BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI SAWAH BERJANGKA WAKTU DI DESA SUKOMALO KECAMATAN KEDUNGPRING KABUPATEN LAMONGAN A. Analisis dari Aspek Akadnya Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya, bahwa praktek jual beli sawah berjangka waktu di Desa Sukomalo Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan merupakan suatu kebiasaan atau bisa dikatakan sudah menjadi adat kebiasaan yang mengakar kuat di masyarakat Desa Sukomalo. Namun, pengamatan penulis terhadap praktek jual beli sawah berjangka waktu yang terjadi di Desa Sukomalo bertentangan dengan aturan-aturan jual beli umumnya yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam, yaitu terkait dengan adanya penambahan syarat tenggang waktu dan pengembalian kembali obyek dalam jual beli, yakni syarat yang terkandung dalam jual beli sawah ini yaitu sawah tersebut harus dikembalikan kembali kepada penjual sawah setelah tenggang waktu yang disepakati kedua belah pihak habis. Misalnya 3 tahun, yang mana pada saat waktu yang ditentukan telah habis yakni tiga tahun maka sawah yang menjadi obyek jual beli harus dikembalikan kepada penjual dan penjual harus membelinya dengan harga yang sama. Terkait dengan realita praktek jual beli sawah berjangka waktu yang terjadi di Desa Sukomalo ini, dari segi akad yang dilakukan oleh penjual dan pembeli dalam jual beli sawah berjangka waktu, yaitu adanya ija>b dan qabu>l
57
58
, yang artinya akad dalam praktek jual beli sawah berjangka waktu ini dilakukan dengan adanya perikatan dan kerelaan antara kedua belah pihak. Jadi dari segi akadnya boleh-boleh saja, jika kita kaitkan dengan pengertian akad itu sendiri yang berarti perjanjian atau perikatan, dimana penjual dan pembeli telah menyatakan ikatan antara mereka melalui ija>b dan qabu>l yang sesuai dengan syari’at Islam. Dalam Islam sudah dijelaskan bahwa adanya ija>b dan qabu>l
adalah
dengan maksud untuk menunjukkan adanya sukarela timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh dua pihak yang bersangkutan. Sebagaimana jika kita lihat definisi akad itu sendiri dalam sebuah hadis:
ٍ ط إِﻳْ َﺠ ﺖ أَﺛْـ َﺮﻩُ ﻓِﻲ َﻣ َﺤﻠﱢ ِﻪ ُ اِ ْرﺗِﺒَﺎ ُ ُﺎب ﺑِ َﻘﺒُـ ْﻮٍل َﻋﻠَﻲ َو ْﺟ ٍﻪ َﻣ ْﺸ ُﺮْوٍع ﻳَـﺜْﺒ
Artinya: “Pertalian ija>b (pernyataan melakukan ikatan) dan qabu>l (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan.1 Dari pengertian tersebut, kita dapat mengartikan bahwa dengan adanya suka sama suka dan rela sama rela dalam jual beli, maka jual beli tersebut bisa dilakukan. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah swt, bahwa sifat rela sama rela antara kedua belah pihak harus ada. Yakni diterangkan dalam surat an-Nisa’: 29
ِ ﻳﺎَ ﻳﱡـﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ اَﻣﻨـﻮاﻻَﺗَﺎء ُﻛﻠُﻮااَﻣﻮﻟَ ُﻜﻢ ﺑـﻴـﻨ ُﻜﻢ ﺑِﺎْﻟﺒ ٍ ﺎﻃ ِﻞ اِﻻﱠ اَ ْن ﺗَ ُﻜ ْﻮ َن ﺗِ َﺠﺎ َرةً َﻋ ْﻦ ﺗَـ َﺮ اض ِﻣ ْﻦ َ ْ َ َْ ْ َ ْ ْ ْ ْ َُ َ ْ َ َ ُﻛ ْﻢ
Artinya:
1
Nasroen Haroen, Fiqih Muamalah…, 97.
59
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu.2 Dari ayat tersebut di atas sudah jelas bahwa Islam itu sendiri menganjurkan dalam jual beli adanya rela sama rela antara kedua belah pihak. Umat Islam harusnya bangga bahwa dalam ajaran Agama Islam tidak pernah menyulitkan umatnya dalam segala bentuk aktivitas manusia, apalagi dalam urusan muamalah. Hanya dengan unsur saling merelakan maka akad yang dilakukan tersebut sah. B. Analisis dari Aspek Syaratnya Syarat yang dimaksud oleh penulis ini yaitu syarat yang terkandung dalam jual beli sawah berjangka waktu yang ditetapkan oleh kedua belah pihak. Dimana pada bab sebelumnya penulis sudah menyinggung bahwa dalam Islam khususnya dalam hal jual beli melarang adanya suatu syarat. Karena dari pengertian jual beli itu sendiri yaitu pemindahan hak milik penuh dari penjual kepada pembeli, sehingga apabila seseorang melakukan jual beli, maka pembeli tersebut mempunyai hak bebas terhadap obyek jual beli. Berdasarkan hasil pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara dengan pihak penjual dan pembeli serta tokoh masyarakat di Desa Sukomalo Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan, dan setelah itu penulis mengaitkannya dengan Hukum Islam, penulisan menemukan ketidaksesuaian antara praktek jual beli sawah berjangka waktu yang terjadi di Desa Sukomalo dengan teori jual beli dalam Hukum Islam. Syarat yang dimaksud 2
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya …, 83
60
dalam praktek jual beli sawah berjangka waktu disini yakni adanya syarat yang tidak membolehkan menjual obyek jual beli, dalam hal ini yaitu sawah yang menjadi obyeknya. Dan syarat adanya tenggang waktu, dimana jika tenggang waktu yang ditentukan oleh kedua belah pihak telah habis maka obyek jual beli tersebut dikembalikan kepada penjual semula. Sedangkan dalam Hukum Islam khususnya teori tentang jual beli, tidak membolehkan adanya syarat dalam jual beli, hal ini sesuai dengan sebuah hadis yang berbunyi:
ِ ....ﻠﻰ اﷲُ َﻋﻠَ ْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﻋﻠﱠ َﻢ َﻋ ْﻦ ﺑَـ ْﻴ ٍﻊ َو َﺷ ْﺮ ٍط ﺻ ﱠ َ ﻧَـ َﻬﻰ َر ُﺳ ْﻮ ُل اﷲ
Artinya: Rasulullah saw, melarang jual beli yang diiringi dengan syarat. (HR Muslim, an-Nasa’I, abu Daud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)3 C. Analisis dari Aspek Praktiknya
Sebagian besar masyarakat Desa Sukomalo memiliki kekayaan alam berupa sawah, jadi tidak sedikit dari mereka yang memanfaatkan sawahnya dengan berbagai macam, seperti menjualnya dalam jangka waktu tertentu, menggarapanya sendiri dengan bertani dan lain sebagainya. Salah satu yang dilakukan dalam memanfaatkan sawahnya adalah dengan menjual sawahnya dalam jangka waktu tertentu, baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli sawah. Jual beli sawah berjangka waktu di Desa Sukomalo merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang ada sejak dulu, sehingga sampai sekarang masih berlaku dan banyak dilakukan. Jual beli sawah berjangka waktu ini terjadi 3
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah …, 153.
61
karena
faktor
kebutuhan
masyarakat
Desa
Sukomalo
Kecamatan
Kedungpring, baik itu karena faktor kebutuhan pendidikan anak, karena faktor kebutuhan biaya untuk perkawinan anak, dan faktor-faktor lainnya yang mendorong masyarakat untuk menjual sawahnya dengan berjangka waktu. Jual beli sawah berjangka waktu adalah jual beli sawah dengan memindahkan hak milik sawah kepada pembeli dalam beberapa waktu tertentu yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli), jika jangka waktu yang telah disepakati telah tiba maka pembeli mengembalikan kembali lahan sawah kepada pemilik semula dan penjual mengembalikan uang kepada pembeli sesuai dengan harga awal. Sesuai dengan hasil wawancara peneliti kepada beberapa masyarakat Desa Sukomalo, bahwasanya harga jual beli sawah berjangka waktu biasanya dilihat dari berapa lama waktu jual beli sawah tersebut, bukan dilihat dari luas tanah. Dalam hal ini, jual beli sawah berjangka waktu ini mirip dengan sewa karena harga sawah dilihat dari tenggang waktu jual beli bukan dilihat dari luas obyek jual beli. Namun, karena akad yang digunakan sejak awal adalah akad jual beli bukan akad sewa, maka jual beli sawah berjangka waktu ini tetap disebut jual beli. Harga jual beli sawah berjangka waktu di Desa Sukomalo biasanya yaitu Rp 1.500.000.00 per tahunnya. Biasanya penentuan harga awalnya ditentukan oleh penjual, namun jika pembeli tidak setuju terhadap harga yang ditentukan oleh penjual, maka
62
penjual dan pembeli melakukan tawar menawar harga hingga muncul harga yang disepakati oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Penyerahan kembali jual beli sawah berjangka waktu ini yaitu dengan cara pembeli datang ke rumah penjual dengan mengatakan bahwa sawah yang dibeli saya kembalikan karena jangka waktu yang disepakati telah habis, dan penjual membeli kembali sawah dengan harga semula, dan menyerahkan uangnya. Jika dilihat dari tata cara dan syarat yang ada dalam jual beli sawah berjangka waktu yang terjadi di Desa Sukomalo ini termasuk jual beli al-
Wafa’ . Hal ini dapat diketahui dari beberapa penjelasan jual beli sawah berjangka waktu menurut beberapa masyarakat di Desa Sukomalo, yang menyebutkan bahwa pengertian jual beli sawah berjangka waktu adalah jual beli sawah dalam beberapa waktu saja, misalnya tiga tahun, jika telah sampai waktu tiga tahun maka sawah tersebut dikembalikan lagi kepada penjual. Selama sawah tersebut berada di tangan pembeli, maka pembeli mempunyai hak terhadap sawah tersebut, yaitu untuk memanfaatkan sawah tersebut. pengertian jual beli sawah berjangka waktu ini mempunyai persamaan dengan pengertian jual beli al-Wafa’ . Pengertian Jual beli al-Wafa’
itu sendiri adalah jual beli yang
dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba. Artinya, jual beli ini mempunyai tenggang waktu yang terbatas, misalnya tiga tahun, sehingga apabila waktu tiga tahun telah habis,
63
maka penjual membeli barang itu kembali dari pembelinya. Rukun dan syarat jual beli al-Wafa’ sama dengan rukun dan syarat jual beli pada umumnya, hanya saja yang membedakan adalah dalam segi penambahan syarat, yaitu syarat adanya tenggang waktu dan syarat harus mengembalikan sawah kepada pemnjual jika tenggang waktu habis. Namun, karena pada jual beli al-Wafa’ terdapat dua pendapat, yakni yang membolehkan dan tidak membolehkan jual beli al-Wafa’ . Pendapat yang membolehkan yaitu Ulama Hanafiyah dalam memberikan justifikasi terhadap jual beli al-Wafa’ adalah didasarkan kepada urfiy (menjustifikasi suatu permasalahan yang berlaku umum dan berjalan dengan baik di tengah-tengah masyarakat). Sedangkan pendapat yang tidak membolehkan adalah para ulama fiqh lainnya yang melegalisikan jual beli ini dengan alasan: 1. Dalam suatu akad jual beli tidak dibenarkan adanya tenggang waktu, karena jual beli adalah akad yang mengakibatkan perpindahan hak milik secara sempurna dari penjual kepada pembeli. 2. Dalam jual beli tidak boleh adanya syarat bahwa barang yang dijual itu harus dikembalikan oleh pembeli kepada penjual semula, apabila ia telah siap mengembalikan uang seharga semula. 3. Bentuk jual beli ini tidak pernah ada di zaman Rasulullah saw, maupun di zaman sahabat. 4. Jual beli ini merupakan hilah yang tidak sejalan dengan maksud-maksud syarat pensyariatan jual beli.4 4
Abd, Hadi, Dasar-dasar Hukum Ekonomi Syariah…, 112.
64
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam Islam terdapat suatu bentuk jual beli yang dapat dikaitkan dengan praktik jual beli yang terjadi ini, yakni jual beli al-Wafa’ . Namun, karena status hukum dari jual beli al-Wafa’ masih diperdebatkan dan pendapat yang paling kuat yaitu yang tidak membolehkannya. Jadi penulis berasumsi bahwa praktik jual beli sawah berjangka waktu yang telah terjadi mengikuti hukum terhadap jual beli
al-Wafa’ yakni boleh. Namun, untuk praktik jual beli sawah berjangka waktu selanjutnya akan lebih baiknya agar memakai akad ija>rah yang mana status hukum dari ija>rah sendiri tidak dalam perdebatan para ulama, yang artinya status hukum dari ija>rah sudah jelas. Dan Jika dilihat dari rukun dan syarat dalam jual beli sawah berjangka waktu ini terdiri dari orang yang berakad (penjual dan pembeli), harga jual beli sawah, manfaat, ija>b
(pernyataan penjual) dan qabu>l
(pernyataan
pembeli). Dan adanya syarat dalam jual beli sawah berjangka waktu yaitu syarat untuk orang-orang yang berakad harus baligh dan berakal, kedua belah pihak harus menyatakan kerelaannya dalam melakukan jual beli sawah berjangka waktu, obyek jual beli tersebut diserahkan pada waktu akad bahwa obyek tersebut sudah menjadi hak si pembeli, manfaat obyek jual beli yang harus diketahui secara sempurna oleh pembeli dan lama jual beli sawah harus jelas, misalnya tiga tahun. Dan jika waktu yang disepakati telah habis maka sawah harus dikembalikan kepada penjual. Rukun dan dalam jual beli sawah berjangka waktu mempunyai persamaan dengan rukun dan syarat dalam akad ija>rah . Serta dilihat dari praktik yang terjadi di Desa Sukomalo sebagaimana
65
hasil pengamatan dan hasil wawancara penulis akad tersebut lebih mengarah kepada akad sewa menyewa (ija>rah ) yang mana jika dilihat dari harga yang ditentukan dari lama waktu jual sawah bukan dilihat dari luas sawah, sebagaimana yang telah kita ketahui dalam jual beli yaitu penentuan harga biasanya disesuaikan dengan obyek jual beli bukan lama waktu jual beli.