el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Firda Zulfa Fahriani
Pendahuluan Setiap subjek hukum baik orang maupun badan hukum terdapat suatu kebiasaan untuk menyelesaikan suatu masalah – masalah
dan sengketa –
sengketa yang timbul diantara mereka dengan cara litigasi maupun non litigasi1 dimana cara ini seperti ini dirasa lebih arif dan bijaksana demi menjunjung suatu keadilan dan kebenaran daripada mereka bertindak dengan cara main hakim sendiri dimana cara semacam ini tidaklah mencerminkan sikap yang baik. Secara umum penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh subjek hukum lebih kental dengan cara litigasi (Peradilan), cara seperti ini dipilih karena mempunyai kekuatan hukum pasti yang bersifat final dengan posisi akan timbul pihak yang menang dan yang kalah (win lost position). Tetapi di lain pihak, para subjek hukum seperti orang dan badan hukum yang bergerak di bidang bisnis atau perdagangan biasanya lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa melalui suatu lembaga non litigasi seperti Lembaga Arbitrase. Dimana menyelesaikan suatu sengketa dengan cara ini dirasa lebih baik untuk menjamin dan melindungi kredibelitas dari suatu usaha yang jalankan dimana dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini akan menghasilkan win-win solution diantara para pihak yang bersengketa. Dari pada menggunakan penyelesaian melalui peradilan dimana tidak selalu menguntungkan secara adil bagi kepentingan para pihak yang bersengketa bahkan lembaga peradilan yang secara konkret ketika mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan ketika menerima, memeriksa,
1
Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi adalah penyelesaian sengketa melalui badan peradilan sedangkan jalur non-litigasi adalah penyelesaian sengketa yang diselesaikan di luar badan peradilan misalnya dengan jalan arbitrase.
1
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
mengadili serta menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan dianggap sebagai tempat menyelesaikan sengketa yang tidak efektif dan efisien.2 Alternatif penyelesaian sengketa melalui arbitrase kemudian menjadi solusi lain bagi para pihak yang bersengketa yang memang tidak menginginkan penyelesaian sengketa lewat jalur pangadilan. Ditambah lagi dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah memberikan jaminan kepastian hukum bagi caracara penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam setiap perjanjian di bidang perdagangan nasional maupun internasional.3 Arbitrase Kata arbitrase berasal dari kata arbitrate (Latin), arbitrage (Belanda),
Arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman) dan arbitrage (Prancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter.4 Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum, Pasal 1 angka 1: Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.5 Abdulkadir Muhammad memberikan definisi Arbitrase sebagai berikut: Arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak – pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan Negara merupakan kehendak bebas pihak-pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam
Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2004), .3. 3 Priyatna Abdurrasyid, dkk., Prospek Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, (Bandung: PT. 2
Citra Aditya Bakti, 2001), . 138. 4 Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, (Jakarta, Grasindo, 2002), . 1 5 UU RI No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 1
2
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan azas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.6 Menurut peraturan prosedur BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia),
arbitrase adalah memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketasengketa perdata yang timbul mengenai perdagangan, industri, keuangan baik yang bersifat nasional maupun internasional. (Pasal 1 AD BANI) Dan peraturan prosedur BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia),
arbitrase adalah penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain, serta memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan yang berkenaan dengan perjanjian. (Pasal 1 AD. BAMUI)7 Dalam pengertian yang lebih sederhana dapat dijelaskan, arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa diluar lembaga litigasi atau peradilan yang diadakan oleh para pihak yang bersengketa dengan tugas menyelesaikan persengketaan yang terjadi diantara mereka. Untuk pemilihan arbiter seyogyanya didasarkan kemampuan dan keahlian dalam bidang tertentu dan dapat bertindak secara netral. Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa juga diberikan batasan arbitrase secara otentik. Berdasarkan batasan tersebut, maka arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa diluar peradilan umum yang didasarkan perjanjian tertulis pihak yang bersengketa, disamping cara lainya melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Tetapi harus diingat bahwa tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, kecuali hanya sengketa yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kesepakatan diantara mereka. Keuntungan Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase… . 3 Sudiarto, Mengenal Arbitrase, Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. (Jakarta. Raja Grafindo, 2004), . 30 6 7
3
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Dalam dunia bisnis tentunya banyak pertimbangan yang mendasari para pelaku bisnis untuk memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian yang akan atau mereka hadapi. Secara umum dinyatakan bahwa lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan lembaga peradilan, diantaranya:8 1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak 2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif 3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil 4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase, dan 5. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan melalui tatacara sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Pada kenyataannya apa yang disebutkan diatas tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu – satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat
kerahasiaannya
karena
putusannya
tidak
dipublikasikan.
Namun
penyelesaian melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis yang bersifat internasional. Sifat rahasia arbitrase ini dapat melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan atau yang merugikan disebabkan adanya penyingkapan informasi bisnis kepada publik. Selain itu hal ini dapat melindungi mereka dari publisitas yang merugikan dan akibat – akibatnya, seperti kehilangan reputasi, bisnis, pemicu bagi tuntutan-tuntutan lainnya yang dalam proses pengadilan dapat mengakibatkan pemeriksaan sengketa secara terbuka. Agnes M. Toar mengemukakan keuntungan arbitrase antara lain:
8
Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase… . 5.
4
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
1. Keuntungan dari satu peradilan arbitrase adalah menang waktu karena dapat dikontrol oleh para pihak sehingga keterlambatan dalam proses peradilan pada umumnya dapat dihindari 2. Kerahasiaan proses penyelesaian sengketa suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam dunia usaha dapat dikatakan lebih terjamin 3. Macam-macam bukti dalam penyelesaian perselisihan yang tidak terletak dalam bidang yuridis-pun dapat digunakan sehingga tidak perlu terlambat karena ketentuan undang – undang mengenai pembuktian yang bersangkutan 4. Suatu putusan arbitrase pada umumnya terjamin, tidak memihak, mantap, dan jitu karena diputuskan oleh (orang) ahli yang pada umumnya menjaga nama dan martabatnya oleh karena kebiasaan berprofesi dalam bidang tersebut. 5. Peradilan arbitrase potensial menciptakan profesi yang lain, yaitu sebagai arbiter yang merupakan faktor pendorong untuk para ahli agar lebih menekuni bidangnya untuk mencapai tingkat paling atas secara rasional. Berkaitan dengan dasar pertimbangan mengapa para pihak memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian sengketa mereka, para investor juga mempunyai dasar pertimbangan sebagai berikut; 1. Penyelesaian arbitrase sangat sesuai dengan moto mereka (time is money) dan prinsip mereka (efisien dan ekonomis) 2. Kurang mengetahui tentang hukum negara tempat ia hendak menanam modalnya 3. Peradilan umum terlalu lamban menyelesaikan suatu perkara. Di Indonesia peradilan sifatnya bertingkat, mulai dari pengadilan tingkat pertama sampai tingkat kasasi, dan hal ini tentu akan memakan waktu yang lama. 4. Meskipun sudah ada keputusan, Mahkamah Agung masih sering menemukan kendala untuk mengeksekusi keputusan tersebut.9 Dari beberapa uraian tentang dasar pertimbangan mengapa para pihak lebih condong memilih penyelesaian melalui arbitrase daripada pengadilan, pada 9
Lely Nirwan, “Mengapa Harus Arbitrase”, dalam Agnes M. Toar, dkk., . 121
5
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
dasarnya dapat disimpulkan ada tiga hal pokok seperti yang dikemukakan oleh Subekti, bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan, yaitu: (1) Dilakukan dengan cepat; (2) Oleh ahlinya, dan (3) Secara rahasia.10 Kesimpulan tersebut didasari bahwa untuk menyelesaikan sengketa di pengadilan dengan membuat suatu gugatan akan membutuhkan waktu yang sangat panjang. Terlebih jika tidak selesai ditingkat pertama, maka akan berlanjut ditingkat banding dan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam pemeriksaan di muka pengadilan dapat terjadi bahwa hakim kurang mampu menghadapi perkara yang sangat teknis, seperti masalah pencanteran kapal dan lain sebagainya. Menurut hukum acara yang berlaku, hakim dapat menunjuk ahli – ahli untuk didengar sebagai saksi ahli, namun tetap membutuhkan tambahan biaya yang tidak sedikit. Dalam arbitrase para pihak dapat langsung menunjukan atau mengangkat para ahli dalam penyelesaian perselisihan mereka. Dengan demikian, putusan yang akan diambilnya akan didukung pengetahuan yang mendalam tentang hal – hal yang dipersengketakan. Meskipun penyelesaian melalui arbitrase diyakini memiliki keunggulankeunggulan dibandingkan dengan jalur pengadilan, tetapi penyelesaian melalui Arbitrase juga memiliki kelemahan – kelemahan, yaitu: 1. Hanya untuk para pihak bona fide Arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bona fide (bonafid) atau jujur dan dapat dipercaya. Para pihak yang bonafid adalah mereka yang memiliki kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap kesepakatan, pihak yang dikalahkan harus secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase. Sebaiknya, jika ia selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan putusan arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan memakan lebih banyak biaya, bahkan lebih lama dari proses di pengadilan. Maka bagi masyarakat awam arbitrase belum dikenal cukup luas dalam hal ini. 2. Keuntungan mutlak pada arbiter Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung, Bina Cipta, 1992), . 5.
10
6
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Putusan arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak. Meskipun arbiter memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang mudah bagi majelis arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para pihak yang bersengketa. Pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan arbitrase tidak adil, demikian pula sebaliknya (pihak yang menang akan mengatakan putusan tersebut adil). 3. Tidak ada presenden putusan terdahulu Tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap putusan-putusan arbitrase sebelumnya.11 Artinya, putusan – putusan arbitrase atas suatu sengketa terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung argumentasi – argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya. 4. Masalah putusan arbitrase asing Penyelesaian sengketa melelui arbitrase internasional memiliki hambatan sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya. Karena biasanya pihak yang kalah terkadang hartanya tidak mau dieksekusi sehingga menempuh jalur hukum lain melalui pengadilan. Di mana lembaga arbitrase tidak memiliki daya paksa untuk atau kewenangan dalam pelaksanaan eksekusi. Sengketa yang Menjadi Kewenangan Arbitrase Menurut UU No 30 Tahun 1999 dilihat dari pengertian arbitrase maka dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup arbitrase cukup luas, yaitu semua sengketa dalam bidang keperdataan. Dalam hal ini tentunya yang dapat diselesaikan secara arbitrase adalah sengketa-sengketa dibidang perdagangan, dan
dibidang
perburuhan/ketenagakerjaan,
sepanjang
sengketa
tersebut
menyangkut hak pribadi yang sepenuhnya dapat dikuasai oleh para pihak. Adapun yang dimaksud hak pribadi adalah hak – hak yang untuk menegakkannya tidak bersangkut paut dengan ketertiban atau kepentingan umum, misalnya
11
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), . 15.
7
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
proses – proses mengenai perceraian, status anak, pengakuan anak, penetapan wali, pengampuan dan lain-lain.12 Merujuk kepada pasal 1 Anggaran Dasar BANI, ruang lingkup arbitrase menurut lembaga ini adalah: Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri, keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan yang berkenaan dengan perjanjian para pihak. Menurut pasal 1 Anggaran Dasar BAMUI, ruang lingkup arbitrase menurut lembaga ini adalah: Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri, keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan yang berkenaan dengan perjanjian para pihak.13 Macam-macam Arbitrase Klausula arbitrase harus memuat pernyataan apakah arbitrase akan dilakukan secara lembaga/ institusional atau ad hoc. 1. Arbitrase Ad Hoc Arbitrase ad hoc disebut juga arbitrase volunter, arbitrase ini dibentuk secara khusus atau bersifat insidentil untuk memeriksa dan memutus sengketa tertentu dalam jangka waktu tertentu pula, setelah sengketa diputus maka berakhir pula arbitrase ad hoc ini. Pembentukan arbitrase ad hoc dilakukan setelah sengketa terjadi. Para pihak yang memilih dan menentukan arbiternya dapat pula meminta bantuan pengadilan untuk mengangkat arbiternya, yang bertugas memeriksa dan memutus sengketa yang bersangkutan.
Sudiarto, Mengenal Arbitrase…, 50-51 Ibid.
12 13
8
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Untuk mengetahui dan menentuukan apakah arbitrase yang disepakati para pihak adalah arbitrase ad hoc, dapat dilihat dari rumusan klausula. Apabila klausula pactum de compromittendo atau akta kompromi menyatakan perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase yang berdiri sendiri di luar arbitrase institusional atau dengan kata lain apabila klausula menyebut arbitrase yang akan menyelesaikan perselisihan terdiri atas arbiter perseorangan, maka arbitrase yang disepakati adalah arbitrase ad hoc. Ciri pokoknya penunjukan para arbiternya secara perseorangan. Pada prinsipnya arbitrase ad hoc tidak terikat atau terkait dengan salah satu badan arbitrase. Para arbiternya ditentukan dan dipilih sendiri berdasarkan kesepakatan para pihak. Oleh karena arbitrase ad hoc tidak terikat dengan salah satu badan arbitrase, boleh dikatakan jenis arbitrase ini tidak memiliki aturan tata cara sendiri baik mengenai pengikatan arbiternya maupun mengenai tata cara pemeriksaan sengketa. Dalam hal ini arbitrase ad hoc tunduk sepenuhnya mengikuti aturan tata cara yang ditentukan dalam perundang-undangan.14 2. Arbitrase Institusional Arbitrase institusional adalah arbitrase yang melembaga yang didirikan dan melekat pada suatu lembaga terntentu. Sifatnya permanen dan pada umumnya arbitrase institusional memiliki prosedur dan tata cara pemeriksaan sengketa tersendiri. Arbiternya diangkat dan ditentukan oleh lembaga arbitrase institusional sendiri. Arbitrase institusional tersebut juga menyediakan jasa administrasi arbitrase, yang meliputi pengawasan proses arbitrase, aturan-aturan prosedural sebagai pedoman para pihak dan pengangkatan arbiter. Di Indonesia saat ini terdapat dua lembaga arbitrase yang memberikan jasa administrasi arbitrase, yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)15yang sekarang diganti menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional Indonesia (BASYARNAS).
Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase… . 28-29 Ibid. 29
14 15
9
el-Faqih, Volume 1, No. 1 April 2015
Kemudian, badan Arbitrase institusional itu sendiri dibagi menjadi dua, yiatu: 1. Arbitrase Institusional (Nasional) Ruang lingkup keberadaan dan yuridiksinya hanya meliputi kawasan negara yang bersangkutan, misalnya arbitrase institusional BANI merupakan badan arbitrase yang berwawasan nasional Indonesia. Ruang lingkup keberadaan dan yuridiksinya hanya meliputi kawasan wilayah Indonesia. Meskipun BANI hanya bersifat nasional, bukan berarti ia hanya berfungsi menyelesaikan sengketa – sengketa berkadar nasional, tetapi juga dapat menyelesaikan sengketa yang berbobot internasional, asal hal itu disepakati dan diminta para pihak.16 2. Arbitrase Institusional (Internasional) Selain arbitrase institusional yang bersifat nasional, ada juga arbitrase institusional yang berwawasan internasional, bahkan badan – badan arbitrase internasional ada yang sudah lama didirikan antara lain, Court of Arbitration of
The International Chamber of Commerce (ICC) dan The International Centre foe Settlement of Investment Disputes (ICSID).
16 Suyud Margono, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Alternative Dispute Resolutions (ADR), (Bogor, Gia Indonesia, 2010), 157
10