BAB IV
ANALISIS TERHADAP SYARAT ARBITRASE DALAM PASAL 7-11 UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
A. Analisis Terhadap Syarat Arbitrase Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, kita mengenal adanya dua bentuk klausula arbitrase, yaitu : 1. Pactum De Compromittendo Dalam pactum
de
compromittendo,
para
pihak
mengikat
kesepakatan akan menyelesaikan perselisihan melalui forum arbitrase sebelum terjadi perselisihan yang nyata. Bentuk klausula pactum de compromittendo ini diatur dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan altrnatif penyelesaian sengketa. Pasal tersebut berbunyi : “Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase” Cara pembuatan klausula pactum de compromittendo ada dua cara yaitu : a. Dengan mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian pokok, cara ini adalah cara yang paling lazim
58
59
b. Klausula pactum de compromittendo dibuat terpisah dalam akta tersendiri 2. Akta kompromis Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 akta kompromis diatur dalam pasal 9 yang berbunyi : (1) “Dalam hal para pihak memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak” (2) ”Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris” (3) ”Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat : a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Masalah yang dipersengketakan; Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; Nama lengkap dan tempat tinggal para arbiter atau majelis arbitrase Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan Nama lengkap sekretaris Jangka waktu penyelesaian sengketa Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan Penyediaan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum”.
Di dalam islam, menepati janji merupakan kewajiban yang penting. Banyak al-Qur'an mengajarkan untuk menepati janji. Bahkan didalam salah satu hadis nabi disebutkan bahwa janji adalah hutang, cara membayarnya dengan menepati janji tersebut. Lebih dari itu, sangat mungkin jika seseorang
60
merasa
dirugikan
secara
materi
dengan
kerugian
besar,
gara-gara
perjanjiannya telah dikhianati oleh orang lain.1 Dalam islam syarat-syarat terjadinya aqad ada dua macam yakni syarat-syarat yang bersifat umum yakni syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam segala macam akad, dan yang kedua syarat –syarat yang bersifat khusus yakni syarat-syarat yang disyaratkan wujudnya dalam sebagian aqad atau syarat-syarat idlafiyah (syarat–syarat tambahan)2 Jika kita kembali kepada definisi yang diberikan, dimana dikatakan bahwa arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa, maka dapat kita katakan bahwa sebagai perjanjian, arbitrase melibatkan dua pihak yang saling bersengketa untuk mencari penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Untuk memenuhi syarat subyektif, selain
harus dibuat oleh mereka yang demi
hukum cakap untuk bertindak dalam hukum, perjanjian arbitrase harus dibuat oleh mereka yang demi hukum dianggap memiliki kewenangan untuk melakukan hal yang demikian. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa para pihak dalm perjanjian arbitrase tidak dibatasi hanya untuk subyek hukum. Menurut hukum perdata melainkan juga termasuk didalamya subyek hukum publik.3 Syarat obyektif dari perjanjian arbitrase ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, menurut ketentuan Pasal 5 ayat
1
A. Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat(Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam),Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, hlm 102 2 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta, Bulan Bintang, 1974, hlm 39 3 Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 99
61
(1) Undang-undang tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa tersebut, obyek perjanjian arbitrase atau dalam hal ini adalah sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase (dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) hanyalah sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Tidak ada suatu penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tersebut, namun jika kita lihat dalam pasal 66 huruf 6 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional, dimana dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang : -
Perniagaan
-
Perbankan; keuangan
-
Penanaman modal
-
Industri
-
Hak kekayaan intelaktual Ini berarti bahwa makna perdagangan sebagaimana disebutkan dalam
pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, seharusnya juga memiliki makna yang luas.4 Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan antara lain5 : 1.
Meninggalnya salah satu pihak 4
Ibid, hlm. 100-101 Pasal 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 5
62
2.
Bangkrutnya salah satu pihak
3.
Novasi
4.
Insolvensi salah satu pihak
5.
Pewarisan
6.
Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok
7.
Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut
8.
Atau berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. Bahwa salah satu syarat pokok terjadinya arbitrase adalah adanya
kehendak darri pada pihak (yang bersengketa) untuk menyelesaikan setiap perbedaan pendapat, perselisihan maupun sengketa yang terjadi diantara mereka melalui pranata arbitrase, di luar pranata peradilan yang dituangkan atau dibuat secara tertulis dalam suatu klausula arbitrase dalam perjanjian pokok sebelum perselisihan atau sengketa lahir, maupun dalam bentuk suatu perjanjian arbitrase tersendiri setelah perbedaan pendapat, perselisihan atau sengketa timbul.6 Meskipun secara tegas telah diatur dalam suatu klausula arbitrase dalam perjanjian pokok mengenai maksud dan kehendak para pihak untuk menyelesaikan perbedaan pendapat, perselisihan atau sengketa yang timbul melalui arbitrase, proses jalannya kegiatan penyelesaian perbedaan pendapat, perselisihan atau sengketa melalui arbitrase itu sendiri harus dimulai melalui 6
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Seri Hukum Bisnis, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 54
63
suatu pemberitahuan oleh salah satu pihak dalam perjanjian (pokok) kepada pihak lainnya dalam perjanjian bahwa syarat-syarat penyelesaian melalui arbitrase telah berlaku. Menurut ketentuan pasal 8 ayat (1). Pemberitahuan mengenai berlakunya syarat dan ketentuan arbitrae tersebut, harus dibuat secara tertulis dan dapat disampaikan oleh salah satu pihak selaku pemohon arbitrase dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimile, e-mail, atau dengan buku ekspedisi kepada pihak lainnya sebagai termohon arbitrase. Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase tersebut harus memuat dengan jelas7: a. Nama dan alamat para pihak b. Penunjukan kepada klausa atau perjanjian arbitrase yang berlaku c. Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa d. Dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut apabila ada e. Cara penyelesaian yang dikehendaki f. Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil. Rumusan yang seperti dapat dilihat dalam pasal 8 ayat (2) ini tidak tampak dalam ketentuan RV. Sekarang ini dalam Undang-undang Arbitrase Baru Tahun 1999, surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase ini memuat perincian lebih mendetail. Tetapi dalam memori penjelasan secara
7
Ibid, hlm. 55
64
resmi hanya disebut “cukup jelas”.8 Setelah pemberitahuan sengketa kepada para pihak dilakukan, para pihak segera melakukan pemilihan atau penunjukan arbiter yang akan ditugaskan untuk menyelesaiakan sengketa yang terjadi.9 Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undangundang bagi mereka yang membuatnya, persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali tanpa ada kesepakatan kedua pihak. Karena kesepakatan harus dilakukan atas itikad baik. Dari niat kedua pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbiter yang ditunjuknya. Hal ini merupakan niat yang benar-benar dari kedua belah pihak agar sengketanya diputus secara adil dan pemilihan arbiter atas kesepakatan kedua belah pihak. Meskipun perjanjian arbitrase merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian pokok namun dalam prakteknya perjanjian ini berisi pokok-pokok yang menjadi keabsahan suatu perjanjian. Sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 9 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, hal ini sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata tentang sahnya suatu perjanjian yakni10 : 1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3) Suatu hal tertentu 4) Suatu sebab yang halal
8
Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru Tahun 1999, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 58 9 Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002, hlm. 31 10 R Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 1980. hlm. 339
65
Baik dari sudut pendekatan teori dan praktek telah dibenarkan keabsahan mengikat suatu syarat perjanjian apabila syarat yang demikian dianggap sebagai syarat yang selalu diperjanjikan dalam suatu perjanjian tertentu. Hal tersebut telah menjadi asas dalam doktrin maupun praktek hukum yang selalu disebut Bestending Gebruikelijk Beding, artinya sesuatu yang telah lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian tertentu, dengan sendirinya hal itu termasuk menjadi syarat yang “konstan” dalam perjanjian yang bersangkutan, meskipun syarat itu tidak dinyatakan secara tegas dalam perjanjian.11 Doktrin bestending gebruikelijk beding bertitik tolak dari ketentuan pasal 1339 KUHPerdata yang menegaskan ”persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang”.12 Apakah asas tersebut dapat diterapkan terhadap perjanjian arbitrase? Misalnya, dalam perjanjian asuransi pada umumnya sudah sudah kebiasaan yang tetap dan konstan memuat klausula arbitrase, sebagaimana yang lazim tertuang sebagai salah satu syarat dalam syarat-syarat umum kontrak standar perjanjian asuransi. Pada suatu ketika terjadi perjanjian asuransi, kebetulan dalam akta perjanjian tidak ada tercantum klausula arbitrase, apakah dalam perjanjian itu dianggap ada klausula arbitrse sesuai dengan asas bestending gebruikelijk beding (sesuatu yang biasa tetap termasuk dalam suatu perjanjian dianggap melekat dalam 11 12
M. Yahya Harahap, Op Cit, hlm. 79 R. Subekti ,R. Tjitrosudibio, KUHPerdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 1980, hlm. 307
66
perjanjian meskipun hal itu tidak disebut secara tegas). Jika bertitik tolak dari ketentuan pasal 615 ayat (3) RV, ada kemungkinan untuk membenarkan penerapan asas tersebut terhadap klausula arbitrase. Dengan demikian, pada setiap perjanjian asuransi, selalu melekat klausula arbitrase meskipun hak itu tidak diperjanjikan secara tegas. Apa sebab pasal 615 ayat (3) RV dianggap membenarkan penerapan asas bestending gebruikelijk beding terhadap klausula arbitrase? Pasal tersebut sama sekali tidak menegaskan bentuk pactum de compromittendo. Tidak ditentukan bentuknya mesti tertulis atau tidak. Sekiranya pasal itu mentukan bentuk pactum de compromittendo mesti tertulis, asas dimaksud tidak dapat diterapkan secara murni, sebab kalau sudah ditentukan bentuknya mesti tertulis, sudah pasti klausula arbitrase mesti tertulis.13 Bagaimana sikap menghadapi sifat dilematis pasal 615 RV bila dihubungkan dengan asas bestending gebruikelijk beding ? cara dan sikap yang tepat, pasal 615 Rv tidak boleh dilihat dan diterapkan berdiri terpisah. Dari ketentuan yang lain. Dalam hal ini pasal 615 RV, mesti dihubungkan dengan pasal 618 Rv, juga dihubungkan dengan ketentuan pasal 11 ayat (1) konvensi New York 1958, dimana konvensi tersebut sudah masuk menjadi tata hukum intern Indonesia berdasarkan Keppres Nomor 34 Tahun 1981. juga harus dihubungkan dengan pasal 25 Convention On The Setlement Of Invesment Disputes Between States And National Of Others States. Dengan ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1968 telah masuk menjadi tata
13
M. Yahya Harahap, Op, Cit, hlm. 80
67
hukum intern Nasional. Pasal-pasal tersebut secara tegas menentukan bentuk formal perjanjian arbitrase harus “tertulis” (agreement in writing). Dalam peraturan kedua konvensi dimaksud, baik pactum de compromittendo maupun akta kompromis mesti tertulis. Kalau begitu, oleh karena ketentuan-ketentuan tadi telah menjadi hukum intern Nasional, secara analogis dapat dijadikan landasan penerapan ketentuan pasal 615 ayat (1) RV. Dengan demikian pactum de compromittendo yang disebut pasal tersebut harus tunduk pada syarat bentuk tertulis, perjanjian arbitrase yang tidak tertulis dianggap tidak ada dan tidak mengikat.14 Melalui pendekatan yang dijelaskan diatas kita berpendapat, asas bestending gebruikelijk beding tidak dapat diterapkan terhadap syarat arbitrase, adapun suatu klausula dalam perjanjian harus tegas dicantumkan daalm perjanjian, cara penerapan yang seperti itulah yang dianggap dapat menyejajari tegaknya kepastian hukum dalam bidang arbitrase, dan cara penerapan yang begitu pula yang dapat diharapkan pembinaan aktualisasi hukum dibidang arbitrase. B. Analisis Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 Dengan semakin dirasakannya hambatan-hambatan dalam penggunaan badan peradilan umum sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa, baik yang bersifat nasional maupun internasional, terutama sengketa-sengketa dibidang perdagangan, telah memberikan motifasi yang lebih kuat kepada 14
Ibid
68
pihak-pihak yang bersengketa pada kesempatan yang pertama memilih lembaga atau cara lain, selain dari badan peradilan, untuk menyelesaikan sengketa mereka. Salah satu diantaranya adalah arbitrase. Baik cara penyelesaian sengketa melalui badan peradilan ataupun memalui arbitrase, diyakini memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Dewasa ini, dalam banyak jenis perjanjian, didapati di dalamnya pasal tentang pemilihan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa yang mungkin akan timbul dikemudian hari, sebagai salah satu syarat perjanjian, ataupun dibuatnya akta kompromis segera setelah sengketa betul-betul terjadi sebagai hasil kesepakatan para pihak untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan yang terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian kepada dan untuk diselesaikan melalui arbitrase. Diterimanya syarat arbitrase dalam suatu perjanjian oleh para pihak tidaklah selalu disebabkan karena para pihak pada saat membuat perjanjian menyadari benar-benar akan makna dari syarat itu. Tidak jarang dalam penerimaannya itu para pihak dituntun oleh persepsi mereka yang menyatakan bahwa memang demikianlah tradisi isi perjanjian, tanpa itu perjanjian tidak lengkap. Sebagian yang lain lagi justru mungkin kedudukannya yang lebih lemah dihadapkan dengan kedudukan yang lebih kuat dari pihak yang lain, tidak memiliki kekuatan untuk menolak persyaratan tersebut, selain harus menyetujuinya.15 Telah menjadi rahasia bersama bahwa berperkara melalui pengadilan acapkali memakan waktu yang relatif lama. Mengadili tidak hanya
15
Agnes.M. Toar, et al, Arbitrase di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1995, hlm. 55
69
berhadapan dengan satu atau dua perkara saja pada waktu yang bersamaan. Dalam prakteknya, ia dihadapkan lebih dari dua, tiga perkara dalam suatu masa tugasnya, akibatnya harus membagi-bagikan prioritas dan waktu untuk perkara-perkara mana yang didahulukan dan mana yang tidak terlalu mendesak. Hal ini sudah barang tentu dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain yang mendukung cepat tidaknya prosese penyelesaian sesuatu perkara.16 Seperti telah kita maklumi, berperkara melalui pengadilan biasa (nasional suatu negara) telah umum dianggap tidak efektif bagi kalangan pengusaha. Masalah penangguhan perkara, belum lagi kalau ada kongesti (tunggakan perkara yang harus diselesaikan).17 Yang berarti tertundatundanya keputusan yang hendak dikeluarkan, dan masalah biaya adalah salah satu alasan mengapa kebanyakan pengusaha atau masyarakat bisnis agak enggan berproses perkara melalui pengadilan. Namun pada kenyataannya, apa yang telah disebutkan diatas, tidak semuanya benar, hal ini terjadi disebabkan di negara-negara tertentu proses peradilan kadang lebih cepat dari pada proses arbitrasenya. Salah satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya, karena keputusannya tidak dipublikasikan. Meski demikian, penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada melalui litigasi, terutama untuk kontrak-kontrak bisnis atau dagang yang bersifat Internasional.18
hlm. 13
16
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002,
17
R. Soebekti, Arbitrase Perdagangan, Bandung, Bina Cipta, 1998, hlm. 4 Rachmadi Usman, Op, Cit, hlm. 5
18
70
Memang bagi dunia maju arbitrase sudah mereka anggap “a business executive’s court ” sebagai alternatif penyelesaian sengketa, apa sebabnya? Mereka berpendapat, penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan resmi pada umumnya berbelit dan lama, dikarenakan faktor prosedur sistem peradilan sangat komplek dan berbelit, disamping itu mereka menganggap hakim yang menangani kurang memahami masalah bisnis, selain itu pokok memilih alternatif arbitrase dalam penyelesaian sengketa bisnis, disebabkan karakteristiknya yang “informal prosedur”. Ditambah pula dengan sifat putusannya, langsung bersifat final dan binding, hal itu disebabkan putusan tidak bisa naik banding, kasasi atau ditinjau kembali. 19 Arbitase dewasa ini telah diatur dalam sebuah Undang-undang sendiri, akan tetapi Undang-undang tersebut tidak menetapkan lembaga arbitrase sebagai lembaga peradilan negara. Arbitrase hanya sebagai cara yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Bahkan sengketa yang disebut secara limitatif disebutkan hanya sengketa dibidang perdagangan dalam arti sempit, tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui lembaga ini.20 Dengan dimasyarakatkan dan dilembagakannya arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, masyarakat mempunyai sarana lain atau pilihan untuk menyelesaikan penyelesaiannya serta keberadaan dan pengembangannya di Indonesia. Secara umum arbitrase dipahami sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan, jauh sebelum lembaga arbitrase dikenal oleh dunia barat, Islam telah memperkenalkan lebih 19
Yahya Harahap, Op, Cit, hlm. 5 Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan, Jakarta, Tatanusa, 2004 20
71
dari 14 abad lampau melalui lembaga yang dinamakan “hakam” atau wasit. Lembaga ini tercantum dalam Al-Qur'an, An-nisa’ ayat 128 yang berbunyi ;
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬﻤَﺎ أَن َ ح َ ﺟ َﻨ ْﺎ ُ ﻼ َ ﻋﺮَاﺿًﺎ َﻓ ْ ﺖ ﻣِﻦ َﺑ ْﻌِﻠﻬَﺎ ُﻧﺸُﻮزًا َأ ْو ِإ ْ ن ا ْﻣ َﺮَأ ٌة ﺧَﺎ َﻓ ِ َوِإ ﺢ َوإِن ﺸﱠ ﺲ اﻟ ﱡ ُ ت اﻷَﻧ ُﻔ ِ ﻀ َﺮ ِ ﺣ ْ ﺧ ْﻴ ٌﺮ َوُأ َ ﺢ ُ ﺻ ْﻠﺤًﺎ وَاﻟﺼﱡ ْﻠ ُ ﺼِﻠﺤَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ ْ ُﻳ (128: ﺧﺒِﻴﺮًا )اﻟﻨﺴﺎء َ ن َ ن ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َ ن اﻟّﻠ َﻪ آَﺎ ﺴﻨُﻮ ْا َو َﺗ ﱠﺘﻘُﻮ ْا َﻓِﺈ ﱠ ِﺤ ْ ُﺗ Artinya : “Dan jika wanita khawatir akan nuzus atau sikap tidak acuh dari pihak suaminya maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sesungguhnya dan perdamaian itu baik….”(AnNisa’: 128 ) Implementasi hukum ini tentu saja sebagai suatu lembaga Islam tidak hanya terbatas pada kasus-kasus rumah tangga saja, akan tetapi dapat pula diterapkan untuk semua kasus keperdataan demikian sengketa-sengketa dalam hubungan perikatan.21 Rasulullah
Saw
juga
menunjukan
adanya
peluang
untuk
menyelesaikan penyelesaian sengketa tertentu melalui arbitrase. Hadis riwayat An Nasa’i menceritakan bahwa sesungguhnya Rasulullah berkata kepada Abu Syureih yang sering dipanggil Abul Hakam : “Sesungguhnya Hakam itu adalah Allah dan kepada-Nya lah dimintakan keputusan hukum. Mengapa kamu dipanggil Abul Hakam”? Abu Syureih menjawab : “bahwa sesungguhnya bila kaumku bertengkar akan datang kepadaku minta penyelesaian dan kedua belah pihak akan rela dengan keputusanku”. Mendengar jawaban Abu Syureih Rasul lalu berkomentar “alangkah baiknya perbuatan itu! apakah kamu punya anak”? Abu Syureih menjawab : “ya, saya 21
H.M. Thahir Azhary, Islam, Hukum Islam Dan Eksistensi Arbitrase Islam Di Indonesia, dalam, Khoirul Wasif, Arbitrase Islam Di Indonesia, Jakarta, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994, hlm. 119
72
punya anak yaitu Syureih, Abdu, Musallam”. “siapa yang paling tua” ? tanya Rasul. Jawab Abu Syureih : “yang paling tua Syureih”. “Kalau begitu engkau Abu Syureih”.22 Pengakuan seperti itu dijadikan dalil bagi keabsahan Tahkim sebagai penyelesaian sengketa. Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan resmi. Kedua pihak menyerahkan sengketanya pada seorang yang bisa dianggap menyelesaikan sengketa mereka dengan suka rela dan pastinya mereka akan menaati putusan yang dikeluarkan oleh seorang yang ditunjuk untuk menyelesaikannya, kedua belah pihak menyerahkan sengketa agar sengketanya diadili secara cepat, biaya murah, dan tentunya membawa keadilan pada mereka. Konsep yang ditawarkan oleh arbitrase umum dan arbitrase Islam secara garis besar tidak ada perbedaan, karena pada intinya penyerahan sengketa pada arbitrase adalah untuk mendamaikan kedua pihak yang bersengketa, dan perdamaian dalam kehidupan yang meliputi segala aspek kehidupan. Namun dalam praktek hanya dibidang perdagangan saja yang tersentuh dan secara tegas telah diundangkan lewat lembaga arbitrase, padahal kalau melihat lebih jauh lagi, dalam Islam banyak sengketa yang bisa dihadapkan pada peradilan arbitrase, dengan melihat perkembangan politik, sosial yang semakin pesat tidak menutup kemungkinan adanya sengketasengketa perselisihan dibidang tersebut, seperti kasus mengenai perselisihan 22
hlm. 11
Satria Effendi M Zein, Arbitrase Dalam Syari’at Islam, dalam Khoirul Wasif. Ibid.
73
agama di Poso, hal tersebut karena tidak adanya lembaga arbitrase dibidang kerukunan antar umat beragama, dan ironisnya di Indonesia yang dikatakan Islamya lebih dominan justru aturan mengenai hal tersebut tidak ditegaskan dalam Undang-undang arbitrase. Sebagaimana firman Allah SWT surat Al Mumtamah : 8
ﺨ ِﺮﺟُﻮآُﻢ ﻣﱢﻦ ْ ﻦ َوَﻟ ْﻢ ُﻳ ِ ﻦ َﻟ ْﻢ ُﻳﻘَﺎ ِﺗﻠُﻮ ُآ ْﻢ ﻓِﻲ اﻟﺪﱢﻳ َ ﻦ اﱠﻟﺬِﻳ ِﻋ َ ﻟَﺎ َﻳ ْﻨﻬَﺎ ُآ ُﻢ اﻟﻠﱠ ُﻪ ﻦ َ ﺴﻄِﻴ ِ ﺤﺐﱡ ا ْﻟ ُﻤ ْﻘ ِ ن اﻟﱠﻠ َﻪ ُﻳ ﺴﻄُﻮا ِإَﻟ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ِإ ﱠ ِ ِدﻳَﺎ ِر ُآ ْﻢ أَن َﺗ َﺒﺮﱡو ُه ْﻢ َو ُﺗ ْﻘ (8: )اﻟﻤﻤﺘﺤﻨﺔ Artinya : “Allah tidak mencegahmu berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangai karena agama dan tidak mengusirmu dari negeri, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat keadilan” Dari penjelasan tersebut bahwasanya menjaga perdamaian dengan non muslim sangat dianjurkan, dalam hubungan ini diperlukan saling memperoleh kemaslahatan dan manfaat serta dalam rangka mempererat hubungan kemanusiaan, disamping dianjurkan perdamaian dalam bidang kerukunan umat beragama dalam Islam juga mengatur perdamaian masalah peperangan, urusan rumah tangga juga perdamaian dikategorikan kebaikan, ternyata ruang lingkup Islam jauh lebih luas dalam mengatur perdamaian tidak hanya dalam masalah keperdataan saja, tapi masalah pidana juga diatur di dalamnya. Merujuk pada pernyataan Umar r.a yang mengatakan tolaklah penyelesaian perdamaian lewat pengadilan, karena pemutusan perkara lewat pengadilan akan mengembangkan kedengkian diantara mereka. Hal ini, ada benarnya berperkara lewat pengadilan acapkali memakan waktu lama selain itu dengan dikeluarkannya keputusan pengadilan tidaklah otomatis perkara
74
yang bersangkutan telah selesai, sebab pihak-pihak yang kurang puas dengan keputusan tersebut ia masih mempunyai jalan lain untuk melampiaskan ketidakpuasannya ke pengadilan lebih tinggi, yakni tingkat banding, dan seperti pengalaman sebelumnya lamanya putusan dikeluarkan kemungkinan besar terjadi, sebagai konsekuensi logis dari lamanya proses perkara melalui pengadilan, maka biaya yang harus dikeluarkan relatif banyak dan mahal. Lain halnya dengan pengadilan resmi, putusan yang dikeluarkan lembaga arbitrase sifatnya mengikat dan final, tidak ada banding sebagai tandingan terhadap keputusan yang dikeluarkan, begitu juga dengan Islam keputusan yang dikeluarkan dikembalikan pada kedua belah pihak dan atas persetujuan mereka, dalam arti karena kedua belah pihak setuju menunjuk hakam untuk menyelesaikan sengketa mereka maka apa yang diputuskan hakam langsung mengikat tanpa lebih dahulu dimintakan persetujuan kedua belah pihak lagi.