67
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF TINDAK PIDANA KEKERASAN SECARA MASSAL YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN MENURUT FIQH JINAYAH DAN KRIMINOLOGI A. Persamaan Tindak Pidana Secara Massal Yang Mengakibatkan Kematian
Menurut Fiqh Jinayah Dan Kriminologi Dari pemaparan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan kekerasan yang dilakukan secara massal, secara umum dapat ditarik suatu rumusan bahwasanya antara fiqh jinayah dan kriminologi merupakan suatu kesatuan ilmu pengetahuan mengenai kejahatan atau prilaku menyimpang sebagai gejala sosial, yang mencakup prosesproses pembentukan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi terhadap pelanggaran hukum. Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh jinayah merupakan ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang diambil dari dalildalil yang terperinci. 1 Selain membahas tentang berbagai macam tindak pidana, fiqh jinayah juga membahas hukumanhukuman bagi masingmasing pelanggaran. Jadi, segala perbuatan yang melanggar aturan Islam (AlQur’an) 1
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fiqih Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika. 2004
67
68
akan dikenakan sanksi yang sudah ditetapkan baik dalam AlQur’an dan Hadits, maupun oleh ulil amri atau hakim sendiri. Sedangkan kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang meneliti delikuensi dan kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluasluasnya. 2 Hukum pidana Islam memperhatikan kejahatan sebagai peristiwa pidana yang dapat mengancam tata tertib masyarakat, serta kriminologi mempelajari kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang melibatkan individu sebagai manusia. Dengan demikian, hukum pidana Islam melihat bahwa perbuatan yang melanggar ketentuan syara’ disebut sebagai kejahatan, sedangkan kriminologi melihat bahwa perbuatan bertentangan dengan hati nurani manusia disebut kejahatan. Dari pengertian ini nampak adanya hubungan antara hukum pidana dengan kriminologi bahwa keduanya samasama bertemu dalam kejahatan, yaitu perbuatan/tingkah laku yang diancam pidana. Maka dari itu hukum pidana Islam dan kriminologi seperti dalam pandangan di atas, keduanya merupakan pasangan dwi tunggal, yang satu melengkapi yang lain. Dalam hukum pidana Islam kekerasan sering disebut dengan istilah jarimah, jarimah dikalangan fuqaha adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, memukul dan lainlain. 2
Soerjono soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm.8
69
Sedangkan dalam kriminologi kekerasan merupakan terjemahan dari kata “violence”. Kekerasan diartikan sebagai tindakan agresif bernuansa fisik seperti memukuli, menghancurkan harta benda atau rumah, membakar, mencekik dengan tangan kosong ataupun dengan alat atau senjata, menyebabkan kesakitan fisik, luka, kerusakan temporer (sementara) ataupun permanent, bahkan menyebabkan kematian. Menurut krahe, kekerasan pada dasarnya merupakan bentuk ekstrem dari agresi fisik yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain atau terhadap harta benda orang lain. 3 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekerasan merupakan kejahatan yang dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya. 4 Dalam hukum pidana Islam untuk mengetahui suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai perbuatan jari>mah dan pelakunya dapat dikenai pertanggungjawaban pidana apabila telah terpenuhi beberapa unsur, yaitu: 1. Unsur Formil (adanya UndangUndang atau Nash) Setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dipidana kecuali adanya Nash atau UndangUndang yang mengaturnya. 5 Dalam hukum positif masalah ini dikenal dengan asas legalitas, yaitu suatu
3
Zainal abidin, Penghakiman Massa; Kajian Atas Kasus Dan Pelaku. (Jakarta: Accompli Publishing, 2005), H.27 4 Made Darma Weda, Kriminologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 108 5 Makhrus Munajat. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Hlm. 9
70
perbuatan tidak dapat dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dikenai sanksi sebelum adanya peraturan yang mengundangkannya. 6 Sedangkan dalam syariat Islam lebih dikenal dengan istilah AlRukn Asy Syar‘i
ٍﻧَﺺ َﺑِﻼ َﺑَﺔ ﻋُﻘُﻮ َﻭَﻻ َﻻَﺟَﺮِﻳْ َﻤﺔ “Tidak ada jarimah (perbuatan pidana) dan tidak ada hukuman sebelum adanya nash (aturan pidana).” 7
2. Unsur Materiil (Sifat melawan hukum ) Adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah, baik dengan sikap dibuat mupunsikap tidak dibuat.unsur ini dalm Hukum pidana Islam disebut dengan AlRukn AlMa>di>. 3. Unsur Moril (Pelakunya mukalaf) Pelaku jarimah atau tindak pidana adalah orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana terhadap jarimah yang dilakukannya. Dalam syariat Islam disebut AlRukn AlAda>bi. Orang yang melakukan tindak pidana dapat dipersalahkan dan dapat disesalkan ,artinya bukan orang gila, anakanak dan bukan karena dipaksa atau karena pembelaan diri. 8
6
Ibid.,hlm. 10 Jaih Mubarok. Kaidah Fiqih Jinayah: AsasAsas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Balai Quraisy, 2004), hlm. 40 8 Makhrus Munajat. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam., hlm. 10 7
71
Sedangkan di dalam kriminologi unsurunsur kejahatan yang diberikan oleh Prof. Moeljatno terdiri dari 9 : 1. Kelakuan dan akibat 2. Adanya halhal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum; 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana, misalnya pada rumusan pasal 340 KUHP, tentang pembunuhan berencana, yang dalam hal ini apabila seorang tersangka terbukti secara sengaja merencanakan suatu perbuatan yang direncanakan, maka disitulah letak pemberatnya 4. Unsur melawan hukum yang obyektif, yaitu menunjukkan keadaan lahir dari pelaku; 5. Unsur melawan hukum subyektif, yaitu menunjukkan sikap batin dari pelaku.
B. Perbedaan Tindak Pidana Secara Massal Yang Mengakibatkan Kematian Menurut Fiqh Jinayah Dan Kriminologi Adapun perbedaan hukum pidana islam dan kriminologi terletak pada objeknya. objek pembahasan hukum pidana islam secara garis besar adalah hukumhukum syara’ yang menyangkut masalah tindak pidana dan hukumannya. Sedangkan objek kriminologi tertuju pada manusia yang melanggar hukum pidana dan kepada lingkungan manusiamanusia tersebut. Dengan demikian, wajarlah bila batasan luas kedua objek ilmu itu tidak sama. Hal ini melahirkan 9
Ibid., hlm. 60
72
kejahatan dan hukumannya sebagai objek hukum pidana islam dan pelaku kejahatan sebagai objek kriminologi. Dalam hukum pidana Islam kekerasan massal biasa disebut dengan turut serta melakukan jarimah, yaitu melakukan jarimah secara bersamasama, baik melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut, menyuruh orang lain, memberi bantuan atau keluasan dengan berbagai bentuk. Dari definisi tersebut, dapat diketahui, sedikitnya ada dua pelaku jarimah, baik dikehendaki bersama, secara kebetulan, samasama melakukan perbuatan tersebut atau memberi fasilitas bagi terselenggaranya suatu jarimah. 10 Hukum pidana Islam memandang kekerasan massal dari segi jumlah pelakunya yang terbagi menjadi dua macam: 11 1. Turut serta secara langsung dalam melaksanakan jarimah. Orang yang melakukannya disebut “syarik mubasyir”, dan perbuatannya disebut “isytirak mubasyir”. 2. Turut serta secara tidak langsung dalam melaksanakan jarimah, orang yang melakukannya disebut “syarik mutasabbib”, dan perbuatannya disebut “isytirak bittasabbubi”. Turut serta berbuat langsung dalam pelaksanaannya terbagi dalam dua bentuk 12 :
10
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 55 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 67 12 A. Djazuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 17 11
73
Pertama, turut serta berbuat langsung secara tawafuq, artinya si peserta jarimah berbuat secara kebetulan. Ia melakukannya tanpa kesepakatan dengan orang lain dan juga tanpa dorongan orang lain melainkan atas kehendak pribadinya atau refleksi atas suatu kejadian yang ada dihadapannya. Jadi, setiap pelaku dalam jarimah yang turut serta dalam bentuk tawafuq ini tidak saling mengenal antara satu dan lainnya. Dalam kasus seperti ini, para pelaku kejahatan hanya bertanggung jawab atas perbuatan masingmasing dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Hal ini sesuai dengan kaidah:
ِﺍﻟﺘﱠﻮَﺍﻓُﻖ ِﺣَﺎَﻟﺔ ِﻓﻲ ْﻓَﻘَﻂ ُﻓِﻌْﻠُﻪ ُﻧَﺘِﻴﺠَُﺘﻪ ْﻋﻦ َ ٍﺷَﺮِ ْﻳﻚ ﻛُﻞﱡ ُﻳَﺴْﺄَﻝ “Setiap orang yang turut serta berbuat jarimah dalam keadaan tawafuq dituntut berdasarkan perbuatannya masingmasing.” 13
Kedua, Turut serta berbuat langsung secara tamalu, dalam hal ini, para peserta samasama menginginkan terjadinya suatu jarimah dan bersepakat untuk melaksanakannya. Namun dalam pelaksanaan jarimah, masingmasing peserta melakukan fungsinya sendirisendiri. Seperti dalam kasus pembunuhan, beberapa orang yang bersepakat membunuh seseorang tidak membunuh (menusuk dengan pisau) secara bersamaan, diantara mereka ada yang memegang, memukul, atau mengikat. Namun dalam hal pertanggungjawaban, mereka semuanya bertanggung jawab atas kematian korban. Hal ini sesuai dengan kaidah: 13
Jaih Mubarok. Kaidah Fiqih Jinayah: AsasAsas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Balai Quraisy, 2004), hlm. 25
74
ْﺍﻟﺘﱠﻤَﺎﻟُﺆ ِﺣَﺎَﻟﺔ ِﻓﻲ ٍﺷَﺮِﻳﻚ ٍﻓِﻌْﻞ ِّﻛُﻞ ْﻋﻦ َ ٍﺷَﺮِﻳﻚ ﻛُﻞﱡ ُﻳَﺴْﺄَﻝ “Setiap orang yang turut serta berbuat jarimah dalam keadaan tamalu dituntut dari hasil keseluruhan perbuatan yang turut serta berbuat jarimah.” 14
Hal ini didasarkan atas sikap Umar bin Khaththab, sehingga diriwayatkan bahwa beliau pernah mengatakan:
ِﻓِﻴْﻪ َﻟَﻮْﺍﺷْﺘَﺮَﻙ : ُﻋُﻤَﺮ َﻓَﻘَﺎﻝ ٬ ًﻏِﻴَْﻠﺔ ٌﻏﻼَﻡ ُ َﻗُﺘِﻞ : َﻗﺎَﻝ َﻋَﻨْﻬُﻤﺎ ﺍﷲ َﺭَﺿِﻲ َﻋُﻤَﺮ ِﺍ ْﺑﻦ ِﻋﻦ َ ْﻟَﻘَﺘَﻠْﺘُﻬُﻢ َﺻَﻨْﻌَﺎء َُﺃﻫْﻞ “Dari Ibnu Umar r.a, ia berkata: Ada seorang anak muda yang dibunuh secara misterius, lalu Umar berkata, “Jika penduduk Shan’a ikut serta dalam pembunuhan itu, pastilah aku qishash mereka semua karena pembunuhan tersebut.” 15 (HR.AlBukhari)
Turut serta berbuat tidak langsung menurut Ahmad Hanafi adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum atau menyuruh (menghasut) orang lain atau memberikan bantuan dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan. Seperti orang yang menyuruh orang lain untuk membunuh orang ketiga. Dalam kasus ini, menurut para ulama di kalangan mazhab Maliki, Syafi’i, dan Ahmad, orang yang menyuruh itulah yang dianggap sebagai pelaku pembunuhan. Karena orang yang disuruh itu hanyalah alat yang digerakkan oleh si penyuruh. 16
14
Ibid., hlm. 25 Muhammad Nasiruddin AlAlbani, Mukhtasar Shahih AlImam AlBukhari, (Riyadl: Maktabah AlMa’arif Linnasy Wa AlTauzi’,2002), hlm. 226 16 A. Djazuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 18 15
75
Dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal yang menjadi permasalahan bukan pada perbuatannya tapi pada pelaku atau subyek hukumnya yang lebih dari satu orang, dan hal ini dalam hukum Islam tidak menjadi suatu permasalahan karena telah diatur secara gamblang bagaimana kedudukan masingmasing pelaku antara satu dengan yang lainnya. Dalam hukum Islam yang dilihat bukan pada banyaknya orang yang melakukan perbuatan pidana, tetapi pada dasarnya menurut syariat Islam banyak sedikitnya peserta perbuatan pidana tidak mempengaruhi besarnya hukuman, tapi pada seberapa besar kontribusi yang diberikan pada saat melakukan perbuatan pidana. Jadi dalam hal perbuatan pidana yang dilakukan secara massal untuk konteks hukum Islam tidak tergantung pada bagaimana bentuk atau ciriciri dari perbuatan pidana yang dilakukan secara massal tersebut, tapi terfokus pada perbuatan apa yang telah dilakukan seseorang maka sebesar itulah pertanggungjawaban yang harus diembannya. Sedangkan kriminologi mengkaji kekerasan massal dari segi sebabsebab orang berbuat jahat, diantaranya dengan menggunakan teori kontrol, yaitu teori yang menunjuk kepada setiap perpektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu pengertian “Teori Kontrol Sosial” atau “Social Control Theory” menunjuk kepada pembahasan dan kejahatan dikaitkan
76
dengan variabelvariabel yang bersifat sosiologis antara lain keluarga, pendidikan, kelompok dominan. 17 Teori kontrol sosial berangkat dari asumsi atau anggapan bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya, menjadi “baik” atau “jahat”. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakatnya. Ia menjadi baik baik kalau masyarakat membuatnya begitu. 18 Menurut Travis Hirschi terdapat 4 elemen ikatan sosial (social bord) dalam setiap masyarakat, yaitu 19 : 1. Attachment adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain, dan apabila attachment ini sudah terbentuk, maka orang tersebut akan peka terhadap pikiran, perasaan, dan kehendak orang lain. Kaitan attachment dengan penyimpangan adalah sampai sejauh mana orang tersebut peka terhadap pemikiran, perasaan, dan kehendak orang lain sehingga ia dapat dengan bebas melakukan penyimpangan. 2. Commitment adalah keterikatan seseorang pada subsistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Komitmen merupakan aspek rasional yang ada dalam ikatan sosial. Segala kegiatan yang dilakukan oleh seorang individu seperti sekolah, pekerjaan, kegiatan dalam organisasi akan mendatangkan manfaat bagi orang tersebut. Manfaat tersebut dapat
17
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekte Kriminologi, Ctk. Pertama, (Bandung: Eresco, 1992), hlm. 31 18 Ibid., hlm. 116 19 Ibid., hlm. 117118
77
berupa harta benda, reputasi, masa depan dan sebagainya. Segala investasi tersebutlah yang mendorong orang untuk taat pada aturanaturan yang berlaku. Bila mereka tidak taat pada aturan tersebut, maka segala investasi yang diperoleh akan lenyap begitu saja. Dengan demikian sesungguhnya investasi tersebut dapat digunakan sebagai rem bagi hasrat untuk melakukan deviasi. 3. Involvement merupakan aktivitas seseorang dalam subsistem konvensional. Jika seseorang berperan aktif dalam organisasi maka kecil kecenderunagannya untuk melakukan penyimpangan. Logika dari pengertian ini adalah apabila orang aktif disegala kegiatan maka ia akan menghabiskan waktu dan tenaganya dalam kegiatan tersebut. Sehingga dia tidak sempat lagi memikirkan halhal yang bertentangan dengan hokum. Dengan demikian segala aktivitas yang dapat memberi manfaat, akan mencegah orang itu untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hokum. 4. Beliefs merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial, dan tentunya berbeda dengan ketiga aspek di atas. Belief merupakan kepercayaan seseorang pada nilainilai moral yang ada. Kepercayaan seseorang terhadap normanorma yang ada akan menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut. Tindakan anarkis baik itu berupa pengeroyokan, pembakaran tersangka, pada dasarnya adalah hasil dari suatu perilaku kolektif. Bila dinamakan perilaku kolektif, bukanlah sematamata itu merupakan perilaku kelompok melainkan
78
perilaku khas yang dilakukan sekelompok orang yang anggotanya pada umumnya tidak saling kenal, bersifat spontan dan mudah cair. Kejahatan merupakan bagian dari masalah manusia dalam kehidupan bermasyarakat seharihari. Masalah kejahatan pada dasarnya bukan hal yang baru lagi karena tidak ada satu negarapun di dunia ini yang bebas dari kejahatan, baik itu negara maju maupun negara berkembang. Naik turunnya kejahatan sesuai kondisi sosial, ekonomi, budaya, pollitik, dan pertahanan keamanan suatu Negara. Tidak dapat dipungkiri jika suatu kejahatan selalu muncul di tengah tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran dari masyarakat sendiri dalam mentaati segala peraturan yang ada serta kurangnya menjaga keamanan dalam lingkungan masyarakat itu sendiri. Tumbuh dan meningkatnya masalah kejahatan ini memunculkan anggapan dari masyarakat bahwa aparat penegak hukum gagal dalam menanggulangi masalah kejahatan dan dianggap lamban dalam menjalankan tugasnya serta adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Adanya anggapan yang demikian memicu sebagian masyarakat yang merasa keamanan dan ketentramannya terganggu untuk melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan tanpa mengikuti proses hukum yang berlaku. Padahal perbuatan main hakim sendiri itu bukan merupakan penghukuman yang benar karena proses penghukuman terhadap pelaku kejahatan tergantung kepada sistem hukum.
79
Maraknya tindakan main hakim sendiri di Indonesia sebagian besar disebabkan dalam penanganannya banyak yang tidak terselesaikan, dalam artian banyak kasus yang dibiarkan dan tidak ditindak lanjuti oleh aparat penegak hukum dan sering kali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga timbul pemicu yang menyebabkan suatu ledakan kemarahan masyarakat. Dengan adanya kenyataan yang demikian ini maka masyarakat merasa main hakim sendiri merupakan tindakan tegas dalam memberikan sanksi kepada pelaku kejahatan. Masyarakat merasa semakin mudah menumpahkan kemarahannya kepada pelaku kejahatan dengan melakukan pengeroyokan secara beramairamai dengan tindakan fisik, mulai dari pemukulan ringan hingga menyebabkan meninggalnya si korban atau pelaku tindak pidana. Kepercayaan masyarakat bahwa Negara dapat menegakkan keadilan hukum di tengah masyarakat sangat rendah disamping rasa perikemanusiaan sebagian anggota masyarakat sudah mulai tumpul. Hal ini akibat proses panjang dari sistem peradilan yang kurang mendidik dimana sering kali terjadi tersangka pelaku kejahatan dan merugikan masyarakat dilepas oleh penegak hukum dengan alasan kurang kuatnya bukti yang ada dan kalaupun kemudian diproses sampai ke pengadilan, hukumnya yang dijatuhkan tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
C. Kekuatan dan Kelemahan Tindak Pidana Secara Massal Yang Mengakibatkan Kematian Menurut Fiqh Jinayah Dan Kriminologi
80
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih merupakan warisan dari pemerintahan Hindia Belanda. Sejak awal abad ke19 Hindia Belanda memberlakukan kodifikasi hukum pidana yang pada mulanya masih pluralistis, yakni Undangundang Hukum Pidana untuk orangorang Eropa dan Kitab Undangundang Hukum Pidana untuk orangorang Bumiputra serta yang dipersamakan (inlanders). Mulai tahun 1918 di Indonesia diberlakukan satu Kitab Undangundang Hukum Pidana untuk seluruh golongan yang ada di Hindia Belanda (unifikasi hukum pidana) hingga sekarang. Sejak Indonesia merdeka kitab hukum pidana itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). KUHP dinyatakan berlaku melalui dasar konstitusional pasal II dan IV Aturan Peralihan UUD 1945 dengan Undangundang No. 1 tahun 1946. Dalam pasal III disebutkan bahwa perkataan NederlanschIndie atau NederlandschIndisch (e) (en) harus dibaca dengan “Indonesie” atau “Indonesche”, yang selanjutnya menjadi Indonesia. Dalam pasal VI (1) dinyatakan bahwa Wetboek van Strafrecht voor NederlandschIndie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht. Kemudian dalam ayat (2) kitab hukum itu diterjemahkan menjadi Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). Inilah yang menjadi dasar sehingga UU No. 1 tahun 1946 disebut dengan UU KUHP. UU ini berlaku secara resmi untuk seluruh wilayah Indonesia dengan UU No. 73 tahun 1958. Untuk Hukum Pidana Islam (HPI), yang menurut asas legalitas dikategorikan sebagai hukum tidak tertulis, masih dapat diakui di Indonesia
81
secara konstitusional sebagai hukum, dan masih terus berlaku menurut pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Namun demikian, ketentuan dasar itu belum ditindaklanjuti dengan instrumen hukum untuk masuk ke dalam wujud instrumen asas legalitas. Seperti halnya KUHP di atas, posisi Hukum Pidana Islam belum terdapat kepastian untuk menjawab pertanyaan teoritis, mana hukum pidana yang dapat ditegakkan. Ketiadaan Hukum Pidana Islam secara tertulis di Indonesia menjadi penyebab belum dapat terpenuhinya Hukum Pidana Islam secara legal sesuai dengan pertanyaan tersebut. Karena itulah Hukum Pidana Islam harus benar benar disiapkan secara tertulis sebagaimana hukum positif lainnya, bukan langsung mendasarkannya pada sumber hukum Islam, yakni alQuran, Sunnah, dan ijtihad pada ulama (kitabkitab fikih). Hingga sekarang ini sebenarnya muncul keinginan di hati sebagian umat Islam Indonesia keinginan untuk diberlakukannya hukum Islam secara utuh di Indonesia, termasuk dalam bidang hukum pidana. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa dengan diberlakukannya hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang semakin hari semakin merebak di tengahtengah masyarakat sedikit demi sedikit dapat terkurangi. Sanksi yang tidak sepadan yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana selama ini tidak membuat jera mereka untuk mengulanginya. Karena itu, sanksi yang tegas seperti yang ada dalam Hukum Pidana Islam nampaknya merupakan alternatif terbaik yang dapat mengatasi permasalahan tindak pidana di Indonesia. Dalam beberapa kasus terlihat antusiasme masyarakat
82
kita untuk segera menerapkan ketentuan pidana Islam, namun karena tidak diizinkan oleh aparat pemerintah keinginan untuk melaksanakannya tidak terwujud. Namun demikian, bukan berarti apa yang selama ini diterapkan oleh pengadilan di Indonesia seluruhnya bertentangan dengan Hukum Pidana Islam. Ada beberapa putusan pengadilan kita yang terkadang sama dan sesuai dengan ketentuan Hukum Pidana Islam, seperti hukuman mati dan langkah awal pemberlakuan sanksi pidana cambuk seperti yang diberlakukan di Nanggro Aceh Darussalam akhirakhir ini. Telah bertahuntahun di negara kita diupayakan pembuatan KUHP yang baru yang dapat disebut KUHP Indonesia. Upaya ini mendapatkan hasil dengan disiapkannya RUU KUHP yang baru. Dalam RUU ini juga termuat materimateri yang bersumberkan pada hukum pidana Islam, meskipun tidak secara keseluruhan. RUU ini juga sudah beberapa kali dibahas dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam forum sidangsidang di DPR, namun hingga saat ini belum ada kata sepakat di kalangan para pengak hukum kita tentang materi atau pasalpasal yang menjadi isi dari RUU tersebut. Pengintegrasian Hukum Pidana Islam ke dalam hukum pidana nasional, seperti yang terlihat pada beberapa pasal dalam RUU KUHP, merupakan suatu pemikiran yang cukup bijak. Namun, jika secara eksplisit hal ini tidak bisa dilakukan, minimal prinsipprinsip utamanya dapat terwujud dalam hukum pidana kita. Misalnya, tindak pidana perzinaan dan meminum minuman keras
83
tidak mesti harus dihukum dengan hukuman rajam atau hukuman cambuk empat puluh kali kepada pelakunya. Langkah ini bukanlah yang paling ideal, tetapi cukup memberikan harapan untuk dimulainya pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indonesia secara bertahap. Tawaran seperti ini barangkali juga dapat memuaskan sementara pihak yang kerap kali menolak setiap upaya pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Perlu ditambahkan bahwa pembaharuan sistem hukum pidana nasional melalui pembahasan RUU KUHP sekarang ini harus diakui sebagai upaya untuk mengakomodasi aspirasi sebagian besar umat beragama di Indonesia. Berbagai delik tentang agama ataupun yang berkaitan dengan agama mulai dirumuskan dalam RUU tersebut, misalnya tentang penghinaan agama, merintangi ibadah atau upacara keagamaan, perusakan bangunan ibadah, penghinaan terhadap Tuhan, penodaan terhadap agama dan kepercayaan, dan lain sebagainya. Rumusan semacam ini tidak mungkin didapati dalam hukum pidana yang diberlakukan di negaranegara sekular, sebab urusan agama bukan urusan negara dan menjadi hak individu masingmasing warga negara. Selain beberapa pasal yang terkait dengan delik agama, dalam rancangan tersebut juga dimasukkan pasalpasal baru yang berkaitan dengan delik kesusilaan, seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar pernikahan yang sah atau yang melanggar ketentuan agama. Tentu saja masih banyak pasalpasal lain yang terkait dengan materi HPI dalam RUU KUHP tersebut.
84
Langkah seperti di atas merupakan upaya positif pemerintah untuk memberlakukan ketentuan hukum sesuai aspirasi masyarakat, khususnya umat Islam. Namun, hingga sekarang langkah ini belum terwujud. Pembahasan masalah ini sudah memakan waktu yang cukup lama. Kita tunggu saja, kapan pemberlakuan hukum pidana nasional kita seperti di atas dapat direalisasikan.