BAB IV ANALISA DATA
4.1 Tinjauan Umum Gagasan untuk mewujudkan suatu bangunan harus didahului dengan survey dan investigasi untuk mendapatkan data yang sesuai guna mendukung terealisasinya sisi pelaksanaan fisik suatu bangunan. Survey dan investigasi merupakan salah satu tahapan perencanaan yang crucial, agar proyek yang dibangun sesuai dengan rencana (Budieny, 2007). Dengan melaksanakan survey dan identifikasi yang menyeluruh, maka akan memberikan hasil yang sesuai sasaran dan akurat untuk digunakan dalam perencanaan. Hasil dari survey dan investigasi yang dilakukan akan disajikan dalam bentuk data. Data yang diperlukan dalam sebuah perencanaan bangunan terutama bangunan air, biasanya terdiri dari data topografi, data geologi, data tanah, data hidrologi, data morfologi sungai, dan data ekologi (Budieny, 2007). Untuk memiliki semua informasi tersebut dalam jangka waktu tertentu, merupakan hal yang amat sulit, apalagi bila dibatasi oleh aspek biaya. Oleh karena itu, dalam suatu perencanaan diperbolehkan untuk menggunakan data sekunder atau data yang didapatkan secara tidak langsung/tidak melalui observasi sendiri. Pada bab ini, penulis menggunakan sebagian besar data yang bersifat sekunder. Walaupun demikian, hal ini tentu saja tidak mengurangi keakuratan data-data tersebut.
4.2 Data Geologi dan Mekanika Tanah Data geologi dan mekanika tanah yang didapat penyusun merupakan data sekunder yang didapat dari Laporan Akhir Detail Desain Bangunan Pengendali Sedimen di Wilayah Sungai Serayu-Bogowonto (2004). Data geologi berguna untuk menunjukkan jenis-jenis tanah dan lapisan-lapisan tanah di calon lokasi bangunan. Sedangkan data mekanika tanah diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai sifat-sifat fisik dan mekanis tanah.
64
4.2.1 Data Geologi Lokasi rencana bangunan pengendali sedimen Sungai Serayu terletak di Dusun Jlamprang, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo. Menurut Laporan
Akhir Detail Desain Bangunan
Pengendali Sedimen di Wilayah Sungai Serayu-Bogowonto (2004), secara fisiografis terletak pada Zona Pegunungan Serayu Utara dengan litologi didominasi oleh endapan Flysh berupa perlapisan batu lempung, batu pasir, dan breksi dengan rincian sebagai berikut : a. Sisi timur dan barat sungai merupakan daerah persawahan dengan litologi berupa soil dalam ukuran lanau lempungan. b. Pada tebing dan dasar sungai tersusun oleh litologi breksi dengan fragmen berukuran 5-30 cm, berbentuk meruncing hingga agak membulat, kemas terbuka, dan matriksnya berupa pasir sedanghalus. c. Sisipan batu pasir kompak dan keras terdapat pada sebagian tebing. d. Dasar sungai berupa breksi sebagian ditutupi gravel, bongkah dan berakal. e. Pada bagian atas tebing yang membentuk terasering ditemukan endapan bongkah dan berakal andesit dalam kondisi lepas, dan di sela-selanya berupa lempung lanauan.
4.2.2 Data Mekanika Tanah Data tanah diuji di laboratorium dengan mengambil sampel tanah secara tak terganggu (undisturbed sample) pada dua titik di lokasi. Menurut Laporan Akhir Detail Desain Bangunan Pengendali Sedimen di Wilayah Sungai Serayu-Bogowonto (2004), data tanah pada lokasi rencana diketahui sebagai berikut : Tabel 4-1 Data Tanah Pada Lokasi Rencana BPS di Dusun Jlamprang (Laporan Akhir Detail Desain Bangunan Pengendali Sedimen di Wilayah Sungai SerayuBogowonto, 2004) No. 1. 2. 3. 4.
Sifat Fisik/Teknis Kedalaman sampel (m) Water content (%) Specific Gravity Unit weight (gr/cm3)
Titik bor 1 -1,0 s.d. -1,50 26,00 2,7090 1,6866
Titik bor 2 -1,0 s.d. -2,0 27,50 2,7100 1,6959
65
5. 6. 7. 8. 9. 10.
Dry unit weight (gr/cm3) Porosity (%) Void ratio (e) Grain size Kohesi (kg/cm2) Internal angle of friction (degree)
1,3386 50,59 1,0238 Pasir kerikilan 0,09 28
1,3301 50,92 1,0374 Pasir kerikilan 0,07 32
4.3 Penggunaan Lahan Menurut Studi Kasus DAS Serayu (2002), penggunaan lahan dalam DAS Serayu tersebut terdiri dari : Tabel 4-2 Tata Guna Lahan di DAS Serayu (Studi Kasus DAS Serayu, 2002)
Jenis Luas (%) Sawah 29,822 Pekarangan 12,579 Tegalan 35,436 Hutan 17,531 Perkebunan 4,632
4.4 Sistem Konservasi Tanah Menurut Studi Kasus DAS Serayu (2002), sistem konservasi tanah di DAS Serayu dilakukan berdasar kemiringan lereng yang terdiri dari : Tabel 4-3 Pembagian Sistem Konservasi Tanah Pada DAS Serayu (Studi Kasus DAS Serayu, 2002)
Kemiringan (%) Luas (%) 0–8 1,107 8,1 – 20 9,738 20 – 45 31,998 > 45 57,157
4.5 Data Hidrologi Penulis menggunakan data curah hujan harian yang didapat dari BMG untuk pengukuran di stasiun Leksono dan stasiun Kertek dari tahun 19872006 (20 tahun) untuk menghitung debit rencana Daerah Aliran Sungai Serayu.
4.3.1 Perhitungan Curah Hujan Daerah Perhitungan curah hujan yang mewakili daerah aliran Sungai Serayu menggunakan metode Thiessen Polygon. a. Menentukan luas daerah pengaruh tiap stasiun
66
Dengan memakai peta daerah aliran Sungai Serayu, dibuat garis yang menghubungkan titik stasiun Leksono dan titik stasiun Kertek. Ditarik garis tegak lurus dengan garis penghubung yang akan membagi dua daerah aliran Sungai Serayu. Secara skalatis, dapat dihitung luas daerah aliran Sungai Serayu, luas daerah pengaruh stasiun Leksono ( Kertek (
), dan luas daerah pengaruh stasiun
) dengan hasil sebagai berikut :
31,04 km2 261,72 km2 ∑
292,76 km2
b. Menghitung curah hujan daerah aliran Curah hujan harian daerah aliran dihitung dengan metode Thiessen dengan memakai rumus berikut (Loebis, 1987) : ∑
∑
(2-2)
Contoh perhitungan curah hujan harian daerah aliran untuk tanggal 1 April 2004 :
∑
31,04 km2
45 mm
261,72 km2
68 mm
292,76 km2 ,
, ,
65,561
66 mm
c. Menentukan curah hujan harian maksimum bulanan Melalui data curah hujan harian daerah aliran yang sudah dihitung sebelumnya, ditentukan curah hujan harian maksimum yang mewakili untuk masing-masing bulan dalam 20 tahun. d. Menentukan curah hujan harian maksimum tahunan Curah hujan harian maksimum tahunan adalah curah hujan harian maksimum bulanan yang mewakili untuk masing-masing tahun. Curah hujan harian maksimum tahunan disajikan dalam tabel berikut :
67
Tabel 4-4 Curah Hujan Harian Maksimum Tahunan Gabungan Daerah Aliran
Tahun 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996
(mm) 124 114 156 164 80 142 95 87 162 103
Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
(mm) 109 98 92 179 189 95 136 140 116 144
4.3.2 Analisa Frekwensi Analisa Frekwensi dilakukan dengan Pengujian Distribusi Normal, Gumbel, Log Normal, dan Log Pearson III (Soemarto, 1995) : Tabel 4-5 Perhitungan Parameter Uji Distribusi Normal dan Distribusi Gumbel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jml
189 179 164 162 156 144 142 140 136 124 116 114 109 103 98 95 95 92 87 80 2525
62,75 52,75 37,75 35,75 29,75 17,75 15,75 13,75 9,75 -2,25 -10,25 -12,25 -17,25 -23,25 -28,25 -31,25 -31,25 -34,25 -39,25 -46,25
3937,56 2782,56 1425,06 1278,06 885,06 315,06 248,06 189,06 95,06 5,06 105,06 150,06 297,56 540,56 798,06 976,56 976,56 1173,06 1540,56 2139,06 19857,75
, ,
,
247082,05 146780,17 53796,11 45690,73 26330,61 5592,36 3906,98 2599,61 926,86 -11,39 -1076,89 -1838,27 -5132,95 -12568,08 -22545,27 -30517,58 -30517,58 -40177,39 -60467,08 -98931,64 228921,38 ,
15504398,44 7742654,07 2030803,13 1633443,75 783335,63 99264,38 61535,00 35744,63 9036,88 25,63 11038,13 22518,75 88543,44 292207,82 636903,75 953674,32 953674,32 1376075,63 2373332,82 4575588,38 39183798,89 ,
Tabel 4-6 Perhitungan Parameter Uji Distribusi Log Normal dan Distribusi Log
1 2 3
2,2765 2,2529 2,2148
0,1887 0,1651 0,1271
0,0356 0,0273 0,0161
0,0067 0,0045 0,0021
0,0013 0,0007 0,0003
68
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jml
2,2095 2,1931 2,1584 2,1523 2,1461 2,1335 2,0934 2,0645 2,0569 2,0374 2,0128 1,9912 1,9777 1,9777 1,9638 1,9395 1,9031 41,7552
0,1218 0,1054 0,0706 0,0645 0,0584 0,0458 0,0057 -0,0233 -0,0309 -0,0503 -0,0749 -0,0965 -0,1100 -0,1100 -0,1240 -0,1482 -0,1847
0,0148 0,0111 0,0050 0,0042 0,0034 0,0021 0,0000 0,0005 0,0010 0,0025 0,0056 0,0093 0,0121 0,0121 0,0154 0,0220 0,0341 0,2342
, ,
0,0018 0,0012 0,0004 0,0003 0,0002 0,0001 0,0000 0,0000 0,0000 -0,0001 -0,0004 0,0009 -0,0013 -0,0013 -0,0019 -0,0033 -0,0063 0,0015 ,
,
0,0002 0,0001 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0001 0,0001 0,0001 0,0002 0,0005 0,0012 0,0050 ,
Metode yang akan digunakan harus memenuhi syarat yang terdapat pada tabel 2-5. Pemilihan tersebut disajikan dalam tabel 4-7 : Tabel 4-7 Penentuan Metode Distribusi yang Digunakan
Distribusi Normal
Hasil Perhitungan 0,4 0,95
Log Normal
0,0660
Log Pearson III
0,0660 0,4 0,95
Gumbel
Syarat 0 3 3 dan 3 0 1,1396 5,4002
Analisa Tidak memenuhi 0
Tidak memenuhi Memenuhi Tidak memenuhi
4.3.3 Perhitungan Curah Hujan Rencana Berdasarkan pengujian analisa frekwensi, maka perhitungan curah hujan rencana memakai distribusi Log Pearson III dengan periode ulang 5, 10, 25, 50, 100, dan 200 tahun. Rumus (Soemarto, 1995) : log
log
(2-15)
Dimana : a. log
adalah bentuk logaritmis curah hujan dengan periode ulang
yang ditentukan sebelumnya. b. ∑ log
adalah jumlah logaritmis hujan tahunan selama pengamatan
(20 tahun). Nilai ini dapat diambil langsung dari tabel 4-6.
69
c.
, merupakan faktor frekwensi untuk distribusi Log Pearson III. Besar faktor ini dipengaruhi oleh nilai Skewness ( ) dan periode ulangnya. Nilai
d.
diambil dari tabel 2-4.
adalah standar deviasi yang juga dapat dilihat pada tabel 4-6.
e. Curah hujan rencana dapat dihitung dengan meng-antilog-kan log . Contoh perhitungan : 5 th ∑ log
0,1110 2,0878
log
∑ log
log
2,0878
log
2,1806
0,836 . 0,836
0,110
151,5609 mm Untuk lebih jelasnya mengenai perhitungan curah hujan rencana yang dilakukan, dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4-8 Perhitungan Curah Hujan Rencana
(th) 5 10 25 50 100 200
∑ 2,0878 2,0878 2,0878 2,0878 2,0878 2,0878
0,836 1,292 1,785 2,107 2,400 2,670
0,1110 0,1110 0,1110 0,1110 0,1110 0,1110
log 2,1806 2,2312 2,2860 2,3217 2,3542 2,3842
(mm) 151,5609 170,3018 103,1789 209,7553 226,0718 242,2288
Perkiraan curah hujan rencana yang dipakai adalah curah hujan dengan periode ulang 50 tahun. Karena pada umumnya perencanaan bangunan pengendali sedimen memiliki umur rencana 50 tahun (Laporan Akhir Detail Desain Bangunan Pengendali Sedimen di Wilayah Sungai Serayu-Bogowonto, 2004).
4.3.4 Perhitungan Debit Banjir Perkiraan debit banjir dilakukan dengan metode berikut (Loebis, 1987) : a. Manual Banjir Rencana Untuk Jawa dan Sumatera Rumus (Loebis, 1987) :
70
(2-18) ,
.
,
(2-19)
,
1,02
0,0275 log
(2-20) (2-21)
1,152
0,1233 log
(2-22) (2-23)
0,9
(2-24)
Total daerah aliran di atas danau-danau
(2-25)
Dimana : tahunan (m3/det)
= debit banjir
= faktor pembesaran regional yang terdapat pada tabel 2-6 = Mean Annual Flood atau banjir tahunan rata-rata (m3/det) = luas daerah aliran (km2) = rata-rata tahunan curah hujan harian (mm) = curah hujan harian terpusat maksimum (mm) = faktor reduksi areal daerah aliran = kemiringan sungai (m/km) = beda tinggi antara lokasi penelitian dengan titik tertinggi awal sungai (m) = panjang sungai utama (km) = panjang sungai (km) = proporsi luas daerah aliran danau-danau dan waduk-waduk Perhitungan : 0 → karena tidak ada danau dalam daerah aliran 29,13 km 0,9
29,13
26,217 km
1250 m ,
47,679 m/km
292,76 km2 1,152
0,1233 log 292,76
0,848
71
126,25 mm 126,25 1,02
107,045 mm
0,0275 log 292,76 ,
292,76
8.10 1
0,848
0,952 107,045
,
47,679
,
,
0
257,207 Untuk menentukan debit banjir rencana daerah aliran, dikalikan dengan faktor pembesaran regional yang ditentukan menurut luas daerah aliran dan tahun periode ulang. Perhitungan tersebut disajikan dalam tabel berikut : Tabel 4-9 Perhitungan Banjir Rencana dengan Metode Untuk Jawa dan Sumatera
,
(th) 1,270 1,540 1,917 2,300 2,720 3,200
1,280 1,560 1,958 2,350 2,780 3,270
5 10 25 50 100 200
1,271 1,541 1,919 2,303 2,724 3,204
257,207 257,207 257,207 257,207 257,207 257,207
(m3/det) 326,808 396,409 493,701 592,351 700,533 824,148
b. Metode Haspers Rumus (Loebis, 1987) : (2-26) ,
0,1
,
,
,
,
,
,
1
(2-27) (2-28)
,
,
(2-29)
Untuk t < 2 jam, digunakan rumus : ,
(2-30)
Untuk t > 2 jam, digunakan rumus : (2-31) ,
(2-32)
Dimana :
72
= koefisien run off = koefisien reduksi = luas daerah pengaliran sungai (km2) = lamanya curah hujan (jam) = panjang sungai (km) = kemiringan sungai = intensitas curah hujan selama durasi t = curah hujan harian maksimum (mm/hari) = hujan maksimum (m3/det/km2) Perhitungan : 292,76 km2 29,13 km , ,
0,0477
,
,
,
,
,
,
,
0,1
29,13 ,
1
0,328
,
0,0477 ,
,
,
,
3,698 jam ,
,
,
1,786 0,559 = 209,755 mm → diambil dari tabel 4-8 ,
,
165,108 mm
, , ,
,
0,328
12,402 m3/det/km2 0,559
12,402
292,76
667,131 m3/det
c. Metode Rasional Rumus (Loebis, 1987) : (2-33)
,
(2-34) 0,0133
,
(2-35)
73
Dimana : koefisien runoff intensitas hujan (mm) = hujan maksimum (mm) = waktu konsentrasi (jam) Perhitungan : 29,13 km 0,0477 0,0133
29,13
0,0477
,
2,405 jam
= 209,755 mm → diambil dari tabel 4-8 ,
40,505 mm
,
Wilayah lokasi rencana merupakan pegunungan tersier →
0,70
(diambil dari tabel 2-7), sehingga : 0,7
,
40,505
292,76
2305,787 m3/det
d. Metode Melchior Rumus (Loebis, 1987) : (2-36) ,
3960
1720
(2-37) (2-38) (2-39) (2-40) (2-41)
1,31
→
,
0,52
(2-41) (2-42)
Dimana : = luas ellips daerah aliran (km2) = panjang sungai (km) = lebar ellips daerah aliran (km) 74
= kecepatan rata-rata air (m/det) = intensitas curah hujan selama durasi t (mm/jam) = hujan maksimum (mm) Perhitungan : 29,13 km 29,13
19,42 km
29,13 444,303
444,303 km2
19,42 3960
,
1720 1,927 dan
Melalui perhitungan selanjutnya, didapat
0,754. Sedangkan nilai koefisien reduksi yang dipakai adalah 0,754. 292,76 km2,
0,754,
Diketahui
0,0477 dan
6 m3/det/km2 maka :
asumsi,
1,31 0,754 , , ,
1,6331 m/det
0,0477
0,5573 → hasil interpolasi
6,5533 m3/det/km2 (
,
Dengan 3
292,76
4,9549 jam →
, ,
6
cara
trial
error,
→ tidak OK)
dicoba
untuk
6,6134
2
m /det/km , maka : 1,31 0,754 , , ,
292,76
4,8594 jam →
, ,
6,6134
,
0,0477
1,6652 m/det
0,5516 → hasil interpolasi
6,6134 m3/det/km2 (
→ OK)
Sehingga, debit banjir menurut Melchior adalah : 0,52
0,754
6,6134
292,76
759,068 m3/det
e. Metode Weduwen Rumus (Loebis, 1987) : (2-43) 1
,
(2-44)
75
,
(2-45)
, ,
0,125
,
(2-46) (2-47)
Perhitungan dilakukan dengan membuat asumsi lamanya curah 3 jam, maka :
hujan ( ). Misal ,
0,5272
, ,
15,2023 m3/det/km2
,
1
,
0,7269
,
,
,
, ,
(
, ,
,
3,0739
,
,
→ tidak OK) Dengan cara trial error, dicoba dengan
3,07934 jam,
maka : , ,
,
0,53026
, , ,
14,93595 m3/det/km2
, ,
1
0,72520
,
, ,
(
,
,
,
,
,
,
,
3,07934
→ OK) Maka debit banjir menurut Weduwen adalah : 0,72520
0,53026
14,93595
292,76
1681,464 m3/det Hasil perhitungan debit banjir yang dihitung seperti di atas disajikan pada tabel berikut :
Tabel 4-10 Hasil Perhitungan Debit Banjir
No
Metode Perhitungan
1.
Manual Banjir Untuk Jawa dan Sumatera Haspers
2.
Debit Banjir Periode Ulang 50 Tahun 592,351m3/det 667,131 m3/det
76
3. 4. 5.
759,068 m3/det 1681,464 m3/det 2305,787 m3/det
Melchior Weduwen Rasional
Perkiraan perhitungan debit banjir yang digunakan untuk luas DAS sebesar 292, 76 km2, dengan periode ulang selama 50 tahun adalah hasil perhitungan metode Weduwen, yaitu 1681, 464 m3/det. Metode ini dipakai karena menghasilkan perkiraan debit banjir yang paling besar, setelah metode rasional. Metode rasional tidak dapat digunakan karena menurut Mutreja (1986) metode rasional terbatas untuk luas DAS sebesar 12 km2.
4.3.5 Perhitungan Erosi Lahan yang Terjadi Rumus : (2-52) ∑
(2-53) ,
6,119 K
2,713
10
12
O M
0,006541S
LS
,
, ,
3,25 s
0,0456S
(2-55) 2
2,5
0,065
(2-56) (2-57)
Di mana : = kehilangan tanah (ton/ha/th) = faktor erosivitas hujan (KJ/ha/th) = faktor erodibilitas tanah = faktor panjang dan kemiringan lereng = faktor tanaman penutup dan manajemen tanaman = faktor konservasi praktis = jumlah kejadian hujan dalam setahun = indeks erosi hujan bulanan (KJ/ha) = curah hujan bulanan (cm) = jumlah hari hujan per bulan = hujan maksimum harian dalam bulan yang bersangkutan = persentase pasir sangat halus dan debu
77
= persentase bahan organik = kode struktur tanah yang dipergunakan dalam klasifikasi tanah = klas permeabilitas tanah = panjang lereng (m) = kemiringan lereng (derajat) = konstanta yang besanya bervariasi tergantung besarnya Perhitungan : 2734,446 (KJ/ha/th) → perhitungan terlampir Menghitung
dengan menentukan terlebih dahulu variabel
berikut : 8245 (didapat dari tabel 2-9). Kandungan
Fraksi berupa debu →
2%. Granula sangat halus →
bahan organik sebanyak < 2% →
1 (tabel 2-10). Permeabilitas agak lambat (0,5 2 (tabel 2-11). Sehingga 2,713
10
12
2,0 cm/jam) →
dapat dihitung :
0,02 8245
,
3,25 1
2
2,5
0,890 Menghitung
dengan menentukan terlebih dahulu variabel
berikut : 1875 m dan Sehingga
8,373% →
0,5 (didapat dari tabel 2-12).
menjadi : ,
0,006541
0,08373
0,0456
0,08373
0,065 0,636 Faktor C menggunakan tabel 2-13, dan menghitung C ditunjukkan pada tabel berikut : Tabel 4-11 Perhitungan C Jenis Sawah Pekarangan Tegalan Hutan Perkebunan
Luas (%) Faktor C Luas (%) * C 29,822 0,010 0,298 12,579 1,000 12,579 35,436 0,700 24,805 17,531 0,001 0,018 4,632 0,400 1,853 100,000 39,553 Faktor C DAS Serayu 0,396
78
Penentuan faktor P menggunakan tabel 2-14, sedangkan untuk menentukan nilai faktor P disajikan dalam tabel berikut : Tabel 4-12 Perhitungan P Kemiringan 0-8 8,1-20 20-45 >45
Luas (%) Faktor P Luas (%) * P 1,107 0,50 0,553 9,738 0,75 7,304 31,998 0,90 28,798 57,157 0,90 51,441 100,000 88,096 Faktor P DAS Serayu 0,881
Menghitung erosi lahan ( ) dengan rumus : 2734,446
0,890
0,636
0,396
0,881
538,830
ton/ha/th. Sedangkan untuk erosi total selama 50 tahun dan seluas DAS Serayu adalah : 538,830
50
29276
788.739.713,64 ton.
4.3.6 Perhitungan Produk Sedimen Menghitung SDR dengan rumus (Boyce, 1975) : 0,41 0,41
,
292,76
,
0,075
Sehingga yield sedimen pada DAS Serayu sebesar : 788.739.713,64
0,075
59.155.478,523
ton
dengan berat jenis sedimen sebesar 1,4 ton/m3, maka volume total sedimen yang terjadi pada DAS Serayu selama 50 tahun adalah 42.253.913,231 m3.
79