukan oleh Moh. Sholeh. Tanpa curiga Moh. Sholeh mengatakan sedang menunggu teman-temannya. Orang itu kemudian berlalu ke arah Kedu. Setelah lama menunggu dan belum ada yang datang, Moh. Sholeh bersama dengan ajudannya Marsono dan Lurah Kedungumpul berencana menyusul ke Walitelon. Di perjalan, mereka dicegat dan dikepung pasukan Belanda. Mereka sempat melarikan diri di bawah berondongan tembakan. Di desa Ngebel, Moh. Sholeh sempat membuang pistolnya ke sebuah sumur. Sesaat kemudian Moh. Sholeh dan Marsono tertangkap pasukan Belanda, sedang Lurah Kedungumpul sempat melarikan diri dan masuk perkampungan. Saat ditangkap, Marsono masih membawa granat. Mereka berdua akhirnya dibawa ke Temanggung melalui Kedu-Parakan-Bulu. Disepanjang jalan mereka disiksa. Sesampainya di Temanggung, mereka dimasukkan di sebuah sel di IVG. Di dalam ruangan sel penuh terisi, diantaranya ada anggota pasukan Siliwangi, ALRI dan beberapa rakyat yang dicurigai sebagai pemberontak. Pada malam hari, penyiksaan terhadap tahanan dilakukan. Tahanan dipanggil satu persatu, disiksa dengan berbagai cara, dan kemudian dikembalikan lagi ke sel. Beberapa tahanan itu setelah
83
disiksa ada yang dibawa pergi untuk dieksekusi di Kali Progo. pada malam kedua tanggal 3 Februari 1949, Moh. Sholeh mendapat giliran untuk diintrogasi. Pengintrogasinya adalah tentara KNIL bernama Luluk dibantu oleh Po Ang Tjui (pasukan keamanan semacam hansip yang terdiri dari orang-orang keturunan Cina). Interogator, orangorang Po tidak segan-segan melakukan penyiksaan. Setelah tidak berdaya, Moh. Sholeh kembali dimasukkan di tahanan. Pada saat yang bersamaan dengan Moh. Sholeh diinterogasi, Marsono juga diperiksa. Dari Marsono diketahui bahwa Moh. Sholeh adalah sekretaris OPI. Selain itu, akibat penyiksaan, Marsono juga sempat memberitahukan markas-markas ODM. Tidak lama kemudian Kapten Soekendro, komado ODM di desa Walitelon ditangkap dan dibawa ke IVG untuk disiksa. Dari keterangan Kapten Soekendro, pihak KNIL mengetahui susunan OPI, dimana Moh. Sholeh berkedudukan sebagai sekretaris. Tanggal 4 Februari 1949, Moh. Sholeh kembali dipanggil di ruangan khusus. Interogasi kali ini dilakukan dengan lebih kejam. Moh. Sholeh digantung dengan kaki diatas. Kayu pemukul yang disiapkan Po Ang Tjui siap memukulnya bila jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan KNIL. Pertanyaan dipusatkan pada letak markas para pejuang. Akhirnya KNIL menyerah karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Tubuh Moh. Sholeh harus digotong ke ruang tahanan karena pingsan. Tetapi sebelum
84
pingsan Moh. Sholeh sempat berkata kalau ingin memburu pejuang, cari saja di kawasan Sindoro-Sumbing. Hari keempat Moh. Sholeh menempati IVG, ia tidak diinterogasi lagi. Hari itu, banyak tahanan yang dibawa pergi dan tidak kembali lagi. Sehingga pada tanggal 5 Februari 1949, tertinggal 8 orang tahanan saja. 9 Februari 1949, pukul 01.00 WIB, Moh. Sholeh dibangunkan dari tidurnya. Dia diseret dan dimasukkan ke dalam mobil oleh dua orang. Berdesakan dengan tujuh orang tahanan lain, mereka diikat tangannya dan diangkut ke Jembatan Progo. Ketika proses eksekusi sampai pada giliran Moh. Sholeh, dia meminta kesempatan untuk berdoa, dan diijinkan. Tetapi ditengah-tengah dia berdoa muncul niat nekat untuk terjun ke sungai yang sedang banjir. Pasukan pengeksekusi terkejut melihat aksi nekat Moh. Sholeh dan menembaki dari atas jembatan. Moh. Sholeh berhasil selamat di sekitar desa Plumbon. Menurut Moh. Sholeh, korban pembantaian jumlahnya mencapai ribuan orang. Moh. Sholeh sendiri pada waktu itu mendapat nomor urut 1390 dan masih banyak lagi korban-korban pembantaian di Kali Progo setelah dirinya. Teror di atas Jembatan Progo, Kranggan berlangsung sepanjang masa perang 1949. Bengkal dan Plumbon, desa di sebelah hulu, sekitar 3-4 km dari Jembatan Progo adalah tempat dimana jasad para korban sering terdampar di tepian sungai. Warga Plumbon dan Bengkal sering menemui
85
banyak jenasah yang kondisinya sunguh menyedihkan. Bila jenasah masih utuh, penduduk desa beramai-ramai memakamkan di pekuburan desa. Tidak ada catatan resmi tentang jumlah korban tragedi Kali Progo. E. Temanggung Kembali ke NKRI Adanya pendekatan antara pihak RI-Belanda-BFO (Bijeenkomstvoor Federal Overler/pertemuan untuk musyawarah federal) dan atas inisiatif dari DK PBB, kembali diadakan perundingan antara RI dengan Belanda. Pada tanggal 17 Mei 1949 tercapai persetujuan antara pihak RI dan Belanda yang terkenal sebagai persetujuan Roem-Royen dengan pokok-pokok penting kesepakatan: mengeluarkan perintah kepada pengikut RI yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya, perintah penghentian tembak-menembak ini baru dikeluarkan tanggal 11 Agustus 1949 untuk wilayah Jawa, dan tanggal 15 Agustus 1949 untuk wilayah Sumatra atas perintah Presiden Soekarno dan Wakil Mahkota Belanda; kerja sama dalam pengembalian perdamaian serta menjaga keamanan dan ketertiban; Perundingan KMB di Den Haag dimaksudkan untuk mempercepat ―penyerahan‖ kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak syarat; membebaskan tidak bersyarat pemimpin-pemimpin RI dan tahanan politik yang ditangkap sejak tanggal 19 Desember 1948. Husni (2008:307) berpendapat perundingan di Den Haag menjadi front terakhir perjuangan kemerdekaan. Konferensi Meja Bundar Bundar (KMB) berlangsung pada tanggal 23 Agustus-2 November 1949. Pertemuan ini membahas tiga isu utama, yakni : Piagam penyerahan kedaulatan, Piagam
86
Uni-Nederland dengan segala lampiran persetujuan kedua belah pihak, dan persetujuan peralihan/perpindahan yang memuat peraturan yang berkaitan dengan penyerahan kedaulatan. Dan dua tema penting, yakni tentang beban hutang Pemerintah Hindia Belanda dan integrasi KNIL dalam TNI. Berdasarkan wawancara dengan Letda. Inf. (Purn) Mundjiat (wawancara tanggal 18 Februari 2012), keadaan Temanggung selama berlangsungnya perundingan antara pihak RI dan Belanda, yaitu pada tanggal 1 September 1949 semua pasukan pejuang yang sebelumnya bermarkas di daerah pegunungan turun dan berkumpul di daerah Kedu. R. Soemarsono yang pada waktu itu menjabat menjadi Bupati Temanggung juga turut bermarkas di Kedu. Pada waktu itu Kedu menjadi pusat Kota Temanggung Republik dari tanggal 1 September s/d 10 November 1949. Pasukan Belanda yang waktu itu masih menguasai Temanggung hanya boleh berpatroli sampai pada batas/kring, patroli pasukan Belanda hanya diberi jarak 1 km dari kota, di luar itu daerah telah menjadi daerah Republik. Pada tanggal 10 November 1949 Belanda meninggalkan kota Temanggung dengan tenang dan tanpa ada aksi tembak-menembak. Setelah Belanda meninggalkan Temanggung, pasukan TNI dan Bupati R. Soemarsono mulai masuk Kota Temanggung. Pada waktu itu kantor Kabupaten menempati Kantor Jawatan Sosial (RPCM), KDM menempati Kantor Kabupaten sekarang, sedangkan polisi bertempat di Gemoh (sekarang asrama polisi). Pasukan TP masih berada di luar kota untuk menjaga kekacauan, namun akhirnya turut masuk pula ke kota Temanggung
87
sebanyak 1 regu di bawah kompi Tjipto Darsono yang menempati kantor Pos. Orang-orang sipil yang semula ikut Belanda, akhirnya menyerahkan diri kepada
pemerintahan
meninggalkan
di
Temanggung.
Temanggung, Mantan
setelah
Tentara
pasukan
Pelajar
Belanda
yang
turut
mempertahankan kemerdekaan, berjuang dan terpaksa meninggalkan sekolahnya, sebagian ada yang melanjutkan sekolah dan ada pula yang masuk ke Akademi Militer.
88